Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

GANGGUAN SOMATOFORM

Pembimbing :

dr. Erwin Kusuma, SpKJ (K)

Disusun Oleh :

Bening Irhamna 1102013057

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN JIWA

RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN DARAT GATOT SOEBROTO

PERIODE 08 AGUSTUS – 09 SEPTEMBER 2017

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-

Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat yang berjudul “Gangguan

Somatoform”. Referat ini disusun untuk menambah ilmu pengetahuan dan untuk melengkapi

tugas Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Jiwa di RSPAD Gatot Soebroto.

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu,

baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian referat ini. Penulis menyadari

masih banyak kekurangan baik pada isi maupun format referat ini, oleh karena itu, penulis

menerima kritik dan saran dengan tangan terbuka terhadap referat yang penulis buat ini.

Jakarta, Agustus 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

KATA PENGANTAR ................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ...................................................................................... iv

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi .................................................................................................. 1

2.2 Epidemiologi.......................................................................................... 1

2.3 Etiologi .................................................................................................. 2

2.4 Patofisiologi ........................................................................................... 3

2.5 Klasifikasi .............................................................................................. 3

2.5.1 Gangguan Somatisasi.......................................................................... 4

2.5.2 Gangguan Konversi ............................................................................ 7

2.5.3 Hipokondriasis .................................................................................... 11

2.5.4 Gangguan Dismorfik Tubuh ............................................................... 13

2.5.5 Gangguan Nyeri .................................................................................. 14

BAB III KESIMPULAN ............................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gangguan somatoform merupakan kelompok penyakit yang luas dan memiliki tanda
serta gejala yang berkaitan dengan tubuh sebagai komponen utama. gangguan ini mencakup
interaksi pikiran dengan tubuh. Di dalam interaksi ini, dengan cara yang masih belum
diketahui, otak mengirimkan berbagai sinyal yang mempengaruhi kesadaran pasien dan
menunjukan adanya masalah yang serius di dalam tubuh. Di samping itu, perubahan ringan
neurokimia, neurofisiologi, dan neuroimunologi dapat terjadi akibat mekanisme otak atau jiwa
yang tidak diketahui yang menyebabkan penyakit.1

Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinis bahwa faktor


psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala.
Gangguan somatoform tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau gangguan buatan.

Seandainya pun ada gangguan fisik, maka gangguan tersebut tidak menjelaskan gejala
atau distress dan preokupasi yang dikemukakan oleh pasien. Selain itu, walaupun diketahui
bahwa terdapat asosiasi antara gejala-gejala yang dimiliki pasien dengan peristiwa kehidupan
yang tidak menyenangkan ataupun konflik, pasien biasanya menolak upaya-upaya untuk
membahas kemungkinan adanya penyebab psikologis. Gangguan somatoform sering kali
berkormornid dengan gejala-gejala kecemasan (anxietas) dan depresi yang nyata, baik fisik
maupun psikologis, yang dapat dicapai perihal kemungkinan penyebab gejala-gejalanya
seringkali mengecewakan dan menimbulkan frustasi pada kedua belah pihak, pasien dan
dokter. Sering kali, pasien dengan gangguan ini juga memiliki perilaku mencari perhatian atau
histrionic. Hal ini umumnya terjadi pada pasien yang kesal karena tidak berhasil membujuk
dokternya untuk menerima bahwa keluhan yang diutarakannya adalah benar penyakit fisik.

iv
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum:
Untuk memenuhi salah satu syarat dalam mengikuti program studi kepaniteraan klinik
kesehatan jiwa di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta, serta untuk mengetahui dan memahami
dengan baik penjelasan mengenai gangguan somatoform berikut dengan subtipenya.
1.2.2 Tujuan Khusus:
1. Mengetahui jenis-jenis gangguan somatoform.
2. Mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, diagnosis, dan penatalaksanaan pada
gangguan somatoform.
1.3 Manfaat
Manfaat penulisan referat ini adalah untuk menambah wawasan teman sejawat mengenai
gangguan somatoform sehingga dapat melakukan pengobatan yang sesuai dengan kemampuan
sebagai dokter umum.

v
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Istilah somatoform berasal dari bahasa Yunani soma artinya tubuh. Gangguan
somatoform adalah kelompok penyakit yang luas dan memiliki tanda serta gejala yang
berkaitan dengan tubuh sebagai komponen utama. gangguan ini mencakup interaksi pikiran
dengan tubuh. Di dalam interaksi ini, dengan cara yang masih belum diketahui, otak
mengirimkan berbagai sinyal yang mempengaruhi kesadaran pasien dan menunjukan adanya
masalah yang serius di dalam tubuh. Di samping itu, perubahan ringan neurokimia,
neurofisiologi, dan neuroimunologi dapat terjadi akibat mekanisme otak atau jiwa yang tidak
diketahui yang menyebabkan penyakit.
Tidak adanya saling pengertian antara dokter dan pasien mengenai kemungkinan
penyebab keluhan-keluhannya menimbulkan frustasi dan kekecewaan pada kedua belah
pihak.2
2.2 Epidemiologi
Somatisasi adalah gangguan yang kerap ditemukan. Prevalensi gangguan somatisasi
dalam populasi umum lebih banyak ditemukan pada wanita daripada pria, yaitu diperkirakan
sebanyak 0,2 sampai 2 persen pada wanita, dan <0,2 persen pada pria, dengan perbandingan
5:1. Prevalensi somatisasi subklinis mencapai 100 kali lebih besar.3 Onset dari gangguan
somatisasi adalah sebelum usia 30 tahun dan berawal mula pada masa remaja. Semetara itu,
pada gangguan konversi, rasio perempuan dibanding laki-laki adalah 2 berbanding 1, dengan
onset yang dapat terjadi kapan pun, baik pada usia kanak-kanak hingga usia tua.3 Laki-laki
yang memiliki gangguan konversi sering pernah mengalami kecelakaan kerja atau militer.
Selain itu, data menunjukan bahwa gangguan konversi adalah gangguan yang paling lazim di
antara populasi pedesaan, orang dengan sedikit edukasi, orang dengan IQ rendah, orang dengan
kelompok sosioekonomik rendah dan anggota militer yang telah terpajan situasi perang.
Gangguan konnversi lazim dikaitkan dengan diagnosis komorbid gangguan depresif berat,
gangguan ansietas, dan skizofrenia.1
Hingga saat ini, belum banyak terdapat data bagi pasien dengan gangguan dismorfik
tubuh karena minimnya jumlah pasien yang mengunjungi psikiater dalam menangani
gangguan ini. para pasien umumnya lebih cenderung mengunjungi dermatologis, internis,
ataupun ahli bedah plastik. Walaupun demikian, suatu penelitian menyatakan 90% pasien

1
dengan gangguan ini pernah mengalami satu episode depresi berat dalam hidupnya, 70%
mengalami gangguan cemas, dan 30% mengalami ganngguan psikotik.

2.3 Etiologi
Faktor etiologi dari gangguan somatisasi masih belum diketahui. Tidak terdapat penyebab
tunggal dari gangguan somatisasi, sebagaimana sebagian besar kasus psikiatri lainnya,
gangguan ini merupakan hasil akhir dari interaksi faktor genetik dengan berbagai peristiwa di
kehidupan individu. Teori terkini mengenai etiologi gangguan somatisasi dibagi 3, yaitu
psikososial, organic, dan genetik.4

1. Faktor Psikososial
Gejala somatik merupakan bentuk pertahanan psikologi terhadap instabilitas mental.
Pada somatisasi, serangan terhadap mental seseorang menghasilkan kecemasan yang
memobilisasi pertahanan somatik, di mana terdapat perubahan dari “sakit psikologis” menjadi
“sakit fisik”. Gejala somatik yang timbul merupakan komunikasi sosial seseorang untuk
menghindari kewajiban (cnt : melakukan pekerjaan yang tidak disukai), mengekspresikan
emosi (cnt: kemarahan terhadap saudara), atau untuk simbolisasi perasaan atau kepercayaan
(cnt : nyeri perut).

Pengalaman “sakit” merupakan faktor penting dari somatisasi. Anak yang menjumpai
orang tua atau saudara yang sakit (terutama penyakit kronis atau berat) dapat mengalami
gangguan somatoform ketika dewasa. Etnik, pendidikan, dan gender juga merupakan faktor
sosial yang relevan terhadap somatisasi. Terdapat korelasi tinggi antara somatisasi dan etnik,
kelas sosial rendah dengan tingkat edukasi minimal, dan jenis kelamin wanita. Selain itu, jenis
kepribadian juga diduga mempengaruhi gangguan somatisasi. Pasien gangguan somatisasi
yang memiliki ciri kepribadian kelompok B (dependen, histrionic, agresif-sensitif) tampak
sejumlah 2 kali lipat dari pasien dengan anxietas atau depresi.

2. Faktor Organik
Beberapa penelitian menunjukkan dasar neuropsikologi pada gangguan somatisasi.
Beberapa studi mengaitkan antara gangguan somatisasi dengan patologi otak, seperti epilepsy
dan multiple sclerosis, namun asosiasi ini ditemukan hanya pada 3% pasien. Diduga juga
bahwa disfungsi atensi dan kognitif yang berhubungan dengan inhibisi stimulasi aferen
terdapat pada pasien (terutama pada lobus frontalis dan hemisphere yang tidak dominan),
menghasilkan persepsi yang tidak tepat dan kesalahan penilaian input somatosensoris.

2
Ditemukan hubungan antara somatisasi dan peningkatan level kortisol 24 jam (rangsangan
psikologis),sebagaimana juga ditemukan terdapat asosiasi antara tekanan darah sistolik dengan
somatisasi.

3. Faktor Genetik.
Terdapat pola keturunan yaitu sebesar 10-20% insidens terjadi pada saudara
perempuan derajat pertama dari penderita gangguan somatisasi. Ditemukan bahwa saudara
lelaki pasien gangguan somatisasi memiliki peningkatan prevalensi alkoholisme dan
kepribadian antisosial. Beberapa penelitian pada populasi kembar menemukan bukti
komponen genetik, namun lainnya menghasilkan kesimpulan sebaliknya. Mai (2004)
menyimpulkan bahwa terdapat peran faktor genetik dalam gangguan somatisasi, namun
efeknya terbatas.

2.4 Patofisiologi
Sebenarnya patofisiologi dari gangguan somatoform masih belum diketahui dengan
jelas hingga saat ini. Namun, gangguan somatoform primer dapat diasosiasikan dengan
peningkatan rasa awas terhadap sensasi-sensasi tubuh yang normal. Peningkatan ini dapat
diikuti dengan bias kognitif dalam menginterpretasikan berbagai gejala fisik sebagai indikasi
penyakit medis. Pada penderita gangguan somatoform biasanya ditemukan juga gejala-gejala
otonom yang meningkat seperti takikardia dan hipermotilitas gaster. Peningkatan gejala
otonom tersebut adalah sebagai efek-efek fisiologis dari komponen-komponen noradrenergik
endogen. Sebagai tambahan, peningkatan gejala otonom dapat pula berujung pada rasa nyeri
akibat hiperaktivitas otot dan ketegangan otot seperti pada pasien dengan muscle tension
headache.
2.5 Klasifikasi
Revisi teks edisi keempat The Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
(DSM-IV-TR) memasukan lima gangguan somatoform spesifik, yakni:
1. Gangguan somatisasi, ditandai dengan banyak keluhan fisik yang mengenai banyak
sistem organ.
2. Gangguan konversi, ditandai dengan satu atau dua keuhan neurologis.
3. Hipokondriasis, ditandai dengan lebih sedikit fokus gejala daripada keyakinan
pasien bahwa mereka memiliki suatu penyakit spesifik.
4. Gangguan dismorfik tubuh, ditandai dengan keyakinan yang salah atau persepsi
yang berlebihan bahwa suatu bagian tubuhnya cacat.

3
5. Gangguan nyeri, ditandai dengan gejala nyeri yang hanya disebabkan, atau secara
signifikan diperberat faktor psikologis.
Adapula dua diagnostik sisa untuk gangguan somatoform yakni gangguan somatoform
tidak terinci, mencakup gangguan somatoform yang tidak dapat dijelaskan, telah ada selama 6
bulan atau lebih. Serta gangguan somatoform yang tidak tergolongkan, merupakan kategori
untuk keadaan yang tidak memenuhi diagnosis gangguan somatoform yang disebutkan diatas.

2.5.1 Gangguan Somatisasi1


Gangguan somatisasi ditandai dengan banyak gejala somatik yang tidak dapat
dijelaskan dengan adekuat berdasarkan pemeriksaan fisik dan laboratorium. Gangguan ini
biasanya dimulai sebelum usia 30 tahun, dapat berlanjut hingga tahunan, dan dikenali menurut
DSM-IV-TR sebagai kombinasi gejala nyeri, gastrointestinal, seksual, serta pseudoneurologis.
Gangguan ini bersifat kronis dan disertai penderitaan psikologis yang signifikan, hendaya
fungsi sosial dan pekerjaan, serta perilaku mencari bantuan medis yang berlebihan.

2.5.1.1 Etiologi

 Faktor Psikososial
Formulasi psikososial melibatkan interpretasi gejala sebagai komunikasi sosial,
akibatnya adalah menghindari kewajiban, mengekspresikan emosi, atau menyimbolkan
suatu perasaan atau keyakinan.
 Faktor Biologis dan Genetik
Data genetik mengindikasikan adanya transmisi genetik pada gangguan somatisasi
dengan prevalensi 10-20% pada perempuan turunan pertama, sedangkan saudara laki-
lakinya cenderung terlibat penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian antisosial.
Prevalensi pada kembar monozigot adalah 29% dan pada kembar dizigot 10%.

2.5.1.2 Manifestasi Klinis

Pasien dengan gangguan somatisasi memiliki banyak keluhan somatik dan riwayat medis yang
rumit dan panjang, yakni:

 Mual dan Muntah (selain selama kehamilan)


 Sulit menelan
 Nyeri lengan dan tungkai
 Napas pendek

4
 Amnesia
 Komplikasi kehamilan dan menstruasi

Gejala pseudoneurologis meliputi:

 Gangguan koordinasi dan keseimbangan


 Paralisis atau kelemahan lokal
 Kesulitan menelan atau benjolan di tenggorok
 Afonia
 Retensi Urin
 Halusinasi
 Hilangnya sensasi raba atau nyeri
 Penglihatan ganda
 Buta
 Tuli
 Kejang atau kehilangan kesadaran

2.5.1.3 Diagnosis

Diagnosis gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR mengharuskan awitan gejala sebelum


usia 30 tahun. Selama perjalanan gangguan, pasien harus memiliki keluhan sedikitnya empat
gejala nyeri, dua gejala gastrointestinal, satu gejala seksual, dan satu gejala pseudoneurologis,
yang seluruhnya tidak dapat dijelaskan dengan pemeriksaan fisik atau laboratorium. Berikut
kriteria gangguan somatisasi menurut DSM-IV-TR:

A. Riwayat banyak keluhan fisik dimulai sebelum usia 30 tahun yang terjadi selama suatu
periode beberapa tahun dan menyebabkan pencarian terapi atau hendaya fungsi sosial,
pekerjaan, atau area fungsi penting lain yang signifikan.
B. Masing-masing krtteria berikut ini harus dipenuhi, dengan setiap gejala terjadi pada
waktu kapanpun selama perjalanan gangguan:
(1) empat gejala nyeri: riwayat nyeri yang berkaitan dengan sedikitnya empat
fungsi yang berbeda, contoh: kepala, abdomen, punggung, sendi, ekstrimitas,
dada, rektum, selama menstruasi, selama hubungan seksual atau selama
berkemih.

5
(2) dua gejala gastrointestinal: riwayat sedikitnya dua gejala gastrointestinal selain
nyeri, contoh: mual, muntah selain hamil, kembung, diare, atau intolerasi
terhadap beberapa makanan yang berbeda.
(3) satu gejala seksual: riwayat sedikitnya satu gejala seksual atau reproduksi
selain nyeri, contoh: ketidakpedulian terhadap seks, disfungsi ereksi atau
ejakulasi, menstruasi tidak teratur, perdarahan menstruasi berlebihan, muntah
sepanjang hamil.
(4) satu gejala pseudoneurologis: riwayat sedikitnya satu gejala atau defisit yang
mengesankan keadaan neurologis tidak terbatas pada nyeri (gejala konversi
seperti gangguan koordinasi atau keseimbangan, paralisis, atau kelemahan
lokal, kesulitan menelan atau benjolan di tenggorok, afonia, retensi urin,
halusinasi, hilangnya sensasi raba atau nyeri, penglihatan ganda, buta, tuli,
kejang, gejala disosiatif seperti amnesia, atau hilang kesadaran selain pingsan.
C. Baik (1) atau (2):
(1) Setelah penelitian yang sesuai, setiap gejala kriteria B tidak dapat dijelaskan
secara utuh dengan keadaan medis umum yang diketahui atau efek langsung
suatu zat (penyalahgunaan obat, pengobatan)
(2) Jika terdapat keadaan medis umum, keluhan fisik, atau hendaya sosial atau
pekerjaan yang diakibatkan jauh melebihi yang diperkirakan dari anamnesis,
pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium
D. Gejala dihasilkan tanpa disengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau
malingering).

2.5.1.4 Perjalanan Gangguan dan Prognosis

Gangguan somatisasi adalah gangguan yang bersifat kronis dan sering membuat tak
berdaya. Menurut definisi, gejala harus dimulai sebelum usia 30 tahun dan harus ada selama
beberapa tahun. Episode meningkatnya keparahan gejala dan timbulnya gejala yang baru
dianggap bertahan selama 6 hingga 9 bulan dan dipisahkan periode yang tidak terlalu
simtomatik selama 9 hingga 12 bulan. Meskipun demikian, pasien dengan gangguan somatisasi
jarang selama lebih dari satu tahun tidak mencari perhatian medis. Sering terdapat hubungan
antara periode meningkatnya stres dan memberatnya gejala somatik

6
2.5.1.5 Terapi

Penanganan gangguan somatisasi sebaiknya dilakukan oleh seorang dokter saja.


Dilakukan pertemuan dokter dengan pasien. Pertemuan sebaiknya dilakukan secara reguler
yakni sekali sebulan dan dilakukan secara singkat. Pada saat pertemuan, walaupun akan selalu
ada kemungkinan bagi dokter untuk melakukan pemeriksaan fisik terhadap keluhan somatik
baru pasien, dokter disarankan untuk mendengarkan keluhan somatik sebagai ekspresi
emosional dan bukan sebagai keluhan medis. Oleh karena itu, dokter pemeriksa harus memiliki
kemampuan untuk menilai antara keluhan yang harus ditanggapi secara medis dengan keluhan
yang tidak.

Pemeriksaan penunjang dan laboratorium sebaiknya dihindari pada pasien dengan


gangguan somatisasi. Psikoterapi individual dan psikoterapi kelompok adalah jenis terapi yang
disarankan agar pasien dapat mengatasi gejala-gejala yang dialaminya, mengekspresikan
emosi yang mendasari, dan mengembangkan strategi alternatif untuk mengungkapkan
perasaannya, selain itu psikoterapi dapat membantu menurunkan pengeluaran untuk perawatan
kesehatan pribadi pasien hingga 50 persen.

Terapi psikofarmaka dapat diberian apabila terdapat gangguan lain seperti gangguan
cemas dan depresi. Namun pemberian psikofarmaka harus disertai dengan pengawasan ketat
terhadap pemberian obat sebab pasien dengan gangguan somatisasi cenderung menggunakan
obat-obatan secara irrasional, berganti-ganti dan tidak dapat dipercaya.

2.5.2 Gangguan Konversi1

Gangguan konversi adalah gangguan fungsi tubuh yang tidak sesuai dengan konsep
terkini mengenai anatomi dan fisiologi sistem saraf pusat ataupun perifer. Gangguan ini secara
khas terdapat saat stress dan menimbulkan disfungsi yang cukup bermakna.

DSM-IV-TR mendefinisikan gangguan konversi sebagai gangguan yang ditandai


dengan adanya satu gejala neurologis atau lebih, contohnya paralisis, buta, dan parastesia yang
tidak dapat dijelaskan dengan gangguan medis atau neurologis yang diketahui. Di samping itu,
diagnosis gangguan itu mengharuskan bahwa faktor psikologis harus berkaitan dengan
permulaan atau perburukan gejala.

7
2.5.2.1 Etiologi

 Faktor Psikoanalitik
Gangguan konversi disebabkann oleh represi konflik intrapsikik yang tidak
disadari dan konversi kecemasan menjadi suatu gejala fisik. Konflik tersebut adalah
antara impuls berdasarkan insting dan larangan pengungkapan ekspresi. Gangguan
konversi memiliki hubungan simbolik dengan konflik yang tidak disadari. Gejala
konversi juga memungkinkan pasien menyampaikan bahwa mereka membutuhkan
perhaian dan perlakuan khusus. Gejala tersebut dapat berfungsi sebagai cara nonverbal
untuk mengendalikan atau memanipulasi orang lain.
 Teori Pembelajaran
Gejala konversi dapat dilihat sebagai bagian dari perilaku yang dipelajari secara
klasik, gejala penyakit, yang dipelajari saat masa kanan-kanan, dikedepankan sebagai
cara beradaptasi dengan situasi yang tidak mungkin.
 Faktor Biologis
Pemeriksaan pencitraan otak menunjukkan adanya hipermetabolisme pada
daerah hemisfer otak yang dominan dan hipermetabolisme pada daerah hemisfer yang
non dominan. Hal ini dapat mengganggu komunikasi antara kedua hemisfer orak dan
berujung pada gejala konversi. Rangsangan kortikal yang berlebih dapat
mengakibatkan timbulnya umpan balik negatif antara korteks dan formasi retikuler
batang otak sehingga menimbulkan gejala konversi. Sebaliknya, output kortikofugal
yang meningkat justru akan menghambat kesadaran pasien akan sensasi-sensasi yang
terjadi di tubuhnya. Tes neuropsikologis terkadang menunjukkan gangguan serebral
ringan pada daya ingat, kewaspadaan, afek, dan atensi di pasien dengan gangguan
konversi.

2.5.2.2 Manifestasi Klinis

Paralilis, buta, dan mutisme adalah gejala gangguan konversi yang paling lazim
ditemukan. Gangguan konversi mungkin paling sering disertai dengan gangguan kepribadian
pasif-agresif, dependen, ansisosial, dan histrionik. Gejala gangguan depresif dan ansietas
sering dapat menyertai gejala gangguan konversi, dan pasien ini memiliki risiko bunuh diri.
Adapun gejala gangguan konversi adalah sebagai berikut:

8
 Gejala Sensorik
Pada gangguan konversi, anestesia dan parastesia adalah gejala yang lazim
diemukan, terutama pada ekstremitas. Gejala ganguan konversi dapat melibatkan organ
indera khusus dan dapat menimbulkan tuli dan buta. Gejala ini dapat unilateral dan
bilateral, tetapi evaluasi neurologis menunjukkan jaras sensorik yang intak. Pada
kebutaan gangguan konversi contohnya pasien berjalan keliling tanpa menubruk atau
mencederai diri sendiri, pupilnya bereaksi terhadap cahaya, dan evoked potential
korteks normal.
 Gejala Motorik
Gejala motorik meliputi gerakan abnormal gangguan berjalan, kelemahan, dan
paralisis. Tremor ritmis yang kasar, gerakan koreiform, “tic”, dan sentakan dapat ada.
Gerakan tersebut umumnya memburuk ketika orang memperhatikan mereka
Satu gangguan motorik yang lazim ditemukan lainnya adalah paralisis dan
paresis yang mengenai satu, dua, atau keempat ekstremitas, walaupun distribusi otot
yang terkena tidak sesuai dengan jaras saraf. Refleks tetap normal, pasien tidak
mengalami fasikulasi atau atrofi otot (kecuali setelah paralisis konversi yang
berlangsung lama), teuan elektromiografi normal.
 Gejala Bangkitan
Kejang semu adalah gejala lain gangguan konversi, kejang konversi sulit untuk
dibedakan dengan kejang yang sesungguhnya, bahkan para klinisi dapat merasa sulit
dalam membedakannya. Sepetiga kejang semu pada pasien gangguan konversi juga
memiliki gangguan epileptik. Menggigit lidah, inkontinensia urin dan cedera setelah
jatuh dapat terjadi pada kejang semu walaupun gejala ini umumnya tidak ada. Refleks
pupil dan muntah tetap ada setelah kejang semu dan konsentrasi prolaktin pasien tidak
mengalami peningkatan setelah kejang.
 Gambaran klinis lainnya:
o Keuntungan primer: pasien memperoleh keuntungan primer dengan
mempertahankan konflik internal di luar kesadarannya.
o Keuntungan sekunder: keuntungan nyata yang diperoleh pasien dengan menjadi
sakit, misalnya dibebaskan dari kewajiban kehidupan yang sulit, bimbingan
yang tak akan didapatkannya dalam situasi normal, dsb.
o La belle indifference: merupakan sikap angkuh yang tidak sesuai dengan gejala
serius yang dialaminya. Pasien tampak tak peduli dengan hendaya berat yang

9
dialaminya. Walaupun begitu, ada tidaknya la belle indifference bukan dasar
penelitian yang akurat untuk menegakkan gangguan konversi.
o Identifikasi: pasien secara tidak sadar meniru gejalanya dari seseorang yang
bermakna bagi dirinya seperti orangtua atau seseorang yang menjadi model bagi
pasien.

2.5.2.3 Diagnosis

DSM-IV-TR membatasi diagnosis gangguan konversi pada gejala yang mempengaruhi


fungsi sensorik dan motorik volunter yaitu gejala neurologis, yakni:

A. Satu atau lebih gejala atau defisit yang mempengaruhi fungsi sensorik atau motorik
volunter yang mengesankan adanya keadaan neurologis atau keadaan medis umum lain.
B. Faktor psikologis dinilai terkait dengan keadaan gejala maupun defisit karena awal atau
perburukan gejala atau defisit didahului konflik atau stresor lain.
C. Gejala atau defisit ditimbulkan tanpa disengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan
buatan atau malingering)
D. Setelah pemeriksaan yang sesuai, gejala atau defisit tidak dapat benar-benar dijelaskan
oleh keadaan medis umum atau oleh efek langsung suatu zat, maupun sebagai perilaku
atau pengalaman yang disetujui budaya.
E. Gejala atau defisit menyebabkan distress yang bermakna secara klinis atau hendaya
dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau area penting lain, atau memerlukan evaluasi medis.
F. Gejala atau defisit tidak terbatas pada nyeri atau disfungsi seksual, tidak hanya terjadi
selama perjalanan gangguan somatisasi, dan sebaiknya tidak disebabkan gangguan jiwa
lain.

Tentukan tipe gejala atau defisit:

 Dengan gejala atau defisit motorik


 Dengan gejala atau defisit sensorik
 Dengan bangkitan atau kejang
 Dengan tampilan campuran

2.5.2.4 Perjalanan Gangguan dan Prognosis

Gejala awal pada sebagian besar pasien dengan gangguan konversi mungkin 90-100%
membaik dalam beberapa hari atau kurang dari satu bulan. Terkait dengan prognosis yang baik

10
adalah awitan mendadak, stresor mudah diidentifikasi, penyesuaian pramorbid baik, tidak ada
gangguan medis atau psikiatri komorbid, dan tidak sedang menjalani proses hukum. Semakin
lama gangguan konversi ada maka prognosisnya lebih buruk. Pada sebagian pasien dengan
gangguan konversi, yakni 25 hingga 50 persen pasien akan mengalami gangguan neurologis
atau keadaan medis nonpsikiatri yang mengenai sistem saraf, oleh karena itu pasien dengan
gangguan konversi harus telah menjalani evaluasi lengkap neurologis dan medis pada saat
diagnosis.

2.5.2.5 Terapi

Resolusi gejala gangguan konversi biasanya berlangsung spontan. Pasien dengan


gangguan ini dapat diberikan psikoterapi suportif berorientasi tilikan atau terapi perilaku.
Terapi hipnosis, anticemas, dan relaksasi sangat efektif dalam beberapa kasus. Pemberian
amobarbital atau lorazepam parenteral dapat membantu memperoleh riwayat penyakit,
terutama ketika pasien baru saja mengalami peristiwa yang traumatis.

2.5.3 Hipokondriasis

Hipokondriasis didefinisikan sebagai seseorang yang terokupasi dengan ketakutan atau


keyakinan menderita penyakit yang serius. Pasien memiliki interpretasi yang tidak realistis
ataupun akurat terhadap gejala atau sensasi fisik, meskipun tidak ditemukan penyebab medis.
Ketakutan dan keyakinannya menimbulkan penderitaan bagi dirinya sendiri dan mengganggu
kemampuannya untuk berfungsi secara baik di bidang sosial, interpersonal, dan pekerjaan.
Prevalensi pasien dengan hipokondriasis adalah 4-6$ dari populasi pasien medik umum.
Gejala-gejala dapat timbul di usia berapapun, namun paling sering di antara usia 20-30 tahun.

2.5.3.1 Etiologi

Pasien hipokondriasis memiliki skema kognitif yang salah yang menyebabkan mereka
salah menginterpretasikan sensasi fisik. Pasien menambah dan memperbesar sensasi somatik
yang dialaminya karena rasa tidak nyaman secara fisik dan memiliki ambang toleransi yang
rendah.

Selain itu, gejala-gejala hipokondriasis dapat dipandang sebagai permintaan untuk


mendapatkan peran sakit pada seseorang yang menghadapi masalah berat yang tidak dapat
diselesaikannya. Teori lain juga memandang gangguan ini sebagai bentuk varian dari gangguan
mental lainnya seperti depresi dan cemas. Sedangkan menurut teori psikodinamik, dorongan

11
agresivitas dan permusuhan yang ditujukan kepada orang lain dipindahkan ke dalam gangguan-
gangguan somatik, seperti kemarahan, ketidakpuasan, atau penolakan dan kehilangan di masa
lalu. Hipokondriasis juga dipandang sebagai pertahanan terhadap rasa bersalah, tanda dari
kepedulian berlebihan terhadap diri sendiri, ataupun sebagai hukuman di masa lalu dari
perasaan bahwa dirinya jahat serta berdosa.

2.5.3.2 Manifestasi Klinis

Pasien dengan hipokondriasis yakin kalau mereka mengalami penyakit yang berat yang
belum terdeteksi dan mereka tidak dapat dibujuk untuk berpikir sebaliknya. Mereka dapat
mempertahankan keyakinan bahwa mereka mengalami penyakit tertentu, seiring dengan
berjalannya waktu, mereka dapat mengubah keyakinan pada penyakit lain. Pendirian mereka
bertahan walaupun hasil laboratorium negatif. Hipokondriasis ssering disertai dengan gejala
depresi dan ansietas.

Walaupun DSM-IV-TR merinci bahwa gejala harus ada sedikitnya 6 bulan, keadaan
hipokondriasis singkat dapat terjadi setelah adanya stress berat, paling sering adalah kematian
atau penyakit berat seseorang yang penting bagi pasien. Pada keadaan tersebut harus
didiagnosis sebagai gangguan somatoform yang tidak tergolongkan. Adapun respons tersebut
umumnya akan hilang ketika stressnya hilang.

2.5.3.3 Diagnosis

Untuk diagnosis pasti, kedua hal ini harus ada:

a) Keyakinan yang menetap adanya sekurang-kurangnya satu penyakit fisik yang serius
yang melandasi keluhan-keluhannya, meskipun pemeriksaan yang berulang-ulang
tidak menunjang adanya alasan fisik yang memadai, ataupun adanya preokupasi yang
menetap kemungkinan deformitas atau perubahan bentuk penampakan fisiknya (tidak
sampai waham).

b) Tidak mau menerima nasihat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter bahwa
tidak ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan-keluhannya.

2..5.3.4 Perjalanan Gangguan dan Prognosis

Perjalanan gangguan hipokondriasis biasanya episodik, episodenya berlangsung


bulanan hingga tahunan dan dipisahkan oleh periode tenang yang sama panjangnya. Prognosis

12
yang baik dikaitkan dengan status sosioekonomik yang tinggi, depresi atau ansietas yang
responsif terhadap terapi, awitan gejala yang mendadak, tidak adanya gangguan kepribadian
dan tidak adanya keadaan medis nonpsikiatri terkait.

2.5.3.5 Terapi

Pasien hipokondriasis biasanya menolak terapi psikiatrik. Psikoterapi kelompok


bermanfaat bagi pasien hipokondriasis karena menyediakan dukungan sosial dan interaksi
sosial sehingga menurunkan kecemasan. Psikoterapi individual berorientasi tilikan, terapi
perilaku, terapi kognitif, dan hipnosis juga dapat bermanfaat. Pemeriksaan fisik yang terjadwal
juga akan membuat pasien merasa tenang dan tahu bahwa dookternya tak meninggalkannya
dan menangani keluhannya dengan serius. Farmakoterapi diberikan apabila pasien juga
memiliki gangguan cemas atau depresi.

2.5.4 Gangguan Dismorfik Tubuh

Pasien dengan gangguan dismorfik tubuh memiliki perasaan subjektif yang pervasif
mengenai keburukan beberapa aspek penampilan walaupun penampilan mereka normal atau
hampir normal. Inti gangguan ini adalah keyakinan atau ketakutan seseorang yang amat kuat
bahwa dirinya tidak menarik atau bahkan menjijikan. Rasa takut ini tetap ada walaupun
penderita gangguan dismorfik tubuh mendapatkan pujian atau penentraman.

2.5.4.1 Etiologi

Etiologi dari gangguan ini tidak diketahui, tapi diyakini berasosiasi dengan gangguan
depresi. Selain itu, konsep stereotipik tentang kecantikan atau keindahan yang dianut dalam
keluarga atau budaya tertentu akan berpengaruh besar pada pasien dengan gangguan tubuh
dismorfik.

2.5.4.2 Manifestasi Klinis

Kekhawatiran yang paling lazim mencakup ketidaksempurnaan wajah, terutama yang


meliputi anggota tubuh tertentu (contohnya hidung) dimana kekhawatiran tersebut bersifat
samar dan sulit dimengerti. Gejala terkait yang lazim ditemukan mencakup gagasan atau
waham rujukan (biasanya mengenai orang yang memperhatikan ketidaksempurnaan tubuh),
baik mengaca berlebihan maupun menghindari permukaan yang dapat memantul, serta
menyembunyikan sesuatu yang dianggap deformitas dengan tata rias atau pakaian.

13
2.4.5.3 Diagnosis

A. Preokupasi mengenai defek khayalan terhadap penampilan. Jika terdapat sedikit


anomali fisik, kepedulian orang tersebut sangat berlebihan.
B. Preokupasi ini menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau hendaya
dalam fungsi sosial, pekerjaan, dan area fungsi penting lain.
C. Preokupasi ini tidak lebih mungkin disebabkan oleh gangguan jiwa lain, contohnya
ketidakpuasan akan bentuk tubuh dan ukuran pada anoreksia nervosa.

2.4.5.4 Perjalanan Gangguan dan Prognosis

Awitan gangguan dismorfik tubuh biasanya bertahap. Orang yang mengalami


gangguan ini dapat mengalami kekhawatiran yang bertambah mengenai bagian tubuh tertentu
sampai orang tersebut memperhatikan bahwa fungsinya terganggu. Setelah itu, pasien akan
berusaha mencari pertolongan medis atau bedah untuk menyelesaikan masalah yang diduga.
Tingkat kekhawatiran mengenai masalah ini dapat memburuk dan membaik seiring waktu
walaupun cenderung memburuk bila tidak ditangani.

2.4.5.5 Terapi

Obat trisiklik seperti monoamne oxidase inhibitors dan pimozide dapat berguna untuk
beberapa kasus gangguan dismorfik tubuh. Pasien kerap kali melakukan prosedur bedah,
dermatologis. dental, ataupun prosedur medis lain tetapi hampir selalu tidak berhasil. Pada 50%
pasien menunjukkan pengurangan gejala dengan penggunaan obat clomipramine (Anafranil)
dan fluoxetin (Prozac).

2.5.5 Gangguan Nyeri

Gangguan nyeri merupakan keluhan utama yang menjadi fokus perhatian klinis. Nyeri
dapat terjadi pada lebih dari satu tempat dan tidak dapat dimasukkan secara penuh sebagai
kondisi medis nonpsikiatrik maupun neurologik. Gangguan ini berkaitan dengan penderitaan
emosional dan hambatan dalam fungsi kehidupan.

2.5.5.1 Etiologi

1. Faktor psikodinamik
Pasien secara tak sadar menganggap luka emosional sebagai suatu kelemahan dan
tidak diperbolehkan secara sosial sehingga memindahkan masalah pada

14
tubuhnya. Nyeri dapat berfungsi sebagai cara untuk memperoleh cinta, hukuman
terhadap kesalahan, dan menebus rasa bersalah atau perasaan bahwa dirinya
jahat.
2. Faktor perilaku
Perilaku nyeri diperkuat apabila dihargai dan dihambat apabila diabaikan atau
diberi hukuman.
3. Faktor interpersonal
Nyeri yang sulit diobati telah diketahui sebagai sarana untuk memanipulasi dan
memperoleh keuntungan dalam hubungan interpersonal
4. Faktor biologis
Defisiensi endorfin berhubungan dengan peningkatan stimulus sensorik yang
datang

2.5.5.2 Manifestasi Klinis

Rasa nyeri pasien dapat berupa neuropatik, neurologis, iatrogenik atau


muskuloskeletal. Meskipun demikian, untuk memenuhi diagnosis gangguan nyeri, gangguan
tersebut harus memiliki faktor psikologis yang dinilai secara signifikan terlibat dalam gejala
nyeri dan percabangannya. Pasien dengan gangguan nyeri sering memiliki riwayat perawatan
medis dan pembedahan yang panjang. Gangguan nyeri seringkali disertai dengan gangguan
depresif serta gangguan ansietas. Adapun gejala depresif yang paling menonjol adalah anergia,
anhedonia, libido berkurang, insomnia, dan iritabilitas, variasi diurnal, dan turunnya berat
badan.

2.5.5.3 Diagnosis

Berdasarkan DSM-IV-TR1

A. Nyeri pada satu atau lebih tempat anatomis adalah fokus dominan gambaran klinis dan
cukup parah sehingga memerlukan perhatian klinis
B. Nyeri menimbulkan distres yang secara klinis bermakna atau hendaya fungsi sosial,
pekerjaan, dan area fungsi penting lain
C. Faktor psikologis dinilai memiliki peranan penting dalam awitan, keparahan,
eksaserbasi, atau menetapnya nyeri
D. Gejala atau defisit tidak dibuat dengan sengaja atau dibuat-buat

15
E. Nyeri sebaiknya tidak disebabkan gangguan mood, ansietas, atau gangguan psikotik
dan tidak memenuhi kriteria diagnostik dispareunia

Berdasarkan PPDGJ III2

A. Keluhan utama adalah nyeri berat menyiksa dan menetap, yang tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun fisik
B. Nyeri timbul dalam hubungannya dengan adanya konflik emosional atau masalah
psikososial yang cukup jelas untuk dapat dijadikan alasan dalam mempengaruhi adanya
gangguan tersebut
C. Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan baik personal maupun
medis untuk yang bersangkutan

2.5.5.4 Perjalanan Gangguan dan Prognosis

Nyeri dimulai dengan tiba-tiba dan meningkat keparahannya untuk beberapa minggu
atau bulan. Prognosisnya bervariasi walaupun gangguan nyeri sering dapat bersifat kronik,
menimbulkan distres, dan benar-benar menimbulkan ketidakmampuan.

2.5.5.5 Terapi

Penggunaan obat analgesik umumnya tidak membantu, oleh karena itu perlu diberikan
antidepresan seperti trisiklik dan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI). Selain itu
penggunaan amfetamin sebagai analgesik menghasilkan keberhasilan pada beberapa pasien.

Psikoterapi psikodinamik dapat membantu pasien mengurangi gangguan nyeri.


Langkah utama psikoterapi adalah membangun hubungan terapeutik yang solid melalui empati
terhadap penderitaan pasien. Selain itu klinisi dapat mengubah pikiran negatif dan memupuk
sikap positif dari pelaksanaan terapi kognitif.

16
BAB III

KESIMPULAN

Gangguan somatoform merupakan kelompok penyakit yang luas dan memiliki tanda

serta gejala yang berkaitan dengan tubuh sebagai komponen utama. gangguan ini mencakup

interaksi pikiran dengan tubuh. Di dalam interaksi ini, dengan cara yang masih belum

diketahui, otak mengirimkan berbagai sinyal yang mempengaruhi kesadaran pasien dan

menunjukan adanya masalah yang serius di dalam tubuh. Di samping itu, perubahan ringan

neurokimia, neurofisiologi, dan neuroimunologi dapat terjadi akibat mekanisme otak atau jiwa

yang tidak diketahui yang menyebabkan penyakit.

Gangguan ini diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Gangguan somatisasi, ditandai oleh banyak keluhan fisik yang mengenai banyak

sistem organ.

2. Gangguan konversi, ditandai oleh satu atau dua keluhan neurologis.

3. Hipokondriasis, ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan dan pada

kepercayaan pasien bahwa ia menderita penyakit tertentu.

4. Gangguan dismorfik tubuh, ditandai dengan kepercayaan palsu atau persepsi

yang berlebih-lebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami cacat.

5. Gangguan nyeri, ditandai oleh gejala nyeri yang semata-mata berhubungan

dengan faktor psikologis atau secara bermakna dieksaserbasi oleh faktor

psikologis.

Terapi yang dianjurkan dalam penanganan gangguan somatoform lebih banyak

terfokus pada psikoterapi suportif dan pembinaan hubungan yang baik antar dokter dan

17
pasiennya. Akan tetapi psikofarmaka juga dapat dilaksanakan apabila terdapat gejala-gejala

gangguan depresi atau cemas.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock, Benjamin dan Sadock, Virginia. 2017. Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi 2 Bab

14 Gangguan Somatoform dan Gangguan Nyeri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran

EGC. p268-280

2. Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ-III dan DSM-5.

Jakarta:Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya. 2013

3. American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorders. 4th ed. rev. Washington D.C, American Psychiatric Association
4. Mai F. 2004. Somatization Disorder : A Practical Review. Canadian Journal of
Psychiatry Vol. 49 (10) : 652 – 662

19

Anda mungkin juga menyukai