Anda di halaman 1dari 10

1

NOTULENSI DISKUSI ONLINE


“PERMASALAHAN RUU KUHP DALAM SUDUT PANDANG
PROFESI PERAWAT”

Pemantik : Cecep Tribowo, S.Kep., M.Sc.


Moderator : Fatkhul’ Ulum, S.Kep.
Pelaksanaan : Jum’at, 27 September 2019
Waktu : 20.00 WIB s/d 23.00 WIB

PROLOG

RUU-KUHP telah dibahas lebih dari 40 tahun dan terdapat beberapa pasal di RUU-
KUHP terkait dengan kesehatan. Sistem hukum di Indonesia menggunakan sistem hukum
eropa kontinental bukan sistem hukum anglo saxon. UU memegang peranan yang sangat
penting. Pembuatan UU harus memerlukan kajian yang cukup luas. Perbincangan RUU-
KUHP di media pada saat ini terdapat beberapa hal yang disalahpahami sehinggan membuat
berita terkesan hoax (tidak dapat dibenarkan), di RUU KUHP tersebut juga terdapat beberapa
pasal yang bermasalah, dan beberapa pasal yang telah ada sedari dulu.
Isu yang sekarang beredar di sosial media terutama dalam kalangan tenaga kesehatan
seperti “pulang malam akan dipidana”. Hal tersebut terdapat dalam pasal 431 RUU KUHP
yang berbunyi :
“Setiap orang yang bergelandang di jalan atau di tempat umum yang mengganggu
ketertiban umum dipidana dengan denda paling banyak kategori I (Kategori I sebanyak 1
tahun).”
Jika dicermati, bahwa dalam ayat tersebut tidak terdapat pernyataan yang menyatakan
“pulang malam akan dipidana”, pasal tersebut berisi tentang penggelandangan dimana setiap
orang di jalan atau di tempat umum yang tidak memiliki identitas jelas maksud dan
keberadaannya serta mengganggu ketertiban umum akan dipidana, sehingga perlu hati-hati
dalam memahami dan mencermati isu tersebut.
2

Pasal 469-471 tentang pengguguran kandungan, isinya bersamaan dengan UU No 36


Tahun 2009 tentang Kesehatan, sehingga harus memerluhkan pengkajian isu yang mendalam
agar tidak multitafsir.
Bagian Kedua
Pengguguran Kandungan
Pasal 469
(1) Setiap perempuan yang menggugurkan atau mematikan kandungannya atau meminta
orang lain menggugurkan atau mematikan kandungan tersebut dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 (empat) tahun.
(2) Setiap Orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan tanpa
persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya perempuan
tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 470
(1) Setiap Orang yang menggugurkan atau mematikan kandungan seorang perempuan
dengan persetujuannya dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya perempuan
tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun.
Pasal 471
(1) Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang membantu melakukan Tindak Pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 469 dan Pasal 470, pidana dapat ditambah 1/3 (satu
per tiga).
(2) Dokter, bidan, paramedis, atau apoteker yang melakukan Tindak Pidana sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 huruf a dan huruf f.

Kemudian juga pada pasal 276, disitu disebutkan bahwa:


Pasal 276
(2) Setiap Orang yang menjalankan pekerjaan menyerupai dokter atau dokter gigi sebagai
mata pencaharian baik khusus maupun sambilan dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak kategori V.
3

Pernyataan “menyerupai” pada ayat di pasal tersebut terkesan multitafsir, yang dimaksud
menyerupai adalah bukan dokter yang memberikan pengobatan, namun realitanya tindakan
perawat yang “abu-abu” seperti tindakan sirkumsisi, apakah wewenang perawat atau
wewenang dokter? Tindakan sirkumsisi yang belum jelas wewenangnya ini akan berbahaya
bagi perawat sehingga ayat tersebut itu seperti ditujukan kepada profesi selain dokter.
Pernyataan ayat pada pasal yang multitafsir ini harus diperjuangkan agar dihapuskan,
sehingga perawat pada khususnya tidak menjadi sasaran terhadap kejanggalan dari makna
pasal tersebut.

DISKUSI

1. Elvan
Mengenai praktik keperawatan bukannya sudah diatur ya di UU Nomor 38 Tahun 2014
pasal 19, disitu perawat bebas membuka praktik mandiri selama memiliki izin. Jadi
mengenai praktik yg menyerupai kedokteran itu seperti apa ya maksudnya?
Tanggapan :
Arif
Saya setuju dengan pendapat Elvan kita sudah bisa membuka praktik keperawatan
sendiri. Namun dengan syarat kita tetap berada dalam koridor kita. Beberapa hal dapat
didelegasikan oleh dokter kepada perawat. Namun ada hal yang tidak bisa didelegasikan
kepada perawat. Dan itu menjadi tugas ekslusif dokter. Mendiagnosa pasien dan
melakukan rencana pengobatan selanjutnya. Jadi intinya kita tetap dalam pekerjaan kita.
Mas Cecep :
Terkait izin praktek memang telah diatur di UU Nomor 38 Tahun 2014. Tapi batasan
mengenai praktik keperawatan sampai sekarang banyak yang abu-abu. Contoh tadi,
sirkumsisi itu kewenangan siapa? Lalu apakah tugas limpah itu termasuk dalam
"menyerupai" dokter atau tidak. Coba baca pasal 73 ayat 2 di UU Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran. Meskipun di ayat 3 nya dijelaskan diberi kewenangan.

Sementara di UU No 38 tahun 2014 tentang Keperawatan, kita diperbolehkan


melakukan tindakan medis hanya apabila kondisi darurat. Perawat Misran masuk
penjara karena dia gagal membuktikan bahwa tindakannya itu dawat darurat.
4

Pendapat arif dari riau menarik, pertanyaannya adalah seperti apa pendelegasian yang
legal? Jika pendelegasiannya dianggap tidak legal apakah bisa dianggap "menyerupai"?
Lalu jikalaupun itu memang semua sudah diatur di Permenkes Nomor 26 Tahun 2019
tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 38 tentang Keperawatan, kenapa kalimat
menyerupai itu hanya untuk dokter dan dokter gigi? Kenapa Perawat tidak? Apoteker
juga tidak?
Artinya azas keadilannya kurang.

2. Mahfud Dwi
Pada pasal 471 ayat (3) dikatakan bahwa hanya dokter yang boleh melakukan
penggugurkan kandungan karena indikasi kedaruratan medis atau terhadap korban
pemerkosaan, tidak dipidana. Lantas apakah dalam keadaan terpaksa dalam konteks
darurat, perawat tidak dapat melakukan hal tersebut? Dan dapat terkena tindak pidana?
Tanggapan :
Mas Cecep
Sebetulnya tidak. Yang dipake dalam kasus ini adalah UU No 38 Tahun 2014. Karena lex
specialis sedangkan KUHP itu lex generalis. Azas hukumnya lex specialis derogat legi
generalis. Tapi bagaimanapun permasalahan model pasal begini pernah memakan korban
Perawat Misran dan beberapa kasus lain. Perawat Misran masuk penjara karena dia gagal
membuktikan bahwa tindakannya itu dawat darurat.
Kenyataannya di lapangan, kasus hukum perawat terbanyak adalah pada saat melakukan
tindakan pendelegasian. Contoh kasus perawat meutiah di aceh.

3. Faidhil
UU Nomor 38 tahun 2014 seyogyanya Lex spesialis. tapi, pandangan saya undang-
undang ini digeneralkan oleh UU No. 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan yang
kedudukannya layaknya siluman, jika UUK bisa benar lex spesialis, kita bisa
kesampingkan semua UU generalis dan dengan cepat bisa menyelesaikan problematika
grey area. Masalah di RUU KUHP, akan teratasi dengan UUK. Malah pandangannya
sekarang UU Kebidanan yang duplicated dari UUK lebih dianggap lex spesialis. Urgensi
pengaturan mengenai keperawatan dengan undang-undang tersendiri didasarkan pada UU
Kesehatan, yang dibentuk sebagai aturan pelaksanaan amanat UUD RI Tahun 1945. UU
Kesehatan ini merupakan lex specialis dari UUD RI Tahun 1945, namun UU Kesehatan
sebagai undang-undang organik merupakan lex generalis bagi peraturan perundang-
5

undangan lainnya yang berkaitan dengan kesehatan baik yang kedudukannya sejajar
maupun yang ada di bawahnya, karena UU Kesehatan hanya mengatur hal yang bersifat
pokok terkait dengan kesehatan maka dispesialkan oleh UUK yang lebih spesifik.
Permasalahannya adalah landasan yang sering digunakan oleh pemerintah adalah UU
Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan dengan menyampingkan UU Nomor 38
Tahun 2014.
Mas cecep
Sebetulnya UU Nomor 38 Tahun 2014 tetap masih lex spesialis untuk perawat jika diuji
di pengadilan. Saya pernah jadi saksi ahli. Yang membuat masalah adalah sampai
sekarang dari begitu banyaknya peraturan bidang kesehatan tidak ada batasan yang jelas
antar profesi. Jadi lebih banyak grey area. Perlu dicatat tentang pentingnya penguatan
UU Keperawatan

Ayu
Maaf izin berpendapat, jika keliru tolong diluruskan
Oleh karenanya sebenarnya disini yang harus ditonjolkan UU No. 38 Tahun 2014. Maaf,
jangan seolah UU ini hanya ada tapi tidak dipergunakan. Jika UU ini diperhatikan dan
diperhitungkan keberadaannya maka pasal yang ambigu ini akan dapat terjawab dengan
pasal yang ada di dalam UU No. 38 ini yakni pada pasal 32,33,34,35 yang juga
sebenarnya beriringan dengan UU No. 29 Tahun 2004 ayat 3

Faidhil
Landasan yuridis terkait dengan pengaturan keperawatan secara komprehensif dalam
bentuk undang-undang tersendiri adalah untuk menjamin kepastian dan perlindungan
hukum keperawatan. Namun, ketika ada permasalahan seperti malpraktik di Meulaboh
Aceh Barat tersangka perawat dijerat pasal 84 ayat 2 UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara serta Pasal 359 KUHP
dengan ancaman 5 tahun penjara. Bahkan bisa menjerat dengan pasal berlapis.
Masalah grey area di profesi kita seharusnya sudah terselesaikan dengan Konsil
Keperawatan, karena di antara tugas konsil adalah menyusun standar pendidikan tinggi
Keperawatan dan menyusun standar praktik dan standar kompetensi Perawat. Namun,
lagi-lagi masalah konsil adalah masih kembali tertarik-tarik dengan UU No. 36
tentang Keperawatan.
6

Ayu
Terjawab sudah ke abu-abuan ini ada karena Konsil Keperawatan yang belum ada. Jadi
sebenarnya yang harus kita perjuangkan adalah bagaimana caranya agar Konsil
Keperawatan itu dapat segera diaktivasi. Agar semuanya bisa jelas

4. Maulana
Refisi UU Kesehatan Tahun 1992 itu kan diganti dengan UU kesehatan yang sesuai
perkembangan tuntutan dan kebutuhan, sedangkan yang namanya sekarang itu perubahan
dan peraturan yang dibuat tidak berdasarkan HAM, lebih tepatnya seperti medesak
kebebasan/hak profesi. Apa itu yg di maksud dengan menyesuaikan dengan peradaban?
Semakin kritis nya orang di jaman ini semakin dibungkamin.

Tanggapan :
Mas Cecep
jawabannya ada di teori legal drafting di UU No 12 Tahun 2011 UU Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

5. Yoga Yudistira
a. Bisa kita ketahui bahwasannya tenaga kesehatan khususnya perawat lebih fokus ke
pembelajaran dan cara belajarnya cenderung kearah kesehatan itu sendiri. Jadi bisa di
katakan. Perawat khususnya jarang sekali memiliki jiwa untuk responsif terhadap isu
isu bahkan UU yang saat ini terjadi karena ketidaktahuan bahkan ketidakmampuan
dari mahasiswa/perawat itu sendiri untuk menyuarakan atau mengkaji isu yg
berkembang saat ini terjadi. Karena memang sangat disayangkan tenaga
kesehatan/perawat itu sendiri lebih disibukkan dengan tugas, dinas, bahkan askep yg
menumpuk sehingga sangat kecil kemungkinan dari teman teman dapat
menyuarakannya. Lalu bagaimana sikap kita terhadap kejadian yang saat ini terjadi?
b. Mengapa ada di RUU KUHP yang lebih menyudutkan tenaga kesehatan khususnya
perawat. Imbalan berupa materil saat kita bekerja pun tidak sebanding dengan beban
kerja dan apa yang telah dikerjakan. Bagaimana sikap kita terkait permasalahan ini,
apakah kita harus mengadu ke PPNI, dan apa fungsi dari hukum kesehatan itu sendiri.
Apakah hanya sekedar menjadi lembaga payung hukum atau bisa juga untuk kita
menyampaikan aspirasi untuk akhirnya menjadi lembaga bantuan hukum itu sendiri.
7

6. Baghas
Apabila kita mereview kembali terkait pasal penjelas, di sebutkan bahwa
"Pekerjaan yg harus mendapatkan izin sesuai perundangan sampai kata dan sebagainya"
nah perawat kan sudah termasuk pekerjaan yg memiliki izin sesuai UU, berarti
sebenarnya, bukannya tidak ada masalah semisal RUU KUHP pada poin ini disahkan.
Dan kalau kita mempermasalahkan intervensi yg sudah sering kita lakukan (yg mungkin
kita tidak tau itu masuk intervensi mandiri atau kolaborasi), kembalikan aja ke Permenkes
No. 26 Tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 38 Tahun 2014 tentang
Keperawatan, sudah dijelaskan juga tindakan yang sifatnya delegatif (yang bisa kita
katakan sebagai pekerjaan mirip dokter) atau mana yang jadi lingkup intervensi mandiri
perawat.

7. Refonda
Dalam pasal 276 ayat 2 jika yang dibahas adalah diksi “menyerupai” maka bukankah itu
adalah bomerang ya Pak? Jika memang kita memang percaya diri dengan keilmuan dan
memang berbeda ranah intervensi dan diagnosa dengan medis. UU keperawatan Nomor
38 Tahun 2014 dan Permenkes Nomor 26 Tahun 2019 (perlu dicari lagi ayatnya) pun
sudah disahkan berarti seharusnya sudah ada pembagian tugas yang jelas bahwa perawat
adalah tenaga kesehatan yang diakui. Malah yang dinilai ambigu dan pasal karet adalah,
pasal ini seharusnya tidak hanya berlaku untuk dokter dan dokter gigi. Namun, juga untuk
semua tenaga kesehatan. Tetapi jika balik lagi ditinjau dari keterangan pasal 276 maka,
tidak ada disebutkan profesi perawat. Begitu pula dalam pasal 471, tidak ada kata
perawat, mungkin digantikan dengan paramedis yang menurut kbbi berarti tersebut yang
telah saya kirim fotonya. Lalu pertanyaan kedua, jikalau perawat dimasukkan dalam pasal
tersebut sudah siapkah profesi kita?

8. Mukhlis Zainun
Saya ingin bertanya terkait Pasal 276 Ayat 2 tentang diksi “Menyerupai”. Seandainya
kita berada di daerah terpencil dan disana tidak ada dokter, yang ada hanya Tenaga Medis
selain dokter. jika benar-benar tindakan kita menyerupai tindakan dokter, apakah ada
Undang-undang atau peraturan yang memperkuat tindakan agar tidak terjerat
hukum/pidana/denda?
8

Secara garis besar, inti dari pertanyaan yang diajukan terkait pasal 276 ayat 2 ialah
bagaimanakah langkah pencegahan yang dapat dilakukan perawat agar kita tidak terjerat di
pasal karet tersebut? Saya rasa ada beberapa langkah yang bisa dilakukan
a. Pencegahannya bisa lewat koordinasi dengan pihak dokter
Saat melakukan tindakan yang rasanya abu-abu perlu kita koordinasi dulu ke pihak lain
(dalam hal ini dokter) agar decision making kita tidak keliru.
Tanggapan :
Febri
Iya menurut saya juga begini, tapi ini butuh waktu lama, dan terlalu tidak efisien untuk
selalu koordinasi dulu setiap menemukan hal yang abu-abu di lapangan, dimana yang
saya sering alami lebih sering abu-abu nya.

Rini
Mengenai masalah keabu-abuan yang “menyerupai” ini, final solution nya yaitu harus
adanya batasan perbedaan tindakan setiap profesi yang sah dalam peraturan perundang-
undangan. Yang dalam hal ini yang paling bermasalah antara perawat dan dokter yang
memang dari dulu selalu belum jelas. Walaupun adanya pendelegasian, tapi saking terlalu
umum (kebiasaan) pendelegasian tersebut maka itu seakan menjadi tugas perawat yang
sah. Seakan. Padahal sebenarnya itu tindakan dokter

Baghas
Kalau misal kita kembalikan ke tugas keperawatan sendiri, ranah kita bukankah memang
menilai respon dari kondisi klien ya. Tugas perawat sebenarnya kan preventif,
kolaboratif, mandiri, dan lain-lain. Nah terkhusus yang mandiri, mungkin perlu ada
pembakuan kira-kira mana saja yang terhitung tindakan mandiri (tapi apa malah tidak
ribet ya misal dibuat detail-detail apa saja). Nah baru tindakan yang kolaboratif ini yang
emang mau tidak mau harus dilaksanakan secara kolaborasi. Setau saya tindakan
kolaborasi itu tindakan invasif dan pemberian obat. Hanya saja di lapangan memang
karena jumlah perawat lebih banyak, tugas tersebut didelegasikan ke perawat dan seakan-
akan itu jadi tugas perawat.
9

b. Mendesak BBHAP (Badan Bantuan Hukum dan Advokasi Perawat) atau LBHPI
(Lembaga Bantuan Hukum Perawat Indonesia) untuk tuntaskan permasalahan
ranah abu-abu ini lewat Judicial Review ke MK
Tanggapan :

El
Lebih bagus yang seperti ini biar lebih jelasnya

Closing :
Saya ingin berpesan bahwa terkait perjuangan kita semua tentang RUU KUHP. Kiranya
adek-adek dapat memasukan isu-isu atau pasal-pasal yang ada kaitannya dengan kesehatan ke
dalam isu utama perjuangan. Soal sikap, saya kembalikan ke teman-teman.
10

KESIMPULAN DISKUSI

1. Tolak RUU KUHP pasal 276 ayat (2) karena multitafsir, pasal karet, dan diskriminatif
karena hanya memberikan penekanan pada profesi dokter.
2. Mendesak BBHAP atau LBHPI untuk melakukan judicial review terhadap RUU KUHP
terutama untuk pasal-pasal yang dapat merugikan perawat khususnya dan mengacaukan
pelayanan kesehatan umumnya.
3. Penguatan UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan.
4. Realisasi Konsil Keperawatan sebagai solusi terhadap banyaknya masalah grey area pada
profesi perawat.

Anda mungkin juga menyukai