“Atrial Septal Defect (ASD), Venticicular Septal Defect (VSD), Paten Duktus
Arteriosus (PDA), Tetralogi Fallot (TF), dan jantung reumatik (PJR)/ Rheumatic
Heart Disease (RHD) ”
Dosen Pengajar
Dosen Pengajar
KELOMPOK 13 - 14
Anggota
YUYUN AGUSTINA
NURHASANAH FEBRIYANTI
SAHRUL RAMADHAN
KEMENTERIAN KESEHATAN RI
TAHUN 2019
iii
KATA PENGANTAR
Kami panjatkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
hidayahnya kami dapat menyusun makalah ini. Kami menyadari bahwa ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan dan
sebagai umpan balik yang positif demi perbaikan dimasa mendatang. Harapan kami semoga
makalah ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang ilmu
keperawatan.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih dan kami berharap agar makalah ini bermanfaat
bagi semua pihak yang membutuhkan.
Kelompok 13-14
iv
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................................................... v
BAB I ............................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 1
BAB II.............................................................................................................................................. 4
2.2 konsep dasar penyakit ventrikuler septal defek (VSD) 2.2.1 pengertian ................................... 11
PENGKAJIAN ......................................................................................................................... 33
Evaluasi ................................................................................................................................... 45
BAB IV .......................................................................................................................................... 64
PENUTUP ................................................................................................................................... 64
v
BAB I
PENDAHULUAN
1
Penyakit jantung congenital atau penyakit jantung bawaan (pjb) terjadi pada
sekitar 8 dari 1000 kelahiran hidup.Insiden lebih tinggi pada yang lahir mati (2%),
abortus (10-25%), dan bayi premature (sekitar 2% termasuk defek sekat ventrikel),
tetapi tidak termasuk duktus anteriosus paten sementara (PDA). Insiden menyeluruh
ini tidak termasuk prolaps katup mitral, PDA pada bayi premature dan katup aorta
bicuspid (ada sekitar 0,9% seri dewasa). Pada bayi-bayi dengan defek jantung
congenital, ada spectrum keparahan yang lebar, sekitar 2-3 dari 1000 bayi neonatus
total akan bergejala penyakit jantung pada usia 1 tahun pertama. Diagnosis
ditegakkan pada umur 1 minggu pada 40-50% penderita dengan penyakit jantung
congenital dan pada umur 1 bulan pada 50-60% penderita. Sejak pembedahan
paliatif atau korektif berkembang, jumlah anak yang hidup dengan penyakit jantung
kongenitalbertambah secara dramatis.
1.2 Tujuan
a. Tujuan Umum
b. Tujuan Khusus
2
1.3 Rumusan Masalah
6. Apa pelaksanaan medis dan keperawatan dari penyakit ASD, VSD, PDA dan
TF
7. Bagaimana prognosis dan komplikasi dari penyakit ASD, VSD, PDA dan TF
Adapun metode yang digunakan dalam pengumpulan data pada makalah ini yaitu
dengan mencari sumber referensi baik dari buku sumber maupun internet dalam
menunjang penyusunan makalah ini
3
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1.1 PENGERTIAN
Atrial Septal Defek (ASD) adalah defek pada sekat yang memisahkan atrium
kiri dan kanan. (Sudigdo Sastroasmoro, kardiologi anak. 1994)
Defek Septum Atrium (ASD, Atrial Septal Defect) adalah suatu lubang pada
dinding (septum) yang memisahkan jantung bagian atas (atrium kiri dan atrium
kanan). Kelainan jantung ini mirip seperti VSD, tetapi letak kebocoran di septum
antara serambi kiri dan kanan. Kelainan ini menimbulkan keluhan yang lebih ringan
dibanding VSD
3. Sinus Venosus Defek, lubang berada diantara Vena Cava Superior dan
Atrium Kanan.
2.1.2 ETIOLOGI
Penyebabnya belum dapat diketahui secara pasti, tetapi ada beberapa faktor
yang diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian ASD.
Faktor-faktor tersebut diantaranya yaitu:
4
1. Faktor Prenatal.
b. Ibu alkoholisme
2. Faktor genetic
2.1.3 patofisiologi
Darah artenal dari atrium kiri dapat masuk ke atrium kanan melalui defek
sekat ini. Aliran ini tidak deras
karena perbedaan tekanan pada
atrium kiri dan kanan tidak
begitu besar (tekanan pada
atrium kiri 6 mmHg sedang pada
atrium kanan 5 mmHg)
5
menyebabkan penambahan beban pada ventrikel kanan, arteri pulmonalis, kapiler
paru-paru dan atrium kiri. Bila shunt besar, maka volume darah yang melalui arteri
pulmonalis dapat 3-5 kali dari darah yang melalui aorta.
Dengan bertambahnya volume aliran darah pada ventrikel kanan dan arteri
pulmonalis. Maka tekanan pada alat–alat tersebut naik., dengan adanya kenaikan
tekanan, maka tahanan katup arteri pulmonalis naik, sehingga adanya perbedaan
tekanan sekitar 15 -25 mmHg. Akibat adanya perbedaan tekanan ini, timbul suatu
bising sistolik ( jadi bising sistolik pada ASD merupakan bising dari stenosis relative
katup pulmonal ).
Juga pada valvula trikuspidalis ada perbedaan tekanan, sehingga disini juga
terjadi stenosis relative katup trikuspidalis sehingga terdengar bising diastolic.
Pada kasus Atrial Septal Defect yang tidak ada komplikasi, darah yang
mengandung oksigen dari Atrium Kiri
mengalir ke Atrium Kanan tetapi tidak
sebaliknya. Aliran yang melalui defek
tersebut merupakan suatu proses akibat
ukuran dan complain dari atrium
tersebut.Normalnya setelah bayi lahir
complain ventrikel kanan menjadi lebih besar
daripada ventrikelkiri yang menyebabkan
ketebalan dinding ventrikel kanan berkurang.
Hal ini juga berakibat volume serta ukuran
6
atrium kanan dan ventrikel kanan meningkat. Jika complain ventrikel kanan terus
menurun akibat beban yang terus meningkat shunt dari kiri kekanan bisa berkurang.
Pada suatu saat sindroma Eisenmenger bisa terjadi akibat penyakit vaskuler paru
yang terus bertambah berat. Arah shunt pun bisa berubah menjadi dari kanan
kekiri sehingga sirkulasi darah sistemik banyak mengandung darah yang rendah
oksigen akibatnya terjadi hipoksemi dan sianosis
7
2.2.5 Pemeriksaan diagnostik
1. Foto toraks
2. Elektrokardiografi
3. Ekokardiografi
4. Katerisasi jantung
8
2.1.6 penatalaksanaan
a. penatalaksanaan medis
1) Pembedahan
Untuk tujuan praktis, penderita dengan defek sekat atrium dirujuk ke ahli
bedah untuk penutupan bila diagnosis pasti. Dengan terbuktinya defek sekat atrium
dengan shunt dari kiri ke kanan pada anak yang umurnya lebih dari 3 tahun,
penutupan adalah beralasan. Agar terdeteksi, shunt dari kiri ke kanan harus
memungkinkan rasio QP/QS sekurang-kurangnya 1,5 : 1 ; karenanya mencatat
adanya shunt merupakan bukti cukup untuk maju terus. Dalam tahun pertama atau
kedua, ada beberapa manfaat menunda sampai pasti bahwa defek tidak akan
menutup secara spontan. Pembedahan penutupan defek dianjurkan pada saat anak
berusia 5-10 tahun. Prognosis sangat ditentukan oleh resistensi kapiler paru, dan bila
terjadi syndrome eisenmenger, umumnya menunjukkan prognosis buruk. ASD kecil
(diameter < 5 mm) karena tidak menyebabkan gangguan hemodinamik dan bahaya
endokarditis infeksi, tidak perlu dilakukan operasi. ASD besar (diameter > 5 mm s/d
beberapa centimeter), perlu tindaklan pembedahan. ASD I disertai celah katup mitral
dan trikuspidal operasi paling baik dilakukan umur antara 3-4 tahun. Apabila
ditemukan tanda-tanda hipertensi pulmonal, operasi dapat dilakukan pada masa
pemantauan elektrolit berkala masih merupakan terapi standar gagal jantung pada
bayi dan anak.
9
menutup defek yang besar tidak tersedia. Keinginan untuk menghindari pemotongan
intratorak dan membuka jantung jelas. Langkah yang paling penting pada penutupan
defek sekat atrium transkateter adalah penilaian yang tepat mengenai jumlah, ukuran
dan lokasi defek. Defek yang lebih besar dari pada diameter 25 mm, defek multipel
termasuk defek di luar fosa ovalis, defek sinus venosus yang meluas ke dalam vena
kava, dan defek dengan tepi jaringan kurang dari 3-6 mm dari katup trikuspidal atau
vena pulmonalis kanan dihindari.
Aso adalah alat khusus yang dibuat untuk menutup ASD tipe sekundum
secara non bedah yang dipasang melalui kateter secara perkutaneus lewat pembuluh
darah di lipat paha (arteri femoralis). Alat ini terdiri dari 2 buah cakram yang
dihubungkan dengan pinggang pendek dan terbuat dari anyaman kawat nitinol yang
dapat teregang menyesuaikan diri dengan ukuran ASD. Di dalamnya ada patch dan
benang polyester yang dapat merangsang trombosis sehingga lubang/komunikasi
antara atrium kiri dan kanan akan tertutup sempurna.
10
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Kaji adanya tanda-tanda gagal jantung, nafas cepat, sesak nafas, retraksi, bunyi
jantung tambahan(murmur), edema tungkai, hepatomegali.
Kaji adanya hipoksia kronis : Clubbing finger
Kaji adanya hipertermi pada ujung jari
Kaji pola makan, pola pertambahan berat badan
2.2.1 pengertian
VSD (ventrikuler Septal Defek) adalah suatu keadaan dimana ventrikel tidak
terbentuk secara sempurna sehingga pembukaan antara ventrikel kiri dan kanan
terganggu, akibat darah dari bilik kiri mengalir kebilik kanan pada saat systole.
(Ngastiyah, 1995)
11
VSD menggamnbarkan suatu lubang pada sekat ventrikel. Defek tersebut
dapat terletak dimanapun pada sekat ventrikel, dapat tunggal atau banyak, dan
ukuran serta bentuknya dapat bervariasi (fyler 1996)
2.2.2 Etiologi
Faktor eksogen : berbagai jenis obat, penyakit ibu ( rubella, IDDM ), ibu
hamil dengan alkoholik
12
Faktor endogen : penyakit genetik (dowm sindrom)
2.2.3 patofisiologi
13
fungsional lebih tergantung pada ukurannya dan keadaan bantalan vaskuler paru,
dari pada lokasi defek.
VSD
Bj menimbulkan
P peningkatan vaskularitas pembentukan membran
pulmonal dan peningkatan
tekanan ventrikel kanan
H puncak katup trikuspidal
disposisi berlawanan
Peningkatan kongesti
pulmonal dan
Kij hipertropi ventrikel
kardiomegali
kanan dan atrium kanan
Murmur, getaran,
tekanan nadi melebar, K sterosis pulmonal
CHF, gagal tumbuh rendah, dispnea,
murmur kencang
14
2.2.4 manifestasi klinis
VSD kecil.
Biasanya asimtomatik. Jantung normal atau sedikit membesar dan tidak ada
gangguan tumbuh kembang. Bunyi jantung biasanya normal, dapat ditemukan bising
sistolik dini pendek yang mungkin didahului early systolic clik. Ditemukan pula
bising pansistolik yang biasanya keras disertai getaran bising dengan pungtum
maksimum di sela iga III-IV garis parasternal kiri dan menjalar ke sepanjang
sternum kiri, bahkan ke seluruh prekordium.
VSD sedang.
Gejala timbul pada masa bayi berupa sesak napas saat minum atau
memerlukan waktu lebih lama/tidak mampu menyelesaikan makan dan minum,
kenaikan berat badan tidak memuaskan, dan sering menderita infeksi paru yang
lama sembuhnya. Infeksi paru ini dapat mendahului terjadinya gagal jantung yang
mungkin terjadi pada umur 3 bulan. Bayi tampak kurus dengan dipsnea, takhipnea
dan retraksi. Bentuk dada biasanya masih normal. Pada pasien yang besar, dada
mungkin sudah menonjol. Pada auskultasi terdengar bunyi getaran bising dan
pungtum maksimum di sela iga III-IV garis parasternal kiri yang menjalar ke seluruh
perikordium.
VSD besar.
Gejala dapat timbul pada masa neonatus. Pada minggu I sampai III dapat
terjadi pirau dari kiri ke kanan yang bermakna dan sering menimbulkan dipsnea.
Gagal jantung biasanya timbul setelah minggu VI, sering didahului infeksi saluran
napas bawah. Bayi sesak napas saat beristirahat, kadang tampak sianosis karena
kekurangan oksigen akibat gangguan pernapasan. Gangguan pertumbuhan sangat
nyata. Biasanya bunyi jantung masih normal, dapat didengar bunyi pansistolik,
dengan atau tanpa getaran bising, melemah pada akhir sistolik karena terjadi tekanan
sistolik yang sama besar pada kedua ventrikel. Bising mid-diastolik di daerah mitral
mungkin terdengar akibat flow murmur pada fase pengisian cepat. dapat terjadi
perubahan hemodinamik dengan penyakit vaskular paru/sindrom Eisenmerger.
15
2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik VSD
EKG
Echocardiografi :
Jumlah defek
Evaluasi tahanan vaskular paru.
Evaluasi beban kerja ventrikel kanan dan kiri.
Mengetahui defek lain selain VSD.
16
Kateterisasi jantung kanan untuk mengukur tekanan dan saturasi pada
aliran darah pulmonal sedangkan kateterisasi jantung kiri untuk aliran
darah sistemik
2.2.7 Penatalaksanaan
a. penatalaksanaan medis
Pada bayi dengan VSD besar, manajemen medik mempunyai dua tujuan:
mengendalikan gagal jantung kongestif dan mencegah terjaddinya penyakit vaskuler
pulmonal.. Gagal jantung pada pasien dengan defek septum ventrikel sedang atau
besar biasanya diatasi dengan digoksin (dosisrumat 0,01 mg/kgBB/hari, dalam 2
dosis), kaptropril (ACE inhibitor), dan diuretik seperti furosemid atau spironolakton.
Jika pengobatan awal berhasil, shunt ukurannya dapat mengurang dengan perbaikan
spontan, terutama selama umur tahun pertama. penyakit vaskuler pulmonal dicegah
bila pembedahan dilakukan pada umur tahun pertama. Dengan demikian defek besar
yang disertai dengan hipertensi pulmonal harus ditutup secara elektif pada umur
tahun antara 6 dan 12 bulan; atau lebih awal jika gejala-gejala ada.
a. Pada VSD kecil : ditunggu saja, kadang-kadang dapat menutup secara spontan.
b. Pada VSD ssedang : jika tidak ada gejala gagal jantung, dapat ditunggui sampai
umur 4-5 tahun karena kadang-kadang kelainan dapat mengecil
c. Pada VSD besar : biasanya pada keadaan menderita gagal jantung sehingga
dalam pengobatannya menggunakan digitalis. Operasi dapat
d. ditunda sambil menunggu penutupan spontan atau bila ada gangguan dapat
dilakukan setelah umur 6 bulan.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
17
Kaji adanya tanda-tanda gagal jantung, nafas cepat, sesak nafas, retraksi, bunyi
jantung tambahan(murmur), edema tungkai, hepatomegali.
Kaji adanya hipoksia kronis : Clubbing finger
Kaji adanya hipertermi pada ujung jari
Kaji pola makan, pola pertambahan berat badan
Aneurisma
Resiko endokarditis infektif (terjadi < 2% anak, tergantung pada ukuran VSD)
Infeksi pernafasan
Hipertensi pulmonal
18
2.3 konsep dasar Penyakit Patent Duktus Arterious (PDA)
2.3.1 Pengertian
Faktor Prenatal :
Faktor Genetik :
19
2.3.3 Manifestasi klinis
Manifestasi klinis PDA pada bayi prematur sering disamarkan oleh masalah-
masalah lain yang berhubungan dengan prematur (misalnya sindrom gawat nafas)..
Bayi dengan PDA kecil mungkin asimptomatik
20
Usaha tambahan dari ventrikel kiri untuk memenuhi peningkatan kebutuhan ini
menyebabkan pelebaran dan hipertensi atrium kiri yang progresif. Efek jantung
kumulatif mengakibatkan peningkatan vena dan kapiler pulmonal, yang
menyebabkan terjadinya edema paru. Edema paru ini menimbulkan penurunan
difusi oksigen dan hipoksia, dan terjadi konstriksi arteriol paru yang progresif.
Dinding duktus arteriosus terutama terdiri dari lapisan otot polos (tunika
media) yang tersusun spiral. Diantara sel-sel otot polos terdapat serat-serat elastin
yang membentuk lapisan yang berfragmen, berbeda dengan aorta yang memiliki
lapisan elastin yang tebal dan tersusun rapat ( unfragmented ). Sel-sel otot polos
pada duktus arteriosus sensitif terhadap mediator vasodilator prostaglandin dan
vasokonstriktor (pO2). Setelah persalinan terjadi perubahan sirkulasi dan fisiologis
yang dimulai segera setelah eliminasi plasenta dari neonatus. Adanya perubahan
tekanan, sirkulasi dan meningkatnya pO2 akan menyebabkan penutupan spontan
duktus arteriosus dalam waktu 2 minggu. Duktus arteriosus yang persisten (PDA)
akan mengakibatkan pirai (shunt) L-R yang kemudian dapat menyebabkan
hipertensi pulmonal dan sianosis. Besarnya pirai (shunt) ditentukan oleh diameter,
panjang PDA serta tahanan vaskuler paru (PVR).
21
Hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan dapat terjadi jika keadaan ini
tidak dikoreksi melalui penanganan medis atau bedah. Sebagian besar PDA
mengalirkan darah dari kiri ke kanan, tetapi pengaliran duktal dari kanan ke kiri
dapat terjadi yang berkaitan dengan penyakit paru, lesi obstruktif jantung kiri, dan
koarktasio aorta. Penutupan PDA terutama bergantung pada respons konstriktor dari
duktus terhadap tekanan oksigen dalam darah. Faktor lain yang mempengaruhi
penutupan duktus adalah kerja prostaglandin, tahanan vaskular pulmonal dan
sistemik, ukuran duktus, dan keadaan bayi (prematur atau cukup bulan). PDA lebih
sering terdapat pada bayi prematur dan kurang dapat ditoleransi dengan baik oleh
bayi karena mekanisme kompensaisi jantungnya tidak berkembang baik dan piaru
kiri ke kanan itu cenderung lebih besar.
Defek sianosis
PDA
Hipoksia
pulmonary sistem
22
Ventrikel kanan hipertropi
PDA sedang. Pada ruang foto toraks jantung membesar (terutama ventrikel
kiri), vaskularisasi paru yang meningkat, dan pembuluh darah hilus membesar. EKG
menunjukkan hipertropi ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi atrium kiri.
PDA besar. Pada foto toraks dijumpai pembesaran ventrikel kanan dan kiri,
di samping pembesaran arteri pulmonalis dan cabang-cabangnya. Pada EKG tampak
hipertropi biventrikuler, dengan dominasi aktivitas ventrikel kiri dan dilatasi atrium
kiri.
2.2.6 Penatalaksanaan
a. penatalaksanaan medis
Pada duktus arteriosus persisten dengan shunt kiri ke kanan sedang atau
besar dengan gagal jantung diberikan terapi:
23
medikamentosa (yakni digoksin, furosemid Pemeriksaan Penunjang
PDA besar. Pada foto toraks dijumpai pembesaran ventrikel kanan dan kiri,
di samping pembesaran arteri pulmonalis dan cabang-cabangnya. Pada EKG tampak
hipertropi biventrikuler, dengan dominasi), yang bila berhasil akan dapat menunda
operasi sampai 3-6 bulan sambil menunggu kemungkinan duktus menutup. Indikasi
operasi duktus arteriosus dapat diringkas sebagai berikut:
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Kaji adanya tanda-tanda gagal jantung, nafas cepat, sesak nafas, retraksi, bunyi
jantung tambahan(murmur), edema tungkai, hepatomegali.
Kaji adanya hipoksia kronis : Clubbing finger
Kaji adanya hipertermi pada ujung jari
Kaji pola makan, pola pertambahan berat badan
Penderita dengan PDA kecil dapat hidup normal dengan atau tidak sedikit
gejala jantung; namun manifestasi lambat dapat terjadi.
2.4.1 Pengertian TF
Faktor endogen
Faktor eksogen
25
Riwayat kehamilan ibu : sebelumnya ikut program KB oral atau
suntik, minum obat-obatan tanpa resep dokter, (thalidmide,
dextroamphetamine. aminopterin, amethopterin, jamu)
Ibu menderita penyakit infeksi : rubella
Efek radiologi (paparan sinar X)
Ibu mengonsumsi alcohol dan merokok saat mengandung.
2.4.4 Patofisiologi
Tetralogi fallot adalah kelainan jantung sianotik kongenital yang terdiri atas
empat defek struktural: (1) defek septum ventrikular; (2) stenosis pulmonal, yang
dapat berupa infundibular, valvular, supravalvular, atau kombinasi, yang
menyebabkan obstruksi aliran darah ke dalam arteri pulmonal; (3) hipertrofi
ventrikel kanan; dan (4) berbagai derajat overriding aorta. Defek septum ventrikular
rata-rata besar. Pada anak dengan tetralogi fallot, diameter aortanya lebih besar dari
normal, sedangkan arteri pulmonalnya lebih kecil dari normal. Gagal jantung
kongestif biasanya dikaitkan dengan defek yang mengakibatkan suatu pirau besar
dari kiri ke kanan, seperti yang ditemukan pada defek septum ventrikular yang
berakibat oada gagal curah rendah atau tinggi. Namun, pada tetralogi fallot, gagal
jantung kongestif biasanya tidak terjadi karena stenosis pulmonal mencegah gagal
curah tinggi (mencegah aliran darah pulmonal terbesar dan pirau dari kiri ke kanan)
dan karena defek defek ventrikular mencegah gagal ventriikel kanan. Hipoksia
merupakan masalah utama. Derajat sianosis berhubungan dengan beratnya obstruksi
anatomik terhadap aliran darah dari ventrikel kanan ke dalam arteri pulmonal, juga
terhadap status fisiologis anak tersebut.
26
Paliasi bedah yang sering dilakukan pirau Blalock-Tausing, yaitu meletakkan
pirau Gore-Tex dari arteri subklavia sampai cabang arteri pulmonal. Prosedur
biasanya dilakukan sebelum anak berusia 2 tahun untuk meningkatkan aliran darah
pulmonal. Derajat resiko bedah bergantung pada diameter arteri pulmonal; jika
diameter arteri pulmonal paling tidak spertiga dari diameter aorta, resiko kurang dari
10%.
Sianosis menetap
27
2.4.5 Menifestasi klinis
Berikut ini adalah manifestasi klinis yang biasanya ditemukan pada anak
yang menderita Tetralogi Fallot :
Murmur
Cyanosis
kulit, kuku, serta bibir yang pucat.
Warna kulit pucat
Frekuensi pernafasan yang meninggi
Kulit terasa dingin
BB yang rendah
Susah untuk diberi makan karena klien cepat lelah ketika diberi makan
Clubbing finger’s
28
2.4.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Medis
29
b. penatalaksanaan keperawatan
Penatalaksanaan Bedah
Anastomosis Blalock-Tausing
Adalah intervensi paliatif yang umumnya dianjurkan bagi anak yang tidak
memungkinkan untuk dilakukan bedah korektif. Arteri subklavia yang berhadapan
dengan sisi lengkung aorta diikat, dibelah dan dianastomosiskan ke arteri pulmonal
kontralateral Konsekuensi hemodinamik dari pirau Blalock-Taussig adalah untuk
memungkinkan daerah sistemik memasuki sirkulasi pulmonal melalui arteri
subklavia, yang meningkatkan aliran darah pulmonal dengan tekanan rendah dan
menghindari kongesti paru. Aliran darah ini memungkinkan stabilisasi,
meningkatkan status jantung dan paru sampai anak itu cukup besar untuk
menghadapi pembedahan korektif dengan aman.
Perbaikan Definitif
2.4.8 Komplikasi
Hipoksia berat
Kematian mendadak dari disritmia
Komplikasi berikut dapat terjadi setelah anastomosis Blalock-Tausing :
Perdarahan, terutama terlihat jelas pada anak-anak dengan polisitemia
Emboli atau trombosis serebi, risiko lebih tinggi dari polisitemia, anemia atau sepsis
Gagal jantung kongestif jika piraunya lebih besar
Oklusi dini pada pirau
Hemotoraks
Pirau kanan ke kiri persisten setinggi atrium, terutama pada bayi
Sianosis persisten
31
Kerusakan nervus prenikus
Efusi pleura
32
BAB III
PENGKAJIAN
a. Identitas klien
Nama, jenis kelamin, umur, agama, suku, No RM, tanggal masuk, tanggal
pengkajian, diagnose medis, alamat, penanggung jawab.
b. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya klien pada umumnya mengeluh sesak nafas dan merasa cepat lelah.
Pada pasien PDA, biasanya akan diawali dengan tanda-tanda respiratory
distress, dispnea, tacipnea, hipertropi ventrikel kiri, retraksi dada dan hiposekmia
2) Riwayat kesehatan masa lalu
Kaji Riwayat Kesehatan Ibu sewaktu mengandung Gaya hidup (diet, latihan, olah
raga, kebiasaan merokok, alcohol, Stress, Mengkonsumsi obat-obatan dan jamu,
serta riwayat penyakit kardiovaskuler), Perlu ditanyakan apakah pasien lahir
prematur atau ibu menderita infeksi dari rubella.
33
4) Riwayat kehamilan
Kaji faktor resiko prenatal antara lain ibu pengguna obat-obatan, riwayat
merokok, dan alcohol; ibu terpajan oleh radiasi; penyakit virus maternal (mis:,
influenza, gondongan atau rubella) atau usia ibu di atas 40 tahun
5) Riwayat tumbuh
6) Riwayat psikososial/perkembangan
a) Kemungkinan mengalami masalah perkembangan
b) Mekanisme koping anak/ keluarga
c) Pengalaman hospitalisasi sebelumnya
Kaji juga pola aktifitas bermain dan pergerakkan pada bayi dan anak-anak ,
karena pada penderita kelainan jantung kongenital akan lebih terbatas aktifitas
bermainnya dikarenakan kondisi tubuh yang tidak stabil serta mudah lelah
sehingga pergerakkan bermain anak pun akan terganggu
34
b. Pengkajian fisik (ROS : Review of System)
a. Pernafasan B1 (Breath)
Nafas cepat, sesak nafas ,bunyi tambahan ( marchinery murmur ),adanyan otot
bantu nafas saat inspirasi, retraksi.
b. Kardiovaskuler B2 ( Blood)
c. Persyarafan B3 ( Brain)
d. Perkemihan B4 (Bladder)
e. Pencernaan B5 (Bowel)
f. Muskuloskeletal/integument B6 (Bone)
c. Pengkajian kardiovaskuler:
a) Nadi
Nadi perifer (ada atau tidak ada, jika ada, frekuensi, irama, kulaitas dan
kesimetrisan, perbedaan antar ekstremitas)
35
b) Pemeriksaan toraks dan hasil auskultasi
c) Tampilan umum
Tingkat aktivitas
d) Kulit
Pucat
Diaforesis
Suhu abnormal
e) Edema
Periorbital dan ekstremitas
d. Pengkajian Respirasi
a) Bernapas
d) Tampilan umum
Pada anak tidak selalu bisa mempertahankan dirinya, kelurga sulit menerima
kenyataan, anak dan orang tua merasa sedih
Diagnosa Keperewatan
37
nutrisis jaringan tubuh, isolasi social.
e. Resiko infeksi b/d keadaan umum tidak adekuat.
f. Ansietas (anak) b/d lingkungan ICU, berpisah dari orang tua, kecemasan orang tua,
kecemasan orang tua, imobilisasi.
g. Ansietas (orang tua) b/d kelainan jantung kongenital pada anak.
Rencana Intervensi
Kriteria hasil: tanda vital dalam batas yang dapat diterima, bebas gejala gagal jantung,
melaporkan penurunan episode dispnea, ikut serta dalam aktifitas yang mengurangi
beban kerja jantung, urine output adekuat: 0,5 – 2 ml/kgBB.
38
aliran darah pada
ventrikel.
Ginjal berespon untuk
Pantau intake dan output menurunkna curah
setiap 24 jam. jantung dengan
menahan produksi
cairan dan natrium.
Istirahat memadai
Batasi aktifitas secara diperlukan untuk
adekuat. memperbaiki efisiensi
kontraksi jantung dan
menurunkan
komsumsi O2 dan
kerja berlebihan.
Stres emosi
menghasilkan
Berikan kondisi vasokontriksi
psikologis lingkungan yangmeningkatkan TD
yang tenang. dan meningkatkan
kerja jantung.
Kriteria hasil: Pasien dapat mengikuti aktifitas sesuai kemampuan, istirahat tidur tercukupi.
39
keperawatan selama 3 x 24 hindari pemberian gangguan pada
jam, diharapkan masalah intervensi pada saat istirahat tidur
intoleransi aktivitas dapat istirahat. pasien sehingga
teratasi dengan kriteria hasil: kebutuhan energi
dapat dibatasi
- Pasien dapat
untuk aktifitas lain
melakukan aktivitas sesuai dengan
Lakukan perawatan dengan yang lebih
batas kemampuan
cepat, hindari pengeluaran penting.
- Klien dapat tidur nyenyak pada energi berlebih dari pasien. Meningkatkan
malam hari kebutuhan istirahat
pasien dan
- Klien terlihat lebih segar
Bantu pasien memilih menghemat energi
k
kegiatan yang tidak pasien.
e
melelahkan. Menghindarkan
t
pasien dari
i
kegiatan yang
kHindari perubahan suhu
melelahkan dan
alingkungan yang mendadak.
meningkatkan
terbangun
beban kerja
jantung.
Perubahan suhu
lingkungan yang
mendadak
merangsang
Kurangi kecemasan pasien
kebutuhan akan
dengan memberi penjelasan
oksigen yang
yang dibutuhkan pasien dan
meningkat.
keluarga.
Kecemasan
meningkatkan
respon psikologis
yang merangsang
Respon perubahan keadaan
peningkatan
psikologis pasien
40
(menangis, murung dll) kortisol dan
dengan baik. meningkatkan
suplai O2.
Stres dan
kecemasan
berpengaruh
terhadap
kebutuhan O2
jaringan.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d kelelahan pada saat makan dan
meningkatnya kebutuhan kalori.
Tujuan : Kebutuhan nutrisi terpenuhi
Kriteria hasil : Nafsu makan bertambah, berat badan meningkat.
Rencana intervensi dan rasional:
41
nutrisi jaringan tubuh, isolasi social.
Tujuan: Pertumbuhan dan perkembangan dapat mengikuti kurva tumbuh kembang sesuai
dengan usia.
Kriteria hasil: Pasien dapat mengikuti tahap pertumbuhan dan perkembangan yang sesuia
dengan usia, pasien terbebas dari isolasi social.
42
Kriteria hasil: Bebas dari tanda – tanda infeksi.
Setelah diberikan asuhan Kaji tanda vital dan tanda Memonitor gejala
keperawatan selama 3 x 24 jam, – tanda infeksi umum dan tanda infeksi
diharapkan infeksi pada klien lainnya. sedini mungkin.
tidak terjadi dengan kriteria hasil
: Hindari kontak dengan Menghindarkan
sumber infeksi. pasien dari
kemungkinan
-Terbebas dari tanda - tanda terkena infeksi dari
infeksi sumber yang dapat
Sediakan waktu istirahat dihindari.
-Menunjukkan hygiene
yang adekuat. Istirahat adekuat
pribadi yang adekuat
membantu
meningkatkan
keadaan umum
Sediakan kebutuhan pasien.
nutrisi yang adekuat Nutrisi adekuat
sesuai kebutuhan. menunjang daya
tahan tubuh pasien
yang optimal.
f. Ansietas (anak) b/d lingkungan ICU, berpisah dari orang tua, kecemasan orang tua,
kecemasan orang tua, imobilisasi.
Tujuan : Ansietas pada anak teratasi.
Kriteria Hasil : Kecemasan anak berkurang ditandai dengan anak dapat bekerja sama dalam
prosedur, pengobatan dan mau bermain sesuai tinkat usia.
Rencana intervensi dan rasional:
43
Tujuan Intervensi Rasional
44
orang tua dapat teratasi. menggunakan ilustrasi kecemasan dengan
dan jawab pertanyaan memungkinkan
orang tua. mereka melihat dan
memahami secara
lebih baik kelainan
tersebut.
Mempertahankan
Beri informasi terkini
kontak dengan anak
tentang kondisi anak.
sehingga mengurangi
kecemasanya.
Meningkatkan
perlekatan dan
Izinkan orang tua perasaan aman
mengangkat atau sehingga mengurangi
menggendong bayi kecemasanya.
sesegera dan sesering
mungkin.
Evaluasi
45
d. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan b/d oksigenasi tidak adekuat, kebutuhan
nutrisis jaringan tubuh, isolasi social.
1) Pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan usia
2) Tidak terjadi isolasi sosial
e. Resiko infeksi b/d keadaan umum tidak adekuat.
1) Tidak ada tanda-tanda infeksi
2) Tidak terjadi infeksi.
f. Ansietas (anak) b/d lingkungan ICU, berpisah dari orang tua, kecemasan orang tua,
kecemasan orang tua, imobilisasi.
1) Ansietas pada anak teratasi.
2) Anak dapat bekerja sama dalam prosedur dan tindakkan.
g. Ansietas (orang tua) b/d kelainan jantung kongenital pada anak.
1) Ansietas orang tua teratasi
2) Orang tua dapat mengekspresikan perasaannya.
46
A. PENGERTIAN
Penyakit jantung reumatik adalah penyakit yang di tandai dengan kerusakan pada
katup jantung akibat serangan karditis reumatik akut yang berulang kali. (kapita
selekta, edisi 3, 2000)
Demam Reumatik / penyakit jantung reumatik adalah penyakit peradangan sistemik
akut atau kronik yang merupakan suatu reaksi autoimun oleh infeksi Beta
Streptococcus Hemolyticus Grup A yang mekanisme perjalanannya belum diketahui,
dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu Poliarthritis migrans akut, Karditis, Korea
minor, Nodul subkutan dan Eritema marginatum.
B. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya penyakit jantung reumatik diperkirakan adalah reaksi
autoimun (kekebalan tubuh) yang disebabkan oleh demam reumatik. Infeksi
streptococcus β hemolitikus grup A pada tenggorok selalu mendahului terjadinya
demam reumatik baik demam reumatik serangan pertama maupun demam reumatik
serangan ulang.
Faktor-faktor predisposisi terjadinya penyakit jantung rematik / Rheumatic Heart
Desease terdapat pada diri individu itu sendiri dan juga faktor lingkungan.
Faktor dari Individu diantaranya yaitu :
1. Faktor genetik
Adanya antigen limfosit manusia ( HLA ) yang tinggi. HLA terhadap demam rematik
menunjukan hubungan dengan aloantigen sel B spesifik dikenal dengan antibodi
monoklonal dengan status reumatikus.
2. Umur
Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya demam
reumatik / penyakit jantung reumatik. Penyakit ini paling sering mengenai anak umur
antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada
anak antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau
setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan insidens infeksi
47
streptococcus pada anak usia sekolah. Tetapi Markowitz menemukan bahwa
penderita infeksi streptococcus adalah mereka yang berumur 2-6 tahun.
5. Jenis kelamin
Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita dibandingkan dengan anak laki-
laki. Tetapi data yang lebih besar menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin,
meskipun manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada satu jenis
kelamin.
6. Reaksi autoimun
Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida bagian dinding sel
streptokokus beta hemolitikus group A dengan glikoprotein dalam katub mungkin ini
mendukung terjadinya miokarditis dan valvulitis pada reumatik fever.
Faktor-faktor dari lingkungan itu sendiri :
48
yang buruk sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat,
rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang
menderita sakit sangat kurang; pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk
perawatan kesehatan kurang dan lain-lain. Semua hal ini merupakan faktor-faktor
yang memudahkan timbulnya demam reumatik.
2. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas
bagian atas meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningkat.
C. PATOFISIOLOGI
Terjadinya jantung rematik disebabkan langsung oleh demam rematik, suatu
penyakit sistemik yang disebabkan oleh infeksi streptokokus grup A. demam rematik
mempengaruhi semua persendian, menyebabkan poliartritis. Jantung merupakan
organ sasaran dan merupakan bagian yang kerusakannya paling serius.
Kerusakan jantung dan lesi sendi bukan akibat infeksi, artinya jaringan tersebut
tidak mengalami infeksi atau secara langsung dirusak oleh organism tersebut, namun
hal ini merupakan fenomena sensitivitas atau reaksi, yang terjadi sebagai respon
terhadap streptokokus hemolitikus. Leukosit darah akan tertimbun pada jaringan
yang terkena dan membentuk nodul, yang kemudian akan diganti dengan jaringan
parut. yang serius. Namun sebaliknya endokarditis rematik mengakibatkan efek
samping kecacatan permanen.
49
Endokarditis rematik secara anatomis dimanifestasikan dengan adanya tumbuhan
kecil yang transparan, yang menyerupai manik dengan ukuran sebesar kepala jarum
pentul, tersusun dalam deretan sepanjang tepi bilah katup. Manic-manik kecil itu
tidak tampak berbahaya dan dapat menghilang tanpa merusak bilah katup, namun
yang lebih sering mereka menimbulkan efek serius. Mereka menjadi awal terjadinya
suatu proses yang secara bertahap menebalkan bilah-bilah katup, menyebabkan
menjadi memendek dan menebal disbanding yang normal, sehingga tidak dapat
menutup dengan sempurna. Terjadilah kebocoran, suatu keadaan yang disebut
regurgitasi katup. Tempat yang palinh sering mengalami regurgitasi katup adalah
katup mitral.
50
Penyimpangan KDM
DEMAM REMATIK
streptococcus beta-hemolyticus grup A.
sarcolemma myocardial
Bersifat toxik
terhadap jaringan myocard
51
D. MANIFESTASI KLINIS
Gejala jantung yang muncul tergantung pada bagian jantung yang terkena. Katup
mitral adalah yang sering terkena, menimbulkan gejala gagal jantung kiri: sesak napas
dengan krekels dan wheezing pada paru. Beratnya gejala tergantung pada ukuran dan
lokasi lesi. Gejala sistemik yang terjadi akan sesuai dengan virulensi organisme yang
menyerang. Bila ditemukan murmur pada seseorang yang menderita infeksi sistemik,
maka harus dicurigai adanya infeksi endokarditis.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pasien demam rematik 80% mempunyai ASTO positif. Ukuran proses inflamasi
dapat dilakukan dengan pengukuran LED dan protein C-reaktif.
G. PENATALAKSANAAN
Tata laksana demam rematik aktif atau reaktivitas adalah sebagai berikut:
1. Tirah baring dan mobilisasi bertahap sesuai keadaan jantung.
2. Eradikasi terhadap kuman streptokokus dengan pemberian penisilin benzatin 1,2 juta
unit IM bila berat badan > 30 kg dan 600.000-900.000 unit bila berat badan < 30 kg,
atau penisilin 2x500.000 unit/hari selama 10 hari. Jika alergi penisilin, diberikan
eritromisin 2x20 mg/kg BB/hari untuk 10 hari. Untuk profilaksis diberikan penisilin
benzatin tiap 3 atau 4 minggu sekali. Bila alergi penisilin, diberikan sulfadiazin 0,5
g/hari untuk berat badan < 30 kg atau 1 g untuk yang lebih besar. Jangan lupa
menghitung sel darah putih pada minggu-minggu pertama, jika leukosit < 4.000 dan
neutrofil < 35% sebaiknya obat dihentikan. Diberikan sampai 5-10 tahun pertama
terutama bila ada kelainan jantung dan rekurensi.
3. Antiinflamasi
Salisilat biasanya dipakai pada demam rematik tanpa karditis, dan ditambah
kortikosteroid jika ada kelainan jantung. Pemberian salisilat dosis tinggi dapat
menyebabkan intoksikasi dengan gejala tinitus dan hiperpnea. Untuk pasien dengan
artralgia saja cukup diberikan analgesik. Pada artritis sedang atau berat tanpa karditis
52
atau tanpa kardiomegali, salisilat diberikan 100 mg/kg BB/hari dengan maksimal 6
g/hari, dibagi dalam 3 dosis selama 2 minggu, kemudian dilanjutkan 75 mg/kg
BB/hari selama 4-6 minggu kemudian.
Kortikosteroid diberikan pada pasien dengan karditis dan kardiomegali. Obat terpilih
adalah prednison dengan dosis awal 2 mg/kg BB/hari terbagi dalam 3 dosis dan dosis
maksimal 80 mg/hari. Bila gawat, diberikan metilprednisolon IV 10-40 mg diikuti
prednison oral. Sesudah 2-3 minggu secara berkala pengobatan prednison dikurangi 5
mg setiap 2-3 hari. Secara bersamaan, salisilat dimulai dengan 75 mg/kg BB/hari dan
dilanjutkan selama 6 minggu sesudah prednison dihentikan. Tujuannya untuk
menghindari efek rebound atau infeksi streptokokus baru.
H. PENCEGAHAN
Dapat dicegah melalui penatalaksanaan awal dan adekuat terhadap infeksi
streptokokus pada semua orang.
Langkah pertama dalam mencegah serangan awal adalah mendeteksi adanya infeksi
streptokokus untuk penatalaksanaan yang adekuat, dan pemantauan epidemi dalam
komunitas. Setiap perawat harus mengenal dengan baik tanda dan gejala faringitis
streptokokus; panas tinggi (38,9 sampai 40 C atau 101 sampai 104 F),
menggigil, sakit tenggorokan, kemerahan pada tenggorokan disertai aksudat, nyeri
abdomen, dan infeksi hidung akut.
Kultur tenggorok merupakan satu-satunya metode untuk menegakkan diagnosa secara
akurat.Pasien yang rentan memerlukan terapi antibiotika oral jangka panjang atau
perlu menelan antibiotika profilaksis sebelum menjalani prosedur yang dapat
menimbulkan invasi oleh mikroorganisme ini. Pemberian penisilin sebelum
pemeriksaan gigi merupakan contoh yang baik. Pasien juga harus diingatkan untuk
menggunakan antibiotika profilaksis pada prosedur yang lebih jarang dilakukan
seperti sitoskopi.
53
ASUHAN KEPERAWATAN
PADA PENYAKIT JANTUNG REUMATIK
A. PENGKAJIAN
a. Aktivitas/istrahat
Gejala : Kelelahan, kelemahan.
Tanda : Takikardia, penurunan TD, dispnea dengan aktivitas.
b. Sirkulasi
Gejala : Riwayat penyakit jantung kongenital, IM, bedah jantung. Palpitasi, jatuh
pingsan.
Tanda : Takikardia, disritmia, perpindahan TIM kiri dan inferior, Friction rub,
murmur, edema, petekie, hemoragi splinter.
c. Eliminasi
Gejala : Riwayat penyakit ginjal, penurunan frekuensi/jumlah urine.
Tanda : Urine pekat gelap.
d. Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : Nyeri pada dada anterior yang diperberat oleh inspirasi, batuk, gerakan
menelan, berbaring; nyeri dada/punggung/ sendi.
Tanda : Perilaku distraksi, mis: gelisah.
e. Pernapasan
Gejala : dispnea, batuk menetap atau nokturnal (sputum mungkin/tidak produktif).
Tanda : takipnea, bunyi nafas adventisius (krekels dan mengi), sputum banyak dan
berbercak darah (edema pulmonal).
f. Keamanan
Gejala : Riwayat infeksi virus, bakteri, jamur, penurunan sistem imun.
54
Tanda : Demam.
55
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi.
b. Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan
kebutuhan.
c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan dalam preload/peningkatan
tekanan atrium dan kongesti vena.
d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan filtrasi glomerulus.
e. Ansietas berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
C. INTERVENSI
a. Nyeri akut berhubungan dengan proses inflamasi.
Tujuan : nyeri hilang/ terkontrol.
Intervensi :
1. Selidiki laporan nyeri dada dan bandingkan dengan episode sebelumnya. Gunakan
skala nyeri (0-10) untuk rentang intensitas. Catat ekspresi verbal/non verbal nyeri,
respons otomatis terhadap nyeri (berkeringat, TD dan nadi berubah, peningkatan atau
penurunan frekuensi pernapasan).
R/ : Perbedaan gejala perlu untuk mengidentifikasi penyebab nyeri. Perilaku dan
perubahan tanda vital membantu menentukan derajat/ adanya ketidaknyamanan
pasien khususnya bila pasien menolak adanya nyeri.
2. Berikan lingkungan istirahat dan batasi aktivitas sesuai kebutuhan.
R/ : aktivitas yang meningkatkan kebutuhan oksigen miokardia (contoh; kerja tiba-tiba,
stress, makan banyak, terpajan dingin) dapat mencetuskan nyeri dada.
3. Berikan aktivitas hiburan yang tepat.
R/ : Mengarahkan kembali perhatian, memberikan distraksi dalam tingkat aktivitas
individu.
4. Dorong menggunakan teknik relaksasi. Berikan aktivitas senggang.
R/ : Membantu pasien untuk istirahat lebih efektif dan memfokuskan kembali perhatian
sehingga menurunkan nyeri dan ketidaknyamanan.
5. Kolaborasi pemberian obat nonsteroid dan antipiretik sesuai indikasi.
56
R/ : Dapat menghilangkan nyeri, menurunkan respons inflamasi dan meningkatkan
kenyamanan.
57
b. Intoleran aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan
kebutuhan.
Tujuan : Menunjukkan peningkatan yang dapat diukur dalam toleransi aktivitas.
Intervensi :
1. Kaji toleransi pasien terhadap aktivitas menggunakan parameter berikut: frekuensi
nadi 20/menit diatas frekuensi istirahat; catat peningkatan TD, dispnea atau nyeri
dada; kelelahan berat dan kelemahan; berkeringat; pusing; atau pingsan.
R/ : Parameter menunjukkan respons fisiologis pasien terhadap stres aktivitas dan
indikator derajat pengaruh kelebihan kerja/jantung.
2. Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktivitas contoh penurunan kelemahan/kelelahan,
TD stabil/frekuensi nadi, peningkatan perhatian pada aktivitas dan perawatan diri.
R/ : Stabilitas fisiologis pada istirahat penting untuk memajukan tingkat aktivitas
individual.
3. Dorong memajukan aktivitas/toleransi perawatan diri.
R/ : Konsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktivitas dapat meningkatkan jumlah
oksigen yang ada. Kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan tiba-tiba pada
kerja jantung.
4. Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan kursi mandi, menyikat
gigi/rambut dengan duduk dan sebagainya.
R/ : Teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi sehingga membantu
keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen.
5. Dorong pasien untuk berpartisipasi dalam memilih periode aktivitas.
R/ : Seperti jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan aktivitas dan mencegah
kelemahan.
58
R/ : Indikator klinis dari keadekuatan curah jantung. Pemantauan memungkinkan deteksi
dini/tindakan terhadap dekompensasi.
59
2. Tingkatkan/dorong tirah baring dengan kepala tempat tidur ditinggikan 45 derajat.
R/ : Menurunkan volume darah yang kembali ke jantung (preload), yang memungkinkan
oksigenasi, menurunkan dispnea dan regangan jantung.
3. Bantu dengan aktivitas sesuai indikasi (mis: berjalan) bila pasien mampu turun dari
tempat tidur.
R/ : Melakukan kembali aktivitas secara bertahap mencegah pemaksaan terhadap
cadangan jantung.
4. Berikan oksigen suplemen sesuai indikasi. Pantau DGA/nadi oksimetri.
R/ : Memberikan oksigen untuk ambilan miokard dalam upaya untuk mengkompensasi
peningkatan kebutuhan oksigen.
5. Berikan obat-obatan sesuai indikasi. Mis: antidisritmia, obat inotropik, vasodilator,
diuretik.
R/ : pengobatan distritmia atrial dan ventrikuler khusnya mendasari kondisi dan
simtomatologi tetapi ditujukan pada berlangsungnya/meningkatnya efisiensi/curah
jantung. Vasodilator digunakan untuk menurunkan hipertensi dengan menurunkan
tahanan vaskuler sistemik (afterload). Penurunan ini mengembalikan dan
menghilangkan tahanan. Diuretic menurunkan volume sirkulasi (preload), yang
menurunkan TD lewat katup yang tak berfungsi, meskipun memperbaiki fungsi
jantung dan menurunkan kongesti vena.
60
R/ : Menghambat reabsorpsi natrium/klorida, yang meningkatkan ekskresi cairan, dan
menurunkan kelebihan cairan total tubuh dan edema paru.
3. Pantau elektrolit serum, khususnya kalium. Berikan kalium pada diet dan kalium
tambahan bila diindikasikan.
R/ : Nilai elektrolit berubah sebagai respons diuresis dan gangguan oksigenasi dan
metabolisme. Hipokalemia mencetus pasien pada gangguan irama jantung.
61
4. Berikan cairan IV melalui alat pengontrol.
R/ : Pompa IV mencegah kelebihan pemberian cairan.
5. Batasi cairan sesuai indikasi (oral dan IV).
Diperlukan untuk menurunkan volume cairan ekstrasel/ edema.
6. Berikan batasan diet natrium sesuai indikasi.
R/ : Menurunkan retensi cairan.
62
D. EVALUASI
a. Melaporkan nyeri hilang/terkontrol.
b. Menunjukan peningkatan yang dapat diukur dalam toleransi aktivitas.
c. Melaporkan/menunjukan penurunan episode dispnea, nyeri dada, dan disritmia.
d. Menunjukkan keseimbangan masukan dan haluaran, berat badan stabil, tanda vital
dalam rentang normal, dan tak ada edema.
e. Menunjukan perilaku untuk menganani stress.
Miokardium tentu saja terlibat dalam proses inflamasi ini; artinya, berkembanglah
miokarditis rematik, yang sementara melemahkan tenaga kontraksi jantung.
Demikian pula pericardium juga terlibat; artinya, juga terjadi pericarditis rematik
selama perjalanan akut penyakit. Komplikasi miokardial dan pericardial biasanya
tanpa meninggalkan gejala sisa
63
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Penyakit jantung kongenital merupakan penyakit jantung yang terjadi akibat kelainan dalam
perkembangan jantung dan pembuluh darah, sehingga dapat mengganggu dalam fungsi jantung
dan sirkulasi darah jantung atau yang dapat mengakibatkan sianosis dan asianosis. Penyakit
jantung kongenital secara umum terdiri atas dua kelompok yakni sianosis dan asianosis. Pada
kelompok sianosis tidak terjadi percampuran darah yang teroksigenasi dalam sirkulasi sistemik
dan pada yang asianosis terjadi percampuran sirkulasi pulmoner dan sistemik. Secara umum
penyakit jantung sianotik seperti tetralofifallot dan penyakit jantung nonsianotik seperti cacat
sekat ventrikel (ventrikel septal defect-VSD),cacat sekat atrium (atrium septal defect-ASD),patent
ductus arteriosus (PDA),stenosis aorta, stenosis pulmonal, dan koartasio aorta. Di bawah ini
beberapa macam kelainan jantung bawaan yang sering di jumpai pada anak.
64
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Kliegman, Arvin, 2000, Ilmu Kesehatan Anak Nelson Vol.2, Editor,
Prof.DR.dr.A.Samik Wahab,sp.A(k),EGC:Jakarta
Engram.B (1994). Rencana Asuhan KeperawatanMedikal Bedah. 1th. Ed. Editor Monica ester, S.Kp.
EGC. Jakarta
Sariadai, S.kp & Rita Yuliani, S.kp. Asuhan Keperawatan Pada Anak. PT. Fajar interpratama. Jakarta
http://muhammadihsan87.blogspot.com/2011/01/askep-asd-vsd.html
http://putrisayangbunda.blog.com/2010/08/29/askep-patent-ductus-arterious-pda/
65