Anda di halaman 1dari 33

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. HIV & AIDS

1. Definisi HIV & AIDS

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan

penurunan kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immune Deficiency

Syndrome (AIDS) merupakan perkembangan lebih lanjut pada orang yang terifeksi

HIV. Kata acquired (didapat) penyakit infeksi bukan penyakit turun-temurun tetapi

berkembang setelah adanya kontak langsung dari orang yang terinfeksi HIV

(Noviana Nana, 2016).

2. Tanda-Tanda Seseorang Terinfeksi HIV

a. Orang Dewasa

1) Gejala-Gejala Mayor

a) Berat badan menurun lebih dari 10% dalam satu bulan,

b) Diare kronis yang berlangsung lebih dari satu bulan,

c) Demam berkepanjangan lebih dari satu bulan,

d) Penurunan kesadaran dan gangguan neurologist dan dimensia/HIV

ensefalopati

2) Gejala-Gejala Minor

a) Batuk menetap lebih dari satu bulan,

b) Dermatitis generalisata yang gatal,

c) Herpes zostermultisegmental dan atau herpes zoster berulang,

d) Kandidiasis orofaringeal,

e) Herpes simpleks kronis progresif,

f) Limfadenopati generalisata,
g) Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita

h) Retinitis virus sitomegola (Noviana Nana, 2016).

b. Anak < 12 tahun

1) Gejala-Gejala Mayor

a) Berat badanmenurun atau kegagalan dalam pertumbuhan,

b) Diare kronis atau berulang yang berlangsung lebih dari satu bulan,

c) Demam kronis atau berulang lebih dari satu bulan,

d) Infeksi seluran pernapasan bagian bawah yang parah atau menetap

gejala-gejala minor

e) Limfadenopati generalisata atau hepatosplenomegali,

f) Kandidiasis oral, infeksi ringan yang berulang (otitis, faringitis),

g) Batuk kronis,

h) Dermatitis gesneralisata dan ensefalitis

3. Transmisi HIV

Transmisi HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui tiga cara yaitu :

a. Secara vertikal dari ibu yang terinfeksi HIV ke anak Angka penularan selama

kehamilan sekitar 5-10%, sewaktu persalinan 10-20% dan saat pemberian ASI

10-20%. Virus dapat ditemukan dalam ASI sehingga ASI merupakan perantara

penularan HIV dari ibu ke bayi pascanatal. Bila mungkin pemberian air susu oleh

ibu yang terinfeksi sebaiknya dihindari.

b. Secara transeksual (homoseksual maupun heteroseksual)

Kontak seksual merupakan salah satu cara utama transmisi HIV diberbagai

belahan dunia. Virus ini dapat ditemukan dalam cairan semen, cairan vagina dan

cairan serviks. Virus akan terkonsentrasi dalam cairan semen, terutama bila

terjadi peningkatan jumlah limfosit dalam cairan seperti pada peradangan


genitalia urethritis, epididymitis dan kelainan lain yang berhubungan dengan

penyakit menular seksual.

Hubungan seksual lewat anus adalah merupakan transmisi infeksi HIV yang

lebih mudah karena pada anus hanya terdapat membran mukosa rectum yang tipis

dan mudah robek, sehingga anus mudah menjadi lesi, bila terjadi lesi maka akan

memudahkan masuknya virus sehingga memudahkan untuk terjadinya infeksi.

c. Secara horizontal yaitu kontak antar darah atau produk darah yang terinfeksi.

Darah dan produk darah adalah media yang sangat baik untuk transmisi

HIV. Untuk bisa menular, cairan tubuh harus masuk secara langsung ke dalam

peredaran darah. Hal ini dapat terjadi pada individu yang menerima darah atau

produk darah yang mengabaikan tes penapisan HIV. Diperkirakan bahwa 90-

100% orang yang mendapat transfusi darah yang tercemar HIV akan mengalami

infeksi. Transmisi ini juga dapat terjadi pada individu pengguna narkotika

intervena dengan pemakaian jarum suntik secara bergantian dalam satu kelompok

tanpa mengindahkan asas sterilisasi (Noviana Nana, 2016).

4. Cara Pencegahan

a. A (Abstain) artinya jauhi seks atau tidak melakukan hubungan seks.

b. B (Befaithfull) artinya setia dengan satu pasangan seksual yang tidak terinfeksi

HIV.

c. C(Condom) artinya cegah dengan menggunakan kondom. Penggunaan kondom

secara benar dan konsisten untuk setiap hubunganseksual sehingga dapat

memberikan perlindungan dari penularanHIV ataupun IMS lain.

d. D(Drug) artinyahindari penggunaan jarum suntik yang tidak steril dan

secara bergantian. Terutama bagi pengguna narkoba suntik.

e. E (Education) artinya pendidikan tentang informasi seputar HIV dan AIDS.


5. Manifestasi Klinis

Menurut World HealthOrganization (WHO) dan Centers for Disease Control

(CDC)(dalam Widoyono, 2011), manifestasi klinis HIV/AIDSpada penderita dewasa

berdasarkan stadium klinis yaitu :

a. Stadium Klinis I : pada skala I memperlihatkan kondisi asimtomatis, dimana

klien tetap melakukan aktivitas secara normal namun disertai

adanyalimfadenopati persistent generalisata.

b. Stadium Klinis II : pada skala II memperlihatkan kondisi simtomatis, dimana

klien tetap melakukan aktivitas normal namun disertai adanyapenurunan berat

badan tetapi < 10% dari berat badan sebelumnya,manifestasi mukokutaneus

minor (dermatitis seborhhoic, prurigo, infeksijamur pada kuku, ulserasi mukosa

oral berulang, cheilitis angularis), herpeszoster dalam 5 tahun terakhir dan ISPA

berulang.

c. Stadium Klinis III : pada skala III memperlihatkan adanya kelemahan,berbaring

di tempat tidur < 50% sehari dalam satu bulan terakhir disertaipenurunan berat

badan > 10%, diare kronis dengan penyebab tidak jelas > 1bulan, demam dengan

sebab yang tidak jelas (intermittent atau tetap) > 1bulan, kandidiasis oral, oral

hairy leukoplakia, TB Pulmoner dalam satutahun terakhir dan infeksi bacterial

berat (missal : pneumonia, piomiositis)

d. Stadium Klinis IV : pada skala IV memperlihatkan kondisi yang sangatlemah,

selalu berada di tempat tidur > 50% setiap hari dalam bulan-bulanterakhir disertai

HIV wastingsyndrome (sesuai yang ditetapkan CDC),pneumocystis carinii

pneumonia (PCP), ensefalitis toksoplasmosis, diarekarena cryptosporidiosis > 1

bulan, cryptococcosis ekstrapulmoner, infeksi virus sitomegalo, infeksi herpes

simpleks > 1 bulan, berbagai infeksi jamurberat (histoplasma,


coccidioidomycosis), kandidiasis esofagus, trachea ataubronkus, mikobakteriosis

atypical, salmonelosis non tifoid disertaiseptikemia, TB ekstrapulmoner, limfoma

maligna, sarkoma kaposis,ensefalopati HIV

6. Diagnosis Infeksi HIV

Untuk membantu menegakkan diagnosa infeksi HIV-AIDS harus

berdasarkanpemeriksaan laboratorium dan pembagian gejala klinis baik mayor

maupunminor. Dinyatakan positif mengidap HIV-AIDS apabila pemeriksaan test

HIVenzyme-linkedimmunosorbentassay (ELISA) dari 3 metode yang

berbedamenunjukkan hasil reaktif dan telah dikonfirmasi dengan pemeriksaan

Westernblot serta didapatkan dua gejala mayor dan satu gejala minor (Noviana

Nana, 2007).

Diagnosa HIV pada umumnya baru dapat ditegakkan pada stadium lanjut

danmerupakan masalah yang paling sering di bidang klinik. Untuk mengubah hal

iniperlu ditingkatkan kepedulian terhadap infeksi HIV, perluasan fasilitas

diagnosisserta diterapkannya Provider Initiative Treatment and Counseling

(PITC)(Irianto, 2014).

Beberapa pemeriksaan laboratorium yang umum digunakan dalam

menegakkaninfeksi HIV, yaitu :

1). ELISA

Merupakan pemeriksaan serologi standar/uji penapisan terhadap antibodi

HIV.Sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar 98,1-100%. Biasanya tes ini

memberikanhasil positif 2-3 bulan setelah infeksi.

2). Western blot


Merupakan tes konfirmasi/uji pemastian terhadap komponen protein

HIV.Spesifisitasnya tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaannya cukup

sulit,mahal dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.

3). Polymerase Chain Reaction(PCR)

Tes ini banyak digunakan pada bayi, karena tes ini dapat meminimalkan

kerjadari zat antimaternal yang dapat mengaburkan hasil pemeriksaan, seolah-

olahsudah ada infeksi pada bayi tersebut.

7. Teknik Pemeriksaan Laboraturium HIV

Infeksi HIV mempunyai masa asimtmatik yang panjang, oleh karena itu

pemeriksaan lab penting untuk menentukan adanya infeksi HIV. Bentuk

pemeriksaan lab HIV ada 4 macam, yaitu :

a. Pemeriksaan antibodi

b. Pemeriksaan kultur atau biakan

c. PCR-HIV RNA (viral load)

d. Antigen P24

Paling banyak tes yang digunakan adalah tes antibodi HIV. Hasil pemeriksaan

antibodi HIV antara lain :

a. Non reaktif (negatif)

b. Reaktif (positif)

c. Negatif palsu ( fals -)

Hasil negatif palsu dapat terjadi apabila :

1) Orang yang diperiksa dalam masa jendela

2) Serokonversi pada stadium lanjut

3) Agamaglobulinaemia

4) Kesalahan teknis pemeriksaan


d. Positif palsu (fals+)

Hasil positif palsu dapat terjadi apabila :

1) Autoantibodi

2) Antibodi dari ibu pada bayi yang baru lahir

3) Kesalahan pemeriksaan

Untuk tujuan diagnostik hasil tes dinyatakan positif apabila :

a. Pemeriksaan tes elisa / rapid tes 3x dengan kandungan reagen yang berbeda

memberi hasil (+)

b. Pemeriksaan tes elisa 1x dan konfirmasi dengan wester blot memberi hasil (+)

c. Pemeriksaan tes cepat dengan wester blot memberi hasil (+) (Kemkes R1, 2014)

8. Upaya Pencegahan dan Penanggulangan HIV AISD

Cara pencegahan penularan HIV yang paling efektif adalah dengan memutus

rantai penularan. Pencegahan dikaitkan dengan cara- cara penularan HIV. Infeksi

penulranan HIV AIDS merupakan suatu penyakit dengan perjalanan yang panjang

dan hingga saat ini belum ditemukan obat yang efektif, maka pencegahan dan

penularan menjadi sangat penting terutama melalui pendidikan kesehatan dan

peningkatan pengetahuan yang benar mengenai patofisiologis HIV dan cara

penularannya.

Penanggulangan merupak segala upaya dan kegiatan yang dilakukan, meliputi

kegatan pencegahan, penanganan dan rebilitasi. Seperti diketahui ,penyebaran virus

HIV melalui hubungan seks, jarum suntik yang tercemar, transfusi darah, penularan

dari ibu ke anak maupun donor darah atau donor organ tubuh.

a. Pencegahan penularan melalui hubungan seksual

Infeksi HIV terutama trjadi melalui hubungan seksual, sehingga pencegahan

AIDS perlu difokuskan pada hubungan seksual. Agar terhindar dari tertularnya
HIV dan AIDS seseorang harus berperilaku seksual yang aman dan bertanggung

jawab. Yaitu hanya mengadakan hubungan seksual dengan pasangan sendiri

(suami/ istri sendiri). Apabila salah seorang pasangan sudah terinfeksi HIV

amaka dalam melakukan hubungn seksual harus menggunakan kondom secara

benar. Melakukan tindakan seks yang aman dengan pendekaan “ABC”

(Abstinent, Be faithful, condom), yaitu tidak melakukan aktivitas seksual

(abstinent) merupakan metode paling aman untuk mencegah penularan HIV

melalui hubungan seksual, tidak berganti-ganti pasangan (be faithful), dan

penggunaan kondom (use condom).

b. Pencegahan penularan melalui darah

1) Transfusi darah

2) Alat suntik dan alat lain yang dapat melukai kulit

3) Pencegahan penularan dari ibu anak

B. Homoseksual

1. Definisi Homoseksual

Menurut Brook (1993) dalam Herlianto (1995) pada hakikatnya manusia

itu diciptakan Tuhan sebagai makhluk sempurna, sehingga mampu mencintai

dirinya (autoerotik), mencintai orang lain beda jenis (heteroseksual) namun juga

yang sejenis (homoseksual)bahkan dapat jatuh cinta pada makhluk lain ataupun

benda, sehingga kemungkinan terjadi perilaku menyimpang dalam perilaku

seksual.

Homoseksual mengacu pada interaksi seksual dan atau romantis antara

pribadi yang berjenis kelamin sama secara situasional atau berkelanjutan. Pada

penggunaan mutakhir, kata sifat homoseks digunakan untuk hubungan intim dan
atau hubungan sexual diantara orang-orang berjenis kelamin yang sama., yang

bisa jadi tidak mengidentifikasi diri merka sebagai gay. Homoseksualitas,

sebagai suatu pengenal, pada umumnya dibandingkan dengan heteroseksualitas

dan biseksualitas. Istilah gay adalah suatu istilah tertentu yang digunakan untuk

merujuk kepada pria homoseks (Noviana, 2014).

Salah satu bentuk penyimpangan seksual yang dikategorikan tidak wajar

adalah homoseksual. Homoseksual merupakan ketertarikan seksual berupa

disorientasi pasangan seksualnya. Disebut gay bila penderitanya laki-laki dan

lesbian untuk penderita perempuan. Ketertarikan seksual ini yang dimaksud

adalah orientasi seksual yaitu kecenderungan seseorang untuk melakukan

perilaku seksual dengan laki-laki atau perempuan.

Definisi homosekual sendiri adalah kelainan orientasi seksual yang

ditandai dengan timbulnya rasa suka terhadap orang lain yang mempunyai

kelamin sama. Istilah yang sudah umum dikenal dimasyarakat untuk orang yang

termasuk homoseksual adalah gay (untuk lelaki) dan lesbian (untuk wanita).

Selain itu ada pula banci laki laki yang mempunyai kecenderungan seperti

wanita dan tomboy yaitu wanita yang mempunyai kecenderungan seperti laki-

laki

2. Jenis-Jenis Homoseksual

Ada beberapa jenis homoseksual dimana dapat kita golongkan menjadi

beberapa jenis yang berbeda. Adapun beberapa jenis homosekual adalah

sebagai berikut :

a). Batant Homoseksual

Homoseksual jenis ini sama dengan kaum gay sejati, dimana laki-laki

dengan personalia seperti wanita atau feminim. Sedangkan kaum lesbian


wanitanya berkepribadian seperti laki-laki atau maskulin. Termasuk juga

“leatherboy” yang memakai jaket kulit, rantai dan sepatu boots.

b). Desperate Homoseksual

Biasanya kaum homosekual ini sudah menikah akan tetapi tetap

menjalani kehidupan homosekualnya dengan sembunyi dari istrinya.

c). Homoseksual Malu-Malu

Kaum lelaki yang suka mendatangi WC-WC umum atau tempat-tempat

mandi uap terdorong oleh hasrat homoseksual personal yang cukup intim

dengan orang lain untuk mempraktikan homoseksualitas.

4). Secret Homoseksual

Kaum homosekual ini terdiri dari bermacam jenis dan dari tingkat sosial

yang berbeda-beda, walaupun kebanyakan dari mereka itu termasuk

golongan menengah yang berkemampuan. Sering juga mereka itu ada yang

sudah menikah dan memiliki anak. Kaum homoseksual ini pandai

menyembunyikan identitas, sehingga tak seorangpun tahu bahwa mereka

homoseksual. Hanya beberapa teman dekatnya dan kekasihnya saja yang

tahu sebenarnya.

5). SituasionHomoseksual

Ada kalanya seseorang berada pada situasi sehingga individu itu

bertingkah laku seperti homoseks. Karena keadaan inilah yang

memaksa mereka berbuat demikian, misalnya seperti dalam penjara,

sekolah-sekolah yang berasrama dan institusi sejenisnya, setelah mereka

keluar tingkah laku mereka kembali menjadi normal, tetapi tak kurang
juga yang meneruskan pola homoseks itu, atau karena alasan ekonomi

misalnya mencari uang.

6). Biseksual

Individu yang “engage” dengan kehidupan homoseks dan heteroseks.

Biasanya kaum homoseksual ini adalah mereka yang sudah menikah

lama. Mereka sama-sama menikmati kedua kehidupan itu. Baik sebagai

homoseks atau heteroseks. Agak serupa juga dengan golongan desperate

homoseksual yang mereka lebih enjoy dan menikmati hidup mereka sebagai

homoseks secara diam-diam. Lebih simpel biseksual adalah orangorang

yang mempraktekkan baik homoseksualitas maupun heteroseksulitas

sekaligus

7). Adjusted Homoseksual

Golongan homoseksual ini lebih berterus terang hidup di antara sesama

mereka dengan mudah menyesuaikan dirinya. Banyak kaum homoseksual

yang hidup dalam tingkat keintiman yang tinggi dari pada

heteroseksual. Namun kadar “perceraian” antara pasangan homoseksual

lebih tinggi dibandingkan dengan heteroseksual. Sedangkan tingkat

keintiman lesbian lebih tinggi dibandingkan dengan gay, karena lesbian

lebih menggunakan emosi dalam menjalin hubungan (Herlianto, 1995).

3. Faktor Penyebab Homoseksual

Penyebab homoseksual ada beberapa hal seperti pendekatan biologi

menyatakan bahwa faktor genetik/ hormon mempengaruhi perkembangan

homoseksualitas. Psikoanalis lain menyatakan bahwa kondisi atau pengaruh ibu

yang dominan dan terlalu melindungi sedangkan ayah cenderung pasif.

Penyebab lain dari homoseksualitas seseorang yaitu karena faktor belajar.


Orientasi seksual seseorang dipelajari sebagai akibat adanya reward dan

punishment yang diterima. Beberapa peneliti yakin bahwa homoseksualitas

adalah akibat dari pengalaman masa kanak-kanak, khususnya interaksi antara

anak dan orangtua. Fakta yang ditemukan menunjukkan bahwa homoseksual

diakibatkan oleh pengaruh ibu yang dominan dan ayah yang pasif.

a. Kombinasi/ rangkaian tertentu didalam genetika (kromosom), otak, hormon,

dan susunan syaraf diperkirakan mempengaruhi terbentuknya homoseksual.

1) Susunan Kromosom

Perbedaan homoseksual dan heteroseksual dapat dilihat dari

susunan kromosomnya yang berbeda. Seorang wanita akan mendapatkan

satu kromosom x dari ibu dan satu kromosom x dari ayah. Sedangkan pria

mendapatkan satu kromosom x dari ibu dan satu kromosom y dari ayah.

Kromosom y adalah penentu seks pria.

Jika terdapat kromosom y, sebanyak apapun kromosom x, dia tetap

berkelamin pria. Seperti yang terjadi pada pria penderita sindrom

klinefelter yang memiliki tiga kromosom seks yaitu xxy. Dan hal ini dapat

terjadi pada 1 diantara 700 kelarihan bayi. Misalnya pada pria yang

mempunyai kromosom 48xxy. Orang tersebut tetap berjenis kelamin pria,

namun pada pria tersebut mengalami kelainan pada alat kelaminnya.

2) Ketidakseimbangan Hormon

Seorang pria memiliki hormon testoteron, tetapi juga mempunyai

hormon yang dimiliki oleh wanita yaitu estrogen dan progesteron.


Namun kadar hormon wanita ini sangat sedikit. Tetapi bila seorang pria

mempunyai kadar hormon estrogen dan progesteron yang cukup tinggi

pada tubuhnya, maka hal inilah yang menyebabkan perkembangan

seksual seorang pria mendekati karakteristik wanita.

3) Struktur Otak

Struktur otak pada straight females dan straigh males seta gay

males terdapat perbedaan. Otak bagian kiri dan kanan dari staright males

sangat jelas terpisah dengan membran yang cukup tebal dan tegas.

Straight females, otak antara bagian kiri dan kanan tidak begitu tegas dan

tebal. Dan pada gay males, struktur otaknya sama dengan straiht females,

serta gay females struktur otaknya sama dengan straight males, dan gay

females ini bisa disebut lesbian.

4) Kelainan Susunan Syaraf

Berdasarkan hasil penelitian terakhir, diketahui bahwa kelainan

susunan saraf otak dapat mempengaruhi perilaku seks heteroseksual

maupun homoseksual. Kelainan susunan syaraf otak ini disebabkan oleh

radang atau patah tulang dasar tengkorak.

Kaum homoseksual pada umumnya merasa lebih nyaman

menerima penjelasan bahwa faktor biologis yang mempengaruhi mereka

dibandingkan menerima bahwa faktor lingkungan yang mempengaruhi.

Dengan menerima bahwa faktor bilogis yang berperan dalam membentuk

homoseksual maka dapat dinyatakan bahwa kaum homoseksual memang


terlahir sebagai homoseksual dan bukannya memilih menjadi

homoseksual.

b. Lingkungan diperkirakan turut mempengaruhi terbentuknya homoseksual.

Faktor lingkungan yang diperkirakan dapat mempengaruhi terbentuknya

homoseksual terdiri atas berikut :

1) Budaya

Budaya dan adat istiadat yang berlaku dalam suatu kelompook

masyarakat ertentu sedikit banyak mempengaruhi pribadi masing-masing

orang dalam kelompok masyarakat tersebut. Maka demikian pula budaya

dan adat istiadat yang mengandung unsur homoseksualitas dapat

mempengaruhi seseorang. Mulai dari cara berinsteraksi dengan

lingkungan, nilai-nilai yang dianut, sikap, pandangan, maupun pola

pemikiran tertentu terutama berkaitan dengan orientasi, tindakan dan

identitas seksual seseorang.

2) Pola asuh

Cara mengasuh seorang anak juga dapat mempengaruhi terbentuknya

homoseksual. Sejak dini seorang anak telah dikenalkan pada identitas

mereka sebagai seorang pria atau perempuan. Dan pengenalan identitas

diri ini tidak hanya sebatas pada sebutan namun juga pada makna di balik

sebutan pria atau perempuan tersebut, meliputi :


a) Kriteria penampilan fisik, seperti pemakaian baju, panataan rambut,

perawatan tubuh yang sesuai.

b) Karakteristik fisik : perbedaan alat kelamin pria dan wanita; pria

pada umumnya memiliki kondisi fisik yang lebih kuat dibandingkan

dengan wanita, pria pada umumnya tertarik dengan kegiatan-

kegiatan yang mengandalkan tenaga atau otot kasar sementara

wanita pada umumnya lebih tertarik pada kegiatan-kegiatan yang

mengandalakan otot halus.

c) Karakteristik sifat : pria pada umumnya lebih menggunakan logika

atau pikiran sementara wanita pada umumnya senderung lebih

menggunakan perasaan atau emosi. Pria pada umunya lebih

menyukai kegiatan-kegiatan yang membangkitkan adrenalin,

menuntut kekuatan dan kecepatan. Sementara wanita lebih

menyukai kegiatan-kegiatan yang bersifat halus, menuntut

kesabaran dan ketelitian.

d) Karakteristik tuntutan dan harapan

Untuk masyarakat yang menganut islam paternalistik maka

tuntutan bagi para pria adalah untuk menjadi kepala keluarga dan

bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluarganya. Dengan

demikian pria dituntut untuk menjadi figur yang kuat, tegar, tegas,

berani dan siap melindungi yang lebih lemah (seperti istri, dan anak-

anak). Sementara untuk masyarakat

yang menganut sistem maternalistik maka berlaku sebaliknya bahwa

wanita dituntut untuk menjadi kepala keluarga.


Jika dilihat secara universal, sistem yang diakui universal

adalah sistem paternalistik. Namun, baik paternalistik maupun

maternalistik, setiap orang tetap dapat berlaku sebagai pria ataupun

wanita sepenuhnya. Yang membedakan pada kepala keluarga. Pria

dalam paternalistik dan wanita dalam maternalistik adalah

pendekatan yang digunakan dalam memenuhi tanggung jawab

mereka sebagai kepala keluarga.

3) Figur orang yang berjenis kelamin sama dan relasinya dengan lawan jenis

Dalam proses pembentukan identitas seksual, seorang anak

pertama-tama akan melihat pada orangtua mereka sendiri yang berjenis

kelamin sama dengannya. Anak laki-laki melihat pada ayahnya, dan anak

perempuan melihat pada ibunya. Dan kemudian mereka juga melihat

pada teman bermain yang berjenis kelamin sama dengannya.

Homoseksual berbentuk ketika anak-anak ini gagal mengidentifikasi dan

mengasimilasi apa, siapa, dan bagaimana, menjadi dan menjalani peranan

sesuai dengan identitas seksual mereka berdasarkan nilai-nilai universal

pria dan wanita.

Kegagalan mengidentifikasi dan mengasimilasi identitas seksual

ini dapat dikarenakan figur yang dilihat dan menjadi contoh untuknya

tidak memerankan peranan identitas seksual mereka sesuai dengan nilai-

nilai universal yang berlaku. Seperti ibu yang terlalu mendominasi dan

ayah yang tidak memiliki ikatan emosional dengan anak-anaknya, ayah

tampil bagai figur yang lemah, tak berdaya, atau orangtua yang
homoseksual. Namun, tidak semua anak yang dihadapkan pada situasi

demikian akan terbentuk sebagai homoseksual karena masih ada faktor

lain yang juga dapat mempengaruhi.

Dr n littner, ahli psikoanaliis dari program Child Therapy,

Chicago, mengatakan bahwa ibu seorang homoseksual sikapnya keras,

agresif, kelaki-lakian, atau kekanakan dan tidak efektif, serta sering tidak

stabil. Dia gagal dalam menciptakan rasa aman, membina hubungan

dekat, menumbuhkan keberanian pada anak-anaknya. Ayah seorang

homoseksual sering kali absen secara fisik atau jauh secara emosional.

Sering didominasi istrinya karena pasif dan lemah. Hubungan antara

kedua orangtua tidak dekat, sering kali disertai rasa benci, dimana istri

merendahkan suaminya yang lemah dan tidak efektif.

Dalam suasana demikian, anak perempuan maupun anak laki-laki

menjadi bingung dan kehilangan model jenisnya sendiri yang diterima

masyarakatnya. Anak perempuan kehilangan identitas femininnya dan

tumbuh menjadi kelaki-lakiannya dia juga jadi berminat secara seksual

pada perempuan, jenisnya sendiri (lesbian). Sedangkan anak laki-laki

tidak mendapat identitas maskulin, sukar mengadakan hubungan yang

dekat dengan perempuan dan sukar menumbuhkan rasa cinta pada

perempuan. Mereka takut melakukan itu dan merasa lebih nyaman

mendekati laki-laki. Keadaan ini mudah membuat dia menjadi

homoseksual (gay).

4) Kekerasan seksual
Kekerasan seksual yang dilakuan oleh orang-orang tidak

bertanggung jawab terhadap orang lain yang berjenis kelamin sama

adalah salah satu faktor yang mempengaruhi terbentuknya homoseksual.

Pada dasarnya semua orang yang melakukan hubungan seksual terhadap

orang lain tanpa adanya persetujuan dari orang tersebut sudah termasuk

kedalam kategori melakukan kekerasan seksual.

Seperti apa bentuk kekerasan seksual yang dilakukan sangat

bervariasi. Mulai dari memegang alat kelamin sesama jenis, menginjak-

injak, memaksa untuk melakukan sesuatu hal terhadap alat kelaminnya

sendiri maupun alat kelamin si pelaku, hingga menggunakan alat-alat

tertentu sebagai media dalam melakukan kekerasan seksual. Korban

kekerasan seksual yang akhirnya menjadi homoseksual pada umumnya

mereka merasakan sakit, juga mungkin merasakan jijik, kecewa dan

marah. Namun, mereka juga teringat akan sensasi yang dirasakan ketika

kejadian tersebut terjadi dan timbulah hasrat dalam diri mereka untuk

merasakan kembali sensasi tersebut. Dorongan inilah yang membuat

mereka mencoba-coba dan akhirnya merasakan kenyamanan hingga

terbentuk menjadi homoseksual.

4. Bahaya Homoseksual Secara Medis

Ada beberapa bahaya yang dapat timbul akibat perilaku homoseksual dan

beberapa bahaya dibawah ini hanya sedikit dari sekian banyak bahaya yang

dapat ditimbulkan karena perilaku seksual menyimpang, antara lain :

a. AIDS.
Pelaku homoseksual sangat rentan terhadap penyakit mematikan yang

belum ada obatnya. Menurut survei yang dilakukan oleh lembaga di

Amerika Serikat, centers for dieses control and prevention pada tahun

2000 dinyatakan bahwa mayoritas penderita penyakit AIDS adalah

mereka yang memiliki orientasi seks secara homoseksual. Mereka

tinggal secara bergerombol di San Fransisco yang terkenal sebagai

ibukota homoseksual. Hal ini menyebabkan penyebaran AIDS secara

meluas di kawasan Amerika Serikat.

b. Kanker Lubang Anus.

Banyak sekali terjadi kasus kanker pada lubang anus disebabkan

penyimpangan seksual, baik yang dilakukan homoseksual maupun seks

anal. Hal ini biasanya disebabkan karena lubricants (cairan pelicin) pada

anus yang dalam jangka waktu tertentu akan mengakibatkan kanker.

c. Sifilis.

Penyakit ini hanya menjangkit orang yang melakukan hubungan seks

menyimpang, indikasi fisik penyakit ini ialah munculnya luka bernanah

disekitar kemaluan, sementara itu indikasi bagian dalam tubuh

dengan infeksi pada liver dan lain-lain.

d. Gonore (Kencing Nanah)

Penyakit ini mengakibatkan infeksi pada kelamin yaitu berupa luka

bernanah yang bercampur darah berbau busuk.

e. Herpes.

Penyakit ini telah menimbulkan ketakutan yang luar biasa dikalangan

orang-orang yang tenggelam dalam perilaku seks yang diharamkan

5. Pola Aktivitas Seksual Berisiko pada Komunitas Homoseksua


Kaum homoseksual banyak yang ditemukan mengidap penyakit menular

seksual bahkan terinfeksi HIV. Hal ini disebabkan oleh karena keterlibatan

mereka dalam berbagai aktivitas seksual yang sering berganti-ganti pasangan seks

dan sangat berisiko.

Herlianto (1995), melaporkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara

faktor perilaku seksual berisiko dengan kejadian HIV pada kaum homoseksual

(β=43,p=0.000). Faktor perilaku seks tersebut berupa oral seks dan anal seks

tanpa pengaman. Semakin sering praktik homoseksual tanpa pengaman, akan

semakin tinggi risiko terinfeksi HIV. Sebagian besar dari kontak seksual tersebut

sudah tidak memperdulikan norma-norma yang mengaturkegiatan seksual yang

aman.

Beberapa pola aktivitas seksual berisiko pada homoseksual (Sherly,

2013), yaitu:

1. Anal Erotism Tanpa Pelindung;

Intercourse seksual/ sanggama melalui anus dianggap sebagai praktik seks

paling berisiko. Kurangnya pelumasan pada jenis hubungan seks anal

(melalui dubur) dapat menyebabkan lecet pada penis dan mukosa dubur,

sehingga mudah menularkan virus. Alasan melakukan seks anal yakni

untuk mencari hal yang baru dalam berhubungan seks, fantasi dan

kenikmatan.

2. Oral Erotismdengan Ejakulasi dan Tanpa Pelindung;

Kontak seksual antara mulut dengan penis juga bisa menularkan infeksi

HIV. Apabila ada lesi di mulut atau luka di penis akibat penyakit kelamin,

bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah.

3. Saling Bertukar Alat Bantu Seks;


Meski HIV tidak bisa bertahan lama hidup di luar tubuh manusia, risiko

penularan melalui vibrator atau jenis alat bantu seks lainnya tetap ada.

Risiko abrasi atau pengikisan pada dinding anus bisa menjadi jalan masuk

HIV.

4. Seks Oral-Anal/Rimming;

Seks oral-anal atau rimming adalah tipe kontak seksual yang sering

dilakukan oleh kaum homoseksual dengan menggunakan bibir dan lidah

untuk menjilat anus pasangan seksnya saat berhubungan seks. Alasan

mereka melakukan seks oral-anal untuk memperoleh variasi dan

kenikmatan. Praktik dari tipe kontak seksual ini berdampak pada infeksi

parasit usus.

5. Bergantian Memasukan Jari Pada Anus;

Dalam hal peningkatan risiko menularkan HIV, perilaku ini sama

bahayanya dengan saling bertukar alat bantu seks. Risiko terjadi lesi pada

mukosa anus dapat menjadi jalan masuk HIV ke aliran darah.

6. InterfemoralCoitus;

Memanipulasi penis dan zakar diantara kedua paha atau alat kemaluan

pasangannya. Gesekan yang terjadi saat berhubungan seks bisa

menyebabkan luka pada kemaluan atau bagian organ tubuh yang

menggunakan percing atau tindik dan menjadi jalan masuk HIV.

C. Determinan Kejadian Infeksi HIV pada Komunitas Homoseksual

1. Umur

Umur adalah variabel yang selalu diperhatikan di dalam penyelidikan-

penyelidikan epidemiologi. Angka-angka kesakitan maupun kematian hampir


semua keadaan menunjukkan hubungan dengan umur. Pada saat ini banyak

dikenal penyakit tertentu yang hanya menyerang golongan umur tertentu saja

(Notoatmodjo, 2014).

Distribusi golongan umur penderita di Amerika Serikat, Eropa, Afrika

dan Asia tidak berbeda jauh. Kelompok terbesar adalah golongan umur 30-39

tahun, disusul dengan golongan umur 40-49 tahun dan 20-29 tahun. Mereka ini

termasuk kelompok umur yang memang aktif seksual (Irinto, 2014).

Di Indonesia diprediksi pada tahun 2014, kasus HIV/ AIDS terbanyak

ditemukan pada umur produktif, yaitu 15-29 tahun. Padahal, pengurangan kasus

HIV/ AIDS merupakan salah satu target MDGs (Kementerian Pemberdayaan

Perempuan dan Perlindungan Anak, 2009). Sementara menurut data triwulan

kemenkes RI tentang prporsi kumulatif kasus AIDS di Indonesia berdasarkan

kelompok umur sampai dengan Maret 2009 yang dipublikasikan oleh KPA

(2010), nampak bahwa rentang kelompok umur tertinggi yang teridentifkasi HIV/

AIDS adalah umur 20-29 tahun, kedua pada kelompok umur 30-39 tahun.

Kategori usia dari teori diatas dapat disimpulkan yaitu :

a. Usia Tua yaitu usia 30 sampai dengan 49 tahun

b. Usia muda yaitu usia 15 – 29 tahun

2. Pendidikan

Menurut Notoatmodjo (2014), pendidikan secara umum adalah segala

upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain baik individu,

kelompok atau masyarakat sehingga mereka melakukan apa yang diharapkan

pelaku pendidikan. Dari batasan ini tersirat unsur-unsur pendidikan yaitu ;

a. Input : sasaran pendidikan (individu, kelompok, dan masyarakat) dan

pendidik (pelaku pendidikan)


b. Proses : suatu upaya yang direncanakan untuk mempengaruhi orang lain.

c. Output : melakukan apa yang diharapkan atau perilaku (Notoatmodjo, 2014).

Tingkat pendidikan yang dimaksudkan adalah jenjang pendidikan formal

dan non formal yang pernah dialami seseorang, yaitu dimulai dari sekolah TK,

SD, SMP, SMU, Perguruan tinggi (diploma, Strata satu (s1), S2, S3 dan

mengikuti kursus (pelatihan).

Esensi pendidikan yang ditekankan di sini adalah pendidikan kesehatan.

Yang dimaksudkan dengan pendidikan kesehatan adalah aplikasi pendidikan

dalam bidang kesehatan. Hasil (output) yang diharapkan dari suatu pendidikan

kesehatan disini adalah perilaku kesehatan, atau perilaku untuk memelihara dan

meningkatkan kesehatan yang kondusif (Notoatmodjo, 2014).

Kategori pendidikan yaitu :

a. Pendidikan tinggi : S3, S2, Diploma, SMA

b. Pendidikan rendah : SMA, SLTP, SD, kurang (Notoatmodjo, 2014)

3. Pekerjaan

Pekerjaan berasal dari kata dasar kerja yang dimaksud dengan kerja adalah

perbuatan melakukan sesuatu pekerjaan. Sesuatu yang dilakukan untuk mencari

nafkah (BPSS, 2011). Sedangkan, pekerja adalah setiap orang yang bekerja

dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain (Departemen Tenaga

Kerja dan Transmigrasi RI, 2005). Berarti, pekerjaan adalah suatu tindakan atau

kegiatan yang dilakukan seseorang untuk mencapai tujuan tertentu ( misalnya

mendapat gaji, pujian dan pengakuan).

Status ekonomi seseorang menentukan kemampuannya untuk menarik

pasangan seksual, namun demikian juga meningkatkan kemampuan


mendapatkan akses pengobatan dan kemampuan untuk melindungi diri dari

infeksi HIV (Noviana Nana, 2016).

Mengingat cara penularan HIV, maka kelompok masyarakat yang

mempunyai perilaku risiko tinggi tertular HIV adalah kelompok masyarakat

yang melakukan promiskuitas atau mereka yang sering berganti-ganti pasangan

seks, misalnya PSK (pekerja seks komersil) dan pelanggannya, homoseksual/

biseksual, waria, pekerja dipanti pijat , klub malam, diskotik, penerima transfusi

darah atau produk darah berulang dan anak yang lahir dari ibu pengidap HIV

(Irianto, 2014).

Kasus HIV/ AIDS dalam kaitannya dengan pekerja, maka terdapat istilah

“pekerja dengan HIV/ AIDS” dapat diartikan sebagai pekerja atau buruh yang

terinfeksi HIV atau mempunyai gejala AIDS (Departemen Tenaga Kerja dan

Transmigrasi, 2005).

Sehingga status pekerjaan pada komunitas homoseksual dapat

dikategorikan menjadi :

a. Kerja adalah tenaga kerja seperti PNS, TNI, POLRI, swasta, karyawan dan

lain-lain

b. Tidak kerja adalah seorang ibu rumah tangga atau pengangguran

4. Status Perkawinan

Status perkawinan adalah status sipil individu dalam hubungannya dengan

hukum pernikahan atau kebiasaans suatu negara, seprti tidak pernah

menikah,menikah, janda atau duda atau tidak menikah, menikah tapi secara

hukum berpisah, berserikat de facto ( organisational and tecnical aspects united

nation studies in metode). Status kawin dapat juga dibedakan menjadi belum

kawin, kawin, cerai hidup, cerai mati. Kawin adalah status dari mereka yang
terikat dalam perkawinan pada saat pencacahan, baik yang tinggal bersama

maupun terpisah. Dalam hal ini tidak saja mereka yang kawin sah, secara

hukum (adat, agama,negara, dan sebagainya), tetapi juga mereka yang hidup

terpisah sebagai suami istri karena bercerai dan belum kawin lagi. cerai (Data

Statistik Indonesia, 2011).

Bagi mereka yang sudah menikah memiliki ketergantungan secara

biologis dan psikologis untuk melakukan aktivitas seksual secara rutin sehingga

menyebabkan bagi yang memiliki pasangan menikah (status kawin) dapat

memenuhi biologis seksual pada pasangannya, dibandingkan pada mereka yang

tidak memiliki pasangan hidup. Bagi mereka yang tidak memiliki pasangan

hidup akan lebih berisiko terjadi penularan HIV atau IMS lainnya dikarenakan

kecenderungan berganti-ganti pasangan (Irianto,2014)

Berdasakan teori diatas status perkawinan dapat diketegorikan menjadi :

a. Kawin adalah status perkawinan yang diakui negara, adat dan agama.

b. Tidak kawin adalah status perkawinan yang belum kawin, carai hidup, dan

cerai mati.

5. Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu seseorang

terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga dan

sebagainya). Pengetahuan pada tingkat kognitif tertentu (tahu, paham, aplikasi,

analisis, sintesis, evaluasi) merupakan faktor yang sangat penting untuk

terbentuknya tindakan seseorang, sebab dari pengetahuan dan penelitian

ternyata perilaku yang disadari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada

perilaku yang tidak disadari oleh pengetahuan (Notoadmodjo, 2014).


Pengetahuan adalah hasil pengindraan manusia, atau hasil tahu seseoang

terhadap obyek melalui indra yang dimiliknya (mata, hidung, telinga dan

sebagainya) (Notoatmodjo,2014). Pengetahuan pada tingkat kognitif tertentu (

C1 = tahu, C2 = paham, C3 = aplikasi, C4 = analisis, C5 = sintesis, dan

C6=evaluasi) merupakan faktor yang sangat penting untuk terbentuknya

tindakan seseorang , sebab dari pengetahuan dan penelitian ternyata perilaku

yang disadari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang

tida disadari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2014). Khusus pada homoseksual,

pengetahuan yang benar terhadap HIV/ AIDS sangat membantu untuk

mengubah perilaku homoseksual (Kemkes RI, 2011).

Pengetahuan mengenai perilaku kesehatan terkait HIV akan memberikan

arah pemahaman tentang proteksi diri dan peningkaan kesehatan (Kemkes RI,

2011). Perawat sebagai lini terdepan pelayanan kesehatan yang berhadapan

langsung dengan komunitas homoseksual, memegang peranan penting dalam

melakuka pendidikan dan konseling guna meningkatkan dan mempertahankan

status kesehatan komunitas homoseksual. Peran perawat ketika bertindak

sebagai konselor dapat membantu klien dalam mengidentifikasi masalah dan

mencari solusi. Konselor dapat memfasilitasi tindakan komunitas homoseksual

dan tidak menyarankan apa yang dilakukan oleh komunitas homoseksual, tetapi

membantu untuk meningkatkan kesehatannya (Kemkes RI, 2011).

6. Umur Pertama Kali Berhubungan Seks

Hubungan seksual yang dilakukan pada usia dini merupakan salah satu

penyumbang epidemi HIV. Seperti yangdilaporkan oleh Pettifor, O‟Brien,

Mac,Phail, Miller dan Rees (2009) di Afrika Selatan, menunjukkan bahwa 50%
responden perempuan dan 47%laki-laki berusia usia 15-19 tahun sudah

melakukan hubungan seks.

Umur pertama kali melakukan hubungan seksual penting dalam epidemi

HIV karena berkorelasi dengan jumlah pasangan seks selama hidupnya (Dachia,

2000). Umumnya seseorang mulai aktif secara seksual sejak remaja , kemudian

berangsur-angsur aktivitas seksual meningkat sampai umur 30 tahun, lalu

menurun setelah umur 30 tahun (dachlia, 2000). Semakin muda seseorang

melakukan hubungan seks, maka semakin banyak pula peluang ia melakukan

hubungan seks dengan banyak pasangan, sehingga hal ini menjadi bagian penting

bagi transmisi HIV (Dachlia, 2000)

7. Jumlah Pasangan Seks Anal

Jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks menjadi faktor risiko yang

besar untuk terjadinya infeksi HIV baik pada homoseksual maupun

heteroseksual. Semakin banyak jumlah pasangan seks, semakin besar pula

kemungkinan salah satu dari pasangan tersebut positif HIV.

8. Penggunaan Kondom

Kondom merupakan sarung karet yang dapat terbuat dari berbagai bahan

diantaranya lateks (karet), plastik (vinil) atau bahan alami (produksi hewan)

yang dipasang pada penis saat berhubungan seksual. Kondom terbuat dari karet

sintesis yang tipis berbentuk silinder, dengan muaranya berpinggir tebal yang

bila digulung berbentuk rata atau mempunyai bentuk seperti putting susu

(Sanita, 2008).
9. Penggunaan Narkoba Suntik (Napza)

Pengguna narkoba suntik merupakan salah satu faktor dari tingginya

kejadian HIV. Kasus baru infeksi HIV terus meningkat pada para pengguna

narkoba suntik (Sanita, 2008).

10. Riwayat Mengalami Gejala IMS

Infeksi Menular Seksual (IMS) ditularkan melalui hubugan seksual

(vaginal, anal dan oral). IMS biasanya terjadi melalui permukaan membran

mukosa jalur genital dan rectum lelaki dan perempuan. IMS akan meningkatkan

jumlah T4 atau sel CD4 (yang merupakan target bagi HIV) (Irianto, 2014) .

Pendekatan dalam diagnosis IMS perlu dilakukan untuk menentukan

etiologi (penyebab), klinis dan sindrom. Pada umumnya petugas pelayanan

kesehatan akan menggunkan dua cara pendekatan untuk mendiagnosis IMS

yaitu dengan cara :

a. diagnosis etiologi (menentukan penyebab) menggunakan pemeriksaan

laboraturium dalam menentukan penyebab penyakitnya.

b. Diagnosa klinis ( menentukan pengenalan gejala klinis) untuk meneliti

gejala dan keluhan yang terjadi yang dianggap spesifikuntuk IMS sesuai

dengan yang dirasakan oleh penderita dan dilihat oleh petugas kesehatan.

Diagnosis dan penatalaksaan kasus IMS dilakukan dengan menggunakan bagan

alur. Informasi yang diperoleh dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisis serta hasil

pemeriksaan laboraturium akan menjadi penuntun dalam penegakan diagnosis

IMS yang tepat (Kemkes RI, 2011).

Ada 9 (sembilan) bagan alur diagnosis IMS dengan pendekatan sindrom

yaitu :

1. Duh tubuh Urethra


Keluhan pada seorang laki-laki dengan keluarnya cairan abnormal dari

penisnya dan atau nyeri pada saat kencing.

2. Duh tubuh vagina

Keluarnya cairan pada vagina yang menimbulkan rasa gatal atau rasa tidak

nyaman.

3. Ulkus genetalia

Terdapat keluhan merasakan adanya luka pada alat genetalia.

4. Penyakit radang panggul

Adanya keluhan nyeri perut bagian bawah disertai duh tubuh vagina.

5. Pembengkakkan skrotum.

Penderita yang mengeluh bengkak atau nyeri pada skrotum.

6. Bubo inguinal

Pembengkakkan kelenjar getah bening di daerah lipat paha yang terasa nyeri

dan pada palpasi sering berfluktuasi.

7. Konjungtivitis neonatorum

Pembengkakkan mata dan terdapat pus (nanah) pada bayi yang berusia 1

bulan.

8. Vegetasi genital

Kutil kelamin atau suatu tonjolan mukosa dengan permukaan yang runcing

dan berwarna seperti warna kulit.

9. Duh tubuh anus

Terdapat keluhan rasa ingin buang air besar yang timbul terus menerus atau

berulang kali, keluhan lain nyeri daerah anorektum atau rasa tidak nyaman,

perdarahan dari anus dan konstipasi.

11. LayananVoluntary Counselling and Testing (VCT)


Layanan VCT atau Layanan Tes dan Konseling HIV (TKHIV) adalah

suatu layanan untuk mengetahui adanya infeksi HIV ditubuh seseorang.

Layanan ini dapat diselenggarakan dilayanan kesehatan formal atau klinik yang

berbasis komunitas. TKHIV didahului dengan dialog antara klien/pasien dan

konselor/petugas kesehatan dengan tujuan memberikan informasi tentang

HIV/AIDS dan meningkatkan kemampuan pengambilan keputusan berkaitan

dengan tes HIV (Kemenkes RI, 2013).

D. Kerangka Teori

HIV masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai cara yaitu secara

vertikal, horizontal dan transeksual. HIV masuk ke dalam tubuh dengan target

sasaran adalah limfosit, untuk menurunkan sistem kekebalan tubuh.Risiko penularan

HIV dipengaruhi oleh karakteristik individu seperti umur karena kelompok umur

produktif (25-44 tahun) merupakan kelompok seks aktif sehingga berisiko terjadinya

penularan. Faktor lain adalah penularan secara parenteral dan riwayat penyakitIMS

yang pernah diderita sebelumnya.Perilaku seksual yang berisiko merupakan faktor

utama yang berkaitan dengan penularan HIV.

Determinan infeksi HIV pada komunitas homoseksual dengan modifikasi teori

yang dianggap paling cocok yaitu modifikasi teori konsep penularan penyakit menular

dalam buku Herlianto (1995) , Irianto (2014) dan Novaian (2016) sebagai berikut :
Layanan kesehatan Riwayat Gejala IMS

1. Layanan VCT
2. Layanan IMS
3. Penyuluhan
Kesehatan

Karakteristik responden
1. Umur Responden Infeksi Status HIV
Kerentanan
2. Pendidikan
AIDS
3. Pekerjaan
4. Status Perkawinan `
5. Pengetahuan
6. Umur pertama kali
melakukan hubungan

Perilaku Berisiko
1. Perilaku seksual (anal, oral)
2. NAPZA
3. Berganti-ganti pasangan
4. Penggunaan kondom
5. Jumlah pasangan seks

Faktor Risiko HIV Mekanisme HIV

Sumber : Herlianto (1995), Irianto (2014), dan Noviana (2016)

Gambar 2.4
Kerangka Teori yang Menggambarkan
Determinan Kejadian Infeksi HIV pada Komunitas Homoseksual
E. Kerangka Konsep

Padapenelitian ini tidak semua faktor risiko yang berpengaruh terhadap

kejadian infeksi HIV pada komunitas homoseksual diteliti. Faktor yang diteliti

adalah umur pertama kali melakukan hubungan seks, jumlah pasangan seks anal,

penggunaan kondom, penggunaan narkoba suntik, riwayat gejala IMS dan layanan

VCT.

Variabel-variabel tersebut diteliti dengan maksud untuk melihat adanya

determinan kejadian infeksi HIV pada komunitas homoseksual di Kota Cirebon.

Keterwakilan beberapa variabel yang akan diteliti merupakan variabel yang bisa

diterima oleh responden ketika diajak berkomunikasi oleh peneliti.

Berbeda dengan variabel lain seperti perilaku seksual (anal dan oral seks),

berganti-ganti pasangan seks dan layanan IMS yang tidak diteliti. Hal yang menjadi

kekhawatiran dari peneliti adalah tidak adanya keterbukaan dari responden tentang

beberapa variabel tersebut, karena menyangkut dengan masalah pribadi responden

sehingga sukar mendapatkan data yang akurat.

1. Pekerjaan
2. Pengetahuan
3. Status perkawinan Status
4. Umur pertama kali seks HIV
5. Frekuensi penggunaan AIDS
kondom
6. Riwayat mengalami gejala
IMS

Gambar 2.5
Kerangka Konsep
F. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep diatas maka peneliti dapat menetapkan hipotesis

penelitian sebagai berikut :

a. Ada hubungan antara pekerjaan dengan kerentanan kejadian infeksi HIV pada

komunitas homoseksual di Kota Bandar Lampung Tahun 2018.

b. Ada hubungan antara status perkawinan dengan kerentanan kejadian infeksi HIV

pada komunitas homoseksual di Kota Bandar Lampung Tahun 2018.

c. Ada hubungan antara pengetahuan dengan kerentanan kejadian infeksi HIV pada

komunitas homoseksual di Kota Bandar Lampung Tahun 2018.

d. Ada hubungan antara umur pertama kali seks dengan kerentanan kejadian infeksi

HIV pada komunitas homoseksual di Kota Bandar Lampung Tahun 2018.

e. Ada hubungan antara penggunaan kondom dengan kerentanan kejadian infeksi HIV

pada komunitas homoseksual di Kota Bandar Lampung Tahun 2018.

f. Ada hubungan antara riwayat mengalami gejala IMS dengan kerentanan kejadian

infeksi HIV pada komunitas homoseksual di Kota Bandar Lampung Tahun 2018.

Anda mungkin juga menyukai