Anda di halaman 1dari 2

Hafiz Alfairuz / XII IPA 4 / 13

BFO (Bijeenkomst voor Federale Overleg)

A. Latar belakang
Berdirinya BFO atau Majelis Permusyawaratan Federal ini didasari oleh adanya
pembentukan negeri federasi di Indonesia. Pejabat Gubernur Jenderal Hindia Belanda,
Van Mook, berencana membentuk negara federasi di Indonesia yang mengharuskan
dirinya mengubah ketatanegaraan di Indonesia. Namun rencana untuk mengubah
ketatanegaraan ini mengalami kendala karena di Indonesia telah berdiri Republik
Indonesia. Van Mook kemudian mengawali rencana pembentukan negara federal
melalui sebuah konferensi yang digunakan untuk menyebarluaskan federalisme di
Indonesia. Tetapi rencana Van Mook kembali gagal karena hal tersebut bertentangan
dengan keinginan Belanda yang juga ingin RI masuk dalam persemakmuran di bawah
Belanda. Van Mook menggelar konferensi di Malino pada 15 Juli sampai 25 Juli 1946
dan menghasilkan keputusan bahwa peserta konferensi menyetujui pengubahan
ketatanegaraan di Indonesia menjadi federasi. Setelah Konferensi Malino, Van Mook
juga mengadakan konferensi Pangkal Pinang dan Denpasar. Konferensi tersebut
menjadi pemicu awal pembentukan negara federal di Indonesia, yaitu Negara
Indonesia Timur, sebagai negara bagian yang pertama berdiri.

B. Fungsi
Fungsi dibentuknya BFO oleh Van Mook yaitu untuk mengelola Republik Indonesia
Serikat (RIS) selama Revolusi Nasional Indonesia (1945-1949). Komite ini
bertanggung jawab untuk membentuk pemerintahan sementara pada tahun 1948 dan
digunakan sebagai bentuk perwakilan negara-negara bagian yang sudah menjadi
negara sendiri di atas binaan Belanda.

C. Anggota
Sejak BFO berdiri, sudah terdapat tokoh-tokoh yang dominan dalam setiap rapat.
Mereka adalah:
1. Tengku Bahriun dari 7 Juli 1943 sampai 13 Januari 1949 (Ketua).
2. Sultan Hamid II dari 13 Januari 1949 sampai 17 Agustus 1950 (Ketua).
3. Anak Agung Gde Agung (Negara Indonesia Timur).
4. R.T. Adil Puradireja (Pasundan).
5. Sultan Hamid II (Borneo Barat).
6. T. Mansoer (Sumatera Timur).

Anak Agung Gde Agung dan Adil Puradireja bertugas untuk mendekatkan BFO
dengan RI, sedangkan Sultan Hamid II dan T. Mansoer berusaha agar BFO tetap
mengikuti rencana yang dibuat Belanda.

D. Negara bagian & negara otonom


1. Negara bagian : Negara Indonesia Timur, Jawa Timur, Sumatera Timur, Madura,
Pasundan (Jawa Barat), Sumatera Selatan.
2. Negara otonom : Banjar, Banka, Billiton, Jawa Tengah, Borneo Timur, Groot
Dajak (Dajak Besar), Riau Federasi Kalimantan Tenggara, Borneo Barat.

E. Persidangan
Para anggota BFO memulai sidang pertama mereka pada tanggal 7 Juli 1948 di
Bandung. 15 Juli sampai 18 Juli 1948 BFO kembali melakukan konferensi selama
tiga hari untuk membicarakan rancangan pemerintah peralihan yang disebut
Pemerintah Federal Interim (FIR). Perundingan tersebut membahas tentang ikut
sertanya RI dalam susunan FIR. Jika RI tidak bersedia, maka FIR akan tetap dibentuk
guna menyiapkan negara serikat yang terdiri dari orang-orang Indonesia saja. Begitu
FIR terbentuk akan kembali diadakan sebuah perundingan untuk mengupayakan RI
menjadi bagian dari FIR. 27 Juli 1948 BFO mengumukan resolusinya pada konferensi
pers di Gedung Indonesia Serikat, Jakarta. Resolusi tersebut berisikan enam dasar,
salah satunya yaitu berisi tentang konsep pemerintahan yang berbentuk federal dan
beranggotakan sekurang-kurangnya tiga orang Indonesia. 21 Januari 1949 Dilakukan
pertemuan delegasi antara BFO, Mr. Djumhana, dan dr. Ateng dengan Presiden
Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Pertemuan tersebut dilakukan untuk
membahas rencana pembicaraan antara wakil republiken dan Belanda. Delegasi
Republik Mohammad Roem mengatakan bahwa RI bersedia berunding dengan BFO
jika diawasi oleh pihak Komisi PBB. 14 April 1949 Pertemuan antara RI, Belanda,
dan BFO diselenggarakan di Hotel Des Indes, Jakarta. Hasil dari pertemuan ini adalah
: Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya,
Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar (KMB),
Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta, Serta Angkatan
bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan
semua tawanan perang. 22 Juni 1949 Kembali diadakan perundingan antara RI, BFO,
dan Belanda. Pertemuan tersebut menghasilkan keputusan, yaitu kedaulatan akan
diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat seperti pada Perjanjian
Renville 1948. Kemudian Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah
persekutuan atas dasar sukarela dan persamaan hak serta Hindia Belanda akan
menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai