Referat Gangguan Cemas
Referat Gangguan Cemas
“PSIKOTIK AKUT”
Pembimbing :
Dr. H. Rusdi Effendi, Sp.KJ
Oleh :
Yusman Malik
(2015730134)
i
KATA PENGANTAR
Assalammu’alaikum wr wb,
Dengan memanjatkan puja dan puji syukur ke hadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa karena atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan penulisan referat mengenai Psikotik
Akut.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan arahan demi terselesaikannya referat ini
khususnya kepada Dr. H. Rusdi Effendi, Sp.KJ, selaku pembimbing.
Kami sangat menyadari dalam proses penulisan referat ini masih jauh dari kesempurnaan baik materi
maupun metode penulisan. Namun demikian, kami telah mengupayakan segala kemampuan dan
pengetahuan yang dimiliki. Kami dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka menerima segala bentuk
masukan, saran dan usulan guna menyempurnakan referat ini.
Kami berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.
Wassalammu’alaikum wr wb.
Penulis
2
BAB I
Pendahuluan
3
Bab 2
Isi
Teori Psikoanalitik
Sigmeun Freud menyatakan dalam bukunya “ 1926 Inhibitons, Symptoms, Anxiety”
bahwa kecemasan adalah suatu sinyal kepada ego bahwa suatu dorongan yang tidak dapat
diterima menekan untuk mendapatkan perwakilan dan pelepasan sadar. Sebagai suatu sinyal,
4
kecemasan menyadarkan ego untuk mengambil tindakan defensif terhadap tekanan dari dalam.
Jika kecemasan naik di atas tingkatan rendah intensitas karakter fungsinya sebagai suatu sinyal,
ia akan timbul sebagai serangan panik.2
Teori Perilaku
Rasa cemas dianggap timbul sebagai respon dari stimulus lingkungan yang spesifik.
Contohnya, seorang anak laki-laki yang dibesarkan oleh ibunya yang memperlakukannya
semena-mena, akan segera merasa cemas bila ia bertemu ibunya. Melalui proses generalisasi, ia
akan menjadi tidak percaya dengan wanita. Bahkan seorang anak dapat meniru sifat orang tuanya
yang cemas.2
Teori Eksistensi
Pada gangguan cemas menyeluruh, tidak didapatkan stimulus rasa cemas yang bersifat
kronis. Inti dari teori eksistensi adalah seseorang merasa hidup di dalam dunia yang tidak
bertujuan. Rasa cemas adalah respon mereka terhadap rasa kekosongan eksistensi dan arti.
Berdasarkan aspek biologis, didapatkan beberapa teori yang mendasari timbulnya cemas
yang patologis antara lain:
Sistem saraf otonom
Neurotransmiter2
Neurotransmiter
1. Norepinephrine
Gejala kronis yang ditunjukan oleh pasien dengan gangguan cemas berupa serangan
panik, insomnia, terkejut, dan autonomic hyperarousal, merupakan karakteristik dari
peningkatan fungsi noradrenergik. Teori umum dari keterlibatan norepinephrine pada gangguan
cemas, adalah pasien tersebut memiliki kemampuan regulasi sistem noradrenergik yang buruk
terkait dengan peningkatan aktivitas yang mendadak. Sel-sel dari sistem noradrenergik
terlokalisasi secara primer pada locus ceruleus pada rostral pons, dan memiliki akson yang
menjurus pada korteks serebri, sistem limbik, medula oblongata, dan medula spinalis. Percobaan
pada primata menunjukan bila diberi stimulus pada daerah tersebut menimbulkan rasa takut dan
5
bila dilakukan inhibisi, primata tersebut tidak menunjukan adanya rasa takut. Studi pada manusia,
didapatkan pasien dengan gangguan serangan panik, bila diberikan agonis reseptor β-adrenergik
( Isoproterenol ) dan antagonis reseptor α-2 adrenergik dapat mencetuskan serangan panik secara
lebih sering dan lebih berat. Kebalikannya, clonidine, agonis reseptor α-2 menunjukan
pengurangan gejala cemas.2
2. Serotonin
Ditemukannya banyak reseptor serotonin telah mencetuskan pencarian peran serotonin
dalam gangguan cemas. Berbagai stress dapat menimbulkan peningkatan 5-hydroxytryptamine
pada prefrontal korteks, nukleus accumbens, amygdala, dan hipotalamus lateral. Penelitian
tersebut juga dilakukan berdasarkan penggunaan obat-obatan serotonergik seperti clomipramine
pada gangguan obsesif kompulsif. Efektivitas pada penggunaan obat buspirone juga
menunjukkan kemungkinan relasi antara serotonin dan rasa cemas. Sel-sel tubuh yang memiliki
reseptor serotonergik ditemukan dominan pada raphe nuclei pada rostral brainstem dan menuju
pada korteks serebri, sistem limbik, dan hipotalamus.2
3. GABA
Peran GABA pada gangguan cemas sangat terlihat dari efektivitas obat-obatan
benzodiazepine, yang meningkatkan aktivitas GABA pada reseptor GABA tipe A. Walaupun
benzodiazepine potensi rendah paling efektif terhadap gejala gangguan cemas menyeluruh,
benzodiazepine potensi tinggi seperti alprazolam dan clonazepam ditemukan efektif pada terapi
gangguan serangan panik
Pada suatu studi struktur dengan CT scan dan MRI menunjukan peningkatan ukuran
ventrikel otak terkait dengan lamanya pasien mengkonsumsi obat benzodiazepine. Pada satu
studi MRI, sebuah defek spesifik pada lobus temporal kanan ditemukan pada pasien dengan
gangguan serangan panik. Beberapa studi pencitraan otak lainnya juga menunjukan adanya
penemuan abnormal pada hemisfer kanan otak, tapi tidak ada pada hemisfer kiri. fMRI, SPECT,
dan EEG menunjukan penemuan abnormal pada korteks frontal pasien dengan gangguan cemas,
yang ditemukan juga pada area oksipital, temporal, dan girus hippocampal. Pada gangguan
6
obsesif kompulsif diduga terdapat kelainan pada nukleus kaudatus. Pada PTSD, fMRI
menunjukan pengingkatan aktivitas pada amygdala. 2
Korteks Serebri
Korteks serebri bagian frontal berhubungan dengan regio parahippocampal, cingulate
gyrus, dan hipotalamus, sehingga diduga berkaitan dengan gangguan cemas. Korteks temporal
juga dikaitkan dengan gangguan cemas. Hal ini diduga karena adanya kemiripan antara
presentasi klinis dan EEG pada pasien dengan epilepsy lobus temporal dan gangguan obsesif
kompulsif.
Sistem Limbik
Selain menerima inervasi dari noradrenergik dan serotonergik, sistem limbik juga
memiliki reseptor GABA dalam jumlah yang banyak. Ablasi dan stimulasi pada primata juga
menunjukan jikalau sistem limbik berpengaruh pada respon cemas dan takut. Dua area pada
sistem limbik menarik perhatian peneliti, yakni peningkatan aktivitas pada septohippocampal,
yang diduga berkaitan dengan rasa cemas, dan cingulate gyrus, yang diduga berkaitan dengan
gangguan obsesif kompulsif.
7
KLASIFIKASI GANGGUAN CEMAS
8
F41.2 Gangguan campuran anxietas dan depresif
F41.3 Gangguan anxietas campuran lainnya
F41.8 Gangguan anxietas lainnya YDT
F41.9 Gangguan anxietas YTT
9
dan studi lainnnya menghasilkan hipotesis yang melibatkan disregulasi sistem saraf
perifer dan pusat dalam patofisiologi gangguan panik. Sistem saraf otonom pada
sejumlah pasien dengan gangguan panik dilaporkan menunjukkan peningkatan
tonus simpatik, beradaptasi lambat terhadap stimulus berulang, dan berespons
berlebihan terhadap stimulus sedang. Studi status neuroendokrin pada pasien ini
menunjukkan beberapa abnormalitas, walaupun studi-studi ini menghasilkan
temuan yang tidak konsisten.1
Sistem neurotransmiter utama yang terlibat adalah. norepinefrin, serotonin, dan
asam gamma-aminobutirat (GABA). Halinididukungoleh fakta bahwa Serotonin
Reuptake Inhibitors (SSRIs) efektif pada terapi pasien-pasien dengangangguan
cemas,termasuk gangguan panik.1
Disfungsi serotonergik cukup terlihat pada gangguan panik dan berbagai studi
dengan obat campuran agonis-antagonis serotonin menunjukkan peningkatan angka
Pencitraan Otak
Studi pencitraan struktur otak, contohnya magnetic resonance imaging (MRI),
pada pasien dengan ganguan panik melibatkan keterlibatan patologis lobus
temporalis, terutama hipokampus. Satu studi MRI melaporkan abnormalitas,
terutama atrofi korteks, di lobus temporalis kanan pasien-pasien ini. Studi
11
pencitraan otak fungsional, contohnya positronemission tomography (PET),
melibatkan adanya disregulasi aliran darah otak. Khususnya, gangguan ansietas dan
serangan panik disertai vasokonstriksi serebral, yang dapat menimbulkan gejala
sistem saraf pusat seperti pusing dan gejala sistem saraf perifer yang dapat
dicetuskan oleh hiperventilasi dan hipokapnia. Sebagian besar studi pencitraan otak
fungsional menggunakan zat penginduksi panik spesifik (contohnya laktat, kafein,
atau yohimbin) dikombinasi dengan PET atau single photon emission computed
tomography (SPECT) untuk mengkaji efek zat penginduksi panik dan serangan
panik yang diinduksi pada aliran darah otak.1
Faktor Genetik
Walaupun studi yang terkontrol baik mengenai dasar genetik gangguan panik
dan agorafobia jumlahnya sedikit, data saat ini mendukung kesimpulan bahwa
gangguan ini memiliki komponen genetik yang khas. Di samping itu, sejumlah data
menunjukkan bahwa gangguan panik dengan agorafobia adalah bentuk parah
gangguan panik sehingga lebih mungkin diturunkan. Berbagai studi menemukan
peningkatan risiko empat hingga delapan kali untuk gangguan panik di antara
kerabat derajat pertama pasien dengan gangguan panik dibandingkan kerabat
derajat pertama pasien psikiatri lain. Studi kembar yang telah dilakukan hingga saat
ini umumnya melaporkan bahwa kedua kembar monozigot lebih mudah terkena
bersamaan daripada kembar dizigot.Saat ini, tidak ada data yang menunjukkan
hubungan antara lokasi kromosom spesifik atau cara transmisi dan gangguan ini.1
Pada keturunan pertama penderita gangguan panik dengan agorafobia
mempunyai resiko 4 sampai 8 kali mendapatkan serangan yang sama.2
Faktor Psikososial
Teori perilaku kognitif dan psikoanalitik telah dikembangkan untuk
menerangkan patogenesis gangguan panik dan agorafobia. Keberhasilan metode
kognitif perilaku untuk terapi gangguan ini dapat menambahkan kepercayaan pada
teori perilaku kognitif.
Analisis penelitian mendapatkan bahwa terdapat pola ansietas akan sosialisasi
saat masa kanak, hubungan dengan orang tua yang tidak mendukung serta perasaan
12
terperangkap atau terjebak. Pada kebanyakan pasien, rasa marah dan agrevitas sulit
dikendalikan.Pada pasien-pasien dengan gangguan panik, terdapat kesulitan dalam
mengendalikan rasa marah dan fantasi-fantasi nirsadar yang terkait.Misalnya
harapan dapat melakukan balas dendam terhadap orang tertentu.Harapan ini
merupakan suatu ancaman terdapat figur yang melekat.
berbahaya (seperti serangan panik) yang timbul bersama stimulus netral (seperti
naik bus) dapat mengakibatkan penghindaran stimulus netral. Teori perilaku lain
menyatakan hubungan antara sensasi gejala somatik ringan (seperti palpitasi) dan
timbulnya serangan panik.2
Analisis penelitian mendapatkan bahwa terdapat pola ansietas akan sosialisasi
saat masa kanak, hubungan dengan orangtua yang tidak mendukung serta perasaan
terperangkap atau terjebak. Pada kebanyakan pasien, rasa marah dan agresivitas
sulit dikendalikan. Pada pasien-pasien dengan gangguan panik, terdapat kesulitan
dalam mengendalikan rasa marah dan fantasi-fantasi nirsadar yang terkait. Misalnya
pasien mempunyai harapan dapat melakukan balas dendam terhadap orang tertentu.
Harapan ini merupakan suatu ancaman terhadap figur yang melekat.1
Teori Psikoanalitik.
Teori psikoanalitik mengonseptualisasi serangan panik sebagai serangan yang
timbul dari pertahanan yang tidak berhasil terhadap impuls yang mencetuskan
ansietas. Hal yang sebelumnya merupakan sinyal ansietas ringan menjadi perasaan
antisipasi cemas yang berlebihan, lengkap dengan gejala somatik. Untuk
menjelaskan agorafobia, teori psikoanalitik menekankan hilangnya orang tua di
masa kanak dan riwayat ansietas perpisahan. Berada sendirian di tempat umum
membangkitkan kembali ansietas saat diabaikan di masa kanak. Mekanisme defens
yang digunakan mencakup represi, displacement, penghindaran, dan simbolisasi.
Perpisahan traumatik pada masa kanak dapat mempengaruhi sistem saraf anak yang
13
sedang berkembang sedemikian rupa sehingga mereka menjadi rentan terhadap
ansietas di masa dewasa.2
gangguan panik. Oleh karena itu harus diketahui kebiasaan atau situasi yang sering
mendahului suatu serangan panik pasien. Klinisi harus berupaya mendapatkan
setiap kebiasaan atau situasi yang biasanya mendahului serangan panik pasien.
Aktivitas tersebut dapat mencakup penggunaan kafein, nikotik, alkohol, atau zat
lain, pola tidur atau makanan yang tidak biasa, dan situasi lingkungan tertentu,
seperti pencahayaan yang berlebih di tempat kerja.
Serangan sering dimulai dengan periode gejala yang meningkat dengan cepat
selama 10 menit. Gejala mental utama adalah ketakutan yang kuat dan suatu
perasaan ancaman kematian dan kiamat. Pasien biasanya tidak mampu untuk
menyebutkan sumber ketakutannya. Pasien mungkin merasa kebingungan dan
mengalami kesulitan dalam memusatkan perhatian. Tanda fisik adalah takikardia,
palpitasi, sesak napas, dan berkeringat. Pasien seringkali mencoba untuk
meninggalkan situasi dimana ia berada untuk mencari bantuan. Serangan biasanya
berlangsung 20 sampai 30 menit dan jarang lebih lama dari satu jam. Pemeriksaan
status mental formal selama suatu serangan panic dapat mengungkapkan
perenungan (rumination), kesulitan berbicara, dan gangguan daya ingat. Pasien
dapat mengalami depresi atau depersonalisasi selama serangan. Gejala mungkin
menghilang dengan cepat atau secara bertahap. Antara serangan, pasien mungkin
memiliki kecemasan yang lebih dahulu tentang mengalami serangan lain. Selain itu
dapat disertai permasalahan somatic berupa keluhan gangguan jantung dan
pernapasan merupakan perhatian utama pasien saat serangan panic.2
Kehawatiran somatik akan kematian akibat masalah jantung atau pernapasan
dapat menjadi fokus utama perhatian pasien selama serangan panik. Pasien dapat
14
meyakini bahwa palpitasi dan nyeri dada menunjukan bahwa mereka akan mati.
Sebanyak 20 persen pasien seperti itu benar-benar mengalami episode sinkop
selama serangan panik. Pasien dapat ditemukan di ruang gawat darurat sebagai
orang yang berusia muda (20 tahun) yang secara fisik sehat dan bersikeras bahwa
mereka akan mati akibat serangan jantung. Daripada segera mendiagnosis
hipokondriasis, dokter di ruang gawat darurat sebaiknya mempertimbangkan
diagnosis ganguan panik. Hiperventilasi dapat menimbulkan alkalosis respiratoris
dan gejala lain. Terapi jaman dahulu yaitu bernapas dalam kantong udara kadang-
kadang membantu. 2
Agorafobia
Pasien agorafobia secara kaku menghindari situasi di mana akan sulit
untuk mendapatkan bantuan. Mereka lebih suka disertai oleh seorang teman atau
anggota keluarga di tempat-tempat tertentu seperti jalanan yang sibuk, toko yang
padat, ruang yang tertutup (seperti di terowongan, jembatan, dan elevator), dan
kendaraan tertutup (seperti kereta bawah tanah, bus, dan pesawat udara). Pasien
mungkin memaksa bahwa mereka harus ditemani tiap kali mereka keluar rumah.
Perilaku tersebut dapat menyebabkan pertengkaran dalam perkawinan, yang dapat
keliru didiagnosis sebagai masalah utama. Pasien yang mengalami gangguan parah
dapat menolak meninggalkan rumah. Khususnya sebelum diagnosis yang benar
ditegakan, pasien dapat menjadi ketakutan bahwa mereka akan menjadi gila. 2
Gejala Penyerta
Gejala depresi sering terdapat pada gangguan panik dan agorafobia, dan pada
sejumlah pasien, gangguan depresi ada persamaannya dengan gangguan panik.
Penelitian telah menemukan bahwa risiko bunuh diri pada orang dengan gangguan
panic lebih tinggi dibandingkan dengan pada orang tanpa gangguan mental. Selain
agoraphobia, gangguan obsesif kompulsif juga dapat menyertai gangguan panik.
Akibat psikososial, gangguan panik dan agrofobia, di samping masalah perkawinan,
dapat mencakup hilangnya waktu dari pekerjaan, kesulitan finansial karena
hilangnya pekerjaan, dan penyalahgunaan alkohol serta zat lain.2
15
Pedoman Diagnostik
Kriteria diagnostik untuk gangguan panik (Anxietas Paroksismal Episodik)
menurut PPDGJ III5
Menurut PPDGJ-III gangguan panik baru ditegakkan sebagai diagnosis utama bila
tidak ditemukan adanya gangguan anxietas fobik. Untuk diagnosis pasti, harus
ditemukan adanya beberapa kali serangan anxietas berat dalam masa kira-kira
satu bulan:
a) Pada keadaan-keadaan dimana sebenarnya secara objektif tidak ada bahaya
b) Tidak terbatas pada situasi yang telah diketahui atau yang dapat diduga
sebelumnya (unpredictable situation)
c) Dengan keadaan yang relatif dari gejala-gejala anxietas pada periode di antara
serangan-serangan panik (meskipun demikian umumnya dapat terjadi juga
“anxietas antisipatorik” yaitu anxietas yang terjadi setelah membayangkan
sesuatu yang mengkhawatirkan akan terjadi.
bepergian dengan bis atau pesawat. Pola ini dapat berlanjut ke titik bahwa penderita
tidak akan meninggalkan rumah.3
Kriteria diagnostik untuk gangguan panik tanpa agorafobia menurut DSM IV 2,5
17
A. Baik (1) dan (2)
(1) Serangan panik rekuren yang tidak diharapkan
(2) Sekurangnya satu serangan telah diikuti oleh sekurangnya 1 bulan atau lebih:
(a) Kekawatiran yang menetap akan mengalami serangan tambahan
18
(b) Ketakutan tentang arti serangan atau akibatnya (misalnya, kehilangan
kendali, menderita serangan jantung, ”menjadi gila”)
(c) Perubahan perilaku bermakna berhubungan dengan serangan
B. Tidak terdapat agorafobia
C. Serangan panik bukan karena efek fisiologis langsung dari zat (misalnya, obat
yang disalahgunakan, medikasi) atau suatu kondisi medis umum (misalnya
hipertiroidisme).
D. Serangan panik tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan mental lain, seperti
fobia sosial (misalnya terjadi saat mengalami situasi sosial yang ditakuti), fobia
spesifik (misalnya mengalami situasi fobik tertentu), gangguan obsesif-
kompulsif (misalnya terpapar kotoran pada seseorang dengan obsesi tentang
kontaminasi), gangguan stres pasca traumatik (misalnya sebagai respon
terhadap stimuli yang berhubungan dengan stresor parah, atau gangguan cemas
perpisahan (misalnya sebagai respon jauh dari rumah atau sanak saudara
dekat).
19
spesifik (misalnya mengalami situasi fobik tertentu), gangguan obsesif-kompulsif
(misalnya terpapar kotoran pada seseorang dengan obsesi tentang kontaminasi),
gangguan stres pasca traumatik (misalnya sebagai respon terhadap stimuli yang
berhubungan dengan stresor parah, atau gangguan cemas perpisahan (misalnya
sebagai respon jauh dari rumah atau sanak saudara dekat).
Gangguan medis
Kapanpun seorang pasien, tanpa memandang usia atau faktor resiko,
melaporkan ke ruang gawat darurat dengan gejala keadaanyangberpotensi
20
fatal(contohnya infark miokardium), anamnesis medik yang lengkap harus
didapatkan dan pemeriksaan fisik harus dilakukan. Prosedur laboratorium standart
mencakup hitung darah lengkap; studi elektrolit, glukosa puasa, konsentrasi kalsium,
fungsi hati, urea, kreatinin, dan tiroid; urinalisis; uji tapis obat; dan
elektrokardiogram. Ketika adanya keadaan yang mengancam jiwa telah disingkirkan,
kecurigaan klinisnya adalah gangguan panik.1,2
Kemungkinan bahwa tambahan prosedur diagnosis medis akan mengungkapkan
keadaan medis yang harus dipertimbangkan terhadap adanya potensi efek samping
prosedur tersebut di dalam membantu pasien menerima diagnosis gangguan panik.
Meskipun demikian, adanya gejala atipikal (seperti vertigo, hilangnya kendali
kandung kemih, dan tidak sadar) atau awitan serangan panik pertama yang lambat
(diatas 45 tahun) harus membuat klinisi mempertimbangkan adanya keadaan medis
non psikiatri yang mnedasari.
Pemeriksaan standart membantu klinisi dalam mengevaluasi pasien akan adanya
penyebab serangan panik dari tiroid, paratidorid, adrenal, penyebab terkait zat.
Gejala nyeri dada, terutama pada pasien yang memiliki faktor resiko jantung
(misalnya obesitas dan hipertensi), dapat memerlukan pemeriksaan jantung lebih
lanjut, termasuk elektrokardiogram 24 jam, uji stres, rontgen dada, dan pengukuran
enzim jantung. Adanya gejala neurologis atipikal mungkin memerlukan
elektroensefalogram atau MRI untuk menilai kemungkinan pasien memiliki epilepsi
lobus temporalis, skelosis, multipel, atau lesi desak ruang di otak. Kemungkinan
yang jarang bahwa pasien memiliki sindrom karsinoid dan feokromositoma paling
baik diperiksa dengan mengukur sample urin 24 jam untuk metabolik seratonin dan
ketakolamin.
Walaupun hipogikemia pernah dianggap berkaitan dengan gangguan panik,
terutama di literatur, data yang tersedia saat ini saat ini menunjukan bahwa
hipoglikemik jarang menyebabkan serangan panik tanpa adanya gejala lain yang
menunjukan ke arah hipogikemik.2
21
Kardiovaskular Anemia, Angina, Gagal Jantung, hipertensi, prolapsus katup
mitral, infark miokardium, takikardi atrium paradoksikal.
Pulmonal Asma, hiperventilasi, embolus paru-paru.
Neurologis Penyakit serebrovaskular, epilepsi, penyakit huntington, infeksi,
migrain, tumor.
Endokrin Penyakit addison, sindrom cushing, diabetes, hipertiroid,
hipogikemik, hipoparatiroid.
Intoksikasi Amfetamin, antikolergik, kokain.
Obat
Halusinasi Marijuana, nikotin, theophilin.
Putus Obat Alkohol, antihipertensi, opiat dan opioid, sedasi hipnotik.
Kondisi lain Anafilaksis, defisiensi B12, gangguan elektrolit, keracunan
logam berat, infeksi sistemik,uremia.
Penatalaksanaan
Dengan terapi, sebagain besar pasien mengalami perbaikan dramatis gejala
gangguan panik dan agrofobia. Dua terapi yang paling efektif adalah farmakoterapi
dan terapi kognitif perilaku. Terapi keluarga dan kelompok dapat membantu
penderita dankeluarganya menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa pasiesn
memiliki gangguan dan penyesuaian diri dengan kesulitan pasikososial yang dapat
dicetuskan gangguan tersebut.2,3
Farmakoterapi
Alprazolam (Xanax) dan paroksetin (Paxil) adalah dua obat yang disctujui U.S.
Food and Drug Administration (FDA) untuk terapi gangguan panik. Umumnya,
22
pengalaman menunjukkan keunggulan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI)
dan clomipramine(Anafrani I) daripada benzodiazepin, monoamine oxidase inhibitor
(MAOI), dan obat trisiklik serta tetrasiklik dalam efektivitas dan toleransi efek yang
merugikan. Sejumlah kecil laporan mengajukan peranan nefazodon (Serzonc) dan
venlafaksin (feffexor).serta buspiron (BuSpar) diusulkan sebagai obat tambahan
pada sejumlah kasus.Antagonis reseptor Beta-adrenergik belum terbukti berguna
untuk gangguan panik.Suatu pendekatan konservatif adalah memulai dengan
paroksetin, sertralin (Zoloft) atau fiuvoxamin (Luvox) pada gangguan panik
terisolasi.Jika diinginkan kendali yang cepat terhadap gejala yang parah.Pemberian
singkat alprazolam harus dimulai bersamaan dengan SSRI; diikuti penurunan dosis
benzodiazepin secara perlahan. Pada penggunaan jangka panjang, fluoxetine (Prozac)
adalah obat efektif untuk panik yang bersamaan dengan depresi walaupun sifat
aklivasi awalnya dapat menyerupai gejala panik selama beberapa minggu sehingga
mungkin tidak dapat ditoleransi dengan baik.2
membutuhkan dosis utuh dan mungkin belum dicapai selama 8 hingga 12 minggu.
Sejumlah data menyokong efisiensi desipramin (Norpramin) dan bukti yang lebih
sedikit mengesankan adanya peran maprotilin (Ludiomil), trazodon (Desyrel),
nortriptilin (Pamelor), amitriptilin (Elavil), dan doksepin (Adapin). Obat-
obattrisiklik lebih sedikit digunakan daripada SSRI karena obat trisiklik umumnya
memiIiki efek simpang lebih berat pada dosis lebih tinggi yang dipelukan untuk
terapi yang efektif bagi gangguan panik.2
Benzodiazepin.
Benzodiazepin memiliki awitan kerja untuk panik yang paling cepat, sering
dalam minggu pertama, dan dapat digunakan untuk periode waktu yang lama tanpa
timbul toleransi terhadap efek antipanik. Alprazolam adalah benzodiazepin yang
23
paling luas digunakan untuk gangguan panik tetapi studi terkontroI menunjukkan
efisiensi yang sama untuk lorazepam (Ativan), dan laporan kasus juga menunjukkan
bahwa klonazepam (Klonopin) dapat efektif. Sejumlah pasien menggunakan
benzodiazepin bila perlu ketika menghadapi stimulus fobik.Benzodiazepin dapat di-
gunakan secara masuk akal sebagai agen awal untuk gangguan panik sementara obat
serotonergik dititrasi secara perlahan hingga dosis terapeutik.Setelah 4 hingga 12
minggu, dosis benzodiazepinesecara perlahan dapat diturunkan (selama 4 hingga 10
minggu) sementara obat serotonergik diteruskan.Keberatan utama di antara para
klinisi mengenai penggunaan benzodiazepin untuk gangguan panik adalah potensi
ketergantungannya, gangguan kognitif, dan penyalahgunaan, terutama setelah
penggunaan jangka panjang.Pasien harus diperingatkan untuk tidak menyetir atau
mengoperasikan peralatan yang berbahaya selama mengonsumsi
benzodiazepin.Benzodiazepin menimbulkan rasa sejahtera sedangkan
penghentiannya dapat menimbulkan sindrom putus zat yang tidak menyenangkan
dan telah banyak dilaporkan.Laporan yang tidak resmi serta serangkaian kasus kecil
menunjukkan bahwa kecanduan alprazolam adalah salah satu hal yang paling sulit
ditangani dan dapat memerlukan program komprehensif untuk detoksifikasi. Dosis
benzodiazepin harus diturunkan secara perlahan dan semua efek samping yang dapat
diantisipasi harus dijelaskan secara menyeluruh kepada pasien.2
dihentikan. Pasien cenderung kambuh jika mereka telah diberikan benzodiazepin dan
terapi benzodiazepin diakhiri sedemikian rupa sehingga menimbulkan gejala putus
zat.2
Mekanisme Kerja
Hipotesis : Sindrom panik berkaitan dengan hipersensitivitas dari “seratonergic
receptors” di SSP.
Mekanisme kerja obat anti panic adalah menghambat reuptake serotonin
pada celah sinaptik antar neuron sehingga pada awalnya terjadi peningkatan
serotonin dan sensitivitas reseptor (timbul gejala efek samping anxietas, agitasi,
insomnia), sekitar 2 sampai 4 minggu kemudian seiring dengan peningkatan
serotonin terjadi penurunan sensitivitas reseptor tersebut berkaitan dengan
penurunan serangan panic (adrenergic overactivity) dan juga gejala depresi yang
menyertai akan berkurang pula. Penurunan hipersensitivitas melalui dua fase
tersebut disebut juga “efek bifasik”.7
Efek Samping
Efek samping obat anti panik golongan trisiklik dapat berupa:
Efek anti histaminergik (sedasi, rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang,
kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun).
Efek anti kolinergik (mulut kering, retensi urin, penglihatan kabur,
25
konstipasi, sinus takikardia)
26
terapi adalah efektif dalam menghasilkan remisi gejala yang berlangsung lama.2
Terapi kognitif. Dua pusat utama terapi kognitif untuk gangguan panik
adalah instruksi tentang kepercayaan salah dari pasien dan informasi tentang
serangan panik. Instruksi tentang kepercayaan yang salah berpusat pada
kecenderungan pasien untuk keliru menginterpretasikan sensasi tubuh yang ringan
sebagai tanda untuk ancaman serangan panik, kiamat atau kematian. Informasi
tentang serangan panik adalah termasuk penjelasan bahwa serangan panik jika
terjadi tidak mengancam kehidupan.2
Penerapan Relaksasi. Tujuan penerapan relaksasi (contoh latihan
relaksasi Herbert Benson) adalah untuk memasukkan suatu rasa pengendalian pada
pasien tentang kecemasan dan relaksasinya. Melalui penggunaan teknik yang
dilakukan untuk relaksasi otot dan membayangkan situasi yang menimbulkan
relaksasi, pasienbelajar teknik yang dapat membantu mereka melewati serangan
panik. 2
Latihan pernapasan. Karena hiperventilasi yang bersamaan dengan
serangan panik kemungkinan disertai dengan beberapa gejala, seperti rasa pening
dan pingsan, satu pendekatan langsung untuk mengendalikan serangan panik adalah
melatih pasien bagaimana mengendalikan dorongannya untuk melakukan
hiperventilasi. Setelah latihan tersebut, pasien dapat menggunakan teknik untuk
membantu mengendalikan hiperventilasi selama suatu serangan panik.2
27
dengan awitan gangguan panik walaupun tidak ada stresor psikososial yang dapat
diidentifikasi dengan tepat pada sebagian besar kasus.
Gangguan panik, umumnya adalah gangguan yang kronis walaupun perjalanan
gangguannya bervariasi diantara sesama pasien maupun pada seorang pasien. Studi
pengamatan lanjutan jangka panjang gangguan panik sulit diartikan karena studi
tersebut tidak dikontrol untuk efek terapi. Meskipun demikian sekitar 30-40 %
pasien tampak bebas gejala pada pengamatan jangka panjang; sekitar 50% memiliki
gejala yang cukup ringan sehingga tidak mengganggu kehidupan secara signifikan;
dan sekitar 10-20% terus mengalami gejala yang bermakna.
Setelah satu atau dua serangan panik yang pertama, pasien mungkin tidak
khawatir mengenai keadaan mereka; meskipun demikian, dengan berulangnya
serangan, gejala tersebut dapat menjadi perhatian utama. Pasien dapat berupaya
merahasiakan serangan paniknya sehingga menyebabkan keluarga dan temannya
khawatir akan perubahan perilaku pasien yang tidak dapat dijelaskan. Frekuensi dan
keparahan serangan dapat berfluktuasi. Serangan panik dapat terjadi beberapa kali
dalam sehari atau kurang dari sekali dalam sebulan. Asupan kafein dalam nikotin
yang berlebihan dapat memperberat gejala.
Depresi dapat mempersulit gambaran gejala pada 40-80% pasien, seperti yang
diperkirakan berbagai studi. Walaupun pasien tidak cenderung membicarakan
gagasan bunuh diri, mereka memiliki peningkatan resiko melakukan bunuh diri.
Ketergantungan alkohol dan zat lain terdapat pada sekitar 20-40% pasien dan
gangguan obsesif kompulsif juga dapat timbul. Interaksi keluarga dan kinerja di
sekolah serta di temapat kerja biasanya terganggu. Pasien dengan fungsi pramorbit
baik dan durasi gejala singkat cenderung memiliki prognosis baik. 1,2
Agorafobia
Sebagian besar kasus agorafobia dianggap disebabkan gangguan panik. Ketika
gangguan panik diobati, agorafobia sering membaik seiring waktu. Untuk
memperbaiki agorafobia yang cepat dan sempurna, kadang-kadang diindikasikan
terapi perilaku. Agorafobia tanpa riwayat gangguan panik sering menimbulkan
28
ketidakmampuan dan bersifat kronis, serta gangguan depresifdan ketergantungan
alkohol sering mempersulit perjalanan gangguan.2
Pencegahan
Prevensi dan rehabilitasi
Pencegahan primer (yaitu bagi yang belum pernah mengalami gangguan
panik), maka harus waspada bila dalam keluarganya ada yang mengalami. Juga,
menurut penelitian, biia seseorang pernah mengalami cemas perpisahan {separation
anxiety) ketika pertama kali masuk sekolah, maka bisa jadi ketika dewasa mungkin
akan mengalami gangguan panik.
Pencegahan sekunder bila individu pernah mengalami serangan panik satu
kali dan telah berobat ke dokter, maka pencegahan yang dapat dilakukan agar tidak
terjadi kekambuhan adalah dengan melakukan latihan relaksasi secara teratur dan
terus menerus, datang konsultasi sampai dinyatakan sembuh oleh dokter.1
1. Memberi edukasi kepada pasien mengenai gangguan panik, dan pengobatan
yang dijalani.
2. Anjurkan pasien untuk menghindari zat anxiogenic, seperti kafein, minuman
energi, dan lainnya OTC stimulan.
3. Hindari konsumsi alkohol dan penggunaan narkoba.
Memberi edukasi pada keluarga pasien mengenai kepatuhan terapi pengobatan
gangguan panik dan membantu pasien mencapai kesembuhannya.4,6
29
Orang-orang dengan fobia yang spesifik dapat mengantisipasi bahaya, seperti
digigit anjing, atau mungkin dapat menjadi panik pada saat berpikiran kehilangan
control; contohnya, jika mereka takut berada dalam elevator, mereka dapat menjadi
khawatir ataupun pingsan setelah pintu tertutup. Orang dengan fobia social (dikenal
dengan social anxiety disorder) memiliki ketakutan berlebihan akan dipermalukan
di depan umum, seperti berbicara di hadapan public, buang air kecil di toilet umum
(shy bladder), dan berbicara kepada teman kencan. Fobia sosial umum, yang sering
kali kronik dan meniadakan kondisi yang dikarakteristikan dengan penghindaran
fobia dari situasi yang lebih sering, dapat sulit dibedakan dari avoidant personality
disorder
Etiopatogenesis
Prinsip-prinsip umum pada fobia terdiri dari faktor psikoanalitik dan faktor
perilaku.1
Faktor Psikoanalitik
Teori Sigmund Freud menyatakan neurosis fobik, merupakan penjelasan
analitik untuk fobia spesifik dan fobia sosial. Rasa cemas adalah sinyal untuk
menyadarkan ego, bahwa dorongan terlarang di alam bawah sadar yang akan
memuncak dan untuk menyadarkan ego untuk melakukan mekanisme pertahanan
melawan daya insting yang mengancam. Fobia merupakan hasil konflik yang
terpusat pada masalah masa kanak-kanak yang tidak terselesaikan. Jika tindakan
represi untuk mencegah cemas gagal, sistem ego seseorang akan mengaktifkan
mekanisme pertahanan yang berupa “mengalihkan” (displacement), dimana
masalah yang tidak selesai dari masa kanak-kanak akan dialihkan kepada objek atau
situasi yang memiliki kemampuan untuk membangkitkan rasa cemas. Objek atau
situasi tersebut menjadi simbol dari masalah yang dahulu dialaminya
(Symbolization).2
Mekanisme pertahanan ego terhadap rasa cemas terdiri dari tiga hal, yakni
represion, displacement, dan symbolization. Sehingga rasa cemas tersebut teratasi
dengan membentuk phobic neurosis.2
Pada agoraphobia atau erythrophobia, rasa cemas diduga datang dari rasa
30
malu yang mempengaruhi superego. Setiap orang dilahirkan dengan tingkat
temperamen yang berbeda yang menyebabkan mereka dapat menangani stimuli
stress dari luar dengan cara yang berbeda. Dalam memunculkan fobia, diperlukan
tingkat stress yang cukup, seperti kekerasan dalam rumah tangga, terkucilkan dari
kehidupan sosial sampai kehilangan orang yang dicintai.2
Faktor Perilaku
John B. Watson memiliki hipotesis mengenai fobia, dimana fobia muncul dari
rasa cemas dari stimuli yang menakutkan yang muncul bersamaan dengan stimuli
kedua yang bersifat netral. Jika dua stimuli dihubungkan bersamaan, stimuli netral
32
2.1.2. Pedoman Diagnostik
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV ( DSM-IV-
TR)
Fobia Spesifik
Revisi keempat dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders ( DSM-
IV-TR ), menggunakan isitilah fobia spesifik untuk dicocokkan dengan hasil revisi
kesepuluh dari International Statistical Classification of Diseases and Related
Health Problems ( ICD-10 ). 5
DSM-IV-TR 300.29 FOBIA SPESIFIK
A. Ketakutan yang jelas dan menetap yang berlebihan atau tidak beralasan, ditandai oleh
adanya atau antisipasi dari suatu obyek atau situasi spesifik (misalnya, naik pesawat
terbang, ketinggian, binatang, mendapat suntikkan, melihat darah).
B. Pemaparan stimulus fobik hampir selalu mencetuskan respon kecemasan segera, dapat
berupa serangan panik yang berhubungan dengan situasi atau predisposisi oleh situasi.
Catatan : pada anak-anak, kecemasan dapat diekspresikan dengan menangis, tantrum, diam
membeku, atau melekat erat menggendong.
C. Orang menyadari bahwa ketakutan adalah berlebihan atau tidak beralasan .
Catatan : pada anak-anak, gambaran ini mungkin tidak ditemukan
D. Situasi fobik dihindari atau kalau dihadapi adalah dengan kecemasan atau dengan
penderitaan yang jelas.
E. Penghindaran, kecemasan antisipasi, atau penderitaan dalam situasi yang ditakuti
secara bermakna mengganggu rutinitas normal, fungsi pekerjaan (atau akademik), atau
aktivitas sosial atau hubungan dengan orang lain, atau terdapat penderitaan yang jelas
karena menderita fobia.
F. Pada individu yang berusia dibawah 18 tahun, durasi paling sedikit 6 bulan.
G. Kecemasan, serangan panik, atau penghindaran fobik dihubungkan dengan objek atau
situasi spesifik tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain, seperti Gangguan
Obsesif-Kompulsif (misalnya,seseorang takut kotoran dengan obsesi tentang
kontaminasi), Gangguan Stres pascatrauma (misalnya,penghindaran stimulus yang
berhubungan dengan stresor yang berat0, Gangguan Cemas Perpisahan
(misalnya,menghindari sekolah), Fobia Sosial (misalnya,menghindari situasi sosial
37
karena takut merasa malu), Gangguan Panik dengan Agorafobia, atau Agorafobia
Tanpa Riwayat Gangguan Panik.
Sebutkan tipe :
Tipe Binatang
Tipe Lingkungan Alam (misalanya, ketinggan, badai, air)
Tipe Darah, Injeksi, Cedera
Tipe Situasional (misalnya, pesawat udara, elevator, tempat tertutup)
Tipe Lainnya (misalnya, ketakutan tersedak, muntah, atau mengidap penyakit ; pada
Dalam table ini,ketakutan
anak-anak, kriteria A dansuara
pada B telah
kerasdisebutkan didalam
atau karakter DSM-IV-TR untuk
bertopeng).
memberikan kemungkinan jika suatu pajanan terhadap stimulus fobia dapat
mencetuskan serangan panik. Kontras dengan gangguan serangan panik, serangan
panik pada fobia spesifik sangat terikat dengan stimulus penyebabnya. Fobia darah-
suntikan-sakit dibedakan dari fobia yang lain karena didapatkan respon yang
berbeda dari fobia tersebut, yaitu hipotensi yang disusul dengan bradikardi.
Penegakan diagnosa fobia spesifik juga harus difokuskan pada benda yang menjadi
stimulus fobia. Berikut di bawah ini adalah contoh fobia spesifik yakni :
Acrophobia Takut akan ketinggian
Agoraphobia Takut akan tempat terbuka
Ailurophobia Takut akan kucing
Hydrophobia Takut akan air
Claustrophobia Takut akan tempat tertutup
Cynophobia Takut akan anjing
Mysophobia Takut akan kotoran dan kuman
Pyrophobia Takut akan api
Xenophobia Takut akan orang yang asing
Zoophobia Takut akan hewan
Fobia Sosial
38
Menurut DSM-IV-TR untuk fobia sosial dinyatakan bahwa fobia sosial dapat
diikuti dengan serangan panik. DSM-IV-TR juga menyertakan untuk fobia sosial
yang bersifat menyeluruh yang berguna untuk menentukan terapi, prognosis, dan
respon terhadap terapi. DSM-IV-TR menyingkirkan diagnosa fobia sosial bila
gejala yang timbul merupakan akibat dari penghindaran sosialisasi karena rasa malu
dari kelainan mental atau non-mental.5
DSM-IV-TR Diagnostic Criteria for Social Phobia
A. Ketakutan yang jelas dan menetap terhadap satu atau lebih situasi sosial atau
memperlihatkan perilaku dimana orang bertemu dengan orang asing atau
kemungkinan diperiksa oleh orang lain. Ketakutan bahwa ia akan bertindak
dengan cara (atau menunjukkan gejala kecemasan) yang akan menghinakan atau
memalukan.
Catatan : pada anak-anak, harus terbukti adanya kemampuan sesuai usianya untuk
melakukan hubungan sosial dengan orang yang telah dikenalnya dan kecemasan
hanya terjadi dalam lingkungan teman sebaya, bukan dalam interaksi dengan orang
dewasa.
B. Pemaparan dengan situasi sosial yang ditakuti hampir selalu mencetuskan
kecemasan, dapat berupa seragan panik yang berhubungan dengan situasi atai
dipredisposisi oleh situasi.
Catatan : pada anak-anak, kecemasan dapat diekspresikan dengan menangism
tantrumm diam membeku, atau bersembunyi dari situasi sosial dengan orang
asing.
C. Orang menyadari bahwa ketakutan adalah berlebihan atau tidak beralasan.
Catatan : pada anak-anak, gambaran ini mungkin tidak ditemukan
D. Situasi sosial atau memperlihatkan perilaku dihindari atau kalau dihadapi adalah
dengan kecemasan atau dengan penderitaan yang jelas
E. Penghindaran, kecemasan antisipasi, atau penderitaan dalam situasi yang ditakuti
secara bermakna mengganggu rutinitas normal, fungsi pekerjaan (atau akademik),
atau aktivitas sosial atau hubungan dengan orang lain, atau terdapat penderitaan
yang jelas karena menderita fobia.
F. Pada individu yang berusia dibawah 18 tahun, durasi paling sedikit 6 bulan.
39
G. Kecemasan atau penghindaran fobik bukan karena efek fisiologis langsung dari zat
(misalnya, penyalahgunaan zat, pengobatan) atau suatu kondisi medis umum dan
tidak lebih baik dijelaskan oleh gangguan mental lain ( misalnya, Gangguan Panik
Dengan atau Tanpa Agorafobia, Gangguan Cemas Perpisahan, Gangguan
Dismorfik Tubuh, Gangguan Perkembangan Pervasif, atau Gangguan Kepribadian
Skizoid).
H. Jika terdapat suatu kondisi medis umum atau gangguan mental dengannya
misalnya takut adalah bukan gagap, gemetar pada penyakit Parkinson, atau
memperlihatkan perilaku makan abnormal pada Anoreksia Nervosa atau Bulimia
Nervosa.
Sebutkan Jika :
Menyeluruh : jika ketakutan termasuk situasi yang paling sosial (juga pertimbangkan
diagnosis tambahan Gangguan Kepribadian Menghindar)
Penatalaksanaan
Terdapat beberapa macam bentuk terapi, yakni terapi perilaku, psikoterapi dan
berbagai modalitas terapi lainnya.
Terapi Perilaku
Salah satu terapi yang paling sering digunakan dan dipelajari adalah terapi
perilaku. Kesuksesan terapi ini bergantung pada :
komitmen pasien dengan terapi
permasalahan dan tujuan terapi yang jelas
berbagai strategi yang dapat digunakan untuk menangani masalah.
40
membentuk suatu mekanisme respon yang baru terhadap stimulus-stimulus tersebut.
Selain itu, terdapat terapi perilaku yang lain yakni image flooding, dimana pasien
dipajankan dengan gambar-gambar stimulus cemas sampai pada masa dimana
pasien tidak merasakan cemas lagi.2
Psikoterapi
Dahulu psikiater-psikiater percaya bahwa psikoterapi merupakan terapi yang
terutama, namun dengan seiring berjalannya waktu, psikiater dihadapkan pada
kenyataan bahwa psikoterapi tidak mengurangi kecemasan yang timbul dari respon
pasien terhadap stimulus tersebut. Kemudian para psikiater berinisiatif untuk
menghimbau pasien menghadapi sumber-sumber kecemasannya.2
Terapi Lainnya
Hipnosis, terapi suportif, dan terapi keluarga berguna pada terapi gangguan
fobia. Hipnosis digunakan untuk meningkatkan sugesti ahli terapi bahwa objek
fobik tidaklah berbahaya, dan teknik hipnosis diri diajarkan pada pasien sebagai
metode relaksasi jika berhadapan dengan objek fobik. Psikoterapi suportif dan
terapi keluarga berguna dalam membantu pasien secara aktif menghadapi objek
fobik selama pengobatan. Obat-obatan seperti antagonis reseptor α-2 adrenergik
dapat berguna pada pasien dengan fobia spesifik, benzodiazepine, psikoterapi, atau
terapi kombinasi dapat digunakan pada kasus fobia spesifik. Pasien dengan fobia
sosial, psikoterapi dan farmakoterapi berguna untuk menangani gangguan fobia
sosial. Menggabungkan kedua bentuk terapi diduga meningkatkan efektivitas terapi.
Obat-obatan yang dapat digunakan pada fobia sosial berupa :2
Selective Serotonin Reuptake Inhibitor
Benzodiazepine
Venlafaxine
Buspirone
Prognosis
Belum banyak diketahui tentang prognosis fobia, namun kecenderungan menjadi
kronis dan dapat terjadi komorbiditas dengan gangguan lain seperti depresi,
41
penyalahgunaan alkohol, dan obat bila tidak mendapat terapi. Menurut National Institute of
Mental Health,
75% orang dengan fobia spesifik dapat mengatasi ketakutannya dengan terapi
kognitif perilaku
• 80% orang dengan fobia sosial membaik dengan farmakoterapi, terapi kognitif
perilaku atau kombinasi
• Agorafobia dengan gangguan panik yang diterapi :
o 30-40%: bebas gejala untuk waktu yang lama
o 50% : gejala ringan yang tidak menggangu kehidupan sehari - hari
o 10-20%: tidak membaik
Gangguan fobia ditentukan tergantung pada perilaku fobik apakah dapat mengganggu
kemampuan seseorang berfungsi, ketergantungan finansial pada orang lain dan gangguan
dalam kehidupan sosial, pekerjaan dan akademik.1,2
Etiopatogenesis
Penyebab gangguan obsesi kompulsi bersifat multifaktorial, yaitu interaksi antara
factor biologik, genetik, dan faktor psikososial.2,6
42
individu
2. Perasaan cemas/takut akan ide atau impuls yang aneh
3. Obsesi dan kompulsi yang egoalien
4. Pasien mengenali obsesi dan kompulsi merupakan sesuatu yang abstrak dan
irasional
5. Individu yang menderita obsesi kompulsi merasa adanya keinginan kuat untuk
melawan
Pedoman Diagnostik
Kriteria diagnosis menurut DSM-IV :
A. Salah satu Obsesif atau kompulsif
Obsesi didefinisikan sebagai berikut :
43
1. Pikiran, impuls atau bayangan yang pernah dialami yang berulang dan menetap
yang intrusive dan tidak serasi, yang menyebabkan ansietas dan distress, yang ada
selama periode gangguan.
2. Pikiran, impuls atau bayangan bukan ketakutan terhadap problem kehidupan yang
nyata.
3. Individu berusaha untuk mengabaikan atau menekan pikiran, impuls, atau
bayangan atau menetralisir dengan pikiran lain atau tindakan.
4. Individu menyadari bahwa pikiran, impuls, bayangan yang berulang berasal dari
pikirannya sendiri tidak disebabkan faktor luar atau pikiran yang disisipkan).5
B. Pada waktu tertentu selama perjalanan penyakit, individu menyadari bahwa obsesi
dan kompulsi berlebihan dan tidak beralasan. Catatan keadaan ini tidak berlaku
pada anak.
C. Obsesi dan kompulsi menyebabkan distress, menghabiskan waktu (membutuhkan
waktu lebih dari 1 jam perhari) atau mengganggu kebiasaan normal, fungsi
pekerjaan atau akademikatau aktivitas social.
D. Bila ada gangguan lain pada aksis 1, isi dari obsesi dan kompulsi tidak terkait
dengan gangguan tersebut.
E. Gangguan tidak disebabkan efek langsung dari penggunaan zat (misalnya
penyalahgunaan zat, obat) atau kondisi medik umum.
Penatalaksanaan
Mengingat faktor utama penyebab gangguan obsesif-kompulsif adalah factor
biologik, maka pengobatan yang disarakan adalah pemberian farmakoterapi dan
terapi perilaku. Banyak pasien gangguan obsesi-kompulsif yang resisten terhadap
usaha pengobatan yang diberikan baik dengan obat maupun terapi perilaku.
Walaupun dasar gangguan obsesif-kompulsif adalah biologik, namun gejala obsesif-
kompulsifnya mungkin mempunyai makna psikologis penting yang membuat pasien
menolak akan pengobatan. Eksplorasi psikodinamik terhadap pengobatan sering
memperbaiki kepatuhan berobat.
Beberapa penelitian mendapatkan bahwa kombinasi farmakoterapi dan terapi
perilaku lebih efektif menurunkan gejala obsesif-kompulsif.9,10
45
adanya peristiwa yang menjadi pencetus, gejala yang episodik. 2,11,12
Etiopatogenesis
1. Gen.
Saat ini, banyak ilmuwan yang berfokus mencari gen yang berperan dalam
menciptakan sensasi rasa ketakutan. Dengan memahami bagaimana sensasi rasa
ketakutan tercipaa dapat membantu untuk memperbaiki atau membuat intervensi
yang bermanfaat untuk mengurangi gejala PTSD. Misalnya, peneliti telah
46
menemukan gen yang menimbulkan sensasi rasa takut, yaitu Stathmin. Dalam satu
penelitian, tikus yang tidak membuat stathmin setelah terkena pengalaman
menakutkan, kurang menunjukan respon protektif alami terhadap bahaya. Mereka
hanya menunjukkan sedikit rasa takut saat menjelajahi ruang terbuka daripada tikus
normal.
2. Area otak.
Dengan mempelajari bagian otak yang terlibat dalam pembentukan rasa
takut dan stress membantu peneliti untuk lebih memahami kemungkinan penyebab
PTSD. Salah satu struktur otak tersebut adalah amigdala, yang dikenal karena
perannya dalam emosi, belajar, dan memori. Amigdala tampaknya aktif dalam
akuisisi ketakutan atau belajar untuk takut terhadap suatu kondisi (seperti
menyentuh kompor panas), serta pada tahap awal hilangnya ketakutan atau fase
belajar untuk tidak takut.8
Menyimpan kenangan menakutkan dan meredam respon rasa takut
tampaknya melibatkan korteks prefrontal (PFC) daerah otak, dimana bagian ini juga
terlibat dalam tugas-tugas seperti pengambilan keputusan, pemecahan masalah, dan
penilaian. Daerah tertentu dari PFC memainkan peran yang sedikit berbeda.
Sebagai contoh, ketika dianggap sumber stres terkendali, medial PFC menekan
kerja amigdala di alarm pusat yang berada jauh di batang otak dan mengontrol
respon terhadap stres. Lobus ventromedial PFC membantu mempertahankan
memori menakutkan jangka panjang, dan ukuran daerah otak ini dapat
mempengaruhi kemampuannya untuk penyimpanan.
Perbedaan pada setiap individu dalam gen atau daerah otak dapat mengatur
47
muncul tidaknya gejala PTSD. Faktor lingkungan, seperti trauma masa kecil, cedera
kepala, atau riwayat penyakit mental, mungkin lebih meningkatkan risiko seseorang
dimana mempengaruhi pertumbuhan awal otak. Juga, kepribadian dan faktor
kognitif, seperti optimisme dan kecenderungan untuk melihat tantangan dengan
cara yang positif atau negatif, serta faktor-faktor sosial, seperti ketersediaan dan
penggunaan dukungan sosial, tampaknya mempengaruhi bagaimana orang
menyesuaikan diri dengan trauma. Penelitian lebih lanjut mungkin menunjukkan
apa kombinasi ini atau mungkin faktor lain dapat digunakan suatu hari nanti untuk
memprediksi siapa yang akan mengembangkan PTSD setelah peristiwa traumatis.2,8
2. Gejala “Menghindar”
• Sengaja tinggal jauh dari tempat atau benda pengingat memori yang
menakutkan
• Membuat mati rasa secara emosional
• Rasa bersalah yang kuat, depresi, atau khawatir
• Kehilangan minat dalam kegiatan yang menyenangkan di masa lalu
• Memiliki kesulitan mengingat peristiwa yang berbahaya.
Hal-hal yang mengingatkan orang tentang peristiwa traumatik dapat memicu
48
kembali PTSD. Gejala-gejala ini dapat menyebabkan seseorang untuk
mengubah rutinitas pribadinya. Sebagai contoh, setelah kecelakaan mobil
yang parah, orang yang biasanya berkendara mungkin menghindari
mengemudi atau mengendarai mobil.
3. Gejala “hyperarousal”
• Menjadi mudah terkejut
• Merasa tegang atau "di tepi"
• Memiliki kesulitan tidur, dan / atau memiliki luapan kemarahan.
Gejala hyperarousal biasanya konstan, tidak dipicu oleh hal-hal yang
mengingatkan salah satu peristiwa traumatis. Mereka bisa membuat
seseorang mendadak merasa stres dan marah. Gejala-gejala ini dapat
membuat sulit untuk melakukan tugas-tugas sehari-hari, seperti tidur, makan,
atau berkonsentrasi.
Merupakan hal wajar untuk memiliki beberapa gejala setelah peristiwa
berbahaya. Kadang-kadang orang memiliki gejala yang sangat serius yang
hilang setelah beberapa minggu. Ini disebut gangguan stres akut, atau ASD.
Ketika gejala berlangsung lebih dari beberapa minggu dan menjadi masalah
yang berkelanjutan, mereka mungkin menderita PTSD. Beberapa orang
dengan PTSD tidak menunjukkan gejala selama beberapa minggu atau
bulan.2,8
cedera atau kematian. Mereka juga mungkin memiliki pikiran untuk membalas
dendam.
Pedoman Diagnostik
Berdasarkan kriteria dari Edisi Keempat dari Diagnostik dan Statistik Manual of
Mental Disorders, Teks Revisi (DSM-IV-TR, American Psychiatric Association,
2000)
• Adanya Paparan terhadapTrauma - Seseorang yang telah terkena trauma, di mana
ia telah mengalami atau menyaksikan suatu peristiwa yang melibatkan ancaman
kematian, cedera serius, atau ancaman terhadap kesejahteraan fisik diri sendiri
atau orang lain. Hanya ancaman fisik yang dapat dihitung dalam definisi trauma
dalam PTSD. Situasi yang merupakan ancaman psikologis (misalnya, perceraian,
dikritik oleh orang yang dicintai, yang menggoda) tidak dianggap trauma dalam
definisi PTSD, meskipun mereka dapat menyebabkan kesulitan bagi individu.
• Respon ketakutan, tidak berdaya, atau Horror - Respon langsung terhadap trauma
salah satunya adalah ketakutan, tak berdaya atau horor (pada anak-anak,
mungkin respon yang melibatkan perilaku tidak teratur atau agitasi). Jadi, jika
salah satu respon terutama seorang individu terhadap trauma merupakan
kesedihan atau kerugian bukannya rasa takut (ini sering terjadi setelah kematian
orang yang dicintai yang sakit), tidak akan didiagnosis PTSD.
• Gejala mengalami Trauma berulang - Individu terus-menerus kembali
mengalami trauma di setidaknya satu dari cara berikut:
1. Kenangan berulang dan mengganggu, gambar, dan pemikiran tentang
trauma.
2. Mimpi berulang dan mengganggu atau mimpi buruk tentang trauma
3. Bertindak atau merasa seolah-olah trauma itu terjadi lagi (pengalaman ini
sering disebut kilas balik). Ini mungkin termasuk halusinasi (misalnya,
melihat hal-hal atau mendengar suara-suara yang hadir selama trauma,
meskipun mereka tidak benar-benar ada saat ini), salah menafsirkan hal-hal
50
yang mendengar atau melihat (misalnya, yang yakin bahwa suara kembang
api di kejauhan sebenarnya suara tembakan).
Penatalaksanaan
Terapi utama untuk orang-orang dengan PTSD adalah psikoterapi (terapi
bicara), obat-obatan, atau keduanya. Setiap orang berbeda, sehingga pengobatan
yang bekerja untuk satu orang dapat pula tidak bekerja bagi orang lain. Beberapa
orang dengan PTSD perlu mencoba beberapa perawatan yang berbeda untuk
menemukan terapi apa yang efektif untuk gejala mereka.
Jika seseorang dengan PTSD akan melalui trauma yang berkelanjutan, seperti
berada dalam hubungan relasi yang kurang baik, keduanya merupakan masalah
yang perlu diobati. Masalah yang sedang berlangsung lainnya dapat termasuk
gangguan panik, depresi, penyalahgunaan zat, dan merasa ingin bunuh diri.
Psikoterapi
Psikoterapi adalah terapi "bicara". Terapi ini harus melibatkan seorang
profesional kesehatan mental. Psikoterapi dapat terjadi satu-satu atau dalam
kelompok. Terapi bicara untuk PTSD biasanya berlangsung 6 sampai 12 minggu,
tetapi dapat pula mengambil lebih banyak waktu. Penelitian menunjukkan bahwa
dukungan dari keluarga dan teman-teman dapat menjadi bagian terpenting dari
terapi. Banyak jenis psikoterapi dapat membantu orang dengan PTSD. Salah satu
terapi yang dapat membantu disebut terapi perilaku kognitif, atau CBT. Ada
beberapa bagian untuk CBT, termasuk:
• Terapi Exposure.
Terapi ini membantu orang menghadapi dan mengendalikan ketakutan mereka.
Karena dengan menghadapkan mereka kepada trauma yang mereka alami dengan
cara yang aman. Menggunakan citra mental, menulis, atau kunjungan ke tempat di
mana peristiwa itu terjadi. Terapis menggunakan alat ini untuk membantu orang
52
dengan PTSD mengatasi kekacauan perasaan mereka.
• Kognitif restrukturisasi.
Terapi ini membantu orang memahami kenangan buruk. Kadang-kadang
orang mengingat peristiwa berbeda dari bagaimana hal itu terjadi. Mereka mungkin
merasa bersalah atau malu tentang apa yang bukan kesalahan mereka. Terapis
membantu orang dengan PTSD melihat apa yang terjadi dengan cara yang realistis.
• Pelatihan inokulasi Stres.
Terapi ini mencoba untuk mengurangi gejala PTSD dengan mengajar orang
bagaimana untuk mengurangi kecemasan. Seperti restrukturisasi kognitif,
perawatan ini membantu orang melihat kenangan mereka dengan cara yang sehat.
Jenis lain dari pengobatan juga dapat membantu orang dengan PTSD. Orang
dengan PTSD harus bicara tentang semua pilihan pengobatan dengan terapis
mereka.1,2
Terapi Bicara
Terapi Bicara mengajarkan orang cara berguna untuk bereaksi terhadap
peristiwa menakutkan yang memicu gejala PTSD mereka. Berdasarkan tujuan
umum tersebut, berbagai jenis terapi dapat:
• Ajarkan tentang trauma dan dampaknya.
• Gunakan relaksasi dan keterampilan mengendalikan amarah.
• Memberikan tips untuk tidur yang lebih baik, diet, dan kebiasaan olahraga.
• Membantu orang mengidentifikasi dan menangani rasa bersalah, malu,
dan perasaan lain tentang kejadian tersebut.
• Fokus pada perubahan bagaimana orang bereaksi terhadap gejala PTSD
mereka. Misalnya, terapi membantu orang mengunjungi tempat-tempat dan orang-
orang yang pengingat dari trauma.
Obat-obatan
US Food and Drug Administration (FDA) telah menyetujui dua obat untuk
mengobati orang dewasa dengan PTSD:
• Sertraline (Zoloft)
• Paroxetine (Paxil)
53
Kedua obat ini adalah antidepresan, yang juga digunakan untuk mengobati
depresi. Kadang-kadang orang yang memakai obat ini memiliki efek samping.
Dampaknya bisa mengganggu, tetapi mereka biasanya pergi. Namun, obat
mempengaruhi setiap orang berbeda. Setiap efek samping atau reaksi yang tidak
biasa harus dilaporkan ke dokter segera.
Efek samping yang paling umum dari antidepresan seperti paroxetine
sertraline dan adalah:
• Sakit kepala, yang biasanya hilang dalam beberapa hari.
• Mual (merasa sakit perut), yang biasanya hilang dalam beberapa hari.
• Tidur atau mengantukAgitasi (perasaan gelisah).
• Masalah seksual.
• Kadang-kadang dosis obat perlu dikurangi atau waktu hari itu diambil perlu
disesuaikan untuk membantu mengurangi efek samping.1,2
Obat lain
Dokter mungkin juga meresepkan jenis obat, seperti yang tercantum di bawah
ini. Ada sedikit informasi tentang seberapa baik ini bekerja untuk orang dengan
PTSD.
1. Benzodiazepin.
2. Antipsikotik.
3. Antidepresan lain.
KORMOBIDITAS
54
Gangguan cemas menyeluruh mungkin adalah gangguan yang paling sering
muncul bersamaan dengan gangguan jiwa lain, biasanya fobia sosial, fobia spesifik,
gangguan panic, atau gangguan depresif. Mungkin 50 hingga 90 persen pasien
dengan gangguan cemas menyeluruh memiliki gangguan jiwa lain. Sebanyak 25
persen pasien akhirnya mengalami gangguan panic. Suatu tambahan presentase
pasien yang tinggi cenderung memiliki gangguan depresif berat. Gangguan lazim
yang terkait gangguan cemas menyeluruh adalah gangguan distimik, fobia sosial dan
spesifik, serta gangguan terkait zat.2,5
Etiopatogenesis
Faktor biologis
Area otak yang diduga terlibat pada timbulnya gangguan ansietas menyeluruh
adalah lobus oksipitalis yang mempunyai reseptor benzodiazepine tertinggi di otak.
Basal ganglia, system limbic dan korteks frontal juga dihipotesiskan terlibat pada
etiologi timbulnya gangguan ansietas menyeluruh. Pada pasien dengan gangguan
ansietas menyeluruh juga ditemukan system serotonergik yang abnormal.
Neurotransmitter yang berkaitan dengan gangguan ansietas menyeluruh adalah
GABA, serotonin, norepinefrin, glutamate, dan kolesistokinin.
Pemeriksaan PET (Positron Emision Tomography) pada pasien dengan
gangguan ansietas menyeluruh ditemukan penurunan metabolism di ganglia basal
dan massa putih otak.2,8
Faktor genetik
Pada sebuah studi didapatkan bahwa terdapat hubungan genetic pasien dengan
gangguan ansietas menyeluruh dan gangguan depresi mayor pada pasien wanita.
Sekitar 25 % dari keluarga tingkat pertama penderita gangguan ansietas menyeluruh
juga menderita gangguan yang sama. Sedangkan penelitian pada pasangan kembar
didapatkan angka 50 % pada kembar monozigot dan 15 % pada kembar dizigotik.2,8
Teori psikoanalitik
Pedoman Diagnostik
Criteria diagnosis DSM-IV-TR memasukkan criteria yang membantu klinisi
56
membedakan gangguan ansietas menyeluruh,, ansietas normal, dan gangguan mental
lain.
Kriteria diagnostic DSM-IV-TR untuk gangguan ansietas menyeluruh2,5
A. Ansietas dan kekhawatiran berlebihan (perkiraan yang menakutkan) terjadi hanmpir
setiap hari selama setidaknya 6 bulan, mengenai sejumlah kejadian atau aktivitas
(seperti bekerja atau bersekolah)
B. Orang tersebut merasa sulit mengendalikan kekhawatirannya. Ansietas dari
kekhawatiran dikaitkan dengan tiga (atau lebih) dari keenam gejala berikut (dengan
beberapa gejala setidaknya muncul hampir setiap hari selama 6 bulan).
C. Perhatikan : hanya satu gejala yang diperlukan pada anak-anak
1. Gelisah atau merasa terperangkap atau terpojok
2. Mudah merasa lelah
3. Sulit berkonsentrasi atau pikiran menjadi kosong
4. Mudah marah
5. Otot tegang
6. Gangguan tidur (sulit tertidur atau tetap tidur, atau tidur yang gelisah dan tidak
puas)
D. Focus dari ansietas dan kekhawatiran tidak terbatas hanya pada gambaran gangguan
Aksis I, misalnya ansietas atau cemas bukan karena mengalami serangan panic
(seperti pada gangguan panic), merasa malu berasa di keramaian (seperti pada fobia
sosial), merasa kotor (seperti pada gangguan obsesif kompulsif), jauh dari rumah atau
kerabat dekat (seperti pada gangguan ansietas perpisahan), bertambah berat badan
(seperti pada anorexia nervosa), mengalami keluhan fisik berganda (seperti gangguan
somatisasi), atau mengalami penyakit serius (seperti pada hipokondriasis), juga
ansietas dan kekhawatiran tidak hanya terjadi selama gangguan stress pasca trauma.
E. Ansietas, kekhawatiran, atau gejala fisik menyebabkan distress yang secara klinis
bermakna atau hendaya sosial, pekerjaan, atau area penting fungsi lainnya.
F. Gangguan tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya
penyalahgunaan obat-obatan) atau keadaan medis umum (misalnya hipertiroidisme)
dan tidak terjadi hanya selama gangguan mood, gangguan psikotik atau gangguan
pervasive.
57
Dari American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical Manual of Mental
Disorder. Edisi ke-4. rev. Text rev. Washington, DC. American psychiatric Association;
copyright 2000, dengan izin.
Penatalaksanaan
Terapi yang paling efektif untuk gangguan ansietas menyeluruh mungkin adalah
terapi yang menggabungkan pendekatan psikoteraputik, farmakoterapeutik, dan
suportif. Terapi ini dapat memakan waktu yang cukup lama bagi klinisi yang terlibat,
baik bila klinisi tersebut adalah seorang psikiater, dokter keluarga, atau spesialis lain.
PSIKOTERAPI
Terapi kognitif-perilaku
Pendekatan kognitif mengajak pasien secara langsung mengenali distorsi kognitif
dan pendekatan perilaku, mengenali gejala somatic secara langsung. Teknik utama
yang digunakan pada pendekatan behavioral adalah relaksasi dan biofeedback.
Terapi suportif
Pasien diberikan reassurance dan kenyamanan, menggali potensi-potensi yang ada
dan belum tampak, didukung egonya, agar lebih bisa beradaptasi optimal dalam
fungsi sosial dan pekerjaannya.
Psikoterapi berorientasi tilikan
Terapi ini mengajak pasien untuk mencapai penyingkapan konflik bawah sadar,
menilik egostrength, relasi obyek, serta keutuhan self pasien. Dari pemahaman akan
komponen-komponen tersebut, kita sebagai terapi dapat memperkirakan sejauh
mana pasien dapat diubah untuk menjadi lebih matur; bila tidak tercapai, minimal
kita memfasilitasi agar pasien dapat beradaptasi dalam fungsi sosial dan
pekerjaannya.
FARMAKOTERAPI
59
Kekurangannya adalah efek klinisnya baru terasa setelah 2-3 minggu. Dapat
dilakukan penggunaan bersama antara benzodiazepine dengan buspiron kemudian
dilakukan tapering benzodiazepine setelah 2-3 mnggu, disaat efek terapi buspiron
sudah mencapai maksimal.
Selective serotonin reuptake inhibitors. Sertralin dan paroxetin merupakan pilihan
yang lebih baik daripada fluoksetin. Pemberian fluoksetin dapat meningkatkan
ansietas sesaat. SSRI selektif terutama pada pasien dengan gangguan cemas
menyeluruh dengan riwayat depresi.
Obat lain. Obat lain yang telah terbukti berguna untuk gangguan ansietas
menyeluruh mencakup obat trisiklik atau tetrasiklik. Antagonis reseptor β-adrenergik
dapat mengurangi manifestasi somatic ansietas tetapi tidak keadaan yang mendasari,
dan penggunaannya biasanya terbatas pada ansietas situasional seperti ansietas
penampilan. Nefazodon yang juga digunakan pada depresi, telah terbukti
mengurangi ansietas dan mencegah gangguan panic.
60
Pada semua kasus, tanda dan gejala disebabkan efek fisiologis langsung keadaan
medis.1
Etiologi
Suatu kisaran luas keadaan medis dapat menyebabkan gejala yang serupa
dengan gangguan ansietas. Hipertiroidisme, hipotiroidisme, hipoparatiroidisme, dan
defisiensi vitamin B12 sering dikaitkan dengan gejala ansietas. Feokromositoma
menghasilkan epinefrin, yang dapat menyebabkan epidose paroksismal gejala
ansietas. Lasei tertentu pada otal dam kondisi pascaensefalitis di laporkan
menghasilkan gejala yang identik dengan gejala yang terlihat pada gangguan
obsesif-kompulsif. Keadaan medis lain, seperti aritmia jantung, dapat menghasilkan
gejala fisiologis gangguan panic. Hipoglikemia juga dapat menyerupai gejala
gangguan ansietas.
Diagnosis
Diagnosis gangguan ansietas akibat keadaan medis umum menurut revisi
keempat diagnostic and statistical manual of mental disorders (DSM-IV-TR)
mensyaratkan adanya gejala gangguan ansietas. DSM-IV-TR memungkinkan klinisi
merinci apakah gangguan ini ditandai dengan gejala ansietas menyeluruh, serangan
panic, atau gejala obsesif kompulsif.
Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Ansietas Akibat Keadaan Umum
A. Ansietas, serangan panic, atau obsesi maupun kompulsif menonjol dan mendominasi
gambaran klinis.
B. Terdapat bukti dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temua laboratorium bahwa
gangguan ini merupakan akibat fisiologis langsung suatu keadaan medis umum.
C. Gangguan ini tidak lebih mungkin disebabkan gangguan jiwa lain (contohnya
gangguan penyesuaian dengan ansietas yang stresornya adalah keadaan medis umum
61
yang serius)
D. Gangguan ini tidak hanya terjadi saat delirium
E. Gangguan ini menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau hendaya
dalam area fungsi sosial, pekerjaan, atau area fungsi penting lain.
Tentukan jika :
Dengan ansietas menyeluruh : jika ansietas atau kekhawatiran berlebihan mengenai
sejumlah peristiwa atau aktivitas mendominasi gambaran klinis.
Dengan serangan panic : jika serangan panic mendominasi gambaran klinis
Dengan gejala obsesif kompulsif : jika obsesi atau kompulsi mendominasi gambaran
klinis
Catatan pemberian kode : mencakup nama keadaan medis umum pada Aksis I,
contohnya gangguan ansietas akibat feokromositoma dengan ansietas menyeluruh, juga
beri kode keadaan medis umum pada aksis III.
Dari American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder. 4th ed. Text rev. Washington DC. American Psychiatric Association, copyright
2000, dengan izin.
Gambaran Klinis
Gejala gangguan ansietas akibat keadaan medis umum dapat identik dengan
gejala gangguan ansietas primer. Suatu sindrom yang serupa dengan gangguan panic
adalah gambaran klinis yang paling lazim. Pasien yang memiliki kardiomiopati
dapat memiliki insiden paling tinggi untuk gangguan panikakibat keadaan medis
umum. Satu studi melaporkan bahwa 83 persen pasien kardiomiopati yang
menunggu transplantasi jantung mengalami gangguan panic. Pada sejumlah studi,
sekitar 25 persen pasien dengan penyakit Parkinson dan penyakit paru obstruktif
kronis memiliki gejala gangguan panic. Gangguan medis lain yang dikaitkan dengan
gangguan panic mencakup nyeri kronis, sirosis bilier primer, dan epilepsy, terutama
jika fokusnya berada pada girus parahipokampus kanan. Prevalensi tertinggi gejala
gangguan ansietas menyeluruh akibat gangguan medis tampaknya ada pada penyakit
Grave, pada penyakit ini sebanyak dua pertiga pasien memenuhi criteria gangguan
ansietas menyeluruh.
2.6.1.4. Diagnosis Banding
62
Pemeriksaan status mental penting dilakukan untuk menentukan adanya gejala
mood atau gejala psikotik yang dapat mengesankan adanya diagnosis psikiatrik lain.
Bagi seorang klinisi, untuk menyimpulkan bahwa seorang pasien mengalami
gangguan ansietas akibat keadaan umum, pasien harus dengan jelas memiliki
ansietas sebagai gejala utama dan harus memiliki gangguan medis nonpsikiatri
spesifik yang menjadi penyebab. Untuk memastikan suatu keadaan medis umum
sebagai penyebab ansietas, klinis harus tahu apakah keadaan medis dan gejala
ansietas berkaitan erat di dalam literature, awitan usia (gangguan ansietas primer
biasanya memiliki awitan sebelum usia 35 tahun), dan riwayat keluarga pasien
dengan gangguan ansietas dan keadaan medis umum yang relevan (contohnya
hipertiroidisme). Diagnosis gangguan penyesuaian dengan ansietas juga harus
dipertimbangkan di dalam diagnosis banding.2
2.6.1.7 Terapi
Terapi utama gangguan ansietas akibat keadaan medis umum adalah terapi
untuk keadaan medis yang mendasari. Jika pasien juga memiliki gangguan
penggunaan alcohol atau zat lain, gangguan ini juga harus diterapi untuk
63
memperoleh kembali gejala gangguan ansietas. Jika penyingkiran keadaan medis
primer tidak memperbaiki gejala gangguan ansietas, terapi gejala tersebut harus
mengikuti pedoman terapi untuk gangguan jiwa spesifik. Umumnya, teknik
modifikasi perilaku, agen ansiolitik, dan antidepresan serotonergik merupakan
modalitas terapi yang paling efektif.
Etiopatogenesis
Suatu kisaran luas zat dapat menyebabkan gejala ansietas yang menyerupai
gangguan ansietas DSM-IV-TR. Walaupun simpatomimetik (seperti amfetiman,
kokain, dan kafein) merupakan zat yang paling sering dikaitkan dengan produksi
gejala gangguan ansietas, banyak obat serotonergik (contohnya lysergic acid
diethylamide [LSD] dan methylenedioxymethamphetaminde [MDMA]) juga dapat
menimbulkan sindrom ansietas akut maupun kronis pada pengguna obat ini. Suatu
kisaran luas obat yang diresepkan juga dikaitkan dengan munculnya gejala gangguan
ansietas pada orang yang rentan.1,2
Diagnosis
Kriteria diagnosis DSM-IV-TR gangguan ansietas dicetuskan zat
mengharuskan adanya ansietas, serangan panic, obsesi atau kompulsif yang
menonjol (table 13.7-2). Pedoman DSM-IV-TR menyatakan bahwa gejalanya harus
timbul selama penggunaan zat atau dalam 1 bulan setelah penghentian penggunaan
zat, tetapi DSM-IV-TR mendorong klinisi untuk menggunakan penilaian klinis yang
sesuai untuk mengkaji hubungan antara pajanan zat dengan gejala ansietas. Struktur
diagnosis mencakup merinci zat (contohnya kokain), merinci keadaan yang sesuai
selama awitan (contohnya intoksikasi), dan menyebut pola gejala spesifik
(contohnya serangan panic).8
Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR gangguan ansietas yang dicetuskan zat5
64
A. Ansietas serangan panic atau obsesi maupun kompusif yang menonjol dan
mendominasi gambaran klinis.
B. Terdapat bukti dari anamnesis, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium
baik (1) atau (2)
1) Gejala pada criteria A timbul selama atau dalam 1 bulan sejak intoksikasi atau
putus zat
2) Penggunaan obat secara etiologis terkait dengan gangguan ini
C. Gangguan ini tidak lebih mungkin disebabkan oleh gangguan ansietas yang
bukan dicetuskan zat. Bukti bahwa gejala disebabkan oleh gangguan ansietas
yang bukan dicetuskan zat dapat mencakup hal berikut: gejala mendahului
awitan penggunaan zat (atau penggunaan obat); gejala bertahan untuk suatu
periode waktu tertentu (contoh sekitar satu bulan) setelah penghentian zat akut
atau intoksikasi berat atau gejala sangat melebihi yang diharapkan pada jenis
maupun jumlah zat yang digunakan dan durasi penggunaannya; atau terdapat
bukti lain, yang mengesankan terdapat gangguan ansietas yang tidak dicetuskan
zat (contoh riwayat episode berulang yang tidak dicetuskan zat).
D. Gangguan tidak hanya terjadi saat delirium.
E. Gangguan menimbulkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau hendaya
dalam area fungsi sosial, pekerjaan atau area fungsi penting lain.
Catatan : diagnosis harus dibuat sebagai pengganti diagnosis intoksikasi zat atau
65
putus zat hanya jika gejala ansietas melebihi gejala yang biasanya terkait
intoksikasi atau sindrom putus zat dan jika gejala ansietas cukup berat untuk
mendapatkan perhatian klinis.
kode gangguan ansietas yang dicetuskan (zat tertentu)
alcohol, amfetamin (atau zat lir-amfetamin); kafein; kanabis; kokain; halusinogen;
inhalan; fensiklidin (atau zat mirip fensiklidin); sedative, hipnotik, atau
ansiolitik; zat lain (atau tidak diketahui)
tentukan jika :
dengan ansietas menyeluruh : jika ansietas atau kekhawatiran berlebihan
mengenai sejumlah peristiwa atau aktivitas mendominasi tampilan klinis
dengan serangan panic : jika serangan panic mendominasi tampilan klinis
dengan gejala obsesif kompulsif : jika obsesi atau kompulsi mendominasi
tampilan klinis
dengan gejala fobik : jika gejala fobik mendominasi tampilan klinis
tentukan jika :
dengan awitan selama intoksikasi : jika memenuhi criteria intoksikasi zat tersebut
dan gejala timbul selama sindrom intoksikasi
dengan awitan selama putus zat : jika memenuhi criteria putus zat dan gejala
timbul selama atau segera setelah sindrom putus zat
Dari American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder. 4th ed. Text rev. Washington DC. American Psychiatric
Association, copyright 2000, dengan izin.
Gambaran Klinis
Gambaran klinis terkait pada gangguan ansietas yang dicetuskan zat bervariasi
sesuai zat yang terlibat. Bahkan penggunaan psikostimulan yang tidak sering dapat
menimbulkan gejala gangguan ansietas pada sejumlah orang. Hal yang juga
berkaitan dengan gejala gangguan ansietas adalah hendaya kognitif pemahaman,
perhitungan, dan daya ingat. Deficit kognitif ini biasanya reversible ketika
penggunaan zat dihentikan.
66
Diagnosis Banding
Terapi
Terapi primer gangguan ansietas yang dicetuskan zat adalah menyingkirkan
zat penyebab yang terlibat. Kemudian klinisi harus berfokus untuk menemukan
terapi alternative jika zat tersebut merupakan obat yang diindikasikan secara medis,
juga untuk membatasi pajanan pasien jika zat tersebut didapatkan melalui pajanan
lingkungan, atau mentatalaksana gangguan terkait zat yang mendasari. Jika gejala
gangguan ansietas berlanjut walaupun penggunaan zat telah dihentikan, terapi gejala
gangguan ansietas dengan modalitas psikoterapeutik atau farmakoterapeutik
mungkin sesuai untuk keadaan ini.
dengan ansietas atau gangguan campuran ansietas dan mood depresi. Pasien seperti
ini paling sesuai jika diklasifikasikan memiliki gangguan ansietas yang tidak
67
tergolongkan. DSM-IV-TR mencakup empat contoh keadaan yang sesuai untuk
diagnosis ini. Salah satu contohnya adalah gangguan campuran ansietas depresif.
68
Gangguan Campuran Ansietas Depresif
Definisi
Etiopatogenis
Empat garis bukti penting mengesankan bahwa gejala ansietas dan gejala
depresif terkait secara kausal pada sejumlah pasien yang mengelami gejala ini.
Pertama, sejumlah peneliti melaporkan temuan neuroendokrin yang serupa pada
gangguan depresif dan gangguan ansietas, terutama gangguan panic, termasuk
menumpulnya respons kortisol terhadap hormone adrenokort, kotropik, respons
hormone pertumbuhan yang tumpul terhadap klonidin (Catapres), dan respons TSH
serta prolaktin yang tumpul terhadap TRH (thyrotropin-releasing hormone). Kedua,
sejumlah peneliti melaporkan data yang menunjukkan bahwa hiperaktivitas system
noradnergeik sebagai penyebab relevan pada sejumlah pasien dengan gangguan
depresifdan gangguan panik. Secara rinci, studi ini telah menemu-kan adanya
konsentrasi metabolit norepinefrin 3-methoxy-4- hydroxyphenylglycol (MHPG)
yang meningkat di dalam urin, plasma, atau cairan serebrospinalis (CSF) pada pasien
dengan depresi dan gangguan panik yang sedang aktif mengalami serangan panik.
Seperti pada gangguan ansietas dan gangguan depresif lain, serotonin dan asam y-
aminobutirat (GABA) juga rnungkin terlibat sebagai penyebab di dalam gangguan
campuran ansietas depresif. Ketiga, banyak studi menemukan bahwa obat
serotonergik, seperti fluoxetine (Prozac) dan clomipramine (Anafrani I), berguna
69
dalam terapi gangguan depresif dan ansietas. Keempat, sejumlah studi keluarga
melaporkan data yang menun-jukkan bahwa gejala ansietas dan depresi berhubungan
pada secara genetik sedikitnya beberapa keluarga.
Diagnosis
70
tidak puas)
3) Lelah atau energy rendah
4) Iritabilitas
5) Khawatir
6) Mudah meneangis
7) Hipervigillance
8) Antisipasi hal terburuk
9) Tidak ada harapan (pesimis yang menetap akan masa depan)
10) Harga diri yang rendah atau rasa tidak berharga
C. Gejala menimbulkan penderitaan yang secara klnis bermkana atau hendaya dalam
area fungsi sosial, pekerjaan, atau area fungsi penting lain
D. Gejala tidak disebabkan efek biologis langsung suatu zat (contohnya
oenyakahgunaan obat, pengobatan) atau keadaan medis umum
E. Semua hal berikut ini :
1) Criteria tidak pernah memenuhi gangguan depresif berat, gangguan distimik,
gangguan panic, atau gangguan ansietas menyeluruh
2) Criteria saat ini tidak memenuhi gangguan mood atau ansietas lain (termasuk
gangguan asietas atau ganngguan mood, dalam remisi parsial)
3) Gejala tidak lebih mungkin disebabkan gangguan jiwa lain
Gambaran Klinis
Berdasarkan data klinis sampai saat ini, pasien tampak sama besar kernungkinannya
untuk memiliki gejala ansietas 'yang menonjol, gejala depresif yang menonjol, atau
campuran dua gejala dengan besar yang sama saat awitan. Selama perjalanan
71
penyakit, dominasi gejala ansietas dan depresif dapat bergantian. Prognosisnya tidak
diketahui.
diTerapi
Terapi diberikan berdasarkan gejala yang muncul, keparahannya, dan tingkat
pengalaman klinisi tersebut dengan berbagai modalitas terapi. Pendekatan
psikoterapeutik dapat melibatkan pendekatan yang terbatas waktu seperti terapi
kognitif atau modifikasi perilaku, walaupun se-jumlah klinisi menggunakan
pendekatan psikoterapeutik yang kurang terstruktur, seperti psikoterapi yang
berorientasi tilikan. Farmakoterapi untuk gangguan campuran ansietas-depresif dapat
mencakup obat antiansietas, obat antidepresif, atau keduanya. Penggunaan
triazolobenzodiazepin diindikasikan karena efektivitasnya dalam mengobati depresi
yang disertai ansietas. Obat yang memengaruhi reseptor 5-HTIA, seperti buspiron,
juga dapat diindikasikan. Antidepresan serotonergik (contohnya, fluoxetine) dapat
menjadi obat yang paling efektif dalam mengobati gangguan campuran ansietas-
depresif.
Daftar Pustaka
1. Sylvia D. Elvira, Gitayanti Hadisukanto. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: FKUI. 2010. H;
235-241.
2. Benjamin J. Sadock, Virginia A. Sadock. Buku Ajar Psikiatri klinis Edisi 2. Jakarta:
ECG, 2010. H; 233-241.
3. Panic Disorder. American Psychiatric Association. Diunduh dari
http://healthyminds.org/Main-Topic/Panic-Disorder.aspx . 2011.
4. Memon, MA. Panic Disorder Treatment and Disorder. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/287913-treatment.Diakses pada 29 Maret 2011
5. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta: Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. 2001. H; 72,74.
6. Roxanne Dryden-Edwards, MD. Gangguan panik tinjuan. Diunduh dari:
http://www.emedicinehealth.com/panic_attacks/article_em.htm. Diakses pada 12 juni
72
2012
7. Maslim R. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotropik Edisi 3. Jakarta:
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. 2007. H;52-54.
8. Kaplan & Sadock. Comprehensive textbook of Psychiatry 7th ed. (2000):1491-1493,
1498.
9. Gabbard GO Obsessive Compulsive Disorder dalam Psychodynamic Psychiatry in
Clinical Practice 3rd ed American Psychiatric Press. Inc. 2000;237-243
10. Burrows G et al : Stress, anxiety and depression, Adis International Pty Ltd
(1999):23,29-31
11. Nutt D et al: Anxiety disorders comorbid with depression: panic disorder and
agoraphobia, Martin Dunitz Ltd (2002): 66-71, 85-88
12. Departemen Kesehatan RI Direktorat Jendral Pelayanan Medik. Pedoman
Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ) III(1993): 188-190
73