Anda di halaman 1dari 38

TUGAS MATA AJAR KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT PADA SISTEM


KARDIOVASKULAR

ARITMIA, DEFIBRILASI, KARDIOVERSI DAN OBAT


KARDIOVASKULAR

Dosen Pembimbing:
Harmayetty S.Kp., M.Kes

Disusun oleh:
SGD 7 Kelas A1-2016
1. Yenni Nistyasari 131611133035
2. Annisa Fiqih Ilmafiani 131611133045
3. Septin Srimentari L D 131611133046
4. Neisya Nabila Pawestri 131611133058
5. Blandina Easter G W 131611133062
6. Ema Yuliani 131611133077
7. Faizatul Ummah 131611133097
8. Nabiela Audina 131611133102
9. Adji Yudho Pangaksomo 131611133133

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur hadirat Allah SWT. atas limpahan karunia, rahmat, dan hidayah-
Nya makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Gawat Darurat pada Sistem
Kardiovaskular: Aritmia, Defibrilasi, Kardioversi dan Obat Kardiovaskular” ini
dapat terselesaikan dengan baik. Tidak lupa disampaikan terima kasih atas bantuan
Dosen Pembimbing Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat, ibu Harmayetty
S.Kp., M.Kes, yang telah memberikan bimbingan dengan baik secara materi
ataupun lisan.

Harapan untuk kedepannya, semoga makalah ini dapat memberikan


kontribusi, pengalaman, dan ilmu yang lebih bagi pembaca tentang “Asuhan
Keperawatan Gawat Darurat pada Sistem Kardiovaskular: Aritmia, Defibrilasi,
Kardioversi dan Obat Kardiovaskular”.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam makalah ini.


Kritik dan saran yang membangun dari pembaca diharapkan mampu mengevaluasi
lebih lanjut demi kesempurnaan makalah ini, sehingga dapat meningkatkan usaha
dalam mendapatkan hasil yang lebih baik lagi.

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .......................................................................................... i
DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii
BAB 1 PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar belakang .......................................................................................... 1
1.2 Tujuan ...................................................................................................... 2
1.2.1 Tujuan Umum .................................................................................. 2
1.2.2 Tujuan Khusus.................................................................................. 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 3
2.1 Aritmia ..................................................................................................... 3
2.1.1 Definisi ............................................................................................. 3
2.1.2 Etiologi ............................................................................................. 3
2.2 Defibrilasi dan Kardioversi ...................................................................... 4
2.2.1 Defibrilasi ......................................................................................... 4
2.2.2 Kardioversi ....................................................................................... 13
2.3 Lethal Aritmia .......................................................................................... 16
2.3.1 Ventricular Tachycardia (VT) ......................................................... 16
2.3.2 Ventricular Fibrilation (VF) ............................................................. 22
2.3.3 Pulseless Electrical Activity (PEA).................................................. 26
2.3.4 Asistol............................................................................................... 32
BAB 3 PENUTUP ................................................................................................ 34
3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 34
3.2 Saran ........................................................................................................ 34
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 35

ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gangguan kardiovaskuler menduduki presentase tertinggi dari kematian
mendadak karena penyakit. Aritmia merupakan salah satu gangguan
kardiovaskuler yang merujuk pada gangguan irama jantung. Angka kejadian
aritmia akan meningkat seiring bertambahnya usia. Selain itu perilaku hidup
yang tidak sehat seperti merokok dapat meningkatkan kejadian aritmia. Salah
satu tinggi angka mortalitas aritmia yaitu kesiapan dalam penanganan
kegawatdarutan kejadian aritmia yang mendadak.
Fibrilasi atrium (FA) merupakan aritmia yang paling sering ditemui dalam
praktik sehari-hari. Prevalensi FA mencapai 1-2% dan akan terus meningkat
dalam 50 tahun mendatang. Framingham Heart Study yang merupakan suatu
studi kohor pada tahun 1948 dengan melibatkan 5209 subjek penelitian sehat
(tidak menderita penyakit kardiovaskular) menunjukkan bahwa dalam periode
20 tahun, angka kejadian FA adalah 2,1% pada laki-laki dan 1,7% pada
perempuan (Wolf PA, 1996 dalam Perhimpunan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia, 2014) Selain itu, karena terjadi peningkatan
signifikan persentase populasi usia lanjut di Indonesia yaitu 7,74% (pada tahun
2000-2005) menjadi 28,68% (estimasi WHO tahun 2045-2050), maka angka
kejadian FA juga akan meningkat secara signifikan. Sebanyak 87% dari data
Pasien Penyakit Jantung Koroner di Indonesia di laporkan meninggal mendadak
karena menderita aritmia dan 1 dari 6 penderita stroke adalah disebabkan oleh
aritmia (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017)
Kematian pada serangan mendadak kejadian aritmia terjadi akibat
keterlambatan penanganan dan pelayanan kesehatan. Pasien aritmia dengan
serangan mendadak perlu mobilisasi dengan segera ke fasilitas kesehatan untuk
mendapatkan penanganan tepat. Keadaan yang menghambat seperti jarak ke
fasilitas kesehatan dan tidak adanya bantuan dalam transportasi. Beberapa
kendala pelayanan aritmia di Indonesia antara lain sumber daya manusia,
kelemahan diagnosis di tingkat primer dan sekunder, Kepedulian pemangku
kepentingan masih rendah, dan pembayaran BPJS tidak memadai

1
(Yuniadi,2017). Tenaga kesehatan yang terbatas dalam pengembangan ilmu
mengenai permasalahan kardiovaskuler dan pembuluh darah sehingga
mengakibatkan pertolongan terlambat. Kesalahan dalam diagnosis penentu
masalah kardiovaskuler berakibat fatal pada pasien dan bahkan mengakibatkan
kematian. Alat yang memadai di fasilitas kesehatan sehingga tidak dapat
mendapatkan tindakan yang seharusnya. Ekonomi merupakan faktor yang
mengakibatkan terhambatnya penanganan pada pasien aritmia.
Tingginya angka kejadian penyakit kardiovaskuler sehingga memerlukan
tindakan keperawatan yang tepat untuk menghindari komplikasi dan kematian.
Berdasarkan hal tersebut, kelompok kami menetapkan judul “Asuhan
Keperawatan Gawat Darurat pada Sistem Kardiovaskular: Aritmia, Defibrilasi,
Kardioversi dan Obat Kardiovaskular”.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Setelah mempelajari Askep kegawatan daruratan pada sistem
kardiovaskuler dan obat kardiovaskuler diharapkan mahasiswa dapat
memberikan asuhan keperawatan yang tepat kepada pasien dengan
gangguan kardiovaskular, khususnya pasien dengan aritmia.

1.2.2 Tujuan Khusus


1. Memahami konsep dasar kegawatdaruratan pada gangguan sistem
kardiovaskuler (aritmia)
2. Memahami definisi, algoritma, penatalaksanaan, dan obat pada jenis-
jenis lethal aritmia
3. Mengetahui konsep dasar tindakan defibrilasi dan kardioversi dalam
kegawatan daruratan

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Aritmia
2.1.1 Definisi
Aritmia jantung adalah istilah umum yang digunakan untuk semua
kelompok kondisi heterogen di mana terdapat aktivitas listrik abnormal di jantung.
Beberapa aritmia hanya dapat menyebabkan gejala iritasi seperti kesadaran jantung
berdetak sangat cepat, yang lain dapat menyebabkan kondisi yang berpotensi
mengancam jiwa seperti stroke atau henti jantung. (Humphreys & Warlow, 2018)
2.1.2 Etiologi
1. Gangguan pada jantung
Beberapa masalah atau kondisi pada jantung yang bisa
menyebabkan aritmia, seperti:
1) Serangan jantung yang mengakibatkan jaringan parut pada jantung
2) Gagal jantung kongestif, yang menyebabkan jantung tidak memompa
cukup darah ke organ
3) Adanya perubahan pada otot jantung
4) Proses penyembuhan setelah operasi jantung
5) Penyakit arteri koroner (penyempitan arteri koroner karena plak
sehingga menurunkan aliran darah ke jantung)

2. Gangguan bukan karena jantung


Aritimia tidak selalu berkaitan dengan kondisi jantung yang
bermasalah. Seseorang dengan kondisi jantung yang sehat juga bisa
mengalami aritmia. Beberapa hal yang menyebabkan aritmia selain
masalah jantung, meliputi:
1) Olahraga
2) Mengalami infeksi atau demam
3) Stres
4) Perokok aktif.
5) Menggunakan obat-obatan
6) Memiliki hipertensi (tekanan darah tinggi), diabetes, anemia atau
gangguan tiroid.
7) Terlalu banyak mengonsumsi kafein
8) Ketidakseimbangan elektrolit dalam darah, misalnya natrium atau
kalium

3
2.2 Defibrilasi dan Kardioversi
2.2.1 Defibrilasi (Direct Current Shock/Dc Shock)
1. Definisi
Defibrilasi merupakan suatu bentuk penatalaksanaan segera dalam
keadaan mengancam jiwa yang disebabkan karena suatu aritmia yang tidak
pernah dialami oleh pasien sebelumnya misalnya seperti fibrilasi ventrikel
atau ventrikel takikardi. Defibrilasi listrik merupakan intervensi penting
dalam penatalaksanaan henti jantung yang disebabkan oleh fibrilasi
ventrikel (Ventricular Fibrillation/VF) atau takikardi ventrikel tanpa denyut
nadi (Ventricular Tachycardia/VT). Banyak bukti ilmiah yang mendukung
pentingnya defibrilasi segera, kejut pertama yang dilakukan terhadap
penderita merupakan satu-satunya penentu penting keberhasilan tindakan
defibrilasi. Setiap 1 menit keterlambatan tindakan defibrilasi menurunkan
angka keberhasilan sebesar 7-10%.

2. Sejarah Defibrilator
Pada sekitar akhir abad ke-18 dua orang ilmuwan fisiologi bernama
Prevost dan Batelli mengadakan suatu percobaan dengan memberikan suatu
terapi syok listrik pada seekor anjing. Mereka menemukan bahwa beberapa
syok listrik dengan energi yang lemah dapat menyebabkan suatu fibrilasi
ventrikel pada jantung seekor anjing, yang kemudian dapat dikembalikan
lagi ke dalam keadaan yang normal dengan menggunakan terapi syok listrik
berenergi lebih besar. Hal ini pertama kali diaplikasikan pada manusia oleh
seorang ahli bedah toraks bernama Claude Black kepada seorang anak
berusia 14 tahun yang sedang menjalani operasi jantung karena mengidap
suatu kelainan jantung kongenital. Elektrode dipasang sejajar pada jantung.

Defibrilasi tertutup tak pernah dilakukan sampai tahun 1950 di


Russia, dimana seorang ahli kedokteran menciptakan suatu alat defibrilator
monofasik. Pada tahun 1980 ditemukan suatu bifasik defibrilasi yang
memerlukan energi listrik jauh lebih rendah dan memberikan keuntungan
yang sama seperti halnya monofasik defibrilasi.

4
3. Tipe Defibrilator

Terdapat berbagai tipe defibrilator, antara lain :

1) Automated External Defibrillators (AED)


a. Mampu menganalisa ritme jantung dan melakukan terapi syok bila
diperlukan
b. Tidak dapat di nonaktifkan secara manual dan dapat mendeteksi
suatu aritmia setelah 10-20 detik
2) Semi Automated AED
a. Mirip seperti halnya AED namun dapat dinonaktifkan secara
manual dan biasanya mampu menggambarkan EKG
b. Dapat menjadi alat pacu jantung
3) Defibrilator standar dengan monitor baik monofasik maupun bifasik
4) Defibrilator transvena atau implant

4. Perbedaan Monofasik dan Bifasik Defibrilator


 Pada sistem monofasik hanya terdapat aliran listrik searah.
 Pada sistem bifasik aliran listrik berjalan dari kutub positif dan berputar
kembali; hal ini berlangsung beberapa kali.
 Sistem bifasik memberikan satu siklus setiap 10 milidetik.
 Sistem bifasik mengakibatkan luka bakar dan kerusakan miokardial
yang lebih kecil dibandingkan sitem monofasik.
 Rata-rata keberhasilan pada terapi kejut listrik pertama sistem
monofasik sebesar 60% dimana pada sistem bifasik meningkat hingga
90%.

5. Mekanisme Defibrilasi
Telah diketahui bahwa terdapatnya suatu massa jaringan yang kritis
pada otot jantung rentan menjadi suatu cikal bakal ventrikel fibrilasi. Telah
dilakukan penelitan oleh Zipes dimana suatu bahan kimia yang bersifat
depolarisasi mampu menimbulkan suatu ventrikel fibrilasi pada otot jantung
yang telah memiliki massa jaringan yang kritis sebelumnya. Secara teori,

5
terapi kejut listrik dapat berhasil bila massa jaringan kritis pada otot jantung
mampu di defibrilasi disisi lain dengan juga masih menyisakan sedikit
jaringan fibrilasi yang berpotensi untuk menjadi suatu aritmia. Setiap otot
jantung memiliki batas bawah ambang kepekaan, suatu nilai kekuatan
minimal yang diperlukan dalam stimulus elektrik untuk menginduksi
terjadinya fibrilasi. Pada tahun 1960 ditemukan bahwa terdapat suatu batas
atas ambang kepekaan yang dapat menginduksi fibrilasi. Telah diteliti
bahwa kuat energi yang diperlukan untuk melakukan defibrilator ternyata
sebanding dengan nilai batas atas ambang kepekaan otot jantung.

6. Defibrilator Eksternal Otomatis (Automated External Defibrilator


/AED)
AED merupakan defibrilator terkomputerisasi yang mudah dan
aman untuk digunakan untuk terapi serangan jantung. AED menggunakan
penanda suara dan gambar untuk memandu penolong dalam melakukan
manajemen serangan jantung, dan cocok untuk digunakan oleh para pemula
dan tenaga medis profesional. Terdapat dua tipe AED : Tipe Otomatis dan
Semi-otomatis. AED mampu menganalisa irama jantung penderita,
membedakan kondisi apakah korban memerlukan terapi syok listrik ataukah
tidak. Pada AED semiotomatis, terapi syok listrik tetap diberikan oleh
operator sesuai dengan panduan yang diberikan oleh AED.

7. Mekanisme Penggunaan AED


Urutan berikut digunakan pada kedua tipe AED:
1) Pastikan korban dan penolong dalam keadaan aman
2) Jika korban tidak berespon dan tidak bernafas normal, berteriaklah
untuk meminta pertolongan
3) Mulailah melakukan resusitasi kardio pulmonal (RKP) sesuai dengan
panduan BLS
4) Segera setelah AED tiba:

6
a. Nyalakan AED dan pasang pelekat elektroda. Jika terdapat lebih
dari satu orang penolong, tetap lanjutkan RKP sementara penolong
yang lain mempersiapkan AED.
b. Ikuti panduan yang tersedia
c. Pastikan tidak ada yang menyentuh korban selagi AED
menganalisa jantung korban.
5) Jika AED mengindikasikan untuk dilakukan kejut listrik
a. Pastikan tidak ada yang bersentuhan dengan korban pada saat
dilkukan kejut listrik
b. Tekan tombol kejut listrik (bifasik = 150-360 joule; monofasik =
360 joule)
6) Jika tidak ada indikasi kejut listrik
a. Teruskan RKP dengan rasio 30:2
b. Lanjutkan langkah berikutnya sesuai dengan panduan pada AED
7) Teruskan langkah-langkah penggunaan AED sampai
a. Penolong yang lebih ahli datang dan mengambil alih
b. Korban mulai bernafas normal
c. Penolong lelah

Pemilihan energi yang terlalu besar dalam tindakan defibrilasi dapat


mengakibatkan kerusakan pada sistem konduksi jantung (lebih berpeluang
besar pada AV blok derajat 3).

Gelombang fibrilasi dapat halus (fine) atau kasar (coarse).


Gelombang yang halus biasnya kurang berespon dengan defibrilasi.
Pemberian epinefrin dapat meningkatkan amplitudo fibrilasi dan membuat
jantung lebih peka terhadap defibrilasi (DC Shock). Epinefrin diberikan IV
sebaanyak 0,5 – 1 ml (1:1000). Kalsium klorida 10 ml IV mempunyai efek
yang sama dengan epinefrin.

Bila setelah DC Shock 400 J diulangi dan fibrilasi ventrikel tetap ada,
maka dapat diberikan lagi epinefrin IV yang dapat diulangi setiap 3 – 5
menit. RKP tetap dilakukan selama pemberian epinefrin. Respon jantung
terhadap DC shock juga dapat ditingkatkan dengan pemberian lidokain

7
bolus IV 75 mg. Pemberian lidokain ini dapat diulangi setiap 5 menit, tetapi
dosis maksimal tidak boleh melebihi 200 – 300 mg. Bila dengan DC shock
dan lidokain belum berhasil mengembalikan irama sinus, dapat diberikan
propranolol 1 mg IV kemudian diikuti dengan DC shock berikutnya.

Pada fibrilasi ventrikel karena intoksikasi digitalis, dapat diberikan


fenitoin atau dilantin 100 mg diikuti DC shock. Fenitoin dapat diulangi
pemberiannya dengan dosis maksimal 500 mg. Biasanya pasien sudah
memberi respon dengan 2 sampai 3 kali DC shock, tetapi kadang-kadang
diperlukan 9 kali atau lebih. Bila telah berhasil dikembalikan ke irama sinus
dianjurkan diberikan lidokain per infus dengan dosis maksimal 4 mg/menit
selama 48 – 72 jam, bahkan kalau perlu sampai seminggu, untuk mencegah
serangan ulang fibrilasi ventrikel. Kemudian diteruskan dengan
prokainamid atau quinidin yang diberikan paling kurang 12 jam sebelum
lidokain dihentikan.

Mengenali irama “Shockable” Segera setelah lead ditempelkan, lihat


monitor. Ada 2 irama jantung yang dapat di”shock” yang harus dikenali
segera yaitu, VF dan VT.

8
8. Terapi Defibrilasi secara Manual
Pada manual defibrilator digunakan paddle elektroda. Jika menggunakan
paddle elektroda, harus dilakukan penekanan optimal pada dinding dada
saat elektroda digunakan yaitu sebesar 8 kg pada dewasa dan 5 kg pada
anak-anak. Untuk anak usia 1-8 tahun gunakan paddle elektroda ukuran
dewasa. Oleskan gel sebelum elektroda digunakan. Elektroda pads lebih
aman, efektif dan lebih muda diterima dibandingkan elektroda paddle.

Posisi Paddle

Saat irama “shockable” teridentifikasi, untuk prosedur defibrilasi dengan


menempelkan paddle ke dada pasien. Paddle defibrilator didesain dengan
label sternum dan apex. Paddle sternum diletakkan pada regio infra
klavikular, tepat di sebelah sternum dan tepat di bawah klavikula. Paddle
apex diletakkan pada apeks jantung, pada area lateral inferior dari puting.

9
9. Indikasi dan Kontraindikasi

Indikasi untuk melakukan tindakan defibrilasi adalah takikardia


ventrikular(VT) tanpa nadi (pulseless ventricular tachycardia) dan fibrilasi
ventrikel (Ventricular Fibrillation / VF).

VT takikardia ventrikular dan VF adalah ritme abnormal yang muncul dari


ventrikel dan menyebabkan perfusi yang inefektif. Kedua ritme
ini shockable karena pemberian kejut diperlukan agar SA node kembali
menjadi pacemaker utama yang mengatur ritme jantung. Fungsi defibrilasi
adalah untuk mengembalikan fungsi jantung ke keadaan normal.

Kontraindikasi defibrilasi adalah ritme jantung yang non-shockable yaitu:

 Asistol

10
 Aktivitas elektrik tanpa nadi (pulseless electrical activity / PEA)

 Ritme jantung normal/ sinus, takikardia supraventrikular stabil

10. Komplikasi

Komplikasi terbanyak pasca defibrilasi adalah aritmia ringan seperti atrial,


ventrikular, dan junctional premature beats. Komplikasi yang tergolong
berat termasuk fibrilasi ventrikel yang disebabkan oleh jumlah energi yang
tinggi dan toksisitas digitalis. Kalau defibrilasi tidak dilakukan dengan baik
(contohnya pada pasien dengan perfusi dan ritme yang baik), dapat
menyebabkan fibrilasi ventrikel.
Luka bakar dapat terjadi setelah defibrilasi dengan tingkat sedang hingga
berat. Komplikasi luka bakar sering kali disebabkan oleh teknik dan
pemasangan elektroda yang kurang tepat. Penggunaan defibrilator bifasik
dapat mengurangi komplikasi tersebut.

11
12
2.2.2 Kardioversi
1. Definisi
Kardioversi adalah suatu tindakan elektif atau emergensi untuk
mengobati takiaritmia dimana diberikan aliran listrik, biasanya dengan
energi yang rendah dan disinkronkan dengan gelombang R, dimana aliran
listrik diberikan pada puncak gelombang R. Kardioversi secara elektrik
dilakukan dengan DC (direct current) counter shock yang synchronized.
Direct current (DC) counter shock ialah impuls listrik energi tinggi yang
diberikan melalui dada (ke jantung) untuk waktu singkat. Direct current
(DC) counter shock dilakukan dengan alat defibrilato.

2. Mekanisme Kerja Kardioversi


Pada kardioversi diberikan aliran listrik ke miokardium pada puncak
gelombang R. Hal ini menyebabkan terjadinya depolarisasi seluruh
miokardium, dan masa refrakter memanjang, sehingga dapat menghambat
dan menghentikan terjadinya re-entry, dan memungkinkan nodus sinus
mengambil alih irama jantung menjadi irama sinus. Pada fibrilasi ventrikel
shock listrik menyebabkan hiperpolarisasi membran sel sehingga fibrilasi
dapat dihentikan dan kembali ke irama sinus.
Kardioversi elektrik paling efektif dalam menghentikan takikardia
karena re-entry, seperti fluter atrial, fibrilasi atrial, takikardia nodal A V,
reciprocating tachycardia karena sindrom Wolff Parkinson White (WPW),
takikardia ventrikel. Takiaritmia dapat juga karena pembentukan impuls
(automaticity) yang bertambah seperti pada parasistol atau takikardia
ideoventrikular. Gangguan irama seperti itu tidak perlu dilakukan
kardioversi listrik karena akan kembali lagi dalam waktu singkat.

13
3. Indikasi Kardioversi
Adapun indikasi dilakukannya kardioversi antara lain sebagai berikut:
1) Fibrilasi ventrikel.
2) Takikardia ventrikel, bila pengobatan medikamentosa yang adekuat
tidak berhasil menghentikan takikardia tersebut atau pasien dengan
keadaan hemodinamik yang buruk.
3) Takikardia supraventrikuler yang tidak bisa dihentikan dengan
pemberian obat-obatan atau keadaan hemodinamik yang buruk.
4) Fibrilasi atrial yang tidak bisa dikonversi menjadi irama sinus dengan
obat-obatan.
5) Fluter atrial yang tidak bisa dikonversi menjadi irama sinus dengan
obat-obatan.
4. Persiapan Kardioversi
1) Antikoagulan
Pada fibrilasi atrial kronik perlu diberikan antikoagulan seperti
koumadin selama dua minggu sebelum tindakan, untuk menghindari
terjadinya emboli sistemik. Bentuk takikardia yang lain tidak
membutuhkan antikoagulan. Pada fibrilasi ventrikel, DC kardioversi
harus segera dilakukan, disertai dengan pemberian pernapasan buatan
dan massage kardiak, jadi merupakan bagian dari resusitasi jantung paru.
2) Anestesia
Perlu diberikan obat anestesia karena prosedur DC defibrilasi
menimbulkan rasa sakit yang cukup berat. Obat anestesi diberikan
secara intravena, biasanya golongan barbiturat kerja pendek atau
fentanil.
3) Jumlah energi untuk kardioversi
Jumlah energi yang dibutuhkan biasanya dimulai rendah, lalu dapa
dinaikkan tergantung macamnya takikardia. Pada fluter atrial biasanya
cukup 25-50 Joule. Takikardia supraventrikular membutuhkan energi
sebesar 50- 100 Joule, sedangkan fibrilasi atrial dan takikardia
ventrikular membutuhkan 100-200 Joule. Pada henti jantung (cardiac
arrest) dengan fibrilasi ventrikel energi yang dibutuhkan 200-400 Joule.

14
5. Prosedur Kardioversi Listrik
Sebelum dilakukan tindakan kerdioversi secara elektif, dilakukan
pemeriksaan fisik secara menyeluruh dan pemeriksaan EKG lengkap.
Pasien sebaiknya dalam keadaan puasa selama 6-12 jam dan tidak ada
tanda-tanda intoksikasi obat seperti digitalis. Pasien juga dipantau tekanan
darah, irama jantung dan saturasi oksigen dengan pulse oxymeter. Setelah
diberikan obat sedatif secara intravena.
Paddle pertama diberi jelly secukupnya dan diletakkan di dada
bagian depan sedikit sebelah kanan sternum di sela iga III, paddle kedua
setelah diberi jelly diletakkan di sebelah kiri apeks kordis; alat defibrilator
dinyalakan dan dipilih tingkat energi yang ditentukan, alat untuk
sinkronisasi gelombang R juga dinyalakan lalu kedua paddle diberi tekanan
yang cukup dan alat dinyalakan dengan energi yang dibutuhkan, misalnya
untuk fluter dimulai dengan 50 Joule sedangkan untuk fibrilasi atrial
dimulai 100 Joule dan untuk fibrilasi ventrikel diberikan energi 200 Joule.
Bila belum berhasil dinaikkan menjadi 300 Joule sampai 400 Joule. Pasien
yang menderita cardiac arrest paling sedikit harus dicoba 3 kali, sebagai
awal tindakan resusitasi. Pemberian shock listrik yang disinkronkan pada
komplek QRS atau pada puncak gelombang R, biasanya dipakai pada semua
kardioversi secara elektif kecuali pada fibrilasi ventrikel atau fluter atau
takikardia ventrikel yang sangat cepat dan keadaan hemodinamik pasien
kurang baik. Pada waktu dilakukan shock biasanya terjadi spasme otot dada
dan juga otot lengan.
6. Hasil
Kardioversi dapat mengembalikan irama sinus sampai 95%,
tergantung tipe takiaritmia. Tetapi kadang-kadang gangguan irama timbul
lagi kurang dari 12 bulan. Oleh karena itu mempertahankan irama sinus
perlu diperhatikan dengan memperbaiki kelainan jantung yang ada dan
memberikan obat anti aritmia yang sesuai. Bila irama sinus sudah kembali
maka atrium kiri dapat mengecil dan kapasitas fungsional akan menjadi
lebih baik.

15
7. Komplikasi
Aritmia dapat timbul sesudah kardioversi secara listrik karena
sinkronisasi terhadap gelombang R tidak cukup sehingga shock listrik
terjadi pada segmen ST atau gelombang T dan dapat menimbulkan fibrilasi
ventrikel (dalam hal ini dapat dilakukan DC countershock sekali lagi). Juga
dapat timbul bradiaritmia atau asistol sehingga perlu disiapkan obat atropin
dan pacu jantung sementara. Peristiwa tromboemboli dilaporkan terjadi 1-
3% pada pasien fibrilasi atrial kronik yang dikonversi menjadi irama sinus,
oleh karena itu pada pasien dengan fibrilasi atrial yang sudah lebih dari 2-3
hari sebaiknya diberi antikoagulan selama 2 minggu sebelum dilakukan
tindakan kardioversi. Hal ini terutama untuk pasien dengan stenosis mitral
dengan atrium kiri yang membesar dan terjadi fibrilasi atrial yang baru.

2.3 Lethal Aritmia


Ritme jantung yang abnormal bisa tidak berbahaya, artinya tidak dapat
merusak. Tetapi sebaliknya, aritmia yang serius dapat berakhir pada kematian
mendadak. Dalam irama jantung yang tidak normal, yang melambat biasanya
dikenal dengan bradikardia/bradiaritmia. Sedangkan irama yang cepat sering
disebut takikardia/takiaritmia. Menurut Sonya R. Hardin dalam bukunya
Critical Care Nursing aritmia lethal/ mengancam jiwa terdiri dari ventrikel
takikardia (VT) dan fibrilasi ventrikel (VF), asistol dan PEA (Pulseless
Eletrical Activity). Keempat aritmia diatas dapat menyebabkan henti jantung
dan membutuhkan segera tindakan resusitasi.

2.3.1 Ventricular Tachycardia (VT)


1. Definisi
Takikardia ventrikel (VT) merupakan penyakit yang mengancam nyawa
jika tidak mendapatkan penanganan secara tepat dan segera. VT sering
terjadi pada pasien kardiomiopati, penyakit jantung koroner, hipertensi, atau
kelainan katup.2-4 VT dapat juga terjadi pada pasien dengan struktur
jantung normal, biasanya benigna.
VT ditandai dengan ritme jantung cepat berasal dari ventrikel di bawah
berkas His, pada miokardium atau keduanya.VT dapat dibedakan dari
takikardia supraventrikuler dengan adanya kompleks QRS lebar pada EKG.

16
VT dapat ditangani dengan terapi obat antiaritmia, impantable cardioverter
defibrillators (ICD), dan ablasi kateter.
2. Klasifikasi
VT dibagi berdasarkan situasi menjadi 2 kategori;
1) Sustained VT
Jika VT terjadi lebih dari 30 detik, menyebabkan gejala berat seperti
pingsan atau memerlukan terminasi dengan kardioversi dan obat
antiaritmia.
2) Non-Sustained VT
Jika VT dapat berhenti tanpa intervensi dan tidak menyebabkan
gangguan hemodinamik disebut nonsustained VT.

Berdasarkan EKG VT dibedakan menjadi 3 kateori:


1. VT monomorfik
Jjika kompleks QRS sama pada setiap denyutan dan irama jantung
regular
2. VT polimorfik
Jika kompleks QRS berubah-ubah pada setiap denyutan dan
iramanya ireguler
3. VT sinusoidal

3. Penatalaksanaan
1) Penanganan emergensi dan evaluasi awal kardioversi emergensi dengan
sedasi adekuat harus dilakukan pada sustained VT yang menyebabkan
hipotensi simptomatik, edema paru, atau infark miokard tanpa terlebih
dahulu menentukan penyebab; diberikan DC Shock dengan sinkronisasi
energi tinggi 100-360 Joule. Penyebab yang dapat diperbaiki harus
segera dikoreksi seperti iskemi akut, gangguan elektrolit, atau
penyalahgunaan obat. Pada pasien TV dengan hemodinamik stabil,
dapat diberikan obat antiaritmia dengan pemantauan ketat dan persiapan
alat kardioversi jika tidak responsif.
2) Obat Antiaritmia

17
Biasanya sebagai terapi adjuvant pada pasien TV yang
menggunakan implantable cardioverter-defibrillator (ICD) untuk
mengurangi episode TV. Pada penelitian, pasien pengguna ICD tanpa
obat anti-aritmia, 90% mengalami aritmia berulang setelah 1 tahun; turun
menjadi 64% setelah penggunaan anti-aritmia. Indikasi obat anti-aritmia
sebagai terapi adjuvan adalah menurunkun kejadian ICD shocks,
menurunkan episode TV untuk meningkatkan toleransi hemodinamik,
mengatasi gejala TV, meningkatkan kualitas hidup, dan menurunkan
angka rawat inap akibat aritmia berulang.
a. Lidocaine
Merupakan terapi lini pertama pada pasien TV stabil dan berguna
untuk TV disebabkan infark miokard. Lidokain merupakan
golongan antiaritmia kelas IB yang merupakan penghambat kanal
natrium dan memperpendek periode refrakter. Dosis anjurannya
adalah 0,5 mg/kgBB, bolus intravena setiap 3-5 menit, maksimum
1,5 mg/kgBB. Terapi dapat dilanjutkan secara kontinu
menggunakan syringe/infusion pump dengan dosis 0,05
mg/kgBB/menit. Pada periode akut TV akibat infark miokard,
lidokain menghasilkan survival lebih baik dibandingkan amiodarone.
b. Beta Blocker/Penghambat Beta
Merupakan terapi lini pertama pada pasien TV polimorfik
khususnya yang disebabkan oleh iskemi. Esmolol merupakan salah
satu penghambat beta yang sering diberikan dengan dosis 200 μg
dalam 1 menit, jika tidak ada respons setelah 10 menit diberikan
dosis 500 μg dalam 1 menit. Jika sudah respons diberikan dosis
rumatan 25μg/kg/menit sampai terapi diganti menjadi propranolol
oral.
c. Procainamide
Merupakan anti-aritmia kelas IA yang juga menghambat kanal
natrium. Dosis yang dianjurkan adalah 1-3 mg/kgBB, bolus
intravena setiap 3-5 menit dengan dosis maksimal 20 mg/kgBB.
d. Amiodarone

18
Dapat diberikan pada pasien TV dengan hemodinamik tidak stabil.
Amiodarone merupakan antiaritmia yang paling efektif, namun
sebanyak 20% pasien berulang.
e. Amiodarone
Memiliki efek vasodilator dan inotropik negatif, sehingga dapat
menstabilkan hemodinamik. Mula kerja amiodarone lebih lambat
dibandingkan lidocaine dan procainamide. Dosis awal yang
dianjurkan adalah 5 mg/kgBB/jam intravena selama 10 menit, dapat
diulangi satu kali jika belum respons dan diikuti dosis rumatan 0,5 –
1 mg/menit.
f. Magnesium Sulfat
Merupakan terapi pilihan pasien TV dengan interval QT memanjang
dan beberapa episode torsade de pointes. Dosis 1 gram/menit
dengan dosis maksimal 25 g. Magnesium sulfat tidak efektif pada
pasien TV dengan interval QT normal.
3) Implantable Cardioverter Defibrillator (ICD)
ICD adalah perangkat elektronik untuk terapi aritmia ventrikel, yang
diimplan secara subkutan di regio pektoral dan berhubungan langsung
dengan sistem endokardium. Indikasi pemasangan ICD adalah sustained
VT yang berhubungan dengan kelainan struktur jantung, hilang
kesadaran akibat TV, TV disebabkan infark miokard dan fungsi
ventrikel kiri menurun, serta TV yang menyebabkan henti jantung. ICD
merupakan pilihan pada pasien TV dengan kelainan genetik. ICD tidak
disarankan pada pasien dengan harapan hidup kurang dari 1 tahun dan
kapasitas fungsi jantung buruk karena dapat meningkatkan risiko efek
samping pemasangan ICD. ICD juga dapat mencetuskan aritmia,
sehingga perlu diawasi ketat. Kriteria pemasangan ICD antara lain:
a. Pencegahan primer kematian mendadak
- Penyakit jantung iskemik dengan fraksi ejeksi ventrikel kiri
≤40%, pada studi elektrofisiologi terdapat TV

19
- Ischemic dilated cardiomyopathy, terdapat infark miokard
sebelumnya (setidaknya 40 hari), NYHA kelas II dan III, dan
fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤35 %
- Non-ischemic dilated cardiomyopathy (NIDCM) >9 bulan,
NYHA kelas II dan III, fraksi ejeksi ventrikel kiri ≤35 %,
riwayat keluarga dengan kematian mendadak.
- Penyakit genetik yang berhubungan dengan aritmia ventrikel,
seperti Long QT syndrome, Brugada Syndrome,ARVD.
b. Pencegahan sekunder terhadap kematian mendadak
Ada riwayat henti jantung akibat TF atau TV dengan
ketidakseimbangan hemodinamik, bukan disebabkan oleh
penyebab yang reversible/sementara Kontraindikasi
pemasangan ICD antara lain:
- Riwayat tindakan coronary artery bypass grafting (CABG)
dan percutaneous transluminal angioplasty (PTCA) dalam 3
bulan atau riwayat infark miokard dalam 40 hari.
- Rencana revaskularisasi
- Kerusakan otak ireversibel
- Penyakit lainnya yang memiliki harapan hidup kurang dari 1
tahun.

20
4. Hasil EKG
Gambaran EKG pada sindrom Brugada, terdapat TV dengan kompleks QRS
melebar, tidak terdapat kompleks RS pada lead prekordial, dan terjadi
disosiasi atrioventricular.

Gambaran EKG pada TV idiopatik dengan RBBB dengan deviasi axis kiri

Gambaran EKG pada TV monomorfik akibat parut miokard setelah infark

21
2.3.2 Ventricular Fibrillation (VF)
1. Definisi

Fibrilasi ventrikel (VF) adalah suatu aritmia dimana ventrikel mengalami


depolarisasi secara kacau dan cepat, sehingga ventrikel tidak berkontraksi sebagai
satu kesatuan, tetapi bergetar secara inefektif tanpa menghasilkan curah jantung.
Keadaan ini ditandai dengan gelombang P, segmen ST yang tidak beraturan dan
sulit dikenali (disorganized), bahkan tanpa kompleks QRS. Penyebab utama VF
adalah infark miokard akut, blok AV total dengan respon ventrikel yang lambat,
gangguan elektrolit (hipokalemia dan hiperkalemia), asidosis berat, hipoksia,
gangguan neurologik, dan sengatan listrik yang berulang. Salah satu penyebab VF
primer yang sering pada orang dengan jantung normal adalah sindrom Brugada.
Pada keadaan ini terjadi kelainan genetik pada gen yang mengatur kanal natrium
(SCN5A) sehingga tercetus VF primer.

Fibrilasi ventrikel merupakan keadaan terminal dari aritmia ventrikel yang


ditandai oleh kompleks QRS, gelombang P, dan segmen ST yang tidak beraturan
dan sulit dikenali (disorganized) yang merupakan penyebab utama kematian
mendadak. Fibrilasi ventrikel akan menyebabkan tidak adanya curah jantung
sehingga pasien dapat pingsan dan mengalami henti napas dalam hitungan detik.
Fibrilasi ventrikel ditandai dengan gelombang fibrilasi yang sangat cepat dan kacau
dan tanpa kompleks QRS, dengan karakteristik diagnostik sebagai berikut :

Tabel 1. Karakteristik Diagnostik Fibrilasi Ventrikel

22
Karakteristik Fibrilasi Ventrikel

Kecepatan 300-500 kali/menit

Keterturan Ireguler total

Gelombang P Tidak ada

Interval PR Tidak ada

Interval P-P, R-R Tidak ada

Rasio Konduksi Tidak ada

Kompleks QRS Kacau, tidak terorganisir

Sumber lokasi Diluar dari impuls serabut Purkinje dan


otot ventrikel

2. Klasifikasi Fibrilasi Ventrikel


Fibrilasi Ventrikel (VF) terbagi menjadi 2 jenis yaitu:
a) VF kasar (coarse VF)
Coarse VF menunjukkan aritmia ini baru terjadi dan lebih besar
peluangnya untuk diterminasi dengan defibrilasi.

Gambar Coarse Ventrikel Fibrilasi

b) VF halus (Fine VF) sulit dibedakan dengan asistol dan biasanya sulit
dideterminasi, seperti gambar berikut:

23
Gambar Fine Ventrikel Fibrilasi

Fibrilasi ventrikel merupakan aritmia yang mengancam kehidupan yang


mengakibatkan jantung berkontraksi secara kacau dan tidak terorganisir, sehingga
kehilangan curah jantung, dan menyebabkan kematian. Kematian terjadi dalam
hitungan menit kecuali dilakukan penanganan resusitasi kardiopulmonal (CPR) dan
kardioversi dengan defibrilasi. Fibrilasi ventrikel menandakan aktivitas elektrik
yang tidak terorganisir, sedangkan takikardia ventrikel menunjukkan aktivitas
elektrik yang terorganisir pada miokard ventrikel, tetapi pada VF ataupun VT tidak
akan menghasilkan cardiac output yang signifikan. Pasien dengan keadaan henti
jantung, emmbutuhkan penanganan Basic Life Support (BLS) serta Advanced
Cardiac Live Support (ACLS) dengan integrasi post-cardiac arrest care.

3. Algoritma untuk fibrilasi ventrikel dari American Heart Association

1) Aktifkan emergency response system


2) Mulai lakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) dan berikan oksigen apabila
tersedia
3) Pastikan pasien benar-benar mengalami fibrilasi ventrikel sesegera
mungkin (bisa dengan menggunakan Automated external defibrillator)
4) Lakukan defibrilasi sekali
a. Dewasa: 200 J untuk gelombang bifasik dan 360 J untuk gelombang
monofasik
b. Anak: 2 J/kgBB
5) Lanjutkan lagi RJP segera tanpa memeriksa nadi, lakukan selama 5 siklus
a. Satu siklus RJP adalah 30 kompresi dan 2 pernapasan
b. Lima siklus RJP setidaknya hanya memakan waktu 2 menit (dengan
kompresi 100 kali per menit)

24
c. Jangan memeriksa ritme/nadi dulu sebelum 5 siklus RJP
terselesaikan
6) Saat melakukan RJP, minimalisasi interupsi saat melakukan hal-hal di
bawah ini:
a. Mencari akses intravena
b. Melakukan intubasi endotrakeal
c. Setelah diintubasi, lanjutkan RJP dengan 100 kompresi per menit
tanpa henti serta lakukan respirasi buatan sebanyak 8-10 kali napas
per menit.
7) Periksa ritme setelah 2 menit RJP
8) Ulangi lagi defibrilasi satu kali apabila masih terdapat ventrikel fibrilasi
atau belum dirasakan denyut nadi. Gunakan tegangan yang sama seperti
pada defibrilasi pertama pada dewasa. Sedangkan pada anak gunakan
tegangan sebesar 4 J/kgBB.
9) Segera lanjutkan kembali dengan RJP selama 2 menit, setelah defibrilasi
10) Terus ulangi siklus berikut ini:
a. Pemeriksaan ritme
b. Defibrilasi
c. RJP 2 menit
11) Vasopressor
a. Beri vasopressor saat RJP sebelum atau sesudah syok, setelah akses
intravena atau intraosseous didapatkan,
b. Berikan epinefrin 1 mg setiap 3-5 menit
c. Pertimbangkan juga pemberian vasopressin 40 unit sebagai
pengganti dosis epinefrin pertama atau kedua.
12) Antidisritmia
a. Berikan obat antidisritmia saat RJP, sebelum atau sesudah syok
b. Berikan amiodarone 300 mg IV/IO satu kali, lalu pertimbangkan
lagi pemberian tambahan 150 mg satu kali
c. Sebagai pengganti atau tambahan untuk amiodarone, dapat
diberikan lidokain 1-1.5 mg/kgBB dosis pertama, dan dosis

25
tambahan 0.5 mg/kgBB. Dosis maksimum yang dapat diberikan
adalah 3 mg/kgBB
13) Lidokain dan epinefrin dapat diberikan lewat endotrakeal tube apabila akses
IV/IO gagal. Gunakan dosis 2.5 kali dari dosis IV.

2.3.3 Pulseless Electrical Activity (PEA)


1. Definisi
PEA (Pulseless Electrical Activity) didefinisikan adanya aktivitas
listrik yang terorganisir spontan (selain VT) di Elektrokardiogram (EKG)
pemantauan, tetapi nadi tidak teraba (Monsieurs 2015, Myerburg 2013).
PEA disebut disosiasi elektromekanis. Kontraktilitas jantung tidak ada atau
tidak cukup untuk mempertahankan kesadaran, menciptakan denyut nadi
tidak teraba dan perfuse organ (Myerburg 2013).
2. Klasifikasi
PEA diklasifikasikan menjadi jantung dan nonjantung dan
subklasifikasi sesuai dengan penyebab tertentu di setiap kategori. Non-
jantung penyebab PEA termasuk hipovolemia yang mendalam seperti
perdarahan besar yang disebabkan oleh aorta pecah aneurisma, atau trauma
atau obstruksi sirkulasi yang dihasilkan dari emboli paru masif, tamponade
jantung, atau ketegangan pneumothorax. Irama awal yang menyertai PEA
yang dihasilkan dari penyebab ini umumnya sinus takikardia, yang
berevolusi untuk sinus parah bradikardia, PEA, asistol, dan akhirnya
kematian dengan tidak adanya intervensi. Fungsi kontraktil miokard
mungkin normal atau agak terganggu, tetapi jantung umumnya dapat
menghasilkan tekanan nadi berkurang dan untuk kembali normal atau
mendekati fungsi normal dengan repletion volume atau obstruksi.
Identifikasi dini kondisi yang dapat diobati sangat penting untuk
kelangsungan hidup.
PEA yang dihasilkan dari penyebab jantung yaitu ketika mekanisme
awal dari serangan jantung atau sekunder ketika mengikuti penghentian
spontan atau listrik dari VT/VF. Sulit untuk membedakan apakah PEA
setelah shock therapy adalah sekunder untuk cedera miokard/mekanik

26
disebabkan oleh guncangan atau reperfusi atau hanya manifestasi kegagalan
pompa tahap akhir setelah VT/VF telah dihentikan oleh guncangan
defibrilasi.
3. Gambaran EKG

Kompleks QRS di EKG yang merupakan aktivitas ventrikel jantung,


sering melebar dan denyut jantung lambat, tetapi Kompleks QRS dan
denyut jantung juga dapat normal (Bergum 2016, Hauck 2015). Irama
agonal pada akhir CA yang berkepanjangan dengan sangat luas dan lambat,
biasanya tidak beraturan (Myerburg 2013).
4. Penatalaksanaan
1) CPR: kompresi dada
Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa peningkatan aliran darah
selama CPR menghasilkan peningkatan kelangsungan hidup. Standar teknik
kompresi dada, termasuk modifikasi yang baru diperkenalkan seperti CPR
hanya tangan adalah andalan strategi konvensional. Perangkat mekanis
menawarkan kompresi dada yang lebih konsisten, berpotensi meningkatkan
aliran darah selama CPR. Hal ini terutama relevan untuk PEA karena
kecepatan ROSC lebih sulit untuk dicapai tanpa mekanisme SCA non-
shockable.
2) Monitoring gerak jantung selama CPR
Ekokardiografi dan kapnografi dapat membantu untuk memprediksi
kelangsungan hidup pasien dan berpotensi untuk menentukan apakah
resusitasi dilanjutkan atau tidak.
3) Farmakologis

27
a. Vasopresor
Studi yang dijelaskan di atas mendaftarkan pasien dengan PEA dan
asistol dan gagal menunjukkan bahwa vasopresin atau epinefrin lebih baik
untuk pengobatan PEA terlepas dari urutan pemberian. Epinefrin dapat
diberikan setiap 3 sampai 5 menit selama percobaan resusitasi; vasopresin
dapat digantikan dengan dosis epinefrin pertama atau kedua.

b. Atropin
Atropin sulfat membalikkan penurunan denyut jantung, resistensi
vaskular sistemik, dan tekanan darah yang dimediasi kolinergik. Tidak ada
studi prospektif terkontrol yang mendukung penggunaan atropin dalam
asistol atau memperlambat penangkapan PEA. Pemberian atropin untuk
asistol didukung oleh tinjauan retrospektif dari pasien yang diintubasi
dengan asistol refraktori yang menunjukkan peningkatan kelangsungan
hidup untuk masuk rumah sakit dengan atropin. Serangkaian kasus orang
dewasa dalam henti jantung mendokumentasikan konversi dari ritme asistol
menjadi sinus pada 7 dari 8 pasien.
Sebuah studi prospektif terkontrol kecil nonrandomized pasien dengan
henti jantung di luar rumah sakit tidak menemukan perbedaan dibandingkan
kontrol ketika atropin 1 sampai 2 mg diberikan sebagai obat resusitasi awal,
tetapi dosis subterapeutik dan penundaan pemberian epinefrin mungkin
memiliki berdampak pada kelangsungan hidup dalam penelitian ini. Dalam
model hewan PEA tidak ada perbedaan yang dicatat dalam hasil resusitasi
antara atropin dosis standar dan kelompok plasebo.
Asistol dapat diendapkan atau diperburuk oleh tonus vagal yang
berlebihan, dan pemberian obat vagolitik konsisten dengan pendekatan
fisiologis. Atropin tidak mahal, mudah diberikan, dan memiliki sedikit efek
samping dan karenanya dapat dipertimbangkan untuk asistol atau PEA.
Dosis atropin yang direkomendasikan untuk henti jantung adalah 1 mg IV,
yang dapat diulang setiap 3 hingga 5 menit (total maksimum 3 dosis atau 3
mg) jika asistol tetap ada (Kelas tak tentu).

28
c. Antiaritmia
Tidak ada bukti bahwa obat antiaritmia yang diberikan secara rutin
selama henti jantung manusia meningkatkan kelangsungan hidup untuk
keluar dari rumah sakit. Amiodarone, bagaimanapun, telah terbukti
meningkatkan kelangsungan hidup jangka pendek untuk masuk rumah sakit
bila dibandingkan dengan plasebo atau lidokain.

d. Siklosporin
Siklosporin adalah obat yang menjanjikan atas dasar konsep PEA
dalam banyak contoh hasil dari kerusakan miokard selama reperfusi, agak
mirip dengan dasar untuk postconditioning. Siklosporin menghambat
formasi transisi permeabilitas mitokondria pori, komponen kunci dari
cedera reperfusi mematikan, dalam menanggapi kelebihan kalsium dan
spesies oksigen reaktif yang memungkinkan. Relevansinya mungkin terkait
untuk pengamatan mengurangi ukuran infark pada pasien dengan ST-
segmen-elevasi infark miokard setelah reperfusi. Cedera reperfusi mungkin
memiliki patofisiologi mirip dengan yang terjadi pada beberapa pasien yang
mengembangkan PEA setelah defibrilasi.
Curcumin, senyawa polifenolik yang berasal dari kunyit, mungkin
memiliki efek protektif terhadap cedera miokard melalui redaman stres
oksidatif dan peradangan. Hal ini, inhibitor selektif dari reseptor seperti Toll
2, protein membran reseptor menyatakan pada permukaan sel yang
mengenali zat asing dan kemudian respon sinyal dari sel sistem kekebalan
tubuh. Dalam 1 studi, Sprague-Dawley tikus diberi makan Curcumin 1
minggu sebelum cedera jantung iskemia/reperfusi. Kontraktilitas jantung,
connexin43, fibrosis, dan variabel lainnya ditingkatkan dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Hasil ini menunjukkan bahwa penghambatan
selektif reseptor seperti Toll 2 oleh kurkumin dapat preventif dan terapeutik
untuk cedera miokard demikian juga untuk PEA.

29
5. Algoritma

PEA meliputi kelompok heterogen irama pulseless yang mencakup disosiasi


pseudo-elektromekanis (pseudo-EMD), irama idioventrikular, irama pelarian
ventrikel, irama idioventrikular postdefibrilasi, dan irama bradyasystolic. Penelitian
dengan ultrasonografi jantung dan kateter tekanan diamnya telah mengkonfirmasi
bahwa pasien berdenyut dengan aktivitas listrik terkait kontraksi mekanik, tetapi

30
kontraksi ini terlalu lemah untuk menghasilkan tekanan darah terdeteksi oleh atau
pemantauan tekanan darah non-invasif. PEA sering disebabkan oleh kondisi
reversibel dan dapat diobati jika kondisi tersebut diidentifikasi dan dikoreksi.
Tingkat kelangsungan hidup dari serangan jantung dengan asistol adalah
menyedihkan. Selama upaya resusitasi, periode singkat dari sebuah kompleks
terorganisir mungkin muncul di layar monitor, tetapi sirkulasi spontan jarang
muncul. Seperti dengan PEA, harapan untuk resusitasi adalah untuk
mengidentifikasi dan mengobati penyebab reversibel.
Karena kesamaan dalam penyebab dan pengelolaan kedua irama penangkapan,
pengobatan mereka telah digabungkan dalam bagian kedua dari algoritma
penangkapan Pulseless ACLS.
Pasien yang memiliki baik asistol atau PEA tidak akan mendapatkan
keuntungan dari upaya defibrilasi. Fokus resusitasi adalah melakukan CPR
berkualitas tinggi dengan interupsi minimal dan mengidentifikasi penyebab
reversibel atau faktor penyulit. Penyedia harus memasukkan saluran napas canggih
(misalnya, tabung endotrakeal, Combitube, LMA). Setelah jalan napas di tempat, 2
penolong tidak boleh lagi memberikan siklus CPR (yaitu, kompresi terganggu oleh
jeda ketika napas disampaikan). Sebaliknya penolong yang mengompresi harus
memberikan kompresi dada terus-menerus pada tingkat 100 per menit tanpa jeda
untuk ventilasi. Penyelamat yang memberikan ventilasi memberikan 8 sampai 10
napas per menit. Dua penolong harus mengubah peran kompresor dan ventilator
sekitar setiap 2 menit (ketika irama diperiksa) untuk mencegah kelelahan
kompresor dan penurunan kualitas dan laju kompresi dada. Ketika beberapa
penolong yang hadir, mereka harus memutar peran kompresor sekitar setiap 2 menit.
Para penyelamat harus meminimalkan interupsi dalam kompresi dada saat
memasukkan saluran napas dan tidak boleh mengganggu CPR saat menetapkan
akses IV atau IO.
Jika pemeriksaan irama menegaskan asistol atau PEA, segera Lanjutkan CPR.
Sebuah vasopressor (epinefrin atau vasopresin) dapat diberikan pada saat ini.
Epinefrin dapat diberikan sekitar setiap 3 sampai 5 menit selama serangan jantung;
satu dosis vasopresin dapat digantikan untuk dosis epinefrin pertama atau kedua
(kotak 10). Untuk pasien asistol atau PEA, pertimbangkan atropin (Lihat di bawah).

31
Jangan menyela CPR untuk memberikan obat apapun. Berikan obat sesegera
mungkin setelah pemeriksaan irama.
Setelah pengiriman obat dan sekitar 5 siklus (atau sekitar 2 menit) CPR, periksa
kembali irama (Box 11). Jika ada irama shockable, berikan kejutan (pergi ke Box
4). Jika tidak ada ritme atau jika tidak ada perubahan dalam penampilan
elektrokardiogram, segera lanjutkan CPR (Box 10). Jika irama terorganisir hadir
(Box 12), cobalah untuk palpasi nadi. Jika tidak ada nadi yang teraba (atau jika ada
keraguan tentang keberadaan nadi), lanjutkan CPR (kotak 10). Jika nadi teraba,
penyedia harus mengidentifikasi irama dan memperlakukan dengan tepat. Jika
pasien tampaknya memiliki irama terorganisir dengan nadi yang baik, mulai
perawatan postresuscitative.

2.3.4 Asistole
Empat macam ritme yang dapat menyebabkan pulseless cardiac arrest
yaitu Ventricular Fibrillation (VF), Rapid Ventricular Tachycardia (VT),
Pulseless Electrical Activity (PEA) dan asistol (American Heart Association
(AHA), 2005). Asistol adalah keadaan dimana tidak terdapatnya
depolarisasi ventrikel sehingga jantung tidak memiliki cardiac output.
Asistol dapat dibagi menjadi 2 yaitu asistol primer (ketika sistem elektrik
jantung gagal untuk mendepolarisasi ventrikel) dan asistol sekunder (ketika
sistem elektrik jantung gagal untuk mendepolarisasi seluruh bagian jantung).
Asistol primer dapat disebabkan iskemia atau degenerasi (sklerosis) dari
nodus sinoatrial (Nodus SA) atau sistem konduksi atrioventrikular (AV
system) (Caggiano, 2009). Sedangkan ritme lain yang dapat menyebabkan
SCA adalah Pulseless Electrical Activity (PEA). Kondisi jantung yang
mengalami ritme disritmia heterogen tanpa diikuti oleh denyut nadi yang
terdeteksi. Ritme bradiasistol adalah ritme lambat, dimana pada kondisi
tersebut dapat ditemukan kompleks yang meluas atau menyempit, dengan
atau tanpa nadi juga dikatakan sebagai asistol (Caggiano, 2009).
Diagnosis asystole ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan gambaran
EKG yang khas. Pada pasien asystole sering ditemukan adanya penurunan
kesadaran tiba-tiba, henti nafas, dan tidak ada denyut nadi. Gambaran EKG

32
menunjukkan irama: tidak terlihat adanya aktivitas ventrikel atau < 6
kompleks/menit. Gelombang R tidak dapat ditetapkan, terkadang terlihat
gelombang P, tetapi berdasarkan definisi gelombang R harus tidak tampak,
kompleks QRS: tidak terlihat adanya defleksi yang konsistendengan suatu
kompleks QRS.

Gambar EKG Asistol: tidak ada aktivitas listrik jantung (terlihat hanya
berupa garis datar)
Keadaan asistole ini ditandai dengan tidak terdapatnya aktifitas listrik pada
jantung, dan pada monitor irama yang terbentuk adalah seperti garis lurus.
Pada kondisi ini tindakan yang harus segera diambil adalah CPR/RJP.
Penangannya adalah seperti penatalaksanaan pada cardiac arrest, yaitu:
biasanya dilakukan RJP (Resustitasi Jantung Paru) selama 2 menit dengan
memasang akses IV/IO, pemberian efinefrin tiap 3-5 menit, pertimbangkan
alat bantu jalan nafas lanjut capnography. Dan untuk tindakan selanjutnya
dilihat pada irama yang muncul, apakah irama shockable atau tidak. Kemudian,
pastikan asistol yang terlihat pada monitor merupakan benar asistol dengan
memeriksa apakah elektroda terpasang dengan baik atau tidak. Dan bila
memang benar itu memang gambaran asistol maka penggunaan defibrator
untuk tindakan kejut listrik tidak diindikasikan pada pasien dengan asistol.

33
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Aritmia jantung adalah kodisi aktivitas listrik yang abnormal pada jantung.
2. Aritmia dapat disebabkan kondisi oleh gangguan pada jantung dan
gangguan bukan karena jantung
3. Defibrilasi adalah suatu bentuk penatalaksanaan segera dalam keadaan
mengancam jiwa yang disebabkan karena suatu aritmia yang tidak pernah
dialami oleh pasien sebelumnya
4. Kardioversi adalah tindakan elektif atau emergensi untuk mengobati
takiaritmia dimana diberikan aliran listrik.
5. Lethal aritmia dalah ritme jantung yang abnormal yang serius dan dapat
mengakibatkan kematian mendadak
6. Aritmia lethal/ mengancam jiwa terdiri dari ventrikel takikardia (VT) dan
fibrilasi ventrikel (VF), asistol dan PEA (Pulseless Eletrical Activity).
Penatalaksanaan dan penggunaan obat disesuaikan dengan jenis lethal
aritmia yang diderita

3.2 Saran
Kejadian aritmia dapat menyebabkan gangguan kedaruratan, peran
perawat dalam melaksanakan tindakan preventif pada masyarakat yang
memiliki faktor risiko aritmia. Sebagai perawat harus mengetahui tndakan
kardioversi dan defibrilasi dan efek yang ditimbulkan. Penggunaan obat
kardiovaskuler bagi pasien memerlukan edukasi terkait peyimpanan,
penggunaan, dan efek samping yang ditimbulkan.

34
DAFTAR PUSTAKA
Corona Rintawan, Zuhdiyah Nihayati, Farida Juanita. (2016). Modul Pelatihan
ADVANCED CARDIAC LIFE SUPPORT. Jawa Timur: Tim Pelatihan RS
Muhammadiyah Pimpinan Wilayah Muhammadiyah

Humphreys & Warlow. (2011). Nursing the Cardiac Patient, First Edition:
Arrhythmias and their Management. Blackwell Publishing

Mark SL chair, Lauren CB, Peter JK, henry RH, Erik PH, Vivek KM. Part 7: Adult
Advanced Cardiovascular Life Support: 2015 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resucitation and Emergency
Cardiovascular Care. Circulation

Myerburg RJ, Halperin H, Egan DA, Boineau R, Chugh SS, Gillis AM, Goldhaber
JI, Lathrop DA, Liu P, Niemann JT, Ornato JP, Sopko G, Van Eyk JE,
Walcott GP, Weisfeldt ML, Wright JD, Zipes DP. Pulseless electric activity:
Definition, causes, mechanisms, management, and research priorities for the
next decade: Report from a national heart, lung, and blood institute
workshop. Circulation 128: 2532-41, 2013.

Neumar R, et al. Part 8: Adult Advanced Cardiovascular Life Support: 2010


American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation
and Emergency Cardiovascular Care. Available from:
http://circ.ahajournals.org/cgi/content/full/122/18_suppl_3/S729

Perhimpunan Dokter Spesialis Kerdiovaskular Indonesia 2014. Pedoman Tata


Laksana Fibrilasi Atrium. Jakarta:Centra Communications.

Theory and Practice of Defibrillation: Defibrillation for Ventricular Defibrillation.


Adgey. s.l.: Heart, 2005, Vol. 91

Yuniadi, Yoga. 2017. Mengatasi Aritmia, Mencegah Kematian Mendadak. EJKI.


Vol 5 No.3

35

Anda mungkin juga menyukai