Anda di halaman 1dari 25

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN HIPERBILIRUBIN


DI RUANG BAYI
RSUD Dr. H. Moch Ansari Saleh BANJARMASIN

Tanggal 7 Oktober – 12 Oktober 2019

Oleh:
Shovi Nurfitriani, S. Kep
NIM. 1930913320028

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
LAMBUNG MANGKURAT 2019
LEMBAR PENGESAHAN

PADA KLIEN DENGAN HIPERBILIRUBIN


Di Ruang Bayi RSUD. Dr. H. Moch. Ansari Saleh Banjarmasin

Tanggal 7 Oktober – 12 Oktober 2019

Oleh:
Shovi Nurfitriani, S.Kep
NIM. 1930913320028

Banjarmasin, Oktober 2019

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Lahan

Devi Rahmayanti, S. Kep., Ns. M. Imun Siti Rusmalina, S.Kep,. Ns


NIP. 19780101 200812 2 001 NIP. 19751104 200803 2 001
Hiperbilirubin

A. Definisi
Bilirubin adalah pigmen kuning yang berasal dari perombakan heme dari
hemoglobin dalam proses pemecahan eritrosit oleh sel retikuloendotel. Di samping itu
sekitar 20% bilirubin berasal dari perombakan zat-zat lain. Sel retikuloendotel membuat
bilirubin tidak larut dalam air, bilirubin yang disekresikan dalam darah harus diikatkan
kepada albumin untuk diangkut dalam plasma menuju hati. Di dalam hati, hepatosit
melepaskan ikatan itu dan mengkonjugasinya dengan asam glukoronat sehingga bersifat
larut air. Proses konjugasi ini melibatkan enzim glukoroniltransferase.
Ikterus neonatorum (‘jaundice’) terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam
darah, sehingga kulit (terutama) dan atau sklera bayi (neonatus) tampak kekuningan.
Pada orang dewasa, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin > 2 mg/dL (> 17
μmol/L), sedangkan pada neonatus baru tampak apabila serum bilirubin > 5 mg/dL
(>86μmol/L).

Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada
hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin.
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non
patologis sehingga disebut ‘Excessive Physiological Jaundice’. Digolongkan sebagai
hiperbilirubinemia patologis ‘Non Physiological Jaundice’ apabila kadar serum
bilirubin terhadap usia neonatus > 95 %.
Ikterus lebih mengacu pada gambaran klinis berupa pewaranaan kuning pada kulit,
sedangkan hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran kadar bilirubin serum
total.
B. Etiologi
Peningkatan kadar bilirubin umumnya terjadi pada setiap bayi baru lahir, karena
hemolisis yang disebabkan oleh jumlah sel darah merah lebih banyak dan berumur lebih
pendek, karena fungsi hepar yang belum sempurna.
Peningkatan kadar bilirubin yang berlebih (ikterus nonfisiologis) menurut
(Moeslichan, 2004) dapat dipengaruhi oleh faktor – faktor di bawah ini:
1. Hemolisis akibat inkontabilitas ABO atau isoimunisasi Rhesus, defisiensi G6PD,
sferositosis herediter dan pengaruh obat
2. Infeksi, septikemia, sepsis, meningitis, Infeksi saluran kemih, infeksi intra uterin
3. Polisitemia
4. Trauma lahir, sefalhematom
5. Asidosisf
6. Hipoksia/asfiksia
Faktor resiko untuk timbulnya ikterus neonatorum menurut (Moeslichan, 2004)
adalah sebagai berikut:
1. Faktor maternal
a. Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American, Yunani)
b. Komplikasi kehamilan (DM, inkomtabilitas ABO dan Rh)
c. Penggunaan oksitosin dalam larutan hipotonik
d. ASI
2. Faktor Perinatal
a. Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
b. Faktor neonatus
3. Prematuritas
a. Obat (Streptomisin, kloramfenikol, benzylalkohol, sulfisoxazol)
b. Rendahnya asupan ASI
c. Hipoglikemia
d. Hipoalbuminemia
Penyebab ikterus berdasarkan waktu timbul:
1. 24 jam pertama. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama dengan penyebab antara
lain:
a. Inkomtabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain
b. Infeksi intra uterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang bakteri)
c. Kadang oleh defisiensi G6PD
2. 24 jam sampai < 72 jam. Ikterus yang timbul 24 – 72 jam setelah lahir dengan
penyebab anatara lain:
a. Biasanya ikterus fisiologis
b. Masih ada kemungkinan inkompatibitas darah ABO atau Rh atau golongan lain.
Hal ini diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg
%/24 jam
c. Polisitemia
d. Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan sub oiponeurosis, perdarahan hepar
sub kapsuler dan lain-lain)
e. Dehidrasis asidosis
3. Lebih dari 72 jam. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai minggu
pertama dengan penyebab antara lain :
a. Biasanya karena infeksi (sepsis)
b. Dehidrasi asidosis
c. Defisiensi enzim G6PD Pengaruh obat
Dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium terdapat beberapa
faktor risiko terjadinya hiperbilirubinemia berat.
1. Ikterus yang timbul dalam 24 jam pertama (usia bayi < 24 jam)
2. Inkompatibilitas golongan darah (dengan ‘Coombs test’ positip)
3. Usia kehamilan < 38 minggu
4. Penyakit-penyakit hemolitik (G6PD, ‘end tidal’ CO meningkat)
5. ‘Infant Diabetic Mother’, makrosomia
6. Polisitemia

Ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya ikterus yaitu sebagai
berikut.
1. Prahepatik
Ikterus ini disebabkan karena produksi bilirubin yang meningkat pada proses
hemolisis sel darah merah (ikterus hemolitik). Peningkatan bilirubin dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah infeksi, kelainan sel darah
merah, dan toksin dari luar tubuh, serta dari tubuh itu sendiri.
2. Pascahepatik (obstruktif)
Adanya obstruksi pada saluran empedu yang mengakibatkan bilirubin konjugasi
akan kembali lagi kedalam sel hati dan masuk kedalam aliran darah, kemudian
sebagian masuk dalam ginjal dan diekresikan dalam urin. Sementara itu, sebagian
lagi tertimbun dalam tubuh sehingga kulit dan sklera berwarna kuning kehijauan
serta gatal. Sebagai akibat dari obstruksi saluran empedu menyebabkan ekskresi
bilirubin kedalam saluran pencernaan berkurang, sehingga feses akan berwarna
putih keabu abuan, liat dan seperti dempul.
3. Hepatoseluler
Konjugasi bilirubin terjadi pada sel hati, apabila sel hati mangalami kerusakan
maka secara otomatis akan mengganggu proses konjugasi bilirubin sehingga
bilirubin direc meningkat dalam aliran darah. Bilirubin direc mudah larut dalam air,
namun sebagian masih tertimbun dalam aliran darah.
Faktor yang berhubungan dengan ikterus menurut Prawihardjo (2005):
1. Usia Ibu
2. Tingkat pendidikan
3. Tingkat pengetahuan ibu tentang perawatan bayi ikterus
4. Riwayat kesehatan Ibu
5. Masa gestasi
6. Jenis persalinan
7. Inkomtabilitas Rhesus
8. Inkomtabilitas ABO
9. Berat badan lahir
10. Prematur
11. Asupan ASI
12. Terpapar sinar matahar
C. Patofisiologi
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang
larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati.
Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan
hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site).
Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan
menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum Bilirubin
tidak mencapai tingkat patologis.
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh tubuh.
Sebagian besar bilirubin tersebut berasal dari degradasi hemoglobin darah dan sebagian
lagi dari hem bebas atau proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin
tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat
lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas. Zat ini sulit
larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karenanya mempunyai sifat lipofilik yang sulit
diekskresi dan mudah melalui membran biologik seperti plasenta dan sawar darah otak.
Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke
hepar. Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat oleh reseptor
membran sel hepar dan masuk ke dalam hepar. Segera setelah ada dalam sel hepar
terjadi persenyawaan ligandin (protein Y), protein Z dan glutation hepar lain yang
membawanya ke retikulum endoplasma hepar, tempat terjadinya konjugasi. Proses ini
timbul berkat adanya enzim glukoronil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk
bilirubin direk. Jenis bilirubin ini dapat larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat
diekskresi melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini diekskresi
melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi
urubilinogen dan keluar dengan tinja sebagai sterkobilin. Dalam usus, sebagian di
absorpsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses absorpsi entero hepatik.

D. Klasifikasi
Sebagian besar neonatus mengalami peninggian kadar bilirubin indirek pada hari-
hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologis tertentu
pada neonatus. Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus,
masa hidup eritrosit yang lebih pendek (80-90 hari) dan belum matangnya fungsi hepar.
Peninggian kadar bilirubin ini terjadi pada hari ke 2 – 3 dan mencapai puncaknya
pada hari ke 5 – 7, kemudian akan menurun kembali pada hari ke 10 – 14. Kadar
bilirubinpun biasanya tidak > 10 mg/dL (171 μmol/L) pada bayi kurang bulan dan < 12
mg/dL (205 μmol/L) pada bayi cukup bulan.
Masalah timbul apabila produksi bilirubin ini terlalu berlebihan atau konjungasi
hepar menurun sehingga terjadi kumulasi di dalam darah. Peningkatan kadar bilirubin
yang berlebihan dapat menimbulkan kerusakan sel tubuh tertentu, misalnya kerusakan
sel otak yang akan mengakibatkan gejala sisa dikemudian hari, bahkan terjadinya
kematian. Karena itu bayi ikterus sebaiknya baru dianggap fisiologis apabila telah
dibuktikan bukan suatu keadaan patologis. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pada
hiperbilirubinemia, pemeriksaan lengkap harus dilakukan untuk mengetahui
penyebabnya, sehingga pengobatanpun dapat dilaksanakan dini. Tingginya kadar
bilirubin yang dapat menimbulkan efek patologis tersebut tidak selalu sama pada tiap
bayi. Di RS Dr. Soetomo Surabaya, bayi dinyatakan menderita bilirubinemia apabila
kadar bilirubin total > 12 mg/dL (> 205 μmol/L) pada bayi cukup bulan, sedangkan
pada bayi kurang bulan bila kadarnya > 10 mg/dL (>171 μmol/L).
1. Ikterus Fisiologis
Pada hiperbilirubinemia fisiologis bayi baru lahir, terjadi peningkatan bilirubin
tidak terkonjugasi >2 mg/dL pada minggu pertama kehidupan. Kadar bilirubin tidak
terkonjugasi itu biasanya meningkat menjadi 6 sampai 8 mg/dL pada umur 3 hari
dan akan mengalami penurunan.
Ikterus fisiologis adalah keadaan hiperbilirubin karena faktor fisiologis yang
merupakan gejala normal dan sering dialami bayi baru lahir. Ikterus fisiologis
diantara sebagai berikut:
a. Timbul pada hari ke dua dan ketiga.
b. Kadar bilirubin indirect tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan dan
12,5 mg% untuk neonatus lebih bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
d. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
e. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologik.
2. Ikterus Patologi
Dikatakan hiperbilirubinemia patologis apabila terjadi saat 24 jam setelah bayi
lahir, peningkatan kadar bilirubin serum > 0,5 mg/dL setiap jam, ikterus bertahan
setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau 14 hari pada bayi kurang bulan.
Ikterus patologi adalah suatu keadaan dimana kadar konsentrasi bilirubin dalam
darah mencapai nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan kern ikterus jika
tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang
patologis. Adapun ikterus patologis menurut beberapa sumber adalah sebagai
berikut:
a. Ikterus patologi
Ikterus patologi menurut Ngastiyah (2005):
1) Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
2) Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi
12,5 mg% pada neonatus kurang bulan.
3) Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% perhari.
4) Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
5) Kadar bilirubin direct melebihi 1 mg %.
6) Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik
b. Ikterus patologi
Ikterus yang kemungkinan menjadi patologis atau hiperbilirubinemia dengan
karakteristik menurut Surasmi (2003) sebagai berikut:
1) Ikterus terjadi pada 24 jam pertama sesudah kelahiran.
2) Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg % atau > setiap 24 jam.
3) Konsentrasi bilirubin serum sewaktu 10 mg % pada neonatus < bulan dan
12,5 % pada neonatus cukup bulan.
4) Ikterus disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim
G6PD dan sepsis).
5) Ikterus disertai berat lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 minggu, asfiksia,
hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi, hipoglikemia, hiperkapnia,
hiperosmolalitas darah.

E. Tanda dan gejala


Tanda dan gejala yang timbul dari ikterus menurut Surasmi (2003) yaitu:
1. Pada permulaan tidak jelas, yang tampak mata berputar-putar
2. Letargi (lemas)
3. Kejang
4. Tidak mau menghisap
5. Dapat tuli, gangguan bicara dan retardasi mental
6. Bila bayi hidup pada umur lebih lanjut dapat disertai spasme otot, epistotonus,
kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot
7. Perut membuncit
8. Pembesaran pada hati
9. Feses berwarna seperti dempul
10. Tampak ikterus: sklera, kuku, kulit dan membran mukosa. Joundice pada 24 jam
pertama yang disebabkan oleh penyakit hemolitik waktu lahir, sepsis, atau ibu
dengan diabetik/infeksi.
11. Muntah, anoreksia, fatigue, warna urin gelap, warna tinja gelap.
Gejala menurut Surasmi (2003) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi:
1. Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada neonates
adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
2. Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus dan
opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis
serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan
displasia dentalis).
F. Pemeriksaan fisik
Secara klinis ikterus pada neonatus dapat dilihat segera setelah lahir atau beberapa
hari kemudian. Amati ikterus pada siang hari dengan lampu sinar yang cukup. Ikterus
akan terlihat lebih jelas dengan sinar lampu dan bisa tidak terlihat dengan penerangan
yang kurang, terutama pada neonatus yang kulitnya gelap. Penilaian ikterus akan lebih
sulit lagi apabila penderita sedang mendapatkan terapi sinar.
Tekan kulit secara ringan memakai jari tangan untuk memastikan warna kulit dan
jaringan subkutan. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti penting pula dalam
diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai
kaitan erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut.
G. Periksaan penunjang
1. Anamnesa
a. Riwayat kehamilan dengan komplikasi (obat-obatan, ibu DM, gawat janin,
malnutrisi intra uterin, infeksi intranatal)
b. Riwayat persalinan dengan tindakan / komplikasi
c. Riwayat ikterus / terapi sinar / transfusi tukar pada bayi sebelumnya
d. Riwayat inkompatibilitas darah
e. Riwayat keluarga yang menderita anemia, pembesaran hepar dan limpa
2. Algoritma
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan serum bilirubin (bilirubin total dan direk) harus dilakukan pada
neonatus yang mengalami ikterus. Terutama pada bayi yang tampak sakit atau bayi-
bayi yang tergolong risiko tinggi terserang hiperbilirubinemia berat (lihat ‘point-
point’ etiologi). Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan terapi
sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil
pemeriksaan kadar serumbilirubin.
‘Transcutaneous bilirubin (TcB)’ dapat digunakan untuk menentukan kadar
serum bilirubin total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya
valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257 μmol/L), dan tidak ‘reliable’
pada kasus ikterus yang sedang mendapat terapi sinar.
Pemeriksaan tambahan yang sering dilakukan untuk evaluasi menentukan
penyebab ikterus antara lain:
a. Golongan darah dan ‘Coombs test’
b. Darah lengkap dan hapusan darah
c. Hitung retikulosit, skrining G6PD atau ETCOc
d. Bilirubin direk
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia
bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk
menentukan pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar.
H. Penatalaksaan
Pengobatan yang diberikan sesuai dengan analisa penyebab yang mungkin dan
memastikan kondisi ikterus pada bayi kita masih dalam batas normal (fisiologis)
ataukah sudah patologis. Resiko cidera susunan saraf pusat akibat bilirubin harus
diimbangi dengan resiko pengobatan masing-masing bayi. Kriteria yang harus
dipergunakan untuk memulai fototerapi. Oleh karena fototerapi membutuhkan waktu
12-24 jam, sebelum memperlihatkan panjang yang dapat diukur, maka tindakan ini
harus dimulai pada kadar bilirubin, kurang dari kadar yang diberikan. Penggunaan
fototerapi sesuai dengan anjuran dokter biasanya diberikan pada neonates dengan kadar
bilirubin tidak lebih dari 10 mg.
Tujuan utama dalam penatalaksanaan ikterus neonatorum adalah untuk
mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat
menbimbulkan kern-ikterus/ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab langsung
ikterus tadi. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar
konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan
merangsang terbentuknya glukoronil transferase dengan pemberian obat-obatan
(luminal).
Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau
albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar
atau transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan
kadar bilirubin. Dikemukakan pula bahwa obat-obatan (IVIG : Intra Venous Immuno
Globulin dan Metalloporphyrins) dipakai dengan maksud menghambat hemolisis,
meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin.

a. Terapi Sinar
Pengaruh sinar terhadap ikterus telah diperkenalkan oleh Cremer sejak 1958.
Banyak teori yang dikemukakan mengenai pengaruh sinar tersebut. Teori terbaru
mengemukakan bahwa terapi sinar menyebabkan terjadinya isomerisasi bilirubin.
Energi sinar mengubah senyawa yang berbentuk 4Z, 15Z-bilirubin menjadi senyawa
berbentuk 4Z, 15E-bilirubin yang merupakan bentuk isomernya. Bentuk isomer ini
mudah larut dalam plasma dan lebih mudah diekskresi oleh hepar ke dalam saluran
empedu. Peningkatan bilirubin isomer dalam empedu menyebabkan bertambahnya
pengeluaran cairan empedu ke dalam usus, sehingga peristaltik usus meningkat dan
bilirubin akan lebih cepat meninggalkan usus halus.
Di RSU Dr. Soetomo Surabaya terapi sinar dilakukan pada semua penderita
dengan kadar bilirubin indirek >12 mg/dL dan pada bayi-bayi dengan proses
hemolisis yang ditandai dengan adanya ikterus pada hari pertama kelahiran. Pada
penderita yang direncanakan transfusi tukar, terapi sinar dilakukan pula sebelum
dan sesudah transfusi dikerjakan.
Peralatan yang digunakan dalam terapi sinar terdiri dari beberapa buah lampu
neon yang diletakkan secara pararel dan dipasang dalam kotak yang berfentilasi.
Agar bayi mendapatkan energi cahaya yang optimal (380-470 nm) lampu diletakkan
pada jarak tertentu dan bagian bawah kotak lampu dipasang pleksiglass biru yang
berfungsi untuk menahan sinar ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk penyinaran.
Gantilah lampu setiap 2000 jam atau setelah penggunaan 3 bulan walau lampu
masih menyala. Gunakan kain pada boks bayi atau inkubator dan pasang tirai
mengelilingi area sekeliling alat tersebut berada untuk memantulkan kembali sinar
sebanyak mungkin ke arah bayi.
Pada saat penyinaran diusahakan agar bagian tubuh yang terpapar dapat seluas-
luasnya, yaitu dengan membuka pakaian bayi. Posisi bayi sebaiknya diubah-ubah
setiap 6-8 jam agar bagian tubuh yang terkena cahaya dapat menyeluruh. Kedua
mata ditutup namun gonad tidak perlu ditutup lagi, selama penyinaran kadar
bilirubin dan hemoglobin bayi di pantau secara berkala dan terapi dihentikan
apabila kadar bilirubin <10 mg/dL (<171 μmol/L). Lamanya penyinaran biasanya
tidak melebihi 100 jam.
Penghentian atau peninjauan kembali penyinaran juga dilakukan apabila
ditemukan efek samping terapi sinar. Beberapa efek samping yang perlu
diperhatikan antara lain : enteritis, hipertermia, dehidrasi, kelainan kulit, gangguan
minum, letargi dan iritabilitas. Efek samping ini biasanya bersifat sementara dan
kadang-kadang penyinaran dapat diteruskan sementara keadaan yang menyertainya
diperbaiki.
Cara melakukan terapi sinar:
a. Buka pakaian agar seluruh bagian tubuh bayi kena sinar.
b. Tutup kedua mata dan gonat dengan penutup yang memantulkan cahaya.
c. Jarak bayi dengan lampu kurang lebih 40 cm.
d. Posisi sebaiknya diubah setiap 6 Jam sekali.
e. Lakukan Pengukuran suhu setiap 4-6 Jam.
f. Periksa kadar bilirubin setiap 8 Jam atau sekurang kurangnya sekali dalam 24
Jam.
g. Lakukan pemeriksaan Hb secara berkala terutama pada penderita hemolisis.
h. Lakukan observasi dan catat lamanya terapi sinar.
i. Apabila dalam evaluasi kadar bilirubin berada dalam ambang batas normal,
terapi sinar dihentikan. Jika kadar bilirubin masih tetap atau tidak banyak
berubah, perlu dipikirkan adanya beberapa kemungkinan, antara lain lampu
yang tidak efektif atau bayi yang menderita dehidrasi, hipoksia, infeksi,
gangguan metabolisme dan lain-lain. Keadaan demikian memerlukan tindakan
kolaboratif dengan tim medis.
b. Transfusi Tukar
Transfusi tukar merupakan tindakan utama yang dapat menurunkan dengan
cepat bilirubin indirek dalam tubuh selain itu juga bermanfaat dalam mengganti
eritrosit yang telah terhemolisis dan membuang pula antibodi yang menimbulkan
hemolisis. Walaupun transfusi tukar ini sangat bermanfaat, tetapi efek samping dan
komplikasinya yang mungkin timbul perlu di perhatikan dan karenanya tindakan
hanya dilakukan bila ada indikasi (lihat tabel 3). Kriteria melakukan transfusi tukar
selain melihat kadar bilirubin, juga dapat memakai rasio bilirubin terhadap albumin.

Yang dimaksud ada komplikasi apabila :


a. Nilai APGAR < 3 pada menit ke 5
b. PaO2 < 40 torr selama 1 jam
c. pH < 7,15 selama 1 jam
d. Suhu rektal ≤ 35 O C
e. Serum Albumin < 2,5 g/dL
f. Gejala neurologis yang memburuk terbukti
g. Terbukti sepsis atau terbukti meningitis
h. Anemia hemolitik
i. Berat bayi ≤1000 g
Dalam melakukan transfusi tukar perlu pula diperhatikan macam darah yang
akan diberikan dan teknik serta penatalaksanaan pemberian. Apabila
hiperbilirubinemia yang terjadi disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah
ABO, darah yang dipakai adalah darah golongan O rhesus positip. Pada keadaan
lain yang tidak berkaitan dengan proses aloimunisasi, sebaiknya digunakan darah
yang bergolongan sama dengan bayi. Bila keadaan ini tidak memungkinkan, dapat
dipakai darah golongan O yang kompatibel dengan serum ibu. Apabila hal inipun
tidak ada, maka dapat dimintakan darah O dengan titer anti A atau anti B yang
rendah. Jumlah darah yang dipakai untuk transfusi tukar berkisar antara 140-180
cc/kgBB.
Macam Transfusi Tukar:
a. ‘Double Volume’ artinya dibutuhkan dua kali volume darah, diharapkan dapat
mengganti kurang lebih 90 % dari sirkulasi darah bayi dan 88 % mengganti Hb
bayi.
b. ‘Iso Volume’ artinya hanya dibutuhkan sebanyak volume darah bayi, dapat
mengganti 65 % Hb bayi.
c. ‘Partial Exchange’ artinya memberikan cairan koloid atau kristaloid pada kasus
polisitemia atau darah pada anemia

Dalam melaksanakan transfusi tukar tempat dan peralatan yang diperlukan harus
dipersiapkan dengan teliti. Sebaiknya transfusi dilakukan di ruangan yang aseptik
yang dilengkapi peralatan yang dapat memantau tanda vital bayi disertai dengan alat
yang dapat mengatur suhu lingkungan. Perlu diperhatikan pula kemungkinan
terjadinya komplikasi transfusi tukar seperti asidosis, bradikardia, aritmia, ataupun
henti jantung.
Untuk penatalaksanaan hiperbilirubinemia berat dimana fasilitas sarana dan
tenaga tidak memungkinkan dilakukan terapi sinar atau transfusi tukar, penderita
dapat dirujuk ke pusat rujukan neonatal setelah kondisi bayi stabil (‘transportable’)
dengan memperhatikan syarat-syarat rujukan bayi baru lahir risiko tinggi.

c. Terapi Obat-obatan
Terapi lainnya adalah dengan obat-obatan. Misalnya, obat Phenobarbital atau
luminal untuk meningkatkan pengikatan bilirubin di sel-sel hati sehingga bilirubin
yang sifatnya indirect berubah menjadi direct. Ada juga obat-obatan yang
mengandung plasma atau albumin yang berguna untuk mengurangi timbunan
bilirubin dan mengangkut bilirubin bebas ke organ hati. Biasanya terapi ini
dilakukan bersamaan dengan terapi lain, seperti fototerapi. Jika sudah tampak
perbaikan maka terapi obat-obatan ini dikurangi bahkan dihentikan. Efek
sampingnya adalah mengantuk. Akibatnya, bayi jadi banyak tidur dan kurang
minum ASI sehingga dikhawatirkan terjadi kekurangan kadar gula dalam darah
yang justru memicu peningkatan bilirubin. Oleh karena itu, terapi obat-obatan
bukan menjadi pilihan utama untuk menangani hiperbilirubin karena biasanya
dengan fototerapi si kecil sudah bisa ditangani.
d. Menyusui bayi dengan ASI
Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urin. Untuk
itu bayi harus mendapatkan cukup ASI. Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat
terbaik bagi bayi yang dapat memperlancar buang air besar dan kecilnya.
e. Terapi sinar matahari
Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan. Biasanya
dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya, bayi dijemur
selama setengah jam dengan posisi yang berbeda-beda. Seperempat jam dalam
keadaan telentang, misalnya, seperempat jam kemudian telungkup. Lakukan antara
jam 7.00 sampai 9.00. Inilah waktu dimana sinar surya efektif mengurangi kadar
bilirubin. Di bawah jam tujuh, sinar ultraviolet belum cukup efektif, sedangkan di
atas jam sembilan kekuatannya sudah terlalu tinggi sehingga akan merusak kulit.
Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke matahari karena dapat
merusak matanya. Perhatikan pula situasi di sekeliling, keadaan udara harus bersih.
G. Diagnosa keperawatan
1. Ikterik neonatus b.d bayi mengalami kesulitan transisi kehidupan ektrauterin,
keterlambatan pengeluaran mekonium, penurunan berat badan tidak terdeteksi, pola
makna tidak tepat, usia < 7 hari.
2. Ansietas pada orang tua b.d ancaman pada status terkini kepada anak, perubahan
besar pada kesehatan anak.
3. Defisiensi pengetahuan orang terhadap penangan penyakit b.d kurang informasi.
4. Risiko kerusakan integritas kulit b.d eksternal (terapi radiasi).
5. Risiko mata kering dengan factor resiko fototerapi
H. Rencana tindakan keperawatan
Diagnosa NOC NIC
Ikterik neonatus b.d Setelah dilakukan tindakan Newborn monitoring
bayi mengalami keperawatan selama 1 x 24 1. Evaluasi APGAR 1 dan 5
kesulitan transisi jam diharapkan ikterik menit setelah di lahirkan
kehidupan neonatus berkurang, dengan 2. Monitor warna kulit baru
ektrauterin, kriteria hasil: lahir
keterlambatan Newborn adaptation 3. Monitor untuk tanda
pengeluaran 1. Warna kulit tidak hiperbillirubinemia
mekonium, kekuningan Phototherapy: neonate
penurunan berat 2. Kadar billirubin < 5 mg/ 1. Mencari tahu cerita ibu dan
badan tidak dl bayi untuk tanda penyakit
terdeteksi, pola faktor risiko
makna tidak tepat, hiperbilirubinemia.
usia < 7 hari. 2. Memantau tanda gejala
Definisi: hiperbillirubin.
3. Letakkan bayi diruang
kulit dan membran isolasi.
mukosa neonates 4. Melaporkan nilai hasil
berwarna kuning laboratorium.
yang terjadi setelah 5. Memberitahukan keluarga
24 jam kehidupan tentang prosedur dan
sebagai akibat perawatan foto terapi.
bilirubin tak 6. Gunakan penutup mata,
terkonjugasi ada untuk mengurangi tekanan
didalam sirkulasi berlebih pada mata.
Batasan 7. Lepas penutup mata jika
cahaya sudah mati.
karakteristik 8. Monitor mata dari bengkak
1. Kulit kuning dan warna.
sampai orange 9. Periksa intensitas cahaya
2. Memar kulit setiap hari.
abnormal 10. Monitor tanda-tanda vital
3. Membran mukosa 11. Rubah posisi bayi setiap 4
kuning jam.
4. Profil darah 12. Monitor tingkat serum
abnormal bilirubin.
5. Sclera kuning 13. Observasi dari tanda
dehidrasi (turgor kulit yang
buruk, kehilagan berat
badan).
Ansietas pada orang Setelah dilakukan tindakan Anxiety Reduction
tua b.d ancaman pada keperawatan selama 1 x 30 1. Kaji dan dokumentasikan
status terkini kepada menit diharapkan cemas akan tingkat kecemasan dengan
anak, perubahan berkurang, Dengan kriteria menggunakan skala 0-4.
besar pada kesehatan hasil: 2. Lakukan pendekatan kepada
anak. Anxiety Self - Control pasien untuk
Definisi: 1. Keluarga melaporkan mengungkapkan pikiran dan
skala cemas menurun dari perasaan.
Perasaan tidak skala 2 ke skala 1. 3. Berikan motivasi kepada
nyaman atau 2. Keluarga terlihat rileks pasien, gunakan kalimat yang
kekwatiran yang 3. Keluarga mampu positif kepada pasien dan
samar disertai respon mengindetifikasi, anjurkan keluarga pasien
autonom (sumber mengungkapkan dan selalu menemani pasien
sering kali tidak menunjukan teknik untuk 4. Kaji mekanisme koping yang
spesifik atau tidak mengontrol cemas. digunakan pasien untuk
diketahui oleh 4. Menggunakan teknik mengtasai ansietas dimasa
individu. relaksasi untuk lalu
Batasan mengurangi kecemasan 5. Monitor vital sign
5. Tekanan darah dalam 6. Anjurkan dan ajarkan teknik
Karakteristik: rentang normal (120/80 relaksasi dan distraksi.
a. Gelisah mmHg) 7. Berikan informasi factual
b. Gugup berlebihan 6. Frekuensi napas dalam (nyata dan benar) kepada
c. Khawatir rentang normal (18- pasien dan keluarga tentang
d. Bingung 24x/menit) kondisi kehamilan sekarang
e. Wajah tegang 7. Nadi dalam rentang dan kebutuhan yang harus
normal (80-100x/menit) dipenuhi.
Defisiensi Setelah dilakukan tindakan Teaching process
pengetahuan orang keperawatan selama 1 x 15 1. Kaji tingkat pengetahuan
terhadap penangan menit diharapkan keluarga keluarga tentang proses
penyakit b.d kurang mengetahui tentang penyakit penyakit
informasi dan penanganannya, Dengan 2. Jelaskan patofisiologi dari
kriteria hasil: penyakit dan bagaimana hal
Definisi Knowledge: disease process ini berhubungan dengan
Ketiadaan atau 1. Spesifik tentang penyakit anatomi dan fisiologi,
defisiensi informasi 2. Penyebab dan faktor- dengan cara yang tepat.
kognitif yang faktor yang berkontribusi 3. Gambarkan tanda dan gejala
berkaitan dengan 3. Faktor risiko yang biasa muncul pada
topik tertentu 4. Tanda dan gejala dari penyakit, dengan cara yang
Batasan penyakit tepat
5. Pencegahan dari 4. Gambarkan proses penyakit,
karakteristik komplikasi penyakit dengan cara yang tepat
1. Ketidakakuratan 6. Strategi untuk 5. Identifikasi kemungkinan
melakukan tes memperkecil penyebab, dengan cara yang
2. Ketidakakuratan perkembangan penyakit tepat
melakukan 6. Sediakan informasi pada
perintah keluarga tentang kondisi,
3. Kurang dengan cara yang tepat
pengetahuan 7. Sediakan bagi keluarga
4. Perilaku tidak informasi tentang kemajuan
tepat (agitasi, pasien dengan cara yang
apatis) tepat
8. Diskusikan perubahan gaya
hidup yang mungkin
diperlukan untuk mencegah
komplikasi dan atau
mengontrol proses penyakit
9. Diskusikan pilihan terapi
atau penanganan
10.Dukung keluarga untuk
mengeksplorasi atau
mendapatkan second
opinion dengan cara yang
tepat atau diindikasikan
11.Menggambarkan
kemungkinan komplikasi
kronis dengan cara yang
tepat
12.Anjurkan keluarga untuk
mengontrol atau
meminimalkan gejala secara
tepat
Risiko kerusakan Setelah dilakukan tindakan Skin Surveillance
integritas kulit b.d keperawatan selama 4 x 60 1. Inspeksi kulit dari
eksternal (terapi menit diharapkan kerusakan kemerahan, panas, bengkak
radiasi). integritas kulit tidak terjadi, atau kekeringan
2. Obsevasi ektremitas untuk
Dengan kriteria hasil: warna, panas, dan tekstur
Definisi Tissue Integrity : Skin and 3. Monitor warna kulit dan
Rentan mengalami Mucous Membranes temperatur
kerusakan pidermis 1. Texture 4. Monitor kulit untuk
dan atau dermis yang 2. Temperatur jaringan kekeringan yang berlebihan
dapat mengganggu dalam rentang yang 5. Meminta keluarga untuk
kesehatan diharapkan melaporkan tentang adanya
tanda kerusakan kulit jika
3. Elastisitas dalam rentang
diperlukan
yang diharapkan
4. Hidrasi dalam rentang
yang diharapkan
5. Pigmentasi dalam rentang
yang diharapkan
6. Warna dan tektur dalam
rentang yang diharapkan
7. Integritas kulit baik bisa
dipertahankan

Risiko mata kering Kontrol Risiko : mata kering Pencegahan mata kering (1350)
b.d factor resiko (1927) 1. Kaji tanda-tanda terjadinya
fototerapi Setelah dilakukan tindakan mata kering
selama 1x24 jam, masalah 2. Monitor reflek kedipan kelopak
Definisi teratasi dengan kriteria hasil: 3. Identifikasi posisi
mata
Rentan terhadap 1. Mengidentifikasi faktor 4. Pastikan perban penutup mata
ketidaknyamanan resiko terjadinya mata tidak terlalu ketat
mata dan kering dipertahankan pada 5. Berikan perawatan mata
konjungtivakarena skala 5 (secara konsisten setidaknya dua kali sehari
penurunan kuantitas menunjukkan)
air mata untuk 2. Mengenali faktor resiko
melembabkan mata. individu terkait mata
kering dipertahankan pada
skala 5 (secara konsisten
menunjukkan)

Daftar pustaka
NANDA International. Nursing Diagnosis: Definitions and Classification 2012 – 2014.
Jakarta: EGC
Moorhead, S., et al. 2008. Nursing Outcomes Classification (NOC). 4th ed. Mosbie
Elsevier: USA
Bulechek, G.M., et al. 2008. Nursing Intervention Classification (NIC). 5th ed. Mosbie
Elsevier: USA
Suriadi & Rita Y. 2001. Asuhan Keperawatan Pada Anak, Edisi I. Jakarta: Fajar Inter
Pratama.
Prawirohadjo, Sarwono. 1997. Ilmu Kebidanan. Edisi 3. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka.
Syaifuddin, Bari Abdul. 2000. Buku Ajar Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal Dan
Neonatal. Jakarta: JNPKKR/POGI & Yayasan Bina Pustaka.
Doengoes, E Marlynn & Moerhorse, Mary Fraces. 2001. Rencana Perawatan Maternal /
Bayi. Jakarta: EGC.
Alimul, Hidayat A. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Jakarta: Salemba medika.
Potter, Patricia A. Perry, Anne Griffin. 2005. Buku Ajar Fudamental Keperawatan :
Konsep, Proses dan Praktis Volume 2. Jakarta: EGC.
Risa Etika, Agus Harianto, Fatimah Indarso, Sylviati M. Damanik. Hiperbilirubinemia
Pada Neonatus. Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak. FK Unair/RSU
Dr. Soetomo - Surabaya

Anda mungkin juga menyukai