Referat Gangguan Somatoform
Referat Gangguan Somatoform
GANGGUAN SOMATOFORM
Pembimbing :
Disusun Oleh :
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-
Somatoform”. Referat ini disusun untuk menambah ilmu pengetahuan dan untuk melengkapi
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu,
baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian referat ini. Penulis menyadari
masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format referat ini, oleh karena itu, penulis
menerima kritik dan saran dengan tangan terbuka terhadap referat yang penulis buat ini.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
2.2 Epidemiologi.......................................................................................... 1
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Gangguan somatoform merupakan kelompok penyakit yang luas dan memiliki tanda
serta gejala yang berkaitan dengan tubuh sebagai komponen utama. gangguan ini mencakup
interaksi pikiran dengan tubuh. Di dalam interaksi ini, dengan cara yang masih belum
diketahui, otak mengirimkan berbagai sinyal yang mempengaruhi kesadaran pasien dan
menunjukan adanya masalah yang serius di dalam tubuh. Di samping itu, perubahan ringan
neurokimia, neurofisiologi, dan neuroimunologi dapat terjadi akibat mekanisme otak atau jiwa
yang tidak diketahui yang menyebabkan penyakit.1
Seandainya pun ada gangguan fisik, maka gangguan tersebut tidak menjelaskan gejala
atau distress dan preokupasi yang dikemukakan oleh pasien. Selain itu, walaupun diketahui
bahwa terdapat asosiasi antara gejala-gejala yang dimiliki pasien dengan peristiwa kehidupan
yang tidak menyenangkan ataupun konflik, pasien biasanya menolak upaya-upaya untuk
membahas kemungkinan adanya penyebab psikologis. Gangguan somatoform sering kali
berkormornid dengan gejala-gejala kecemasan (anxietas) dan depresi yang nyata, baik fisik
maupun psikologis, yang dapat dicapai perihal kemungkinan penyebab gejala-gejalanya
seringkali mengecewakan dan menimbulkan frustasi pada kedua belah pihak, pasien dan
dokter. Sering kali, pasien dengan gangguan ini juga memiliki perilaku mencari perhatian atau
histrionic. Hal ini umumnya terjadi pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk
dokternya untuk menerima bahwa keluhan yang diutarakannya adalah benar penyakit fisik.
iv
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum:
Untuk memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti program studi kepaniteraan klinik
kesehatan jiwa di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta, serta untuk mengetahui dan memahami
dengan baik penjelasan mengenai gangguan somatoform berikut dengan subtipenya.
1.2.2 Tujuan Khusus:
1. Mengetahui jenis-jenis gangguan somatoform.
2. Mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, diagnosis, dan penatalaksanaan pada
gangguan somatoform.
1.3 Manfaat
Manfaat penulisan referat ini adalah untuk menambah wawasan teman sejawat mengenai
gangguan somatoform sehingga dapat melakukan pengobatan yang sesuai dengan kemampuan
sebagai dokter umum.
v
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Istilah somatoform berasal dari bahasa Yunani soma artinya tubuh. Gangguan
somatoform adalah kelompok penyakit yang luas dan memiliki tanda serta gejala yang
berkaitan dengan tubuh sebagai komponen utama. gangguan ini mencakup interaksi pikiran
dengan tubuh. Di dalam interaksi ini, dengan cara yang masih belum diketahui, otak
mengirimkan berbagai sinyal yang mempengaruhi kesadaran pasien dan menunjukan adanya
masalah yang serius di dalam tubuh. Di samping itu, perubahan ringan neurokimia,
neurofisiologi, dan neuroimunologi dapat terjadi akibat mekanisme otak atau jiwa yang tidak
diketahui yang menyebabkan penyakit.
Tidak adanya saling pengertian antara dokter dan pasien mengenai kemungkinan
penyebab keluhan-keluhannya menimbulkan frustasi dan kekecewaan pada kedua belah
pihak.2
2.2 Epidemiologi
Somatisasi adalah gangguan yang kerap ditemukan. Prevalensi gangguan somatisasi
dalam populasi umum lebih banyak ditemukan pada wanita daripada pria, yaitu diperkirakan
sebanyak 0,2 sampai 2 persen pada wanita, dan <0,2 persen pada pria, dengan perbandingan
5:1. Prevalensi somatisasi subklinis mencapai 100 kali lebih besar.3 Onset dari gangguan
somatisasi adalah sebelum usia 30 tahun dan berawal mula pada masa remaja. Semetara itu,
pada gangguan konversi, rasio perempuan dibanding laki-laki adalah 2 berbanding 1, dengan
onset yang dapat terjadi kapan pun, baik pada usia kanak-kanak hingga usia tua.3 Laki-laki
yang memiliki gangguan konversi sering pernah mengalami kecelakaan kerja atau militer.
Selain itu, data menunjukan bahwa gangguan konversi adalah gangguan yang paling lazim di
antara populasi pedesaan, orang dengan sedikit edukasi, orang dengan IQ rendah, orang dengan
kelompok sosioekonomik rendah dan anggota militer yang telah terpajan situasi perang.
Gangguan konnversi lazim dikaitkan dengan diagnosis komorbid gangguan depresif berat,
gangguan ansietas, dan skizofrenia.1
Hingga saat ini, belum banyak terdapat data bagi pasien dengan gangguan dismorfik
tubuh karena minimnya jumlah pasien yang mengunjungi psikiater dalam menangani
gangguan ini. para pasien umumnya lebih cenderung mengunjungi dermatologis, internis,
ataupun ahli bedah plastik. Walaupun demikian, suatu penelitian menyatakan 90% pasien
1
dengan gangguan ini pernah mengalami satu episode depresi berat dalam hidupnya, 70%
mengalami gangguan cemas, dan 30% mengalami ganngguan psikotik.
2.3 Etiologi
Faktor etiologi dari gangguan somatisasi masih belum diketahui. Tidak terdapat penyebab
tunggal dari gangguan somatisasi, sebagaimana sebagian besar kasus psikiatri lainnya,
gangguan ini merupakan hasil akhir dari interaksi faktor genetik dengan berbagai peristiwa di
kehidupan individu. Teori terkini mengenai etiologi gangguan somatisasi dibagi 3, yaitu
psikososial, organic, dan genetik.4
1. Faktor Psikososial
Gejala somatik merupakan bentuk pertahanan psikologi terhadap instabilitas mental.
Pada somatisasi, serangan terhadap mental seseorang menghasilkan kecemasan yang
memobilisasi pertahanan somatik, di mana terdapat perubahan dari “sakit psikologis” menjadi
“sakit fisik”. Gejala somatik yang timbul merupakan komunikasi sosial seseorang untuk
menghindari kewajiban (cnt : melakukan pekerjaan yang tidak disukai), mengekspresikan
emosi (cnt: kemarahan terhadap saudara), atau untuk simbolisasi perasaan atau kepercayaan
(cnt : nyeri perut).
Pengalaman “sakit” merupakan faktor penting dari somatisasi. Anak yang menjumpai
orang tua atau saudara yang sakit (terutama penyakit kronis atau berat) dapat mengalami
gangguan somatoform ketika dewasa. Etnik, pendidikan, dan gender juga merupakan faktor
sosial yang relevan terhadap somatisasi. Terdapat korelasi tinggi antara somatisasi dan etnik,
kelas sosial rendah dengan tingkat edukasi minimal, dan jenis kelamin wanita. Selain itu, jenis
kepribadian juga diduga mempengaruhi gangguan somatisasi. Pasien gangguan somatisasi
yang memiliki ciri kepribadian kelompok B (dependen, histrionic, agresif-sensitif) tampak
sejumlah 2 kali lipat dari pasien dengan anxietas atau depresi.
2. Faktor Organik
Beberapa penelitian menunjukkan dasar neuropsikologi pada gangguan somatisasi.
Beberapa studi mengaitkan antara gangguan somatisasi dengan patologi otak, seperti epilepsy
dan multiple sclerosis, namun asosiasi ini ditemukan hanya pada 3% pasien. Diduga juga
bahwa disfungsi atensi dan kognitif yang berhubungan dengan inhibisi stimulasi aferen
terdapat pada pasien (terutama pada lobus frontalis dan hemisphere yang tidak dominan),
menghasilkan persepsi yang tidak tepat dan kesalahan penilaian input somatosensoris.
2
Ditemukan hubungan antara somatisasi dan peningkatan level kortisol 24 jam (rangsangan
psikologis),sebagaimana juga ditemukan terdapat asosiasi antara tekanan darah sistolik dengan
somatisasi.
3. Faktor Genetik.
Terdapat pola keturunan yaitu sebesar 10-20% insidens terjadi pada saudara
perempuan derajat pertama dari penderita gangguan somatisasi. Ditemukan bahwa saudara
lelaki pasien gangguan somatisasi memiliki peningkatan prevalensi alkoholisme dan
kepribadian antisosial. Beberapa penelitian pada populasi kembar menemukan bukti
komponen genetik, namun lainnya menghasilkan kesimpulan sebaliknya. Mai (2004)
menyimpulkan bahwa terdapat peran faktor genetik dalam gangguan somatisasi, namun
efeknya terbatas.
2.4 Patofisiologi
Sebenarnya patofisiologi dari gangguan somatoform masih belum diketahui dengan
jelas hingga saat ini. Namun, gangguan somatoform primer dapat diasosiasikan dengan
peningkatan rasa awas terhadap sensasi-sensasi tubuh yang normal. Peningkatan ini dapat
diikuti dengan bias kognitif dalam menginterpretasikan berbagai gejala fisik sebagai indikasi
penyakit medis. Pada penderita gangguan somatoform biasanya ditemukan juga gejala-gejala
otonom yang meningkat seperti takikardia dan hipermotilitas gaster. Peningkatan gejala
otonom tersebut adalah sebagai efek-efek fisiologis dari komponen-komponen noradrenergik
endogen. Sebagai tambahan, peningkatan gejala otonom dapat pula berujung pada rasa nyeri
akibat hiperaktivitas otot dan ketegangan otot seperti pada pasien dengan muscle tension
headache.
2.5 Klasifikasi
Revisi teks edisi keempat The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
(DSM-IV-TR) memasukan lima gangguan somatoform spesifik, yakni:
1. Gangguan somatisasi, ditandai dengan banyak keluhan fisik yang mengenai banyak
sistem organ.
2. Gangguan konversi, ditandai dengan satu atau dua keuhan neurologis.
3. Hipokondriasis, ditandai dengan lebih sedikit fokus gejala daripada keyakinan
pasien bahwa mereka memiliki suatu penyakit spesifik.
4. Gangguan dismorfik tubuh, ditandai dengan keyakinan yang salah atau persepsi
yang berlebihan bahwa suatu bagian tubuhnya cacat.
3
5. Gangguan nyeri, ditandai dengan gejala nyeri yang hanya disebabkan, atau secara
signifikan diperberat faktor psikologis.
Adapula dua diagnostik sisa untuk gangguan somatoform yakni gangguan somatoform
tidak terinci, mencakup gangguan somatoform yang tidak dapat dijelaskan, telah ada selama 6
bulan atau lebih. Serta gangguan somatoform yang tidak tergolongkan, merupakan kategori
untuk keadaan yang tidak memenuhi diagnosis gangguan somatoform yang disebutkan diatas.
2.5.1.1 Etiologi
Faktor Psikososial
Formulasi psikososial melibatkan interpretasi gejala sebagai komunikasi sosial,
akibatnya adalah menghindari kewajiban, mengekspresikan emosi, atau menyimbolkan
suatu perasaan atau keyakinan.
Faktor Biologis dan Genetik
Data genetik mengindikasikan adanya transmisi genetik pada gangguan somatisasi
dengan prevalensi 10-20% pada perempuan turunan pertama, sedangkan saudara laki-
lakinya cenderung terlibat penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian antisosial.
Prevalensi pada kembar monozigot adalah 29% dan pada kembar dizigot 10%.
Pasien dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan somatik dan riwayat medis yang
rumit dan panjang, yakni:
4
Amnesia
Komplikasi kehamilan dan menstruasi
2.5.1.3 Diagnosis
A. Riwayat banyak keluhan fisik dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama suatu
periode beberapa tahun dan menyebabkan pencarian terapi atau hendaya fungsi sosial,
pekerjaan, atau area fungsi penting lain yang signifikan.
B. Masing-masing krtteria berikut ini harus dipenuhi, dengan setiap gejala terjadi pada
waktu kapanpun selama perjalanan gangguan:
(1) empat gejala nyeri: riwayat nyeri yang berkaitan dengan sedikitnya empat
fungsi yang berbeda, contoh: kepala, abdomen, punggung, sendi, ekstrimitas,
dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan seksual atau selama
berkemih.
5
(2) dua gejala gastrointestinal: riwayat sedikitnya dua gejala gastrointestinal selain
nyeri, contoh: mual, muntah selain hamil, kembung, diare, atau intolerasi
terhadap beberapa makanan yang berbeda.
(3) satu gejala seksual: riwayat sedikitnya satu gejala seksual atau reproduksi
selain nyeri, contoh: ketidakpedulian terhadap seks, disfungsi ereksi atau
ejakulasi, menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah
sepanjang hamil.
(4) satu gejala pseudoneurologis: riwayat sedikitnya satu gejala atau defisit yang
mengesankan keadaan neurologis tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi
seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis, atau kelemahan
lokal, kesulitan menelan atau benjolan di tenggorok, afonia, retensi urin,
halusinasi, hilangnya sensasi raba atau nyeri, penglihatan ganda, buta, tuli,
kejang, gejala disosiatif seperti amnesia, atau hilang kesadaran selain pingsan.
C. Baik (1) atau (2):
(1) Setelah penelitian yang sesuai, setiap gejala kriteria B tidak dapat dijelaskan
secara utuh dengan keadaan medis umum yang diketahui atau efek langsung
suatu zat (penyalahgunaan obat, pengobatan)
(2) Jika terdapat keadaan medis umum, keluhan fisik, atau hendaya sosial atau
pekerjaan yang diakibatkan jauh melebihi yang diperkirakan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium
D. Gejala dihasilkan tanpa disengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau
malingering).
Gangguan somatisasi adalah gangguan yang bersifat kronis dan sering membuat tak
berdaya. Menurut definisi, gejala harus dimulai sebelum usia 30 tahun dan harus ada selama
beberapa tahun. Episode meningkatnya keparahan gejala dan timbulnya gejala yang baru
dianggap bertahan selama 6 hingga 9 bulan dan dipisahkan periode yang tidak terlalu
simtomatik selama 9 hingga 12 bulan. Meskipun demikian, pasien dengan gangguan somatisasi
jarang selama lebih dari satu tahun tidak mencari perhatian medis. Sering terdapat hubungan
antara periode meningkatnya stres dan memberatnya gejala somatik
6
2.5.1.5 Terapi
Terapi psikofarmaka dapat diberian apabila terdapat gangguan lain seperti gangguan
cemas dan depresi. Namun pemberian psikofarmaka harus disertai dengan pengawasan ketat
terhadap pemberian obat sebab pasien dengan gangguan somatisasi cenderung menggunakan
obat-obatan secara irrasional, berganti-ganti dan tidak dapat dipercaya.
Gangguan konversi adalah gangguan fungsi tubuh yang tidak sesuai dengan konsep
terkini mengenai anatomi dan fisiologi sistem saraf pusat ataupun perifer. Gangguan ini secara
khas terdapat saat stress dan menimbulkan disfungsi yang cukup bermakna.
7
2.5.2.1 Etiologi
Faktor Psikoanalitik
Gangguan konversi disebabkann oleh represi konflik intrapsikik yang tidak
disadari dan konversi kecemasan menjadi suatu gejala fisik. Konflik tersebut adalah
antara impuls berdasarkan insting dan larangan pengungkapan ekspresi. Gangguan
konversi memiliki hubungan simbolik dengan konflik yang tidak disadari. Gejala
konversi juga memungkinkan pasien menyampaikan bahwa mereka membutuhkan
perhaian dan perlakuan khusus. Gejala tersebut dapat berfungsi sebagai cara nonverbal
untuk mengendalikan atau memanipulasi orang lain.
Teori Pembelajaran
Gejala konversi dapat dilihat sebagai bagian dari perilaku yang dipelajari secara
klasik, gejala penyakit, yang dipelajari saat masa kanan-kanan, dikedepankan sebagai
cara beradaptasi dengan situasi yang tidak mungkin.
Faktor Biologis
Pemeriksaan pencitraan otak menunjukkan adanya hipermetabolisme pada
daerah hemisfer otak yang dominan dan hipermetabolisme pada daerah hemisfer yang
non dominan. Hal ini dapat mengganggu komunikasi antara kedua hemisfer orak dan
berujung pada gejala konversi. Rangsangan kortikal yang berlebih dapat
mengakibatkan timbulnya umpan balik negatif antara korteks dan formasi retikuler
batang otak sehingga menimbulkan gejala konversi. Sebaliknya, output kortikofugal
yang meningkat justru akan menghambat kesadaran pasien akan sensasi-sensasi yang
terjadi di tubuhnya. Tes neuropsikologis terkadang menunjukkan gangguan serebral
ringan pada daya ingat, kewaspadaan, afek, dan atensi di pasien dengan gangguan
konversi.
Paralilis, buta, dan mutisme adalah gejala gangguan konversi yang paling lazim
ditemukan. Gangguan konversi mungkin paling sering disertai dengan gangguan kepribadian
pasif-agresif, dependen, ansisosial, dan histrionik. Gejala gangguan depresif dan ansietas
sering dapat menyertai gejala gangguan konversi, dan pasien ini memiliki risiko bunuh diri.
Adapun gejala gangguan konversi adalah sebagai berikut:
8
Gejala Sensorik
Pada gangguan konversi, anestesia dan parastesia adalah gejala yang lazim
diemukan, terutama pada ekstremitas. Gejala ganguan konversi dapat melibatkan organ
indera khusus dan dapat menimbulkan tuli dan buta. Gejala ini dapat unilateral dan
bilateral, tetapi evaluasi neurologis menunjukkan jaras sensorik yang intak. Pada
kebutaan gangguan konversi contohnya pasien berjalan keliling tanpa menubruk atau
mencederai diri sendiri, pupilnya bereaksi terhadap cahaya, dan evoked potential
korteks normal.
Gejala Motorik
Gejala motorik meliputi gerakan abnormal gangguan berjalan, kelemahan, dan
paralisis. Tremor ritmis yang kasar, gerakan koreiform, “tic”, dan sentakan dapat ada.
Gerakan tersebut umumnya memburuk ketika orang memperhatikan mereka
Satu gangguan motorik yang lazim ditemukan lainnya adalah paralisis dan
paresis yang mengenai satu, dua, atau keempat ekstremitas, walaupun distribusi otot
yang terkena tidak sesuai dengan jaras saraf. Refleks tetap normal, pasien tidak
mengalami fasikulasi atau atrofi otot (kecuali setelah paralisis konversi yang
berlangsung lama), teuan elektromiografi normal.
Gejala Bangkitan
Kejang semu adalah gejala lain gangguan konversi, kejang konversi sulit untuk
dibedakan dengan kejang yang sesungguhnya, bahkan para klinisi dapat merasa sulit
dalam membedakannya. Sepetiga kejang semu pada pasien gangguan konversi juga
memiliki gangguan epileptik. Menggigit lidah, inkontinensia urin dan cedera setelah
jatuh dapat terjadi pada kejang semu walaupun gejala ini umumnya tidak ada. Refleks
pupil dan muntah tetap ada setelah kejang semu dan konsentrasi prolaktin pasien tidak
mengalami peningkatan setelah kejang.
Gambaran klinis lainnya:
o Keuntungan primer: pasien memperoleh keuntungan primer dengan
mempertahankan konflik internal di luar kesadarannya.
o Keuntungan sekunder: keuntungan nyata yang diperoleh pasien dengan menjadi
sakit, misalnya dibebaskan dari kewajiban kehidupan yang sulit, bimbingan
yang tak akan didapatkannya dalam situasi normal, dsb.
o La belle indifference: merupakan sikap angkuh yang tidak sesuai dengan gejala
serius yang dialaminya. Pasien tampak tak peduli dengan hendaya berat yang
9
dialaminya. Walaupun begitu, ada tidaknya la belle indifference bukan dasar
penelitian yang akurat untuk menegakkan gangguan konversi.
o Identifikasi: pasien secara tidak sadar meniru gejalanya dari seseorang yang
bermakna bagi dirinya seperti orangtua atau seseorang yang menjadi model bagi
pasien.
2.5.2.3 Diagnosis
A. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mempengaruhi fungsi sensorik atau motorik
volunter yang mengesankan adanya keadaan neurologis atau keadaan medis umum lain.
B. Faktor psikologis dinilai terkait dengan keadaan gejala maupun defisit karena awal atau
perburukan gejala atau defisit didahului konflik atau stresor lain.
C. Gejala atau defisit ditimbulkan tanpa disengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan
buatan atau malingering)
D. Setelah pemeriksaan yang sesuai, gejala atau defisit tidak dapat benar-benar dijelaskan
oleh keadaan medis umum atau oleh efek langsung suatu zat, maupun sebagai perilaku
atau pengalaman yang disetujui budaya.
E. Gejala atau defisit menyebabkan distress yang bermakna secara klinis atau hendaya
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau area penting lain, atau memerlukan evaluasi medis.
F. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak hanya terjadi
selama perjalanan gangguan somatisasi, dan sebaiknya tidak disebabkan gangguan jiwa
lain.
Gejala awal pada sebagian besar pasien dengan gangguan konversi mungkin 90-100%
membaik dalam beberapa hari atau kurang dari satu bulan. Terkait dengan prognosis yang baik
10
adalah awitan mendadak, stresor mudah diidentifikasi, penyesuaian pramorbid baik, tidak ada
gangguan medis atau psikiatri komorbid, dan tidak sedang menjalani proses hukum. Semakin
lama gangguan konversi ada maka prognosisnya lebih buruk. Pada sebagian pasien dengan
gangguan konversi, yakni 25 hingga 50 persen pasien akan mengalami gangguan neurologis
atau keadaan medis nonpsikiatri yang mengenai sistem saraf, oleh karena itu pasien dengan
gangguan konversi harus telah menjalani evaluasi lengkap neurologis dan medis pada saat
diagnosis.
2.5.2.5 Terapi
2.5.3 Hipokondriasis
2.5.3.1 Etiologi
Pasien hipokondriasis memiliki skema kognitif yang salah yang menyebabkan mereka
salah menginterpretasikan sensasi fisik. Pasien menambah dan memperbesar sensasi somatik
yang dialaminya karena rasa tidak nyaman secara fisik dan memiliki ambang toleransi yang
rendah.
11
agresivitas dan permusuhan yang ditujukan kepada orang lain dipindahkan ke dalam gangguan-
gangguan somatik, seperti kemarahan, ketidakpuasan, atau penolakan dan kehilangan di masa
lalu. Hipokondriasis juga dipandang sebagai pertahanan terhadap rasa bersalah, tanda dari
kepedulian berlebihan terhadap diri sendiri, ataupun sebagai hukuman di masa lalu dari
perasaan bahwa dirinya jahat serta berdosa.
Pasien dengan hipokondriasis yakin kalau mereka mengalami penyakit yang berat yang
belum terdeteksi dan mereka tidak dapat dibujuk untuk berpikir sebaliknya. Mereka dapat
mempertahankan keyakinan bahwa mereka mengalami penyakit tertentu, seiring dengan
berjalannya waktu, mereka dapat mengubah keyakinan pada penyakit lain. Pendirian mereka
bertahan walaupun hasil laboratorium negatif. Hipokondriasis ssering disertai dengan gejala
depresi dan ansietas.
Walaupun DSM-IV-TR merinci bahwa gejala harus ada sedikitnya 6 bulan, keadaan
hipokondriasis singkat dapat terjadi setelah adanya stress berat, paling sering adalah kematian
atau penyakit berat seseorang yang penting bagi pasien. Pada keadaan tersebut harus
didiagnosis sebagai gangguan somatoform yang tidak tergolongkan. Adapun respons tersebut
umumnya akan hilang ketika stressnya hilang.
2.5.3.3 Diagnosis
a) Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang serius
yang melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yang berulang-ulang
tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai, ataupun adanya preokupasi yang
menetap kemungkinan deformitas atau perubahan bentuk penampakan fisiknya (tidak
sampai waham).
b) Tidak mau menerima nasihat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter bahwa
tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-keluhannya.
12
yang baik dikaitkan dengan status sosioekonomik yang tinggi, depresi atau ansietas yang
responsif terhadap terapi, awitan gejala yang mendadak, tidak adanya gangguan kepribadian
dan tidak adanya keadaan medis nonpsikiatri terkait.
2.5.3.5 Terapi
Pasien dengan gangguan dismorfik tubuh memiliki perasaan subjektif yang pervasif
mengenai keburukan beberapa aspek penampilan walaupun penampilan mereka normal atau
hampir normal. Inti gangguan ini adalah keyakinan atau ketakutan seseorang yang amat kuat
bahwa dirinya tidak menarik atau bahkan menjijikan. Rasa takut ini tetap ada walaupun
penderita gangguan dismorfik tubuh mendapatkan pujian atau penentraman.
2.5.4.1 Etiologi
Etiologi dari gangguan ini tidak diketahui, tapi diyakini berasosiasi dengan gangguan
depresi. Selain itu, konsep stereotipik tentang kecantikan atau keindahan yang dianut dalam
keluarga atau budaya tertentu akan berpengaruh besar pada pasien dengan gangguan tubuh
dismorfik.
13
2.4.5.3 Diagnosis
2.4.5.5 Terapi
Obat trisiklik seperti monoamne oxidase inhibitors dan pimozide dapat berguna untuk
beberapa kasus gangguan dismorfik tubuh. Pasien kerap kali melakukan prosedur bedah,
dermatologis. dental, ataupun prosedur medis lain tetapi hampir selalu tidak berhasil. Pada 50%
pasien menunjukkan pengurangan gejala dengan penggunaan obat clomipramine (Anafranil)
dan fluoxetin (Prozac).
Gangguan nyeri merupakan keluhan utama yang menjadi fokus perhatian klinis. Nyeri
dapat terjadi pada lebih dari satu tempat dan tidak dapat dimasukkan secara penuh sebagai
kondisi medis nonpsikiatrik maupun neurologik. Gangguan ini berkaitan dengan penderitaan
emosional dan hambatan dalam fungsi kehidupan.
2.5.5.1 Etiologi
1. Faktor psikodinamik
Pasien secara tak sadar menganggap luka emosional sebagai suatu kelemahan dan
tidak diperbolehkan secara sosial sehingga memindahkan masalah pada
14
tubuhnya. Nyeri dapat berfungsi sebagai cara untuk memperoleh cinta, hukuman
terhadap kesalahan, dan menebus rasa bersalah atau perasaan bahwa dirinya
jahat.
2. Faktor perilaku
Perilaku nyeri diperkuat apabila dihargai dan dihambat apabila diabaikan atau
diberi hukuman.
3. Faktor interpersonal
Nyeri yang sulit diobati telah diketahui sebagai sarana untuk memanipulasi dan
memperoleh keuntungan dalam hubungan interpersonal
4. Faktor biologis
Defisiensi endorfin berhubungan dengan peningkatan stimulus sensorik yang
datang
2.5.5.3 Diagnosis
Berdasarkan DSM-IV-TR1
A. Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis adalah fokus dominan gambaran klinis dan
cukup parah sehingga memerlukan perhatian klinis
B. Nyeri menimbulkan distres yang secara klinis bermakna atau hendaya fungsi sosial,
pekerjaan, dan area fungsi penting lain
C. Faktor psikologis dinilai memiliki peranan penting dalam awitan, keparahan,
eksaserbasi, atau menetapnya nyeri
D. Gejala atau defisit tidak dibuat dengan sengaja atau dibuat-buat
15
E. Nyeri sebaiknya tidak disebabkan gangguan mood, ansietas, atau gangguan psikotik
dan tidak memenuhi kriteria diagnostik dispareunia
A. Keluhan utama adalah nyeri berat menyiksa dan menetap, yang tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun fisik
B. Nyeri timbul dalam hubungannya dengan adanya konflik emosional atau masalah
psikososial yang cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan dalam mempengaruhi adanya
gangguan tersebut
C. Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan baik personal maupun
medis untuk yang bersangkutan
Nyeri dimulai dengan tiba-tiba dan meningkat keparahannya untuk beberapa minggu
atau bulan. Prognosisnya bervariasi walaupun gangguan nyeri sering dapat bersifat kronik,
menimbulkan distres, dan benar-benar menimbulkan ketidakmampuan.
2.5.5.5 Terapi
Penggunaan obat analgesik umumnya tidak membantu, oleh karena itu perlu diberikan
antidepresan seperti trisiklik dan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI). Selain itu
penggunaan amfetamin sebagai analgesik menghasilkan keberhasilan pada beberapa pasien.
16
BAB III
KESIMPULAN
Gangguan somatoform merupakan kelompok penyakit yang luas dan memiliki tanda
serta gejala yang berkaitan dengan tubuh sebagai komponen utama. gangguan ini mencakup
interaksi pikiran dengan tubuh. Di dalam interaksi ini, dengan cara yang masih belum
diketahui, otak mengirimkan berbagai sinyal yang mempengaruhi kesadaran pasien dan
menunjukan adanya masalah yang serius di dalam tubuh. Di samping itu, perubahan ringan
neurokimia, neurofisiologi, dan neuroimunologi dapat terjadi akibat mekanisme otak atau jiwa
1. Gangguan somatisasi, ditandai oleh banyak keluhan fisik yang mengenai banyak
sistem organ.
3. Hipokondriasis, ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan dan pada
psikologis.
terfokus pada psikoterapi suportif dan pembinaan hubungan yang baik antar dokter dan
17
pasiennya. Akan tetapi psikofarmaka juga dapat dilaksanakan apabila terdapat gejala-gejala
18
DAFTAR PUSTAKA
1. Sadock, Benjamin dan Sadock, Virginia. 2017. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2 Bab
EGC. p268-280
2. Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan DSM-5.
19