Referat Epilepsi Pada Wanita

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

EPILEPSI PADA WANITA

Disusun oleh:
Diani Adita
030.10.081

Pembimbing:
dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI


KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
PERIODE SEPTEMBER-OKTOBER 2014

0
LEMBAR PENGESAHAN

Referat dengan judul “Epilepsi Pada Wanita” disusun dalam rangka memenuhi
tugas kepanitraan klinik Ilmu Penyakit Saraf di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih
periode 22 September 2014 – 25 Oktober 2014, oleh :

Nama : Diani Adita

NIM : 030.10.081

Telah disetujui dan diterima hasil penyusunannya oleh :

Pembimbing : dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S

Jakarta, Oktober 2014

Pembimbing

dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas
rahmat dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul ”Epilepsi Pada
Wanita” tepat pada waktunya. Referat ini disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit Saraf di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Julintari


Bidramnanta, Sp.S yang telah membimbing penulis dalam menyusun referat ini.
Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada semua pihak yang telah membantu, baik
secara langsung maupun tidak langsung dalam proses penyusunan referat ini.

Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam referat ini. Akhir
kata, penulis mengharapkan semoga referat ini dapat memberikan manfaat.

Jakarta, Oktober 2014

Diani Adita

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ 1


KATA PENGANTAR ........................................................................................ 2
DAFTAR ISI....................................................................................................... 3
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................ 4
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 5
2.1 Definisi epilepsi ................................................................................ 5
2.2 Epidemiologi ..................................................................................... 5
2.3 Etiologi .............................................................................................. 5
2.4 Patofisiologi ...................................................................................... 6
2.5 Klasifikasi ........................................................................................ 7
2.6 Epilepsi pada wanita ...................................................................... 10
2.7 Diagnosis ........................................................................................ 14
2.8 Penatalaksanaan .............................................................................. 16
2. 9 Komplikasi ..................................................................................... 22
2.10 Prognosis ....................................................................................... 23
BAB III. KESIMPULAN.................................................................................. 25
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 26

3
BAB I
PENDAHULUAN

Epilepsi adalah gangguan kronis pada otak yang dapat mempengaruhi baik pria
maupun wanita pada semua usia. Kelainan ini ditandai dengan terjadinya kejang
berulang, spontan (unprovoked), dengan sifat kejang yang sama dan menyebabkan
konsekuensi neurobiologi, kognitif, psikologis, dan sosial dari kondisi ini.1,2
Diperkirakan epilepsi mempengaruhi hampir 70 juta orang di seluruh dunia.3

Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologis yang paling umum dan
dapat sangat dipengaruhi oleh perubahan fisiologis yang melekat dalam siklus
reproduksi wanita.4 Banyak wanita dengan epilepsi mengalami perubahan pada
frekuensi dan tingkat keparahan kejang pada siklus reproduksi, termasuk pubertas,
selama siklus menstruasi, masa kehamilan, dan pada saat menopause.5 Pada sebuah
literatur dikatakan bahwa epilepsi dan hormon endokrin saling mempengaruhi satu
sama lain, dimana perubahan hormonal berdampak pada epilepsi dan epilepsi
berdampak pada fungsi hormonal itu sendiri.6 Wanita dengan epilepsi mungkin
memiliki pola kejang berhubungan dengan perubahan kadar estrogen dan progesteron,7
dimana estrogen merupakan prokonvulsan, sedangkan progesteron memiliki sifat
antikonvulsan.4,8

Wanita dengan epilepsi menghadapi berbagai tantangan yang unik, khususnya


yang berkaitan dengan kesehatan reproduksi yang dapat mempengaruhi kecenderungan
terjadinya kejang. Kehamilan membawa beberapa pertimbangan khusus untuk wanita
dengan epilepsi, karena terjadinya kejang dan obat-obatan tertentu yang dikonsumsi
selama ini kadang-kadang membawa risiko berbahaya bagi janin yang sedang
berkembang. Biasanya risiko ini dapat diminimalkan dengan beberapa tindakan
pencegahan yang dapat dilakukan sebelum dan selama kehamilan.9 Hubungan antara
epilepsi dengan hormon pada wanita yang saling mempengaruhi inilah yang menjadi
pertimbangan lebih lanjut untuk menentukan tatalaksana bagi wanita dengan epilepsi.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi epilepsi

Epilepsi menurut World Health Organization (WHO) merupakan gangguan


kronik pada otak yang menunjukkan gejala berupa serangan kejang berulang akibat
lepasnya muatan listrik berlebihan pada sel-sel saraf otak (neuron) yang timbul tiba-
tiba dan biasanya berlangsung singkat.1

2.2 Epidemiologi
Sekitar 50 juta orang di dunia memiliki epilepsi. Perkiraan proporsi epilepsi
aktif pada populasi umum pada waktu tertentu yaitu antara 4 sampai 10 per 1000 orang.
Namun, beberapa penelitian di negara berkembang menunjukkan bahwa proporsinya
antara 6 sampai 10 per 1000 orang. Di negara maju, kasus baru per tahun yaitu antara
40 sampai 70 per 100.000 orang pada populasi umum. Sedangkan di negara
berkembang, angka ini hampir dua kali lebih tinggi. Hampir 80% dari kasus epilepsi di
seluruh dunia ditemukan di negara berkembang. Hal ini dikarenakan adanya risiko yang
lebih tinggi untuk mengalami kondisi (seperti infeksi) yang dapat menyebabkan
kerusakan otak permanen yang kemudian dapat menyebabkan timbulnya epilepsi.1

Di Indonesia, prevalensi epilepsi yaitu 0.5-0.6% dimana diperkirakan terdapat


1,5 juta orang dengan epilepsi.10 Kejadian epilepsi pada laki-laki sebesar 5,88 dan
wanita sebesar 5,51 tiap 1000 penduduk.

2.3 Etiologi
Jenis epilepsi yang paling umum yaitu epilepsi idiopatik atau epilepsi primer
yang tidak memiliki penyebab yang dapat diidentifikasikan. Dalam banyak kasus,
terdapat dasar genetik yang mendasari terjadinya epilepsi idiopatik ini.1

5
Epilepsi yang diketahui penyebabnya disebut epilepsi sekunder atau epilepsi
simtomatik. Penyebab epilepsi sekunder yaitu diantaranya kerusakan otak dari cedera
prenatal atau perinatal (kehilangan oksigen atau trauma selama kelahiran, berat lahir
rendah), kelainan kongenital atau kondisi genetik yang berhubungan dengan
malformasi otak, sindrom genetik tertentu, akibat penyakit neurologi lain (seperti
alzheimer), infeksi pada otak dan selaput otak (seperti meningitis, ensefalitis,
neurocysticercosis), tumor otak, cedera kepala berat, penyumbatan atau kelainan
pembuluh darah otak.1,9

2.4 Patofisiologi

Kejang adalah manifestasi paroksismal sifat listrik dari korteks serebral.


Epilepsi terjadi ketika terjadi gangguan pada hubungan normal antara sel-sel saraf di
otak dalam menghantarkan listrik, terjadi ketidakseimbangan dari zat kimia natural atau
neurotransmiter yang penting untuk menghantarkan signal antara sel-sel otak, atau
ketika terjadi perubahan pada membran sel-sel saraf termasuk ion channel yang
mengubah sensitivitas normal.9

Ada dua jenis neurotransmiter, yaitu nerotransmiter eksitasi dan inhibisi.


Neurotransmiter eksitasi memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik,
sedangkan neurotransmiter inhibisi yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel
neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Neurotransmitter eksitasi yaitu
diantaranya glutamat, epinephrine, dan norepinephrine. Beberapa neurotransmiter
inhibisi yaitu gamma amino butyric acid (GABA), glisin, dan serotonin. Dalam
keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada
dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran
neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik.

Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan


transmisi pada sinaps. Transmisi listrik oleh neuron-neuron otak disebabkan oleh
adanya potensial membran sel. Potensial membran neuron bergantung pada
permeabilitas selektif membran neuron, yakni membran sel mudah dilalui oleh ion K

6
dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan sedikit sekali oleh ion Ca, Na dan Cl. Hal
ini menyebabkan di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi ion K dan kosentrasi rendah
ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang ekstraseluler.
Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial membran. Berbagai
faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat mengubah atau mengganggu fungsi
membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan
ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan
melepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepasan muatan listrik
demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan penyebab suatu
serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat
serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi pra dan pasca sinaptik yang
menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus melepaskan muatan listrik. Diduga
inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar pusat epileptik. Keadaan lain yang
dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron
akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.

2.5 Klasifikasi

International League Against Epilepsi (ILAE) mengembangkan klasifikasi


internasional kejang epilepsi yang membagi kejang menjadi 2 kelompok utama: kejang
onset fokal dan kejang onset umum. Kejang onset fokal dimulai di daerah tertentu dari
korteks serebral, sedangkan kejang onset umum terjadi secara bersamaan di kedua
hemisfer otak. Beberapa kejang sulit untuk diklasifikasikan sehingga termasuk kejang
unclassified.2

Kejang onset fokal diklasifikasikan kembali menjadi kejang fokal sederhana,


kejang fokal kompleks, dan kejang tonik-klonik umum sekunder.2

 Kejang fokal sederhana

adalah kejang yang disebabkan gangguan otak di salah satu sisi otak
yang hanya terbatas dibagian itu saja dan berlangsung dari beberapa detik
hingga menit. Kejang yang terjadi tergantung bagian mana dari otak yang

7
terkena. Jika bagian tangan, maka hanya tangan yang akan mengalami sensasi
gerakan abnormal. Pada jenis kejang ini, penderita tidak mengalami penurunan
kesadaran. Beberapa jenis kejang fokal sederhana termasuk sensorik, motorik,
otonom, dan psikis. Bila aura terjadi lebih dari 30 menit maka didefinisikan
menjadi status epileptikus fokal sederhana.2

 Kejang fokal kompleks

Pada kejang fokal kompleks terjadi perubahan atau penurunan


kesadaran. Banyak pasien dengan kejang fokal kompleks memiliki aura
sebelum terjadadinya kejang berupa kejang fokal sederhana. Cara paling mudah
untuk mengetahui ada tidaknya perubahan kesadaran adalah dengan
menanyakan apakah pasien mengingat kejadiannya. Pasien mungkin mengingat
terjadinya aura, tetapi tidak menyadari bahwa mereka tidak mampu merespon
lingkungan. Kejang fokal kompleks biasanya berlangsung sekitar 60-90 detik
dan diikuti oleh kebingungan postictal yang singkat.2

Sikap distonik dari ekstremitas atas kontralateral sering terlihat bila


kejang fokal kompleks berasal dari lobus temporal mesial. Bila terjadi kejang
pada lobus frontal, kejang dapat berupa perilaku motorik yang aneh dan lebih
sering terjadi pada malam hari.2

 Kejang tonik-klonik umum sekunder

Kejang tonik-klonik umum sekunder sering dimulai dengan aura yang


berkembang menjadi kejang fokal kompleks dan kemudian menjadi kejang
umum tonik-klonik. Namun, kejang fokal kompleks mungkin berkembang
menjadi kejang umum tonik-klonik tanpa aura sebelumnya, atau aura dapat
berkembang menjadi kejang umum tonik-klonik tanpa didahului kejang fokal
kompleks.2

Kejang onset umum diklasifikasikan menjadi 6 kategori berdasarkan


manifestasi klinik dan hasil electroencephalographic (EEG), yaitu2

8
 Kejang absence atau petit mal

Kejang absen adalah episode singkat dari gangguan kesadaran tanpa


aura atau kebingungan postictal. Biasanya disertai dengan sedikit atau tidak ada
otomatisasi (misalnya berkedip berulang). Pada anak-anak, kejang ini
bermanifestasi sebagai “staring episodes” dan jarang disadari.2

 Kejang mioklonik

Kejang mioklonik terdiri dari gerakan aritmia motorik berupa


menyentak yang berlangsung kurang dari 1 detik dan sering berkelompok dalam
beberapa menit.2

 Kejang klonik

Terdiri dari gerakan motorik menyentak berirama dengan atau tanpa


penurunan kesadaran.2

 Kejang tonik

Kejang tonik merupakan onset mendadak tonik ekstensi atau fleksi


kepala, badan, dan / atau ekstremitas selama beberapa detik. Kejang ini biasanya
terjadi berkaitan dengan mengantuk, tak lama setelah pasien tertidur, atau
setelah mereka terbangun. Kejang tonik sering dikaitkan dengan kelainan
neurologis lainnya.2

 Kejang umum tonik-klonik primer atau Grand mal

Terdiri dari beberapa perilaku motorik, termasuk ekstensi tonik umum


dari ekstremitas yang berlangsung selama beberapa detik diikuti dengan
gerakan ritmis klonik dan kebingungan postictal berkepanjangan. Pada evaluasi
klinis, satu-satunya perbedaan perilaku antara kejang ini dan kejang umum
tonik-klonik sekunder adalah bahwa kejang ini tidak didahului aura.2

9
 Kejang atonik

Kejang atonik juga disebut "serangan drop." Serangan ini terjadi pada
orang dengan kelainan neurologis yang signifikan secara klinis dan terdiri dari
hilangnya tonus postural singkat.2

2.6 Epilepsi pada wanita

Fluktuasi hormon seks dapat meningkatkan kerentanan terhadap kejang pada


banyak wanita dengan epilepsi.6 Wanita dengan epilepsi mungkin memiliki pola kejang
yang berhubungan dengan perubahan kadar estrogen dan progesteron.7 Estrogen telah
terbukti meningkatkan aktivitas kejang dengan menurunkan batas ambang kejang.4,8,11
Sedangkan progesteron telah terbukti memiliki sifat antikonvulsan.4.8

Mekanisme yang diusulkan pada perubahan rangsangan membran neuron yaitu


perubahan inhibisi neuron yang dimediasi GABA dan eksitasi neuron yang dimediasi
glutamat. Perubahan fisiologis lain dapat memberikan kontribusi pada perubahan
ambang kejang pada wanita dengan epilepsi saat pubertas dan dengan fluktuasi siklus
hormonal. Mekanisme potensial pada premenstrual dapat menurunkan kadar Obat Anti
Epilepsi yang disebabkan oleh penurunan tiba-tiba kadar hormon yang diinduksi enzim
hati, atau perubahan air dan keseimbangan elektrolit dengan retensi cairan 11

2.6.1 Peran estrogen dan progesteron

Estrogen memiliki efek terhadap gen dan juga terhadap membran yang
meningkatkan eksitasi dan mengurangi inhibisi. Estrogen menyebabkan efek langsung
pada eksitabilitas membran di reseptor GABAA. Saat estrogen menempati reseptor
GABAA, konduksi klorida berubah sehingga inhibisi yang dimediasi oleh GABA
menjadi kurang efektif. Estrogen juga berperan sebagai agonis di reseptor N-methyl-D-
Aspartate (NMDA) untuk memediasi eksitasi di regio CA-1 di hipokampus. Hal ini
menyebabkan meningkatnya eksitasi pada regio lobus temporal mesial.5

10
Efek terhadap gen oleh estrogen termasuk perubahan dari mRNA yang
mengkode GABA amino decarboxylase (GAD), enzim yang meregulasi laju sintesis
neurokemikal GABA. Estrogen juga mengurangi laju sintesis dari subunit reseptor
GABAA.5

Percobaan pada binatang menunjukkan hasil estrogen merupakan prokonvulsan


dan menurunkan ambang kejang. Pada wanita dengan epilepsi, estrogen meningkatkan
frekuensi aktivitas epileptifom pada EEG.5

Progesteron memiliki efek yang berlawanan dengan estrogen. Ditempatinya


reseptor GABAA oleh progesteron menyebabkan peningkatan efek inhibisi dan
mengurangi efek eksitasi yang dimediasi glutamat pada lobus temporal. Progesteron
juga mempunya efek pada gen yaitu meningkatkan sintesis GABA dan jumlah total
reseptor subunit GABAA. 5

2.6.2 Epilepsi Katamenial

Sepertiga sampai setengah dari wanita dengan epilepsi mengalami kejang


katamenial.6 Kejang katamenial dapat mempengaruhi dari 10% sampai 70% wanita
subur dengan epilepsi. Epilepsi katamenial sendiri didefinisikan sebagai pola kejang
yang berubah tingkat keparahannya selama fase tertentu dari siklus menstruasi. 7
Perubahan frekuensi yang dimaksud pada epilepsi katamenial masih belum jelas.11

Studi kohort yang dilakukan oleh Herzog et al pada 184 wanita dengan epilepsi,
menentukan tiga pola yang berbeda dari epilepsi katamenial berdasarkan evaluasi
statistik frekuensi kejang pada wanita selama masa reproduksi mereka. Definisi
didasarkan pada Hari 1 sebagai hari pertama menstruasi dan ovulasi dianggap terjadi
14 hari sebelum onset menstruasi berikutnya (Hari ke 14). Kejang dan menstruasi
dicatat dan tingkat progesteron serum midluteal diperoleh pada hari 22. Konsentrasi
progesteron> 5 ng / ml dianggap ovulasi. Siklus dibagi menjadi empat fase: menstruasi
(M), folikel (F), ovulasi (O), dan luteal (L). Kejang yang dicatat selama siklus ovulasi
terjadi memperlihatkan frekuensi rata-rata harian lebih besar secara signifikan selama
fase menstruasi dan ovulasi dibandingkan selama fase folikuler dan luteal.8

11
Studi menunjukkan bahwa kecenderungan terjadinya kejang paling tinggi sesaat
sebelum dan saat menstruasi, atau saat ovulasi. Waktu tersebut memiliki dasar fisiologi
yang berhubungan dengan periode estrogen yang relatif tinggi dan tingkat progesteron
yang rendah.5,11 Fase ovulasi ditandai dengan puncak tingginya estrogen dan pada fase
perimenstruasi (sekitar 3 hari sebelum menstruasi) atau menstruasi dengan penurunan
progesteron.5

Kejang katamenial dapat terjadi akibat berkurangnya konsentrasi Obat Anti


Epilepsi di plasma. Kejang katamenial disebabkan peningkatan estrogen saat ovulasi,
penurunan kadar progesteron saat menstruasi, dan meningkatnya rasio
estrogen:progesteron (siklus anovulasi).5

2.6.2 Epilepsi selama Tahapan Reproduksi

Perubahan pola kejang dapat terjadi dengan perubahan hormonal, seperti selama
pubertas, kehamilan, dan menopause.12

Epilepsi pada pubertas

Beberapa sindrom epilepsi pertama kali terjadi atau memburuk selama masa
pubertas.5,12 Sindrom epilepsi umum primer yang berkembang saat pubertas termasuk
Juvenile Myoclonic Epilepsi (JME),5 dimana 18% dari JME merupakan epilepsi
fotosensitif.16 Pada masa pubertas, bangkitan umum tonik-klonik sering memburuk,
sebaliknya bangkitan absence dapat membaik, sedangkan bangkitan fokal kompleks
tidak terpengaruh. Bangkitan akan lebih sering kambuh apabila awitan bangkitan
terjadi pada usia lebih muda, etiologi jelas, pemeriksaan fisik, neurologi, dan EEG
abnormal serta menarke terlambat.13

Epilepsi pada kehamilan

Menurut International League Against Epilepsi, epilepsi pada kehamilan dibagi


menjadi 3 kelompok yaitu epilepsi yang telah diderita sebelum kehamilan, termed
gestational epilepsi, dan gestational onset epilepsi.14

Wanita yang menderita epilepsi sebelum kehamilan dapat mengalami bangkitan


pada saat hamil. Hal ini disebabkan karena pengaruh hormonal, metabolik, dan psikis.14

12
Pada masa kehamilan, peningkatan produksi estrogen oleh plasenta dan kelenjar
adrenal janin dapat menurunkan ambang kejang dan memperburuk epilepsi.4

Termed gestational epilepsi adalah epilepsi yang terjadi pertama kali sewaktu
masa kehamilan dan berlanjut pada kehamilan berikutnya dengan masa bebas bangkitan
di antara kehamilan.14

Gestational onset epilepsi adalah epilepsi yang terjadi pertama kali pada masa
kehamilan dan berlanjut di luar masa kehamilan.14

Epilepsi pada menopause

Menopause dibagi menjadi perimenopause dan menopause.15 Perimenopause


didefinisikan sebagai onset menstruasi tidak teratur, hot flushes, dan perubahan mood
dan ditandai dengan rasio estrogen : progesteron yang tidak stabil.8,15 Sementara itu,
menopause didefinisikan sebagai tidak terjadinya menstruasi selama 1 tahun.15
Postmenopause ditandai dengan tingkat estrogen yang rendah dan stabil.8 Pada
perimenopause kadar estrogen secara bertahap menurun dan progesteron pada fase
luteal juga menurun. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya kejang.15

Perubahan dalam pola kejang (peningkatan frekuensi) pada wanita dengan


epilepsi pada masa menopause lebih mungkin terjadi pada wanita yang mengalami pola
katamenial selama masa reproduksi mereka.8,15 Kejang tonik-klonik umum atau kejang
fokal kompleks yang sering terjadi lebih mungkin untuk kambuh saat menopause.15

Pada wanita menopause, terapi pengganti hormon (HRT) secara bermakna


dikaitkan dengan peningkatan kejang.8 Enam puluh tiga persen dari subjek yang
mendapatkan HRT melaporkan peningkatan frekuensi kejang, dibandingkan dengan
12% subjek yang tidak mengkonsumsi HRT. Diharapkan individu yang mengkonsumsi
estrogen-progesteron HRT lebih tidak terpengaruh terhadap perubahan frekuensi
kejang dibandingkan dengan individu yang hanya mengkonsumsi estrogen.15 Pada
penelitian tersebut dikatakan bahwa efek dari HRT terhadap epilepsi masih harus
dibuktikan dengan penelitian lebih lanjut.

13
2.7 Diagnosis

Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinik


dikombinasikan dengan hasil pemeriksaaan EEG dan radiologis. Namun demikian, bila
pemeriksa secara kebetulan melihat bangitan yang sedang berlangsung, maka diagnosis
epilepsi (klinik) sudah dapat ditegakkan.16

Auto maupun alloanamnesis perlu dilakukan untuk mengetahui segala sesuatu


yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah bangkitan (meliputi gejala dan lamanya
bangkitan) merupakan informasi yang merupakan kunci diagnosis. Selain itu perlu
ditanyakan faktor pencetus bangkitan dan riwayat epilepsi pada keluarga. 16

Pemeriksaan fisik juga harus dilakukan secara menyeluruh. Begitu juga dengan
pemeriksaan neurologi yang meliputi status mental, gait, koordinasi, pemeriksaan saraf
kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta reflex tendon.14

Pada epilepsi pola EEG dapat membantu untuk menentukan jenis dan lokasi
bangkitan. Gelombang epileptiform berasal dari cetusan paroksismal yang bersumber
pada sekelompok neuron yang mengalami depolarisasi secara sinkron. Gambaran
epileptiform yang terekam pada EEG muncul dan berhenti secara mendadak, seringkali
dengan morfologi yang khas. Gelombang epileptiform dapat muncul pada sekitar 1-2%
orang yang tidak mengalami epilepsi. Rekaman EEG pada penderita epilepsi dalam
keadaan sadar dan istirahat dapat menunjukkan gambaran yang normal.16

Gambaran EEG bangkitan epilepsi parsial sederhana memperlihatkan cetusan


kontralateral lokal, mulai di korteks sesuai dengan gejala yang tampak. Pada bangkitan
epilepsi parsial kompleks gambaran EEG menunjukkan cetusan unilateral atau
seringkali bilateral di daerah temporal atau frontotemporal. Kejang absence
menunjukkan EEG yang khas yaitu 3 Hz per detik spike dan waves yang muncul
spontan atau dengan rangsangan hiperventilasi.16

14
Gambar 1. Gambaran EEG pada epilepsi

Pemeriksaan radiologi seperti CT Scan dan MRI berguna untuk


mengidentifikasi patologi epilepsi (berupa lesi struktural) yang mendasar dan juga
untuk membuat perkiraan prognosis. MRI dapat membandingkan hipokampus kanan
dan kiri, mengidentifikasi kelainan pertumbuhan otak, tumor yang berukuran kecil,
malformasi vaskular tertentu dan penyakit demielinisasi. Secara teori semua kasus
epilepsi parsial harus diperiksa dengan MRI. Indikasi lain pemeriksaan ini yaitu
kelainan neurologi fokal, gelombang lambat fokal pada EEG, epilepsi refrakter, dan
pada penderita yang bangkitannya makin sering dan berat.16

Pemerikasaan darah, meliputi hematologi lengkap, elektrolit, gula darah, fungsi


hati, fungsi ginjal, dan lainnya dilakukan atas indikasi. Pemeriksaan cairan
serebrospinal juga dilakukan bila ada kecurigaan penyebabnya berupa infeksi.16

Hal yang perlu diperhatikan dalam penegakan diagnosis epilepsi katamenial


yaitu mengkonfirmasi pola manifestasi klinik yang signifikan dan mencatat hubungan
fisiologi antara peningkatan frekuensi kejang dengan siklus menstruasi. Manifestasi
klinis yang penting seperti frekuensi, jenis, waktu atau onset, tipe Obat Anti Epilepsi,
dosis, dan kepatuhan mengkonsumsi obat tersebut.11 Persepsi pasien terhadap pola
bangkitan selama siklus menstruasi berlangsung perlu ditanyakan kepada pasien.

15
Sangat dianjurkan bagi penderita untuk membuat catatan harian.16 Diagnosis epilepsi
katamenial berdasarkan catatan harian tentang peningkatan frekuensi dan lamanya
bangkitan epilepsi saat menjelang, selama, dan sesudah menstruasi serta pola
menstruasi.13

2.8 Tatalaksana

Tatalaksana paling penting untuk wanita dengan epilepsi adalah penggunaan


Obat Anti Epilepsi yang sesuai untuk jenis kejangnya. Tingkat kontrol dari kejang yang
merespons terapi dan efek sampingnya harus memberikan petunjuk terhadap
penyesuaian dosis dan perubahan obat.11

Estrogen, progesteron, dan testosteron dimetabolisasi oleh enzim cytochrome


P450. Obat Anti Epilepsi yang menginduksi enzim ini (barbiturat, karbamazepin,
oxcarbazepin, phenytoin, topiramate) meningkatkan metabolisme hormon steroid baik
steroid gonad maupun adrenal dan menyebabkan turunnya konsentrasi hormon tersebut
di plasma. Obat-obat ini juga meningkatkan ikatan steroid dengan protein pada serum
dan mengurangi bioavabilitas dari steroid. Valproat yang menginhibisi sitokrom P450
secara efektif memiliki efek yang berlawanan, yaitu dengan mengurangi metabolisme
hormon-hormon tersebut dan menyebabkan peningkatan konsentrasi steroid plasma.5

Beberapa Obat Anti Epilepsi terdapat pada table berikut.

Absence
Asam Valproate, valproate, ethosuximide
Kejang tonik-klonik
Asam valproate, valproate, phenytoin, carbamazepine, lamotrigine, gabapentine
Partial
Asam valproate, valproate, phenytoin, carbamazepine, lamotrigine, gabapentine,
phenobarbital

16
Mioklonik
asam valproate, valproate, clonazepam, acetazomlamide, primidone, phenobarbital

Tabel 1. Obat Anti Epilepsi5

Obat Anti Epilepsi gabapentin dan lamotrigine mungkin memiliki beberapa


keuntungan bagi wanita dengan epilepsi. Lamotrigin bekerja pada blokade sodium
channel yang menginhibisi lepasnya glutamat, aspartate, dan GABA dari jaringan
sistem saraf pusat. Gabapentin menyebabkan transmisi GABA. Oxcarbazepine bekerja
via blokade sodium channel, menyebabkan peningkatan metabolism hormon dan dapat
menyebabkan peningkatan risiko kegagalan kontrasepsi. Gabapentin dan lamotrigine
tidak mengubah kadar hormone steroid endogen dan tidak mempengaruhi kontrasepsi
hormonal, serta tidak bersifat teratogenik. Lamotrigin sering digunakan pada wanita
hamil.5

Fenitoin dan karbamazepin sering digunakan sebagai lini pertama untuk


mengatasi kejang parsial. Asam valproate efektif untuk semua jenis kejang, oleh
karenanya biasa digunakan sebagai lini pertama. Namun, obat-obat tersebut dapat
menyebabkan efek merugikan yang tidak diinginkan terutama oleh wanita. Fenitoin dan
karbamazepin mengurangi efektivitas dari kontrasepsi hormonal. Sedangkan valproate
meningkatkan indeks masa tubuh (BMI), hiperandrogenism, dan polikistik ovary, dan
juga kerontokan rambut. Ketiga Obat Anti Epilepsi ini juga merupakan teratogenik.5

Selain itu terdapat indikasi potensial untuk melakukan manipulasi hormonal


untuk mengobati epilepsi katamenial. Strategi yang seharusnya efektif berdasarkan
teori akan menyebabkan berkurangnya level estrogen relatif terhadap progesteron pada
siklus menstruasi. Klomipin dan GnRH sintetis dilaporkan efektif untuk mengurangi
kejang pada beberapa wanita dengan epilepsi. Namun terapi yang menghambat atau
menekan estrogen dapat menyebabkan implikasi negatif untuk kesehatan tulang,
karodiovaskular, dan fungsi kognitif. Terapi dengan progresteron dengan dosis yang
cukup tinggi sebagai antikonvulsan juga mempunyai efek samping signifikan dan
z
sedasi, depresi, hot flushes, jerawat, nyeri pada dada, dan perdarahan. Efektivitas dari
terapi hormonal ini masih belum jelas.11

17
Pria dan wanita yang mengkonsumsi beberapa OAT berisiko memiliki kadar
asam folat yang rendah pada serum dan sel darah merah. Serum dan folat sel darah
merah berkurang hingga 90% pasien yang menerima fenitoin, carbamazepine, atau
barbiturat. OAT yang tidak menginduksi enzim sitokrom P450 tidak terkait dengan
rendahnya kadar asam folat. Lamotrigin (LTG), OAT yang memiliki sifat lemah folat
in vitro, tidak memiliki efek pada serum atau folat sel darah merah. Pasien yang
mengkonsumsi zonisamide (ZnS) memiliki tingkat folat serum yang tidak berbeda dari
kontrol. Asam folat meningkatkan pertumbuhan sel dan pematangan sel darah merah.
Defisiensi asam folat berhubungan dengan berkurangnya pertumbuhan, terjadinya
anemia megaloblastik, intrauterine growth retardation, malformasi kongenital,
meningkatnya aborsi spontan, dan neural tube defects (anencephaly and spina bifida).
Konsumsi suplemen dengan asam folat pada pasien dengan epilepsi sangat dianjurkan
pada pasien dengan epilepsi.17

Epilepsi katamenial

Terapi epilepsi katamenial13

 Tambahkan OAE yang bekerja cepat seperti klobazam. Dosis klobazam 20-30
mg/hari dalam 2-4 hari sebelum, selama, dan setelah menstruasi.
 Obat tambahan lain adalah asetazolamid yang diberikan 5-10 hari sebelum,
selama, dan sesudah haid. Ada 2 dosis yang diajukan 1) dosis 250 mg 1-2 kali
per hari selama 5-7 hari, dan 2) dosis 5 mg/kgBB/hari selama 3 hari sebelum,
selama, dan sesudah menstruasi.
 Terapi hormone menggunakan progesterone dan progestin.

Wanita yang menggunakan obat kontrasepsi

Banyak Obat Anti Epilepsi menginduksi sistem sitokrom P450 hati, jalur
metabolisme utama dari hormon steroid seks, dan menginduksi produksi sex hormone
binding globulin (SHBG). Hal ini menyebabkan klirens yang lebih cepat dari hormon
steroid, sehingga konsentrasi hormon ini lebih rendah untuk bekerja sesuai target. Hal
ini dapat memungkinkan ovulasi pada wanita yang menggunakan pil kontrasepsi oral

18
(OCP) atau bentuk KB hormonal lain dan berkontribusi terhadap jumlah kehamilan
yang tidak direncanakan relatif tinggi.8

Antikonvulsan yang menginduksi enzim hati, seperti carbamazepine,


phenytoin, fenobarbital, primidone, felbamate, topiramate, dan oxcarbazepine,
mengurangi efektivitas pil kontrasepsi oral.2 Penggunaan gabapentin dan lamotrigine
dipilih karena tidak mempengaruhi kontrasepsi oral.5

Obat yang tidak berinteraksi dengan kontrasepsi yaitu, (1) Valproat dan
zonisamid yang bekerja menginhibisi enzim P450, (2) tidak berefek pada enzim P450 :
gabapentin, lamotrigine, levetiracetam, pregabalin, tiagabine, dan vigabatrin.13

Wanita pada masa kehamilan

Selama kehamilan, wanita harus minum obat yang paling mengontrol epilepsi
mereka.4 Lamotrigin sering digunakan pada wanita hamil, karena tidak bersifat
teratogenik. Sedangkan penggunaan fenitoin, karbamazepin, dan asam valproate
dihindari karena bersifat teratogenik.5

Asam valproate sering menyebabkan defek tabung saraf (neural tube) terutama
mielomeningokel dan anensefali yang tejadi akibat gangguan metabolism asam folat
yang berhubungan dengan level homosistein yang tinggi. Pemberian asalm folat 1-4
mg/hari, B6 dan B12 perikonsepsi serta penggunaan formula extended-release seperti
pada karbamazepin dan asam valproate dikatakan dapat menurunkan risiko terjadinya
malformasi, terutama defek tabung saraf.13

Sebelum hamil, terapi diberikan optimal sebelum konsepsi. Bila memungkinkan


ganti ke OAE yang kurang teratogenic dan dosis efektif harus tercapai sekurang-
kurangnya 6 bulan sebelum konsepsi. Diberikan asam folat (>0.4 mg/hari) selama masa
reproduksi dan dilanjutkan selama kehamilan.13

OAE generasi baru rendah teratogenik, yaitu diantaranya:13

 Gabapentin

19
Sebagai terapi add on pada epilepsi fokal, tersedia dalam bentuk tablet, dosis
epilepsi 2400-4800 mg/hari. Keunggulannya adalah tidak ada interaksi dengan
obat lain.

 Lamotrigin

merupakan antifolat lemah dan bekerja sebagai modulasi kanal natrium,


spectrum luas, merupakan lini pertama untuk epilepsi umum dan parsial. Bentuk
sediaan berupa tablet dan dispersible tablet dengan dosis pemeliharaan
monoterapi 100-400 mg/hari. Lamotrigin dapat melewati plasenta dan
konsentrasi pada plasma fetus dan ibu sama.

 Oxcarbazepine

Tersedia dalam kemasan tablet dan suspense oral, dosis antara 600-2400
mg/hari. Diberikan mulai dari dosis rendah dan difiltrasi bertahap tiap minggu
sampai tercapai dosis yang diinginkan. Oxcarbazepine dapat melalui plasenta
dan level obat di tali pusat dan ibu sama.

 Topiramat

Obat dengan spectrum luas pada epilepsi fokal dan umum sekunder, tersedia
dalam bentuk tablet dan sprinkle capsules dengan dosis harian 75-400 mg/hari.
Dapat melewati plasenta dengan plasma level pada tali pusat sama dengan level
plasma pada ibu. Namun informasi pada wanita hamil masih sedikit.

 Zonisamide

Suatu sulfonamide memiliki spectrum luas. Efektif pada epilepsi fokal dan
epilepsi umum refrakter. Sediaan dalam bentuk kapsul dengan dosis
pemeliharaan 150-500 mg/hari. Belum banyak data mengenai teratogenisitas
namun pada 26 kehamilan didapatkan 2 (7.7%) malformasi mayor, keduanya
menggunakan politerapi zonisamide (1 fenitoin dan 1 asam valproate).

20
Persalinan pada wanita dengan epilepsi harus dilakukan di klinik atau rumah
sakit denan fasilitas untuk perawatan epilepsi dan unit perawatan intensif untuk
neonates. Persalinan dapat dilakukan secara normal per vaginam. Selama persalinan,
OAE harus tetap diberikan dan apabila perlu dosis tambahan dan/atau obat parenteral
diberikan terutama bila terjadi partus lama. Terapi kejang saat melahirkan dianjurkan
menggunakan lorazepam (0.7 mg/kg, jika perlu diulangi setelah 10 menit), diazepam
(10 mg i.v.), atau fenitoin (15-20 mg/kg diikuti dosis 8 mg/kg/hari, diberikan 2 kali/hari
secara intravena atau oral). Vitamin K 1 mg intramuscular diberikan pada neonates saat
dilahirkan oleh ibu yang menggunakan OAE penginduksi enzim untuk mengurangi
risiko terjadinya perdarahan. Pemberian ulang vitamin K 2 mg oral pada neonates
dilakukan pada akhir minggu pertama dan akhir minggu ke 4.13

Pencegahan

Dalam penatalaksanan epilepsi perlu ditanyakan hal-hal yang terjadi sebelum


muncul bangkitan, misalnya kelelahan fisik, kelelahan mental, kurang minum, kurang
tidur, dan sebagainya. Hal-hal tersebut sangat penting untuk mencegah terjadinya
bangkitan.16 Selain itu melakukan vaksinasi untuk mencegah terjadinya infeksi yang
memicu timbulnya kejang, menggunakan helm untuk mencegah terjadinya trauma pada
otak (traumatic brain injury), dan menurunkan faktor risiko stroke (seperti menurunkan
tekanan darah, profil lipid, tidak merokok) juga dapat dilakukan sebagai pencegahan.
Pada wanita dengan epilepsi, prenatal dan antenatal care dapat mencegah masalah
selama kehamilan dan proses persalinan.9

Wanita pada masa menopause

OAE yang menginduksi enzim P450 (fenobarbital, fenitoin, karbamazepin)


umumnya masih digunakan pada wanita menopause, OAE jenis ini dapat
mempengaruhi metabolisme kalsium dan menekan produksi bentuk vitamin D aktif
yang akan meningkatkan risiko gangguan pada tulang sepeti osteoporosis, osteopenia,
osteomalasia, dan fraktur. Dianjurkan menggunakan OAE non induksi enzim yang
dilaporkan lebih baik untuk wanita. Valproat juga meningkatkan risiko terjadinya
kelainan tulang walaupun mekanismenya belum diketahui.13

21
Beberapa efek menopause dapat dikurangi dengan terapi sulih hormone.
Terapinya berupa estrogen yang dikombinasi dengan progesterone. OAE penginduksi
enzim dapat mempengaruhi kadar hormone sehingga dibutuhkan dosis hormon yang
besar. Bila menggunakan terapi sulih hormone maka dianjurkan untuk mengkonsumsi
vitamin D dan suplemen kalsium, olahraga, menghindari alkohol dan rokok untuk
meminimalkan kehilangan massa tulang dan osteoporosis.13

2.9 Komplikasi

Kejang pada wanita dapat mengakibatkan kelainan endokrin yang dapat


mempengaruhi ketidakteraturan menstruasi, kesuburan, dan seksual disfungsi dan telah
dikaitkan dengan polikistik sindrom ovarium. Mekanisme kelainan yang diasosiasikan
dengan kejang belum diketahui.6 Selain itu, literatur lain mengatakan bahwa wanita
dengan epilepsi lebih sering mengalami siklus menstruasi anovulasi, sekresi pituitary
luteinizing hormone (LH) yang abnormal, dan perubahan konsentrasi steroid ovarium.5

Gambar 2. Regulasi hormone pituitary dan pelepasan hormone steroid5

22
Pada wanita dengan epilepsi, abnormalitas pada korteks cerebri menghasilkan
perubahan pada input ke hipotalamus yang kemudian menyebabkan perubahan sekresi
pituitary hormon seperti follicle stimulating hormone (FSH) dan LH. Selanjutnya
menyebabkan perubahan regulasi dari hormon steroid yang dipengaruhi oleh FSH dan
LH. Wanita dengan epilepsi lobus temporalis cenderung memiliki risiko mengalami
abnormalitas endokrin. Hal ini mungkin dikarenakan struktur lobus temporalis, seperti
amygdala, yang mempunyai hubungan ekstensif dengan hipotalamus yang mengubah
pelepasan hormon. Kadar kortikosteroid plasma dan peningkatan serum prolactin juga
dapat terjadi setelah terjadinya kejang pada mesial lobus temporal.5

Penyebab dari disfungsi seksual pada wanita dengan epilepsi mungkin bersifat
multifaktorial. Epilepsi sering mempengaruhi regio pada otak, seperti lobus temporalis,
lobus frontalis, dan hipotalamus yang meregulasi siklus reproduksi. Terganggunya
bagian otak tersebut akan menyebabkan dampak disfungsi seksual. Selain itu,
psikososial yang berhubungan dengan epilepsi juga dapat menjadi salah satu faktor
yang menyebabkan disfungsi reproduksi pada wanita, namun hubungan kausal belum
dapat dijelaskan. Depresi dan ansietas yang timbul bersamaan dengan epilepsi
berhubungan dengan gangguan siklus reproduksi. 5

Polikistik ovari terdeteksi lebih sering pada wanita dengan epilepsi, terutama
yang menggunakan asam valproate. Sindrom polikistik ovari ini mungkin disebabkan
peningkatan hormon androgen oleh karena inhibisi enzim dan peningkatan berat badan.
Sindrom polikistik ovari berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi terhadap kanker
ginekologi termasuk kanker endometrium, kanker ovarium, dan kanker payudara.5

2.10 Prognosis
Penderita epilepsi memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi daripada
populasi umum. Kematian pada epilepsi lebih disebabkan oleh penyakit yang
mendasarinya. Berbagai penyebab kematian pada epilepsi dapat dikelompokkan ke
dalam 3 kategori, yaitu (a) penyakit yang mendasarinya di mana gejalanya berupa
epilepsi, misalnya tumor otak dan stroke, (b) penyakit yang tidak jelas kaitannya

23
dengan epilepsi yang ada, misalnya pneumonia, dan (c) sebab langsung dari epilepsi,
misalnya status epilepticus, kecelakaan sebagai akibat dari bangkitan epilepsi, dan
sudden unexpected death (SUDEP) yang dapat menyebabkan aritmia.16

24
BAB III
KESIMPULAN

Epilepsi pada wanita sangat erat kaitannya dengan faktor hormonal, dimana
epilepsi dan hormon endokrin saling mempengaruhi satu sama lain. Bangkitan epilepsi
seringkali berhubungan dengan menarke, siklus menstruasi, dan menopause. Perubahan
fisiologi yang terjadi pada wanita dapat mempengaruhi epilepsi yang dideritanya, baik
dalam bentuk frekuensi maupun beratnya bangkitan epilepsi. Fungsi seksual, kesehatan
reproduksi, dan kesehatan janin juga dapat dipengaruhi oleh bangkitan epilepsi maupun
Obat Anti Epilepsi yang dikonsumsi oleh wanita dengan epilepsi

Mengingat hal tersebut, maka dalam menangani wanita dengan epilepsi harus
memperhatikan berbagai perubahan fisiologi yang terjadi pada pasien. Pemilihan Obat
Anti Epilepsi dan penjelasan mengenai epilepsi pada penderitanya sangat diperlukan
agar penderita dapat memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesehatannya.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. WHO. Epilepsy. [Updated: October 2012, accessed September 2014]. Available at


: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs999/en/.
2. Ko DY. Epilepsy and Seizures. [Updated: Sepetember 3, 2014, accesed October
2014]. Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1184846-overview.
3. Ngugi AK, Bottomley C, Kleinschmidt I, Sander JW, Newton CR. Estimation of
the burden of active and life-time epilepsy: a meta-analytic approach. Epilepsia
2010;51:883–890.
4. Edmeads J. Management of migraine and epilepsy throughout the reproductive
cycle. Neurology 1999;53(Suppl 1):S1-S2.
5. Morrell MJ. Epilepsy in women: the science of why it is special. Neurology
1999;53(Suppl 1):S42-S48.
6. Harden CL. Interaction between epilepsy and endocrine hormones: effect on the
lifelong health of epileptic women. Adv Stud Med 2003;3(8A):S720-S725.
7. Verotti A, D’Egidio C, Agostinelli S, Verrotti C, Pavone P. Diagnosis and
management of catamenial seizures: a review. Int J Womens Health. 2012; 4: 535–
41. doi:10.2147/IJWH.S28872.
8. Pennell PB. Hormonal Aspects of Epilepsy. Neurol Clin 2009; 27(4): 941.
doi:10.1016/j.ncl.2009.08.005.
9. CDC. Epilepsy. [Updated: May 2013, accessed October 2014]. Available at:
http://www.cdc.gov/epilepsy/basics/faqs.htm.
10. Simposium Epilepsi di RSUP dr.Kariadi. Continuing Medical Education (Cme)
Penatalaksannan Epilepsi Terkini. 2012. Available at:
http://rskariadi.co.id/news/view/simposium-epilepsi-di-rsup-dr.-kariadi.html.
11. Zahn C. Catamenial epilepsy:clinical aspects. Neurology 1999;53(Suppl 1):S34-
S37.
12. Cramer JA, Gordon J, Schachter S, et al. Women with epilepsy: hormonal issues
from menarche through menopause. Epilepsy Behav. 2007;11:160.
13. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. 4th
ed. Jakarta: PERDOSSI; 2011.
14. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Bangkitan Epilepsi. Panduan
praktis diagnosis & tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC;2009.p.73-99.
15. Lee MA. Epilepsy in the menopause. Neurology 1999;53(Suppl 1):S41.
16. Harsono. Epilepsi. 2nd ed. Yogyakarta: Gajah Mada University Press; 2007.
17. Morrell MJ. Folic acid and epilepsy. Epilepsy Curr 2002;2(2):31–
34.doi: 10.1046/j.1535-7597.2002.00017.

26

Anda mungkin juga menyukai