Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN PENDAHULUAN

KASUS APENDISITIS

Elvyna Trinanda Daeng (1106053060)

A. Definisi Apendisitis
1. Appendisitis adalah peradangan pada appendiks vermiform yang paling umum
menyebabkan nyeri abdomen akut. Appendisitis merupakan alasan yang umum
untuk dilakukannya sebuah operasi abdomen. Appendisitis dapat terjadi pada
semua umur namun paling sering menyerang remaja atau dewasa awal dan
umumnya menyerang pria daripada wanita (LeMone & Burke, 2007).
2. Appendisitis merupakan pembengkakan yang menyakitkan dan merupakan infeksi
dari appendiks. Appendisitis bisa menyerang siapa saja namun lebih sering
menyerang orang dengan rentang usia 10-30 tahun (NDDIC, 2012).
3. Apendisitis adalah inflamasi pada vermiform apendiks yang berkembang paling
banyak terjadi pada remaja dan dewasa muda (Black & Hawks, 2009).

B. Etiologi Apendisitis
Appendisitis disebabkan oleh adanya obstruksi pada lumen appendiks, sehingga
mukus dapat kembali ke appendiks dan membuat bakteri-bakteri yang biasanya hidup di
dalam appendiks berkembang biak. Sebagai hasilnya, appendiks membengkak dan
terinfeksi bakteri. Obstruksi pada lumen appendiks ini bisa disebabkan oleh (NDDIC,
2012):
1. Feses yang tertimbun (fekalit).
2. Parasit (Schistosomesspecies, pinworms, Strongyloides stercoralis), atau suatu
pertumbuhan yang dapat menyumbat lumen appendiks.
3. Jaringan getah bening yang membesar di dinding appendiks (hiperplasia limfoid),
yang disebabkan oleh infeksi pada saluran pencernaan atau tempat lainnya.
4. Penyakit radang usus, termasuk penyakit Crohn dan kolitis ulserasi.
Banyak faktor yang dapat menyebabkan obstruksi lumen appendiks, namun penyebab
yang paling sering adalah fekalit (timbunan feses yang keras) dan hiperplasia jaringan
limfoid. Selain itu, penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa kebiasaan
mengkonsumsi makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi memicu timbulnya
penyakit apendisitis. Tinja yang keras dapat menyebabkan terjadinya konstipasi hingga
dapat meningkatkan pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Hal-hal ini dapat
menimbulkan apendisitis.

C. Manifestasi Klinis
a. Nyeri
Nyeri yang awal dirasakan oleh penderita appendicitis adalah di bagian atas abdomen
yaitu di region epigastrium atau di bagian tengah yaitu umbilicus. Sekitar 4 jam
kemudian, barulah akan terasa nyeri pada bagian kuadran kanan bawah dari abdomen.
Rasa nyeri ini akan diperparah dengan bergerak, berjalan, atau pun batuk.
Kemungkinan, rasa nyeri permulaan disebabkan oleh dua hal. Pertama karena adanya
peristaltic appendiks yang berlebihan yang dirangsang oleh obstruksi lumen
appendiks. Kedua, nyeri abdomen sebelah atas kadang-kadang disebabkan oleh
refleks spasme pylorus.
b. Nausea
Derajat nausea dan frekuensi muntah dapat dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama,
derajat distensi appendiks yang meradang dan kedua, bergantung pada kepekaan
refleks saraf penderita. Muntah atau vomitus lebih sering terjadi pada anak-anak atau
penderita dengan saluran pencernaan yang mudah terganggu. Frekuensi muntah yang
sangat tinggi juga dapat menunjukkan risiko perforasi.
c. Nyeri tekan yang dalam (deep tenderness)
Pada palpasi, nyeri tekan yang dalam dapat terasa pada suatu titik yang disebut titik
McBurney. Rasa nyeri tekan ini ditandai apabila ketika melakukan tekanan di titik
McBurney tidak terasa sakit, namun justru ketika tekanan itu dilepaskan barulah
terasa sakit. Ekstensi atau rotasi internal dari panggul dapat meningkatkan nyeri.

d. Demam ringan
Proses peradangan yang terjadi akan menyebabkan timbulnya deman, terutama jika
kasusnya disebabkan oleh suatu bakteri. Demam ini mungkin tidak ditemukan pada
permulaan serangan, tetapi hampir selalu terjadi sebelum 24 jam berlalu. Sebelum
terjadi ruptur, temperatur biasanya tidak banyak meninggi di atas normal, kenaikan
rata-rata hanya sekitar satu sampai satu setengah derajat celcius. Bila dicurigai akan
adanya appendisitis, suhu tubuh harus diukur setiap dua sampai empat jam dan akan
meninggi secara perlahan-lahan.
e. Leukositosis
Peningkatan jumlah leukosit ini menandakan bahwa telah terjadi peritonitis.
Peritonitis merupakan suatu komplikasi dari appendicitis dan merupakan infeksi yang
berbahaya karena bakteri masuk ke rongga abdomen, dan hal ini lah yang
menyebabkan peningkatan jumlah leukosit. Oleh sebab itu, leukositosis ini biasanya
gejala yang timbul terakhir setelah nyeri, nausea dan muntah, nyeri tekan, dan
demam.

D. Patofisiologi Apendisitis

Apendiks adalah organ tambahan kecil yang menyerupai jari, melekat pada sekum
tepat di bawah katup ileocecal. Apendisitis adalah peradangan pada apendiks (ujung
seperti jari-jari kecil sepanjang ± 10 cm, melekat pada sekum tepat di bawah katub
ileosekal) yang dapat disebabkan oleh bakteri, dicetuskan oleh sumbatan lumen
seperti fekalith, tumor appendiks, hiperplasi jaringan limfoid dan cacing askaris.

Apendisitis merupakan peradangan appendiks yang mengenai semua lapisan


dinding organ tersebut. Tanda patogenesis primer diduga karena adanya obstruksi
lumen akibat adanya fekalith (tinja yang mengeras) yang mengakibatkan
pembengkakan. Obstruksi intraluminal appendiks menghambat keluarnya sekresi
mukosa dan menimbulkan distensi dinding apendiks serta pembengkakan jaringan
limfe pada apendiks. Obstruksi tersebut kemudian menyebabkan gangguan resistensi
mukosa apendiks terhadap invansi mikroorganisme, dan meningkatkan tekanan di
dalam lumen. Kondisi ini mengundang invasi mikroorganisme yang ada di usus besar
memasuki luka dan menyebabkan proses peradangan (inflamasi) yang dapat bersifat
irreversibel meskipun faktor obstruksi telah dihilangkan. Apendiks yang pernah
meradang tidak akan sembuh dengan sempurna, tetapi akan membentuk jaringan
parut. Jaringan ini menyebabkan terjadinya perlengketan dengan jaringan sekitarnya.
Perlengketan tersebut dapat kembali menimbulkan keluhan pada perut kanan bawah.
Pada suatu saat organ ini dapat mengalami peradangan kembali dan dinyatakan
mengalami eksaserbasi

Peradangan dimulai dengan proses eksudasi pada mukosa, sub mukosa, dan
muskularis propia. Pembuluh darah pada serosa kongesti disertai dengan infiltrasi sel
radang neutrofil dan edema, warnanya menjadi kemerah-merahan dan ditutupi
granular membran. Pada semua dinding appendiks tampak infiltrasi radang neutrofil,
dinding menebal karena edema dan pembuluh darah kongesti. Pada perkembangan
selanjutnya, lapisan serosa ditutupi oleh fibrinoid supuratif disertai nekrosis lokal
disebut appendiksitis akut supuratif.

Edema dinding apendiks menimbulkan gangguan sirkulasi darah sehingga terjadi


ganggren, warnanya menjadi hitam kehijauan yang sangat potensial mengakibatkan
ruptur. Kondisi ini menjadi semakin parah dalam waktu 24-36 jam karena trombosis
dari arteri maupun vena apendiks menyebabkan perforasi dan ruptur. Setelah ruptur
terjadi infeksi dapat menyebar ke abdomen, tetapi biasanya hanya terbatas pada area
sekeliling dari apendiks. Apendisitis kronis merupakan lanjutan apendisitis akut
supuratif sebagai proses radang yang persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan
virulensi rendah, khususnya obstruksi parsial terhadap lumen. Hal ini ditandai dengan
adanya serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih dari dua minggu, radang
kronik apendiks secara makroskopik dan mikroskopik. Secara histologis, dinding
apendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia mengalami fibrosis. Terdapat
infiltrasi sel radang limfosit dan eosinofil pada sub mukosa, muskularis propia, dan
serosa serta pembuluh darah serosa tampak dilatasi.

E. Pengkajian

1. Data Dasar

a. Identitas
Identitas klien meliputi :
1. Umur
2. Jenis kelamin
3. Pendidikan
4. Agama
5. Pekerjaan
6. Alamat
7. Tanggal masuk rumah sakit
8. Diagnose medis
b. Riwayat penyakit sekarang
Hal ini meliputi apa yg dirasakanklien. Kapan awal gejala dirasakan klien,
keluhan saat timbul nyeri, secara bertahap atau mendadak di bagaian perut kanan
bawah.
c. Riwayat penyakit terdahulu meliputi penyakit yang berhubungan dengan penyakit
sekarang, riwayat kecelakaan, riwayat dirawat di rumah sakit dan riwayat
pemakaian obat.
d. Riwayat kesehatan keluarga yang mempunyai riwayat penyakit turunan seperti
DM, asma, janutng, dan penyakit ginjal.
e. Riwayat kesehatan keluarga yang meliputi koping, bagaimana mekanisme koping
yang digunakan klien untuk mengatasi masalah dan bagaimana besarnya motivasi
kesembuhan dan cara klien menerima keadaannya.
f. Kebiasaan sehari-hari meliputi pola nutrisi, eliminasi, personal hygiene, istirahat,
aktivitas dan latihan serta kebiasaan yang berhubungan dengan kesehatan.

2. Survei Primer

1) Airway (Jalan Nafas)


Airway diatasi terlebih dahulu, selalu ingat bahwa cedera bisa lebih dari satu area
tubuh, dan apapun yang ditemukan, harus memprioritaskan airway dan breathing
terlebih dahulu. Jaw thrust atau chin lift dapat dilakukan atau dapat juga dipakai
naso-pharingeal airway pada pasien yang masih sadar. Bila pasien tidak sadar dan
tidak ada gag reflex dapat dipakai guedel. Kontrol jalan nafas pasien dengan
airway terganggu karena faktor mekanik, atau ada gangguan ventilasi akibat
gangguan ventilasi akibat gangguan kesadaran, dicapai dengan intubasi
endotracheal, baik oral maupun nasal.
2) Breathing (Pernafasan)
Kaji pernafasan, apakah ventilasi adekuat atau tidak. Berikan oksigen bila pasien
tampak kesulitan untuk bernafas atau terjadi pernafasan yang dangkal dan cepat
(takipnue).
Pemberian oksigen nasal pada fase nyeri hebat skala nyeri 3 (0-4), pemberian
oksigen nasal 3L/menit dapat meningkatkan intake oksigen sehingga akan
menurunkan nyeri.
3) Circulation (Sirkulasi)
Kaji sirkulasi dengan TTV, bila terjadi mual muntah yang berlebihan sehingga
intake cairan kurang, maka penuhi cairan dengan pemasangan infus.

Gambaran klinis pada apendisitis akut yaitu :


a. Tanda awal nyeri di epigastrium atau regio umbilicus disertai mual dan
anorexia. Demam biasanya ringan, dengan suhu sekitar 37,5 - 38,5C. Bila
suhu lebih tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi.
b. Nyeri berpindah ke kanan bawah dan menunjukkan tanda rangsangan
peritoneum lokal di titik Mc Burney, nyeri tekan, nyeri lepas dan adanya
defans muskuler.
c. Nyeri rangsangan peritoneum tak langsung nyeri kanan bawah pada tekanan
kiri (Rovsing’s Sign) nyeri kanan bawah bila tekanan di sebelah kiri
dilepaskan (Blumberg’s Sign) batuk atau mengedan

3. Survei Sekunder

1) Kaji nyeri
Perhatikan sifat, progresivitas dan lokasi nyeri. Biasanya, nyeri yang berlahan-
lahan karakteristik untuk peradangan. Nyeri pada apendisitis adalah termasuk
nyeri primer atau nyeri viseral dimana nyeri yang berasal dari organ itu sendiri
artinya dapat terlokalisir. Nyerinya seperti kram dan gas, nyeri ini makin intens
kemudian berkurang.
2) Kaji adanya vomitus, anoreksia, nausea.
3) Kaji adanya diare, karena biasanya diare menyertai apendisitis.
4) Kaji adanya demam (pada pasien peradangan intra abdomen).
5) Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi: pada apendisitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling,
sehingga pada pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
b. Palpasi: pada daerah perut kanan bawah apabila ditekan akan terasa nyeri. Dan
bila tekanan dilepas juga akan terasa nyeri. Nyeri tekan perut kanan bawah
merupakan kunci diagnosis dari apendisitis. Pada penekanan perut kiri bawah
akan dirasakan nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Rovsing
(Rovsing Sign). Dan apabila tekanan di perut kiri bawah dilepaskan juga akan
terasa nyeri pada perut kanan bawah. Ini disebut tanda Blumberg (Blumberg
Sign).
c. Auskultasi: peristaltik usus dan suara bertambah keras.
d. Perkusi: mengetuk jari di atas perut.
Teknik lainnya adalah dengan melakuan:
a. Pemeriksaan colok dubur: pemeriksaan ini dilakukan pada apendisitis, untuk
menentukan letak apendiks, apabila letaknya sulit diketahui. Jika saat
dilakukan pemeriksaan ini dan terasa nyeri, maka kemungkinan apendiks yang
meradang terletak didaerah pelvis. Pemeriksaan ini merupakan kunci
diagnosis pada apendisitis pelvika.
b. Pemeriksaan uji psoas dan uji obturator: pemeriksaan ini juga dilakukan untuk
mengetahui letak apendiks yang meradang. Uji psoas dilakukan dengan
rangsangan otot psoas lewat hiperektensi sendi panggul kanan atau fleksi aktif
sendi panggul kanan, kemudian paha kanan ditahan. Bila appendiks yang
meradang menempel di m. psoas mayor, maka tindakan tersebut akan
menimbulkan nyeri. Sedangkan pada uji obturator dilakukan gerakan fleksi
dan endorotasi sendi panggul pada posisi terlentang. Bila apendiks yang
meradang kontak dengan obturator internus yang merupakan dinding panggul
kecil, maka tindakan ini akan menimbulkan nyeri. Pemeriksaan ini dilakukan
pada apendisitis pelvika.

6) Pemeriksaan penunjang
a. Laboratorium: terdiri dari pemeriksaan darah lengkap dan test protein reaktif
(CRP). Pada pemeriksaan darah lengkap ditemukan jumlah leukosit
antara10.000-20.000/ml (leukositosis) dan neutrofil diatas 75%, sedangkan
pada CRP ditemukan jumlah serum yang meningkat.
b. Radiologi: terdiri dari pemeriksaan ultrasonografi dan CT-scan. Pada
pemeriksaan ultrasonografi ditemukan bagian memanjang pada tempat yang
terjadi inflamasi pada apendiks. Sedangkan pada pemeriksaan CT-scan
ditemukan bagian yang menyilang dengan apendikalit serta perluasan dari
apendiks yang mengalami inflamasi serta adanya pelebaran sekum.

F. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri
2. Kekurangan volume cairan
3. Risiko Infeksi

G. Penanganan Kegawatdaruratan
1) Berikan terapi kristaloid untuk pasien dengan tanda-tanda klinis dehidrasi atau
septikemia.
2) Pasien dengan dugaan apendisitis sebaiknya tidak diberikan apapun melalui mulut
(puasakan).
3) Berikan analgesik dan antiemetik parenteral untuk kenyamanan pasien.
4) Berikan antibiotik intravena pada pasien dengan tanda-tanda septicemia dan
pasien yang akan dilanjutkan ke laparotomi.

Manajemen pasien dengan apendisitis dapat dibagi menjadi 3 kategori (Craig, 2015):
1. Phlegmon atau abses kecil: Setelah diberikan terapi antibiotik melalui IV,
apendektomi dapat dilakukan 4-6 minggu kemudian
2. Larger well-defined abses: Setelah drainase perkutan dengan antibiotik IV
dilakukan, pasien dapat dipulangkan dengan terpasang kateter, apendektomi dapat
dilakukan setelah fistula tertutup.
3. Multicompartmental abses: Pasien seperti ini harus segera dilakukan
pembedahan

Antibiotik Pre-Operatif
a) Pemberian antibiotik pre-operatif telah menunjukkan keberhasilan dalam
menurunkan tingkat luka infeksi pasca bedah.
b) Pemberian antibiotik spektrum luas untuk gram negatif dan anaerob
diindikasikan.
c) Antibiotik preoperatif harus diberikan dalam hubungannya pembedahan.

H. Algoritma
Referensi

Black, J.M. & Hawks, J. H. (2009). Medical-Surgical Nursing; Clinical Management


for Positive Outcomes 8th edition. Singapore: Saunders Elsevier
Craig, S. (2015). Appendicitis. Diperoleh dari
http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview pada 8 Maret 2016
LeMone, Priscilla., Burke, Karen M. (2007). Medical-Surgical Nursing: Critical
Thinking in Client Care 4th Edition. New Jersey: Prentice Hall.
NDDIC. (2008). Appendicitis. Diperoleh dari
http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/appendicitis/?control=Pubs pada 8
Maret 2016.

Anda mungkin juga menyukai