Anda di halaman 1dari 4

PEMBAHASAN

1.1.Pemeliharaan Sapi Perah Pada Masa Kering Kandang


Periode kering kandang adalah periode sapi perah dalam masa kebuntingan tua yang tidak
diperah (Sudono 2002). Periode kering kandang diperlukan oleh sapi perah agar menguatkan dan
memungkinkan ambing untuk membentuk cadangan makanan dalam tubuh agar lebih siap
diperiode laktasi berikutnya (Suhendar 2012). Periode tersebut esensial untuk memberi
kesempatan sel-sel ephitel ambing beregresi, proliferasi dan diferensiasi yang memungkinkan
stimulasi produksi susu secara maksimal. Pemeliharaan sapi perah pada masa kering kandang
merupakan salah satu faktor terpenting karena berguna untuk kualitas kolostrum dan produksi susu
secara maksimal pada laktasi berikutnya. Menurut Sudono et al. (2003) faktor yang mempengaruhi
kualitas, kuantitas dan susunan susu sapi perah adalah bangsa sapi, lama bunting, masa laktasi,
besar sapi, estrus atau birahi, umur sapi, selang beranak, masa kering kadang, frekuensi pemerahan
dan tata laksana pemberian pakan. Sapi perah yang akan masuk pada masa kering perlu dilakukan
pemeliharaan yang baik dengan memperhatikan beberapa aspek diantaranya umur kebuntingan
pada sapi yang akan masuk masa kering kandang, frekuensi pemerahan, pemberian pakan dan
pemberian obat kering kandang.
Pemeliharaan sapi perah pada masa kering kandang yang kurang baik dapat menyebabkan
penyakit pada sapi, salah satunya adalah mastitis. Upaya yang dapat dilakukan untuk
meminimalisir terkena mastitis adalah dengan pemberian antibiotik. Pemberian antibiotik pada
masa sapi kering kandang sangat berpengaruh terhadap kesehatan Tujuan dari pemberian
antibiotik pada sapi masa kering kandang adalah untuk mencegah terjadinya mastitis pada sapi.
Kelompok peternak sapi perah yang melakukan tindakan pemberian antibiotik pada saat kering
kandang memperoleh produksi susu lebih tinggi (Nurhayati 2014). Infeksi mastitis subklinis pada
sapi perah umumnya terjadi saat kering kandang yaitu dua minggu setelah penghentian pemerahan
dan dua minggu menjelang waktu beranak. Penelitian membuktikan bahwa pengobatan pada saat
kering kandang dapat menurunkan jumlah infeksi baru sampai 30% (Waldner 2007).
Antibiotik yang diberikan umumnya dengan nama dagang Cloxa-Ben Dry Cow®. Komposisi
obat tersebut mengandung cloxacillin benzathine. Cloxacillin benzathine berfungi untuk
mengobati infeksi mastitis yang sudah ada dan memberikan perlindungan terhadap infeksi lebih
lanjut selama periode kering kandang. Cloxacillin benzathine lebih efektif dalam pengendalian
mastitis. Jumlah kasus mastitis pada kelompok ternak yang diberi antibiotik pada saat kering
kadang lebih sedikit jika dibandingkan dengan kelompok yang tidak diberi antibiotik (Bhutto et
al. 2011).
Pemberian antibiotik dilakukan dengan cara puting dibersihkan setelah pemerahan terakhir
pada awal periode kering kandang dan masukkan isi dari satu injektor per puting dan lakukan
untuk keempat puting. Tindakan pemberian antibiotik pada saat kering kandang memiliki beberapa
keuntungan yaitu (1) tingkat keberhasilan pengobatan jauh lebih tinggi dibandingkan pada saat
laktasi seperti halnya yang dikemukakan Waldner (2007) yaitu sebesar 80-90%. (2) Dosis yang
digunakan dalam tindakan pengobatan dapat lebih tinggi dan aman, karena waktu retensi obat di
dalam ambing menjadi lebih lama. (3) Risiko kontaminasi antibiotik ke dalam susu dapat dihindari
karena susu tidak diperah dan (4) Merupakan cara terbaik untuk mengobati mastitis subklinis dan
mastitis kronis yang sulit dilakukan pada masa laktasi (Nurhayati dan Martindah 2015)
1.2 Lama Kering Kandang Pada Sapi Perah
Sapi perah induk laktasi yang telah bunting, produksi susunya akan semakin menurun sesuai
dengan umur kebuntingan. Kering kadang umumnya dilakukan pada sapi dengan umur
kebuntingan masuk 8 bulan (60 hari). Masa kering kandang yang lebih lama lagi produksi susu
tidak akan bertambah (Sudono et al. 2003). Periode kering kandang rekomendasi 50-59 hari, lama
kering kandang dengan panjang 70-79 hari menghasilkan produksi susu jauh lebih rendah
(Anggraeni 2007). Niazi dan Aleem (2003) yang menyatakan lama kering kandang sapi perah FH
yang dipelihara pada daerah tropis cenderung memanjang, hal ini dikarenakan cekaman panas dan
kelembaban tropis pada bangsa sapi tersebut, disamping inferioritas pakan dan manajemen
pemeliharaan yang diterapkan.
Waktu untuk sapi masuk masa kering kandang perlu diperhatikan karena masa kering
kandang bertujuan untuk mempersiapkan kelenjar alveoli mempersiapkan produksi kolostrum
yang baik. Masa kering kandang juga bertujuan untuk mengistirahatkan organ-organ yang
berhubungan dengan produksi susu sehingga saat masuk masa laktasi dapat berproduksi secara
optimal. Menurut Mukhtar (2006) Pengeringan ini penting untuk mengembalikan kondisi ambing
dan memberi kesempatan perggantian sel-sel epitelium selama laktasi yang sedang berjalan serta
untuk mencapai kondisi tubuh yang prima ketika melahirkan.
Aplikasi lama kering yang sesuai menjadi suatu factor kritis untuk mencapai produksi susu
maksimal . Banyak studi lapang dilakukan khususnya pada sapi Bos taurus dibawah pemeliharaan
iklim sedang untuk mengetahui berapa lama kering kandang yang diperlukan agar sapi
menghasilkan susu yang tinggi pada laktasi yang menyertainya . Pengaruh lama kering selama 0
had dan 60 hari terhadap produksi susu dari lima pasang sapi kembar identik . Hasil menunjukkan
terjadi penurunan produksi 25% dari laktasi ke-2 dan 35% dari laktasi ke-3 pada sapi yang tidak
diberi kering kandang (lama kering 0 hari) dibandingkan kembarannya yang menjalani kering
kandang 60 hari . Sedangkan Remond et al. (1997) memperoleh penurunan produksi susu sekitar
22% pada sapi yang tidak melewati kering kandang dibandingkan dengan lama kering 60 hari ..
Lamakering50-59hari menghasilkan produksi susu tertinggi, akan tetapi secara praktis tidak
diperoleh perbedaan besar apabila lama kering masih dalam kisaran 40-69 hari. Didapatkan
penurunan produksi susu pada laktasi berikutnya untuk lama kering singkat 20-29 hari dan 30- 39
hari dibandingkan produksi susu tertinggi pada lama kering optimal 50-59 hari . Namun
ditekankan, secara praktis kisaran masa kering 40- 49 hari menghasilkan produksi susu tidak
berbeda dengan masa kering 50-59 hari . Produksi susu sangat menurun pada sapi dengan lama
kering singkat < 40 hari dibandingkan sapi pada puncak produksi dengan lama kering 60-69 hari .
Diingatkan penambahan produksi dengan memperpanjang periode kering kandang tidak
mengimbangi biaya yang dikeluarkan untuk pembelian tambahan pakan ataupun produksi susu
maksimal per hari. Lama kering yang panjang berpengaruh lebih merugikan dibandingkan lama
kering singkat . Dibanding periode kering rekomendasi 50-59 hari ,lama kering panjang 70-79 hari
menghasilkan produksi susu jauh lebih rendah daripada periode kering singkat _< 39 hari (8015
kg) .
Makuza dan Mcdanield (1996) menggunakan catatan sapi FH di Carolina Utara dan
Zimbabwe untuk mengamati pengaruh lama kering pada produksi susu. Produksi susu 305 hari
dikoreksi terhadap sejumlah faktor terutama produksi laktasi sebelumnya, masa kosong dari laktasi
sebei'umnya dan berjalan dalam upaya mengeliminasi pengaruh genetik dan lingkungan . Untuk
laktasi pertama dan kedua, sapi dengan lama kering singkat < 30 hari memproduksi susu lebih
rendah 11,8% dan 10,7% dari sapi dengan lama kering 60-69 hari (8 .831 kg di Carolina Utara dan
5 .424 kg di Zimbabwe). Dijelaskan lama kering singkat < 43 hari menurunkan secara nyata
produksi susu laktasi berikutnya. lama kering sekitar 50-70 hari merupakan periode yang banyak
direkomendasikan agar sapi menghasilkan susu secara maksimal pada laktasinberikutnya . Kondisi
berbeda ditemukan untuk sapinperah Bos taurus yang dipelihara pada wilayah dengan kondisi
iklim tropis .
Aleem, M dan K.A.A Niazi 2003 . Comparative studies on the reproductive efficiency of imported
and local born Friesian cows in Pakistan . Online Journal of Biological Sciences 3(4) : 388-
395 .
Anggraeni, A. 2007. Pengaruh Lama Kering Pada Produksi Susu Sapi Perah. Bogor (ID): Balai
Penelitian Ternak.

Bhutto, A.L., R.D Murray dan Z, Woldehiwet. 2011. The effect of dry cow therapy and internal
teat-sealant on intramammary infections during subsequent lactation. Res Vet Sci. 90:316-
320.

Makuza, S .M. And B .T. Mcdaniel. 1996 . Effects of days dry, previous days open, and current
days open on milk yields of cows in Zimbabwe and North Carolina. J. Dairy Sci . 79: 702-
709.

Mukhtar. 2006. Dasar Pengolahan Susu dan Hasil Ikutan Ternak. Medan (ID): Progam Studi
Produksi Ternak Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Nurhayati, I.S. 2014. Kajian pengendalian mastitis subklinis melalui pemberian antibiotik pada
saat periode kering di KPSBU Lembang, Jawa Barat [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor

Nurhayati, I.S, dan E, Martindah. 2015. Pengendalian Mastitis Subklinis melalui Pemberian
Antibiotik Saat Periode Kering pada Sapi Perah. WARTAZOA.25(2).65-74.

Remond, B., J . Rouel, N. Pinson, And S . Jabet . 1997. An attempt to omit the dry period over
three consecutive lactations in dairy cows . Ann . Zootech . 46:399-408 .

Sudono, A. 2002. Budidaya Sapi Perah. Jurusan Ilmu Produksi, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor. Bogor (ID): IPB Pr.

Sudono, A., R.F Rosdiana, dan B.S Setiawan. 2003. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Jakarta
(ID): Agromedia Pustaka.

Suherman, D. 2008. Evaluasi penerapan aspek teknis peternakan pada usaha peternakan sapi perah
sistem individu dan kelompok di Rejang Lebong. J. Sains Peternakan Indonesia. 3. (1): 35-
42.
Waldner, D. N. 2007. Dry cow therapy for mastitis control. Oklahoma (US): Division of
Agricultural Sciences and Natural Resources, Oklahoma State University.

Anda mungkin juga menyukai