Referat Epilepsi Pada Wanita
Referat Epilepsi Pada Wanita
Referat Epilepsi Pada Wanita
Disusun oleh:
Diani Adita
030.10.081
Pembimbing:
dr. Julintari Bidramnanta, Sp.S
0
LEMBAR PENGESAHAN
Referat dengan judul “Epilepsi Pada Wanita” disusun dalam rangka memenuhi
tugas kepanitraan klinik Ilmu Penyakit Saraf di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih
periode 22 September 2014 – 25 Oktober 2014, oleh :
NIM : 030.10.081
Pembimbing
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas
rahmat dan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul ”Epilepsi Pada
Wanita” tepat pada waktunya. Referat ini disusun untuk memenuhi tugas Kepaniteraan
Klinik Ilmu Penyakit Saraf di Rumah Sakit Umum Daerah Budhi Asih.
Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam referat ini. Akhir
kata, penulis mengharapkan semoga referat ini dapat memberikan manfaat.
Diani Adita
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
Epilepsi adalah gangguan kronis pada otak yang dapat mempengaruhi baik pria
maupun wanita pada semua usia. Kelainan ini ditandai dengan terjadinya kejang
berulang, spontan (unprovoked), dengan sifat kejang yang sama dan menyebabkan
konsekuensi neurobiologi, kognitif, psikologis, dan sosial dari kondisi ini.1,2
Diperkirakan epilepsi mempengaruhi hampir 70 juta orang di seluruh dunia.3
Epilepsi merupakan salah satu gangguan neurologis yang paling umum dan
dapat sangat dipengaruhi oleh perubahan fisiologis yang melekat dalam siklus
reproduksi wanita.4 Banyak wanita dengan epilepsi mengalami perubahan pada
frekuensi dan tingkat keparahan kejang pada siklus reproduksi, termasuk pubertas,
selama siklus menstruasi, masa kehamilan, dan pada saat menopause.5 Pada sebuah
literatur dikatakan bahwa epilepsi dan hormon endokrin saling mempengaruhi satu
sama lain, dimana perubahan hormonal berdampak pada epilepsi dan epilepsi
berdampak pada fungsi hormonal itu sendiri.6 Wanita dengan epilepsi mungkin
memiliki pola kejang berhubungan dengan perubahan kadar estrogen dan progesteron,7
dimana estrogen merupakan prokonvulsan, sedangkan progesteron memiliki sifat
antikonvulsan.4,8
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2 Epidemiologi
Sekitar 50 juta orang di dunia memiliki epilepsi. Perkiraan proporsi epilepsi
aktif pada populasi umum pada waktu tertentu yaitu antara 4 sampai 10 per 1000 orang.
Namun, beberapa penelitian di negara berkembang menunjukkan bahwa proporsinya
antara 6 sampai 10 per 1000 orang. Di negara maju, kasus baru per tahun yaitu antara
40 sampai 70 per 100.000 orang pada populasi umum. Sedangkan di negara
berkembang, angka ini hampir dua kali lebih tinggi. Hampir 80% dari kasus epilepsi di
seluruh dunia ditemukan di negara berkembang. Hal ini dikarenakan adanya risiko yang
lebih tinggi untuk mengalami kondisi (seperti infeksi) yang dapat menyebabkan
kerusakan otak permanen yang kemudian dapat menyebabkan timbulnya epilepsi.1
2.3 Etiologi
Jenis epilepsi yang paling umum yaitu epilepsi idiopatik atau epilepsi primer
yang tidak memiliki penyebab yang dapat diidentifikasikan. Dalam banyak kasus,
terdapat dasar genetik yang mendasari terjadinya epilepsi idiopatik ini.1
5
Epilepsi yang diketahui penyebabnya disebut epilepsi sekunder atau epilepsi
simtomatik. Penyebab epilepsi sekunder yaitu diantaranya kerusakan otak dari cedera
prenatal atau perinatal (kehilangan oksigen atau trauma selama kelahiran, berat lahir
rendah), kelainan kongenital atau kondisi genetik yang berhubungan dengan
malformasi otak, sindrom genetik tertentu, akibat penyakit neurologi lain (seperti
alzheimer), infeksi pada otak dan selaput otak (seperti meningitis, ensefalitis,
neurocysticercosis), tumor otak, cedera kepala berat, penyumbatan atau kelainan
pembuluh darah otak.1,9
2.4 Patofisiologi
6
dari ruang ekstraseluler ke intraseluler dan sedikit sekali oleh ion Ca, Na dan Cl. Hal
ini menyebabkan di dalam sel terdapat kosentrasi tinggi ion K dan kosentrasi rendah
ion Ca, Na, dan Cl, sedangkan keadaan sebaliknya terdapat diruang ekstraseluler.
Perbedaan konsentrasi ion-ion inilah yang menimbulkan potensial membran. Berbagai
faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat mengubah atau mengganggu fungsi
membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan
ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan
melepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepasan muatan listrik
demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan penyebab suatu
serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat
serangan berhenti akibat pengaruh proses inhibisi pra dan pasca sinaptik yang
menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus melepaskan muatan listrik. Diduga
inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar pusat epileptik. Keadaan lain yang
dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron
akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.
2.5 Klasifikasi
adalah kejang yang disebabkan gangguan otak di salah satu sisi otak
yang hanya terbatas dibagian itu saja dan berlangsung dari beberapa detik
hingga menit. Kejang yang terjadi tergantung bagian mana dari otak yang
7
terkena. Jika bagian tangan, maka hanya tangan yang akan mengalami sensasi
gerakan abnormal. Pada jenis kejang ini, penderita tidak mengalami penurunan
kesadaran. Beberapa jenis kejang fokal sederhana termasuk sensorik, motorik,
otonom, dan psikis. Bila aura terjadi lebih dari 30 menit maka didefinisikan
menjadi status epileptikus fokal sederhana.2
8
Kejang absence atau petit mal
Kejang mioklonik
Kejang klonik
Kejang tonik
9
Kejang atonik
Kejang atonik juga disebut "serangan drop." Serangan ini terjadi pada
orang dengan kelainan neurologis yang signifikan secara klinis dan terdiri dari
hilangnya tonus postural singkat.2
Estrogen memiliki efek terhadap gen dan juga terhadap membran yang
meningkatkan eksitasi dan mengurangi inhibisi. Estrogen menyebabkan efek langsung
pada eksitabilitas membran di reseptor GABAA. Saat estrogen menempati reseptor
GABAA, konduksi klorida berubah sehingga inhibisi yang dimediasi oleh GABA
menjadi kurang efektif. Estrogen juga berperan sebagai agonis di reseptor N-methyl-D-
Aspartate (NMDA) untuk memediasi eksitasi di regio CA-1 di hipokampus. Hal ini
menyebabkan meningkatnya eksitasi pada regio lobus temporal mesial.5
10
Efek terhadap gen oleh estrogen termasuk perubahan dari mRNA yang
mengkode GABA amino decarboxylase (GAD), enzim yang meregulasi laju sintesis
neurokemikal GABA. Estrogen juga mengurangi laju sintesis dari subunit reseptor
GABAA.5
Studi kohort yang dilakukan oleh Herzog et al pada 184 wanita dengan epilepsi,
menentukan tiga pola yang berbeda dari epilepsi katamenial berdasarkan evaluasi
statistik frekuensi kejang pada wanita selama masa reproduksi mereka. Definisi
didasarkan pada Hari 1 sebagai hari pertama menstruasi dan ovulasi dianggap terjadi
14 hari sebelum onset menstruasi berikutnya (Hari ke 14). Kejang dan menstruasi
dicatat dan tingkat progesteron serum midluteal diperoleh pada hari 22. Konsentrasi
progesteron> 5 ng / ml dianggap ovulasi. Siklus dibagi menjadi empat fase: menstruasi
(M), folikel (F), ovulasi (O), dan luteal (L). Kejang yang dicatat selama siklus ovulasi
terjadi memperlihatkan frekuensi rata-rata harian lebih besar secara signifikan selama
fase menstruasi dan ovulasi dibandingkan selama fase folikuler dan luteal.8
11
Studi menunjukkan bahwa kecenderungan terjadinya kejang paling tinggi sesaat
sebelum dan saat menstruasi, atau saat ovulasi. Waktu tersebut memiliki dasar fisiologi
yang berhubungan dengan periode estrogen yang relatif tinggi dan tingkat progesteron
yang rendah.5,11 Fase ovulasi ditandai dengan puncak tingginya estrogen dan pada fase
perimenstruasi (sekitar 3 hari sebelum menstruasi) atau menstruasi dengan penurunan
progesteron.5
Perubahan pola kejang dapat terjadi dengan perubahan hormonal, seperti selama
pubertas, kehamilan, dan menopause.12
Beberapa sindrom epilepsi pertama kali terjadi atau memburuk selama masa
pubertas.5,12 Sindrom epilepsi umum primer yang berkembang saat pubertas termasuk
Juvenile Myoclonic Epilepsi (JME),5 dimana 18% dari JME merupakan epilepsi
fotosensitif.16 Pada masa pubertas, bangkitan umum tonik-klonik sering memburuk,
sebaliknya bangkitan absence dapat membaik, sedangkan bangkitan fokal kompleks
tidak terpengaruh. Bangkitan akan lebih sering kambuh apabila awitan bangkitan
terjadi pada usia lebih muda, etiologi jelas, pemeriksaan fisik, neurologi, dan EEG
abnormal serta menarke terlambat.13
12
Pada masa kehamilan, peningkatan produksi estrogen oleh plasenta dan kelenjar
adrenal janin dapat menurunkan ambang kejang dan memperburuk epilepsi.4
Termed gestational epilepsi adalah epilepsi yang terjadi pertama kali sewaktu
masa kehamilan dan berlanjut pada kehamilan berikutnya dengan masa bebas bangkitan
di antara kehamilan.14
Gestational onset epilepsi adalah epilepsi yang terjadi pertama kali pada masa
kehamilan dan berlanjut di luar masa kehamilan.14
13
2.7 Diagnosis
Pemeriksaan fisik juga harus dilakukan secara menyeluruh. Begitu juga dengan
pemeriksaan neurologi yang meliputi status mental, gait, koordinasi, pemeriksaan saraf
kranialis, fungsi motorik dan sensorik, serta reflex tendon.14
Pada epilepsi pola EEG dapat membantu untuk menentukan jenis dan lokasi
bangkitan. Gelombang epileptiform berasal dari cetusan paroksismal yang bersumber
pada sekelompok neuron yang mengalami depolarisasi secara sinkron. Gambaran
epileptiform yang terekam pada EEG muncul dan berhenti secara mendadak, seringkali
dengan morfologi yang khas. Gelombang epileptiform dapat muncul pada sekitar 1-2%
orang yang tidak mengalami epilepsi. Rekaman EEG pada penderita epilepsi dalam
keadaan sadar dan istirahat dapat menunjukkan gambaran yang normal.16
14
Gambar 1. Gambaran EEG pada epilepsi
15
Sangat dianjurkan bagi penderita untuk membuat catatan harian.16 Diagnosis epilepsi
katamenial berdasarkan catatan harian tentang peningkatan frekuensi dan lamanya
bangkitan epilepsi saat menjelang, selama, dan sesudah menstruasi serta pola
menstruasi.13
2.8 Tatalaksana
Absence
Asam Valproate, valproate, ethosuximide
Kejang tonik-klonik
Asam valproate, valproate, phenytoin, carbamazepine, lamotrigine, gabapentine
Partial
Asam valproate, valproate, phenytoin, carbamazepine, lamotrigine, gabapentine,
phenobarbital
16
Mioklonik
asam valproate, valproate, clonazepam, acetazomlamide, primidone, phenobarbital
17
Pria dan wanita yang mengkonsumsi beberapa OAT berisiko memiliki kadar
asam folat yang rendah pada serum dan sel darah merah. Serum dan folat sel darah
merah berkurang hingga 90% pasien yang menerima fenitoin, carbamazepine, atau
barbiturat. OAT yang tidak menginduksi enzim sitokrom P450 tidak terkait dengan
rendahnya kadar asam folat. Lamotrigin (LTG), OAT yang memiliki sifat lemah folat
in vitro, tidak memiliki efek pada serum atau folat sel darah merah. Pasien yang
mengkonsumsi zonisamide (ZnS) memiliki tingkat folat serum yang tidak berbeda dari
kontrol. Asam folat meningkatkan pertumbuhan sel dan pematangan sel darah merah.
Defisiensi asam folat berhubungan dengan berkurangnya pertumbuhan, terjadinya
anemia megaloblastik, intrauterine growth retardation, malformasi kongenital,
meningkatnya aborsi spontan, dan neural tube defects (anencephaly and spina bifida).
Konsumsi suplemen dengan asam folat pada pasien dengan epilepsi sangat dianjurkan
pada pasien dengan epilepsi.17
Epilepsi katamenial
Tambahkan OAE yang bekerja cepat seperti klobazam. Dosis klobazam 20-30
mg/hari dalam 2-4 hari sebelum, selama, dan setelah menstruasi.
Obat tambahan lain adalah asetazolamid yang diberikan 5-10 hari sebelum,
selama, dan sesudah haid. Ada 2 dosis yang diajukan 1) dosis 250 mg 1-2 kali
per hari selama 5-7 hari, dan 2) dosis 5 mg/kgBB/hari selama 3 hari sebelum,
selama, dan sesudah menstruasi.
Terapi hormone menggunakan progesterone dan progestin.
Banyak Obat Anti Epilepsi menginduksi sistem sitokrom P450 hati, jalur
metabolisme utama dari hormon steroid seks, dan menginduksi produksi sex hormone
binding globulin (SHBG). Hal ini menyebabkan klirens yang lebih cepat dari hormon
steroid, sehingga konsentrasi hormon ini lebih rendah untuk bekerja sesuai target. Hal
ini dapat memungkinkan ovulasi pada wanita yang menggunakan pil kontrasepsi oral
18
(OCP) atau bentuk KB hormonal lain dan berkontribusi terhadap jumlah kehamilan
yang tidak direncanakan relatif tinggi.8
Obat yang tidak berinteraksi dengan kontrasepsi yaitu, (1) Valproat dan
zonisamid yang bekerja menginhibisi enzim P450, (2) tidak berefek pada enzim P450 :
gabapentin, lamotrigine, levetiracetam, pregabalin, tiagabine, dan vigabatrin.13
Selama kehamilan, wanita harus minum obat yang paling mengontrol epilepsi
mereka.4 Lamotrigin sering digunakan pada wanita hamil, karena tidak bersifat
teratogenik. Sedangkan penggunaan fenitoin, karbamazepin, dan asam valproate
dihindari karena bersifat teratogenik.5
Asam valproate sering menyebabkan defek tabung saraf (neural tube) terutama
mielomeningokel dan anensefali yang tejadi akibat gangguan metabolism asam folat
yang berhubungan dengan level homosistein yang tinggi. Pemberian asalm folat 1-4
mg/hari, B6 dan B12 perikonsepsi serta penggunaan formula extended-release seperti
pada karbamazepin dan asam valproate dikatakan dapat menurunkan risiko terjadinya
malformasi, terutama defek tabung saraf.13
Gabapentin
19
Sebagai terapi add on pada epilepsi fokal, tersedia dalam bentuk tablet, dosis
epilepsi 2400-4800 mg/hari. Keunggulannya adalah tidak ada interaksi dengan
obat lain.
Lamotrigin
Oxcarbazepine
Tersedia dalam kemasan tablet dan suspense oral, dosis antara 600-2400
mg/hari. Diberikan mulai dari dosis rendah dan difiltrasi bertahap tiap minggu
sampai tercapai dosis yang diinginkan. Oxcarbazepine dapat melalui plasenta
dan level obat di tali pusat dan ibu sama.
Topiramat
Obat dengan spectrum luas pada epilepsi fokal dan umum sekunder, tersedia
dalam bentuk tablet dan sprinkle capsules dengan dosis harian 75-400 mg/hari.
Dapat melewati plasenta dengan plasma level pada tali pusat sama dengan level
plasma pada ibu. Namun informasi pada wanita hamil masih sedikit.
Zonisamide
Suatu sulfonamide memiliki spectrum luas. Efektif pada epilepsi fokal dan
epilepsi umum refrakter. Sediaan dalam bentuk kapsul dengan dosis
pemeliharaan 150-500 mg/hari. Belum banyak data mengenai teratogenisitas
namun pada 26 kehamilan didapatkan 2 (7.7%) malformasi mayor, keduanya
menggunakan politerapi zonisamide (1 fenitoin dan 1 asam valproate).
20
Persalinan pada wanita dengan epilepsi harus dilakukan di klinik atau rumah
sakit denan fasilitas untuk perawatan epilepsi dan unit perawatan intensif untuk
neonates. Persalinan dapat dilakukan secara normal per vaginam. Selama persalinan,
OAE harus tetap diberikan dan apabila perlu dosis tambahan dan/atau obat parenteral
diberikan terutama bila terjadi partus lama. Terapi kejang saat melahirkan dianjurkan
menggunakan lorazepam (0.7 mg/kg, jika perlu diulangi setelah 10 menit), diazepam
(10 mg i.v.), atau fenitoin (15-20 mg/kg diikuti dosis 8 mg/kg/hari, diberikan 2 kali/hari
secara intravena atau oral). Vitamin K 1 mg intramuscular diberikan pada neonates saat
dilahirkan oleh ibu yang menggunakan OAE penginduksi enzim untuk mengurangi
risiko terjadinya perdarahan. Pemberian ulang vitamin K 2 mg oral pada neonates
dilakukan pada akhir minggu pertama dan akhir minggu ke 4.13
Pencegahan
21
Beberapa efek menopause dapat dikurangi dengan terapi sulih hormone.
Terapinya berupa estrogen yang dikombinasi dengan progesterone. OAE penginduksi
enzim dapat mempengaruhi kadar hormone sehingga dibutuhkan dosis hormon yang
besar. Bila menggunakan terapi sulih hormone maka dianjurkan untuk mengkonsumsi
vitamin D dan suplemen kalsium, olahraga, menghindari alkohol dan rokok untuk
meminimalkan kehilangan massa tulang dan osteoporosis.13
2.9 Komplikasi
22
Pada wanita dengan epilepsi, abnormalitas pada korteks cerebri menghasilkan
perubahan pada input ke hipotalamus yang kemudian menyebabkan perubahan sekresi
pituitary hormon seperti follicle stimulating hormone (FSH) dan LH. Selanjutnya
menyebabkan perubahan regulasi dari hormon steroid yang dipengaruhi oleh FSH dan
LH. Wanita dengan epilepsi lobus temporalis cenderung memiliki risiko mengalami
abnormalitas endokrin. Hal ini mungkin dikarenakan struktur lobus temporalis, seperti
amygdala, yang mempunyai hubungan ekstensif dengan hipotalamus yang mengubah
pelepasan hormon. Kadar kortikosteroid plasma dan peningkatan serum prolactin juga
dapat terjadi setelah terjadinya kejang pada mesial lobus temporal.5
Penyebab dari disfungsi seksual pada wanita dengan epilepsi mungkin bersifat
multifaktorial. Epilepsi sering mempengaruhi regio pada otak, seperti lobus temporalis,
lobus frontalis, dan hipotalamus yang meregulasi siklus reproduksi. Terganggunya
bagian otak tersebut akan menyebabkan dampak disfungsi seksual. Selain itu,
psikososial yang berhubungan dengan epilepsi juga dapat menjadi salah satu faktor
yang menyebabkan disfungsi reproduksi pada wanita, namun hubungan kausal belum
dapat dijelaskan. Depresi dan ansietas yang timbul bersamaan dengan epilepsi
berhubungan dengan gangguan siklus reproduksi. 5
Polikistik ovari terdeteksi lebih sering pada wanita dengan epilepsi, terutama
yang menggunakan asam valproate. Sindrom polikistik ovari ini mungkin disebabkan
peningkatan hormon androgen oleh karena inhibisi enzim dan peningkatan berat badan.
Sindrom polikistik ovari berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi terhadap kanker
ginekologi termasuk kanker endometrium, kanker ovarium, dan kanker payudara.5
2.10 Prognosis
Penderita epilepsi memiliki tingkat kematian yang lebih tinggi daripada
populasi umum. Kematian pada epilepsi lebih disebabkan oleh penyakit yang
mendasarinya. Berbagai penyebab kematian pada epilepsi dapat dikelompokkan ke
dalam 3 kategori, yaitu (a) penyakit yang mendasarinya di mana gejalanya berupa
epilepsi, misalnya tumor otak dan stroke, (b) penyakit yang tidak jelas kaitannya
23
dengan epilepsi yang ada, misalnya pneumonia, dan (c) sebab langsung dari epilepsi,
misalnya status epilepticus, kecelakaan sebagai akibat dari bangkitan epilepsi, dan
sudden unexpected death (SUDEP) yang dapat menyebabkan aritmia.16
24
BAB III
KESIMPULAN
Epilepsi pada wanita sangat erat kaitannya dengan faktor hormonal, dimana
epilepsi dan hormon endokrin saling mempengaruhi satu sama lain. Bangkitan epilepsi
seringkali berhubungan dengan menarke, siklus menstruasi, dan menopause. Perubahan
fisiologi yang terjadi pada wanita dapat mempengaruhi epilepsi yang dideritanya, baik
dalam bentuk frekuensi maupun beratnya bangkitan epilepsi. Fungsi seksual, kesehatan
reproduksi, dan kesehatan janin juga dapat dipengaruhi oleh bangkitan epilepsi maupun
Obat Anti Epilepsi yang dikonsumsi oleh wanita dengan epilepsi
Mengingat hal tersebut, maka dalam menangani wanita dengan epilepsi harus
memperhatikan berbagai perubahan fisiologi yang terjadi pada pasien. Pemilihan Obat
Anti Epilepsi dan penjelasan mengenai epilepsi pada penderitanya sangat diperlukan
agar penderita dapat memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesehatannya.
25
DAFTAR PUSTAKA
26