Anda di halaman 1dari 126

ANALISIS DAYASAING KAKAO DAN FAKTOR-FAKTOR

YANG MEMENGARUHI PERMINTAAN EKSPOR KAKAO


INDONESIA DI NEGARA TUJUAN EKSPOR UTAMA

ERVINA NOVIA SARI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
ii
iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN


SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Dayasaing


Kakao dan Faktor-faktor yang Memengaruhi Permintaan Ekspor Kakao Indonesia
di Negara Tujuan Ekspor Utama adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya
melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2017

Ervina Novia Sari


NIM H44130079
iv
v

ABSTRAK

ERVINA NOVIA SARI. Analisis Dayasaing Kakao dan Faktor-faktor yang


Memengaruhi Permintaan Ekspor Kakao Indonesia di Negara Tujuan Ekspor
Utama. Dibimbing oleh HASTUTI.

Indonesia merupakan negara produsen biji kakao terbesar ketiga dunia. Penerapan
kebijakan Bea Keluar (BK) pada biji kakao sejak April 2010 menyebabkan nilai
ekspor biji kakao Indonesia terus mengalami penurunan secara signifikan, namun
produk kakao olahan mengalami peningkatan secara signifikan terutama pada pasta
kakao dan lemak kakao. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi
posisi perdagangan kakao (biji kakao, pasta kakao, dan lemak kakao), menganalisis
faktor-faktor yang memengaruhi permintaan ekspor kakao Indonesia dan dayasaing
kakao Indonesia di negara tujuan ekspor utama periode 2006-2015. Metode Indeks
Spesialisasi Perdagangan (ISP) digunakan untuk menganalisis posisi perdagangan
kakao Indonesia. Analisis Gravity Model digunakan untuk menganalisis faktor-
faktor yang memengaruhi permintaan ekspor kakao Indonesia. Metode Revealed
Comparative Advantage (RCA) dan Export Product Dynamic (EPD) digunakan
untuk menganalisis posisi dayasaing kakao Indonesia. Hasil dari metode ISP
menunjukkan bahwa Indonesia cenderung menjadi eksportir kakao. Faktor-faktor
yang secara signifikan memengaruhi permintaan ekspor biji kakao Indonesia ke
negara tujuan meliputi GDP riil per kapita negara tujuan, nilai tukar negara riil dan
jarak ekonomi. Pada pasta kakao, variabel yang berpengaruh, yaitu nilai tukar riil,
harga ekspor, dan kebijakan BK. Pada lemak kakao, variabel yang berpengaruh,
yaitu GDP riil per kapita negara tujuan, harga ekspor, dan kebijakan BK. Hasil dari
metode RCA menunjukkan dayasaing komoditas biji kakao Indonesia menurun di
semua negara tujuan ekspor setelah adanya kebijakan BK, namun dayasaing
komoditas pasta dan lemak kakao Indonesia mengalami peningkatan. Hasil metode
EPD menunjukkan posisi pasar kakao sebagian besar menurun posisinya dari
Rising Star menjadi Falling Star.

Kata kunci: Bea Keluar, EPD, Gravity Model, ISP, RCA.


vi

ABSTRACT

ERVINA NOVIA SARI. Competitiveness Analysis of Cocoa and Affecting Factors


of Export Demand of Indonesian Cocoa in Main Exporter Countries. Supervised by
HASTUTI.

Indonesia is the third largest countries as cocoa beans producer in the world. The
implementation of tax policy (TP) on cocoa beans since April 2010 led to the
Indonesian cocoa beans export value into a significant decline but on the other
hand, processed cocoa products have increased especially on cocoa paste and
cocoa butter. The objectives of this study are to indetify the Indonesian cocoa
(cocoa beans, cocoa paste, and cocoa butter) trade position, analyze affecting
factors of export demand of Indonesian cocoa and Indonesian cocoa
competitiveness in main exporter countries in 2006-2015 period. The method of
Trade Specialization Index (TSI) is used to analyze position of Indonesian cocoa
trades. Gravity Model is used to analyze the factors of export demand of Indonesian
cocoa. Revealed Comparative Advantage (RCA) and Export Product Dynamic
(EPD) method are used to analyze the position of competitiveness of Indonesian
cocoa. Results of TSI showed Indonesia can be said as a cocoa’s exporter country.
Export demand of cocoa beans in the main countries are influenced by the GDP
per capita of importers, real exchange rates of importers, and economic distance.
Exports demand of cocoa paste in the main countries are significantly influenced
by the real exchange rates of importers, economic distance, and tax policy.
Affecting factors of Export Demand of cocoa butter in the main countries are GDP
per capita, export price, and tax policy. RCA method results showed that
Indonesian cocoa beans competitiveness have declined in all main exporter
countries after the implementation of tax policy while cocoa paste and cocoa butter
competitiveness have significantly increased in all main exporter countries. EPD
method results showed that most of Indonesian cocoa’s market positions have
decreased into Falling Star from Rising Star position.

Key words: Tax Policy, EPD, Gravity Model, TSI, RCA.


vii

ANALISIS DAYASAING KAKAO DAN FAKTOR-FAKTOR


YANG MEMENGARUHI PERMINTAAN EKSPOR KAKAO
INDONESIA DI NEGARA TUJUAN EKSPOR UTAMA

ERVINA NOVIA SARI

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi
pada
Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN


FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2017
viii
ix

Judul Skripsi : Analisis Dayasaing Kakao dan Faktor-faktor yang Memengaruhi


Permintaan Ekspor Kakao Indonesia di Negara Tujuan Ekspor
Utama
Nama : Ervina Novia Sari
NIM : H44130079

Disetujui oleh

Hastuti, SP, MSi


Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT


Ketua Departemen

Tanggal Lulus:
Judul Skripsi : Analisis Dayasaing Kakao dan Faktor-faktor yang Memengaruhi ·

Permintaan Ekspor Kakao Indonesia di Negara Tujuan Ekspor


Utama '

Nama : Ervina Novia Sari

NIM : H44130079

Disetujui oleh

Hastuti, SP, MSi


Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Tanggal Lulus: 1 6 AUG 2017


x
xi

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih
dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2016 hingga Oktober 2016 ini
adalah perdagangan pertanian, dengan judul Analisis Dayasaing Kakao dan Faktor-
faktor yang Memengaruhi Permintaan Ekspor Kakao Indonesia di Negara Tujuan
Ekspor Utama dalam memenuhi prasyarat untuk mendapatkan gelar Sarjana
Ekonomi program studi Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada kedua orang tua, Dindin dan Siti
Kholilah, adik penulis Muhammad Alfiansyah, serta seluruh keluarga, atas segala
doa, kasih sayang, serta semangat yang terus diberikan untuk penulis. Selain itu,
penulis juga mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Hastuti, S.P, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga, perhatian, dan pikirannya dalam memberikan
arahan dan nasihat dalam penyusunan skripsi kepada penulis.
2. Bapak Adi Hadianto, S.P, M.Si selaku dosen penguji utama, dan Ibu Dea
Amanda, S.E, M.Si sebagai penguji kedua yang telah memberikan kritik dan
saran demi keberhasilan penyusunan tugas akhir ini.
3. Bapak Tri dan Bapak Bambang selaku pihak Pusdatin Kemendag RI yang telah
membantu dalam melengkapi data statistik yang diperlukan untuk kebutuhan
penelitian penulis.
4. Bapak Vector selaku pihak Pusdatin Kementan RI yang membantu dalam
melengkapi data statistik yang diperlukan untuk kebutuhan penelitian penulis.
5. Teman satu bimbingan Dafina, Rani, Andi, Yanti, dan Faris yang selalu
mengingatkan, memberi dukungan, dan motivasi penulis.
6. Saudaraku Fika dan Dewi yang selalu memberikan dukungan dan semangat
kepada penulis.
7. Teman sedari TPB, Farha, Faritha, Dea, dan Nita yang selalu memberikan
keceriaan, semangat, dan masukan kepada penulis.
8. Teman-teman Etniez SMAN 2 Bekasi, Citra, Zahra, Shinta, Inggrit, Uchi,
Zerlinda, Ajul yang selalu memberikan keceriaan, dukungan hingga penulis
menyelesaikan tugas akhir.
9. Teman KKN Cinisti, Lina, Hana, Ayu, Adit, dan Katon yang selalu
memberikantawa, canda serta semangat kepada penulis.
10. Keluarga ESL 50 yang telah yang memberikan semangat dan motivasi kepada
penulis.
11. Seluruh pihak-pihak yang telah membantu dan tidak mungkin disebutkan satu
persatu.
Bogor, Agustus 2017

Ervina Novia Sari


NIM.H44130079
xii
xiii

DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR TABEL ......................................................................................... xiv


DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xvi
I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Perumusan Masalah ....................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian........................................................................... 10
1.4 Manfaat Penelitian......................................................................... 11
1.5 Ruang Lingkup Penelitian ............................................................. 11
II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................... 13
2.1 Teori Keunggulan Absolut Adam Smith ....................................... 13
2.2 Teori Keunggulan Komparatif David Ricardo .............................. 13
2.3 Teori Keunggulan Kompetitif ....................................................... 14
2.4 Perkembangan Ekspor Kakao Indonesia ...................................... 15
2.5 Penelitian Terdahulu .................................................................... 16
III KERANGKA PEMIKIRAN .............................................................. 21
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ........................................................ 21
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional .................................................. 25
IV METODE PENELITIAN ................................................................... 27
4.1 Jenis dan Sumber Data .................................................................. 27
4.2 Metode Analisis............................................................................. 27
4.2.1 Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP)............................... 28
4.2.2 Analisis Panel Data dengan Gravity Model ....................... 28
4.2.3 Analisis Dayasaing Revealed Comparative Advantage
(RCA) ............................................................................... 34
4.2.4 Analisis Dayasaing Export Product Dynamics (EPD) ....... 35
V GAMBARAN UMUM KAKAO INDONESIA ................................ 37
5.1 Perkembangan Produsen Utama Biji Kakao di Dunia ................... 37
5.2 Negara Eksportir Kakao di Dunia .................................................. 37
5.2.1 Negara Eksportir Biji Kakao Dunia ...................................... 38
5.2.2 Negara Eksportir Pasta Kakao Dunia ................................... 38
5.2.3 Negara Eksportir Lemak Kakao di Dunia ............................ 39
5.3 Luas Areal Perkebunan Kakao Indonesia ...................................... 40
5.4 Variasi Biji Kakao .......................................................................... 41
5.5 Perkembangan Ekspor Kakao Indonesia di Negara Tujuan
Ekspor Utama ................................................................................ 44
VI HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................... 49
6.1Analisis Posisi Perdagangan Kakao Indonesia di Negara
Tujuan Ekspor Utama ...................................................................... 49
6.1.1 Posisi Perdagangan Biji Kakao Indonesia ............................. 49
6.1.2 Posisi Perdagangan Pasta Kakao Indonesia ........................... 50
6.1.3 Posisi Perdagangan Lemak Kakao Indonesia ........................ 52
xiv

6.2 Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Permintaan Ekspor


Kakao Indonesia .......................................................................... 53
6.2.1 Hasil Estimasi Fungsi Permintaan Ekspor Biji Kakao
(HS 1801) Indonesia di Negara Tujuan Ekspor Utama .... 53
6.2.2 Hasil Estimasi Fungsi Permintaan Ekspor Pasta Kakao
(HS 1803) Indonesia di Negara Tujuan Ekspor Utama .... 59
6.2.3 Hasil Estimasi Fungsi Permintaan Ekspor Lemak Kakao
(HS 1804) Indonesia di Negara Tujuan Ekspor Utama ..... 65
6.3 Analisis Dayasaing Kakao Indonesia di Negara Utama
Tujuan Ekspor Utama.................................................................. 71
6.3.1 Analisis Keunggulan Komparatif Kakao Indonesia
(RCA) di Negara Tujuan Ekspor Utama............................ 71
6.3.2 Analisis Keunggulan Kompetitif Kakao Indonesia
(EPD) di Negara Tujuan Ekspor Utama ............................ 77
VII SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 81
7.1 Simpulan...................................................................................... 81
7.2 Saran ............................................................................................ 82
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 83
LAMPIRAN .................................................................................................... 87

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Produk Domestik Bruto Indonesia sektor pertanian atas dasar


konstan 2010 tahun 2011 – 2015 ...................................................... 1
2. Nilai ekspor pertanian Indonesia menurut sub sektor tahun
2010 – 2015*..................................................................................... 2
3. Perkembangan nilai ekspor komoditas primer perkebunan
Indonesia tahun 2011-2015 ............................................................... 3
4. Penelitian terdahulu ........................................................................... 17
5. Jenis dan sumber data ........................................................................ 27
6. Matriks posisi dayasaing dengan metode EPD ................................. 35
7. Perkembangan produsen biji kakao terbesar dunia tahun 2009
-2015 .................................................................................................. 37
8. Perkembangan luas areal dan produksi kakao di Indonesia
menurut pengusahaan tahun 2004-2015 ......................................... 41
9. Hasil estimasi uji model biji kakao .................................................. 54
xv

10. Hasil estimasi panel data pada biji kakao Indonesia (HS 1801)
di negara tujuan ekspor periode 2006 – 2015 ................................ 54
11. Hasil estimasi uji model pasta kakao .......................................... 60
12. Hasil estimasi panel data pada pasta kakao Indonesia (HS 1803)
di negara tujuan ekspor periode 2006 – 2015 ................................. 60
13. Hasil estimasi uji model lemak kakao. ........................................... 66
14. Hasil estimasi panel data pada lemak kakao Indonesia (HS 1804)
di negara tujuan ekspor periode 2006 – 2015 ............................... 66
15. Dinamika nilai RCA biji kakao (HS 1801) Indonesia di negara
tujuan ekspor periode 2006 – 2015 ................................................ 72
16. Dinamika nilai RCA pasta kakao (HS 1803) Indonesia di negara
tujuan ekspor periode 2006 – 2015 .............................................. 74
17. Dinamika nilai RCA lemak kakao (HS 1804) Indonesia di negara
tujuan ekspor periode 2006 – 2015 ................................................ 76
18. Hasil estimasi EPD kakao Indonesia ke negara tujuan ekspor
utama tahun 2006-2015 ................................................................. 78

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Produksi negara produsen kakao terbesar dunia tahun


2010-2015* ..................................................................................... 4
2. Nilai ekspor kakao Indonesia tahun 2010-2015 .............................. 5
3. Negara pengekspor kakao ke Indonesia tahun 2015 ....................... 6
4. Kurva perdagangan internasional .................................................... 22
5. Kerangka pemikiran operasional..................................................... 26
6. Posisi dayasaing produk dengan metode EPD ................................ 36
7. Negara eksportir biji kakao dunia tahun 2015. ............................... 38
8. Negara eksportir pasta kakao dunia tahun 2015 ............................. 39
9. Negara eksportir lemak kakao dunia tahun 2015 ............................ 40
10. Pohon industri kakao ....................................................................... 43
11. Perkembangan nilai ekspor kakao Indonesia HS 18 di
negara tujuan ekspor utama tahun 2006-2015 ................................ 44
12. Perkembangan nilai ekspor biji kakao Indonesia HS 1801
di negara tujuan ekspor utama tahun 2006-2015 ............................. 45
xvi

13. Perkembangan nilai ekspor pasta kakao Indonesia HS 1803 di


negara tujuan ekspor utama tahun 2006-2015 ................................ 46
14. Perkembangan nilai ekspor lemak kakao Indonesia HS 1804
di negara tujuan ekspor utama tahun 2006-2015 ........................... 47
15. Posisi perdagangan biji kakao Indonesia tahun 2006–2015 .......... 49
16. Posisi perdagangan pasta kakao Indonesia tahun 2006–2015 ........ 51
17. Posisi perdagangan lemak kakao Indonesia tahun 2006–2015 ...... 52

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1. Hasil Estimasi Perhitungan ISP Kakao Indonesia di Negara
Tujuan Ekspor Utama Tahun 2006-2015 ..................................... 88
2. Hasil Uji Chow (Biji Kakao) ......................................................... 90
3. Hasil Uji Hausman (Biji Kakao) ................................................... 90
4. Uji Normalitas (Biji Kakao) .......................................................... 91
5. Hasil Estimasi Panel Data dengan Menggunakan Model Fixed
Effect dengan Cross Section-Weight pada biji kakao .................... 91
6. Hasil Uji Chow (Pasta Kakao) ....................................................... 92
7. Hasil Uji Hausman (Pasta Kakao) ................................................. 92
8. Uji Normalitas (Pasta Kakao) ........................................................ 92
9. Hasil Estimasi Panel Data dengan Menggunakan Model Fixed
Effect dengan Cross Section-Weight pada Pasta Kakao ............... 93
10. Hasil Uji Chow (Lemak Kakao) .................................................... 94
11. Hasil Uji Hausman (Lemak Kakao) .............................................. 94
12. Uji Normalitas (Lemak Kakao) ..................................................... 94
13. Hasil Estimasi Panel Data dengan Menggunakan Model Fixed
Effect dengan Cross Section-Weight pada Lemak Kakao ............ 95
14. Hasil Estimasi Perhitungan RCA Kakao Indonesia ..................... 96
15. Hasil Estimasi Perhitungan EPD Kakao Indonesia ...................... 101
I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang berperan penting dalam
pertumbuhan perekonomian Indonesia. Sektor pertanian tahun 2016 menyumbang
sebesar Rp 947 518.30 Milyar atau 14.11% terhadap PDB Indonesia atas dasar
harga berlaku tahun 2010 menurut lapangan usaha (BPS 2016a). Selain itu, sektor
pertanian juga berperan sebagai penyedia lapangan pekerjaan bagi sebagian besar
masyarakat Indonesia dan menjadi sumber devisa negara dalam kegiatan ekspor
produk pertanian. Berdasarkan lapangan usaha, sektor pertanian terbagi menjadi
lima subsektor, subsektor tanaman pangan, tanaman holtikultur, tanaman
perkebunan, peternakan, serta jasa pertanian dan perburuan.

Tabel 1. Produk Domestik Bruto Indonesia sektor pertanian atas dasar konstan
2010 tahun 2011 – 2015
PDB Sektor Pertanian (Milyar Rupiah)
Lapangan Usaha
2011 2012 2013 2014 2015
Pertanian, 993 857.3 1 039 440.7 1 083 141.80 1 129 052.70 1 174 456.80
Kehutanan, (13.51%) (13.37%) (13.36%) (13.34%) (13.52%)
Perikanan
-Tanaman Pangan 250 787.4 263.076.2 268 268.20 268 426.90 277 773.10
(3.46%) (3.55%) (3.48%) (3.25%) (3.41%)
-Tanaman 120 079.3 117 424.50 118 207.70 124 300.90 127 401.10
Holtikultura (1.6%) (1.45%) (1.44%) (1.52%) (1.52%)
-Tanaman 281 465.0 301 019.50 319 532.60 338 502.20 350 490.30
Perkebunan (3.87%) (3.75%) (3.75%) (3.77%) (3.57%)
- Peternakan 113 606.3 119 249.80 125 302.30 132 221.10 136 312.60
(1.5%) (1.52%) (1.55%) (1.58%) (1.59%)
- Jasa Pertanian dan 14 646.1 15 534.40 16 452.90 16 938.40 17 593.70
Perburuan (0.2%) (0.2%) (0.2%) (0.19%) (0.20%)
Sumber: BPS (2016b), diolah

Pada Tabel 1 terlihat bahwa subsektor tanaman perkebunan masih menjadi


andalan jika dibandingkan subsektor lain pada sektor pertanian di Indonesia.
Subsektor tanaman perkebunan menyumbang sebesar Rp 282 217.10 Milyar atau
3.63% terhadap PDB sektor petanian dengan laju pertumbuhan yang positif, yaitu
3.34% tahun 2016. Laju pertumbuhan perkebunan yang positif memicu produsen
dalam melakukan kegiatan perdagangan komoditas perkebunan khususnya dalam
melakukan ekspor komoditas perkebunan.
Subsektor perkebunan memberikan nilai ekspor paling besar diantara
subsector lainnya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa peran subsektor
2

perkebunan memiliki peran strategis dalam mendukung perekonomian Indonesia.


Pada Tabel 2 dapat dilihat perkembangan nilai ekspor sektor pertanian Indonesia
tahun 2010-2015.

Tabel 2. Nilai ekspor pertanian Indonesia menurut subsektor tahun 2010 – 2015
Nilai Ekspor (000 US$)
Tahun Subsektor
Tanaman Pangan Holtikultura Perkebunan Peternakan
2010 477 708 390 740 30 702 864 951 662
2011 584 861 491 304 40 689 768 1 599 071
2012 161 743 473 300 32 453 237 572 930
2013 185 960 434 385 29 476 882 592 692
2014 205 531 522 985 29 722 438 587 798
2015* 212 285 576 555 26 850 902 443 432
Sumber : BPS (2017)
Ket: *angka sementara

Berdasarkan Rencana Strategis (Renstra) 2015-2019 Ditjen Perkebunan


tahun (2015a) dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)
2005-2025, peran strategis subsektor perkebunan dapat digambarkan melalui share
terhadap PDB, investasi pembangunan perekonomian nasional, menyeimbangkan
neraca perdagangan, sumber devisa negara melalui kegiatan perdagangan bilateral,
penyedia bahan pangan dan bahan baku industri, penyerapan tenaga kerja, sumber
utama pendapatan bagi masyarakat, serta penyedia bahan bakar nabati dan
bioenergy. Diharapkan dengan meningkatnya peran subsektor perkebunan terhadap
perekonomian nasional dapat memperkokoh pembangunan perkebunan secara
menyeluruh sebagaimana yang dijelaskan dalam UU No.39 Tahun 2014 tentang
Perkebunan terutama dalam mengemban amanat dalam meningkatkan produksi dan
produktivitas, kualitas, nilai tambah, dayasaing dan pangsa pasar, meningkatkan
dan memenuhi kebutuhan bahan baku industri dan konsumsi dalam negeri
memberikan perlindungan pada pelaku usaha perkebunan dan masyarakat,
mengelola dan mengoptimalkan sumberdaya perkebunan dan bertanggung jawab
secara lestari, serta meningkatkan pemanfaatan jasa perkebunan (Ditjenbun 2015).
Kakao merupakan salah satu komoditas unggulan subsektor perkebunan
yang memiliki pertumbuhan positif dalam ekspor Indonesia. Komoditas kakao
lebih banyak diekspor daripada dijual di pasar domestik karena budaya Indonesia
yang tidak mengonsumsi cokelat dengan jumlah banyak (Kemenperin 2010).
Kakao juga penyumbang sumber devisa terbesar komoditas perkebunan ketiga
3

setelah komoditas kelapa sawit dan karet (Ditjenbun 2015). Selain sebagai sumber
devisa, komoditas kakao berperan dalam menjaga sumber pendapatan
berkelanjutan bagi petani yang bekerja di sentra perkebunan kakao. Pada Tabel 3
dapat dilihat perkembangan nilai ekspor kakao Indonesia.
Tabel 3. Perkembangan nilai ekspor komoditas primer perkebunan Indonesia tahun
2011-2015
Nilai Ekspor (Juta US $)
No Komoditas
2011 2012 2013 2014 2015
1. Karet 11 135.8 7 861.9 6 907.0 4 741.6 3 699.1
2. Minyak Sawit 17.261 17 602.2 15 838.9 17 464.9 15 380.1
3. Kakao 1 172.0 1 053.5 1 151.5 1 244.5 1 307.8
4. Kelapa 702.6 1 245.3 762.4 1 347.3 1 190.6
5. Kopi 963.4 1 249.5 1 174.0 1 039.6 1 197.7
6. The 152.1 156.8 157.5 134.6 126.1
7. Lada 195.9 423.4 347.0 323.8 548.2
8. Jambu Mete 67.7 95.4 90.8 108.4 184.4
9. Cengkeh 15.1 24.8 25.4 33.8 46.5
10. Kapas 1.0 37.5 45.6 46.4 41.5
11. Tembakau 137.5 159.6 199.6 181.3 156.8
12. Tebu 60.1 46.2 67.6 113.4 54.9
Total 32 222.5 29 956.1 26 767.2 26 779.6 23 933.7
Sumber: Ditjenbun (2016a)

Sebelum periode 1919-1920, Amerika Selatan (negara Ekuador dan Brasil


sebagai produsen utama) mendominasi produksi biji kakao dunia, namun pada
periode 1920-1921, produksi biji kakao dunia bergeser dari Amerika Selatan
menjadi Afrika dengan menyumbang 50-70%. Kemudian, Ghana menjadi produsen
utama kakao dunia pada periode 1976-1977 (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao
Indonesia 2010), setelah itu Pantai Gading, Ghana, dan Indonesia sebagai produsen
biji kakao terbesar pertama, kedua, dan ketiga hingga saat ini di dunia. Berdasarkan
data FAO (2016) yang dilihat dari rata-rata produksi biji kakao dari tahun
2010-2015, Pantai Gading sebagai produsen utama biji kakao dunia memiliki rata-
rata produksi 1 441 469 ton, Ghana dengan rata-rata produksi 803 497 ton,
Indonesia pada posisi ketiga dengan rata-rata produksi 740 995 ton, Nigeria dan
Kamerun memiliki rata-rata produksi 256 105 ton dan 333 067 ton. Gambar 1
merupakan negara dengan produksi biji kakao terbesar dunia.
4

1600000
1400000
1200000
1000000
Ton

800000
600000
400000
200000
0
2010 2011 2012 2013 2014 2015
Pantai Gading 1301347 1511255 1485882 1448992 1434077 1467259.5
Ghana 632037 700020 879348 835466 858720 915390.75
Indonesia 844626 712200 740500 720900 728400 699343.5
Kamerun 193881 240000 268941 275000 269902 288907.2633
Nigeria 399200 391000 383000 367000 248000 210200

Sumber: Food and Agriculture Organization (FAO) 2016, diolah


Gambar 1. Produksi negara produsen kakao terbesar dunia tahun 2010-2015

Menurut data dari International Trade Center (2017) berdasarkan kode


Harmony System 4 digit, komoditas kakao dan produk turunannya (cocoa and other
cocoa preparations) kode HS 18, dibedakan menjadi beberapa jenis kakao, yaitu
biji kakao (cocoa beans) dengan kode HS 1801, kulit kakao (cocoa
shells,husks,skins and waste) dengan kode HS 1802, pasta kakao (cocoa paste)
dengan kode HS 1803, lemak kakao (cocoa butter) dengan kode HS 1804, bubuk
kakao (cocoa powder) dengan kode HS 1805, serta cokelat dan makanan lain yang
mengandung kakao (chocolate and other food preparations containing cocoa) kode
HS 1806.
Indonesia sebagai negara produsen biji kakao terbesar ketiga dunia, umumnya
masih mengekspor kakao dalam bentuk kakao biji atau kakao mentah yang belum
mengalami proses fermentasi. Umumnya, petani kakao Indonesia hanya melakukan
proses pengeringan pada biji kakao tanpa dilakukan pemberian nilai tambah (proses
fermentasi). Hal ini yang menyebabkan mutu dan kualitas kakao dan produk olahan
kakao Indonesia di pasar internasional menjadi rendah padahal biji kakao Indonesia
memiliki keunggulan melting point cocoa butter yang tinggi, serta tidak
mengandung pestisida dibanding biji kakao dari Ghana maupun Pantai Gading
(Kemenperin 2010). Dalam rangka menjaga keberlanjutan produksi biji kakao
sebagai sumber bahan baku industri nasional, pemerintah menerapkan kebijakan
Bea Keluar dan (BK) pada komoditas biji kakao melalui Peraturan Menteri
5

Keuangan Republik Indonesia Nomor 67/PMK.011/2010 mulai 1 April tahun 2010.


Nilai ekspor kakao Indonesia tahun 2010-2015 dapat dilihat pada Gambar 2.
1800000
1600000
1400000
1200000
000 US$

1000000
800000
600000
400000
200000
0
2010 2011 2012 2013 2014 2015
kakao 1643649 1345278 1053447 1151481 1244530 1307771
biji kakao 1190740 614496 384830 446095 196492 114978
kulit kakao 727 2594 3506 3781 4232 3305
pasta kakao 66093 214321 208668 186434 233729 302350
kakao butter 236808 304581 236138 356764 660784 726296
bubuk kakao 103183 157998 165177 110445 104239 124283
cokelat dan makanan lain 46098 51287 55129 47963 45053 36559

Sumber: International Trade Center 2017 (diolah)


Gambar 2. Nilai ekspor kakao Indonesia tahun 2010-2015

Pada Gambar 2, terjadi penurunan nilai ekspor biji kakao dari tahun ke tahun
akibat dari penerapan BK pada biji kakao namun terjadi peningkatan pertumbuhan
yang signifikan terhadap nilai ekspor lemak kakao sehingga dapat dikatakan bahwa
penerapan kebijakan tersebut berjalan dengan baik dimana produsen kakao dapat
beralih dari mengekspor kakao dalam bentuk biji menjadi mengekspor kakao dalam
bentuk olahan seperti lemak kakao sehingga industri pengolah kakao dalam negeri
dapat meningkatkan nilai tambah dan dayasaing produk olahan kakao lainnya yang
masih mengalami fluktuasi seperti kulit kakao, pasta kakao, bubuk kakao, dan
cokelat. Pada Gambar 2 terdapat tiga komoditas kakao yang memiliki kontribusi
tertinggi sebagai komoditas ekspor Indonesia periode tahun 2010-2015, yaitu
komoditas biji kakao menyumbang rata-rata nilai ekspor mencapai US$ 491 271.83
ribu, komoditas lemak kakao dengan rata-rata nilai ekspor US$ 420 228.5 ribu, dan
pasta kakao US$ 201 932.5 ribu. Sebagai negara produsen biji kakao terbesar ketiga
di pasar internasional, Indonesia ternyata juga melakukan impor kakao dari
beberapa negara. Pada Gambar 3 dapat dilihat beberapa negara pengekspor kakao
ke Indonesia.
6

293780
300000

250000

200000
000 US $

150000

100000 78891
50035
50000
20171 19188 17709 13461 12854 12694

. Sumber: International Trade Center (2017b) diolah


Gambar 3. Negara pengekspor kakao ke Indonesia tahun 2015

Pada Gambar 3, total nilai impor kakao Indonesia dari dunia pada tahun 2015
adalah sebesar US$ 293 780 ribu dan pada tahun yang sama Indonesia mengimpor
kakao terbanyak dari Pantai Gading dengan nilai impor sebesar US$ 78 891 ribu
atau sebesar 27% dari total nilai impor komoditas kakao indonesia. Indonesia juga
mengimpor kakao dari Malaysia dengan nilai impor US$ 50 035 ribu atau sebesar
17% dari total nilai impor kakao Indonesia dan sebagian kecil mengimpor kakao
dari beberapa negara seperti Ghana, Kamerun, Ekuador, Singapura, Papua New
Guinea, dan Belgia (ITC 2017). Umumnya, Indonesia mengimpor kakao dalam
bentuk biji kakao dalam rangka mendapatkan biji kakao yang memiliki kualitas
tinggi karena sebagian besar biji kakao Indonesia memiliki kualitas rendah
(Kemenperin 2007).
Permintaan biji kakao dunia mencapai 2 848 900 ton per tahun dengan pasar
Eropa sebagai konsumsi tertinggi mencapai 1 495 100 ton, Amerika Serikat 1 008
500 ton, Asia dan Oceania 278 100 ton, dan Afrika 67 200 ton (Tresliyana et al.
2015). Peningkatan konsumsi kakao dunia dikhawatirkan dapat menyebabkan
kekurangan pasokan biji kakao untuk. Indonesia masih menghadapi beberapa
masalah seperti produktivitas yang tergolong masih rendah. Hal itu disebabkan
karena para petani kakao masih menggunakan alat budidaya yang masih tradisional,
7

dan adanya serangan hama Penggerek Buah Kakao (PBK) pada tanaman kakao
(Kemenperin 2010). Selain itu mutu biji kakao yang masih rendah, masih belum
optimalnya pertumbuhan industri kakao dalam negeri serta kurangnya nilai tambah
pada produk kakao di Indonesia juga menjadi masalah yang dihadapi Indonesia.
Hal tersebut menjadi tantangan bagi Indonesia dalam menguasai pangsa pasar
internasional. Indonesia harus memiliki strategi yang tepat untuk meningkatkan
kinerja perkebunan kakao sebagai negara produsen terbesar ketiga dunia. Salah satu
strategi yang dapat dilakukan adalah meningkatkan dayasaing komoditas ekspor
kakao yang memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif agar
mampu bersaing dengan komoditas negara lain. Berdasarkan uraian tersebut, kajian
mengenai analisis dayasaing kakao Indonesia di negara tujuan ekspor dirasakan
penting untuk mengetahui lebih dalam dayasaing kakao Indonesia.

1.2 Perumusan Masalah

Produksi kakao Indonesia sangat berlimpah seiring dengan peningkatan luas


areal penanaman kakao, sehingga Indonesia termasuk kedalam salah satu negara
produsen penghasil biji kakao terbesar dunia. Pada pasar perdagangan
internasional, harga biji kakao dan produk olahan kakao memiliki prospek
pengembangan yang cukup cerah. Hal tersebut memberikan peluang bagi ekspor
kakao Indonesia. Saat ini ekspor kakao Indonesia sebagian besar masih didominasi
dalam bentuk primer, yakni biji kakao dan sebagian kecil dalam bentuk produk
olahan.
Dalam rangka menjaga kestabilan ekspor biji kakao, pemerintah melakukan
ekstensifikasi luas areal lahan kakao untuk meningkatkan produksi biji kakao di
bagian hulu. Produksi dan produktivitas kakao yang dihasilkan Indonesia masih
tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara eksportir seperti Pantai Gading
dan Ghana. Pada tahun 2001, luas lahan penanaman kakao adalah sebesar 749 917
ha dengan produksi 536 804 ton dan biji kakao yang diekspor sebesar 302 670 ton,
tahun 2005 kemudian luas areal kakao meningkat menjadi 1 167 046 ha dengan
produksi 748 828 ha dan biji kakao yang diekspor sebesar 367426 ton, kemudian
pada tahun 2010 luas arealnya meningkat menjadi 1 650 621 ha dengan produksi
837 918 ton dan biji yang diekspor 439 305 ton. Peningkatan produksi biji kakao
8

mendorong Indonesia untuk terus melakukan ekspor biji kakao ke pasar


internasional.
Pada umumnya peningkatan pada produksi biji kakao tidak diikuti dengan
nilai tambah. Hal ini dapat dilihat dari keadaan industri hilir kakao di Indonesia
masih belum berkembang secara optimal, sehingga diperlukan nilai tambah untuk
mendorong perkembangan industri pengolahan di dalam negeri. Oleh karena itu,
kebijakan Bea Keluar (BK) pada biji kakao melalui Peraturan Menteri Keuangan
No 67/PMK.011/2010 dan diperbaharui melalui Peraturan Menteri Keuangan
No. 128/PMK.011/2011 pada tanggal 1 April 2010 mulai diberlakukan oleh
Pemerintah untuk mengurangi ekspor kakao dalam bentuk mentah (biji kakao) dan
meningkatkan ekspor kakao dalam bentuk olahan. Kebijakan Bea Keluar tersebut
berdampak pada menurunnya nilai ekspor biji kakao Indonesia sehingga hal itu
menyebabkan penurunan devisa negara sampai dengan tahun 2014 dengan laju
pertumbuhan selama 5 tahun sebesar -7.9% (Kementan 2016). Penurunan
penerimaan negara dari Bea Keluar pada biji kakao disebabkan oleh semakin
melemahnya harga internasional komoditas biji kakao sehingga ekspor kakao
cenderung menurun karena biji kakao Indonesia tidak memiliki nilai tambah
sehingga menyebabkan biji kakao Indonesia kurang dapat bersaing di pasar
Internasional yang disebabkan kualitas internasional lebih menginginkan kakao
fermentasi, sedangkan pekebun kakao Indonesia masih sulit melakukan setelah
panen biji kakao dalam bentuk fermentasi.
Faktor lain yang memengaruhi ekspor biji kakao Indonesia yaitu ketika
memasuki panen raya negara seperti Pantai Gading dan Ghana yang menyebabkan
harga biji kakao dari negara tersebut menguasai pasar Internasional sehingga harga
biji kakao Indonesia cenderung turun. Penurunan produksi kakao juga disebabkan
oleh hama dan umur tanaman yang sudah sangat tua, sehingga hal itu akan
mengurangi nilai ekspor.
Di pasar dunia terutama Eropa, mutu kakao Indonesia dinilai rendah karena
mengandung keasaman yang tinggi, rendahnya senyawa perkursor flavor, dan
rendahnya kadar lemak, sehingga harga kakao Indonesia selalu mendapatkan
potongan harga hingga 15% dari rata-rata harga kakao dunia (Kemenperin 2010).
Penetapan tarif Bea Keluar (BK) biji kakao sebesar 0-15% atas ekspor biji kakao
9

didasarkan pada harga referensi biji kakao dunia. Untuk harga referensi sampai
dengan US$ 2 000 tidak dikenakan tarif BK (nol persen), untuk harga referensi
sampai dengan US$ 2 000 - 2 750 ditetapkan tarif BK sebesar 5%, harga referensi
US$ 2 750 - 3 500 ditetapkan tarif BK sebesar 10% dan harga referensi lebih dari
US$ 3 500 ditetapkan tarif BK sebesar 15% (Ditjenbun 2015), namun dampak
positif dengan adanya BK pada biji kakao adalah, meningkatkan proporsi nilai
ekspor kakao olahan seperti lemak kakao dan pasta kakao Dengan kebijakan BK
tersebut, Pemerintah berharap agar Indonesia dapat meningkatkan nilai tambah
pada kakao, sehingga dari yang semula mengekspor kakao dalam bentuk biji kakao
beralih menjadi mengekspor kakao dalam bentuk olahan. Dari uraian tersebut,
maka pertanyaan penelitian pertama adalah bagaimana posisi perdagangan biji
kakao dan kakao olahan (pasta kakao dan lemak kakao) Indonesia (kecenderungan
sebagai negara eksportir atau importir) di negara tujuan ekspor utama.
Pasar biji kakao dan kakao olahan Indonesia ditujukan di berbagai negara di
Asia, Amerika, dan Eropa. Negara-negara tersebut memiliki karakteristik yang
berbeda-beda, baik dari faktor ekonomi, yaitu Gross Domestic Product riil per
kapita, nilai tukar riil, harga ekspor, maupun faktor non-ekonomi seperti jarak
geografi. Faktor-faktor yang berbeda tersebut dapat menjadi faktor penentu
terjadinya aliran perdagangan ekspor kakao dari Indonesia sebagai negara
pengekspor ke negara utama tujuan ekspor. Analisis aliran perdagangan ekspor
kakao Indonesia dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi
aliran perdagangan ekspor kakao Indonesia di negara utama tujuan ekspor kakao
Indonesia, sehingga pertanyaan penelitian kedua adalah faktor-faktor apa saja yang
memengaruhi aliran perdagangan ekspor kakao Indonesia di negara tujuan ekspor.
Berdasarkan data dari International Trade Center terjadi penurunan nilai ekspor
biji kakao dari tahun ke tahun akibat dari penerapan kebijakan Bea Keluar (BK)
pada biji kakao namun terjadi peningkatan pertumbuhan yang signifikan terhadap
nilai ekspor cocoa butter atau lemak kakao. Pada tahun 2013 terjadi pertumbuhan
sebesar 51%, meningkat sebesar 85% pada tahun 2014, dan tahun 2015 sebesar 9%.
Sedangkan pasta kakao mengalami pertumbuhan sebesar -10% tahun 2013,
meningkat menjadi 25% tahun 2014, kemudian pertumbuhan menjadi 2% pada
tahun 2015 (ITC 2017), sehingga dapat dikatakan bahwa penerapan kebijakan
10

tersebut berjalan dengan baik dimana produsen kakao dapat beralih dari
mengekspor kakao dalam bentuk biji menjadi mengekspor kakao dalam bentuk
olahan seperti pasta kakao dan lemak kakao. Kebijakan BK pada biji kakao tersebut
diharapkan dapat menghambat ekspor kakao dalam bentuk biji mentah dan
menjamin ketersediaan bahan baku industri serta memacu ekspor kakao olahan
seperti pasta kakao dan lemak kakao agar berdayasaing kakao di negara tujuan
ekspor, sehingga kakao Indonesia harus lebih memiliki dayasaing tinggi agar dapat
bersaing dengan kakao dari negara pesaing sehingga pertanyaan penelitian
selanjutnya adalah bagaimana dayasaing ekspor biji kakao dan kakao olahan (pasta
kakao dan lemak kakao) Indonesia di negara tujuan ekspor utama. Berdasarkan
pada urairan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana posisi perdagangan ekspor biji kakao dan kakao olahan (pasta
kakao dan lemak kakao) Indonesia di negara tujuan ekspor utama?
2. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi permintaan ekspor biji kakao dan
kakao olahan (pasta kakao dan lemak kakao) Indonesia di negara tujuan ekspor
utama?
3. Bagaimana dayasaing perdagangan ekspor biji kakao dan kakao olahan (pasta
kakao dan lemak kakao) Indonesia di negara tujuan ekspor utama?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan fenomena permasalahan tersebut, maka


dalam penelitian ini dirumuskan beberapa tujuan sebagai berikut.
1. Mengindentifikasi posisi perdagangan ekspor biji kakao dan kakao olahan
(pasta kakao dan lemak kakao) Indonesia di negara tujuan ekspor utama.
2. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi permintaan ekspor biji kakao
dan kakao olahan(pasta kakao dan lemak kakao) Indonesia di negara tujuan
ekspor utama.
3. Menganalisis dayasaing perdagangan biji kakao dan kakao olahan (pasta
kakao dan lemak kakao) Indonesia di negara tujuan ekspor utama.
11

1.4 Manfaat Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan di atas, penelitian ini diharapkan


dapat memberikan manfaat sebagai berikut.
1. Bagi pemerintah, sebagai referensi dalam pengambilan kebijakan terkait
perdagangan komoditas kakao Indonesia.
2. Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan
tentang perdagangan komoditas kakao Indonesia.
3. Bagi pihak-pihak lain, penelitian ini dapat menjadi bahan referensi bagi
penelitian selanjutnya terkait dayasaing dan perdagangan internasional pada
komoditas lain.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini menganalisis dayasaing kakao serta faktor-faktor yang


memengaruhi permintaan ekspor kakao Indonesia di negara tujuan ekspor utama.
Periode waktu yang dianalisis dalam penelitian ini dari tahun 2006-2015.
Komoditas kakao yang diteliti berdasarkan kode Harmony System (HS) 4 digit
meliputi biji kakao (HS 1801), dan kakao olahan yang terdiri dari pasta kakao (HS
1803), dan lemak kakao (HS 1804) ke enam negara tujuan ekspor utama. Negara-
negara tujuan ekspor utama kakao Indonesia yang dianalisis dalam penelitian ini
berdasarkan nilai ekspor kakao Indonesia tertinggi ke negara tersebut.
1. Ekspor biji kakao ke negara tujuan ekspor utama, yaitu Malaysia, Singapura,
dan Amerika, Thailand, Jerman, dan Belanda.
2. Ekspor pasta kakao ke negara tujuan ekspor utama, yaitu Malaysia, Jerman,
Tiongkok, Spanyol, Amerika, dan Brazil.
3. Ekspor lemak kakao ke negara tujuan ekspor utama, yaitu Amerika, Jerman,
Malaysia, Australia, Estonia, dan Belanda.
12
13

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Keunggulan Absolut Adam Smith

Teori keunggulan absolut dikenal dengan nama teori murni (pure theory)
perdagangan internasional karena didasarkan pada variabel riil. Murni yang artinya
bahwa teori ini memusatkan perhatian pada variabel riil misalnya nilai suatu barang
dapat diukur dengan banyaknya tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan
suatu barang dan jasa. Semakin banyak tenaga kerja yang digunakan maka akan
semakin tinggi barang dan jasa yang dihasilkan. Menurut teori keunggulan absolut
yang dikemukakan oleh Adam Smith bahwa setiap negara akan memperoleh
manfaat perdagangan internasional dengan adanya kegiatan spesialisasi produksi
dan melakukan ekspor barang jika negara tersebut memiliki keunggulan mutlak
serta mengimpor barang jika negara tersebut tidak memiliki keunggulan mutlak.
Menurut Smith, kemakmuran suatu negara dapat dicapai apabila terciptanya
kondisi free trade atau tanpa adanya campur tangan pemerintah dan negara
melakukan sesialisasi berdasarkan keunggulan absolut yang dimiliki. Kelemahan
teori ini adalah tidak akan terjadi perdagangan jika salah satu negara tidak memiliki
keunggulan mutlak karena tidak ada keuntungan yang didapatkan. Terdapat
beberapa asumsi dalam teori keunggulan absolut (Oktaviani dan Novianti 2014),
yaitu:
1. Terdapat dua negara dan dua komoditas
2. Tenaga kerja adalah satu-satunya faktor produksi
3. Kualitas barang yang diproduksi kedua negara homogen
4. Pertukaran dilakukan secara barter tanpa uang
5. Tidak terdapat biaya transportasi

2.2 Teori Keunggulan Komparatif David Ricardo

Teori keunggulan komparatif dari David Ricardo menyatakan bahwa jika


suatu negara tidak mempunyai keunggulan mutlak, maka perdagangan yang
menguntungkan masih dapat terjadi selama terdapat perbedaan rasio harga dari
suatu produk antar negara, teori ini merupakan penyempurnaan dari teori
keunggulan absolut Adam Smith. Perdagangan dalam konteks dua negara dan dua
14

komoditas terjadi jika salah satu negara telah ditetapkan memiliki keunggulan
komparatif dalam suatu komoditas, maka negara lainnya harus dianggap memiliki
keunggulan komparatif dalam komoditas lain. Suatu negara akan memperoleh
keuntungan dengan adanya perdagangan internasional apabila dapat berspesialisasi
pada suatu barang dan dapat mengekspor barang apabila negara tersebut dapat
berproduksi relatif lebih efisien atau memiliki kerugian mutlak yang lebih rendah
dan mengimpor komoditas dimana negara tersebut tidak efisien atau memiliki
kerugian mutlak yang lebih besar atau komoditas ini memiliki kerugian komparatif
(Oktaviani dan Novianti 2014).
Asumsi yang mendasari hukum keunggulan komparatif oleh David Ricardo
dalam buku yang berjudul Principle of Political Economy and Taxation
diantaranya: (1) hanya terdapat dua negara dan dua komoditas atau barang, (2)
kondisi perdagangan bersifat free trade (tanpa intervensi pemerintah), (3) terdapat
mobilitas tenaga kerja yang sempurna di dalam negara namun tidak ada mobilitas
antara dua negara, (4) biaya produksi konstan, (5) biaya transportasi diabaikan, (6)
tidak ada perubahan teknologi, dan (7) menggunakan teori nilai tenaga kerja
(Oktaviani dan Novianti 2014).

2.3 Teori Keunggulan Kompetitif

Era globalisasi saat ini berimplikasi pada terbukanya pasar bebas sehingga
menimbulkan persaingan bagi setiap negara dalam melakukan perdagangan barang
maupun jasa. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi dan upaya yang lebih agar suatu
barang yang diproduksi memiliki nilai yang lebih agar bisa dikenal dan memperoleh
pangsa pasar internasional. Nilai lebih ini disebut sebagai keunggulan kompetitif.
Konsep ini dikembangkan oleh Michael E. Porter (1990). Menurut Porter (1990)
terdapat empat kondisi agar suatu negara dapat berkompetisi sehingga mendorong
terciptanya nilai lebih (keunggulan kompetitif). Pertama, faktor produksi seperti
infrastruktur, tenaga kerja terampil, dan teknologi yang digunakan. Kedua, kondisi
permintaan baik pada permintaan domestik maupun luar negeri. Ketiga, industri
terkait dan industri pendukung, yaitu keberadaan industri pemasok dan industri
terkait yang kompetitif di negara tersebut. Keempat, yaitu strategi, struktur, dan
15

persaingan dalam mengelola, mengorganisasikan barang dan jasa dalam


memperoleh posisi di pasar internasional.
Keunggulan kompetitif suatu produk merupakan keunggulan yang dimiliki
oleh suatu negara dalam menghasilkan suatu produk tertentu yang didasarkan pada
kemampuan negara tersebut dalam menyusun strategi yang dapat menempatkan
posisi yang lebih menguntungkan dibandingkan dengan negara lain. Keunggulan
kompetitif bersifat kompetitif dan terdapat unsur persaingan, sehingga dibutuhkan
faktor pendukung seperti ketersediaan sumberdaya, kualitas sumberdaya manusia,
teknologi yang digunakan, serta perluasan pangsa pasar yang dituju agar suatu
negara dapat bersaing untuk memperoleh posisi di pasar internasional (Porter
1990).
2.4 Perkembangan Ekspor Kakao Indonesia

Globalisasi dan perdagangan bebas saat ini mendorong persaingan antar


negara yang semakin ketat sehingga setiap negara yang terlibat dalam perdagangan
internasional terus melakukan upaya dalam meningkatkan dayasaing produknya
agar produknya lebih efisien dalam meraih pangsa pasarnya di pasar Internasional
(Kaunang dalam Kania 2014). Negara akan memperoleh peluang pangsa pasar yang
lebih besar di pasar internasional jika memiliki dayasaing komoditas yang tinggi.
Indonesia sebagai salah satu produsen kakao terbesar perlu memanfaatkan
peluang tersebut untuk meningkatkan penerimaan devisa negara dengan upaya
meningkatkan volume ekspor biji kakao dan kakao olahan karena peluang besar
kakao Indonesia relatif masih terbuka. Penurunan yang terjadi pada volume dan
nilai ekspor biji kakao Indonesia disebabkan karena adanya hambatan perdagangan,
yaitu berupa pajak ekspor atau Bea Keluar. Penerapan Bea Keluar (BK) sejak tahun
2010 disebabkan karena tidak adanya pemberian nilai tambah pada biji kakao
Indonesia sehingga menyebabkan kurangnya peminatan terhadap permintaan biji
kakao dari negara lain. Semakin tinggi pemberian nilai tambah pada biji kakao
maka akan meningkatkan kualitas dan mutu biji kakao Indonesia yang dapat
meningkatkan permintaan ekspor terhadap biji kakao Indonesia sehingga semakin
tinggi pula tingkat dayasaing biji kakao di pasar internasional.
Ekspor biji kakao Indonesia sebagian besar tidak diolah sebelumnya atau
tidak difermentasi sehingga menyebabkan kurang diminatinya biji kakao Indonesia
16

oleh pasar luar negeri. Kebijakan BK tersebut dapat mendorong produsen kakao
domestik untuk mengolah lebih lanjut biji kakao Indonesia agar memiliki nilai
tambah sehingga dapat bersaing dengan eksportir biji kakao dari negara lain.
Setelah penerapan kebijakan BK tersebut, terjadinya peningkatan yang signifikan
terhadap kakao olahan seperti pasta kakao dan lemak kakao. Hal itu dapat
meningkatkan dayasaing pada kakao olahan di pasar internasional.

2.5 Penelitian Terdahulu

Penelitian ini menggunakan berbagai studi literatur untuk memperkuat teori


dan landasan penelitian. Penelitian mengenai kakao yang dijadikan sebagai
referensi, yaitu penelitian Tresliyana et al. (2015). Perbedaan penelitian ini dengan
penelitian Tresliyana et al. (2015) adalah pada komoditas kakao yang diteliti,
penelitian sebelumnya meneliti biji kakao, pasta kakao, dan bubuk kakao
sedangkan komoditas yang diteliti pada penelitian ini, yaitu biji kakao, pasta kakao,
dan lemak kakao. Periode waktu yang digunakan dalam penelitian ini juga berbeda,
yaitu periode 2006-2015, dan negara tujuan ekspor kakao yang diteliti dalam
penelitian ini didasarkan pada nilai ekspor biji kakao, pasta kakao, dan lemak kakao
tertinggi pada masing-masing ekspor komoditas kakao Indonesia di negara tujuan
ekspor. Penelitian ini juga menggunakan metode Indeks Spesialisasi Perdagangan
untuk melihat posisi perdagangan kakao Indonesia. Perbedaan dengan penelitian
Suryana (2014) adalah pada metode yang digunakan untuk menganalisis dayasaing
kakao yaitu Revealed Comparative Advantage (RCA). Pada penelitian ini selain
menggunakan RCA juga menggunakan metode Export Product Dynamic untuk
melihat dayasaing secara kompetitif. Penelitian Suryana (2014) dan penelitian ini
menggunakan metode gravity model untuk melihat faktor-faktor yang
memengaruhi permintaan ekspor kakao Indonesia di negara tujuan ekspor.
Perbedaannya dengan penelitian ini adalah terletak pada variabel yang digunakan
untuk membangun gravity model. Variabel yang digunakan pada penelitian
sebelumnya, yaitu GDP riil per kapita negara tujuan, nilai tukar rupiah terhadap
LCU, dan Bea Keluar biji kakao sedangkan variabel GDP per kapita, harga ekspor,
nilai tukar riil, kebijakan Bea Keluar, dan jarak ekonomi merupakan variabel
pembangun gravity model pada penelitian ini.
17

Tabel 4. Penelitian Terdahulu


No. Peneliti dan Judul Tujuan Metode Hasil
1. Boans, D (2013) dalam jurnal 1. Menganalisis 1. Analisis Revealed 1. Ghana sangat kompetitif pada biji kakao
Competitiveness and keunggulan Comparative daripada kakao olahan untuk semua tiga
Determinants of Cocoa Exports komparatif ekspor Advantage (RCA). periode
from Ghana. kakao Ghana. 2. Analisis multiple 2. Terdapat hubungan positif yang signifikan
2. Memperkirakan efek regression. antara ekspor biji kakao dan lagged output,
determinan utama harga produsen riil, harga dunia nyata untuk
ekonomi ekspor rasio harga produsen riil kakao, dan depresiasi
kakao Ghana. nilai mata uang domestik.

2. Tresliyana et al. (2015) dalam 1. Mengetahui daya 1. Analisis Revealed 1. Kakao Indonesia memiliki keunggulan
jurnal Dayasaing Kakao saing kakao Comparative komparatif pada biji kakao, pasta kakao, lemak
Indonesia di Pasar Internasional. Indonesia di pasar Advantage. kakao dan bubuk kakao.
internasional. 2. Analisis korelasi 2. Terdapat korelasi (hubungan) tinggi antara
2. Mengetahui Rank Spearman. dayasaing biji kakao Indonesia dengan Ghana
hubungan daya saing dalam perebutan pangsa pasar dunia. Pasta
antar negara eksportir kakao Indonesia memiliki hubungan yang
kakao. positif di pasar Malaysia dan Belanda. Pasar
kakao butter dan kakao powder, Indonesia
tidak memiliki hubungan dengan negara
eksportir lainnya.

3. Pradipta dan Firdaus (2014) 1. Menganalisis 1. Analisis Revealed 1. Ekspor mangga, manggis, dan jambu Indonesia
dalam jurnal Posisi Daya Saing keunggulan Comparative berdayasaing, sedangkan ekspor pisang,
dan Faktor-Faktor yang komparatif. Advantage. stroberi, nanas, dan melon serta semangka
Memengaruhi memiliki dayasaing yang lemah di dunia.
Ekspor Buah-Buahan Indonesia.

17
18

18
Tabel 4. Lanjutan
No. Peneliti dan Judul Tujuan Metode Hasil
2. Menganalisis 2. Analisis Export 2. Posisi pangsa pasar ekspor mangga,
keunggulan kompetitif. Product manggis, jambu, nanas, stroberi, pisang,
3. Menganalisis faktor- Dynamics. melon, dan semangka berada di posisi
faktor yang 3. Analisis Gravity pasar yang paling ideal (rising star).
memengaruhi ekspor Model. 3. Faktor-faktor yang memengaruhi
buah-buahan Indonesia perdagangan ekspor buah-buahan yaitu
ke negara tujuan. jarak ekonomi, nilai tukar mata uang
Indonesia terhadap dollar Amerika, GDP
riil Indonesia, GDP riil negara tujuan,
GDP per kapita negara tujuan, interaksi
GDP riil Indonesia dan negara tujuan,
indeks harga konsumen Indonesia, harga
ekspor buah-buahan Indonesia ke
negara tujuan, populasi negara tujuan,
dan krisis Eropa.

4. Suryana (2014) dalam tesis 1. Menganalisis 1. Analisis Revealed 1. Biji kakao dan lemak kakao memiliki
Dayasaing dan Aliran Perdagangan keunggulan komparatif. Comparative keunggulan komparatif tertinggi.
Kakao Indonesia di Pasar 2. Menganalisis faktor- Advantage. 2. Variabel yang berpengaruh terhadap
faktor yang 2. Analisis Gravity volume ekspor biji kakao Indonesia: GDP
Internasional.
memengaruhi aliran Model riil per kapita negara tujuan, nilai tukar
perdagangan kakao biji rupiah, dan Bea Keluar biji kakao. Untuk
dan olahan Indonesia. model lemak kakao variabel berpengaruh
signifikan yaitu GDP riil per kapita
19

Tabel 4. Lanjutan
No. Peneliti dan Judul Tujuan Metode Hasil
5. Hanoum (2016) dalam skripsi 1. Menganalisis daya saing 1. Analisis Revealed 1. komoditi elektronika Indonesia memiliki
Analisis Kinerja Ekspor Elektronika ekspor elektronika Comparative daya saing komparatif. Analisis Porter’s
Indonesia ke Amerika Latin. Indonesia. Advantage, Diamond menunjukkan bahwa daya
2. Menganalisis faktor- Analisis Porter’s saing kompetitif elektronika Indonesia
faktor yang memengaruhi Diamond dan masih lemah. Hasil estimasi EPD
ekspor elektronika ke analisis Export elektronika Indonesia rata-rata
Amerika Latin dan Product Dynamic menunjukkan pangsa pasar dan
dinamika pasar ekspor 2. Analisis Gravity permintaan ekspor komoditi elektronika
elektronika Indonesia ke Model yang bertumbuh.
Amerika Latin 2. Hasil estimasi gravity model
menunjukkan bahwa variabel yang
signifikan adalah GDP perkapita
Indonesia, jarak ekonomi, harga ekspor,
GDP perkapita negara tujuan, dan
populasi, sedangkan variabel REER
(Real Effective Exchange Rate) tidak
berpengaruh.

19
20
21

III KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Konsep Perdagangan Internasional


Perdagangan Internasional merupakan bentuk pertukaran barang dan jasa
yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu atas dasar kesepakatan. Pihak-pihak
tersebut seperti antar perorangan (individu dengan individu), antar individu dan
pemerintah suatu negara bahkan pemerintah suatu negara dengan pemerintah
negara lain (Salvatore 1997).
Perdagangan internasional dilakukan oleh negara yang menganut sistem
perekonomian terbuka, yaitu dengan kegiatan ekspor dan impor memenuhi
kebutuhan domestik yang tidak dapat diproduksi oleh negara sendiri sehingga
muncul istilah “gains from tade” atau keuntungan yang diperoleh suatu negara dari
perdagangan internasional. Secara teoritis misalnya suatu negara M mengekspor
suatu barang (misal kakao) ke negara N apabila harga yang terjadi sebelum
perdagangan internasional di negara M relatif lebih rendah dibandingkan harga
yang berlaku di negara N. Karena produksi domestik negara M lebih besar dari
konsumsi maka terjadi excess supply di negara M (karena kelebihan produksi)
sehingga struktur harga yang berlaku di negara M lebih rendah. Di sisi lain negara
N terjadi kekurangan supply atau terjadi excess demand karena konsumsi
domestiknya lebih tinggi dari produksi domestiknya, sehingga harga di negara N
relatif lebih tinggi. Jika negara N ingin membeli kakao dari negara M (harganya
relatif lebih murah) dan terjadi komunikasi antar negara M dan N maka terjadi
perdagangan bilateral (Salvatore 1997).
Dalam panel A pada Gambar 4, QM merupakan titk pada M dalam melakukan
produksi dan konsumsi komoditas kakao dan QN merupakan titik pada negara N
dalam berproduksi dan mengkonsumsi komoditas kakao (kuantitas komoditas X
yang ditawarkan sama dengan kuantitas yang diminta oleh negara N berdasarkan
harga relatif PN). Pada saat harga internasional (P*) sama dengan PM, maka negara
N terjadi excess demand sebesar B. Jika harga internasional sama dengan PN, maka
negara M akan terjadi excess supply sebesar A. Dari A dan B maka terbentuk kurva
Export Supply (ES) dan Export Demand (ED) yang menentukan harga yang terjadi
22

di pasar internasional sebesar P*. Sehingga dengan adanya perdagangan tersebut,


maka negara M akan mengekspor komoditas pakaian jadi sebesar X dan negara B
akan mengimpor komoditas pakaian jadi sebesar I, dimana di pasar internasional
jumlah sebesar X sama dengan I, yaitu sebesar Q* (Salvatore 1997). Konsep
perdagangan bilateral antar negara dapat dilihat pada Gambar 4.

DM A SM DN SN
ES
X PN
P*
PM I
ED
B
QM Q* QN
Panel A Panel B Panel C
Pasar di Negara M Hubungan Perdagangan Pasar di Negara N
Internasional

Sumber: Salvatore (1997)


Gambar 4. Kurva perdagangan internasional

3.1.2 Teori Permintaan Ekspor


Ekspor merupakan suatu kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh dua
negara atau lebih untuk menukarkan barang dan jasa atas dasar kesepakatan.
Menurut Mankiw (2007) dari sisi permintaan, ekspor dipengaruhi oleh beberapa
faktor, antara lain:
1. Selera konsumen terhadap barang-barang yang diproduksi
2. Harga komoditas di domestik dan di luar negeri
3. Nilai tukar riil
4. Pendapatan konsumen di domestik dan di luar negeri
5. Biaya transportasi
6. Kebijakan pemerintah mengenai perdagangan internasional
Suatu negara A akan mengekspor barang ke negara B apabila suatu negara
dapat memproduksi lebih efisien atau produksinya lebih tinggi dari konsumsinya.
Selain itu, diperlukan kemampuan dalam memproduksi barang-barang agar dapat
bersaing di pasar internasional misalnya penciptaan mutu dan penggunaan
teknologi yang relatif lebih efisien sehingga akan menciptakan harga barang yang
dapat bersaing di pasar internasional. Teori permintaan ekspor bertujuan untuk
23

menentukan faktor yang memengaruhi permintaan. Permintaan ekspor suatu negara


merupakan selisih antara produksi atau penawaran domestik dikurangi dengan
konsumsi atau permintaan domestik negara yang bersangkutan ditambah dengan
stok tahun sebelumnya (Salvatore 1997).

3.1.3 Gravity Model


Gravity model merupakan suatu metode yang digunakan untuk melihat
hubungan antara faktor ekonomi dan faktor non-ekonomi dalam perdagangan antar
negara. Gravity model didasarkan atas teori Sir Isaac Newton tentang gravitasi.
Model ini memperkirakan bahwa volume perdagangan antara kedua negara
berhubungan lurus dengan pendapatan masing-masing negara tersebut, dan
berhubungan terbalik dengan hambatan perdagangan antar negara (Pradipta dan
Firdaus 2014). Bentuk gravity model yang paling sederhana sebagai berikut:
𝑌𝑖 𝑌𝑗
𝑋𝑖𝑗 =
𝐷𝑖𝑗
Dimana Xij merupakan ekspor dari negara i ke negara j, Yi merupakan
pendapatan negara i, Yj merupakan pendapatan negara j, dan Dij merupakan jarak
antara negara i dan negara j. Walau diterapkan pada berbagai jenis produk dan
variabel, lintas regional dan negara dengan berbagai perbedaan situasi, gravity
model dapat menyajikan hasil analisis yang baik. Variabel-variabel mendasar yang
memengaruhi aliran perdagangan adalah harga, GDP, jarak, nilai tukar, harga, dan
kebijakan pemerintah.

3.1.3.1 Variabel Pembangun Gravity Model


a. Harga
Suatu hipotesis ekonomi yang mendasar adalah bahwa untuk kebanyakan
komoditas, harga dan kuantitas yang akan ditawarkan akan berhubungan secara
positif, cateris paribus. Dengan kata lain, semakin tinggi harga maka semakin tinggi
jumlah komoditas yang akan ditawarkan, dan semakin rendah harga semakin kecil
jumlah komoditas yang diminta (Lipsey et al. 1995).

b. Gross Domestic Product (GDP)


Variabel pendapatan yang digunakan untuk mewakili perdagangan biji kakao
Indonesia adalah GDP. GDP menggambarkan pendapatan total dan pengeluaran
24

total nasional pada output barang dan jasa (Mankiw 2007). Jika tingkat pendapatan
lebih tinggi maka pembelanjaan domestik menjadi lebih tinggi dan sebagai
akibatnya terjadi peningkatan produksi domestik dan impor.

c. Jarak
Variabel jarak merupakan indikasi dari biaya transportasi yang dihadapi oleh
negara dalam melakukan ekspor (Salvatore 1997). Jarak dapat mengurangi aliran
perdagangan yang diwakilkan oleh biaya transportasi. Semakin tinggi jarak antara
negara eksportir dengan negara importir, maka semakin besar biaya transportasi
dan semakin rendah volume ekspor ke negara importir.

d. Nilai Tukar
Nilai tukar (exchange rate) atau kurs merupakan perbandingan antara nilai
mata uang suatu negara terhadap nilai mata uang negara lain. Nilai tukar terdiri dari
yaitu kurs nominal dan kurs riil. Kurs nominal adalah harga relatif dari mata uang
dua negara. Kurs riil adalah harga relatif dari barang-barang kedua negara. Kondisi
nilai tukar sepeti terapresiasinya mata uang domestik negara tujuan ekspor terhadap
Dollar Amerika menyebabkan harga suatu komoditas relatif lebih murah. Hal ini
mendorong terjadinya peningkatan volume impor dari negara tujuan karena negara
tujuan membutuhkan sedikit uang untuk membeli barang impor (Salvatore 1997).

e. Kebijakan Pajak Ekspor (Bea Keluar)


Pajak ekspor atau Bea Keluar merupakan kebijakan yang ditetapkan
pemerintah untuk melindungi industri pengolahan dalam negeri terhadap barang-
barang yang diekspor biasanya diterapkan pada barang primer. Hal tersebut akan
meningkatkan surplus produsen karena adanya pajak ekspor akan menurunkan
harga domestik sehingga menguntungkan industri pengolahan yang menggunakan
bahan baku karena tersedianya bahan baku karena terjadinya penurunan volume
ekspor terhadap barang yang diekspor, namun dari sisi konsumen kebijakan Bea
Keluar akan berpengaruh pada pendapatan kotor melalui pengembalian dari faktor
produksi, daya beli konsumen, dan pendapatan yang dibelanjakan atau disposable
income melalui retribusi penerimaan oleh pemerintah (Piermartini 2004).
25

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

Kakao merupakan salah satu komoditas subsektor perkebunan Indonesia


yang berperan penting dalam kegiatan ekspor Indonesia. Neraca perdagangan
kakao tahun 2015 berada dalam posisi surplus dengan mencapai US$ 1 013 991
ribu. Surplusnya neraca perdagangan kakao memengaruhi surplusnya neraca
perdagangan Indonesia (Kementan 2016). Hingga saat ini, Indonesia merupakan
produsen biji kakao terbesar ketiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana
(FAO 2017). Walaupun Indonesia termasuk ke dalam produsen biji kakao terbesar
ketiga dunia, namun posisi ekspor biji kakao Indonesia hanya menempati urutan
ke-13 di pasar internasional.
Indonesia masih terkendala dengan produksi biji kakao yang rendah dan juga
dengan rendahnya nilai tambah serta kualitas dan mutu biji kakao. Umumnya biji
kakao Indonesia tidak mengalami proses fermentasi sebelum diekspor sehingga hal
tersebut menyebabkan rendahnya permintaan biji kakao Indonesia dari negara
pengimpor karena negara importir lebih menyukai biji kakao yang telah diolah atau
difermentasi (Kemenperin 2010).
Sejak tahun 2010, terjadi penurunan nilai ekspor biji kakao Indonesia secara
signifikan ke negara tujuan ekspor. Hal itu disebabkan karena adanya kebijakan
yang diterapkan oleh Pemerintah, yaitu berupa kebijakan Bea Keluar (BK) pada biji
kakao sejak tahun 2010. Di sisi lain, kebijakan Bea Keluar pada biji kakao memiliki
dampak positif, yaitu semakin meningkatnya volume dan nilai ekspor kakao olahan
terutama pada pasta kakao dan lemak kakao.
Data ekspor biji kakao, pasta kakao, dan lemak kakao Indonesia ke masing-
masing negara negara tujuan ekspor utama diperoleh, dianalisis, dan dideskripsikan
berdasarkan teori ekonomi sehingga diketahui posisi perdagangan kakao Indonesia
dengan menggunakan metode Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP). Kemudian,
diidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi permintaan ekspor kakao Indonesia
di masing-masing negara tujuan ekspor utama yang dianalisis menggunakan
metode Ordinary Least Square (OLS). Dayasaing kakao Indonesia di negara tujuan
ekspor utama dianalisis menggunakan metode Revealed Comparative Advantage
(RCA) dan Export Product Dynamic (EPD). Hasil analisis tersebut diperoleh
kesimpulan yang menjadi hasil penelitian, kemudian diperlukan rekomendasi
26

kebijakan untuk meningkatkan dayasaing biji kakao dan kakao olahan (pasta kakao
dan lemak kakao) Indonesia. Kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat
pada Gambar 5.

- Kontribusi neraca perdagangan kakao terhadap Rendahnya produksi dan produktivitas,


surplusnya neraca perdagangan Indonesia nilai tambah, kualitas dan mutu biji
- Indonesia merupakan negara produsen biji kakao kakao Indonesia dibandingkan negara
terbesar ketiga di pasar internasional
pengekspor kakao lainnya
- Indonesia termasuk sebagai negara eksportir biji kakao
ke-13 di pasar internasional

Kondisi ekspor kakao Indonesia:


Kebijakan Bea Keluar pada
- Penurunan ekspor biji kakao Indonesia sejak tahun 2010
biji kakao melalui PMK
- Beralihnya ekspor biji kakao menjadi ekspor kakao olahan (pasta Nomor 67/PMK.011/2010
kakao dan lemak kakao) sejak tahun 2010

Dayasaing Komoditas Kakao (biji kakao dan olahan kakao) Indonesia

Posisi perdagangan kakao (biji Faktor-faktor yang memengaruhi dayasaing Dayasaing kakao (biji kakao dan
kakao dan olahan kakao) ekspor kakao (biji kakao dan olahan kakao) olahan kakao) Indonesia
Indonesia Indonesia

Analisis Indeks
Spesialisasi perdagangan Analisis OLS (Ordinary Analisis keunggulan
(ISP) komoditas biji kakao komparatif Analisis Analisis keunggulan
Least Square) pada data
dan kakao olahan RCA komoditas biji kompetitif (EPD)
panel dengan multiple
Indonesia regression model (Gravity kakao dan kakao komoditas biji kakao dan
Model) olahan Indonesia kakao olahan Indonesia

Tingkat dayasaing dan posisi perdagangan kakao


Indonesia di negara tujuan ekspor utama

Rekomendasi kebijakan untuk dayasaing kakao Indonesia

Gambar 5. Kerangka pemikiran operasional

Ket:
= hanya dijadikan saran dalam penelitian
27

IV METODE PENELITIAN

4.1 Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu berupa
panel data atau gabungan dari data time series dan cross section. Data time series
yang dipilih adalah 10 tahun terakhir, yaitu tahun 2006-2015 dan data cross section
yang terdiri enam negara tujuan ekspor utama dari komoditas biji kakao, pasta
kakao dan lemak kakao. Data dan informasi dikumpulkan dari berbagai sumber dari
berbagai instansi yang berhubungan dengan penelitian antara lain Badan Pusat
Statistik (BPS), Unitied Nations Commodity and Trade (UN Comtrade),
International Trade Center (ITC), ICCO, Kementerian Perdagangan RI,
Kementerian Pertanian RI, dan instansi-instansi lainnya yang terkait, selain itu data-
data pendukung lainnya yang diperoleh melalui berbagai macam literatur dan
jurnal. Jenis dan sumber data dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Jenis dan sumber data
No. Jenis Data Sumber
1. Nilai dan volume ekspor kakao Trade Map, UN Comtrade
2. Nilai dan Volume Impor kakao Trade Map, UN Comtrade
3. Harga Ekspor Trade Map, UN Comtrade
4. GDP riil per kapita WDI, World Bank
5. Jarak Ekonomi CEPII, WDI
6. Real Effective Exchange Rate WDI, World Bank

4.2 Metode Analisis

Penelitian menggunakan metode analisis deskriptif kuantitatif untuk


menjelaskan dayasaing dan faktor yang memengaruhi permintaan ekspor kakao
Indonesia di negara tujuan ekspor. Metode estimasi Ordinary Least Square (OLS)
digunakan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi pemintaan ekspor
biji kakao, dan kakao olahan Indonesia (pasta dan lemak kakao) ke negara tujuan
ekspor utama kakao Indonesia meliputi: (1) ekspor biji kakao ke negara Malaysia,
Singapura, dan Amerika, Thailand, Jerman, dan Belanda, (2) ekspor pasta kakao ke
negara Malaysia, Jerman, Tiongkok, Spanyol, Amerika, dan Brazil, serta (3) ekspor
lemak kakao ke negara Amerika, Jerman, Malaysia, Australia, Estonia, dan
Belanda. Metode OLS yang digunakan adalah model ekonometrika melalui regresi
28

linear berganda, metode ISP digunakan untuk mengetahui posisi perdagangan


komoditas kakao Indonesia, serta analisis RCA dan EPD digunakan untuk
mengetahui dayasaing ekspor kakao Indonesia di negara tujuan ekspor utama.
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program Microsoft Office Excel
2007, dan Eviews 9.0. Program Microsoft Excel 2016 digunakan untuk mengolah
data untuk mengestimasi nilai RCA, EPD, dan ISP. Program Eviews digunakan
untuk mengolah panel data dengan model yang digunakan adalah Gravity Model.
Model ini digunakan untuk menganalisis variabel nilai ekspor ke negara tujuan,
nilai tukar negara tujuan ekspor, GDP riil negara tujuan ekspor, jarak ekonomi
Indonesia dengan negara tujuan, harga ekspor kakao Indonesia di negara tujuan,
dan kebijakan Bea Keluar.

4.2.1 Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP)


Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) merupakan suatu metode yang
digunakan untuk mengetahui posisi atau tahapan perkembangan antar produk
sehingga dapat dilihat kecenderungan suatu negara sebagai eksportir atau importir.
Tingkatan pertumbuhan suatu produk dalam perdagangan dapat diindentifikasi ke
dalam 5 tahapan (Hasibuan et al. 2012) sebagai berikut:
1. Tahap pengenalan, jika nilai ISP antara -1 sampai -0.50
2. Tahap substitusi impor, jika nilai ISP antara -0.50 sampai 0.00
3. Tahap pertumbuhan, jika nilai ISP antara 0.01 sampai 0.80
4. Tahap kematangan, jika nilai ISP antara 0.81 sampai 1.00
5. Tahap kembali mengimpor, jika nilai ISP kembali menurun dari 1.00 sampai
0.00

4.2.2 Analisis Panel Data dengan Gravity Model


Gravity model merupakan model yang melihat perdagangan berdasarkan
jarak dan interaksi antarnegara yang digunakan untuk menganalisis pola aliran
perdagangan bilateral antar negara. Model yang didasarkan pada konsep gravitasi
Newton ini pertama kali digunakan oleh Jan Timbergen pada tahun 1962 untuk
menganalisis aliran perdagangan internasional. Model gravitasi sesuai dengan
perumusan Newton terhadap model gravitasi fisika yaitu “interaksi antara dua
29

objek adalah sebanding dengan massanya dan berbanding terbalik dengan jarak
masing-masing”.
Aliran perdagangan bilateral ditentukan oleh beberapa variabel (Linneman
dalam Do 2006 dalam Listianingrum 2015) diantaranya:
1. Variabel yang mewakili total permintaan potensial negara pengimpor, misalnya
variabel GDP per kapita negara importir
2. Variabel yang mewakili total penawaran potensial negara pengekspor, misalnya
variabel GDP per kapita negara eksportir
3. Variabel penghambat atau pendukung perdagangan antara negara eksportir
dengan negara importir, misalnya variabel jarak, nilai tukar, dan harga ekspor.
Analisis gravity model digunakan pada penelitian Dilanchiev (2012), untuk
menganalisis hubungan faktor ekonomi dan non ekonomi terhadap perdagangan
bilateral negara. Perdagangan bilateral dipengaruhi oleh GDP per kapita negara
lain, nilai tukar, FDI, jarak geografis, populasi, populasi negara lain, dan dummy
anggota EU. Pradipta dan Firdaus (2014) menganalisis gravity model untuk
mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi aliran volume ekspor buah-buahan
Indonesia menggunakan variabel-variabel seperti jarak ekonomi antara Indonesia
dengan negara tujuan, harga ekspor, populasi negara tujuan, nilai tukar riil
Indonesia terhadap dollar, GDP riil Indonesia, GDP riil negara tujuan, GDP per
kapita negara tujuan, interaksi GDP riil Indonesia dan negara tujuan, indeks harga
konsumen Indonesia, dan variabel dummy krisis yang terjadi pada Eropa.

4.2.2.1 Perumusan Model


Variabel dependent yang digunakan dalam penelitian ini adalah permintaan
ekspor kakao yang direfleksikan dengan nilai ekspor kakao ke masing-masing
negara tujuan ekspor utama kakao Indonesia. Kakao yang teliti dalam penelitian ini
adalah komoditas kakao dengan kode HS 18 yang terdiri dari: (a) Ekspor biji kakao
HS 1801 (cocoa beans), (b) pasta kakao dengan kode HS 1803 (cocoa paste); dan
(c) lemak kakao dengan kode HS 1804 (cocoa butter). Permintaan ekspor kakao
(biji kakao, pasta kakao, dan lemak kakao) Indonesia diduga dipengaruhi oleh GDP
per kapita negara tujuan, harga ekspor biji kakao Indonesia di negara tujuan, nilai
tukar mata uang negara tujuan terhadap dollar Amerika Serikat, jarak ekonomi, dan
kebijakan Bea Keluar pada biji kakao. Persamaan permintaan ekspor kakao (biji
30

kakao, pasta kakao, dan lemak kakao) Indonesia secara umum diformulasikan
dalam model sebagai berikut.
LnXijt = a0 + a1 LnGDPjt + a2 LnPXijt + a3 LnREERjt + a4 LnECODISTijt
+ a5 LnBKit + uijt (1)
Nilai dugaan parameter yang diharapkan adalah:
a1, a3, a5 > 0;
a2, a4, a5 < 0
Keterangan:
Xijt = Nilai ekspor kakao (biji kakao, pasta kakao, dan lemak kakao)
Indonesia ke negara tujuan (persen).
GDPijt = GDP riil per kapita negara tujuan (persen).
PXijt = Harga kakao (biji kakao, pasta kakao, dan lemak kakao) Indonesia
di negara tujuan (persen).
REERjt = Nilai tukar mata uang negara tujuan terhadap Dollar Amerika
Serikat (persen).
ECODISTijt = Jarak Ekonomi Indonesia ke negara tujuan (persen).
BKit = Variabel dummy Bea Keluar (1 = dengan kebijakan BK tahun
2011-2015; 0 = tanpa kebijakan BK tahun 2006-2010).
a0 = Intersep
a1, a2... a4 = Parameter variabel bebas
uijt = error/residual

i = Indonesia
j = masing-masing negara importir kakao Indonesia (biji kakao, pasta
kakao, dan lemak kakao Indonesia)
t = tahun ke-t

Variabel operasional yang digunakan di dalam penelitian adalah sebagai berikut.


1. GDP riil per kapita menunjukkan daya beli masyarakat suatu negara. GDP riil
per kapita yang digunakan, yaitu GDP riil per kapita atas harga konstan 2010.
GDP riil per kapita diubah dalam bentuk logaritma natural (ln).
2. Harga ekspor kakao Indonesia di negara tujuan diperoleh dari hasil pembagian
nilai ekspor kakao Indonesia ke negara tujuan dengan volume ekspor kakao
Indonesia ke negara tujuan. Harga ekspor kakao diubah dalam bentuk logaritma
natural (ln).
31

3. Nilai tukar riil yang digunakan dalam model ini adalah Real Effective Exchange
Rate, misalnya mata uang negara tujuan terhadap mata uang Amerika Serikat.
Nilai tukar riil diubah dalam bentuk logaritma natural (ln).
4. Jarak ekonomi diperoleh dengan mengalikan jarak geografi dengan hasil
pembagian GDP per kapita tahun yang diamati dibagi dengan total GDP per
kapita. Jarak ekonomi diubah dalam logaritma natural (ln).
5. Variabel dummy yang digunakan dalam penelitian, yaitu kebijakan Bea Keluar.
(nilai 1=dengan kebijakan BK tahun 2011-2015; 0 = tanpa kebijakan BK tahun
2006-2010). Kebijakan Bea Keluar diubah dalam bentuk logaritma natural (ln).

4.2.2.2 Pemilihan Model Data Panel


Terdapat tiga teknik yang dapat digunakan untuk mengestimasi data panel,
yaitu Pooled Least Square, metode efek tetap atau Fixed Effect dan metode efek
acak atau Random Effect (Gujarati 2006). Pemilihan model digunakan untuk
mendapatkan model terbaik.
1. Pooled Least Square (PLS)
Metode PLS merupakan metode yang paling sederhana yang memiliki
intersep dan slope konstan. Model PLS didefinisikan sebagai berikut:
Yit= αi+βXit+ uit
dimana i merupakan negara yang diobservasi dalam data cross section dan t
merupakan periode tahun pada data time series. Metode ini memiliki keterbatasan,
karena intersep dan slope dari setiap variabel diasumsikan konstan untuk setiap data
yang diobservasi.
2. Fixed Effect Model (FEM)
Pada metode fixed effect model, intersep dibedakan antarindividu karena
setiap individu dianggap memiliki karakteristik sendiri dalam membedakan
intersepnya, dapat menggunakan peubah dummy, sehingga metode ini dikenal
dengan model Least Square Dummy Variable (LSDV). Persamaan model sebagai
berikut:
Yit= β0i + β1X1it + β2X2it +.....+ βnXnit+ uit
dimana β0i merupakan intersep dan β1, β2 merupakan slope. Diasumsikan bahwa
slope konstan tetapi intersep berbeda untuk setiap individu, i menggambarkan
32

intersep berbeda antar negara namun intersep masing-masing negara tidak berbeda
antar waktu (time invariant).
3. Random Effect Model (REM)
Pada metode random effect model, intersep tidak lagi dianggap konstan,
melainkan dianggap sebagai peubah random. Nilai intersep dari masing-masing
individu didefinisikan sebagai berikut:
β0i= β0 + ei; dengan i = 1,2,...,N
dimana merupakan sisaan acak (error term) dengan rata-rata = 0 dan ragam = σ².
Sehingga persamaan dalam model sebagai berikut:
Yit= β0+ β1X1it+ β2X2it+ eit+ uit

4.2.2.3 Pengujian Kesesuaian Model

1. Uji Chow
Uji Chow (Chow test) atau uji F-statistics merupakan uji statistik untuk
menentukan apakah model yang digunakan adalah pooled least square (PLS) atau
fixed effect. Hipotesis dalam pengujian ini adalah sebagai berikut:
H0 : Pooled Least Square
H1 : Fixed Effect Model
Jika hasil pengujian nilai F-statistics lebih besar dari F-tabel, maka cukup bukti
untuk menolak H0, artinya fixed effect model adalah model terbaik yang dipilih.
2. Uji Hausman
Uji Hausman merupakan uji statistic untuk menentukan apakah model Fixed
Effect atau Random Effect yang paling tepat digunakan. Uji Hausman dilakukan
dengan hipotesis berikut:
H0 : Random Effect Model
H1 : Fixed Effect Model
Jika nilai statistik Hausman lebih besar dari chi square maka cukup bukti
untuk menolak H0, artinya model yang dipilih.
4.2.2.4 Uji Kriteria Ekonometrika
1. Multikolinearitas
Masalah multikolinearitas muncul jika terdapat dua atau lebih peubas yang
memiliki hubungan linear dalam persamaan regresi berganda (Juanda 2009). Salah
33

satu cara untuk memastikan ada atau tidaknya multikolinearitas, dapat dilihat dari
koefisien korelasi antara peubah bebas dalam model. Jika nilai masing-masing
koefisien korelasinya lebih besar dari rule of thumb (0,8) dan R² maka model
tersebut terindikasi masalah multikolinearitas.

2. Heteroskedastisitas
Suatu model regresi harus memenuhi asumsi, yaitu ragam sisaan yang
homogen (homoskedastis). Jika ragam sisaan tidak sama maka model tersebut
terindikasi masalah heteroskedastisitas. Menurut Gujarati (2006), metode GLS
Weight cross-section merupakan salah satu cara untuk mendeteksi masalah
heteroskedastisitas. Jika nilai Sum Square Resid pada weighted statistic lebih besar
dari nilai Sum Square Resid pada unweighted statistic, maka dapat disimpulkan
bahwa model terbebas dari masalah heteroskedastisitas.

3. Autokorelasi
Apabila suatu model regresi tidak memiliki keterkaitan atau error menyebar
bebas maka dikatakan bebas dari masalah autokorelasi (Juanda 2009). Masalah
autokorelasi biasanya muncul pada data yang bersifat cross section. Masalah
autokorelasi dapat di deteksi dengan uji Durbin-Watson (Dw). Nilai statistik
Durbin-Watson yang diperoleh dibandingkan dengan nilai Dw pada tabel. Apabila
nilai statistik Durbin-Watson berada di area nonautokorelasi model dikatakan
terbebas dari masalah autokorelasi. Selang statistik Durbin-Watson adalah sebagai
berikut:
0 < DW < DL : ada autokorelasi positif
D L < DW < DU : tidak ada keputusan
DU < DW < 4 – DU : tidak ada autokorelasi
4 - DU < DW < 4 - DL : tidak ada keputusan
4 - DL< DW < 4 : ada autokorelasi negatif

4. Normalitas
Uji normalitas dilakukan untuk melihat apakah error term pada model
terdistribusi secara normal atau tidak (Juanda 2009). Uji normalitas dapat dideteksi
dengan melihat nilai Jarque-Bera dan nilai probabilitas, apabila nilai Jarque-Bera
34

dan probabilitas lebih besar dari taraf nyata, maka dapat dinyatakan error menyebar
secara normal.

4.2.3 Analisis Dayasaing Revealed Comparative Advantage (RCA)


Metode Revealed Comparative Advantage (RCA) digunakan dalam
penelitian ini untuk menganalisis dayasaing atau keunggulan komparatif komoditas
biji kakao, pasta kakao, dan lemak kakao Indonesia. Metode RCA pertama kali
diperkenalkan oleh Bela Balassa pada Tahun 1995. Konsep dasar dari metode ini
yaitu keunggulan komparatif yang dimiliki suatu wilayah sebenarnya ditunjukkan
oleh perdagangan antar wilayah, sehingga keunggulan komparatif suatu negara
direfleksikan dalam ekspornya. Metode RCA didapat dengan menghitung pangsa
pasar nilai ekspor suatu komoditas terhadap total komoditas di suatu negara
dibandingkan dengan pangsa nilai komoditas di pasar internasional (Basri dan
Munandar 2010). Perumusan RCA dapat dilihat sebagai berikut.
Xij/Xj
RCA = Wij/Wj

Keterangan:
RCA = Tingkat dayasaing komoditas kakao(bij i kakao, pasta kakao, dan lemak
kakao) dari Indonesia.
Xij = Nilai ekspor komoditas kakao dari Indonesia ke masing-masing
importir biji kakao, pasta kakao, dan lemak kakao Indonesia (US$).
Xj = Nilai total ekspor seluruh komoditas Indonesia ke masing-masing
importir biji kakao, pasta kakao, dan lemak kakao Indonesia (US$).
Wij = Nilai ekspor komoditas kakao dunia ke masing-masing importir biji
kakao, pasta kakao, dan lemak kakao Indonesia (US$).
Wj = Nilai total ekspor seluruh komoditas dunia ke masing- masing importir
biji kakao, pasta kakao, dan lemak kakao Indonesia (US$).
Nilai dayasaing suatu komoditas dalam RCA memiliki dua kemungkinan:
1. Nilai RCA > 1, menunjukkan bahwa pangsa ekspor biji kakao atau kakao olahan
(biji kakao, pasta kakao, lemak kakao) terhadap total ekspor Indonesia lebih
besar dari pangsa rata-rata dari biji kakao atau kakao olahan dalam ekspor di
dunia atau kakao Indonesia berdaya saing (memiliki keunggulan komparatif).
35

2. Nilai RCA < 1, menunjukkan bahwa pangsa biji kakao atau kakao olahan (biji
kakao, pasta kakao, lemak kakao) terhadap ekspor total Indonesia lebih kecil dari
pangsa rata-rata dari produk ekspor biji kakao atau kakao olahan dalam ekspor
dunia. Hal ini berarti Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif (tidak
memiliki dayasaing) sehingga tidak berspesialisasi di kelompok biji kakao atau
kakao olahan.

4.2.4 Analisis Dayasaing Export Product Dynamics (EPD)


Export Product Dynamics (EPD) merupakan salah satu indikator dayasaing
dengan mengukur posisi pasar suatu negara untuk tujuan pasar tertentu. Metode ini
dapat mengukur dinamis tidaknya suatu produk di pasar (Hasibuan et al. 2012).
Metode EPD terdiri dari matriks yang menempatkan produk ke dalam empat
kategori dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Matriks posisi dayasaing dengan metode EPD

Share of Country’s Export Share of Product in World Trade


in World Trade Rising (Dynamic) Falling (Stagnan)
1. Rising
Rising Star Falling Star
(Competitive)
2. Falling (Non-
Lost Opportunity Retreat
Competitive)
Sumber: Estherhuizen (2006)

Pada Tabel 6 menggambarkan empat komposisi pangsa pasar. Kuadran I atau


Rising Star adalah posisi ideal pasar dimana produk suatu negara di pasar
internasional sedang mengalami tambahan pangsa pasar (fast growing products).
Kuadran II atau Lost Opportunity merupakan keadaan saat terjadi penurunan
pangsa pasar yang kompetitif. Kuadran III atau Falling Star merupakan kondisi saat
terjadi peningkatan pangsa pasar ekspornya, namun bukan pada pangsa pasar
produk yang dinamis. Kuadran IV atau Retreat merupakan kondisi saat produk
sudah tidak diinginkan lagi oleh pasar. Secara matematis, kekuatan bisnis/pangsa
pasar (sumbu X) suatu produk dirumuskan sebagai berikut:

Pertumbuhan kekuatan bisnis atau disebut pangsa pasar ekspor (sumbu X):

𝑋 𝑋
∑𝑡𝑡=1 ( 𝑖𝑗 ) x 100% − ( 𝑖𝑗 ) x 100%
𝑊𝑖𝑗 𝑡 𝑊𝑖𝑗 𝑡−1
𝑇
36

Pertumbuhan daya tarik pasar atau disebut pangsa pasar produk (sumbu Y):

𝑋𝑗 𝑋𝑗
∑𝑡𝑡=1 ( ) x 100% − (
𝑊𝑗 𝑡 𝑊𝑗 )𝑡−1 x 100%
𝑇

Keterangan:
Xij = Nilai ekspor komoditas kakao (biji kakao, pasta kakao, dan lemak
kakao) Indonesia ke negara masing-masing negara importir kakao
Indonesia (US$)
Wij = Nilai ekspor komoditas kakao (biji kakao, pasta kakao, dan lemak
kakao) dunia ke negara masing-masing importir kakao Indonesia (US$)
Xj = Nilai total ekspor Indonesia ke negara masing-masing negara importir
kakao Indonesia (US$)
Wj = Nilai total ekspor dunia ke negara masing-masing negara importir
kakao Indonesia (US$)
T = Jumlah tahun analisis
t = Tahun ke-t

Lost Rising Star


Opportunity

Retreat Falling Star

Sumber: Estherhuizen 2006


Gambar 6. Posisi dayasaing produk dengan metode EPD
37

V GAMBARAN UMUM KAKAO INDONESIA

5.1 Perkembangan Produsen Utama Biji Kakao di Dunia

Produsen kakao terbesar dunia berdasarkan posisi tertinggi diantaranya


Pantai Gading, Ghana, Indonesia, Nigeria, dan Kamerun. Perkembangan produsen
biji kakao terbesar dunia dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Perkembangan produsen biji kakao terbesar dunia tahun 2009-2015


Produksi (000 Ton)
Pantai Total
Tahun Ghana Indonesia Nigeria Kamerun
Gading dunia
2009/2010 1 261.4 601.7 610 220 193.4 3 970.6
2010/2011 1 780.3 1 417.1 330 245 248.5 4 956.7
2011/2012 1 460.5 734.1 440 230 184.5 3 861.8
2012/2013 1 412.1 791.6 380 215 243.5 3 791.8
2013/2014 1 746.0 897.0 375 248 211.0 4 373.0
2014/2015 1 796.0 740.0 325 195 232.0 4 236.0
Rata-rata 1576.0 864.0 410.0 226.0 219.0 4198.0
Sumber: ICCO (2017), diolah

Berdasarkan pada Tabel 7, Pantai Gading merupakan produsen biji kakao


terbesar dunia dengan rata-rata produksi sebesar 1 576 ribu ton periode 2009-2015.
Produksi kakao tertinggi di Pantai Gading mencapai 1 746 ribu ton pada tahun 2015.
Ghana sebagai produsen biji kakao terbesar kedua dunia memiliki rata-rata
produksi sebesar 864 ribu ton periode 2009-2015, Indonesia sebagai negara
produsen biji kakao terbesar ketiga dunia memiliki rata-rata produksi yang jauh
tertinggal dibandingkan dengan Pantai Gading dan Ghana, yaitu sebesar 410 ribu
ton. Negara produsen terbesar keempat dan kelima, yaitu Nigeria dan Kamerun
yang memiliki rata-rata produksi sebesar 226 ribu ton dan 219 ribu ton. Secara
keseluruhan rata-rata produksi dunia mencapai 4 198 ribu ton periode 2009-2015
dengan Pantai Gading, Ghana, Indonesia, Nigeria, dan Kamerun sebagai produsen
utama dunia.

5.2 Negara Eksportir Kakao di Dunia

Kakao merupakan salah satu komoditas pada subsektor perkebunan yang


memiliki prospek yang baik terutama sebagai sumber devisa negara sehingga setiap
negara bersaing dalam mengekspor kakao ke pasar internasional. Jika kakao
38

tersebut telah diolah sedemikian rupa sehingga menjadi suatu produk yang
memiliki nilai tambah tentu akan mempunyai nilai jual yang tinggi dibandingkan
jika hanya mengekspor kakao dalam bentuk mentah atau biji kakao yang belum
difermentasi.

5.2.1 Negara Eksportir Biji Kakao Dunia


Negara eksportir biji kakao terbesar dunia berdasarkan data dari ITC tahun
2017, yaitu Pantai Gading dengan nilai total ekspor sebesar US$ 3 553 796 ribu
atau sebesar 34% dari total ekspor biji kakao dunia, selain itu Pantai Gading juga
merupakan negara produsen biji kakao terbesar dunia. Ghana sebagai negara
produsen biji kakao kedua juga merupakan negara eksportir biji kakao terbesar
kedua dengan nilai total ekspor US$ 2 082 034 ribu atau menyumbang 20% dari
total ekspor biji kakao dunia, sementara Indonesia sebagai negara produsen biji
kakao terbesar ketiga menempati posisi ke-13 sebagai eksportir biji kakao dunia
dengan menyumbang 1.11% dari total ekspor biji kakao dunia dengan nilai total
ekspor sebesar US$ 114 978 ribu. hal itu disebabkan karena nilai ekspor biji kakao
yang terus mengalami penurunan akibat kebijakan BK. Negara eksportir biji kakao
dunia dapat dilihat pada Gambar 7.
3553796
4000000
2082034
3000000
705415
US$ 000

2000000 525393
767181 250787 192274 129743
531208 523444 226283 114978
1000000 137103

Sumber: International Trade Center (2017), diolah


Gambar 7. Negara eksportir biji kakao di dunia tahun 2015.

5.2.2 Negara Eksportir Pasta Kakao Dunia


Indonesia memiliki prospek yang baik dalam perdagangan pasta kakao di
dunia semenjak diberlakukannya kebijakan BK pada biji kakao yang memang
ditujukan untuk meningkatkan daysaing kakao olahan Indonesia. Hal ini
ditunjukkan dengan posisinya tahun 2015 (Gambar 8) menempati urutan ke-4
39

terbesar sebagai negara eksportir pasta kakao dengan menyumbang 9.17% dari total
ekspor pasta kakao dunia dengan total nilai ekspor mencapai US$ 302 350 ribu. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa kebijakan BK yang diterapkan sejak 2010 dapat
berjalan sesuai dengan tujuan dan tepat sasaran. Pantai Gading selain menjadi
negara produsen dan eksportir biji kakao terbesar dunia, juga merupakan negara
eksportir terbesar pasta kakao dunia yang menyumbang 22.4% dari total ekspor
pasta kakao dunia dengan nilai total ekspor sebesar US$ 738 362 ribu. Belanda
sebagai negara eksportir pasta kakao terbesar kedua mencapai nilai ekspor sebesar
US$ 515487 ribu atau menyumbang 15.6% dari total ekspor pasta kakao dunia, dan
Jerman menyumbang sebesar 9.74% sebagai negara eksportir terbesar ketiga.
Negara eksportir biji kakao dunia dapat dilihat pada Gambar 8.

738362
800000
700000
600000 515487
US$ 000

500000
400000 320935 302350
300000 169136 124722
200000 92316 67616 64303 63318
100000
0

Sumber: International Trade Center (2017), diolah


Gambar 8. Negara eksportir pasta kakao di dunia tahun 2015

5.2.3 Negara Eksportir Lemak Kakao di Dunia


Lemak kakao Indonesia juga memberikan perkembangan yang positif
semenjak diberlakukannya kebijakan BK pada biji kakao. Hal itu dapat dilihat dari
posisi Indonesia pada tahun 2015, yaitu sebagai negara pengekspor lemak kakao
terbesar kedua dengan nilai ekspor US$ 726 296 ribu atau menyumbang 12.9% dari
total ekspor lemak kakao dunia setelah negara Belanda sebagai negara eksportir
lemak kakao terbesar dunia yang menyumbang sebesar 28% dari total ekspor lemak
kakao dunia dengan nilai total ekspor US$ 726 296 ribu. Sementara itu, Pantai
Gading menempati posisi ketiga setelah Indonesia dengan menyumbang 7.5% dari
total ekspor lemak kakao dunia dengan nilai total ekspor US$ 424 930 ribu. Negara
eksportir lemak kakao dunia dapat dilihat pada Gambar 9.
40

2000000
1596122
1500000
US$ 000

1000000 726296
556506
424930 432671 479053
500000 164846 166807 98528

Sumber: International Trade Center (2017), diolah


Gambar 9. Negara eksportir lemak kakao di dunia tahun 2015

5.3 Luas Areal Perkebunan Kakao Indonesia

Selama periode tahun 2006 hingga 2012 luas areal kakao nasional
menunjukkan tren pertumbuhan yang positif. Laju peningkatan areal kakao
nasional tertinggi yaitu terjadi pada tahun 2009, yaitu sebesar 11.36% dengan
perubahan persentase sebesar 8.03% dari tahun 2008. Hal itu disebabkan karena
terjadinya peningkatan pada perkebunan kakao rakyat sebesar 12.44%. Peningkatan
luas areal kakao tersebut didasarkan pada program Kementerian Pertanian melalui
Direktorat Jenderal Perkebunan yang mencanangkan Program Gerakan Nasional
Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (Gernas Kakao) dikarenakan pada tahun
2008 sebanyak 70 000 ha kondisi tanaman kakao sudah tua, rusak, tidak produktif,
dan terkena serangan hama dan penyakit dengan tingkat serangan berat sehingga
perlu dilakukan peremajaan. Selain itu, sebanyak 235 000 hektar kebun kakao yang
kurang produktif dan terkena serangan hama dan penyakit dengan tingkat serangan
sedang sehingga perlu dilakukan rehabilitasi, dan sebanyak 145 000 ha kebun kakao
dengan tanaman tidak terawat dan kurang pemeliharaan sehingga perlu dilakukan
intensifikasi sehingga pemerintah mengeluarkan program Gernas Kakao yang
dilakukan dengan tiga metode, yaitu peremajaan, rehabilitasi dan intensifikasi,
namun semenjak tahun 2013 hingga tahun 2015, Laju peningkatan areal kakao
nasional mengalami tren yang negatif yang disebabkan oleh terjadinya penurunan
luas areal kakao yang relatif tinggi tahun 2014 pada perkebunan milik negara
41

dengan laju penurunan sebesar 59.49% dan perkebunan swasta dengan laju
penurunan sebesar 38.47%.
Berdasarkan status pengusahaannya perkebunan kakao dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu perkebunan rakyat, perkebunan besar negara, dan perkebunan
besar swasta. Indonesia masih terkendala pada masalah produktivitas kakao
Indonesia yang relatif jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas
negara pesaing seperti Pantai Gading dan Ghana. Berdasarkan data dari Ditjenbun
RI (2015) produktivitas kakao Indonesia adalah sebesar 797 kg per hektar,
sementara rata-rata produktivitas Pantai Gading dan Ghana sebesar 1 500 hingga
2 000 kg per hektar. Perkembangan luas areal dan produksi kakao di Indonesia
menurut pengusahaan dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Perkembangan luas areal dan produksi kakao di Indonesia menurut


pengusahaan tahun 2006 – 2015
Luas Areal (hektar) Pertumb. Produksi Pertumb.
Tahun
PR PBN PBS Indonesia (%) (ton) (%)
2006 1 219 633 48 930 52 257 1 320 820 13.18 769 386 2.75
2007 1 272 781 57 343 49 155 1 379 279 4.43 740 006 -3.82
2008 1 326 784 50 584 47 848 1 425 216 3.33 803 594 8.59
2009 1 491 808 49 489 45 839 1 587 136 11.36 809 583 0.75
2010 1 558 421 48 932 43 268 1 650 621 4.00 837 918 3.50
2011 1 638 329 48 935 45 377 1 732 641 4.97 712 231 -15.00
2012 1 693 337 38 218 42 909 1 774 464 2.41 740 513 3.97
2013 1 660 767 37 450 42 396 1 740 613 -1.91 720 862 -2.65
2014 1 686 178 15 171 26 088 1 727 437 -0.76 728 414 1.05
2015* 1 682 008 15 230 26 854 1 724 092 -0.19 661 243 -9.22
Sumber: Ditjenbun (2016b), diolah
Ket: *angka sementara

Pada Tabel 9 produksi biji kakao selama kurun waktu 2006-2015 berfluktuasi
dengan kecenderungan meningkat pada periode tahun 2006-2010 dengan
pertumbuhan sebesar 7.26% atau rata-rata produksi 792 097 ton. Produksi kakao
nasional tertinggi terjadi pada tahun 2010 dengan produksi sebesar 837 918 ton.
Hal tersebut sejalan dengan tujuan program Gernas kakao yang dicanangkan
pemerintah sejak tahun 2009 dalam peningkatan produksi kakao.

5.4 Variasi Biji Kakao

Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mamiliki peranan


cukup penting bagi perekonomian nasional di Indonesia. Tanaman kakao yang
42

memiliki nama latin Theobroma cacao adalah biji kakao berlemak yang telah
dikeringkan dan difermentasi, yang diekstrak untuk menghasilkan cokelat padat
(cocoa solids) dan lemak kakao (cocoa butter) yang kemudian digunakan sebagai
bahan dasar pembuatan cokelat, serta beberapa produk makanan lainnya.
Kakao dibedakan menjadi tiga kelompok utama, yaitu Forastero, Criollo,
dan Trinitario. Forastero merupakan biji kakao yang selama ini banyak diketahui
orang pada umumnya. Biji kakao ini paling banyak diproduksi yaitu sekitar 90 %
dari produksi dunia (Ditjenbun 2017). Kakao forastero tergolong ke dalam kakao
dengan kualitas rendah, namun pertumbuhan tanamannya kuat, tahan terhadap
penyakit, dan dapat menghasilkan produksi yang tinggi diantara yang lainnya.
Berbeda dengan forastero, criollo merupakan kakao dengan kualitas tinggi namun
memiliki beberapa kelemahan seperti pertumbuhan tanaman kurang kuat dan
produksi relatif rendah, masa berbuah yang relatif lambat, dan sedikit peka terhadap
serangan hama dan penyakit. Biji kakao Indonesia sendiri sebagian besar masuk
dalam jenis Trinitario yang merupakan hasil persilangan dari Criollo dan Forastero.
Sifat morfologi dan fisiologinya beragam, demikian juga daya dan mutu hasilnya.
(Susanto 1994).
Biji kakao digunakan baik dalam bahan baku pangan maupun non pangan.
biji kakao yang digunakan sebagai bahan baku pangan harus difermentasi
sedangkan biji kakao yang digunakan sebagai bahan baku non pangan tidak
memerlukan proses fermentasi. Biji-biji kakao dapat diproses untuk menghasilkan
sejumlah produk olahan kakao, seperti cokelat. Penyangraian merupakan tahap
awal dalam menghasilkan produk kakao, diikuti oleh pemecahan dan pelepasan dari
biji untuk menghasilkan biji yang disebut nibs. Nibs kemudian digiling dengan
sehingga berbentuk pasta atau cokelat cair (pasta kakao). Pasta kakao diolah lebih
lanjut menjadi cokelat dengan mencampurkan gula dan lebih banyak lemak kakao
kemudian dimurnikan, dihaluskan, dipanaskan dan didinginkan berulang kali.
Metode lain yang dapat dilakukan yaitu adalah dengan memisahkanmenjadi kakao
bubuk dan lemak kakao menggunakan mesin tekanan hidrolik. Proses pemisahan
ini menghasilkan sekitar 50 % lemak kakao dan 50 % kakao bubuk. Kakao bubuk
standar memiliki kandungan lemak sebesar 10 – 12 %. Lemak kakao digunakan
43

dalam produksi cokelat batangan, produk gula lain, sabun, serta produk kosmetik
(Ditjenbun 2017).

Obat-obatan
Confectionary
Makanan
Powder Bars
minuman
Rice
Kosmetika

Concentrat
Cake e
Extract Makanan

Essence
Industri pengolahan Pasta
Biji Lecithin
kakao kakao kakao

Tannin

Pektin

Industri kimia
Oleo Obat-obatan
Chemical
Butter/Fat
/Lemak Kakao Fatty Acid
Buah Kakao
Vitamin D

Pupuk Hijau

Single Cell
Protein

Gas Bio

Pektin

Shell & Pulp


Alkohol

Jelly

Plastik Filler

Bahan Bakar

Sumber: Kemenperin 2017


Gambar 10. Pohon industri kakao
44

5.5 Perkembangan Ekspor Kakao Indonesia di Negara Tujuan


Ekspor Utama

5.5.1 Negara Tujuan Ekspor Utama Kakao (HS 18)


Negara yang menjadi tujuan ekspor utama kakao (HS 18) Indonesia secara
umum pada periode 2006 – 2015, yaitu Malaysia, Amerika, Jerman, Tiongkok,
Australia, dan Belanda. Malaysia merupakan negara yang menjadi negara
pengimpor terbesar dengan rata-rata nilai ekspor sebesar US$ 382 562 ribu.
Indonesia mengekspor kakao ke Amerika sebagai negara importir kakao Indonesia
terbesar kedua dengan menyumbang rata-rata nilai ekspor komoditas perkebunan
Indonesia sebesar US$ 240 908.2 ribu, Tiongkok sebesar US$ 58 069.9 ribu,
Jerman sebesar US$ 49 146.1 ribu, Australia sebesar US$ 33 511.9 ribu, dan
Belanda sebesar US$ 33511.9 ribu. Negara tujuan ekspor utama komoditas kakao
Indonesia dapat dilihat pada Gambar 11.
600000
500000
400000
000 US$

300000
200000
100000
0
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Malaysia Amerika Jerman China Australia Belanda

Sumber: International Trade Center (2017), diolah


Gambar 11. Perkembangan nilai ekspor kakao Indonesia HS 18 di negara
tujuan ekspor utama tahun 2006 – 2015

Dapat dilihat dari Gambar 11, Malaysia merupakan pasar potensial kakao (HS
18 atau kakao dan turunannya) bagi Indonesia untuk mengekspor kakao dan
turunannya, karena nilai ekspor kakao Indonesia ke Malaysia memiliki nilai ekspor
tertinggi dibandingkan dengan negara importir lainnya, sehingga Indonesia harus
mempertahankan kontinuitas ekspor kakao dan memperluas pangsa pasar kakao di
Malaysia. Tiongkok menempati urutan pangsa pasar ketiga sebagai negara tujuan
ekspor utama kakao Indonesia. Tiongkok merupakan negara dengan jumlah
populasi terbesar dunia sehingga Indonesia dapat memanfaatkan peluang tersebut
dalam meningkatkan dayasaing kakao dengan meningkatkan pangsa pasar kakao
45

Indonesia dan juga meningkatkan kontinuitas ekspor ke pasar potensial lain seperti
Amerika, Jerman, Australia, dan Belanda.

5.5.2 Negara Tujuan Ekspor Utama Biji Kakao (HS 1801)


Biji kakao merupakan salah satu komoditas yang berperan penting dalam
kegiatan perdagangan ekspor Indonesia salah satunya dalam rangka menyumbang
PDB nasional. Biji kakao juga merupakan komoditas dengan rata-rata nilai ekspor
tertinggi diantara komoditas kakao lainnya dengan menyumbang US$ 613 131.8
ribu periode 2006-2015. Negara tujuan ekspor utama komoditas biji kakao
Indonesia dapat dilihat pada Gambar 12.

600000

500000

400000
000 US$

300000

200000

100000

0
2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013

Malaysia Singapura Amerika Thailand Jerman Belanda


Sumber: International Trade Center (2017), diolah
Gambar 12. Perkembangan nilai ekspor biji kakao Indonesia HS 1801
di negara tujuan ekspor utama tahun 2006-2015

Berdasarkan Gambar 12, terdapat enam negara tujuan ekspor utama biji
kakao (HS 1801) Indonesia diantaranya adalah Malaysia, Singapura, Amerika,
Thailand, Jerman, dan Belanda. Malaysia merupakan negara importir biji kakao
Indonesia terbesar dengan nilai impor tahun 2015 sebesar US$ 77 445 ribu atau
US$ 313 861 ribu per tahun, kemudian diikuti oleh Singapura sebesar US$ 17 997
ribu, Amerika sebesar US$ 7 288 ribu, Thailand sebesar US$ 4 429 ribu, Jerman
sebesar US$ 2 316 ribu, dan Belanda sebesar US$ 1 984 ribu. Nilai ekspor biji
kakao Indonesia berfluktuasi dengan kecenderungan menurun di negara tujuan
ekspor, namun penurunan yang signifikan terjadi pada tahun 2011 karena pada
tahun 2010 terdapat kebijakan Bea Keluar (BK) pada biji kakao yang diberlakukan
oleh Pemerintah sejak 1 April 2010.
46

5.5.3 Negara Tujuan Ekspor Utama Pasta Kakao (HS 1803)


Pasta kakao merupakan jenis kakao olahan yang memiliki kode HS 1803
berdasarkan data statistik International Trade Center. Pasta kakao menyumbang
neraca perdagangan melalui kegiatan ekspor Indonesia dengan rata-rata nilai ekspor
sebesar US$ 128 374.8 ribu periode 2006-2015 sebagai produk kakao olahan yang
menyumbang nilai ekspor terbesar ketiga pada komoditas kakao. Negara tujuan
ekspor utama komoditas pasta kakao Indonesia dapat dilihat pada Gambar 13.

180000
160000
140000
120000
000 US$

100000
80000
60000
40000
20000
0
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015

Malaysia Jerman Tiongkok Spanyol Amerika Brazil

Sumber: International Trade Center (2017), diolah


Gambar 13. Perkembangan nilai ekspor pasta kakao Indonesia HS 18 di negara
tujuan ekspor utama tahun 2006 – 2015

Malaysia merupakan pasar utama yang potensial bagi Indonesia untuk


mengekspor pasta kakao dengan menyumbang nilai ekspor sebesar US$ 152 884
ribu pada tahun 2015. Sebagai pasar potensial kedua dan ketiga Jerman
menyumbang nilai ekspor pasta kakao Indonesia sebesar US$ 36 559 ribu dan
Tiongkok sebesar US$ 29 723 ribu. Kemudian, Spanyol menyumbang nilai ekspor
terhadap pasta kakao Indonesia sebesar US$ 22 891 ribu, Amerika sebesar US$
18 840 ribu, dan Brazil sebesar US$ 9 108 ribu. Peningkatan ekspor secara
signifikan terjadi pada pasar Jerman, nilai ekspor pasta Indonesia ke Jerman yang
semula memiliki nilai ekspor sebesar US$ 16 ribu tahun 2008 menjadi US$ 2 506
ribu pada tahun 2009 atau meningkat sebesar 155.62%. Malaysia merupakan pasar
potensial bagi Indonesia untuk mengekspor pasta kakao karena memiliki rata-rata
nilai ekspor tertinggi yaitu sebesar US$ 43 037 ribu per tahun dibandingkan dengan
negara tujuan ekspor pasta kakao lainnya.
47

5.5.4 Negara Tujuan Ekspor Utama Lemak Kakao (HS 1804)


Lemak kakao merupakan komoditas olahan kakao dengan kode HS 1804.
Lemak kakao mempunyai peran yang tidak kalah penting dalam menyumbang
neraca perdagangan melalui kegiatan ekspor komoditas perkebunan Indonesia.
Komoditas lemak kakao memiliki rata-rata nilai ekspor tertinggi kedua setelah
komoditas biji kakao yaitu sebesar US$ 348 710.7 ribu periode 2006-2015. Negara
tujuan ekspor utama komoditas lemak kakao Indonesia secara keseluruhan dapat
dilihat pada Gambar 14.
250000

200000
000 US$

150000

100000

50000

0
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
Amerika Jerman Malaysia Australia Estonia Belanda

Sumber: International Trade Center (2017), diolah


Gambar 14. Perkembangan nilai ekspor lemak kakao Indonesia HS 1804 di
negara tujuan ekspor utama tahun 2006-2015

Pada Gambar 14 dapat dilihat bahwa Amerika merupakan pasar potensial


bagi Indonesia untuk mengekspor lemak kakao. Nilai ekspor tahun 2006-2015
adalah sebesar US$ 300 183 ribu. Pangsa pasar potensial lemak kakao Indonesia
terbesar kedua adalah Jerman dengan nilai ekspor sebesar US$ 264 299 ribu pada
tahun 2015, kemudian Malaysia mengimpor lemak kakao dari Indonesia sebesar
US$ 108 363 ribu, Australia sebesar US$ 80 568 ribu, Estonia sebesar US$ 63 444
ribu, dan Belanda sebesar US$ 49 068 ribu. Negara Eropa seperti Jerman, Estonia,
dan Belanda merupakan negara yang dikenal dengan industri pengolahan cokelat
yang baik di dunia sehingga Indonesia harus dapat memanfaatkan peluang tersebut
dalam menjaga kontinuitas ekspor lemak kakao Indonesia ke negara tujuan tersebut.
48
49

VI HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Analisis Posisi Perdagangan Kakao Indonesia di Negara Tujuan


Ekspor Utama

6.1.1 Posisi Perdagangan Biji Kakao Indonesia


Indeks Spesialisasi Perdagangan (ISP) merupakan suatu metode yang dapat
digunakan untuk mengukur posisi perdagangan kakao Indonesia sehingga dapat
diketahui tahap perkembangan atau tingkat pertumbuhan kakao Indonesia. Hasil
dari analisis ISP biji kakao Indonesia di enam negara tujuan ekspor utama dibagi
menjadi dua periode yaitu periode 2006-2010 atau sebelum adanya penerapan
kebijakan Bea Keluar (BK) pada biji kakao dan periode 2011-2015 atau setelah
penerapan kebijakan BK pada biji kakao. Nilai ISP biji kakao Indonesia dapat
dilihat pada Gambar 15.
1.50

1.00
Nilai ISP

0.50

0.00
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
-0.50
Malaysia Singapura Amerika Thailand Jerman Belanda

Rata-rata nilai ISP Malaysia Singapura Amerika Thailand Jerman Belanda


2006-2010 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 0.98
2011-2015 0.90 0.98 0.72 1.00 1.00 1.00

Sumber : International Trade Center (2017), diolah


Gambar 15. Posisi perdagangan biji kakao Indonesia tahun 2006 – 2015

Pada Gambar 15, pada periode 2006-2010 atau sebelum adanya kebijakan BK
menunjukkan bahwa biji kakao Indonesia mencapai tahap kematangan di negara
tujuan ekspor utama, yaitu di pasar Malaysia (1.00), Singapura (1.00), Amerika
(1.00), Thailand (1.00), Jerman (1.00), dan Belanda (0.98) yang ditunjukkan dengan
nilai rata-rata ISP diantara 0.81 sampai 1.00. Tahap kematangan mengindikasikan
Indonesia dikatakan cenderung menjadi negara eksportir (net exporter) biji kakao
di negara tujuan tersebut namun setelah adanya penerapan kebijakan BK (periode
2011-2015), nilai rata-rata ISP di pasar Malaysia, Singapura, dan Amerika
mengalami penurunan yang disebabkan karena terjadinya peningkatan impor biji
50

kakao Indonesia dari negara tersebut. Penurunan rata-rata ISP yang relatif tinggi di
pasar Amerika (0.72) disebabkan karena pada tahun 2014 Indonesia selain
melakukan ekspor biji kakao ke Amerika, juga melakukan impor biji kakao dari
Amerika dengan nilai impor sebesar US$ 2 798 ribu yang lebih besar daripada nilai
ekspornya US$ 1 148 ribu (ITC 2017), yaitu ditunjukkan dengan nilai ISP sebesar
-0.4 pada tahun 2014. Impor biji kakao dari Amerika dilakukan untuk mendapatkan
biji kakao dengan kualitas baik (difermentasi) karena produksi biji kakao nasional
yang difermentasi hanya mencapai 15% dari produksi biji kakao sehingga hanya
memenuhi sekitar 60% dari kebutuhan industri pengolahan nasional (Muttaqin
2011 dalam Listyati et al. 2014). Walaupun demikian, biji kakao Indonesia tetap
berada pada tahap kematangan setelah kebijakan BK karena nilai rata-rata ISP
berada diantara 0.81 sampai 1.00 disetiap negara tujuan ekspor utama.
Nilai ISP ideal biji kakao Indonesia di negara tujuan ekspor (nilai ISP sama
dengan satu) mengindikasikan Indonesia selalu menjadi pengekspor biji kakao dan
tidak pernah mengimpor biji kakao dari negara tujuan ekspor tersebut. Secara
keseluruhan, Indonesia dikatakan sebagai net exporter biji kakao atau Indonesia
memiliki kecenderungan kuat atau berspesialisasi menjadi negara eksportir biji
kakao di negara tujuan ekspor baik sebelum maupun sesudah adanya kebijakan BK,
artinya ada atau tidaknya kebijakan BK pada biji kakao tidak memengaruhi posisi
perdagangan Indonesia sebagai negara eksportir biji kakao namun hanya
memengaruhi komposisi perubahan nilai ekspor biji kakao yang terus mengalami
penurunan di setiap negara tujuan ekspor.

6.1.2 Posisi Perdagangan Pasta Kakao Indonesia


Nilai ISP pasta kakao Indonesia periode 2006-2015 di negara tujuan ekspor
utama di bedakan menjadi dua periode, yaitu periode 2006-2010 atau saat sebelum
diberlakukannya kebijakan Bea Keluar dan periode 2011-2015 atau saat setelah
diberlakukannya Bea Keluar, karena kebijakan Bea Keluar yang ditetapkan
pemerintah menyebabkan terjadinya peralihan ekspor kakao Indonesia dari yang
semula sebagian besar mengekspor dalam bentuk biji kakao beralih menjadi
mengekspor kakao dalam bentuk olahan seperti pasta kakao, sehingga posisi
perdagangan pasta kakao Indonesia di pasar internasional menjadi penting untuk
diteliti. Nilai ISP pasta kakao Indonesia dapat dilihat pada Gambar 16.
51

1.50
1.00
0.50
Nilai ISP

0.00
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
-0.50
-1.00
-1.50 Malaysia Jerman Tiongkok Spanyol Amerika Brazil

Rata-rata nilai ISP Malaysia Jerman Tiongkok Spanyol Amerika Brazil


2006-2010 -0.07 0.49 0.60 1.00 1.00 1.00
2011-2015 -0.56 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
Sumber: International Trade Center (2017), diolah
Gambar 16. Posisi perdagangan pasta kakao Indonesia tahun 2006 – 2015

Pada periode 2006-2010 di pasar Malaysia, pasta kakao Indonesia berada


pada tahap substitusi impor (rata-rata ISP sebesar -0.07). Hal tersebut disebabkan
pada tahun 2008 terjadi penurunan ekspor pasta kakao Indonesia yang cukup tajam
di Malaysia dengan laju penurunan sebesar -0.78% diikuti dengan peningkatan
impor yang tinggi dengan laju sebesar 0.55% dengan nilai impor mencapai
US$ 2 659 ribu dari impor sebelumnya sebesar US$ 222 ribu, kemudian setelah
diberlakukannya kebijakan Bea Keluar pada periode 2011-2015, posisinya
menurun menjadi berada pada tahap pengenalan (rata-rata ISP sebesar -0.56) pada
periode 2011-2015, karena pada periode ini nilai impor pasta kakao Indonesia dari
Malaysia selalu lebih tinggi daripada nilai ekspornya.
Di pasar Jerman, pasta kakao Indonesia berada pada tahap pertumbuhan (rata-
rata ISP sebesar 0.49). Hal tersebut terjadi karena pada tahun 2008 terjadi
penurunan nilai ekspor (US$ 16 ribu) diikuti dengan peningkatan nilai impor (US$
1 409 ribu) secara signifikan. Tahap pertumbuhan mengindikasikan bahwa
Indonesia mulai meningkatkan ekspor pasta kakao ke Jerman, hal itu dapat dilihat
dari rata-rata nilai ekspor pasta kakao ke Jerman mengalami peningkatan dari tahun
ke tahun dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 39.9%, namun pada periode
2011-2015 Indonesia tidak lagi melakukan impor pasta kakao dari Jerman sehingga
posisi pasta kakao Indonesia berada di tahap kematangan (rata-rata ISP sebesar
1.00) atau Indonesia dikatakan sebagai net exporter pasta kakao di pasar Jerman.
Di pasar Tiongkok, pasta kakao Indonesia berada pada tahap pertumbuhan
(rata-rata ISP sebesar 0.60) pada periode 2006-2010. Tahap pertumbuhan
52

mengindikasikan bahwa Indonesia mulai meningkatkan ekspor pasta kakao ke


Tiongkok, hal itu dapat dilihat dari rata-rata nilai ekspor pasta kakao ke Tiongkok
mengalami fluktuasi dengan pertumbuhan rata-rata sebesar -0.16% kemudian pasta
kakao Indonesia berada pada tahap kematangan di pasar Tiongkok (rata-rata ISP
sebesar 1.00) periode 2011-2015 saat setelah diberlakukannya BK pada biji kakao.
Sementara itu, Indonesia dapat mempertahankan konsistensi posisi pasta
kakao Indonesia sebagai net exporter di pasar Spanyol, Amerika, dan Brazil baik
saat periode 2006-2010 atau sebelum diberlakukannya BK maupun pada periode
2011-2015 atau sesudah diberlakukannya BK, sehingga dapat dikatakan Spanyol,
Amerika, dan Brazil merupakan pasar potensial bagi Indonesia dalam mengekspor
pasta kakao karena pada periode tersebut Indonesia selalu mengekspor tanpa
mengimpor pasta kakao dari negara tersebut, sehingga Indonesia harus menjaga
kontinuitas ekspor pasta kakao ke negara tersebut.

6.1.3 Posisi Perdagangan Lemak Kakao Indonesia


Nilai ISP lemak kakao Indonesia periode 2006-2015 di negara tujuan ekspor
utama di bedakan menjadi dua periode, yaitu periode 2006-2010 atau saat sebelum
diberlakukannya kebijakan Bea Keluar dan periode 2011-2015 atau saat setelah
diberlakukannya Bea Keluar, karena kebijakan Bea Keluar yang ditetapkan
pemerintah menyebabkan terjadinya peralihan ekspor kakao Indonesia dari yang
semula sebagian besar mengekspor dalam bentuk biji kakao beralih menjadi
mengekspor kakao dalam bentuk olahan seperti pasta kakao sehingga posisi
perdagangan lemak kakao Indonesia di pasar internasional menjadi penting untuk
diteliti apakah Indonesia kecenderungan sebagai negara net exporter atau net
importer lemak kakao. Rata-rata nilai ISP lemak kakao Indonesia periode 2006-
2015 di negara tujuan ekspor utama dapat dilihat pada Gambar 17.
Di pasar Malaysia, lemak kakao Indonesia berada pada tahap pertumbuhan
yang ditunjukkan dengan nilai rata-rata ISP 0.19 pada periode 2006-2010 karena
nilai ekspor lemak kakao di negara Malaysia mengalami fluktuasi dengan rata-rata
pertumbuhan sebesar 8.7% pada periode tersebut diikuti dengan nilai impor yang
cukup besar tahun 2007 dengan nilai impor sebesar US$ 1 462 ribu, namun saat
setelah diberlakukannya BK pada biji kakao, lemak kakao Indonesia berada pada
posisi kematangan (net exporter) pada periode 2011-2015. Hal tersebut
53

mengindikasikan kebijakan BK berjalan dengan baik karena Indonesia dapat


terpacu untuk mengekspor kakao dalam bentuk olahan seperti lemak kakao.
2.00

1.00
Nilai ISP

0.00
2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015
-1.00

-2.00
Amerika Jerman Malaysia Australia Estonia Belanda

Rata-rata nilai ISP Amerika Jerman Malaysia Australia Estonia Belanda


2006-2010 1.00 1.00 0.19 1.00 1.00 1.00
2010-2015 1.00 1.00 0.87 1.00 1.00 1.00
Sumber: International Trade Center (2017), diolah)
Gambar 17. Posisi perdagangan lemak kakao Indonesia tahun 2006 – 2015

Di pasar Amerika, Australia, Jerman, Belanda, dan Estonia lemak kakao


Indonesia secara konsisten berada pada tahap kematangan baik pada periode
2006-2010 atau sebelum diberlakukannya BK maupun pada periode 2011-2015
atau sesudah diberlakukannya BK dimana nilai rata-rata ISP ideal (nilai ISP sebesar
1.00). Tahap kematangan mengindikasikan Indonesia sebagai net exporter bagi
pasar tersebut, selalu melakukan ekspor lemak kakao tanpa mengimpor lemak
kakao dari negara tersebut sehingga dapat dikatakan Amerika, Australia, Jerman,
Belanda, dan Estonia merupakan pasar potensial. Tingginya nilai ISP di Amerika,
Jerman, Australia, Estonia, dan Belanda disebabkan karena tingginya permintaan
ekspor lemak kakao Indonesia di negara tersebut untuk digunakan sebagai bahan
baku utama seperti proses pembuatan cokelat dan kosmetik.

6.2 Analisis Faktor-faktor yang Memengaruhi Permintaan Ekspor


Kakao Indonesia

6.2.1 Hasil Estimasi Fungsi Permintaan Ekspor Biji Kakao (HS 1801)
Indonesia di Negara Tujuan Ekspor Utama

Penelitian ini menggunakan gravity model untuk menjelaskan faktor-faktor


yang memengaruhi nilai ekspor komoditas biji kakao Indonesia ke negara tujuan
ekspor utama yaitu Malaysia, Singapura, Amerika, Thailand, Jerman, dan Belanda.
Variabel dependent yang digunakan adalah nilai ekspor biji kakao Indonesia
sedangkan variabel independent terdiri dari GDP riil per kapita negara tujuan
(LnGDPjt), harga ekspor komoditas biji kakao Indonesia di negara tujuan pada
54

tahun t (LnPxijt), nilai tukar riil negara tujuan terhadap US dollar Amerika Serikat
pada tahun t (LnREERjt), jarak ekonomi Indonesia dengan negara tujuan pada tahun
t (LnECODISTijt), dan variabel dummy, yaitu kebijakan BK (LnBKit). Estimasi
pemilihan model terbaik dilakukan untuk memilih random effect model, fixed effect
model, atau pooled least square.
Tabel 9. Hasil estimasi uji model biji kakao
Uji Estimasi Model Prob Kesimpulan
Chow Test 0.0000 Tolak Ho Fixed Effect Model
Hausman Test 0.0000 Tolak Ho Fixed Effect Model

Tabel 9 menunjukkan bahwa probabiltas Uji Chow sebesar 0.0000 lebih kecil
dari alpha (α) 5%, sehinga dapat disimpulkan cukup bukti untuk menolak H0,
sehingga model yang dipilih adalah fixed effect model. Begitupun dengan hasil uji
Hausman menunjukkan hal yang sama untuk menolak hipotesis nol, yakni
probabilitias kurang dari alpha (α) 5% sehingga model terbaik yang dipilih adalah
fixed effect model. Setelah dilakukan regresi panel data dengan model fixed effects
model melalui Eviews, diperoleh persamaan permintaan ekspor biji kakao Indonesia
sebagai berikut:
LnXijt = 37.85132 + 17.51918 LnGDPjt – 0.484429 LnPxijt +3.178599 LnREERjt
+ 21.12027 LnECODISTijt – 0.002365 LnBKit (2)
Tabel 10. Hasil estimasi panel data pada biji kakao Indonesia (HS 1801) di negara
tujuan ekspor periode 2006 – 2015
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 37.85132 30.55741 1.238695 0.2214
LnGDPjt 17.51918 4.727927 -3.705467 0.0005*
LnPxijt -0.484429 0.373786 1.296006 0.2010
LnREERjt 3.178599 1.542809 2.060267 0.0447*
LnECODISTijt 21.12027 5.551353 3.804526 0.0004*
LnBKit -0.002365 0.025680 -0.092080 0.9270
Weighted Statistics
R-squared 0.880569 Mean dependent var 13.75116
Adjusted R-squared 0.856196 S.D. dependent var 7.668944
S.E. of regression 0.935896 Sum squared resid 42.91920
F-statistic 36.12798 Durbin-Watson stat 1.625269
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.792081 Mean dependent var 9.864702
Sum squared resid 51.85139 Durbin-Watson stat 1.753675
*signifikan pada taraf nyata 5 persen.
55

Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa variabel yang signifikan pada taraf nyata
lima persen adalah GDP riil per kapita negara tujuan (Ln GDPjt), nilai tukar negara
tujuan (LnREERjt), dan jarak ekonomi (LnECODISTijt). Berdasarkan hasil estimasi
data panel pada tabel diatas, dapat dianalisis uji kriteria statististik, uji kriteria
ekonometrika, dan uji kriteria ekonomi.

A. Uji Kriteria Statistik


Uji kriteria statistik digunakan untuk mengetahui apakah variabel yang
digunakan dalam model regresi signifikan atau tidak. Metode pengujian dilakukan
melalui pendekatan uji F, uji t, dan uji R-squared.

1. Uji F
Uji F dilakukan dengan membandingkan probabilitas F-statistic dengan taraf
nyata sebesar 5%. Nilai probability F-statistic pada model menghasilkan nilai
sebesar nol, lebih kecil dari taraf nyata 5 %, artinya bahwa model dianggap mampu
merepresentasikan permintaan ekspor biji kakao Indonesia di Malaysia, Singapura,
Amerika, Thailand, Jerman, dan Belanda.

2. Uji t
Uji t dilakukan untuk menentukan apakah variabel bebas yang terdapat pada
model memiliki pengaruh nyata pada nilai ekspor biji kakao Indonesia di enam
negara tujuan ekspor. Berdasarkan nilai t-statistic didapat bahwa variabel yang
berpengaruh nyata pada taraf nyata 5% adalah GDP riil per kapita negara tujuan
(Ln GDPjt), jarak ekonomi (LnECODISTijt), dan nilai tukar negara tujuan
(LnREERjt) sedangkan variabel yang tidak signifikan pada taraf nyata 5% adalah
harga ekspor (Pxit), dan kebijakan BK (BKit).

3. Uji R-squared
Model permintaan ekspor biji kakao dalam penelitian ini menghasilkan nilai
R-squared sebesar 0.880. Nilai ini berarti bahwa variabel-variabel yang terdapat
dalam model mampu menjelaskan 88% keragaman yang terjadi pada permintaan
ekspor biji kakao Indonesia ke Malaysia, Singapura, Amerika, Thailand, Jerman,
dan Belanda, sedangkan sisanya sebesar 12% dijelaskan oleh variabel lain di luar
model.
56

B. Uji Kriteria Ekonometrika


Untuk menguji asumsi–asumsi klasik yang mendasari model yang diestimasi,
dilakukan uji kriteria ekonometrika agar mendapatkan model yang memenuhi
BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). Asumsi yang diuji adalah autokorelasi,
multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan normalitas. Uraian mengenai uji asumsi
dari model yang diestimasi adalah sebagai berikut.

1. Uji Autokorelasi
Untuk menguji korelasi dapat dilakukan dengan uji Durbin-Watson. Dengan
jumlah observasi sebanyak 60, jumlah veriabel independen sebanyak 5 variabel dan
α sebesar 5% maka diperoleh nilai Durbin Watson tabel dengan DL sebesar 1.41
dan DU sebesar 1.77. Pada hasil regresi model fixed effects, didapatkan nilai Durbin-
Watson statistics sebesar 1.62 pada weighted statistics atau DL < DW < DU sehingga
tidak ada keputusan autokorelasi.

2. Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas dilakukan untuk mengetahui hubungan linear antar
peubah bebas. Permasalahan multikolinearitas dapat terjadi akibat tingginya nilai
R-squared tetapi banyak variabel yang tidak signifikan (Juanda 2009). Dengan
demikian pengujian yang dapat dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya masalah
multikolinearitas adalah dengan melihat nilai R-squared dan melihat signifikansi
peubah bebas pada model regresi. Pada model regresi ini tidak terindikasi adanya
masalah multikolinearitas karena nilai ekspor biji kakao Indonesia didapatkan hasil
R-squared yang cukup tinggi senilai 88% dan terdapat tiga variabel bebas yang
signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa 88% keragaman variabel dependen yang
terdapat dalam model dapat dijelaskan oleh variabel independen yang terdapat pada
model.

3. Uji Heteroskedastisitas
Hasil estimasi pada Tabel (10) menunjukkan bahwa Sum Squared Residual
pada Weighted Statistic (42.91) lebih kecil dari Sum Squared Residual pada
Unweighted Statistic (51.85), maka dapat disimpulkan terindikasi masalah
heteroskedastisitas, namun masalah data yang tidak homoskedastisistas ini telah
57

dapat diatasi dengan menggunakan cross-section weights sebagai pembobot pada


model (Juanda 2009).

4. Uji Normalitas
Uji normalitas dapat dideteksi dengan melihat nilai Jarque-Bera dan nilai
probabilitas. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa nilai Jarque-Bera sebesar
1.37 lebih besar dari 0.05 dan nilai probabilitas sebesar 0.50 lebih besar dari 0.05
sehingga model nilai ekspor biji kakao Indonesia memiliki distribusi error terms
yang menyebar normal.

C. Uji Kriteria Ekonomi

1. GDP riil per Kapita Negara Tujuan


Berdasarkan hasil estimasi, GDP riil per kapita negara tujuan ekspor
mempunyai hubungan positif dan berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5%
karena nilai probabilitas variabel GDP riil per kapita negara tujuan lebih kecil dari
taraf nyata (0.00 < 0.05), dan koefisien sesuai dengan hipotesis yaitu sebesar 17.51.
Hal tersebut menginterpretasikan bahwa jika GDP riil per kapita negara tujuan
ekspor meningkat sebesar satu persen, maka permintaan ekspor biji kakao
Indonesia akan meningkat sebesar 17.51% (ceteris paribus). GDP negara negara
tujuan (importir) memiliki hubungan positif dengan perdagangan bilateral. GDP
negara tujuan digunakan sebagai ukuran kapasitas absorpsi, semakin meningkat
GDP negara tujuan mengakibatkan kapasitas absorpsi negara tersebut juga
meningkat, sehingga impor negara tersebut akan meningkat. Penelitian ini sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Pradipta dan Firdaus (2014).

2. Harga Ekspor
Harga dapat dijadikan sebagai salah satu faktor yang dapat memengaruhi
ekspor. Apabila harga suatu komoditas mengalami peningkatan maka akan
menurunkan permintaan ekspor komoditas tersebut. Variabel harga ekspor biji
kakao mempunyai hubungan negatif dan tidak berpengaruh signifikan pada taraf
5% karena nilai probabilitas lebih besar dari taraf nyata (0.20 > 0.05). Nilai
koefisien variabel harga ekspor biji kakao adalah sebesar -0.48. Nilai koefisien yang
negatif artinya jika harga ekspor biji kakao Indonesia di negara tujuan meningkat
sebesar satu persen, maka ekspor biji kakao Indonesia ke negara tujuan ekspor akan
58

mengalami penurunan sebesar 0.48% (ceteris paribus). Peningkatan harga ekspor


membuat importir cenderung mencari eksportir lain yang mengekspor biji kakao ke
negaranya yang lebih murah. Kondisi ini akan menyebabkan volume ekspor biji
kakao Indonesia mengalami penurunan. Hal ini didukung oleh penelitian Pradipta
dan Firdaus (2014).

3. Real Effective Exchange Rate (REER)


Nilai tukar negara tujuan memiliki hubungan positif dengan permintaan
ekspor biji kakao Indonesia dan berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5% karena
memiliki nilai probabilitas sebesar 0.04 lebih kecil dari taraf nyata (0.04 < 0.05).
Nilai koefisien variabel nilai tukar adalah sebesar 3.17. Tanda koefisien yang positif
artinya ketika terjadi peningkatan pada nilai tukar (REER) sebesar satu persen maka
akan terjadi peningkatan permintaan ekspor komoditas biji kakao Indonesia di
negara tujuan ekspor utama sebesar 3.17% (cateris paribus). Ketika REER di
negara tujuan ekspor tinggi maka akan mendorong negara tersebut untuk
mengimpor kakao dari Indonesia sehingga ekspor Indonesia ke negara tujuan
mengalami peningkatan. Hubungan positif antara nilai tukar negara tujuan dan
ekspor kakao Indonesia ke negara tujuan ekspor sesuai hipotesis, ketika REER
tinggi di negara tujuan (melemahnya mata uang domestik) menyebabkan harga
barang-barang luar negeri relatif lebih murah dan barang-barang domestik relatif
lebih mahal, sehingga mendorong negara tersebut untuk mengimpor barang dari
negara lain yang lebih murah. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Ginting
(2013).
4. Jarak Ekonomi
Jarak ekonomi memiliki hubungan positif dan berpengaruh secara signifikan
pada taraf nyata 5% karena nilai probabilitas sebesar 0.0004 lebih kecil dari taraf
nyata 5% (0.0004 < 0.05). Nilai koefisien variabel jarak ekonomi adalah sebesar
21.12 yang mengindikasikan bahwa jika jarak ekonomi Indonesia dengan negara
tujuan ekspor meningkat sebesar satu persen maka akan terjadi peningkatan ekspor
biji kakao Indonesia sebesar 21.12% ke negara tujuan ekspor (cateris paribus).
Tanda koefisien variabel ekonomi tersebut tidak sesuai dengan hipotesis, namun
hasil penelitian terdahulu oleh Lawless dan Whelan (2007) meneliti hubungan jarak
dan ekspor dengan menggunakan data Amerika Serikat tahun 2000. Hasil
59

penelitian menunjukkan bahwa jarak dapat berpengaruh secara positif terhadap


ekspor. Lawless dan Whelan (2007) menemukan bahwa untuk melakukan ekspor
ke luar negeri, perusahaan-perusahaan di Amerika Serikat harus menaikkan biaya
tetap (fixed cost) jika jarak dari tujuan ekspor semakin jauh. Agar tetap mendapat
keuntungan dari peningkatan biaya tersebut, maka perusahaan-perusahaan Amerika
Serikat tersebut akan meningkatkan volume dan nilai perdagangan. Oleh karena itu,
berdasarkan fenomena ini Lawless dan Whelan (2007) menegaskan bahwa jarak
dapat berpengaruh positif terhadap ekspor. Dengan demikian, berdasarkan
penelitian di atas, secara umum dapat diprediksi bahwa hubungan jarak geografis
antara Indonesia dengan negara importir utama kakao Indonesia dapat
meningkatkan ataupun menurunkan ekspor kakao Indonesia ke negara tujuan
ekspor).

5. Kebijakan Bea Keluar (BK)


Kebijakan Bea Keluar mempunyai hubungan negatif terhadap ekspor biji
kakao Indonesia ke negara tujuan ekspor. Tanda koefisien pada variabel dalam
persamaan tersebut sesuai dengan hipotesis, yaitu sebesar -0.002. Nilai koefisien
tersebut mengindikasikan diberlakukannya BK pada biji kakao, ekspor biji kakao
Indonesia menjadi lebih rendah 0.002% dibandingkan jika ekspor biji kakao
Indonesia tanpa kebijakan Bea Keluar (ceteris paribus), namun BK tidak
berpengaruh secara signifikan pada taraf nyata 5%. Hal ini karena nilai probabilitas
variabel kebijakan BK lebih besar dari taraf nyata 5% (0.92 > 0.05). Penetapan
kebijakan BK pada biji kakao ditujukan untuk mengurangi ekspor kakao dalam
bentuk biji kakao sehingga hal itu dapat memacu produsen agar dapat mengekspor
kakao dalam bentuk olahan karena jika kakao telah diolah akan memiliki nilai
tambah yang lebih sehingga harga yang berlaku juga tinggi di pasar internasional.
Dampak kebijakan BK biji kakao yang memiliki hubungan negatif dengan ekspor
biji kakao sejalan dengan penelitian Suryana (2014).

6.2.2 Hasil Estimasi Fungsi Permintaan Ekspor Pasta Kakao (HS 1803)
Indonesia di Negara Tujuan Ekspor Utama
Estimasi faktor-faktor yang memengaruhi nilai ekspor komoditas pasta kakao
Indonesia di pasar Malaysia, Jerman, Tiongkok, Spanyol, Amerika, dan Brazil
menggunakan pendekatan gravity model. Variabel dependen yang digunakan
60

adalah nilai ekspor pasta kakao Indonesia sedangkan variabel independen terdiri
dari GDP riil per kapita negara tujuan (LnGDPjt), harga ekspor komoditas pasta
kakao Indonesia di negara tujuan pada tahun t (LnPxijt), nilai tukar riil negara tujuan
terhadap US dollar Amerika Serikat pada tahun t (LnREERjt), jarak ekonomi
Indonesia dengan negara tujuan pada tahun t (LnECODISTijt), dan variabel dummy,
yaitu kebijakan Bea Keluar (LnBKit). Estimasi pemilihan model terbaik dilakukan
untuk memilih random effect model, fixed effect model, atau pooled least square.
Tabel 11. Hasil estimasi uji model pasta kakao
Uji Estimasi Model Prob Kesimpulan
Chow Test 0.0000 Tolak Ho Fixed Effect Model
Hausman Test 0.0000 Tolak Ho Fixed Effect Model

Tabel 11 menunjukkan bahwa probabiltas Uji Chow sebesar 0.0000 lebih


kecil dari alpha (α) 5%, sehinga dapat disimpulkan cukup bukti untuk menolak H0,
sehingga model yang dipilih adalah fixed effect model. Begitupun dengan hasil uji
Hausman menunjukkan hal yang sama untuk menolak hipotesis nol, yakni
probabilitias kurang dari alpha (α) 5% sehingga model terbaik yang dipilih adalah
fixed effect model. Berdasarkan hasil estimasi model persamaan dengan fixed effect,
diperoleh persamaan sebagai berikut.

LnXijt = 8.015091+ 3.864480 LnGDPjt + 0.847906 LnPxij – 7.684819 LnREERj


– 1.005732 LnECODISTijt + 1.105007 LnBKit (3)
Tabel 12. Hasil estimasi panel data pada pasta kakao Indonesia (HS 1803) di negara
tujuan ekspor periode 2006 – 2015
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 8.015091 21.40270 0.374490 0.7097
LnGDPjt 3.864480 6.269573 0.616386 0.5405
LnPxijt 0.847906 0.039633 21.39418 0.0000*
LnREERjt -7.684819 2.398874 -3.203511 0.0024*
LnECODISTijt -1.005732 6.166159 -0.163105 0.8711
LnBKit 0.105007 0.017880 5.872738 0.0000*
Weighted Statistics
R-squared 0.870486 Mean dependent var 10.04585
Adjusted R-squared 0.844054 S.D. dependent var 4.690724
S.E. of regression 1.169292 Sum squared resid 66.99498
F-statistic 32.93369 Durbin-Watson stat 1.370853
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.834927 Mean dependent var 8.126298
Sum squared resid 76.92948 Durbin-Watson stat 1.377582
*signifikan pada taraf nyata 5 persen
61

Berdasarkan Tabel 12 hasil regresi panel data, variabel yang signifikan pada
taraf nyata 5% adalah harga ekspor (LnPXijt), nilai tukar riil negara tujuan
(LnREERjt), dan kebijakan BK (LnBKit). Berdasarkan hasil estimasi data panel
pada tabel diatas, dapat dianalisis uji kriteria statististik, uji kriteria ekonometrika,
dan uji kriteria ekonomi.

A. Uji Kriteria Statistik


Uji kriteria statistik digunakan untuk mengetahui apakah variabel yang
digunakan dalam model regresi signifikan atau tidak. Metode pengujian dilakukan
melalui pendekatan uji F, uji t, dan uji R-squared.

1. Uji F
Uji F dilakukan dengan membandingkan probabilitas F-statistic dengan taraf
nyata sebesar 5%. Nilai probability F-statistic pada model menghasilkan nilai
sebesar 0, lebih kecil dari taraf nyata 5%, artinya bahwa model dianggap mampu
merepresentasikan permintaan ekspor pasta kakao Indonesia di pasar Malaysia,
Jerman, Tiongkok, Spanyol, Amerika, dan Brazil.

2. Uji t
Berdasarkan nilai t-statistic didapat bahwa variabel yang berpengaruh nyata
pada taraf nyata 5% adalah ekspor pasta kakao Indonesia, nilai tukar negara tujuan
terhadap dollar Amerika, dan kebijakan Bea Keluar, sedangkan variabel yang tidak
signifikan pada taraf nyata 5% adalah GDP riil per kapita dan jarak ekonomi.

3. Uji R-squared
Model permintaan ekspor pasta kakao dalam penelitian ini menghasilkan nilai
R-squared sebesar 87.04% yang artinya variabel-variabel yang terdapat dalam
model mampu menjelaskan 87.04% keragaman yang terjadi pada permintaan
ekspor pasta kakao Indonesia di pasar Malaysia, Jerman, Tiongkok, Spanyol,
Amerika, dan Brazil sedangkan sisanya sebesar 12.96% dijelaskan oleh variabel
lain di luar model.

B. Uji Kriteria Ekonometrika


Uji kriteria ekonometrika dilakukan agar mendapatkan model yang memenuhi
BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). Asumsi yang diuji adalah autokorelasi,
62

multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan normalitas. Uraian mengenai uji asumsi


dari model yang diestimasi adalah sebagai berikut.

1. Uji Autokorelasi
Masalah autokorelasi muncul karena adanya hubungan linear antar error dalam
satu penelitian. Uji autokorelasi diuji dengan melihat nilai Durbin Watson (DW).
Dengan jumlah observasi sebanyak 60, jumlah veriabel independen sebanyak lima
variabel dan α sebesar 5% maka diperoleh nilai Durbin Watson tabel dengan DL
sebesar 1.41 dan DU sebesar 1.77 dan Durbin Watson stat pada weighted statistic
sebesar 1.37. Maka nilai Dw berada diantara 0 < DW < DL, artinya ada autokorelasi
positif namun karena metode yang digunakan pada model merupakan metode Fixed
Effect yang diestimasi menggunakan Generalized Least Square maka masalah
autokorelasi telah diatasi (Juanda 2009).

2. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas merupakan salah satu penyimpangan asumsi karena adanya
hubungan linear sempurna antar peubah bebas sehingga peubah bebas tersebut
berkolinearitas ganda sempurna (Juanda 2009). Permasalahan multikolinearitas
dapat terjadi jika dalam uji-F menyimpulkan minimal ada satu peubah bebas yang
berpengaruh nyata (signifikan) dalam model dan mempunyai nilai R-squared yang
tinggi tetapi dalam uji-t tidak ada koefisien yang signifikan pada taraf nyata 5%.
Pada model regresi ini tidak terindikasi adanya masalah multikolinearitas karena
nilai hasil R-squared pada model ekspor pasta kakao Indonesia didapatkan senilai
87.04% dan terdapat tiga variabel bebas yang signifikan. Hal ini menunjukkan
bahwa model dalam penelitian ini tidak terindikasi adanya multikolinearitas.

3. Uji Heteroskedastisitas
Hasil estimasi pada Tabel 13 menunjukkan bahwa Sum Squared Residual
pada Weighted Statistic (66.99) lebih kecil dari Sum Squared Residual pada
Unweighted Statistic (76.92), sehingga disimpulkan terjadi heteroskedastisitas,
namun variabel-variabel dalam model ini sudah memenuhi asumsi
heteroskedastisitas karena model menggunakan pembobotan pada Fixed Effect
yang diestimasi menggunakan Generalized Least Square pada cross section
sehingga masalah heteroskedastisitas telah diatasi (Juanda 2009).
63

4. Uji Normalitas
Uji normalitas dapat dideteksi dengan melihat nilai Jarque-Bera dan nilai
probabilitas. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa nilai probabilitas sebesar
sebesar 0.2945 lebih besar dari 0.05 dan nilai Jarque-Bera adalah sebesar 2.44 lebih
besar dari 0.05 sehingga model nilai ekspor pasta kakao Indonesia memiliki
distribusi error terms yang menyebar normal.

C. Uji Kriteria Ekonomi

1. GDP riil per Kapita Negara Tujuan


Berdasarkan hasil estimasi GDP riil negara tujuan ekspor memiliki hubungan
positif dan tidak berpengaruh signifikan pada taraf nyata 5% karena nilai
probablititas lebih besar dari taraf nyata (0.54 > 0.05). Tanda koefisien pada
variabel sesuai dengan hipotesis yaitu sebesar 3.86, yang artinya jika GDP per
kapita negara importir meningkat sebesar satu persen, maka permintaan ekspor
pasta kakao Indonesia meningkat sebesar 3.86% (ceteris paribus). Hal ini sejalan
dengan penelitian oleh Daulay (2010) bahwa kenaikan GDP negara importir
menyebabkan meningkatnya pendapatan negara tersebut sehingga mengakibatkan
naiknya pembelian produk final (final product) karena tidak semua kebutuhan dapat
dipenuhi oleh produksi dalam negeri negara-negara tersebut (Daulay 2010).

2. Harga Ekspor
Harga ekspor pasta kakao memiliki hubungan positif dan berpengaruh
signifikan pada taraf nyata 5% karena nilai probabilitas variabel harga ekspor kakao
lebih kecil dari taraf nyata 5% (0.00 < 0.05). Tanda koefisien pada variabel dalam
persamaan pasta kakao tidak sesuai dengan hipotesis, nilai koefisien harga ekspor
pasta kakao Indonesia yaitu sebesar 0.84, yang artinya jika harga ekspor pasta
kakao Indonesia di negara tujuan meningkat sebesar satu persen, maka permintaan
ekspor pasta kakao Indonesia meningkat sebesar 0.84% di negara tujuan ekspor
(ceteris paribus). Peningkatan harga ekspor menggambarkan mutu dan kualitas
komoditas pasta kakao, semakin tinggi harga ekspor pasta kakao menunjukkan
semakin baik mutu dan kualitas pasta kakao sehingga nilai ekspor juga semakin
tinggi di negara tujuan ekspor. Hal ini didukung oleh penelitian Hanoum (2016)
yang mengestimasi hubungan antara harga ekspor elektronika dengan volume
64

ekspor yang menunjukkan bahwa harga ekspor elektronika yang meningkat


menggambarkan mutu dan kualitas terhadap komoditas tersebut. Harga yang
semakin meningkat maka akan meningkatkan nilai ekspor elektronika di pasar
internasional.
3. Real Effective Exchange Rate (REER)
Nilai tukar negara tujuan mempunyai hubungan negatif dan berpengaruh
secara signifikan dengan nilai ekspor komoditas pasta kakao Indonesia ke enam
negara utama tujuan ekspor. Nilai tukar memiliki nilai koefisien sebesar
-7.68 terhadap nilai ekspor komoditas pasta kakao Indonesia. Hasil estimasi
memperlihatkan bahwa ketika terjadi peningkatan pada nilai tukar sebesar satu
persen maka terjadi penurunan ekspor komoditas pasta kakao Indonesia ke negara
utama tujuan ekspor sebesar 7.68% (cateris paribus). Hubungan nilai tukar negara
importir yang memiliki pengaruh negatif terhadap negara eksportir tidak sesuai
hipotesis namun sejalan dengan penelitian Machmud (2016) ketika suatu negara
mengalami depresiasi menyebabkan harga ekspor di dalam negeri relatif lebih
mahal dan harga ekspor luar negeri menjadi relatif lebih murah sehingga akan
menyebabkan negara tersebut meningkatkan ekspornya dan mengurangi impor
yang megindikasikan bahwa ketika depresiasi di negara importir menyebabkan
negara tersebut akan menekan impor sehingga ekspor pasta kakao Indonesia ke
negara tujuan akan menurun.

4. Jarak Ekonomi

Variabel jarak ekonomi memiliki hubungan negatif dan tidak berpengaruh


secara signifikan pada taraf nyata 5 % karena memiliki nilai probabilitas lebih besar
dari taraf nyata 5% (0.87 > 0.05). Nilai koefisien pada variabel jarak ekonomi
memiliki tanda yang sesuai dengan hipotesis yaitu sebesar -1.00. Nilai tersebut
mengindikasikan jika jarak ekonomi Indonesia dengan negara tujuan ekspor naik
satu persen maka terjadi penurunan permintaan ekspor pasta kakao Indonesia di
negara tujuan ekspor sebesar 1% (cateris paribus). Penelitian ini sejalan dengan
penelitian Pradipta dan Firdaus (2014) dan Achay (2006) pada penelitiannya
mengenai faktor-faktor penentu aliran perdagangan di berbagai negara di dunia
dengan menggunakan gravity model, bahwa jarak geografis suatu negara dengan
negara mitra tujuan memiliki pengaruh negatif terhadap volume perdagangan.
65

Semakin jauh jarak antara negara eksportir dan importir maka volume dan nilai
perdagangan semakin berkurang. Hal ini disebabkan oleh semakin mahal biaya
yang harus dikeluarkan untuk melakukan transaksi tersebut.

5. Kebijakan Bea Keluar (BK)


Kebijakan Bea Keluar mempunyai hubungan positif dan berpengaruh secara
signifikan terhadap nilai ekspor pasta kakao Indonesia ke negara tujuan ekspor. Hal
ini karena nilai probabilitas variabel kebijakan BK lebih kecil dari taraf nyata 5%
(0.00 < 0.05). Tanda koefisien pada variabel dalam persamaan tersebut sesuai
dengan hipotesis, koefisien kebijakan BK memiliki nilai koefisien sebesar 0.10,
yang artinya dengan diberlakukannya Bea Keluar pada biji kakao, nilai ekspor pasta
kakao Indonesia menjadi lebih tinggi 0.10% dibandingkan nilai ekspor pasta kakao
Indonesia tanpa penetapan Bea Keluar (ceteris paribus). Tujuan diberlakukannya
BK pada biji kakao adalah agar Indonesia dapat beralih dari yang sebelumnya
mengekspor kakao dalam bentuk biji kakao menjadi ekspor kakao dalam bentuk
olahan kakao, yaitu pasta kakao. Hubungan positif dampak kebijakan terhadap
ekspor kakao olahan sejalan dengan penelitian Suryana (2014).

6.2.3 Hasil Estimasi Fungsi Permintaan Ekspor Lemak Kakao (HS 1804)
Indonesia di Negara Tujuan Ekspor Utama
Pendekatan gravity model digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor yang
memengaruhi nilai ekspor komoditas lemak kakao Indonesia ke negara tujuan
ekspor utama Amerika, Jerman, Malaysia, Australia, Estonia, dan Belanda.
Variabel dependent yang digunakan adalah nilai ekspor lemak kakao Indonesia
sedangkan variabel independent terdiri dari GDP riil per kapita negara tujuan (Ln
GDPjt), harga ekspor komoditas biji kakao Indonesia di negara tujuan pada tahun t
(LnPxijt), nilai tukar riil negara tujuan terhadap US dollar Amerika Serikat pada
tahun t (LnREERjt), jarak ekonomi Indonesia dengan negara tujuan pada tahun t
(LnECODISTijt), dan variabel dummy, yaitu kebijakan BK (BKit). Estimasi
pemilihan model terbaik dilakukan untuk memilih random effect model, fixed effect
model, atau pooled least square.
66

Tabel 13. Hasil estimasi uji model lemak kakao


Uji Estimasi Model Prob Kesimpulan
Chow Test 0.0000 Tolak Ho Fixed Effect Model
Hausman Test 0.0000 Tolak Ho Fixed Effect Model
Tabel 13 menunjukkan bahwa probabiltas Uji Chow sebesar 0.0000 lebih
kecil dari alpha (α) 5%, sehinga dapat disimpulkan cukup bukti untuk menolak H0,
sehingga model yang dipilih adalah fixed effect model. Begiupun dengan hasil Uji
Hausman menunjukkan hal yang sama untuk menolak hipotesis nol, yakni
probabilitias kurang dari alpha (α) 5% sehingga model terbaik yang dipilih adalah
fixed effect model. Setelah dilakukan regresi panel data dengan model fixed effects
melalui Eviews, diperoleh persamaan sebagai berikut:
LnXijt = – 7.666209+0.928040 LnGDPjt + 0.956433 LnPxijt – 0.085947 LnREERjt
+ 0.105452 LnECODISTijt + 0.076144 LnBKit (4)

Tabel 14. Hasil estimasi panel data pada lemak kakao Indonesia (HS 1804) di
negara tujuan ekspor periode 2006 – 2015
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C -7.666209 9.871035 -0.776637 0.4411
LnGDPjt 0.928040 0.336890 2.754723 0.0082*
LnPxij 0.956433 0.035649 26.82905 0.0000*
LnREERjt -0.085947 2.404978 -0.035737 0.9716
LnECODISTijt 0.105452 0.189772 0.555676 0.5810
LnBKit 0.076144 0.010714 7.107094 0.0000*
Weighted Statistics
R-squared 0.935882 Mean dependent var 10.86801
Adjusted R-squared 0.922797 S.D. dependent var 5.343089
S.E. of regression 0.972643 Sum squared resid 46.35564
F-statistic 71.52191 Durbin-Watson stat 1.375860
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.891077 Mean dependent var 8.846145
Sum squared resid 51.56961 Durbin-Watson stat 1.359657

Berdasarkan Tabel 14 hasil regresi variabel yang signifikan pada taraf nyata
5% yakni GDP riil per kapita negara tujuan (Ln GDPjt), harga ekspor komoditas
biji kakao Indonesia di negara tujuan (LnPxijt) dan variabel dummy, yaitu kebijakan
BK (LnBKit). Berdasarkan hasil estimasi data panel pada tabel diatas, dapat
dianalisis uji kriteria statististik, uji kriteria ekonometrika, dan uji kriteria ekonomi.
67

A. Uji Kriteria Statistik


Uji kriteria statistik digunakan untuk mengetahui apakah variabel yang
digunakan dalam model regresi signifikan atau tidak. Metode pengujian dilakukan
melalui pendekatan uji F, uji t, dan uji R-squared.

1. Uji F
Uji F dilakukan dengan membandingkan probabilitas F-statistic dengan
taraf nyata sebesar 5%. Nilai probability F-statistic pada model menghasilkan nilai
sebesar 0, lebih kecil dari taraf nyata 5%, artinya bahwa model dianggap mampu
merepresentasikan permintaan ekspor lemak kakao Indonesia di pasar Amerika,
Jerman, Malaysia, Australia, Estonia, dan Belanda.

2. Uji t
Berdasarkan nilai t-statistic didapat bahwa variabel yang berpengaruh nyata
pada taraf nyata 5% adalah GDP per kapita negara tujuan, harga ekspor lemak
kakao Indonesia, dan kebijakan BK sedangkan variabel yang tidak signifikan pada
taraf nyata 5% adalah jarak ekonomi dengan nilai probabilitas sebesar 0.8426 dan
nilai tukar dengan nilai probabilitas sebesar 0.9716.

3. Uji R-squared
Model permintaan ekspor lemak kakao dalam penelitian ini menghasilkan nilai
R-squared sebesar 93.58%. Nilai ini menjelaskan bahwa variabel-variabel yang
terdapat dalam model mampu menjelaskan 93.58% keragaman yang terjadi pada
nilai ekspor lemak kakao Indonesia di pasar Amerika, Jerman, Malaysia, Australia,
Estonia, dan Belanda sedangkan sisanya sebesar 6.42% dijelaskan oleh variabel lain
di luar model.

B. Uji Kriteria Ekonometrika


Untuk menguji asumsi–asumsi klasik yang mendasari model yang diestimasi,
maka dilakukan uji kriteria ekonometrika. Asumsi yang diuji adalah autokorelasi,
multikolinearitas, heteroskedastisitas, dan normalitas. Uraian mengenai uji asumsi
dari model yang diestimasi adalah sebagai berikut.

1. Uji Autokorelasi
Masalah autokorelasi muncul karena adanya hubungan linear antar error dalam
satu penelitian. Uji autokorelasi perlu dilakukan pada penelitian yang bersifat time
68

series dengan melihat nilai Durbin Watson (DW). Dengan jumlah observasi
sebanyak 60, jumlah veriabel independen sebanyak 5 dan α sebesar 5% maka
diperoleh nilai Durbin Watson tabel dengan DL sebesar 1.41 dan DU sebesar 1.77
dan Durbin Watson Statistic pada weighted statistics sebesar 1.37. Maka nilai Dw
berada diantara 0 < Dw < DL sehingga tolak H0 yang artinya ada autokorelasi
positif. Namun karena metode yang digunakan pada model merupakan metode
Fixed Effect yang diestimasi menggunakan Generalized Least Square maka
masalah autokorelasi telah diatasi (Juanda 2009).

2. Uji Multikolinearitas
Multikolinearitas merupakan salah satu penyimpangan asumsi karena adanya
hubungan linear sempurna antar peubah bebas sehingga peubah bebas tersebut
berkolinearitas ganda sempurna (Juanda 2009). Permasalahan multikolinearitas
dapat terjadi jika dalam uji-F menyimpulkan minimal ada satu peubah bebas yang
berpengaruh nyata (signifikan) dalam model dan mempunyai nilai R-squared yang
tinggi tetapi dalam uji-t tidak ada koefisien yang signifikan pada taraf nyata 5%.
Pada model regresi ini tidak terindikasi adanya masalah multikolinearitas karena
nilai hasil R-squared pada model ekspor lemak kakao Indonesia didapatkan senilai
93.58% dan terdapat tiga variabel bebas yang signifikan. Hal ini menunjukkan
bahwa model dalam penelitian ini tidak terindikasi adanya multikolinearitas.

3. Uji Heteroskedastisitas
Hasil estimasi pada Tabel 14 menunjukkan bahwa Sum Squared Residual pada
Weighted Statistic (46.35) lebih kecil dari Sum Squared Residual pada Unweighted
Statistic (51.56), maka dapat disimpulkan terjadi heteroskedastisitas, namun secara
umum, variabel-variabel dalam model ini sudah memenuhi asumsi
heteroskedastisitas karena model ini menggunakan metode Fixed Effect yang
diestimasi menggunakan Generalized Least Square sehingga masalah
heteroskedastisitas telah diatasi (Juanda 2009).

4. Normalitas
Uji normalitas dapat dideteksi dengan melihat nilai Jarque-Bera dan nilai
probabilitas. Hasil uji normalitas menunjukkan bahwa nilai probabilitas sebesar
0.57 lebih besar dari 0.05 dan nilai Jarque-Bera sebesar 1.11 lebih besar dari 0.05,
69

sehingga persamaan dalam model memiliki distribusi error terms yang menyebar
normal.

C. Uji Kriteria Ekonomi

1. GDP per Kapita Negara Tujuan


Berdasarkan hasil estimasi didapatkan bahwa GDP riil negara tujuan ekspor
memiliki hubungan positif dan berpengaruh secara signifikan pada taraf nyata 5%.
Hal ini karena nilai probabilitas variabel GDP riil per kapita negara tujuan lebih
kecil dari taraf nyata 5% (0.008 < 0.05). Koefisien pada variabel tersebut sesuai
dengan hipotesis yaitu sebesar 0.92, yang artinya ketika GDP per kapita negara
tujuan ekspor meningkat sebesar satu persen, maka permintaan ekspor lemak kakao
Indonesia di negara tujuan ekspor meningkat sebesar 0.92% (ceteris paribus). Hal
tersebut menunjukkan bahwa variabel GDP riil negara Amerika, Jerman, Malaysia,
Australia, Estonia, dan Belanda memiliki pengaruh yang signifikan dalam
memengaruhi permintaan ekspor lemak kakao Indonesia. Hal ini mengindikasikan
bahwa negara tersebut memiliki daya beli yang tinggi terhadap komoditas lemak
kakao Indonesia. Hubungan positif antara GDP riil per kapita dengan permintaan
ekspor didukung oleh penelitian Pradipta dan Firdaus (2014).

2. Harga Ekspor
Harga ekspor lemak kakao mempunyai hubungan positif dan berpengaruh
secara signifikan pada taraf nyata 5%. Hal ini karena nilai probabilitas variabel
harga ekspor lemak kakao lebih kecil dari taraf nyata 5% (0.00<0.05). Tanda
koefisien pada variabel dalam persamaan tersebut tidak sesuai dengan hipotesis,
koefisien harga ekspor memiliki nilai sebesar 0.95, yang artinya jika harga ekspor
lemak kakao Indonesia di negara tujuan meningkat sebesar satu persen, maka
permintaan ekspor lemak kakao Indonesia meningkat sebesar 0.95% (ceteris
paribus). Peningkatan harga ekspor menggambarkan mutu dan kualitas komoditas
lemak kakao, semakin tinggi harga ekspor lemak kakao menunjukkan semakin baik
mutu dan kualitas lemak kakao sehingga nilai ekspor juga semakin tinggi di negara
tujuan ekspor. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Hanoum (2016) yang
menunjukkan bahwa apabila harga mengalami peningkatan sebesar maka nilai
70

ekspor komoditas elektronika juga mengalami peningkatan. Harga ekspor yang


meningkat menggambarkan mutu dan kualitas terhadap komoditas tersebut.

3. Real Effective Exchange Rate (REER)


Nilai tukar negara tujuan mempunyai hubungan negatif dan tidak signifikan
pada taraf nyata 5% karena nilai probabilitas lebih besar dari taraf nyata yaitu
sebesar 0.97 (0.97 > 0.05). Nilai tukar memiliki nilai koefisien sebesar -0.08. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa ketika terjadi peningkatan pada nilai tukar di
negara tujuan ekspor sebesar 1% maka akan terjadi penurunan permintaan nilai
ekspor komoditas lemak kakao Indonesia ke negara utama tujuan ekspor sebesar
0.08% (cateris paribus).
Hubungan nilai tukar negara importir yang memiliki pengaruh negatif
terhadap negara eksportir tidak sesuai hipotesis namun sejalan dengan penelitian
Machmud (2016) ketika suatu negara mengalami depresiasi menyebabkan harga
ekspor di dalam negeri relatif lebih mahal dan harga ekspor luar negeri menjadi
relatif lebih murah sehingga akan menyebabkan negara tersebut meningkatkan
ekspornya dan mengurangi impor yang megindikasikan ketika depresiasi di negara
importir menyebabkan negara importir akan mengurangi impor lemak kakao dari
Indonesia sehingga ekspor lemak kakao Indonesia ke importir menurun.

4. Jarak Ekonomi
Variabel jarak ekonomi memiliki hubungan positif dan tidak signifikan
dengan ekspor pasta kakao Indonesia ke negara tujuan ekspor. Jarak ekonomi tidak
signifikan karena memiliki nilai probabilitas lebih besar dari taraf nyata 5%
(0.58 > 0.05). Nilai koefisien variabel jarak ekonomi adalah sebesar 0.10 yang
berarti jika jarak ekonomi Indonesia dengan negara tujuan ekspor meningkat
sebesar satu persen maka terjadi peningkatan permintaan ekspor lemak kakao
Indonesia ke negara tujuan ekspor sebesar 0.10% (cateris paribus). Hubungan
ekonomi tersebut tidak sesuai dengan hipotesis, namun hasil penelitian terdahulu
oleh Lawless dan Whelan (2007) mencoba mempelajari hubungan jarak dan ekspor
dengan menggunakan Hasil penelitian menunjukkan bahwa jarak dapat
berpengaruh secara positif terhadap ekspor. Lawless dan Whelan (2007)
menemukan bahwa untuk melakukan ekspor ke luar negeri, perusahaan-perusahaan
di Amerika Serikat harus menaikkan biaya tetap (fixed cost) jika jarak dari tujuan
71

ekspor semakin jauh. Agar tetap mendapat keuntungan dari peningkatan biaya
tersebut, maka perusahaan-perusahaan Amerika Serikat tersebut akan
meningkatkan volume dan nilai perdagangan. Oleh karena itu, berdasarkan
fenomena ini Lawless dan Whelan (2007) menegaskan bahwa jarak dapat
berpengaruh positif terhadap ekspor. Berdasarkan penelitian Lawless dan Whelan
(2007) hubungan jarak geografis antara Indonesia dengan negara importir utama
kakao Indonesia dapat meningkatkan ataupun menurunkan ekspor kakao Indonesia
ke negara tujuan ekspor.

5. Kebijakan Bea Keluar (BK)


Kebijakan BK mempunyai hubungan positif dan berpengaruh secara
signifikan pada taraf nyata 5%. Hal ini karena nilai probabilitas variabel kebijakan
BK lebih kecil dari taraf nyata 5% (0.00 < 0.05). Tanda koefisien pada variabel
dalam persamaan tersebut sesuai dengan hipotesis, koefisien kebijakan BK
memiliki nilai koefisien sebesar 0.07, yang artinya dengan diberlakukannya Bea
Keluar pada biji kakao, nilai ekspor lemak kakao Indonesia menjadi lebih tinggi
0.07% dibandingkan nilai ekspor lemak kakao Indonesia tanpa penetapan Bea
Keluar (ceteris paribus). Tujuan diberlakukannya BK biji kakao adalah agar
Indonesia dapat meningkatkan ekspor kakao olahan dan beralih dari yang
sebelumnya mengekspor kakao dalam bentuk biji kakao beralih ke ekspor kakao
dalam bentuk olahan kakao seperti lemak kakao. Hubungan positif dampak
kebijakan terhadap ekspor kakao olahan sejalan dengan penelitian Suryana (2014).

6.3 Analisis Dayasaing Kakao Indonesia di Negara Utama Tujuan


Ekspor Utama

6.3.1 Analisis Keunggulan Komparatif Kakao Indonesia (RCA) di Negara


Tujuan Ekspor Utama

a. Analisis RCA Biji Kakao Indonesia

Indonesia sebagai negara produsen kakao terbesar ketiga dunia perlu


mengetahui dayasaing ekspor biji kakao Indonesia di pasar internasional, salah
satunya dengan menghitung nilai Revealed Comparative Advantage (RCA) untuk
mengetahui kinerja ekspor komoditas biji kakao Indonesia. Jika nilai RCA > 1,
artinya komoditas biji kakao unggul secara komparatif, sebaliknya jika nilai
72

RCA < 1, artinya suatu komoditas biji kakao tidak unggul secara komparatif. Hasil
dari analisis nilai RCA biji kakao Indonesia di enam negara utama tujuan ekspor
yang dibagi kedalam dua periode, yaitu periode 2006-2010 atau sebelum adanya
kebijakan BK dan periode 2011-2015 atau setelah diberlakukannya penerapan Bea
Keluar (BK). Berdasarkan data yang diperoleh dari International Trade Center
tahun 2017 Malaysia, Singapura, Amerika, Thailand, Jerman, dan Belanda
merupakan enam negara tujuan ekspor utama biji kakao Indonesia. Hasil estimasi
nilai RCA biji kakao Indonesia dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15. Dinamika nilai RCA biji kakao (HS 1801) Indonesia di negara tujuan
ekspor periode 2006 – 2015
RCA Biji Kakao Indonesia
Tahun
Malaysia Singapura Amerika Thailand Jerman Belanda
2006 11.16 13.56 35.85 13.56 12.45 0.83
2007 10.81 10.92 20.36 11.09 1.21 0.22
2008 9.62 10.74 22.69 15.00 0.90 0.08
2009 10.70 15.95 35.58 13.71 8.52 0.44
2010 10.00 11.76 26.25 9.93 11.00 1.08
rata-rata 2006-2010 10.46 12.59 28.15 12.66 6.82 0.53
2011 6.96 7.10 2.77 10.39 0.30 0.12
2012 4.47 9.56 0.10 12.58 0.40 0.12
2013 7.63 8.40 2.11 19.16 0.37 0.04
2014 2.79 2.52 0.12 11.18 0.84 0.08
2015 2.59 1.59 0.70 3.29 1.02 0.12
rata-rata 2011-2015 4.89 5.84 1.16 11.32 0.58 0.10
Sumber: International Trade Center 2017 (diolah)

Pada periode 2006-2010, biji kakao Indonesia memiliki rata-rata nilai RCA
lebih dari satu di pasar Malaysia (10.46), Singapura (12.59), Amerika (28.15),
Thailand (12.66), dan Jerman (6.82), yang mengindikasikan biji kakao Indonesia
memiliki dayasaing atau keunggulan komparatif di pasar Malaysia, Singapura,
Amerika, dan Thailand, dan Jerman. Sementara itu, biji kakao Indonesia di pasar
Belanda tidak berdayasaing karena memiliki rata-rata nilai RCA kurang dari satu,
yaitu sebesar 0.53. Rata-rata nilai RCA biji kakao Indonesia di semua negara tujuan
ekspor mengalami penurunan yang signifikan pada periode 2011-2015. Penurunan
nilai RCA setelah tahun 2010 tersebut disebabkan karena persentase nilai ekspor
biji kakao Indonesia terhadap total nilai ekspor di setiap negara tujuan ekspor
mengalami penurunan yang signifikan dibanding tahun sebelumnya. Penurunan
tersebut disebabkan karena sejak April tahun 2010 pemerintah Indonesia
73

memberlakukan kebijakan Bea Keluar (BK) pada komoditas biji kakao melalui
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 67/PMK.011/2010 pada
biji kakao Indonesia. Pada periode 2011-2015, rata-rata nilai RCA biji kakao
Indonesia masih memiliki dayasaing atau keunggulan komparatif di pasar Malaysia
(4.89), Singapura (5.84), Amerika (1.16), dan Thailand (11.32) walaupun terjadi
penurunan nilai RCA yang cukup tajam di negara tersebut dari periode sebelumnya.
Sementara itu, di pasar Jerman dan Belanda biji kakao Indonesia menjadi tidak
berdayasaing yang ditunjukkan dengan nilai RCA kurang dari satu, yaitu sebesar
0.58 dan 0.10.
Rendahnya nilai RCA di pasar Belanda dikarenakan Belanda lebih banyak
mengimpor biji kakao dari negara pesaing Indonesia seperti Pantai Gading dan
Ghana dengan rata-rata share import value pasta kakao Belanda dari Pantai Gading
sebesar 32.74% dan 22.65% dari Ghana periode 2006-2015, sedangkan share impor
pasta kakao Belanda dari Indonesia hanya sebesar 0.2% dari total nilai impor biji
kakao Belanda. Nilai rata-rata RCA biji kakao kurang dari satu mengindikasikan
bahwa terjadi penurunan ekspor di negara tujuan ekspor sehingga Indonesia tidak
mampu memenuhi permintaan biji kakao di negara tujuan ekspor. Biji kakao
Indonesia masih terkendala dengan produktivitasnya yang relatif rendah, yaitu rata-
rata sebesar 900 kg/ha lebih rendah dari negara pesaing Pantai Gading dan Ghana
yang mencapai rata-rata 1500-2000 kg/ha, namun biji kakao Indonesia memiliki
keunggulan melting point cocoa butter yang tinggi, serta tidak mengandung
pestisida dibanding biji kakao dari negara pesaing Pantai Gading dan Ghana
(Kemenperin 2010). Oleh karena itu, hal tersebut menjadi tantangan sekaligus
peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan produksi dan produktivitas biji kakao
pada sektor hulu hingga peningkatan nilai tambah pada sektor hilir untuk menjaga
kontinuitas ekspor biji kakao Indonesia di negara tujuan ekspor sehingga nilai RCA
biji kakao di negara tujuan ekspor terus mengalami peningkatan dan Indonesia
mampu bersaing dengan negara eksportir biji kakao dari negara lain.

b. Analisis RCA Pasta Kakao Indonesia


Pasta kakao merupakan salah satu komoditas turunan kakao dengan HS 1803
yang mempunyai peranan yang tidak kalah penting dalam kegiatan ekspor
Indonesia karena pasta kakao memilili rata-rata nilai ekspor tertinggi ketiga setelah
74

biji kakao dan lemak kakao pada periode 2010-2015 dengan rata-rata nilai ekspor
sebesar 201 932.5 ribu US dollar. Hasil estimasi nilai RCA pasta kakao Indonesia
dapat dilihat pada Tabel 16 yang dibagi menjadi dua periode, yaitu periode
2006-2010 sebelum penerapan kebijakan Bea Keluar (BK) dan periode 2011-2015
setelah penerapan kebijakan BK.
Tabel 16. Dinamika nilai RCA pasta kakao (HS 1803) Indonesia di negara tujuan
ekspor periode 2006 – 2015
RCA Pasta Kakao Indonesia
Tahun
Malaysia Jerman Tingkok Spanyol Amerika Brazil
2006 0.00 0.45 3.90 16.39 1.65 44.00
2007 0.00 0.10 1.28 17.11 2.50 13.73
2008 6.14 0.04 0.82 50.74 2.19 60.59
2009 0.04 3.90 0.00 16.17 0.41 4.93
2010 0.22 13.38 3.82 22.51 0.70 2.87
rata-rata 2006-2010 1.28 3.57 1.96 24.58 1.49 25.22
2011 8.62 23.23 26.21 29.00 14.18 41.63
2012 4.37 18.02 27.46 23.31 30.67 48.16
2013 15.36 17.53 4.56 24.18 11.49 79.26
2014 17.72 36.27 18.76 30.39 11.19 41.14
2015 21.74 40.35 35.98 38.21 16.45 50.31
rata-rata 2011-2015 13.56 27.08 22.59 29.02 16.80 52.10
Sumber: International Trade Center 2017 (diolah)

Jika dilihat pada Tabel 16, rata-rata nilai RCA pasta kakao Indonesia periode
2011–2015 (setelah adanya kebijakan Bea Keluar pada biji kakao) di semua negara
tujuan ekspor lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rata-rata RCA pada periode
2006–2010 (sebelum adanya kebijakan Bea Keluar pada biji kakao). Nilai rata-rata
RCA pasta kakao di pasar Malaysia meningkat menjadi 13.56 dari sebelumnya
sebesar 1.28 sebelum penerapan kebijakan Bea Keluar, di Jerman meningkat
menjadi 27.08 dari sebelumnya sebesar 3.57, di Tiongkok nilai RCA dari yang
semula 1.96 menjadi 22.59, di Spanyol meningkat menjadi 29.02 dari sebelumnya
sebesar 24.58, di Amerika sebesar 16.80 dari sebelumnya sebesar 1.49, dan di
Brazil meningkat menjadi 52.10 dari sebelumnya sebesar 25.22. Hal tersebut
mengindikasikan penerapan kebijakan Bea Keluar oleh Pemerintah Indonesia
berjalan dengan baik karena Indonesia dapat beralih dari yang semula sebagian
besar mengekspor kakao dalam bentuk biji kakao kini beralih mengekspor kakao
dalam bentuk olahan seperti mengekspor pasta kakao.
Secara keseluruhan nilai RCA pasta kakao Indonesia tertinggi terjadi di
Brazil, yaitu sebesar 79.26 tahun 2013. Indonesia merupakan negara importir utama
75

pasta kakao bagi Brazil dengan total share sebesar 55.3 % dari total keseluruhan
nilai impor pasta kakao Brazil tahun 2013 (ITC 2017). Tingginya nilai RCA di
Brazil menggambarkan tingginya permintaan ekspor pasta kakao Indonesia.
Sementara di Malaysia, Jerman, Tiongkok, Spanyol, dan Amerika, nilai RCA
mengalami fluktuasi dengan kecenderungan meningkat. Pasta kakao Indonesia
relatif digemari oleh masyarakat dunia karena memiliki mutu, aroma, dan
karakteristik yang khas yang tidak kalah dengan negara pesaing seperti Ghana
(Kusumaningrum et al. 2014). Secara keseluruhan komoditas pasta kakao
Indonesia berdayasaing di pasar tujuan ekspor utama atau memiliki keunggulan
komparatif di negara tujuan ekspor utama pasta kakao Indonesia yang ditunjukkan
dengan rata-rata nilai RCA lebih dari satu.

c. Analisis RCA Lemak Kakao Indonesia


Lemak kakao merupakan salah satu komoditas turunan kakao dengan HS
1804. Berdasarkan data dan informasi dari International Trade Center, pada
periode 2010–2015 lemak kakao memiliki rata-rata nilai ekspor tertinggi kedua
setelah biji kakao dengan rata-rata nilai ekspor sebesar US $ 420 228.5 ribu. Oleh
karena itu diperlukan suatu kajian untuk melihat seberapa besar potensi dayasaing
komoditas lemak kakao Indonesia di negara tujuan ekspor dengan menggunakan
analisis RCA. Terdapat enam negara tujuan ekspor utama lemak kakao Indonesia
dalam penelitian ini, diantaranya Amerika, Jerman, Malaysia, Australia, Estonia,
dan Belanda. Hasil estimasi nilai RCA lemak kakao Indonesia dapat dilihat pada
Tabel 17 yang dibagi menjadi dua periode, yaitu periode 2006-2010 (sebelum
penerapan kebijakan Bea Keluar) dan periode 2011-2015 (setelah penerapan
kebijakan Bea Keluar) untuk mengetahui bagaimana dampaknya terhadap
dayasaing lemak kakao Indonesia dengan adanya kebijakan BK.
Pada Tabel 17 dapat dilihat bahwa pada periode 2006-2010 komoditas lemak
kakao Indonesia memiliki rata-rata nilai RCA lebih dari satu di negara tujuan
ekspor Amerika (26.42), Jerman (1.45), Malaysia (3.66), Australia (17.66), Estonia
(79.17), Belanda (12.97) yang mengindikasikan lemak kakao Indonesia memiliki
dayasaing atau memiliki keunggulan komparatif di negara tujuan ekspor saat belum
adanya penerapan BK. Pada periode 2011-2015 atau setelah adanya penerapan Bea
Keluar pada biji kakao, rata-rata nilai RCA lemak kakao Indonesia mengalami
76

peningkatan yang signifikan dari periode sebelumnya atau sebelum adanya


penerapan Bea Keluar pada biji kakao. Rata-rata nilai RCA lemak kakao Indonesia
di pasar Amerika menjadi 46.48, Jerman sebesar 21.82, Malaysia sebesar 13.83,
Australia sebesar 19.17, Estonia sebesar 185.56, dan Belanda sebesar 5.55 yang
mengindikasikan lemak kakao Indonesia tetap berdayasaing atau memiliki
keunggulan komparatif setelah diberlakukannya kebijakan Bea Keluar di negara
tujuan ekspor.
Tabel 17. Dinamika nilai RCA lemak kakao (HS 1804) Indonesia di negara tujuan
ekspor periode 2006 – 2015
RCA Lemak Kakao Indonesia
Tahun
Amerika Jerman Malaysia Australia Estonia Belanda
2006 24.34 0.20 2.85 16.47 0.00 20.70
2007 30.12 1.41 12.74 19.08 269.24 18.25
2008 33.58 1.17 2.70 21.95 92.81 14.43
2009 19.59 0.25 0.00 16.12 14.22 7.23
2010 24.45 4.21 0.00 14.70 19.60 4.26
rata-rata 2006-2010 26.42 1.45 3.66 17.66 79.17 12.97
2011 37.50 4.53 11.73 11.03 209.59 4.32
2012 42.58 26.97 5.94 18.26 151.68 2.11
2013 48.28 20.91 15.79 24.15 213.29 4.26
2014 51.11 26.02 15.68 17.34 161.82 8.09
2015 52.94 30.65 19.99 25.08 191.43 8.98
rata-rata 2011-2015 46.48 21.82 13.83 19.17 185.56 5.55
Sumber: International Trade Center 2017 (diolah)

Tingginya rata-rata nilai RCA di pasar Estonia baik sebelum dan sesudah
adanya kebijakan Bea Keluar mengindikasikan bahwa lemak kakao Indonesia
memiliki dayasaing yang kuat di pasar Estonia. Nilai RCA yang tinggi
mengindikasikan tingginya permintaan ekspor lemak kakao Indonesia di negara
tersebut. Penurunan nilai RCA yang signifikan yang terjadi pada tahun 2008-2009
dari tahun sebelumnya di Eropa seperti pada negara Jerman, Estonia, dan Belanda
disebabkan karena pada tahun tersebut Eropa sedang mengalami krisis. Dampak
krisis Eropa terhadap perdagangan expor lemak kakao Indonesia ditunjukkan
dengan adanya penurunan ekspor lemak Indonesia yang cukup tinggi di negara
Jerman, Estonia, dan Belanda. Amerika merupakan pasar potensial kedua bagi
lemak kakao Indonesia dengan nilai RCA yang mengalami peningkatan tahun
2010-2015. Indonesia menjadi negara pengekspor utama lemak kakao bagi
77

Amerika dengan rata-rata total share sebesar 32.8 % dari total impor lemak kakao
Amerika tahun 2010-2015 (ITC 2017).
Secara keseluruhan, lemak kakao Indonesia berdayasaing atau memiliki
keunggulan komparatif di enam negara tujuan ekspor utama. Tingginya nilai RCA
di tiga negara Estonia, Jerman, dan Australia disebabkan tingginya permintaan
ekspor lemak kakao Indonesia ke negara tersebut karena lemak kakao dijadikan
bahan baku utama dalam proses pembuatan cokelat pada negara tersebut. Oleh
karena itu, untuk meningkatkan keunggulan komparatifnya, Indonesia perlu
menjaga kontinuitas ekspor lemak kakao di negara tujuan ekspor dan meningkatkan
kuantitas ekspor lemak kakao pada pasar yang masih memiliki nilai RCA rendah
artinya, untuk mendapatkan produk lemak kakao yang berkelanjutan, dibutuhkan
produksi biji kakao yang berkelanjutan, karena menurut Kakao Indonesia (2017)
dari 100 kg biji kakao kering dapat diperoleh 25-30 kg lemak kakao yang
merupakan produk olahan paling berharga. Secara keseluruhan komoditas lemak
kakao memiliki keunggulan komparatif di enam negara tujuan ekspor.

6.3.2 Analisis Keunggulan Kompetitif Kakao Indonesia (EPD) di Negara


Tujuan Ekspor Utama
Export Product Dynamics (EPD) merupakan suatu metode untuk
mengidentifikasi dinamika suatu produk ekspor sehingga dapat menentukan
dinamis (memiliki keunggulan kompetitif) atau tidaknya komoditas biji kakao,
pasta kakao, dan lemak kakao Indonesia di negara tujuan ekspor. Terdapat empat
kuandran yang menunjukkan posisi pangsa pasar biji kakao, pasta kakao, dan lemak
kakao Indonesia, yaitu Rising Star di kuadran I terjadi saat perdagangan biji kakao,
pasta kakao, dan lemak kakao Indonesia mengalami peningkatan pangsa pasar (fast
growing products), Lost Opportunity di kuadran II terjadi saat pangsa pasar yang
kompetitif mengalami pertumbuhan yang negatif, pada posisi ini terjadi
peningkatan permintaan ekspor tetapi Indonesia tidak mampu memenuhi jumlah
ekspor sesuai peningkatan permintaan, Retreat di kuadran III kondisi saat produk
sudah tidak diinginkan lagi oleh pasar, dan Falling Star di kuadran IV terjadi saat
peningkatan pangsa pasar ekspornya meskipun pangsa pasar biji kakao, pasta
kakao, dan lemak kakao Indonesia mengalami pertumbuhan negatif. Posisi pasar
biji kakao, pasta kakao, dan lemak kakao dapat dilihat pada Tabel 18.
78

Tabel 18. Hasil estimasi EPD kakao Indonesia ke negara tujuan ekspor utama tahun
2006-2015
Periode 2006-2010 Periode 2011-2015
No. Pasar Average Average Average Average
Market Position Market Position
growth X growth Y growth X growth Y
Biji Kakao
1. Malaysia 0.01085 0.00127 Rising Star -0.018197 -0.00054 Retreat
2. Singapura 0.00059 0.00034 Rising Star -0.018065 -0.00006 Retreat
3. Amerika 0.00215 0.00007 Rising Star -0.004199 -0.00001 Retreat
4. Thailand -0.00181 0.00020 Lost Opportunity -0.006353 0.00015 Lost Opportunity
5. Jerman 0.00035 0.00003 Rising Star -0.001129 -0.00001 Retreat
6. Belanda 0.00017 0.00007 Rising Star -0.000329 -0.00001 Retreat
Pasta Kakao
1. Malaysia 0.00062 0.00127 Rising Star 0.037147 -0.00046 Falling Star
2. Jerman 0.00182 0.00003 Rising Star 0.002195 0.00001 Rising Star
3. Tiongkok 0.00009 0.00003 Rising Star 0.011159 -0.00009 Falling Star
4. Spanyol 0.00423 0.00012 Rising Star 0.000771 -0.00010 Falling Star
5. Amerika -0.00023 0.00007 Lost Opportunity 0.004435 -0.00001 Falling Star
6. Brazil -0.01387 0.00008 Lost Opportunity 0.012717 -0.00007 Falling Star
Lemak Kakao
1. Amerika 0.00174 0.00007 Rising Star 0.007825 -0.00001 Falling Star
2. Jerman 0.00057 0.00003 Rising Star 0.002616 -0.00001 Falling Star
3. Malaysia -0.00446 0.00127 Lost Opportunity 0.034612 -0.00054 Falling Star
4. Australia -0.00091 0.00006 Lost Opportunity 0.006020 -0.00011 Falling Star
5. Estonia 0.00163 0.00006 Rising Star 0.024212 0.00007 Rising Star
6. Belanda -0.00547 0.00007 Lost Opportunity 0.001468 -0.00001 Lost Opportunity
Sumber: International Trade Center 2017 (diolah)

Berdasarkan hasil estimasi EPD pada Tabel 18, posisi pangsa pasar biji kakao
di pasar Malaysia, Singapura, Amerika, Jerman, dan Belanda berada pada posisi
Rising Star pada periode sebelum diberlakukannya kebijakan Bea Keluar (BK)
pada biji kakao atau periode 2006-2015. Dikatakan Rising Star karena memiliki
pertumbuhan pangsa pasar ekspor dan pertumbuhan pangsa pasar biji kakao yang
bernilai positif yang mengindikasikan bahwa permintaan biji kakao di negara
tersebut mengalami peningkatan dan pangsa pasar mengalami pertumbuhan pesat
(fast growing products) sehingga biji kakao Indonesia dikatakan memiliki
keunggulan kompetitif, sedangkan setelah diberlakukannya BK atau pada periode
2006-2010, biji kakao Indonesia di negara tersebut berada pada posisi Retreat yang
mengindikasikan biji kakao Indonesia tidak lagi memiliki keunggulan kompetitif
karena biji kakao Indonesa tidak mampu bersaing dengan eksportir lain sehingga
biji kakao Indonesia tidak diinginkan lagi di negara tujuan ekspor. Di pasar
Thailand posisi biji kakao Indonesia berada posisi Lost Opportunity (terjadi
penurunan pangsa pasar ekspor walaupun biji kakao masih sebagai produk yang
79

kompetitif) baik pada periode sebelum diberlakukannya BK (periode 2006-2010)


maupun setelah diberlakukannya BK (periode 2010-2015). Posisi Lost oportunity
berarti Indonesia harus memperluas dan meningkatkan pangsa pasar ekspor di pasar
Thailand.
Pada periode sebelum diberlakukannya kebijakan BK (2006-2010), pasta
kakao Indonesia di pasar Malaysia, Jerman, Tiongkok, dan Spanyol berada di posisi
Rising Star yang berarti biji kakao mengalami peningkatan permintaan di negara
tersebut tetapi setelah diberlakukannya kebijakan BK (2011-2015), pasta kakao di
pasar Malaysia, Tiongkok, dan Spanyol menurun posisinya menjadi Falling Star
atau pangsa pasar pasta kakao Indonesia mengalami pertumbuhan negatif padahal
pangsa pasar ekspornya mengalami pertumbuhan positif. Kondisi ini adalah kondisi
yang tidak diinginkan oleh Indonesia sebagai pengekspor pasta kakao karena pasta
kakao Indonesia kalah bersaing dengan eksportir pasta kakao lain. Penurunan posisi
karena adanya kebijakan BK juga dialami oleh pasta kakao Indonesia di pasar
Amerika dan Brazil, yang sebelumnya berada di posisi Lost Opportunity berubah
menjadi di posisi Falling Star. Berbeda dengan pasta kakao Indonesia di Jerman,
Indonesia mampu memenuhi permintaan pasta kakao di pasar Jerman dan
mengalami pertumbuhan pangsa pasar positif atau berada di posisi Rising Star baik
sebelum maupun sesudah adanya kebijakan BK. Indonesia harus mempertahankan
kontinuitas ekspor pasta kakao ke Jerman sebagai pasar potensial dan
meningkatkan strategi untuk meningkatkan ekspor dan pangsa pasar yang masih
menunjukkan pertumbuhan negatif.
Pada lemak kakao, posisi Rising Star secara konsisten terjadi di pasar Estonia
baik sebelum maupun setelah adanya penerapan kebijakan BK yang artinya lemak
kakao Indonesia berdayasaing di negara Estonia karena mampu memenuhi
permintaan pasta kakao dan pertumbuhan pangsa pasar ekspornya sedang
mengalami peningkatan, sedangkan di pasar Amerika dan Jerman posisi pasta
kakao Indonesia berubah dari Rising Star (sebelum kebijakan BK) menjadi Falling
Star (setelah kebijakan BK). Di pasar Malaysia dan Australia posisi pasta kakao
Indonesia berubah dari Lost Opportunity (sebelum kebijakan BK) menjadi Falling
Star (setelah kebijakan BK). Falling Star artinya terjadi penurunan permintaan
pasta kakao di negara tersebut karena lemak kakao Indonesia kalah bersaing dengan
80

eksportir lain. Pasta kakao Indonesia di pasar Belanda berada pada posisi Lost
Opportunity baik pada saat sebelum adanya kebijakan BK maupun setelah adanya
kebijakan BK yang artinya pangsa pasar ekspor di negara tujuan ekspor mengalami
pertumbuhan yang negatif meski komoditas lemak kakao masih menjadi produk
yang dinamis (kompetitif) di negara tersebut.
81

VII SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai kondisi dayasaing dan faktor-


faktor yang memengaruhi ekspor kakao Indonesia di negara tujuan ekpsor utama,
diperoleh beberapa simpulan sebagai berikut.
1. Sebagian besar posisi perdagangan komoditas biji kakao Indonesia baik saat
sebelum atau sesudah adanya kebijakan Bea Keluar (BK) berada pada tahap
kematangan di negara tujuan ekspor. Komoditas pasta kakao Indonesia
sebagian besar berada pada tahap kematangan kecuali di Malaysia, Jerman dan
Tiongkok saat sebelum adanya kebijakan BK, namun setelah adanya kebijakan
BK, sebagian besar berada pada tahap kematangan kecuali di Malaysia.
Komoditas lemak kakao Indonesia berada pada tahap kematangan di semua
negara tujuan ekspor baik sesudah maupun sebelum adanya kebijakan BK
kecuali di Malaysia saat sebelum adanya kebijakan BK.
2. Faktor-faktor yang secara signifikan memengaruhi permintaan ekspor biji
kakao Indonesia ke negara tujuan meliputi GDP riil per kapita negara tujuan,
nilai tukar riil negara tujuan, dan jarak ekonomi. Pada pasta kakao, variabel
yang berpengaruh, yaitu nilai tukar riil negara tujuan, harga ekspor dan
kebijakan BK. Pada lemak kakao, variabel yang berpengaruh, yaitu GDP riil
per kapita negara tujuan, harga ekspor, dan kebijakan BK.
3. Setelah adanya kebijakan BK, dayasaing komoditas biji kakao Indonesia
menurun di semua negara tujuan ekspor. Dayasaing ekspor komoditas pasta
dan lemak kakao Indonesia mengalami peningkatan sejak diterapkan kebijakan
BK.
4. Setelah adanya kebijakan BK, sebagian besar posisi biji kakao turun dari Rising
Star menjadi Retreat, namun di pasar Thailand tetap pada Posisi Lost
Opportunity. Pada pasta kakao hanya di Jerman yang tetap berada di posisi
Rising Star, sedangkan di pasar lainnya posisinya turun dari Rising Star dan
Lost Opportunity menjadi Falling Star. Pada lemak kakao hanya di Estonia
yang tetap berada di Rising Star, sedangkan di pasar lainnya posisinya turun
dari Rising Star dan Lost Opportunity menjadi Falling Star.
82

7.2 Saran

1. Untuk mempertahankan posisi Indonesia sebagai negara net exporter kakao,


Indonesia perlu menjaga kestabilan ekspor kakao olahan dengan menjamin
ketersediaan bahan baku produk kakao olahan, yaitu biji kakao dengan
meningkatkan produksi maupun kualitas dan mutu biji kakao terutama di
Malaysia yang memiliki dayasaing rendah.
2. Untuk mengantisipasi perdagangan kakao ke negara importir yang memiliki
jarak yang jauh, pemerintah disarankan dapat membangun sarana dan
infrastruktur seperti pelabuhan sehingga dapat mengurangi biaya transportasi
dalam perdagangan kakao dengan negara lain dan proses distribusi kakao dapat
dilakukan lebih cepat, sedangkan untuk ke negara importir yang memiliki jarak
dekat dengan Indonesia, sebaiknya Indonesia melakukan penetrasi pasar yang
berpotensi sebagai pasar potensial.
3. Untuk meningkatkan dayasaing (keunggulan komparatif) komoditas biji kakao
yang rendah, Indonesia perlu mengoptimalkan volume ekspor biji kakao
Indonesia ke negara yang berpotensi menjadi pasar potensial bagi Indonesia
dengan meningkatkan pertumbuhan pangsa pasar ekspor biji kakao, pasta
kakao, dan lemak kakao Indonesia di negara tujuan ekspor.
4. Untuk meningkatkan dayasaing (keunggulan kompetitif) Indonesia harus
meningkatkan pangsa ekspor produk biji kakao, pasta kakao, dan lemak kakao
dan memperluas pangsa pasar di negara tujuan ekspor dengan meningkatkan
produksi biji kakao, pasta kakao, dan lemak kakao serta meningkatkan volume
ekspornya.
5. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat meneliti komoditas kakao dan
turunannya sehingga dayasaing kakao Indonesia dapat dibandingkan dan
sebagai dasar bahan pertimbangan pengambilan kebijakan yang tepat oleh
pemerintah dalam kegiatan ekspor kakao Indonesia di pasar internasional.
83

DAFTAR PUSTAKA

Achay L. 2006. Assessing Regional Integration in North Africa. National Institute


of Statistics and Applied Economics. Rabat: Maroko.
Basri F dan Munandar H. 2010. Dasar-dasar Ekonomi Internasional: Pengenalan
dan Aplikasi Metode Kuantitatif. Jakarta (ID): Kencana.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2015. Statistik Indonesia. Jakarta (ID): BPS.
. 2016a. PDB seri 2010 berdasarkan Lapangan Usaha.
Jakarta (ID): BPS. [Internet]. [Diunduh tanggal 10 Desember 2016].
Tersedia pada https://www.bps.go.id/site/resultTab.
. 2016b. Produk Domestik Bruto Indonesia sektor
pertanian atas dasar konstan 2010 tahun 2011 – 2015. Jakarta (ID): BPS.
. 2017. Nilai ekspor pertanian Indonesia menurut
subsektor tahun 2010 – 2015. Jakarta (ID): BPS.
Boans D. 2013. Competitiveness and Determinants of Cocoa exports from Ghana.
International Journal Agriculture Policy Res. 1(9):236-254. Center for
Development Research (ZEF). University of Bonn, Germany.
[COMTRADE] Commodity Trade. 2017. Export-Import Cocoa Database.
[Internet]. [diunduh desember 2016]. Tersedia pada http://comtrade.un.org/.
Daulay R. 2010. Analisis Determinan Net Ekspor Indonesia [tesis]. Sumatera Utara
(ID): Universitas Sumatra Utara.
Dilanchiev A. 2012. Empirical analysis of georgian trade pattern: gravity model.
Journal of Social Sciences 1(1):75–78. doi : 2233–3878.
[Ditjenbun] Direktorat Jenderal Perkebunan. 2014. Statistik Perkebunan Indonesia
2013-2015. Jakarta (ID): Ditjenbun.
. 2015. Statistik Perkebunan
Indonesia 2013-2015. Jakarta (ID): Ditjenbun.
.2015a. Rencana Strategis
Pembangunan Perkebunan 2015–2019. Jakarta (ID): Ditjenbun.
.2016a. Perkembangan nilai ekspor
komoditas primer perkebunan Indonesia tahun 2011-2015. Jakarta (ID):
Ditjenbun.
.2016b. Perkembangan luas areal dan
produksi kakao di Indonesia menurut pengusahaan tahun 2006-2015.
Jakarta (ID): Ditjenbun.
.2017. Budidaya dan Setelah Panen
Kakao. Jakarta (ID): Ditjenbun.
Do T. 2006. A Gravity Model for Trade Between Vietnam and Twenty Three
European Countries [Thesis]. Department of Economics anf Society.
84

Estherhuizen D. 2006. Measuring and Analyzing Competitiveness in the


Agribusiness Sector: Methodological and Analytical Framework.
University of Pretoria.
[FAO] Food and Agriculture Organization. 2016. Produksi negara produsen
kakao terbesar dunia tahun 2010-2015. [Internet]. [Diunduh 18
Desember 2016]. Tersedia pada http://www.fao.org/.
.2016. Produksi negara produsen
kakao terbesar dunia tahun 2010-2015*. [Diunduh 18 Desember 2016]:
http://www.fao.org/
Ginting. 2013. Pengaruh nilai tukar terhadap ekspor Indonesia. Vol.7: (1).
Jakarta(ID): Pengolahan Data dan Informasi, DPR RI.
Gujarati N D. 2006. Basic Econometrics, Fourth Edition. The McGraw-Hill
Companies.
Hanoum F. 2016. Analisis Kinerja Ekspor Elektronika Indonesia ke Amerika
Latin [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Hasibuan Nurmalina, dan Wahyudi. 2012. Analisis Kinerja dan Dayasaing
Perdagangan Biji Kakao dan Produk Kakao Olahan Indonesia di Pasar
Internasional. Vol.3:(1). Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
[ICCO] International Cocoa Organization. 2017. ICCO Quarterly Bulletin of
Cocoa Statistics. Vol. XLII, No. 3, Cocoa year 2015/16. [Internet].
[Diunduh pada tanggl 26 Februari 2017]. Tersedia pada
http://www.icco.org/.
Juanda B. 2009. Ekonometrika: Permodelan dan Pendugaan. Bogor (ID): IPB
Press. Institut Pertanian Bogor.
Kakao Indonesia. 2017. Menghitung Jumlah Pasta, lemak atau Powder Coklat.
[Internet]. [Diakses Januari 2017]. Tersedia pada http://kakao-
indonesia.com/index.php/news-feeds/180-menghitung-jumlah-pasta-lemak
-atau-powder-coklat.
Kania A. 2014. Analisis DayaSaing dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ekspor
CPO Indonesia ke India dan Belanda. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
[Kemenperin] Kementrian Perindustrian RI. 2007. Gambaran Sekilas Industri
Kakao. Jakarta (ID): Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian.
. 2010. Roadmap Pengembangan
Industri Kakao. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Industri Agro.
. 2012. Dayasaing dan Pemetaan
Peremajaan Komoditi Perkebunan. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik.
. 2017. Pohon industri kakao. Jakarta (ID):
Pusat Data dan Sistem Informasi Pertanian.
[Kementan] Kementrian Pertanian RI. 2016. Outlook Kakao. Jakarta (ID): Pusat
Data dan Sistem Informasi Pertanian.
85

Lawless M dan Whelan K. 2007. A Note on Trade Costs and Distance. Working
Paper Series, UCD Centre for Economic Research.
Lipsey et al. 1995. Pengantar Mikroekonomi. Edisi 10 Jilid 1. Jakarta (ID): Bina
Rupa Aksara.
Listianingrum N. 2015. Posisi Dayasaing dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Ekspor Pakaian Jadi Indonesia ke Negara Tujuan Utama Tahun 2009-2013.
[Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Listyati D, Herman M, dan Aunillah A. 2014. Prospek dan Potensi Pengembangan
Industri Kakao di Indonesia. Vol.2: (1). Sukabumi (ID): Balai
Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar.
Machmud. 2016. Dampak Depresiasi Rupiah Terhadap Perkembangan Impor
Indonesia. Vol.5: (1). Bandung (ID): Universitas Pendidikan Indonesia.
Mankiw G. 2007. Teori Makroekonomi. Edisi 6. Jakarta (ID): Erlangga.
Piermartini R. 2004. The Role of Exports Tax of Primary Commodities. WTO
discussion paper. Ganeva, Switzerland.
Porter M. 1990. The Competitive Advantage of Nation. Harvard Business Review.
USA.
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. 2010. Buku Pintar Budidaya Kakao.
Jakarta (ID): Agro Media Pustaka.
Oktaviani R dan Novianti T. 2014. Teori Perdagangan Internasional: Aplikasinya
di Indonesia. Bogor (ID): IPB Press. Institut Pertanian Bogor.
Pradipta dan Firdaus. 2014. Posisi Dayasaing Dan Faktor-Faktor yang
Memengaruhi Ekspor Buah-Buahan Indonesia. Vol. 11 No. 2. Fakultas
Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor.
Rubiyo dan Siswanto. 2012. Peningkatan Produksi dan Pengembangan Kakao
(Theobroma Cacao L.) di Indonesia. Vol.3: (1). Sukabumi (ID): Balai
Penelitian Tanaman Industri dan Penyegar.
Salvatore. 1997. Ekonomi Internasional Edisi 5 Jilid 1. Munandar H, penerjemah;
Sumiharti Y, editor. Jakarta (ID): Erlangga.
Sukirno Sadono. 2004. Mikroekonomi Teori Pengantar. Jakarta (ID): PT Raja
Grafindo Persada.
Suryana A. 2014. Dayasaing dan Aliran Perdagangan Kakao Indonesia di Pasar
Internasional. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Susanto F X. 1994. Tanaman Kakao: Budidaya dan Pengolahan Hasil. Yogyakarta
(ID): Kanisius.
[ITC] International Trade Center. 2017. Export-Import Cocoa Database. [Internet].
[Diunduh Desember 2016]. Tersedia pada http://www.trademap.org.
Tresliyana, Farianti, dan Rifin. 2015. Dayasaing Kakao Indonesia di Pasar
Internasional. Vol.12:(2). Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut
Pertanian Bogor.
86

Utami L C. 2008. Variabel-Variabel Determinan Ekspor ASEAN: Studi Kasus


Indonesia, Thailand, Singapura, Filipina Tahun 1990-2006 [Skripsi].
Depok(ID): Universitas Indonesia.
87

LAMPIRAN
88
89

Lampiran 1. Hasil Estimasi Perhitungan ISP Kakao Indonesia di Negara Tujuan


Ekspor Utama Tahun 2006-2015
a. Biji Kakao Indonesia
Tahun Malaysia Singapura Amerika Thailand Jerman Belanda
2006 1.00 1.00 1.0 1.00 1.00 0.91
2007 1.00 0.99 1.0 1.00 1.00 1.00
2008 0.99 1.00 1.0 1.00 1.00 1.00
2009 1.00 1.00 1.0 1.00 1.00 1.00
2010 1.00 1.00 1.0 1.00 1.00 1.00
2011 0.99 1.00 1.0 1.00 1.00 1.00
2012 0.95 0.91 1.0 1.00 1.00 1.00
2013 0.98 1.00 1.0 1.00 1.00 1.00
2014 0.78 0.99 -0.4 1.00 1.00 1.00
2015 0.77 1.00 1.0 1.00 1.00 1.00
rata-rata 2006-2010 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 0.98
rata-rata 2011-2015 0.90 0.98 0.72 1.00 1.00 1.00

b. Pasta Kakao Indonesia


Tahun Malaysia Jerman China Spanyol Amerika Brazil
2006 0.66 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
2007 0.50 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
2008 -0.31 -0.98 1.00 1.00 1.00 1.00
2009 -0.36 0.56 -1.00 1.00 1.00 1.00
2010 -0.83 0.88 1.00 1.00 1.00 1.00
2011 -0.98 1.00 0.99 1.00 1.00 1.00
2012 -0.60 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
2013 -0.85 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
2014 -0.29 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
2015 -0.06 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
rata-rata 2006-2010 -0.07 0.49 0.60 1.00 1.00 1.00
rata-rata 2011-2015 -0.56 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
90

c. Lemak Kakao Indonesia


Tahun Amerika Jerman Malaysia Australia Estonia Belanda
2006 1.00 1.00 0.63 1.00 1.00 1.00
2007 1.00 1.00 0.37 1.00 1.00 1.00
2008 1.00 1.00 0.95 1.00 1.00 1.00
2009 1.00 1.00 -1.00 1.00 1.00 1.00
2010 1.00 1.00 0.00 1.00 1.00 1.00
2011 1.00 1.00 0.99 1.00 1.00 1.00
2012 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
2013 1.00 1.00 0.73 1.00 1.00 1.00
2014 1.00 1.00 0.69 1.00 1.00 1.00
2015 1.00 1.00 0.96 1.00 1.00 1.00
rata-rata 2006-2010 1.00 1.00 0.19 1.00 1.00 1.00
rata-rata 2010-2015 1.00 1.00 0.87 1.00 1.00 1.00

Lampiran 2. Hasil Uji Chow (Biji Kakao)


Redundant Fixed Effects Tests
Equation: FEM
Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 28.618044 (5,49) 0.0000

Lampiran 3. Hasil Uji Hausman (Biji Kakao)


Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: FEM
Test cross-section random effects
Chi-Sq.
Test Summary Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 45.979900 5 0.0000
91

Lampiran 4. Uji Normalitas (Biji Kakao)


12
Series: Standardized Residuals
Sample 2006 2015
10
Observations 60

8 Mean 1.44e-16
Median 0.179472
Maximum 1.922827
6
Minimum -2.179313
Std. Dev. 0.852903
4 Skewness -0.280391
Kurtosis 2.513242
2
Jarque-Bera 1.378526
Probability 0.501946
0
-2.0 -1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0

Lampiran 5. Hasil Estimasi Panel Data dengan Menggunakan Model Fixed Effect
dengan Cross Section-Weight pada biji kakao

Dependent Variable: EXP_VALUE


Method: Panel EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/18/17 Time: 23:32
Sample: 2006 2015
Periods included: 10
Cross-sections included: 6
Total panel (balanced) observations: 60
Linear estimation after one-step weighting matrix
White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 37.85132 30.55741 1.238695 0.2214
LnGDPjt 17.51918 4.727927 -3.705467 0.0005*
LnPxijt -0.484429 0.373786 1.296006 0.2010
LnREERjt 3.178599 1.542809 2.060267 0.0447*
LnECODISTijt 21.12027 5.551353 3.804526 0.0004*
LnBKit -0.002365 0.025680 -0.092080 0.9270
Weighted Statistics
R-squared 0.880569 Mean dependent var 13.75116
Adjusted R-squared 0.856196 S.D. dependent var 7.668944
S.E. of regression 0.935896 Sum squared resid 42.91920
F-statistic 36.12798 Durbin-Watson stat 1.625269
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.792081 Mean dependent var 9.864702
Sum squared resid 51.85139 Durbin-Watson stat 1.753675
92

Lampiran 6. Hasil Uji Chow (Pasta Kakao)


Redundant Fixed Effects Tests
Equation: LIKELIHOODTEST
Test cross-section fixed effects
Effects Test Statistic d.f. Prob.
Cross-section F 7.578042 (5,49) 0.0000

Lampiran 7. Hasil Uji Hausman (Pasta Kakao)


Correlated Random Effects - Hausman Test
Equation: UJIHAUSMAN
Test cross-section random effects
Chi-Sq.
Test Summary Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.
Cross-section random 42.827717 5 0.0000

Lampiran 8. Uji Normalitas (Pasta Kakao)


10
Series: Standardized Residuals
Sample 2006 2015
8 Observations 60

Mean 1.11e-17
6 Median 0.053674
Maximum 1.746199
Minimum -2.985477
4 Std. Dev. 1.065602
Skewness -0.477435
Kurtosis 2.742782
2
Jarque-Bera 2.444841
Probability 0.294516
0
-3.0 -2.5 -2.0 -1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5
93

Lampiran 9. Hasil Estimasi Panel Data dengan Menggunakan Model Fixed


Effect dengan Cross Section-Weight pada Pasta Kakao

Dependent Variable: LN_EXPVALUE


Method: Panel EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/18/17 Time: 23:37
Sample: 2006 2015
Periods included: 10
Cross-sections included: 6
Total panel (balanced) observations: 60
Linear estimation after one-step weighting matrix
White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 8.015091 21.40270 0.374490 0.7097
LnGDPjt 3.864480 6.269573 0.616386 0.5405
LnPxijt 0.847906 0.039633 21.39418 0.0000*
LnREERjt -7.684819 2.398874 -3.203511 0.0024*
LnECODISTijt -1.005732 6.166159 -0.163105 0.8711
LnBKit 0.105007 0.017880 5.872738 0.0000*
Weighted Statistics
R-squared 0.870486 Mean dependent var 10.04585
Adjusted R-squared 0.844054 S.D. dependent var 4.690724
S.E. of regression 1.169292 Sum squared resid 66.99498
F-statistic 32.93369 Durbin-Watson stat 1.370853
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.834927 Mean dependent var 8.126298
Sum squared resid 76.92948 Durbin-Watson stat 1.377582
94

Lampiran 10. Hasil Uji Chow (Lemak Kakao)

Redundant Fixed Effects Tests


Equation: UJILIKELIHOOD
Test cross-section fixed effects

Effects Test Statistic d.f. Prob.

Cross-section F 19.753266 (5,49) 0.0000

Lampiran 11. Hasil Uji Hausman (Lemak Kakao)

Correlated Random Effects - Hausman Test


Equation: UJIHAUSMAN
Test cross-section random effects
Chi-Sq.
Test Summary Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Cross-section random 145.277565 5 0.0000

Lampiran 12. Uji Normalitas (Lemak Kakao)


12
Series: Standardized Residuals
Sample 2006 2015
10
Observations 60

8 Mean -6.66e-17
Median 0.139298
Maximum 1.791984
6
Minimum -2.422747
Std. Dev. 0.886391
4 Skewness -0.331873
Kurtosis 2.925683
2
Jarque-Bera 1.115204
Probability 0.572581
0
-2.5 -2.0 -1.5 -1.0 -0.5 0.0 0.5 1.0 1.5 2.0
95

Lampiran 13. Hasil Estimasi Panel Data dengan Menggunakan Model Fixed Effect
dengan Cross Section-Weight pada Lemak Kakao

Dependent Variable: EXP_VALUE


Method: Panel EGLS (Cross-section weights)
Date: 07/18/17 Time: 23:39
Sample: 2006 2015
Periods included: 10
Cross-sections included: 6
Total panel (balanced) observations: 60
Linear estimation after one-step weighting matrix
White cross-section standard errors & covariance (d.f. corrected)

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.


C -7.666209 9.871035 -0.776637 0.4411
LnGDPjt 0.928040 0.336890 2.754723 0.0082*
LnPxij 0.956433 0.035649 26.82905 0.0000*
LnREERjt -0.085947 2.404978 -0.035737 0.9716
LnECODISTijt 0.105452 0.189772 0.555676 0.5810
LnBKit 0.076144 0.010714 7.107094 0.0000*
Weighted Statistics
R-squared 0.935882 Mean dependent var 10.86801
Adjusted R-squared 0.922797 S.D. dependent var 5.343089
S.E. of regression 0.972643 Sum squared resid 46.35564
F-statistic 71.52191 Durbin-Watson stat 1.375860
Prob(F-statistic) 0.000000
Unweighted Statistics
R-squared 0.891077 Mean dependent var 8.846145
Sum squared resid 51.56961 Durbin-Watson stat 1.359657
96

Lampiran 14. Hasil Estimasi Perhitungan RCA Kakao Indonesia


Komoditas Negara Tahun Xij Wij Xj Wj Xij/Xj Wij/Wj RCA
Biji Kakao
HS 1801 Malaysia 2006 234812 671187 4110757 131127048 0.057121 0.005119 11.15956
2007 296882 787629 5096064 146104307 0.058257 0.005391 10.80663
2008 468788 1188245 6432552 156862494 0.072877 0.007575 9.620692
2009 451583 769462 6811824 124191764 0.066294 0.006196 10.6999
2010 550917 971889 9362332 165209558 0.058844 0.005883 10.00278

Rata-rata 10.45791
2011 411106 1007546 10995847 187573009 0.037387 0.005371 6.960342
2012 225748 877531 11280285 196196619 0.020013 0.004473 4.47438
2013 302162 764503 10666609 205813525 0.028328 0.003715 7.6262
2014 119162 916777 9731541 208823429 0.012245 0.004390 2.789149
2015 77445 691990 7626943 176174598 0.010154 0.003928 2.585154
Rata-rata 4.887044
Singapura 2006 57825 113976 8929849 238711241 0.006475 0.000477 13.56223
2007 74093 169965 10501617 263154907 0.007055 0.000646 10.92378
2008 102529 237266 12862045 319780296 0.007971 0.000742 10.74368
2009 139239 209079 10262665 245784668 0.013568 0.000851 15.94943
2010 151484 291754 13723266 310791134 0.011038 0.000939 11.75875

Rata-rata 12.58757
2011 98421 274761 18443890 365770491 0.005336 0.000751 7.103769
2012 92791 214987 17135025 379722889 0.005415 0.000566 9.564796
2013 72680 193433 16686239 373015740 0.004356 0.000519 8.399493
2014 31134 269608 16752340 366247322 0.001858 0.000736 2.52465
2015 17997 266254 12632335 296888047 0.001425 0.000897 1.588594
Rata-rata 5.83626
Amerika 2006 163987 779620 11259136 1918997094 0.014565 0.000406 35.85054
2007 83287 708659 11644198 2017120776 0.007153 0.000351 20.35927
2008 128154 934592 13079934 2164834031 0.009798 0.000432 22.69495
2009 297013 1228059 10889079 1601895800 0.027276 0.000767 35.57946

2010 246501 1292195 14301876 1968259901 0.017236 0.000657 26.25307


Rata-rata 28.14746

2011 29671 1468096 16497616 2263619100 0.001799 0.000649 2.773064


2012 628 1033812 14910181 2334677700 0.000042 0.000443 0.095118
2013 16439 1149160 15741132 2326590200 0.001044 0.000494 2.114359
2014 1148 1354137 16560076 2410855500 0.000069 0.000562 0.123421
2015 7288 1469812 16266948 2306822200 0.000448 0.000637 0.703161
Rata-rata 1.16182
Thailand 2006 9124 32035 2701549 128584476 0.003377 0.000249 13.55615
2007 9529 40426 3054276 143761450 0.003120 0.000281 11.09483
2008 16722 54386 3661252 178613109 0.004567 0.000304 14.99978
2009 17846 53834 3233813 133769639 0.005519 0.000402 13.71282
2010 18477 74349 4566569 182393380 0.004046 0.000408 9.926025

Rata-rata 12.65792
2011 17207 64173 5896687 228483302 0.002918 0.000281 10.38961
2012 18719 55538 6635141 247575852 0.002821 0.000224 12.57623
97

Lampiran 14. Lanjutan


Komoditas Negara Tahun Xij Wij Xj Wj Xij/Xj Wij/Wj RCA
2013 19405 41898 6061870 250708238 0.003201 0.000167 19.15501
2014 16178 57036 5784720 227931507 0.002797 0.000250 11.17629
2015 4429 49383 5507225 202030063 0.000804 0.000244 3.290117
Rata-rata 11.31745
Jerman 2006 13417 490661 2025698 922213393 0.006623 0.000532 12.44889
2007 1827 688532 2316011 1059307813 0.000789 0.000650 1.213657
2008 1494 807676 2465159 1204209300 0.000606 0.000671 0.903588
2009 20715 980241 2326669 938363080 0.008903 0.001045 8.522919
2010 35167 1142550 2984671 1066816800 0.011783 0.001071 11.00154

Rata-rata 6.81812
2011 1048 1349532 3304651 1260297500 0.000317 0.001071 0.296159
2012 1098 1028090 3074971 1161213200 0.000357 0.000885 0.403313
2013 722 805960 2883423 1187314600 0.000250 0.000679 0.368877
2014 1484 764841 2821568 1214955700 0.000526 0.000630 0.835473
2015 2316 903709 2663817 1057616400 0.000869 0.000854 1.017498
Rata-rata 0.58426
Belanda 2006 4035 690782 2518358 358509534 0.001602 0.001927 0.831545
2007 1346 940831 2749459 421367716 0.000490 0.002233 0.219254
2008 823 1297984 3926404 494936571 0.000210 0.002623 0.079925
2009 5816 1747822 2909075 382190422 0.001999 0.004573 0.437172
2010 15564 1698950 3722455 439986633 0.004181 0.003861 1.082806

Rata-rata 0.530140
2011 2758 2167580 5132477 492837632 0.000537 0.004398 0.122179
2012 1917 1679715 4664301 500605323 0.000411 0.003355 0.122489
2013 562 1563439 4105967 506162309 0.000137 0.003089 0.044313
2014 1211 1853118 3984582 508032877 0.000304 0.003648 0.08332
2015 1984 2099848 3442102 424851378 0.000576 0.004943 0.116618
Rata-rata 0.097784
Pasta Kakao
HS 1803 Malaysia 2006 0 2099 4110757 131127048 0.000000 0.000016 0
2007 0 3428 5096064 146104307 0.000000 0.000023 0
2008 1131 4495 6432552 156862494 0.000176 0.000029 6.135765
2009 21 10097 6811824 124191764 0.000003 0.000081 0.037919
2010 507 40890 9362332 165209558 0.000054 0.000248 0.218797

Rata-rata 1.278496
2011 29023 57450 10995847 187573009 0.002639 0.000306 8.617751
2012 17329 69030 11280285 196196619 0.001536 0.000352 4.366235
2013 104205 130906 10666609 205813525 0.009769 0.000636 15.35948
2014 125270 151703 9731541 208823429 0.012873 0.000726 17.71946
2015 152884 162459 7626943 176174598 0.020045 0.000922 21.73757
Rata-rata 13.56010
Jerman 2006 101 102702 2025698 922213393 0.000050 0.000111 0.447712
2007 30 138222 2316011 1059307813 0.000013 0.000130 0.099272
2008 16 189661 2465159 1204209300 0.000006 0.000157 0.04121
98

Lampiran 14. Lanjutan


Komoditas Negara Tahun Xij Wij Xj Wj Xij/Xj Wij/Wj RCA
2010 16362 436967 2984671 1066816800 0.005482 0.000410 13.38385

3.574421
2011 27258 447431 3304651 1260297500 0.008248 0.000355 23.23354
2012 20720 434150 3074971 1161213200 0.006738 0.000374 18.02274
2013 13706 322031 2883423 1187314600 0.004753 0.000271 17.5255
2014 32323 383712 2821568 1214955700 0.011456 0.000316 36.27239
2015 36559 359737 2663817 1057616400 0.013724 0.000340 40.34902
Rata-rata 27.08064
Tiongkok 2006 833 20277 8343571 791460868 0.000100 0.000026 3.896896
2007 266 20598 9675513 956115448 0.000027 0.000022 1.276124
2008 291 34658 11636504 1132562200 0.000025 0.000031 0.817201
2009 0 43950 11499327 1005555200 0.000000 0.000044 0
2010 2875 66999 15692611 1396001600 0.000183 0.000048 3.817335

Rata-rata 1.961511
2011 34556 100192 22941005 1743394900 0.001506 0.000057 26.21041
2012 27460 83939 21659503 1818199200 0.001268 0.000046 27.46185
2013 4721 89407 22601487 1949992300 0.000209 0.000046 4.555734
2014 15903 94291 17605944 1958021300 0.000903 0.000048 18.75715
2015 29723 92340 15045332 1681670816 0.001976 0.000055 35.97841
Rata-rata 22.592710
Spanyol 2006 3652 44802 1641122 329975827 0.002225 0.000136 16.38984
2007 3467 41598 1906223 391236948 0.001819 0.000106 17.10596
2008 9303 46098 1665335 418728300 0.005586 0.000110 50.74247
2009 6366 61844 1830458 287501636 0.003478 0.000215 16.16775
2010 22860 137605 2328696 315547199 0.009817 0.000436 22.51094

Rata-rata 24.58339
2011 46599 240157 2427862 362834519 0.019193 0.000662 28.99786
2012 27204 183784 2069251 325835176 0.013147 0.000564 23.30826
2013 15749 119551 1810444 332266846 0.008699 0.000360 24.17696
2014 17668 105321 1937639 350977773 0.009118 0.000300 30.38639
2015 22891 123461 1481288 305266032 0.015453 0.000404 38.20973
Rata-rata 29.01584
Amerika 2006 1252 128994 11259136 1918997094 0.000111 0.000067 1.654261
2007 1666 115593 11644198 2017120776 0.000143 0.000057 2.496697
2008 2103 158871 13079934 2164834031 0.000161 0.000073 2.190855
2009 513 182316 10889079 1601895800 0.000047 0.000114 0.413938
2010 1557 304721 14301876 1968259901 0.000109 0.000155 0.703195

Rata-rata 1.491789
2011 37246 360412 16497616 2263619100 0.002258 0.000159 14.17955
2012 72697 371091 14910181 2334677700 0.004876 0.000159 30.67468
2013 19467 250497 15741132 2326590200 0.001237 0.000108 11.48631
2014 17679 230025 16560076 2410855500 0.001068 0.000095 11.18901
2015 18840 162418 16266948 2306822200 0.001158 0.000070 16.44958
Rata-rata 16.79582
Brazil 2006 904 2997 626136 91342784 0.001444 0.000033 44.0035
2007 963 10760 786353 120620871 0.001225 0.000089 13.72837
99

Lampiran 14. Lanjutan


Komoditas Negara Tahun Xij Wij Xj Wj Xij/Xj Wij/Wj RCA
2008 1454 4187 992700 173196634 0.001465 0.000024 60.58748
2009 570 16601 888403 127647331 0.000642 0.000130 4.933355
2010 588 24228 1528241 180458789 0.000385 0.000134 2.8658

Rata-rata 25.22370
2011 9956 31187 1734908 226243409 0.005739 0.000138 41.63042
2012 20046 62493 1486191 223149128 0.013488 0.000280 48.16338
2013 13352 26656 1514413 239620905 0.008817 0.000111 79.25592
2014 7480 27795 1498199 229060056 0.004993 0.000121 41.14478
2015 9108 26617 1166012 171446212 0.007811 0.000155 50.31399
Rata-rata 52.10169
Lemak
Kakao
HS 1804 Amerika 2006 56700 397004 11259136 1918997094 0.005036 0.000207 24.34207
2007 68687 395002 11644198 2017120776 0.005899 0.000196 30.12296
2008 134899 664930 13079934 2164834031 0.010313 0.000307 33.57777
2009 71919 540057 10889079 1601895800 0.006605 0.000337 19.59057
2010 104423 587706 14301876 1968259901 0.007301 0.000299 24.45262

Rata-rata 26.41720
2011 123910 453387 16497616 2263619100 0.007511 0.000200 37.49898
2012 64492 237161 14910181 2334677700 0.004325 0.000102 42.58009
2013 113687 348056 15741132 2326590200 0.007222 0.000150 48.27759
2014 236336 673144 16560076 2410855500 0.014271 0.000279 51.11293
2015 235382 630532 16266948 2306822200 0.014470 0.000273 52.93881
Rata-rata 46.48168
Jerman 2006 150 343890 2025698 922213393 0.000074 0.000373 0.198577
2007 1299 421220 2316011 1059307813 0.000561 0.000398 1.410528
2008 1310 548671 2465159 1204209300 0.000531 0.000456 1.166316
2009 344 558637 2326669 938363080 0.000148 0.000595 0.248351
2010 6408 543808 2984671 1066816800 0.002147 0.000510 4.211825

Rata-rata 1.44712
2011 5830 491073 3304651 1260297500 0.001764 0.000390 4.52762
2012 28807 403394 3074971 1161213200 0.009368 0.000347 26.96743
2013 29323 577322 2883423 1187314600 0.010170 0.000486 20.91451
2014 61430 1016418 2821568 1214955700 0.021772 0.000837 26.02424
2015 60598 785090 2663817 1057616400 0.022749 0.000742 30.64521
Rata-rata 21.81580
Malaysia 2006 85 953 4110757 131127048 0.000021 0.000007 2.845093
2007 3214 7233 5096064 146104307 0.000631 0.000050 12.73959
2008 1067 9647 6432552 156862494 0.000166 0.000061 2.697168
2009 0 5211 6811824 124191764 0.000000 0.000042 0
2010 0 5221 9362332 165209558 0.000000 0.000032 0

Rata-rata 3.656371
2011 11614 16894 10995847 187573009 0.001056 0.000090 11.72711
2012 4068 11908 11280285 196196619 0.000361 0.000061 5.941739
2013 13219 16149 10666609 205813525 0.001239 0.000078 15.7943
2014 41719 57076 9731541 208823429 0.004287 0.000273 15.68476
2015 55153 63739 7626943 176174598 0.007231 0.000362 19.98742
Rata-rata 13.827067
100

Lampiran 14. Lanjutan


Komoditas Negara Tahun Xij Wij Xj Wj Xij/Xj Wij/Wj RCA
Australia 2006 24384 74444 2771277 139354165 0.008799 0.000534 16.47082167
2007 29316 74915 3394556 165471525 0.008636 0.000453 19.07551
2008 41878 93095 4110970 200617275 0.010187 0.000464 21.95248
2009 27145 85448 3264224 165601136 0.008316 0.000516 16.11652
2010 30092 97301 4244397 201703334 0.007090 0.000482 14.69707
Rata-rata 17.662482
2011 18424 70307 5582530 235008346 0.003300 0.000299 11.03158
2012 17640 49451 4905413 251158190 0.003596 0.000197 18.26397
2013 31916 70577 4370482 233403324 0.007303 0.000302 24.15032
2014 41937 111512 4962452 228745757 0.008451 0.000487 17.33534
2015 52513 114216 3679853 200766065 0.014270 0.000569 25.08417
Rata-rata 19.17307

Estonia 2006 0 12561 6118 14640717 0.000000 0.000858 0


2007 3930 12865 18908 16665174 0.207849 0.000772 269.2446
2008 3148 24416 24081 17334621 0.130725 0.001409 92.81113
2009 600 24901 19252 11359986 0.031166 0.002192 14.21793
2010 501 15415 21887 13196568 0.022890 0.001168 19.59607
Rata-rata 79.17394
2011 5773 15156 34463 18963366 0.167513 0.000799 209.5942
2012 8861 28199 41579 20070376 0.213112 0.001405 151.6808
2013 21506 43957 46304 20186202 0.464452 0.002178 213.2886
2014 41672 85193 61014 20184650 0.682991 0.004221 161.82
2015 36714 57563 52464 15746783 0.699794 0.003656 191.4338
Rata-rata 185.5634
Belanda 2006 34690 238531 2518358 358509534 0.013775 0.000665 20.70345
2007 40496 340070 2749459 421367716 0.014729 0.000807 18.24979
2008 51796 452604 3926404 494936571 0.013192 0.000914 14.42555
2009 22136 402205 2909075 382190422 0.007609 0.001052 7.230637
2010 12511 346955 3722455 439986633 0.003361 0.000789 4.262152
Rata-rata 12.97431
2011 19463 432855 5132477 492837632 0.003792 0.000878 4.317618
2012 4896 248645 4664301 500605323 0.001050 0.000497 2.113346
2013 13123 379642 4105967 506162309 0.003196 0.000750 4.261213
2014 34210 539306 3984582 508032877 0.008586 0.001062 8.087734
2015 35213 483967 3442102 424851378 0.010230 0.001139 8.980501
Rata-rata 5.552082
Lampiran 15. Hasil Estimasi Perhitungan EPD Kakao Indonesia
(A) (B) (C) (D) (A-B) (C-D)
Share Share Average Average Market
Negara Tahun Xij Wij Share Share Xj Wj
(Xj/Wj) X Growth X Y Growth Y Positioning
(Xij/Wij)t (Xi/Wi)t-1 (Xj/Wj)t-1
t
Biji Kakao HS 1801
Malaysia 2006 234812 671187 0.3498 - 4110757 131127048 0.0313 - - - - -
2007 296882 787629 0.3769 0.3498 5096064 146104307 0.0349 0.0313 0.0271 0.002257 0.0035 0.000294
2008 468788 1188245 0.3945 0.3769 6432552 156862494 0.0410 0.0349 0.0176 0.001466 0.0061 0.000511
2009 451583 769462 0.5869 0.3945 6811824 124191764 0.0548 0.0410 0.1924 0.016030 0.0138 0.001153
2010 550917 971889 0.5669 0.5869 9362332 165209558 0.0567 0.0548 -0.0200 -0.001669 0.0018 0.000152
0.010850 0.001266 Rising Star

2011 411106 1007546 0.4080 0.5669 10995847 187573009 0.0586 0.0567 -0.1588 -0.013235 0.0020 0.000163
2012 225748 877531 0.2573 0.4080 11280285 196196619 0.0575 0.0586 -0.1508 -0.012564 -0.0011 -0.000094
2013 302162 764503 0.3952 0.2573 10666609 205813525 0.0518 0.0575 0.1380 0.011499 -0.0057 -0.000472
2014 119162 916777 0.1300 0.3952 9731541 208823429 0.0466 0.0518 -0.2653 -0.022105 -0.0052 -0.000435
2015 77445 691990 0.1119 0.1300 7626943 176174598 0.0433 0.0466 -0.0181 -0.001505 -0.0033 -0.000276
-0.018197 -0.000535 Retreat
Singapura 2006 57825 113976 0.5073 - 8929849 238711241 0.0374 - - - - -
2007 74093 169965 0.4359 0.5073 10501617 263154907 0.0399 0.0374 -0.0714 -0.005951 0.0025 0.000208
2008 102529 237266 0.4321 0.4359 12862045 319780296 0.0402 0.0399 -0.0038 -0.000317 0.0003 0.000026
2009 139239 209079 0.6660 0.4321 10262665 245784668 0.0418 0.0402 0.2338 0.019486 0.0015 0.000128
2010 151484 291754 0.5192 0.6660 13723266 310791134 0.0442 0.0418 -0.1467 -0.012229 0.0024 0.000200
0.000594 0.000337 Rising Star

2011 98421 274761 0.3582 0.5192 18443890 365770491 0.0504 0.0442 -0.1610 -0.013418 0.0063 0.000522
2012 92791 214987 0.4316 0.3582 17135025 379722889 0.0451 0.0504 0.0734 0.006117 -0.0053 -0.000442
2013 72680 193433 0.3757 0.4316 16686239 373015740 0.0447 0.0451 -0.0559 -0.004656 -0.0004 -0.000033
2014 31134 269608 0.1155 0.3757 16752340 366247322 0.0457 0.0447 -0.2603 -0.021688 0.0010 0.000084
2015 17997 266254 0.0676 0.1155 12632335 296888047 0.0425 0.0457 -0.0479 -0.003990 -0.0032 -0.000266
-0.018065 -0.000064 Retreat

Amerika 2006 57825 779620 0.0742 - 11259136 1918997094 0.0059 - - - - -


2007 74093 708659 0.1046 0.0742 11644198 2017120776 0.0058 0.0059 0.0304 0.002532 -0.0001 -0.000008

101
101
102

102
Lampiran 15. Lanjutan
(A) (B) (C) (D) (A-B) (C-D)
Average Average Market
Negara Tahun Xij Wij Share Share Xj Wj Share Share
X Growth X Y Growth Y Positioning
(Xij/Wij)t (Xi/Wi)t-1 (Xj/Wj)t (Xj/Wj)t-1
2009 139239 1228059 0.1134 0.1097 10889079 1601895800 0.0068 0.0060 0.0037 0.000306 0.0008 0.000063
2010 151484 1292195 0.1172 0.1134 14301876 1968259901 0.0073 0.0068 0.0038 0.000321 0.0005 0.000039
0.002153 0.000070 Rising Star

2011 98421 1468096 0.0670 0.1172 16497616 2263619100 0.0073 0.0073 -0.0502 -0.004183 0.0000 0.000002
2012 92791 1033812 0.0898 0.0670 14910181 2334677700 0.0064 0.0073 0.0227 0.001893 -0.0009 -0.000075
2013 72680 1149160 0.0632 0.0898 15741132 2326590200 0.0068 0.0064 -0.0265 -0.002209 0.0004 0.000032
2014 31134 1354137 0.0230 0.0632 16560076 2410855500 0.0069 0.0068 -0.0403 -0.003355 0.0001 0.000009
2015 17997 1469812 0.0122 0.0230 16266948 2306822200 0.0071 0.0069 -0.0107 -0.000896 0.0002 0.000015
-0.004199 -0.000009 Retreat

Thailand 2006 9124 32035 0.2848 - 2701549 128584476 0.0210 - - - - -


2007 9529 40426 0.2357 0.2848 3054276 143761450 0.0212 0.0210 -0.0491 -0.004092 0.0002 0.000020
2008 16722 54386 0.3075 0.2357 3661252 178613109 0.0205 0.0212 0.0718 0.005980 -0.0007 -0.000062
2009 17846 53834 0.3315 0.3075 3233813 133769639 0.0242 0.0205 0.0240 0.002003 0.0037 0.000306
2010 18477 74349 0.2485 0.3315 4566569 182393380 0.0250 0.0242 -0.0830 -0.006915 0.0009 0.000072
-0.001815 0.000201 Lost
Opportunity

2011 17207 64173 0.2681 0.2485 5896687 228483302 0.0258 0.0250 0.0196 0.001635 0.0008 0.000064
2012 18719 55538 0.3370 0.2681 6635141 247575852 0.0268 0.0258 0.0689 0.005743 0.0010 0.000083
2013 19405 41898 0.4631 0.3370 6061870 250708238 0.0242 0.0268 0.1261 0.010508 -0.0026 -0.000218
2014 16178 57036 0.2836 0.4631 5784720 227931507 0.0254 0.0242 -0.1795 -0.014959 0.0012 0.000100
2015 4429 49383 0.0897 0.2836 5507225 202030063 0.0273 0.0254 -0.1940 -0.016163 0.0019 0.000157
-0.006353 0.000145 Lost
Opportunity

Jerman 2006 13417 490661 0.0273 - 2025698 922213393 0.0022 - - - - -


2007 1827 688532 0.0027 0.0273 2316011 1059307813 0.0022 0.0022 -0.0247 -0.002058 0.0000 -0.000001
2008 1494 807676 0.0018 0.0027 2465159 1204209300 0.0020 0.0022 -0.0008 -0.000067 -0.0001 -0.000012
2009 20715 980241 0.0211 0.0018 2326669 938363080 0.0025 0.0020 0.0193 0.001607 0.0004 0.000036
Lampiran 15. Lanjutan
(A) (B) (C) (D) (A-B) (C-D)
Average Average Market
Negara Tahun Xij Wij Share Share Xj Wj Share Share
X Growth X Y Growth Y Positioning
(Xij/Wij)t (Xi/Wi)t-1 (Xj/Wj)t (Xj/Wj)t-1
2010 35167 1142550 0.0308 0.0211 2984671 1066816800 0.0028 0.0025 0.0096 0.000804 0.0003 0.000027
0.000353 0.000030 Rising Star

2011 1048 1349532 0.0008 0.0308 3304651 1260297500 0.0026 0.0028 -0.0300 -0.002500 -0.0002 -0.000015
2012 1098 1028090 0.0011 0.0008 3074971 1161213200 0.0026 0.0026 0.0003 0.000024 0.0000 0.000002
2013 722 805960 0.0009 0.0011 2883423 1187314600 0.0024 0.0026 -0.0002 -0.000014 -0.0002 -0.000018
2014 1484 764841 0.0019 0.0009 2821568 1214955700 0.0023 0.0024 0.0010 0.000087 -0.0001 -0.000009
2015 2316 903709 0.0026 0.0019 2663817 1057616400 0.0025 0.0023 0.0006 0.000052 0.0002 0.000016
-0.001129 -0.000011 Retreat

Belanda 2006 4035 690782 0.0058 - 2518358 358509534 0.0070 - - - - -


2007 1346 940831 0.0014 0.0058 2749459 421367716 0.0065 0.0070 -0.0044 -0.000368 -0.0005 -0.000042
2008 823 1297984 0.0006 0.0014 3926404 494936571 0.0079 0.0065 -0.0008 -0.000066 0.0014 0.000117
2009 5816 1747822 0.0033 0.0006 2909075 382190422 0.0076 0.0079 0.0027 0.000224 -0.0003 -0.000027
2010 15564 1698950 0.0092 0.0033 3722455 439986633 0.0085 0.0076 0.0058 0.000486 0.0008 0.000071
0.000166 0.000072 Rising Star

2011 2758 2167580 0.0013 0.0092 5132477 492837632 0.0104 0.0085 -0.0079 -0.000657 0.0020 0.000163
2012 1917 1679715 0.0011 0.0013 4664301 500605323 0.0093 0.0104 -0.0001 -0.000011 -0.0011 -0.000091
2013 562 1563439 0.0004 0.0011 4105967 506162309 0.0081 0.0093 -0.0008 -0.000065 -0.0012 -0.000100
2014 1211 1853118 0.0007 0.0004 3984582 508032877 0.0078 0.0081 0.0003 0.000025 -0.0003 -0.000022
2015 1984 2099848 0.0009 0.0007 3442102 424851378 0.0081 0.0078 0.0003 0.000024 0.0003 0.000022
-0.000329 -0.000014 Retreat

Pasta Kakao HS 1803


Malaysia 2006 0 2099 0.0000 - 4110757 131127048 0.0313 - - - - -
2007 0 3428 0.0000 0.0000 5096064 146104307 0.0349 0.0313 0.0000 0.000000 0.0035 0.000294
2008 1131 4495 0.2516 0.0000 6432552 156862494 0.0410 0.0349 0.2516 0.020968 0.0061 0.000511
2009 21 10097 0.0021 0.2516 6811824 124191764 0.0548 0.0410 -0.2495 -0.020794 0.0138 0.001153
2010 507 40890 0.0124 0.0021 9362332 165209558 0.0567 0.0548 0.0103 0.000860 0.0018 0.000152
0.000620 0.001266 Rising Star

103
103
104

104
Lampiran 15. Lanjutan
(A) (B) (C) (D) (A-B) (C-D)
Share Average Average Market
Negara Tahun Xij Wij Share Share Xj Wj Share
(Xj/Wj) X Growth X Y Growth Y Positioning
(Xij/Wij)t (Xi/Wi)t-1 (Xj/Wj)t-1
t
2011 29023 57450 0.5052 0.0124 10995847 187573009 0.0586 0.0567 0.4928 0.041066 0.0020 0.000163
2012 17329 69030 0.2510 0.5052 11280285 196196619 0.0575 0.0586 -0.2542 -0.021179 -0.0011 -0.000094
2013 104205 130906 0.7960 0.2510 10666609 205813525 0.0518 0.0575 0.5450 0.045416 -0.0057 -0.000472
2014 125270 151703 0.8258 0.7960 9731541 208823429 0.0466 0.0518 0.0297 0.002477 -0.0052 -0.000435
2015 152884 162459 0.9411 0.8258 7626943 176174598 0.0433 0.0466 0.1153 0.009609 -0.0033 -0.000276
0.037147 -0.000458 Falling Star
Jerman 2006 101 102702 0.0010 - 2025698 922213393 0.0022 - - - - -
2007 30 138222 0.0002 0.0010 2316011 1059307813 0.0022 0.0022 -0.0008 -0.000064 0.0000 -0.000001
2008 16 189661 0.0001 0.0002 2465159 1204209300 0.0020 0.0022 -0.0001 -0.000027 -0.0001 -0.000028

2009 2506 259147 0.0097 0.0001 2326669 938363080 0.0025 0.0020 0.0096 0.000799 0.0004 0.000036
2010 16362 436967 0.0374 0.0097 2984671 1066816800 0.0028 0.0025 0.0278 0.002315 0.0003 0.000027
0.001823 0.000030 Rising Star
2011 27258 447431 0.0609 0.0374 3304651 1260297500 0.0026 0.0028 0.0235 0.001956 -0.0002 -0.000015
2012 20720 434150 0.0477 0.0609 3074971 1161213200 0.0026 0.0026 -0.0132 -0.001100 0.0000 0.000002
2013 13706 322031 0.0426 0.0477 2883423 1187314600 0.0024 0.0026 -0.0052 -0.000430 -0.0002 -0.000018
2014 32323 383712 0.0842 0.0426 2821568 1214955700 0.0023 0.0024 0.0417 0.003473 -0.0001 -0.000009
2015 36559 359737 0.1016 0.0842 2663817 1057616400 0.0025 0.0023 0.0174 0.001449 0.0002 0.000016
0.002195 0.000009 Rising Star
Tiongkok 2006 833 20277 0.0411 - 8343571 791460868 0.0105 - - - - -
2007 266 20598 0.0129 0.0411 9675513 956115448 0.0101 0.0105 -0.0282 -0.002347 -0.0004 -0.000035
2008 291 34658 0.0084 0.0129 11636504 1132562200 0.0103 0.0101 -0.0045 -0.000376 0.0002 0.000013
2009 0 43950 0.0000 0.0084 11499327 1005555200 0.0114 0.0103 -0.0084 -0.000700 0.0012 0.000097
2010 2875 66999 0.0429 0.0000 15692611 1396001600 0.0112 0.0114 0.0429 0.003576 -0.0002 -0.000016
0.000092 0.000035 Rising Star
2011 34556 100192 0.3449 0.0429 22941005 1743394900 0.0132 0.0112 0.3020 0.025166 0.0019 0.000160
2012 27460 83939 0.3271 0.3449 21659503 1818199200 0.0119 0.0132 -0.0178 -0.001480 -0.0012 -0.000104
2013 4721 89407 0.0528 0.3271 22601487 1949992300 0.0116 0.0119 -0.2743 -0.022862 -0.0003 -0.000027
2014 15903 94291 0.1687 0.0528 17605944 1958021300 0.0090 0.0116 0.1159 0.009655 -0.0026 -0.000217
2015 29723 92340 0.3219 0.1687 15045332 1681670816 0.0089 0.0090 0.1532 0.012769 0.0000 -0.000004
0.011159 -0.000092 Falling Star

Spanyol 2006 3652 44802 0.0815 - 1641122 329975827 0.0050 - - - - -


2007 3467 41598 0.0833 0.0815 1906223 391236948 0.0049 0.0050 0.0018 0.000153 -0.0001 -0.000008
2008 9303 46098 0.2018 0.0833 1665335 418728300 0.0040 0.0049 0.1185 0.009872 -0.0009 -0.000075
2009 6366 61844 0.1029 0.2018 1830458 287501636 0.0064 0.0040 -0.0989 -0.008239 0.0024 0.000199
Lampiran 15. Lanjutan
Average Average
Negara Tahun Xij Wij (A) (B) Xj Wj (C) (D) (A-B) (C-D) Market Positioning
Growth X Growth Y
Share Share Share Share
X Y
(Xij/Wij)t (Xi/Wi)t-1 (Xj/Wj)t (Xj/Wj)t-1
2010 22860 137605 0.1661 0.1029 2328696 315547199 0.0074 0.0064 0.0632 0.005266 0.0010 0.000084
0.004231 0.000120 Rising Star
2011 46599 240157 0.1940 0.1661 2427862 362834519 0.0067 0.0074 0.0279 0.002326 -0.0007 -0.000057
2012 27204 183784 0.1480 0.1940 2069251 325835176 0.0064 0.0067 -0.0460 -0.003834 -0.0003 -0.000028
2013 15749 119551 0.1317 0.1480 1810444 332266846 0.0054 0.0064 -0.0163 -0.001357 -0.0009 -0.000075
2014 17668 105321 0.1678 0.1317 1937639 350977773 0.0055 0.0054 0.0360 0.003002 0.0001 0.000006
2015 22891 123461 0.1854 0.1678 1481288 305266032 0.0049 0.0055 0.0177 0.001471 -0.0007 -0.000056
0.000771 -0.000101 Falling Star
Amerika 2006 1252 128994 0.0097 - 11259136 1918997094 0.0059 - - - - -
2007 1666 115593 0.0144 0.0097 11644198 2017120776 0.0058 0.0059 0.0047 0.000392 -0.0001 -0.000008
2008 2103 158871 0.0132 0.0144 13079934 2164834031 0.0060 0.0058 -0.0012 -0.000098 0.0003 0.000022
2009 513 182316 0.0028 0.0132 10889079 1601895800 0.0068 0.0060 -0.0104 -0.000869 0.0008 0.000063
2010 1557 304721 0.0051 0.0028 14301876 1968259901 0.0073 0.0068 0.0023 0.000191 0.0005 0.000039
-0.000230 0.000070 Lost Opportunity
2011 37246 360412 0.1033 0.0051 16497616 2263619100 0.0073 0.0073 0.0982 0.008186 0.0000 0.000002
2012 72697 371091 0.1959 0.1033 14910181 2334677700 0.0064 0.0073 0.0926 0.007713 -0.0009 -0.000075
2013 19467 250497 0.0777 0.1959 15741132 2326590200 0.0068 0.0064 -0.1182 -0.009849 0.0004 0.000032
2014 17679 230025 0.0769 0.0777 16560076 2410855500 0.0069 0.0068 -0.0009 -0.000071 0.0001 0.000009
2015 18840 162418 0.1160 0.0769 16266948 2306822200 0.0071 0.0069 0.0391 0.003262 0.0002 0.000015
0.004435 -0.000009 Falling Star
Brazil 2006 904 2997 0.3016 - 626136 91342784 0.0069 - - - - -
2007 963 10760 0.0895 0.3016 786353 120620871 0.0065 0.0069 -0.2121 -0.017678 -0.0003 -0.000028
2008 1454 4187 0.3473 0.0895 992700 173196634 0.0057 0.0065 0.2578 0.021481 -0.0008 -0.000066
2009 570 16601 0.0343 0.3473 888403 127647331 0.0070 0.0057 -0.3129 -0.026078 0.0012 0.000102
2010 588 24228 0.0243 0.0343 1528241 180458789 0.0085 0.0070 -0.0101 -0.000839 0.0015 0.000126
-0.013868 0.000081 Lost Opportunity
2011 9956 31187 0.3192 0.0243 1734908 226243409 0.0077 0.0085 0.2950 0.024581 -0.0008 -0.000067
2012 20046 62493 0.3208 0.3192 1486191 223149128 0.0067 0.0077 0.0015 0.000128 -0.0010 -0.000084
2013 13352 26656 0.5009 0.3208 1514413 239620905 0.0063 0.0067 0.1801 0.015011 -0.0003 -0.000028
2014 7480 27795 0.2691 0.5009 1498199 229060056 0.0065 0.0063 -0.2318 -0.019316 0.0002 0.000018
2015 9108 26617 0.3422 0.2691 1166012 171446212 0.0068 0.0065 0.0731 0.006090 0.0003 0.000022
0.012717 -0.000067 Falling Star

105
105
106

106
Lampiran 15. Lanjutan
(A) (B) (C) (D) (A-B) (C-D)
Average Average Market
Negara Tahun Xij Wij Share Share Xj Wj Share Share
X Growth X Y Growth Y Positioning
(Xij/Wij)t (Xi/Wi)t-1 (Xj/Wj)t (Xj/Wj)t-1
Lemak
Kakao HS
1804
Amerika 2006 56700 397004 0.1428 - 11259136 1918997094 0.0059 - - - - -
2007 68687 395002 0.1739 0.1428 11644198 2017120776 0.0058 0.0059 0.0311 0.002589 -0.0001 -0.000008
2008 134899 664930 0.2029 0.1739 13079934 2164834031 0.0060 0.0058 0.0290 0.002416 0.0003 0.000022
2009 71919 540057 0.1332 0.2029 10889079 1601895800 0.0068 0.0060 -0.0697 -0.005809 0.0008 0.000063
2010 104423 587706 0.1777 0.1332 14301876 1968259901 0.0073 0.0068 0.0445 0.003709 0.0005 0.000039
0.001743 0.000070 Rising Star

2011 123910 453387 0.2733 0.1777 16497616 2263619100 0.0073 0.0073 0.0956 0.007968 0.0000 0.000002
2012 64492 237161 0.2719 0.2733 14910181 2334677700 0.0064 0.0073 -0.0014 -0.000114 -0.0009 -0.000075
2013 113687 348056 0.3266 0.2719 15741132 2326590200 0.0068 0.0064 0.0547 0.004558 0.0004 0.000032
2014 236336 673144 0.3511 0.3266 16560076 2410855500 0.0069 0.0068 0.0245 0.002038 0.0001 0.000009
2015 235382 630532 0.3733 0.3511 16266948 2306822200 0.0071 0.0069 0.0222 0.001851 0.0002 0.000015
0.007825 -0.000009 Falling Star
2006 150 343890 0.0004 - 2025698 922213393 0.0022 - - - - -
2007 1299 421220 0.0031 0.0004 2316011 1059307813 0.0022 0.0022 0.0026 0.000221 0.0000 -0.000001
Jerman 2008 1310 548671 0.0024 0.0031 2465159 1204209300 0.0020 0.0022 -0.0007 -0.000058 -0.0001 -0.000012
2009 344 558637 0.0006 0.0024 2326669 938363080 0.0025 0.0020 -0.0018 -0.000148 0.0004 0.000036
2010 6408 543808 0.0118 0.0006 2984671 1066816800 0.0028 0.0025 0.0112 0.000931 0.0003 0.000027
0.000567 0.000030 Rising Star
2011 5830 491073 0.0119 0.0118 3304651 1260297500 0.0026 0.0028 0.0001 0.000007 -0.0002 -0.000015
2012 28807 403394 0.0714 0.0119 3074971 1161213200 0.0026 0.0026 0.0595 0.004962 0.0000 0.000002
2013 29323 577322 0.0508 0.0714 2883423 1187314600 0.0024 0.0026 -0.0206 -0.001718 -0.0002 -0.000018
2014 61430 1016418 0.0604 0.0508 2821568 1214955700 0.0023 0.0024 0.0096 0.000804 -0.0001 -0.000009
2015 60598 785090 0.0772 0.0604 2663817 1057616400 0.0025 0.0023 0.0167 0.001396 0.0002 0.000016
0.002616 -0.000011 Falling Star
Malaysia 2006 85 953 0.0892 - 4110757 131127048 0.0313 - - - - -
2007 3214 7233 0.4444 0.0892 5096064 146104307 0.0349 0.0313 0.3552 0.029597 0.0035 0.000294
2008 1067 9647 0.1106 0.4444 6432552 156862494 0.0410 0.0349 -0.3337 -0.027812 0.0061 0.000511
2009 0 5211 0.0000 0.1106 6811824 124191764 0.0548 0.0410 -0.1106 -0.009217 0.0138 0.001153
2010 0 5221 0.0000 0.0000 9362332 165209558 0.0567 0.0548 0.0000 0.000000 0.0018 0.000152
Lost
-0.004460 0.001266 Opportunity
Lampiran 15. Lanjutan
(A) (B) (C) (D) (A-B) (C-D)
Average Average Market
Negara Tahun Xij Wij Share Share Xj Wj Share Share
X Growth X Y Growth Y Positioning
(Xij/Wij)t (Xi/Wi)t-1 (Xj/Wj)t (Xj/Wj)t-1
2011 11614 16894 0.6875 0.0000 10995847 187573009 0.0586 0.0567 0.6875 0.057289 0.0020 0.000163
2012 4068 11908 0.3416 0.6875 11280285 196196619 0.0575 0.0586 -0.3458 -0.028820 -0.0011 -0.000094
2013 13219 16149 0.8186 0.3416 10666609 205813525 0.0518 0.0575 0.4769 0.039745 -0.0057 -0.000472
2014 41719 57076 0.7309 0.8186 9731541 208823429 0.0466 0.0518 -0.0876 -0.007302 -0.0052 -0.000435
2015 55153 63739 0.8653 0.7309 7626943 176174598 0.0433 0.0466 0.1344 0.011196 -0.0033 -0.000276
0.034612 -0.000535 Falling Star
Australia 2006 24384 74444 0.3275 0.1531 2771277 139354165 0.0199 - - - - -
2007 29316 74915 0.3913 0.3275 3394556 165471525 0.0205 0.0199 0.0638 0.005315 0.0006 0.000052
2008 41878 93095 0.4498 0.3913 4110970 200617275 0.0205 0.0205 0.0585 0.004877 0.0000 -0.000002
2009 27145 85448 0.3177 0.4498 3264224 165601136 0.0197 0.0205 -0.1322 -0.011014 -0.0008 -0.000065
2010 30092 97301 0.3093 0.3177 4244397 201703334 0.0210 0.0197 -0.0084 -0.000701 0.0013 0.000111
Lost
-0.000914 0.000058 Opportunity
2011 18424 70307 0.2621 0.3093 5582530 235008346 0.0238 0.0210 -0.0472 -0.003935 0.0027 0.000226
2012 17640 49451 0.3567 0.2621 4905413 251158190 0.0195 0.0238 0.0947 0.007889 -0.0042 -0.000352
2013 31916 70577 0.4522 0.3567 4370482 233403324 0.0187 0.0195 0.0955 0.007958 -0.0008 -0.000067
2014 41937 111512 0.3761 0.4522 4962452 228745757 0.0217 0.0187 -0.0761 -0.006345 0.0030 0.000247
2015 52513 114216 0.4598 0.3761 3679853 200766065 0.0183 0.0217 0.0837 0.006974 -0.0034 -0.000280
0.006020 -0.000109 Falling Star
Estonia 2006 0 12561 0.0000 - 6118 14640717 0.0004 - - - - -
2007 3930 12865 0.3055 0.0000 18908 16665174 0.0011 0.0004 0.3055 0.025457 0.0007 0.000060
2008 3148 24416 0.1289 0.3055 24081 17334621 0.0014 0.0011 -0.1765 -0.014712 0.0003 0.000021
2009 600 24901 0.0241 0.1289 19252 11359986 0.0017 0.0014 -0.1048 -0.008736 0.0003 0.000025
2010 501 15415 0.0325 0.0241 21887 13196568 0.0017 0.0017 0.0084 0.000700 0.0000 -0.000003
0.001625 0.000062 Rising Star
2011 5773 15156 0.3809 0.0325 34463 18963366 0.0018 0.0017 0.3484 0.029034 0.0002 0.000013
2012 8861 28199 0.3142 0.3809 41579 20070376 0.0021 0.0018 -0.0667 -0.005556 0.0003 0.000021
2013 21506 43957 0.4893 0.3142 46304 20186202 0.0023 0.0021 0.1750 0.014585 0.0002 0.000019
2014 41672 85193 0.4891 0.4893 61014 20184650 0.0030 0.0023 -0.0001 -0.000009 0.0007 0.000061
2015 36714 57563 0.6378 0.4891 52464 15746783 0.0033 0.0030 0.1487 0.012388 0.0003 0.000026
0.024212 0.000067 Rising Star
Belanda 2006 34690 238531 0.1454 - 2518358 358509534 0.0070 - - - - -
2007 40496 340070 0.1191 0.1454 2749459 421367716 0.0065 0.0070 -0.0264 -0.002196 -0.0005 -0.000042
2008 51796 452604 0.1144 0.1191 3926404 494936571 0.0079 0.0065 -0.0046 -0.000387 0.0014 0.000117
2009 22136 402205 0.0550 0.1144 2909075 382190422 0.0076 0.0079 -0.0594 -0.004950 -0.0003 -0.000027
2010 12511 346955 0.0361 0.0550 3722455 439986633 0.0085 0.0076 -0.0190 -0.001581 0.0008 0.000071
Lost
-0.005469 0.000072 Opportunity
2011 19463 432855 0.0450 0.0361 5132477 492837632 0.0104 0.0085 0.0089 0.000742 0.0020 0.000163

107
107
108

108
Lampiran 15. Lanjutan
(A) (B) (C) (D) (A-B) (C-D)
Average Average Market
Negara Tahun Xij Wij Share Share Xj Wj Share Share
X Growth X Y Growth Y Positioning
(Xij/Wij)t (Xi/Wi)t-1 (Xj/Wj)t (Xj/Wj)t-1
2012 4896 248645 0.0197 0.0450 4664301 500605323 0.0093 0.0104 -0.0253 -0.002106 -0.0011 -0.000091
2013 13123 379642 0.0346 0.0197 4105967 506162309 0.0081 0.0093 0.0149 0.001240 -0.0012 -0.000100
2014 34210 539306 0.0634 0.0346 3984582 508032877 0.0078 0.0081 0.0289 0.002406 -0.0003 -0.000022
2015 35213 483967 0.0728 0.0634 3442102 424851378 0.0081 0.0078 0.0093 0.000777 0.0003 0.000022
Lost
0.001468 -0.000014 Opportunity
109

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 30 Desember 1994. Penulis


merupakan anak pertama dari dua bersaudara, dari pasangan Bapak Dindin dengan
Ibu Siti Kholilah. Penulis menamatkan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri
Sepanjang Jaya VI Kota Bekasi pada tahun 2007. Selanjutnya penulis melanjutkan
pendidikannya di SMP Negeri 16 Kota Bekasi. Tahun 2013, penulis lulus dari SMA
Negeri 2 Bekasi dan pada tahun yang sama lulus dan diterima di Institut Pertanian
Bogor (IPB) melalui SBMPTN (Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri)
jalur Ujian Tulis dan diterima di Departemen Ekonomi Sumberdaya dan
Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi IPB Mengajar,
sebagai staff pada divisi PSDM (Pengembangan Sumber daya Manusia) pada
periode 2014-2015. Penulis juga aktif dalam beberapa kegiatan kepanitiaan. Penulis
juga aktif mengikuti berbagai seminar nasional dan internasional dan mengikuti
beberapa lomba seperti Badminton dan Aerobik di Fakultas Ekonomi dan
Manajemen, Institut Pertanian Bogor, serta aktif dalam kegiatan di luar kampus
yaitu sebagai private teacher dalam bimbingan belajar siswa.

109

Anda mungkin juga menyukai