Anda di halaman 1dari 11

bertanya, “Dalam shalat sunnah, manakah yang lebih utama: lama sewaktu berdiri, ruku, dan

sujud atau lebih utama tidak berlama-lama dalam beridri, ruku, dan sujud dengan maksud
memperbanyak jumlah rakaat?”

Jawaban :

Habib Abdullah al Haddad r.a menjawab: Diriwayatkan bahwa, Rasulullah saw apabila shalat
malam beliau melamakan berdiri, ruku’, dan sujud. Dan beliau shalat malam tidak lebih dari
11 atau 13 rakaat. Adapun mana yang lebih utama dalam shalat? : melamakan waktu berdiri
atau waktu ruku’ dan sujud, ulama rodhiyallohu ‘anhum berbeda pendapat. Sebagian ulama
berpendapat memanjangkan berdiri lebih utama, yang lain berpendapat melamakan ruku’ dan
sujud lebih utama. Imam Ghazali dan beberapa ulama lain berpendapat, bahwa gerakan shalat
yang lebih utama untuk dipanjangkan waktunya adalah yang didalamnya terdapat lebih
banyak kekhusyuan dan kehadiran hati (hudhur). Keadaan ini tentunya berbeda-beda bagi
setiap manusia. (An-Nafaisul Uluwiyyah: 26-27)

Menurut hadist yang diriwayatkan Hudhaifah RA, Mana yang lebih utama dalam shalat?
adalah sebagai berikut :

Hudhaifah RA berkata, “Suatu malam aku shalat (sunnah) bersama Nabi SAW.Beliau
membaca surat Al-Baqarah (setelah Al-Fatihah). Aku kira pada ayat keseratus beliau akan
ruku’, ternyata beliau meneruskan bacaannya.Kemudian aku mengira setelah selesai surat Al-
Baqarah beliau akan ruku’, namun beliau melanjutkan dengan surat An-Nisa’ hingga selesai,
lalu surat Ali Imran dengan tartil. Ketika membaca ayat yang menyebutkan kesucian Allah,
beliau bertasbih. Jika membaca ayat yang di dalamnya terdapat anjuran untuk meminta
kepada Allah, beliau memohon. Ketika membaca ayat yang di dalamnya terdapat ancaman,
beliau berlindung. Setelah itu beliau ruku’ dan membaca :

‫س ْب َحا نَ َرب َى ا ْلعَظ ْيم‬


ُ
Maha suci Tuhanku Yang Maha Agung

Lama ruku’nya hampir sama dengan lama berdirinya. Kemudian beliau membaca :

‫سم َع ّللاُ ل َم ْن َحم َدهُ َربَّنَا َولكَ ا ْل َح ْم ُد‬


َ
Allah Maha Mendengar orang yang memuji-Nya. Tuhanku, segala puji hanyalah untuk-Mu

Sembari bergerak untuk i’tidal. Lama i’tidalnya hampir sama dengan lama ruku’nya. Beliau
kemudian bersujud dan membaca :

‫س ْب َحانَ َرب َي ْاْل َء ْعلَى‬


ُ
Maha suci Tuhanku Yang Maha Tinggi

Lama sujudnya hampir sama dengan lama berdirinya.” ( HR Muslim)


Keutamaan Salat
Posted by: Ki Gendeng braja geni on: Mei 3, 2010

 In: Artikel Tasawuf


 Tinggalkan sebuah Komentar

Salat adalah sendi agama dan pangkal ketaatan. Di antara adabnya adalah khusu. Telah
diriwayatkan dari Utsman bin Affan r.a., dari Nabi saw., beliau bersabda, “Tidaklah tiba
waktu salat fardu kepada seseorang, lalu dia membaguskan wudunya, khusunya, dan
rukuknya, melainkan salat itu menjadi penebus dosa-dosanya yang telah lampau, selagi dia
tidak mengerjakan dosa besar, dan yang demikian itu berlaku seterusnya.” “Barang siapa
salat dua rakaat dan dia tidak berhadas selama mengerjakannya, maka dosanya yang telah
lampau diampuni .” (HR Bukhari dan Muslim). Ketika Abdullah bin az-Zubair sudah
mendirikan salat seakan-akan seperti batang pohon karena kekhusuannya. Saat dia sujud
tidak terusik meskipun ada beberapa ekor burung yang hinggap di punggungnya. Yang bisa
mgnusiknya ialah jika dia ditimpa runtuhan dinding. Suatu hari dia salat di dekat Al-Hijir.
Tidak lama kemudian Qudzaifah datang ke tempat itu dan mengambil sebagian kainnya.
Tetapi, sepertinya Abdullah bin Zubair tidak mengetahuinya. Maimun bin Mahran berkata,
“Sekali pun aku belum pernah meihat Muslim bin Yasar menoleh saat mendirikan salat.
Suatu kali sebagian bangunan masjid ada yang roboh, sehingga orang-orang yang berada di
pasar menjadi kaget karenanya. Sementara, saat itu pula Muslim bin Yasar berada di dalam
masjid mendirikan salat. Tetapi, dia sama sekali tidak menoleh. Tetapi, jika dia hendak
mendirikan salat, mereka berbicara dan tertawa.” Jika sedang wudu, rupa Ali bin al-Hasan
berubah menjadi kekuning-kuningan. Ketika ada yang bertanya, “Mengapa hal ini menjadi
kebiasaan yang terjadi pada dirimu saat engkau wudu?” Dia menjawab, “Tahukah kalian, di
hadapan siapakah aku hendak mendirikan salat?” Ketahuilah bahwa salat itu mempunyai
rukun yang wajib dan yang sunah. Sedangkan rohnya adalah niat, ikhlas, khusu, dan
keterlibatan hati. Salat itu meliputi zikir, munajat, dan perbuatan. Tanpa melibatkan hati,
tidak ada yang bisa dicapai dari zikir danmunajat. Sebab, ucapan yang tidak selaras dengan
apa yang terkandung di dalam sanubari kedudukannya sama dengan igauan. Perbuatan pun
tidak menghasilkan apa-apa. Sebab, jika tujuan dari berdiri adalah pengabdian, tujuan dari
rukuk dan sujud adalah ketundukan dan pengagungan, sementara perbuatan ini sama sekali
tidak diiringi dengan kehadiran hati, maka tujuan itu pun tidak tercapai. Sebab, jika
perbuatankeluar dari maksudnya, ia tinggal gambar yang tidak ada maknanya. Allah SWT
berfirman, “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan)
Allah, tetapi ketakwaan dari kalianlah yang dapat mencapai-Nya.” (Al-Hajj: 37). Maksudnya,
yang sampai kepada Allah adalah sifat yang menguasai hati, yang mendorong untuk
mengikuti perintah yang diwajibkan. Jdai, haruss ada keterlibatan hati dalam salat sekalipun
Allah memberi kelonggaran saat tiba-tiba lalai. Sebab, kehadiran hati pada saat permulaannya
akan merembet ke saat-saat lain sesudahnya. Makna-makna yang bisa mendukung kehidupan
salat banyak macamnya. Di antaranya sebagai berikut. Pertama, kehdairan hati seperti yang
disebutkan di atas. Maknanya, mengosongkan hati dari hal-hal yang bisa mengusiknya.
Pendukungnya adalah hasrat. Jika muncul hasrat yang hendak mengusik hatimu, tidak ada
jalan lain kecuali mengembalikan hasrat ini kepada salat. Pengalihan hasrat seperti ini bisa
menguat dan bisa melemah, bergantung pada kekuatan iman terhadap akhirat danpelecehan
terhadap dunia. Jika engkau merasa bahwa hatimu tidak hadir dalam salat, ketahuilah bahwa
sebabnya adalah iman yang lemah. Karena itu, berusahalah untuk menguatkan iman itu.
Kedua, memahami makna-makna ucapan. Ini termasuk pendukung di belakang kehadiran
hati. Bisa saja hati benar-benar hadir mengiringi setiap ucapan tetapi tanpa makna.maka,
pikiran harus dokonsentrasikan untuk memahami maknanya dengan menyingkirkan lintasan-
lintasan pikiran dan memotong objeknya. Sebab, jika objeknya tidak segera dipotong,lintasan
pkiran pun tidak akan pergi. Objek di sini bisa dahir bisa batin. Yang dahir adalah yang bisa
mengganggu pendengaran danpenglihatan. Adapun yang batin lebih berat, seperti orang yang
disibukkan oleh berbagai macam hasrat dan yang pikirannya mengelana ke seluruh penjuru
dunia. Sebab, pikirannya tidak terbatas pada satu masalah saja dan tidak bisa dienyahkan
dengan menundukkan pandangan mata. Apa pun yang melintas di dalam hati sudah cukup
untuk menyibukkannya. Jalan keluarnya, jika objek itu berupa objek yang dahir, potonglah
apa pun yang bisa mengganggu penglihatan dan pendengaran, yaitu mantap menghadap ke
arah kilat,memandang kearah tempat sujud, jangan memilih tempat salat yang di situ ada
gambar-gambarnya, tidak membiarkan apa yang bisa mengganggu pancainderanya ada
didekatnya. Tatkala Nabi saw. salat di suatu tempat yang ada bendera, beliau mencabutnya
sambil bersabda, “Itulah yang tadi membuatku lalai dalam salat.” (HR Bukhari dan Muslim).
Jika objeknya termasuk objek yang batin, jalan keluarnya ialah denganmemaksa hati dan jiwa
untuk menyimak apa yang sedang dibaca dalam salat dan mengenyahkan hal-hal selainnya.
Cara ini bisa dipersiapkan sejak sebelum memulai salat dengan menyelesaikan pekerjaan-
pekerjaannya,berusaha mengosongkan hati,memperbarui jiwa untuk mengingat akhirat dan
urgensi berdiri di hadapan Allah. Jika pikiran masih belum bisa tenang juga, hendaklah dia
menyadari bahwa pikirannya memang masih dikuasai hal-hal yang menarik minatnya dan
keinginannya. Karena itu, hndaklah dia seger memotong semua keinginan dan bisikan
nafsunya itu. Ketahuilah bahwa bila suatu penyakit sudah akut, tidak ada yang bisa
menyembuhkannya, kecuali obat dengan dosis tinggi. Jika penyakit gangguan salat semakin
kuat, ia akanmenarik orang yang sedang salat, dan orang yang salat menariknya, hingga salat
itu berakhir dalam dalam medan yang tarik-menarik. Perumpamaan dirinya seperti seseorang
yang pergi ke tempat terpencil lalu berteduh di bawah sebuah pohon, karena dia hendak
menenangkan pikirannya di sana. Suara kicau burung yang bertengger di ataspohon itu tentu
saja mengganggu ketenangannya. Sepotong dahan dia lemparkan ke arah burung itu agar
terbang. Burung-burung itu pun terbang menyingkir. Tetapi, selagi pikirannya belum kembali
tenang, burung-burung itu kembali lagi bertengger di atas pohon dan ramai berkicau. Begitu
seterusnya yang dia lakukan dengan burung-burung itu. Lalu, ada seseorang yang memberi
tahu dia, “Ini adalah sesuatu yang tidak ada habis-habisnya. Jika engkau ingin cara yang
tuntas, tebanglah pohon itu!” Begitu pula pohon-pohonhawa nafsu. Selagi pohon ini tumbuh
menjadi tinggi dan bercabang-cabang dahannya, ia akan menarik pikiran, seperti burung yang
tertarik untuk hinggap di pohon danlalat yang tertarik untuk hinggap di kotoran. Maka, umur
pun habis untuk mengusir sesuatu yang tidakakan bisa diusir. Sebab, tumbuhnya hawa nafsu
dan syahwat ini, yang kemudian enguasai pikiran, adalah cinta kepad dunia. Amir bin Abdi
Qaispernah ditanya,”Pernahkah engkau membisiki hatimu dengan sesuatu dari urusandunia
selagi di dalam salat?” Dia menjawab, “Lebih baik engkau meninggalkan mata tombak di
punggungku daripada aku berbuat seperti itu.” Memang memutus kecintan kepada dunia dari
hati bukan perkara yang gampang, danmengenyahkannya sama sekali adalah perbuatan yang
sangat berat lagi sulit. Tetapi, sebisa mungkin hal ini harus diusahakan. Sesungguhnya Allah
Maha Pemberi taufik danMaha Penolong. Ketiga, mengagungkan Allah dan takut kepada-
Nya. Hal ini bisa menghasilkan dua hal: pertama, mengetahui keagungan Allah dan
kebesaran-Nya. Kedua, mengetahui kehinaan dirinya dan kedudukannya sebagai hamba. Hal
ini akan menghasilkan dua makrifat: ketenangan dan khusu. Yang juga bisa menambah rasa
takut ialah berharap. Berapa banyak orang yang mengagung-agungkan seorang raja, yang
amat takut terhadap murkanya, sebagaimana dia sangat mengharapkankebaikan hatinya. Jadi,
orang yang mendirikan salat harus mengharapkan pahala dari Allah, sebagaimana dia takut
azab-Nya jika dia meremehkan salatnya. Orang yang hendak mendirikan salat harus
menghadirkan hatinya dalam segala sesuatu yang berkait dengan salatnya. Saat mendengar
azan hendaklah dia menggambarkan bhwitu adalah seruan datangnya kiamat, lalu dia buru-
buru memenuhi seruan itu. Hendaklah dia memperhatikan apa yang dia penuhi dari seruan itu
dan dengan badan yang bagaimana dia hendak datang. Jika dia menutup auratnya, hendaklah
dia tahu bahwa sebenarnya dengan tindakannya itu dia hendak menutupi aib badannya dari
pandangan orang lain. Maka, hendaklah dia mengingat aib baatinnya dankeburukan-
keburukan yang dia sembunyikan, yang tidak diketahui kecuali Allah semata. Padahal, tidak
ada sesuatu yang tersembunyi dari penglihatan-Nya. Hal ini harusmembuatnya merasa
menyesal, malu, dan takut. Jika dia sudah menghadap kiblat berarti telah mengalihkan
wjahnya dari berbagai arah ke satu arah, yaitu baitullah. Jika dia mengarahkan hatinya kepad
Allah, hal itu jauh lebih layak baginya. Sebagaimana wajahnya yang tidak bisa dikatakan
mengarah ke baitulah, kecuali dengan meninggalkaan arah-arah yang lain, maka hatinya pun
tidak bisa dikatakan mengarah kepada Allah, kecuali dengan meninggalkan hal-hal selain
Allah. Jika engkau sudah bertakbir, janganlah hatimu mendustakan lidahmu. Sebab, jika
ternyata di dalam hatimu masih ada sesuatu yang lebi besar dari Allah, berarti engkau telah
berbuat dusta. Maka, waspadalah jika sekiranya hawa nafsumu lebih besar
dalampandanganmu, dengan bukti engkau lebih mementingkannya daripada taat kepada
Allah. Jika engkau sedang taawud, ketahuilah bahwa taawud adalah kembali kepada Allah.
Jika engkau tidak kembali dengan hatimu, ucapanmu berarti hanya sekadar main-main.
Pahamilah makna yang engkau baca. Kami telah meriwayatkan dari Zararah bin Abu Aufa
r.a. bahwa dia pernah membaca dalam salatnya,”Apabila ditiup sangkakala,” maka seketika
itu dia jatuh dalam keadaan meninggal duia. Rasakanlah tawadu saat engkau rukuk,
rasakanlah kehinaan saat engkau sujud, karena engkau meletakkan jiwa pada tempatnya dan
mengembalikan cabang ke pokoknya, dengan cara bersujud ke tanah, yang darinya engkau
diciptakan. Dengan cara ini engkau bisa memahami makna zikir dengan sepenuh perasaan.
Ketahuilah bahwa mendirikan salat dengan memenuhi syarat-syarat batiniah seperti ini bisa
membersihkan hati dari noda-noda karat dan mendatangkan cahaya di dalamnya, hingga
dengan cara ini keagungan yang disembah bisa tampak dan rahasia-rahasianya bisa dilihat,
yang mungkin tidak bisa dinalar, kecuali oleh orang-orang yang berilmu. Sumber:
Mukhtashar Minhaajil Qaashidiin, Al-Imam asy-Syekh Ahmad bin Abdurrahman bin
Qudamah al-Maqdisy
post

KENIKMATAN SHALAT
Posted by: Ki Gendeng braja geni on: September 11, 2010

 In: Artikel Tasawuf


 Tinggalkan sebuah Komentar

Sebuah kenikmatan yang tidak bisa di lukiskan.manakala ibadah shalat kita diterima oleh
Allah swt.Artinya kita harus memperhatikan tartibnya shalat dari berwudlu sampai kepada
pelaksanaan shalat itu sendiri.Di tambah dengan nilai khusuk di dalam shalat.”Sungguh telah
bahagia orang-orang yang khusuk di dalam shalatnya”.Orang-orang yang khusuk di dalam
shalatnya adalah orang yang dapat memaknai shalat sebagai ibadah berkomunikasi langsung
kepada Allah swt.Ketika kedua tangan di angkat dan mengumandangkan takbir secara lisan
maupun secara hati.Maka ketika itu,semua sirna dalam benak dan pikiran kita terhadap materi
apapun di dunia ini.Kemungkinan itu yang di namakan shalat yang memiliki peluang untuk
diterima oleh Allah swt.Oleh karena itu shalat menimbulkan kenikmatan.
Kalau selama ini shalat kita belum mendatangkan kenikmatan.Maka besar kemungkinan
shalat kita belum diterima oleh Allah swt.Rasulullah saw bersabda:”Pada hari kiamat nanti
ada orang yang membawa shalatnya kepada Allah swt.Kemudian dia mempersembahkan
shalatnya kepada Allah swt.Lalu shalatnya di lipat-lipat seperti di lipatnya pakaian yang
kumal kemudian di bantingkan ke wajahnya.Allah tidak menerima shalatnya.”
Banyak sekali orang yang shalat dan shalatnya akan di bantingkan ke wajahnya,ditolak oleh
Allah swt.Bahkan ada yang celaka dengan shalatnya.Allah swt berfirman:”Celakalah orang -
orang yang shalat.Yaitu orang-orang yang melalaikan shalatnya (QS 107:4-5).
Bagaimana dengan shalat kita nanti??????……………

Catatan (Singkat) Sufistik Tentang Shalat


Posted on Juni 25, 2013 by Hening Darwis

“Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka
sembahlah Aku dan dirikanlah salat untuk mengingat Aku.”(QS Thaha [20]:14)

Shalat diambil dari kata washlat (pelekatan). Orang awam mengartikan ini “taat mengikuti
peraturan khusus tertentu dalam berdoa”, dan kaum esoterik mengartikannya “pelekatan
(taat menjelang) daripada Pecinta kepada Yang Dicintai.”

Shalat adalah mi’raj seorang mukmin–yang sesudah mengosongkan dirinya daripada dirinya
sendiri, mencapai Yang Dicintainya (Kekasihnya); inilah yang dinamakan maqam Mahmuud
(QS [17]:79)

“Alladzinahum ‘ala shalatihim daimun, Yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.”(QS
[70]:23)

Shalat, adalah untuk menetapkan hakikat kesadaran yang senantiasa “terjaga dan berjaga”.
Perjumpaan antara keadaan terjaga dan berjaga adalah pertemuan antara hati nurani dan akal
budi. Kondisi ini hanya dapat dialami oleh siapa saja yang selalu dalam keadaan shalat untuk
mengingat Allah.

Lebih khusus lagi, kondisi ini hanya dapat dirasakan oleh siapa saja yang bukan sekadar
mengerjakan shalat untuk menggugurkan kewajiban, melainkan mendirikan shalat dengan
tetap berada dalam keadaan shalat yang terus menerus tanpa mengenal waktu. Berbeda
dengan shalat fardhu lima waktu dan shalat sunnah lainnya, shalat terus menerus ini dikenal
dengan shalat daim.

Sang pecinta adalah selamanya terbenam dalam cinta Sang Kekasih; yang lain itu, yaitu
shalat biasa adalah pada lima waktu tertentu. Shalat lima waktu itu ditujukan menghadap
kiblat, dan shalat daim langsung terhadap wajah Tuhan.
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah
wajah Allah…”(QS [2]:115)

Jika shalat fardhu dan sunnah adalah shalat raga, yang diawali dengan menyucikan badan dari
hadas (kotoran) kecil dan hadas besar, menutup aurat, dan mengerjakan rukun shalat dari niat
shalat hingga salam maka shalat daim adalah shalat jiwa, yang diawali dengan menyucikan
diri dari penyakit hati, menutup panca indera dari godaan duniawi, dan mengekalkan rukun
shalat daim dengan dzikir nafas yang terus menerus.

Wudhu pada yang satu adalah penyucian diri daripada kenajisan badaniah dan moral; dan
pada yang lain adalah pemisahan daripada diri (“mengosongkan diri dari diri sendiri”)**.
Wudhu adalah “pemisahan”, dan shalat adalah “pelekatan”

Shalat daim adalah shalat hakikat, ketika shalat fardhu dan sunnah adalah shalat syariat dan
thariqat.

Shalat lima waktu adalah shalat syariat yang sesiapa melaksanakannya maka ia telah
menunaikan kewajiban dari Allah sehingga mendapatkan kebaikan dan terhindar dari
keburukan, sebagaimana QS [29]:45 “Sesungguhnya shalat mencegah perbuatan keji dan
munkar.”

Shalat sunnah adalah shalat thariqat yang siapa saja melaksanakannya maka ia beroleh cinta
dari Allah. Dalam hadits Qudsi yang diriwayatkan Bukhari, Rasulullah Saw bersabda bahwa
Allah Ta’ala berfirman,”Dan tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan
sesuatu yang lebih Aku cintai daripada ia mengerjakan apa yang telah Aku wajibkan
kepadanya. Dan tidaklah hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-
amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku menjadi
pendengaran baginya mendengar, penglihatan baginya melihat, tangan baginya memegang,
dan kaki baginya berjalan.”

Shalat daim adalah shalat hakikat yang sesiapa terus menerus mengingat Allah maka ia telah
mencapai hakikat shalat, yaitu mengingat Allah. Caranya adalah dengan menghirup napas
sembari membatin lafadz “Hu” dan mengembuskannya seraya membatin lafadz “Allah”.
“Hu” adalah ringkasan dari “Huwa” atau “Sang Dia”, Allah itu sendiri. Dalam QS Al’A’raf
[7]:205 diajarkan, “Dan sebutlah nama Tuhanmu dalam napasmu (dalam hati) dengan
merendahkan diri dan rasa takut, dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang,
dan janganlah engkau termasuk orang-orang yang lalai.”

Maka, selama kita bernapas, baik itu dalam keadaan berdiri, duduk, atau berbaring, maupun
dalam kesibukan sehari-hari, selama itu pula kita dalam keadaan mengingat Allah, dan
ingatan kepada Allah ini menegaskan keadaan manusia yang dimuliakan oleh Allah dengan
akal : “(orang-orang yang berakal) yaitu orang-orang yang mengingat Allah dalam keadaan
berdiri, duduk, atau berbaring.”(QS [3]:191)

Setelah shalat daim, fase berikutnya adalah shalat wustha yang merupakan shalat makrifat.

Shalat wustha ditegakkan ketika seluruh fase shalat telah sempurna. “Perliharalah semua
shalatmu dan shalat wustha. Berdirilah untuk Allah dalam keadaan shalatmu yang
khusyu.”(QS [2]:238)
Wustha adalah pertengahan, pusat, atau poros. Sebagian ulama menafsirkan shalat wustha
sebagai shalat Asar, tetapi suratan ayat menyebutkan “semua shalatmu” yang di dalamnya
tentu termasuk shalat Asar, sedangkan shalat wustha disebutkan di luar itu. Sebagaimana
shalat daim, shalat wustha melingkupi wilayah batiniyah manusia. Shalat wustha adalah
shalat ruh. Shalat wustha adalah shalat jantung. Fungsi jantung laksana raja bagi seluruh
anggota tubuh manusia. Jantung adalah tonggak kehidupan, pemompa darah ke sekujur
badan, bahkan mata saja disebut sebagai cermin jantung–yang apapun terjadi padanya akan
tampak pada mata, demikian pula apa yang dilihat oleh mata seketika informasinya dikirim
ke jantung. Bila makrifat dimaknai sebagai keadaan melihat–setelah kasyaf atau terbuka hijab
dan tajalli atau menerima cahaya–maka hal ini pun berkaitan dengan mata.

Dalam hadits Qudsi, Rasulullah Saw bersabda bahwa Allah Ta’ala berkata,”Aku jadikan pada
tubuh anak Adam itu qasrun (istana kerajaan diri), yang di dalamnya ada shadrun
(singgasana kesadaran), yang di dalamnya ada qalbu (mahkota hati), yang di dalamnya ada
fuad (jantung hati, kearifan diri), yang di dalamnya ada syaqaf (mata hati, ketajaman intuisis),
yang di dalamnya ada lubbun (lubuk hati, desiran), yang di dalamnya ada sirrun (rahasia hati,
kehendak), yang di dalamnya ada Aku.”

Diibaratkan mata maka qasrun adalah kelopak mata, shadrun adalah selaput putih mata, qalbu
adalah mata, fuad adalah pupil atau anak mata, syaqaf adalah lensa mata, lubbun adalah
retina, dan sirrun adalah penglihatan. Jika pintu qasrun tertutup maka tak akan ada jalan
masuk bagi cahaya. Bila shadrun buram maka cahaya tak dapat diterima oleh fuad. Setelah
diterima oleh fuad, cahaya memusat pada syaqaf sebelum bayangannya dibawa ke lubbun.
Sirrun sebagai fase terakhir tergantung sejak dari proses awal. Ketika penglihatan
berlangsung, yang terjadi pada mata sesungguhnya memulangkan cahaya ke asalnya.

Ketika sudah sampai pada shalat wustha, yang dilihat sesungguhnya adalah cahaya
Mahacahaya. Jika demikian adanya maka berlakulah keadaan fa ainama tuwallu fatsamma
wajhu ‘l-lahi : maka kemanapun engkau berpaling di situlah wajah Allah (QS [2];115).

Jalan menuju keadaan makrifat adalah dengan shalat wustha. Bila dengan jantung batin atau
hati maka merujuk pada jantung Al-Qur’an, yaitu “Walyatalaththaf” atau berlemah lembut
seperti termaktub dalam QS Al-Kahfi [18]:19. Bila dengan jantung zahir atau organ jantung
maka menghidupkan dzikir tahlil dengan penekanan kata “illa ‘l-lah” pada detak jantung.
Bila dengan mata maka dengan pandangan yang teduh dan meneduhkan, yaitu pandangan
yang baik pada Khaliq dan makhluk. Rasulullah Saw bersabda,”Sesungguhnya ada 2 hal pada
dirimu yang Allah cintai, yaitu lemah lembut dan tidak mudah marah.”(HR. Muslim)

Bila shalat daim diawali dengan menyucikan diri dari penyakit hati, maka shalat wustha
sesungguhnya adalah penjagaan hati supaya tidak lagi dihinggapi oleh penyakit.[]

** terkait catatan berjudul Musuh Terburuk | Suluk

(* Disarikan dari : Bab 9 – Sembahyang, dalam buku “The Secret of Ana’l-Haqq“, Shayk
Ibrahim Gazur-i-llahi/ “Mengungkap Misteri Sufi Besar Mansur Al-Hallaj : Ana’l-Haqq”,
1996; dan Berdetak Jantung menuju Makrifat dalam buku “Makrifat Cinta”, Candra Malik,
2012)
SHOLAT
Meski semua ibadah kepada Allah adalah baik,
tapi shalat adalah ibadah yang terbaik.
Demikian dinyatakan oleh Al-Qur’an. Hadis,
dan ungkapan para ulama dan sufi. Rasulullah
bersabda : “Sebaik-baiknya amal adalah shalat
pada waktunya.” Sayidina Ali bin Abi Thalib
menyatakan : “Sesungguhnya amal perbuatan
yang paling disukai Allah adalah shalat.
Bahkan, ia diriwayatkan melafazkan kata :
“Shalat …shalat …” pada detik-detik terakhir
sebelum kematiannya. Sedangkan Imam Ja’far
al-Shadiq – seorang pemimpin umat, sufi, dan
filosof, guru Imam Abu Hanifah dan Imam
Malik — juga menyeru : “Sesungguhnya sebaik-
baik amal di sisi Allah pada hari kiamat adalah
shalat.”
Namun, kita bertanya-tanya, kalau sedemikian
penting nilai shalat dalam keseluruhan ajaran
Islam, mengapa kita seolah tak banyak melihat
manfaat shalat bagi orang-orang yang
melakukannya? Mengapa negara-negara
Muslim, yang di dalamnya banyak orang
melakukan shalat, justru tertinggal dalam hal-
hal yang baik dari negara-negara non-Muslim,
dan menjadi “juara” dalam hal-hal yang buruk,
seperti korupsi, misalnya? Mengapa tak jarang
kita lihat orang yang tampak rajin menjalankan
shalat, bahkan shalat jama’ah di masjid-
masjid, tak memiliki akhlak yang dapat
dicontoh? Apakah Allah Swt., telah melakukan
kekeliruan ketika menyatakan bahwa “Innash-
shalata tanhaa ‘anil fakhsyaa’I wal-munkar
(Sesungguhnya shalat mencegah dari
perbuatan keji dan mungkar”? Apakah salah
Rasul-Nya ketika menyatakan bahwa “jika
shalat seseorang baik maka baiklah semua
amalnya?” Shadaqa Allah al-‘Azhim wa
shadaqa Rasul Allah (Sungguh benar Allah
Yang Maha Agung dan Rasul-Nya).
Jika ada kekeliruan dan kesalahan, maka itu
tentu terletak pada pemahaman kita tentang
firman Allah Swt., dan tentang shalat yang
benar. Mari, untuk itu, kita simak ayat lain
dalam Kitab-Suci-Nya :
“(Lukman menasihati putranya Hai Anakku,
dirikanlah shalat dan perintahkanlah (kepada
manusia) untuk mengerjakan yang makruf dan
cegahlah (mereka) dari berbuat mungkar. Dan
bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya itu termasuk urusan-urusan
yang tegas (diwajibkan oleh Allah) (QS. 31 :
17). Tampak dalam ayat yang barusan dikutip
bahwa perintah mendirikan shalat dipisahkan
dari perintah mengerjakan yang makruf dan
mencegah yang mungkar. Dengan kata lain,
keduanya terpisah. Maknanya akan menjadi
jelas ketika kita simak sabda Rasulullah, yang
tampaknya dimaksudkan untuk menafsirkan
ayat tersebut, sebagai berikut :
“Laa shalaata li man la tanhaahu shalatahu
‘anil fakhsyaa’i wal munkar (Tak melakukan
shalat orang-orang yang shalatnya tak
menghindarkanya dari kekejian dan
kemungkaran)” . Jadi, alih-alih sebagai jaminan
bahwa orang yang shalat pasti tercegah dari
perbuatan keji dan mungkar, maka ayat
tersebut mesti difahami sebagi definisi shalat
yang sesungguhnya. Bahwa shalat yang benar
akan termanifestasikan dalam kebaikan akhlak.
Menjelaskan lebih jauh pengertian ini, Imam
Ja’far al-Shadiq menyatakan :
“Ketahuilah bahwa sesungguhnya shalat itu
merupakan anugerah Allah untuk manusia
sebagai penghalang dan pemisah (dari
keburukan). Oleh karena itu, sesiapa yang
ingin mengetahui sejauh mana manfaat
shalatnya, hendaklah ia memperhatikan apakah
shalatnya mampu menjadi penghalang dan
pemisah dirinya dari perbuatan keji dan
mungkar. Shalat yang diterima (oleh Allah)
adalah hanya sejauh yang mencegah pelakunya
dari perbuatan keji dan mungkar”
Shalat yang tak memiliki sifat mencegah dari
perbuatan keji dan mungkar tak memiliki nilai
sebagai shalat yang benar, sehingga ia tertolak,
sebagaimana dinyatakan dalam hadis yang
lain : “Adakalanya seseorang shalat terus-
menerus selama 50 tahun namun Allah tak
menerima satu pun dari shalatnya.”
Nah, pertanyaan yang tidak-bisa-tidak akan
muncul adalah : seperti apakah shalat yang
benar, yang diterima oleh Allah, itu?
Shalat dan Keharusan Khusyuk
Allah berfirman : “Sesungguhnya shalat itu
amat berat kecuali bagi orang-orang yang
khusyuk” (QS. : 45). Jika ayat ini dibaca
dengan teliti, akan kita dapati bahwa ia
memiliki “pemahaman terbalik” (inverse logics
atau mafhum mukhalafah ) bahwa shalat
hanya memiliki nilai jika dilakukan dengan
khusyuk.
Khusyuk bermakna kesadaran penuh akan
kerendahan kehambaan (‘ubudiyah ) diri kita
sebagai manusia di hadapan keagungan
Rububiyyah (Ketuhanan). Sikap khusyuk ini
timbul sebagai konsekuensi kecintaan sekaligus
ketakutan kita kepada Zat Yang Maha Kasih
dan Maha Dahsyat ini. Sebagai implikasinya,
orang yang memiliki sikap seperti ini akan
berupaya memusatkan seluruh pikiran –
seluruh keberadaannya – kepada Kehadiran-
Nya dan membersihkannya dari apa saja yang
selain Allah. Tidak bisa tidak ini berarti
hadirnya hati. Tanpa kehadiran hati, shalat
kehilangan nilainya. Rasulullah bersabda :
“Shalat yang diterima adalah sekadar hadirnya
hati.”
Diriwayatkan pula darinya saaw. bahwa “dua
rakaat shalat orang yang khusyuk lebih
bernilai ketimbang 1000 rakaat shalat orang
yang tak peduli.” Kepada Abu Dzar Rasul
saaw. mengajarkan : “Dua rakaat shalat pendek
yang disertai dengan tafakur adalah lebih baik
dari shalat sepanjang malam dengan hati yang
lalai.”
Di kesempatan lain Rasul saaw. menamsilkan :
“Tak akan diterima shalat seseorang yang
dilakukan bagai seekor burung yang mematuk-
matuk makanannya.” Mudah dipahami bahwa
seekor burung — sebagai hewan, yang tak
memiliki hati atu perasan sebagimana manusia
– yang sedang mematuk-matuk makanannya
melakukan hal itu secara instinktif, sebagai
bagian dari keharusannya untuk bertahan
hidup Berbeda halnya dengan manusia. Bahkan
ketika sedang kelaparan, manusia menikmati
makanannya itu. Bukan hanya melahapnya,
atau bahkan sekadar menikmati rasanya,
melainkan juga menghayati cara penyajian dan
suasana yang melingkupi waktu makan itu.
Apatah pula ketika ia sedang menghadap
kepada suatu Zat yang Maha Agung sekaligus
Maha Lambut ( Lathif) sebagaimana Allah
Subhana-Hu wa Ta’ala . Jika hati tiada hadir,
maka apa makna shalat, yang dikatakan
sebagai sarana pertemuan kita dengan-Nya?

Anda mungkin juga menyukai