Anda di halaman 1dari 5

Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) atau Badan Permusyawaratan Federal adalah lembaga

yang dibentuk oleh Belanda dimasa perang kemerdakaan, untuk mengatur negara-negara federal
yang mereke dirikan di Indonesia.

Jawaban panjang:

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Belanda berusaha merebut kembali wilayah jajahannya.
Mereka melakukan serangan ke wilayah Indonesia dan karena keunggulan persenjataan dan
teknologi, berhasil merebut banyak wilayah Indonesia.Setelah menguasai kembali wilayah-wilayah
ini, Belanda mendirikan negara-negara federal, seperti Negara Pasundan, Negara Indonesia Timur
dan Negara Sumatra Timur, dengan total sebanyak 15 negara federal.Untuk mengaturnya, Belanda
mengumpulkan negara-negara ini kedalam Republik Indonesia Serikat ini. Kemudian Belanda
mengumpulkan para pemimpin negara federal ini dalam suatu lembaga yang mereka sebut
Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO). Setiap negara federal diwakili satu orang perwakilan yang
memiliki satu suara dalam pengambilan keputusan. Karena kedekatan negara federal dengan
Belanda, negara federal ini disebut sebagai negara boneka oleh para pejuang, dan BFO dianggap
sebagai lembaga kolaborator yang menjadi kaki tangan Belanda.BFO bubar setelah pengakuan
kemerdekaan Indonesia oleh Belanda dalam konferensi Meja Bundar Den Haag pada Desember
1949.Republik Indonesia Serikat kemudian bergabung seluruhnya kembali ke Republik Indonesia
setelah negara federal bentukan Belanda ini satu persatu membubarkan diri dan memutuskan untuk
kembali menjadi negara kesatuan.

Simak lebih lanjut di Brainly.co.id - https://brainly.co.id/tugas/813733#readmore


Majelis Permusyawaratan Federal atau Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) adalah
sebuah komite yang didirikan oleh Belanda untuk mengelola Republik Indonesia Serikat (RIS)
selama Revolusi Nasional Indonesia (1945–1949). Komite ini terdiri dari 15 pemimpin negara
bagian dan daerah otonom di dalam RIS dengan masing-masing negara bagian memiliki satu
suara. Komite ini bertanggung jawab untuk mendirikan pemerintahan sementara pada tahun
1948 sebagaimana dirumuskan dalam Persetujuan Meja Bundar.[1] Sebagian besar perwakilan
BFO berasal dari luar Jawa dimana kehadiran Partai Republik lebih lemah dan dukungan untuk
negara-negara federal Belanda lebih kuat.[2]
Karena hubungannya dengan Belanda, BFO dianggap sebagai kolaborator oleh Republik
Indonesia yang tidak mempercayai sistem federal dan menganjurkan suatu negara
kesatuan Republik Indonesia.[3] Menyusul aksi politik Belanda yang kedua pada bulan Desember
1948, BFO mendukung resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa yang meminta
pemulihan pemerintah Republik di Yogyakarta sebelumnya untuk terlibat dalam Konferensi Meja
Bundar Belanda-Indonesia di Den Haag. Setelah pertemuan dengan pimpinan Republik yang
dipenjara di Pulau Bangka dan sebuah serangan balasan Republikan yang sukses di Yogyakarta
pada tanggal 3 Maret 1949, BFO menjadi semakin kecewa dengan kekejaman Belanda dan
menganjurkan masuknya orang-orang Republik dalam negosiasi dan sistem federal.[4]

Daftar isi

 1Sejarah
o 1.1Kampanye "Negara Boneka" Van Mook
o 1.2Persidangan
o 1.3Konferensi Meja Bundar dan Republik Indonesia Serikat
 2Keanggotaan
 3Lihat pula
 4Catatan kaki
 5Referensi

Sejarah[sunting | sunting sumber]


Kampanye "Negara Boneka" Van Mook[sunting | sunting sumber]

H.J.J van Mook

Pendirian Badan Permusyawaratan Federal (Bijeenkomst voor Federale Overleg disingkat BFO)
tidak lepas dari pembentukan negara federal di Indonesia. Rencana pembentukan negara
federasi di Indonesia awalnya dicetuskan oleh Letnan- Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van
Mook. Rencana tersebut mengharuskan van Mook mengubah ketatanegaraan di Indonesia.
Pengubahan ketatanegaraan mengalami hambatan karena di Indonesia telah berdiri Republik
Indonesia, sehingga Van Mook mengawali rencana membentuk negara federal dengan
menyebarluaskan federalisme di Indonesia pada konferensi yang berlangsung di Hooge Veluwe.
Konferensi tersebut gagal memperjuangkan federalisme di Indonesia karena bertentangan
dengan keinginan Belanda yang menginginkan RI juga masuk dalam persemakmuran di bawah
Belanda.[5]
Van Mook kembali mengadakan konferensi di Malino tanggal 15 Juli sampai 25 Juli 1946.
Konferensi tersebut menghasilkan keputusan bahwa peserta konferensi dengan suara bulat
menyetujui pengubahan ketatanegaraan di Indonesia menjadi federasi. Setelah konferensi
Malino, van Mook kembali mengadakan Konferensi Pangkal Pinang dan Konferensi Denpasar.
Konferensi tersebut menjadi langkah awal pembentukan negara federal di Indonesia, yaitu
membentuk Negara Indonesia Timur, sebagai negara bagian yang pertama didirikan. Setelah itu
Belanda berhasil membentuk negara-negara dan daerah otonom lainnya di Indonesia.

Konferensi Malino, 1946

Van Mook kembali mengadakan konferensi untuk mewujudkan rencananya membentuk Negara
Indonesia Serikat (NIS) di Indonesia. Konferensi diadakan di Bandung tanggal 27
Mei 1948 bertempat di Gedung Parlemen Negara Pasundan. Konferensi tersebut dihadiri oleh
wakil dari negara dan daerah otonom di Indonesia, yaitu Negara Indonesia Timur, Sumatra
Timur, Sumatra Selatan, Jawa Tengah, Pasundan, Jawa Timur, Borneo Timur, Borneo
Barat, Bandjar, Bangka, dan Riau. Pada konferensi federal van Mook mengajukan suatu
rancangan pemerintahan yang telah disusunnya, yaitu pembentukan Pemerintah Federal
Sementara atau Voorlopige Federale Regering (VFR). VFR rancangan van Mook merupakan
lembaga pemerintahan yang telah ada di Indonesia dan hanya berganti nama untuk
mendapatkan kembali simpati dari bangsa Indonesia.
Peserta konferensi kecewa karena van Mook tidak memberikan kesempatan untuk mengajukan
keberatan ataupun usul pengubahan rancangan VFR. Kekecewaan tersebut membuat Ide Anak
Agung Gde Agung dan R.T. Adil Puradiredja sepakat kembali mengadakan konferensi serupa
yang bertujuan membuat rancangan pemerintahan federal di Indonesia. Konferensi tersebut
diadakan di Bandung tanggal 7 Juli 1948 dan diberi nama konferensi satuan-satuan kenegaraan
atau konferensi kenegaraan (Staatkundige Enheden Conferentie). Konferensi kenegaraan lebih
dikenal sebagai Majelis Permusyawaratan Federal (Bijeenkomst voor Federale Overleg atau
BFO).

Persidangan[sunting | sunting sumber]


Anggota BFO memulai sidang pertamanya di Bandung pada 7 Juli 1948. Konferensi BFO
dihadiri oleh peserta konferensi federal 27 Mei. Tujuan konferensi BFO adalah mencari jalan
keluar dari situasi politik yang gawat akibat permasalahan antara RI dan Belanda dan
diharapkan konferensi dapat mencetuskan suatu rancangan pemerintahan yang jauh lebih baik
dari rancangan van Mook, apabila RI juga bersedia menjadi bagian dari pemerintahan federal
yang meliputi seluruh Indonesia.

Ide Anak Agung Gde Agungbersama Sultan Hamid II dari Pontianak

BFO kembali melanjutkan konferensi selama tiga hari mulai tanggal 15 Juli sampai 18 Juli 1948.
Pada konferensi tiga hari tersebut, BFO membicarakan rancangan pemerintah peralihan yang
dinamai Pemerintah Federal Interim (Federale Interim Regering atau FIR). Pembicaraan
tersebut berkaitan dengan ikut sertanya RI dalam susunan FIR. Apabila RI tidak berkenan maka
FIR tetap akan dibentuk untuk menyiapkan sebuah negara serikat yang terdiri dari orang-orang
Indonesia saja. Setelah terbentuknya FIR akan diadakan sebuah perundingan kembali untuk
mengupayakan RI menjadi bagian dari FIR.
BFO mengumumkan resolusinya pada konferensi pers tanggal 27 Juli 1948 di Gedung Indonesia
Serikat Jl. Pejambon No.6 Jakarta. Resolusi BFO berisi enam dasar yang digunakan dalam
memutuskan 26 butir pasal. Resolusi pertama BFO berisikan tentang konsep pemerintahan yang
berbentuk federal dan terdiri dari direktorium, beranggotakan sekurang-kurangnya tiga orang dari
Indonesia. Resolusi tersebut juga telah mencakup penentuan wakil negara federal dan daerah
otonom di Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan jumlah penduduk. Golongan minoritas juga
mendapatkan hak untuk memiliki perwakilan di dewan perwakilan.
Tanggal 21 Januari 1949 dilakukan pertemuan antara delegasi BFO, Mr. Djumhana dan dr.
Ateng dengan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk membahas
rencana pembicaraan antara wakil Republiken dan Belanda. Delegasi Republik Mohammad
Roem menyatakan bahwa RI bersedia berunding dengan BFO jika diawasi oleh Komisi
PBB. Pertemuan RI-Belanda-BFO kemudian dilakukan di Hotel Des Indes, Jakarta pada
tanggal 14 April 1949. Hasil pertemuan ini diantaranya angkatan bersenjata Indonesia akan
menghentikan semua aktivitas gerilya, Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri
Konferensi Meja Bundar, Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta, dan
Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan
semua tawanan perang.
Sebagai tindak lanjut dari pertemuan ini, pada 22 Juni 1949 kembali diadakan perundingan
antara RI, BFO dan Belanda. Pertemuan ini menghasilkan keputusan bahwa kedaulatan akan
diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian Renville pada
1948, Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan
persamaan hak serta Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban
kepada Indonesia.

Konferensi Meja Bundar dan Republik Indonesia


Serikat[sunting | sunting sumber]

Konferensi Inter-Indonesia

Sebelum melangkah ke forum internasional, wakil-wakil RI berunding dua kali dengan wakil-wakil
BFO dalam Konferensi Inter-Indonesia di Yogyakarta (22 Juli 1949), dan Jakarta (1
Agustus 1949).[6] Mereka sepakat mengenai aspek-aspek terpenting dalam usaha menciptakan
suatu sistem politik baru. Perundingan itu kemudian dilanjutkan ke Konferensi Meja
Bundar (KMB) di Den Haag.[7]

Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda

KMB digelar pada 23 Agustus 1949, ketika itu delegasi Indonesia dipimpin oleh Mohammad
Hatta, sementara delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II. Pada konferensi tersebut,
dibentuk komisi-komisi yang membahas berbagai aspek dalam rangka serah terima dari Belanda
pada Republik Indonesia Serikat, serta persiapan pembentukan Uni Indonesia Belanda. KMB
berakhir pada 2 November 1949 dengan terbentuknya negara Republik Indonesia Serikat.
Pada tanggal 14 November 1949 di Jakarta, wakil dari semua anggota BFO dan pemerintah
Indonesia menandatangani Konstitusi Republik Indonesia Serikat. Selain menunjuk wakil-wakil
untuk duduk di Senat Republik Indonesia Serikat, BFO juga menunjuk wakil-wakilnya untuk
duduk di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Serikat (DPR RIS).
Keanggotaan[sunting | sunting sumber]
BFO terdiri atas pimpinan 15 negara bagian bentukan Belanda, yang memiliki populasi antara
100,000 hingga 11 juta jiwa.[8]

Republik Indonesia Serikat. Negara konstituen Republik Indonesia ditunjukkan dengan warna merah.
Negara Indonesia Timur ditunjukkan dengan warna emas. Konstituen lainnya digambarkan dengan warna
biru. Daerah otonom ditunjukkan dengan warna putih.

Negara Bagian

 Negara Indonesia Timur


 Jawa Timur
 Sumatra Timur
 Madoera
 Pasundan (Jawa Barat)
 Sumatra Selatan
Negara Otonom

 Bandjar
 Banka
 Billiton
 Jawa Tengah
 Borneo Timur (tidak termasuk bekas wilayah Kerajaan Pasir)
 Groot Dajak (Dajak Besar)
 Riouw
 Federasi Kalimantan Tenggara
 Borneo Barat (Wilayah khusus)
Sejak awal pembentukan BFO terdapat tokoh-tokoh yang dominan dalam setiap rapat yang
diadakan BFO. Tokoh tersebut adalah Anak Agung Gde Agung (Negara Indonesia Timur), R.T
Adil Puradiredja (Pasundan), Sultan Hamid II (Borneo Barat), dan T. Mansoer (Sumatra Timur).
Masing-masing tokoh memanfaatkan setiap kesempatan dalam BFO untuk mempengaruhi
anggota lainnya agar mendukung usaha dan pemikirannya. Anak Agung dan Adil Puradiredja
berusaha agar BFO mendekati RI, sedangkan Sultan Hamid II dan T. Mansoer berusaha agar
BFO tetap mengikuti rencana Belanda.

Anda mungkin juga menyukai