Anda di halaman 1dari 10

KERJA OTOT RANGKA

I. Tujuan Praktikum
1.1 Mengamati dan memahami mekanisme kontraksi dan relaksasi otot rangka
(gastrocnemius) dengan menggunakan kimograf.
1.2 Mengamati respons otot rangka (gastrocnemius) terhadap rangsang
tunggal dengan intensitas berbeda, serta menentukan kuat rangsan
minimal, submaksimal, dan maksimal.
1.3 Mengamati dan mengukur lamanya waktu perioda kontraksi.
1.4 Mengamati respons otot rangka (gastrocnemius) terhadap rangsang listrik
dua kali berturut-turut dan perangsangan listrik frekuensi tinggi (multiple).
II. Landasan Teori
Otot rangka adalah massa otot yang bertaut pada tulang yang
berperan dalam menggerakkan tulang-tulang tubuh. Otot rangka tersusun
atas kumpulan serabut (sel) otot bergaris (muscle fiber/skeletal myocyte),
mempunyai banyak inti yang terletak di tepi. Dinding atau membran sel
disebut sarkolemma memiliki kemampuan untuk menghantarkan impuls
(potensial aksi) ke semua arah termasuk melanjutkan penghantaran
sepanjang dinding tubulus transversalis. Sitoplasma serabut otot atau
sarkoplasma mengandung struktur kontraktil yang berperan terhadap fungsi
utama otot rangka yaitu fungsi kontraksi (Slonane, 2004). Ganong (2003)
menyatakan bahwa sel-sel otot, dapat dirangsang secara kimiawi, listrik,
dan mekanik untuk membangkitkan potensial aksi yang dihantarkan
sepanjang membran sel. Karakter fungsional yang dimiliki oleh otot rangka
meliputi (a) kontraktilitas ; kemampuan untuk memendek karena adanya
gaya, (b) eksitabilitas ; kapasitas otot untuk merespon sebuah rangsangan,
(c) ekstenbilitas ; kemampuan otot untuk memanjang, (d) elastisitas ;
kemampuan otot unuk kembali ke panjang normal setelah mengalami
pemanjangan (Riawan, dkk, 2016).
Otot dapat berkontraksi baik secara isometrik, isotonik, atau
gabungan keduanya. Kontraksi isometrik pada otot gastrocnemius memiliki
lama kontraksi kira-kira 1/30 detik. Lama kontraksi disesuaikan dengan
fungsi masing-masing otot. Otot gastrocnemius harus berkontraksi dengan
kecepatan yang cukup pada pergerakan tungkai untuk berlari atau
melompat. Otot gastrocnemius memiliki serabut cepat yang disesuaikan
untuk kontraksi otot yang sangat cepat dan kuat seperti berlari dan
melompat. Serabut ini tampak lebih besar. Retikulum sarkoplasmanya lebih
luas sehingga dengan cepat dapat melepaskan ion-ion kalsium untuk
memulai kontraksi otot (Guyton, 1995). Dalam kontraksi dan relaksasi otot
dikenal istilah fase kontraksi, fase laten, dan fase relaksasi. Fase kontraksi
adalah waktu terjadinya kontarksi kerja otot. Fase laten adalah waktu antara
datangnya rangsangan ke neuron motoris dengan awal terjadinya kontraksi,
sedangkan fase relaksasi adalah waktu otot berelaksasi. Waktu terjadinya
kontraksi disebut fase kontraksi (Riawan, dkk, 2016).
Kontraksi otot bergantung pada energi yang disediakan oleh ATP.
Konsentrasi ATP didalam serabut otot kira-kira 4 milimolar. Sumber energi
pertama yang digunakan untuk menyusuun kembali ATP adalah substansi
kreatin fosfat. Kreatin fosfat memiliki jumlah energi bebas yang sedikit
lebih tinggi daripada yang dimiliki oleh setiap ikatan ATP. Sumber energi
penting kedua yang digunakan untuk menyusun kembali kreatin fosfat dan
ATP adalah “glikolisis” dari glikogen yang sebelumnya tersimpan dalam
sel otot. Makna penting dari mekanisme glikolisis ada dua. Pertama, reaksi
glikolisis dapat terjadi bahkan bila tidak ada oksigen, sehingga kontraksi
otot dapat tetap dipertahankan untuk berdetik-detik dan kadang sampai lebih
dari satu menit. Kedua, kecepatan pembentukan ATP oleh proses glikolisis
kira-kira 2,5 kali kecepatan pembentukan ATP. Namun, begitu banyak
produk akhir dari glikolisis akan berkumpul dalam sel otot sehingga
glikolisis juga kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan
kontraksi otot. Sumber energi ketiga sekaligus yang terakhir adalah
metabolisme oksidatif. Hal ini berarti mengkombinasikan oksigen dengan
produk akhir glikolisis dan berbagai zat makanan sel untuk membebaskan
ATP. Sebagian besar energi yang digunakan oleh otot untuk berkontraksi
jangka panjang yang berkesinambungan berasal dari sumber
ini (metabolisme oksidatif).
III. Alat dan Bahan
3.1 Alat
3.1.1 Alat bedah
3.1.2 Papan bedah
3.1.3 Kimograf
3.1.4 Jarum sonde
3.2 Bahan
3.2.1 Katak (Rana sp.) dan kodok (Bufo sp.) dewasa
3.2.2 Larutan ringer, dengan komposisi larutan ringer : NaCl 6,95 gram,
KCl 0,075 gram, CaCl2 0,1- 0,2 gram, NaHCO3 0,1-0,2 gram,
Glukosa 1 gram dalam 1000 ml air
IV. Prosedur Kerja
4.1 Persiapan objek dan instrumen
4.1.1 Mendekapitasi kodok dengan pisau bedah yang tajam dan setelah
kepalanya putus dilakukan perusakan sum-sum tulang dengan
jarum sonde agar tubuh katak menjadi lemas dan otot rangkanya
dapat diisolasi dengan mudah.
4.1.2 Membuka (digunting) kulit katak di bagian paha dan betis, Untuk
mengisolasi otot gastrocnemius.
4.1.3 Memisahkan otot gastrocnemius (hingga tendon achilles) bersama
pangkal femur dari bagian kaki katak lainnya.
4.1.4 Memasang otot pada bak spesimen dari kimograf ketika isolasi otot
gastrocnemius telah selesai dilakukan dan kimograf telah siap.
4.1.5 Mengikat tendon achilles dengan benang dan dihubungkan dengan
alat pengungkit otot.
4.1.6 Menjepit pangkal femur yang diisolasi bersama otot gastrocnemius
dijepit dengan menggunakan jarum agar benang penghubung
berada dalam keadaan tegang dan respons yang terjadi pada otot
akan dapat tercatat pada kimograf. Memberi larutan ringer Selama
isolasi dan peenggunaan otot.
4.2 Percobaan Kerja Otot
4.2.1 Respons otot terhadap rangsang tunggal dengan intensitas
berbeda
a. Mengatur jenis rangsang sebagai rangsang ”single”, tromol
dibuat berputar dengan kecepatan sedang (50 mm/det), dan
kemudian elektroda stimulator ditempatkan pada otot di
sekitar tendon achilles.
b. Menyalakan tromol dan merangsang otot dengan kuat
rangsang paling rendah (0 V) hingga kuat rangsang paling
tinggi (25 volt).
c. Berdasarkan grafik yang didapat, nilai kuat rangsang minimal,
submaksimal, dan maksimal dapat ditentukan.
4.2.2 Kontraksi tunggal otot rangka
a. Mengatur jenis rangsang juga sebagai rangsang ”single”,
tromol diatur agar berputar dengan kecepatan maksimum (625
mm/detik) dan kuat rangsang yang dipakai adalah kuat
rangsang submaksimal yang didapat dari percobaan
sebelumnya (pecobaan a).
b. Menandai titik awal dari jarum pencatat pada kertas berskala.
Setelah elektroda stimulator ditempatkan pada otot di sekitar
tendon achilles, tombol penyala tromol dan pemberi rangsang
ditekan secara bersamaan.
c. Berdasarkan grafik yang terbentuk, lamanya periode-periode
satu kali kontraksi otot (periode laten, kontraksi, dan relaksasi)
ditentukan.
4.2.3 Efek Perangsangan Dua Kali Berturut-turut
a. Mengatur jenis rangsang sebagai rangsang ”single”, tromol
diatur agar berputar dengan kecepatan sedang, dan kuat
rangsang yang dipakai adalah kuat rangsang submaksimal
seperti percobaan sebelumnya.
b. Pemberian rangsang dilakukan dengan dua kali penekanan
tombol stimulator.
c. Pada perlakuan pertama, permberian rangsang kedua
dilakukan segera setelah kontraksi pertama berlangsung
seluruhnya (beneficial effect of contraction).
d. Pada perlakuan kedua, pemberian rangsang kedua dilakukan
sebelum kontraksi pertama berlangsung seluruhnya
(summation of effect), dan pada perlakuan ketiga, pemberian
rangsang kedua dilakukan secepat mungkin setelah pemberian
rangsang pertama agar rangsang kedua jatuh pada periode
laten dari kontraksi pertama (summation of stimuli).
4.2.4 Efek Perangsangan Lebih Dari Dua Kali
a. Mengatur jenis rangsang sebagai rangsang ”multiple”.
b. Tromol diatur agar berputar sedang, dan kuat rangsang yang
dipakai adalah kuat rangsang submaksimal.
c. Frekuensi rangsang yang diberikan diatur dari frekuensi
lambat, sedang, cepat, hingga sangat cepat.
d. Hasil pencatatan pada kimograf diinterpretasikan.

V. Hasil dan Pembahasan


5.1 Hasil
Gambar Keterangan

Respon otot
terhadap
rangsangan
tunggal
dengan
intensitas
berbeda
Respon Otot Terhadap Rangsang
Tunggal dengan Intensitas Berbeda
0.6

0.4

0.2

0
0 5 10 20 25

Series 1

Kontraksi
tunggal otot
rangka

Efek
perangsangan
dua kali
berturut-turut
Efek
perangsangan
lebih dari dua
kali

5.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan dengan rangsangan single dan
kecepatan sedang (50 mm/det) didapatkan hasil bahwa rangsang yang
berada pada voltase 0 volt dan 5 volt memberikan respon yang sangat
sedikit sehingga tidak muncul goresan pada kertas grafik. Ini menunjukkan
bahwa kodok yang kami uji cobakan belum mengalami adanya rangsangan
yang mengalir, sehingga belum ada kontraksi otot dari kodok. Rangsangan
ini termasuk dalam kategori subliminal, karena rangsangan terkecil yang
diberikan belum ada satu motor unit yang bereaksi terhadap rangsangan
tersebut dalam bentuk kontraksi. Pada voltase 10 volt dengan kontraksi
0,3, merupakan saat pertama kali kodok memberikan respon berupa
kontraksi otot kepada rangsangan yang diberikan. Ini menandakan bahwa
satu unit saraf motorik pada kodok telah berkontraksi. Rangsangan ini
termasuk dalam kategori rangsangan liminal. Pada voltase 20 volt dengan
kontraksi 0,5 termasuk kedalam rangsangan submaksimal dan pada voltase
25 volt yang merupakan rangsangan maksimal yangb mengakibatkan
seluruh serabut saraf memberikan reaksi sehingga menyebabkan kontraksi
otot terbesar, namun hasil yang didapat tidak sesuai dengan teori yang ada,
yakni dengan voltase 25 volt, kontraksinya sebesar 0,4. Hal ini pastinya
dipengaruhi oleh kondisi dari otot gastrocnemius kodok yang sebelumnya
telah berkontraksi terlalu lama.
Pada pengamatan kedua menggunakan jenis rangsang single, kuat
rangsang submaksimal, dan kecepatan maksimal (625 mm/detik) serta
bertujuan untuk mengetahui panjang periode yang di alami pada otot
kodok (fase laten, fase kontraksi, dan fase relaksasi). Berdasarkan hasil
yang didapat menunjukkan bahwa otot gastrocnemius kodok mengalami 3
fase tersebut. Fase laten merupakan waktu mulai diberikan rangsangan
sampai terjadinya kontraksi, saat otot menerima rangsangan, permeabilitas
membran berubah sehingga terjadi periode laten dimana gerbang Na
membuka. Dimana otot menampung kekuatan untuk memulai suatu
kontraksi. Panjang fase laten ialah 0,4 mm, fase kontraksi adalah 0,3 mm,
dan fase relaksasi adalah 0,4 mm serta tinggi kontraksinya ialah 0,3 mm.
Pada pengamatan ketiga, mengenai efek rangsang dua kali berturut-
turut dengan menggunakan jenis rangsang single, kuat rangsang
submaksimal, dan tromol dengan kecepatan sedang. Pada perlakuan I
pemberian rangsang di lakukan setelah kontraksi pertama terjadi dan jarak
yang terbentuk antara kontraksi pertama dan kedua sejauh 2,2 cm. Pada
perlakuan kedua pemberian rangsang kedua diberikan sebelum kontraksi
pertama berlangsung sepenuhnya sehingga jarak kontraksi pertama dan
kedua sejauh 2 cm, sedangkan pada perlakuan ketiga perlakuan yang
diberikan pemberian rangsang kedua diberikan secepat mungkin yang
bertujuan agar pemberian rangsang kedua jatuh pada peride laten yang
menyebabkan jarak kontraksi pertama dan kedua sejauh 0,9 mm, namun
pada perlakuan ketiga ini terjadi sedikit perbedaan dimana gelombang
kedua terbentuk dengan posisi yang hampir berdekatan namun dengan
tinggi gelombang yang berbeda.
Pada gambar keempat yakni mengamati mengenai efek perangsang
lebih dari dua kali, hal ini bertujuan untuk mengetahui kontraksi yang
terjadi pada otot ketika diberikan kuat rangsang submaksimal, kecepatan
tromol yang sedang serta frekuensi rangsang yang berbeda-beda.
Berdasarkan gambar yang didapat, menunjukkan bahwa kontraksi otot
yang paling tinggi terjadi pada frekuensi rangsang yang sedang, sedangkan
kontraksi otot terendah terjadi pada frekunsi rangsang yang lambat. Ini
menunjukkan bahwa tinggi rendahnya kontraksi otot gastrocnemius yang
terjadi pada kodok dipengaruhi oleh frekuensi rangsang yang diberikan.
VI. Jawaban Pertanyaan
1. Pengaruh jenis rangsangan terhadap aktivitas otot yaitu otot berkontraksi
disebabkan oleh pengaruh dari suatu rangsangan melalui saraf.
Rangsangan yang tiba ke sel otot akan memengaruhi suatu zat (asetilkolin)
dimana zat ini peka terhadap rangsangan. Asetil kolin merupakan zat
pemindah rangsangan yang dihasilkan pada bagian ujung saraf. Adanya
asetil kolin ini akan membebaskan ion kalsium (Ca2+) yang berada di sel
otot. Melalui proses tertentu, adanya ion kalsium menyebabkan protein
otot, yaitu aktin dan myosin berikatan membentuk aktomiosin. Hal ini
menyebabkan pemendekan sel otot sehingga terjadilah kontraksi.
Sehingga dapat dikatakan bahwa sangat besar pengaruh jenis rangsangan
tersebut terhadap aktivitas otot.
2. Apabila menggunakan jenis otot yang berbeda maka tidak akan
menimbulkan efek yang sama. Hal ini disebabkan hanya pada otot yang
berfungsi sebagai penggerak atau otot yang sangat berperan penting
terhadap tubuh yang dapat memberikan efek seperti yang diinginkan,
sebab pada otot mempunyai saraf yang juga berperan dalam otot-otot
tersebut. Otot gastrocnemius ini juga memiliki karakteristik yang khas
seperti :
 Kontraktilitas; kemampuan untuk memendek karena adanya gaya,
 Eksitabilitas; kapasitas otot untuk merespons sebuah rangsang,
 Ekstensibilitas; kemampuan otot untuk memanjang,
 Elastisitas; kemampuan otot untuk kembali ke panjang normal
setelah mengalami pemanjangan. Jadi tidak semua jenis otot
menimbulkan efek yang sama.

VII. Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diulas, dapat disimpulkan bahwa pada
voltase 0 volt dan 10 volt merupakan rangsangan subliminal, kontraksi otot
tertinggi pada rangsangan submaksimal yakni 20 volt dengan kontraksi 0,5.
Rangsangan maskimal yang seharusnya memiliki kontraksi otot tertinggi lebih
rendah dari rangsangan submaksimal karena dipengaruhi oleh kondisi dari otot
gastrocnemius kodok itu sendiri. Otot gastrocnemis kodok mengalami 3 fase
yakni fase laten dengan panjang 0,4 mm, fase kontraksi 0,3 mm, fase relaksasi
0,4 mm serta tinggi kontraksi mencapai 0,3 mm. Perlakuan I pada pengamatan
ketiga terdapat jarak antar kontraksi yakni 2,2 cm, perlakuan II jarak antar
kontraksi yakni 2 cm, perlakuan III jarak antar kontraksi adalah 0,9 mm.
Kontraksi otot paling tinggi terjadi pada frekuensi rangsang yang sedang, dan
yang paling rendah ialah frekuensi rangsang yang lambat.

DAFTAR PUSTAKA

Ganong, W.F. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Buku Kedokteran
EGC
Guyton. 1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC
Riawan, I Made Oka., Desak Made Citrawathi., I. Made Sutajaya. 2016. Penuntun
Praktikum Fisiologi Hewan. Singaraja: Undiksha.
Slonane, E. 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai