Sistem Akhlak Islam (Makalah Siva Cathrinada Meyik)
Sistem Akhlak Islam (Makalah Siva Cathrinada Meyik)
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi kam kekuatan dan petunjuk untuk
menyelesaikan tugas makalah ini tanpa pertologan-Nya saya tidak akan bisa menyelesaikan
Makalah ini disusun berdasarkan tugas dari proses pembelajaran yang telah dititipkan
kepada saya. Makalah ini disusun dengan menghadapi berbagai rintangan namun dengan
Makalah ini membuat tentang “Sistem Akhlak Islam” tema yang akan dibahas di
makalah ini sengaja dipilih oleh dosen saya untuk saya pelajari lebih dalam, butuh waktu
yang cukup panjang untuk mendalami materi ini sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
Saya selaku penyusun makalah ini berharap makalah ini dapat dinilai dengan baik dan
di hargai oleh para pembaca meski makalah ini masih mempunyai kekurangan dan saya
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Ruang lingkup dan macam-macam akhlak ....................................................... 3
terdapat dalam Q.S. Al-Aḥzāb:21 yang artinya “ Sesungguhnya telah ada pada
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, bagi orang yang mengharap Allah
dan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. Dari ayat tersebut
Untuk mengerti apa yang dimaksud dengan Nabi SAW sebagai Uswah
Hasanah
BAB II
PEMBAHASAN
Ruang lingkup akhlak dalam pandangan islam sangatlah luas sepanjang sikap
jiwa atau hajat manusia, mulai dari hajat yang terkecil sampai hajat yang terbesar.
a) kewajiban timbal balik orang tua dan anak (wajibat nahwa al-ushulnwa al-
furu’),
b) kewajiban suami istri (wajibat baina al-azwaj), dan kewajiban terhadap karib
kerabat (wajibat al-aqarib)
Dari beberapa uraian di atas, akhlak meliputi seluruh aspek kehidupan manusia,
secara garis besarnya cangkupan akhlak meliputi hubungan manusia dengan sang pencipta,
hubungan manusia dengan sesamam manusia dan hubungan manusia dengan alam.
Macam-macam akhlak :
- Jujur, yang dimaksud dengan jujur yaitu sesuai apa yang diucapkan dengan dengan apa
yang ada di dalam hati. Ketika seseorang mengucapkan dengan lisannya, maka hal
tersebut sesuai dengan apa yang ada di hatinya.
orang yang mengaku menjaga amanah dalam apa yang mereka tampakkan akan
tetapi mereka menyembunyikan kemunafikan
orang-orang yang menyia-nyiakan amanah secara lahir maupun batin, baik ia
nampakkan maupun ia sembunyikan. Dan mereka adalah orang-orang musyrik
orang-orang yang menjaga amanah secara lahir dan batin baik ketika sembunyi
maupun ketika kelihatan dan mereka adalah orang-orang yang beriman.
Macam-macam amanah :
- Menjaga kesucian ,barangsiapa yang belum mampu untuk menikah hendaklah dia
menjaga kesuciannya dan menjauhi perbuatan-perbuatan haram dengan niat ketaatan
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan karena bertakwa kepadaNya.
- Malu , Malu adalah akhlak yang sangat agung dan sifat yang sangat mulia yang
hendaknya seseorang berakhlak dengan akhlak ini. Dan apabila seorang berakhlak
dengan akhlak ini, akhlak ini akan menghalanginya dari seluruh perbuatan-perbuatan
yang buruk dan mengantarnya kepada perbuatan-perbuatan yang baik.
- Berani,berani dalam tempat nya yang benar adalah kemulian dan kesuksesan. Adapun
keberanian yang bukan pada tempat nya, itu adalah sifat ngawur dan kehancuran. Dan
keberanian seorang mukmin muncul keimanan dan keyakinan kepada Allah.
Hadits riwayat Ahmad menyebutkan, “Rasululah sewaktu membaca, “Pada hari itu
bumi akan menerangkan peristiwanya”, lalu beliau berkata,”Tahukah kamu apakah
peristiwa-peristiwa itu ?” Mereka menjawab,”Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu”,
berkata Nabi, “Peristiwa-peristiwa itu adalah bahwa bumi akan menjadi saksi atas setiap
hamba Allah, baik laki-laki atau perempuan, tentang apa yang telah mereka lakukan
dipermukaan bumi ini. Bumi akan menerangkan orang ini telah melakukan ini pada hari
ini”, nabi berkata lagi,”Nah, itulah peristiwa-peristiwa yang diterangkan bumi itu”.
Jadi Allah telah berlaku Maha Bijaksana dengan memberikan segala aa yang
diperlukan manusia selama menjalankan tugas hidupnya, kemudian diadili dengan
seadil-adilnya, serta diberikan pula pertolongan secukupnya waktu diminta
pertanggungjawabannya kembali sehingga dengan demikian kalau ada juga yang masuk
neraka, itu benar-benar kelalaian dan kesalahannya sendiri.
Sebelum Allah memutuskan vonis kepada manusia sebenarnya telah ada beberapa
petunjuk agar manusia berhati-hati di dunia dalam mengisi restan umur yang diberikan,
agar kehidupan manusia terarah dan terkontrol suatu pedoman diberikan, kalau pedoman
ini tidak diindahkan bahkan orang yang memberi ingat tidak dianggap peringatannya
lalu di akherat menemu kesengsaraan itu akibat kelalaian dan kesalahan mereka,
“Sesungguhnya Kami telah menunjukinya jalan yang lurus, ada yang bersyukur dan ada
pula yang kafir” [Al Insan 76;3].
Jelasnya ayat ini menyatakan bahwa Allah sudah memberikan petunjuk dan
bimbingan, ada yang menunjukkan kearah yang benar dan ada pula ke arah yang salah,
ada ke arah yang baik dan ada pula ke arah yang buruk dan seterusnya. Kepada manusia
diberikan hak untuk memilih, mana diantaranya yang akan ditempuh, dengan akalnya
sendiri. Kalau manusia menempuh jalan yang benar atau baik, maka berarti dia
mensyukuri hidayah itu. Tetapi kalau ia menempuh jalan yang salah atau buruk berarti
dia telah menutupi hidayah itu.
Yang dimaksud manusia dengan Allah, sesuai dengan apa yang diterangkan
didalam Al Qur’an bahwa hidup, matinya, shalatnya dn semua amal ibadahnya hanya
karena Allah, “Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku
hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam’’[Al An’am;162].
Nabi Muhammad Saw telah menerangkan dalam beberapa buah hadits tentang
hubungan hamba dengan Allah yang dapat menghilangkan prasangka tadi. Apabila
difahami sabda Rasulullah, kita memahami makna hubungan dengan Allah, Rasulullah
bersabda, “Takut kepada Allah dalam keadaan sunyi dan di tengah orang banyak”,
“Apa yang ada di tangan Allah kau lebih yakin dari apa yang ada pada tanganmu”,
“Kau menuntut keredhaan Allah kendatipun orang membenci”.
Bila hubungan yang harmonis dengan Allah telah terjalin, tidak ada kesusahan dan
kesedihan karena imannya telah mengangkat derajat hidupnya ke tempat yang tinggi
sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran 3;139, “Janganlah kamu bersikap
lemah, dan janganlah pula kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang
yang paling tinggi derajatnya jika kamu orang-orang yang beriman”
Sesungguhnya nikmat Allâh Azza wa Jalla kepada manusia sangat banyak. Di antara
nikmat besar yang Allâh Azza wa Jalla anugerahkan kepada para hamba-Nya, adalah
diutusnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seluruh manusia. Allâh
Azza wa Jalla berfirman:
Sesungguhnya Allâh telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika
Allâh mengutus di antara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri, yang
membacakan kepada mereka ayat-ayat Allâh, membersihkan (jiwa) mereka, dan
mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur`ân) dan al-Hikmah (Sunnah). Dan
sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan
yang nyata [Ali-‘Imrân/3: 164]
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah insan yang terbaik, memiliki budi pekerti yang
paling luhur, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (QS. al-Qalam/68:4)
Demikian juga, petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebaik-baik petunjuk.
Beliau n bersabda:
ِ َّللاِ َو َخي َْر ْال ُهدَى ُهدَى ُم َح َّم ٍد َوش ََّر األ ُ ُم
ور ُمحْ دَثَات ُ َها َو ُك ُّل ِبدْ َع ٍة ِ فَإ ِ َّن َخي َْر ْال َحدِي
َّ ُث ِكتَاب
ضالَلَة َ
Sesungguhnya sebaik-baik berita adalah kitab Allâh, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Muhammad, seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara baru (dalam agama), dan semua
bid’ah adalah kesesatan. [HR.Muslim no. 864]
Allâh Azza wa Jalla berfirman menjelaskan kaedah yang sangat agung ini dalam firman-
Nya:
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allâh [al-Ahzâb/33:21]
Walaupun ayat ini turun ketika di dalam keadaan perang Ahzâb, akan tetapi
hukumnya umum meliputi keadaan kapan saja dan dalam hal apa saja. Atas dasar itu, Imam
Ibnu Katsîr rahimahullah berkata tentang ayat ini, “Ayat yang mulia ini merupakan
fondasi/dalil yang agung dalam meneladani Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
semua perkataan, perbuatan, dan keadaan beliau. Orang-orang diperintahkan meneladani
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perang Ahzâb, dalam kesabaran, usaha bersabar,
istiqomah, perjuangan, dan penantian beliau terhadap pertolongan dari Rabbnya. Semoga
sholawat dan salam selalu dilimpahkan kepada beliau sampai hari Pembalasan”. [Tafsir
Ibnu Katsir, 6/391, penerbit: Daru Thayyibah]
Demikian juga Syaikh Abdur Rahmân bin Nâshir as-Sa’di rahimahullah menjelaskan
kaedah menaladani Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini dengan menyatakan, “Para Ulama
ushul (fiqih) berdalil (menggunakan) dengan ayat ini untuk berhujjah dengan perbuatan-
perbuatan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bahwa (hukum asal) umat beliau
adalah meneladani (beliau) dalam semua hukum, kecuali perkara-perkara yang ditunjukkan
oleh dalil syari’at sebagai kekhususan bagi beliau. Kemudian uswah (teladan) itu ada dua:
uswah hasanah (teladan yang baik) dan uswah sayyi`ah (teladan yang buruk).
Uswah hasanah (teladan yang baik) ada pada diri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Karena orang yang meneladani beliau adalah orang yang menapaki jalan yang akan
menghantarkan menuju kemuliaan dari Allâh Azza wa Jalla , dan itu adalah shirâthâl
mustaqîm (jalan yang lurus).
Adapun meneladani (mengikuti orang) selain beliau, jika menyelisihi beliau, maka dia
adalah uswah sayyi`ah (teladan yang buruk). Sebagaimana perkataan orang-orang kafir
ketika diajak oleh para rasul untuk meneladani mereka, (namun orang-orang kafir itu
mengatakan):
ُ ِى بَاذَّة
َ شةَ َوه َ ِون – أَحْ سِبُ ا ْس َم َها خ َْولَةَ ِب ْنتَ َح ِك ٍيم – َعلَى َعائ ٍ ُظعْ عثْ َمانَ ب ِْن َمُ ُ ت ا ْم َرأَة ِ َ” دَ َخل:ََع ْن ع ُْر َوة َ قَال
ُ شة َ ِت َعائ ْ ى – – َفذَك ََر ُّ ِ َفدَ َخ َل ال َّنب.”ار ُ َ”زَ ْو ِجى يَقُو ُم اللَّ ْي َل َوي: ت
َ صو ُم النَّ َه ْ َ فَقَال.”” َما شَأْنُ ِك ؟:سأَلَتْ َها َ َْال َه ْيئ َ ِة ف
َّللاِ ِإنِىَّ ى أُس َْوة فَ َو َّ ِالر ْهبَانِيَّةَ لَ ْم ت ُ ْكتَبْ َعلَ ْينَا أَفَ َما لَكَ ف
َّ عثْ َمانُ ِإ َّن ُ ”يَا: عثْ َمانَ فَقَا َل ُ – – َِّللا َّ سو ُل َ ذَلِكَ لَهُ فَلَ ِق
ُ ى َر
ظ ُك ْم ِل ُحدُو ِد ِه ُ َ“ أ َ ْخشَا ُك ْم ِ َّّلِلِ َوأَحْ ف.
Dari ‘Urwah, dia berkata, “Istri ‘Utsmân bin Mazh’ûn – menurutku namanya adalah
Khaulah binti Hakîm- menemui ‘Aisyah dengan pakaian seadanya. ‘Aisyah bertanya
kepadanya, “Kenapa engkau ini?” Dia menjawab, “Suamiku selalu (sibuk) sholat malam
dan berpuasa di siang hari”. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk, ‘Aisyah
pun menyampaikan hal itu kepada beliau. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam menemui ‘Utsmân seraya berkata, “‘Utsmân, sesungguhnya kependetaan tidak
diwajibkan atas kita. Tidakkah pada diriku terdapat uswah (teladan) bagimu? Demi Allâh,
aku adalah orang yang paling takut kepada Allâh dan orang yang paling menjaga hukum-
hukumNya di antara kamu’. [HR. Ahmad dan dishahîhkan oleh al-Albâni dalam Silsilah
ash-Shahîhah no.1782]
Aku berada di pasar Dzil Majâz mengenakan burdah (semacam selimut) bergaris-
garis hitam dan putih milikku dengan menyeretnya. Lalu seorang laki-laki menekanku
dengan tongkatnya, sambil berkata: “Angkatlah sarungmu, itu (akan membuatnya) lebih
awet dan lebih bersih. (Tidakkah pada diriku terdapat teladan baik bagimu?)”. Lalu aku
melihatnya, ternyata dia (lelaki itu) adalah Rasûlullâh, lalu aku memandang ternyata sarung
beliau sampai pertengahan kedua betis beliau. [HR. Ahmad, no:22007; tambahan dalam
kurung riwayat at-Tirmidzi dalam asy-Syamâil]
Maka, orang-orang yang sengaja memanjangkan sarung atau celananya melebihi mata
kaki, dengan alasan tidak sombong, dengan dalih Sahabat Abu Bakar Radhiyallahu anhu
juga melakukannya tanpa kesombongan, tidakkah pada diri Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam terdapat uswah (teladan) bagi mereka?”
Padahal, Sahabat Abu Bakar Radhiyallahu anhu selalu menjaga diri untuk tidak isbal,
beliau tidak sengaja melakukan isbal. Oleh karenanya, mendapatkan rekomendasi dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa dia tidak melakukannya karena sombong!
ْاركَ فَ َرفَ ْعتُهُ ث ُ َّم َقا َل ِزد َ َارفَ ْع ِإزْ َِّللا َّ َسلَّ َم َوفِي ِإزَ ِاري ا ْستِ ْرخَاء فَقَا َل َيا َع ْبد َّ صلَّى
َ َّللاُ َع َل ْي ِه َو ُ َم َر ْرتُ َعلَى َر
َّ سو ِل
َ َِّللا
اف السَّا َقي ِْن
ِ ص َ ض ْالقَ ْو ِم ِإلَى أَيْنَ فَقَا َل أ َ ْن ُ َف ِزدْتُ فَ َما ِز ْلتُ أَت َ َح َّراهَا َب ْعد ُ فَقَا َل َب ْع
Aku melewati Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sedangkan sarungku turun, maka
beliau bersabda: “Wahai ‘Abdullâh, angkatlah sarungmu!”, maka aku mengangkatnya. Lalu
beliau bersabda; “Tambahlah (Naikkan lagi)!” Maka aku menambahkan (menaikkannya
lagi). Setelah itu aku selalu menjaganya.” Sebagian orang bertanya: “Sampai mana?” Ibnu
‘Umar berkata: “Pertengahan betis”. [HR. Muslim, no: 2086. Riyâdhus Shâlihîn, no: 800]
Pada riwayat Imam Ahmad rahimahullah disebutkan, Zaid bin Aslam berkata: bahwa
Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhu bercerita, “Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
melihatnya memakai sarung baru, kemudian beliau bertanya: “Siapa ini?” Aku menjawab:
“’Abdullâh”. Beliau bersabda: “Jika engkau ‘Abdullâh, maka angkatlah sarungmu!”, maka
aku mengangkatnya. Kemudian beliau bersabda; “Tambahlah (Naikkan lagi)!” Maka aku
menaikkannya sehingga sampai pertengahan betis”. Kemudian beliau menoleh kepada Abu
Bakar sambil bersabda: “Barangsiapa menyeret pakaiannya karena ke sombongan, Allâh
tidak akan melihatnya pada hari Kiamat”. Lalu Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya
terkadang sarungku turun”. Maka Nabi bersabda: “Engkau tidak termasuk mereka”. [HR.
Ahmad, no: 6056]
Namun Anda, wahai orang yang memanjangkan celana sampai menutupi mata kaki,
sengaja melakukannya, tidak menjaga dengan menaikkannya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah memberikan rekomendasi kepada Anda bahwa anda tidak sombong!
Jika Anda beranggapan diri Anda seperti Abu Bakar Radhiyallahu anhu – insan terbaik dari
umat ini setelah Nabinya- maka alangkah besarnya kesombongan Anda!
Tidakkah Anda mengetahui bahwa isbal merupakan kesombongan atau sarana menuju
kesombongan. Marilah kita perhatikan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada
Jâbir bin Sulaim Radhyiallahu anhu di bawah ini:
Angkatlah sarungmu sampai pertengahan betis, jika engkau enggan maka sampai
kedua mata kaki. Janganlah engkau menjulurkan kain sarung, karena sesungguhnya itu
termasuk kesombongan, dan Allâh tidak menyukai kesombongan. [HR.Abu Dâwud, no:
4084, dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni]
Para Sahabat Radhiyallahu anhu juga mengikuti pemahaman Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam , berhujjah dengan ayat yang artinya “Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu”. Contoh bagaimana mereka mengaplikasikan
kaedah agung ini sangat banyak, berikut beberapa permisalannya.
Marilah kita amati sikap ‘Abdullâh bin ‘Umar Radhayallahu anhu yang tertuang
dalam riwayat berikut:
Dari Sa’îd bin Yasâr, dia berkata, “(Pernah) aku pergi bersama ‘Abdullâh bin ‘Umar
di suatu jalan di kota Mekah. Ketika aku khawatir (masuk waktu) Subuh, aku turun (dari
ontaku, lalu aku mengerjakan shalat witir, kemudian aku menyusulnya”. ‘Abdullâh bin
‘Umar bertanya, ‘Dimana saja engkau?’ Aku menjawab,”‘Aku khawatir (masuk waktu)
Subuh, aku turun (dari ontaku) untuk mengerjakan sholat witir”. ‘Abdullâh bin ‘Umar
berkata, “Tidakkah pada diri Rasûlullâh terdapat uswah (teladan baik) bagimu?” Maka aku
menjawab, ‘Ya, demi Allâh’. ‘Abdullâh bin ‘Umar berkata, ‘Sesungguhnya Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengerjakan sholat witir di atas onta’. [HR. al-Bukhari,
no. 999]
Contoh lain, berkait dengan ketulusan Sahabat Nabi menerima kebenaran ketika
diingatkan dengan kaedah yang agung ini. Karena kebenaran itu lebih berhak untuk diikuti.
Lihatlah kisah yang menakjubkan di bawah ini:
Dari Ibnu ‘Abbâs, dia mengerjakan tawaf di Baitullâh bersama Mu’âwiyah. Lalu
Mu’âwiyah mulai menyentuh semua sudutnya (sudut Ka’bah). Maka Ibnu ‘Abbâs berkata
kepadanya, “Mengapa Anda menyentuh dua pojok (Syami) ini, padahal Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menyentuh keduanya?”. Mu’awiyah menjawab,
“Tidak ada sesuatu (pojok) dari Baitullâh ini yang ditinggalkan!”. Maka Ibnu ‘Abbâs
berkata kepadanya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang
baik bagimu”. Maka Mu’âwiyah berkata, “Engkau benar!”. [HR. Ahmad, no. 1877]
Mu’âwiyah bin Abu Sufyân Radhiyallahu anhu, salah seorang Sahabat penulis wahyu
di masa kenabian, penguasa di zamannya, raja pertama dan terbaik di antara umat ini, beliau
tidak malu menerima kebenaran dari Sahabat yang usianya di bawahnya, yaitu Ibnu Abbâs
Radhiyallahu anhu, karena memang “sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri
teladan yang baik bagi orang beriman”, maka selayaknya kita tidak malu untuk terbuka
menerima kepada kebenaran. Karena berpaling dari kesalahan untuk kembali kepada
kebenaran adalah keutamaan, bukan kehinaan.
Bukan hanya generasi Sahabat saja yang menjunjung tinggi keteladanan Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kehidupan mereka, generasi-generasi berikutnya pun
juga berjalan di atas jalan mereka (para Sahabat) yang baik itu. Marilah kita perhatikan
bagaimana sikap Imam Mâlik bin Anas Radhiyallahu anhu , terhadap orang yang
menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam kisah berikut ini:
Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-nya (Rasul) takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa azab yang pedih. (an-Nûr/24:63). [Riwayat al-Khathîb dalam al-Faqîh
wal Mutafaqqih, 1/148; dll. Lihat ‘Ilmu Ushûl Bida’, hlm. 72]
Semoga Allâh Azza wa Jalla merahmati Imam Mâlik rahimahullah, yang telah
memberikan contoh mulia dalam menasehati umat agar tetap mengikuti teladan terbaik
mereka.
Dengan sedikit penjelasan dan contoh-contoh di atas maka sepantasnya kita bertanya
kepada diri kita, “Sudahkan kita menjadikan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebagai uswah hasanah bagi kita, dalam seluruh sisi kehidupan?”. Jika ya, maka marilah
berharap dan memohon Allâh Azza wa Jalla mencurahkan rahmat-Nya dan balasan baik di
akherat. Jika tidak (belum), maka kita perlu memperbaiki diri kita ke arah yang lebih baik.
Semoga Allâh selalu membimbing kita di atas jalan-Nya yang lurus. Wallâhu a’lam
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Jadi akhlak dalam Islam adalah perangai serta tingkah laku yang terdapat pada
diri seseorang yang telah melekat, di lakukan dan di pertahankan secara terus menerus,
akhlak dapat dilihat diberbagai tempat berbeda-beda cara menyikapi nya. Tentu akhlak
yang harus dilakukan adalah akhlak yang baik dengan begitu bisa bertimbal balik dari
hal yang positif.
3.2 SARAN
Kita sebagai manusia yang bersosialisasi tentu saja kita sangat membutuhkan
satu sama lain , maka dari itu kita harus bisa bersikap baik dan saling menghargai satu
sama lain.dengan kita bersikap baik dan ramah sesuai aspek dalam akhlak terpuji ,maka
kita akan mendapatakan sikap baik juga terhadap orang lain.
3.3 PERTANYAAN
1. Ada berapa macam akhlak dalam Islam?
2. Bagaimana kita menyikapi orang yang tidak mempunyai kriteria akhlak dalam Islam?
3. Apa yang di maksud dengan Uswah Hasanah?
DAFTAR PUSAKA