Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Sepsis merupakan respons sistemik terhadap infeksi dimana pathogen atau toksin
dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivitas proses inflamasi. (infeksi dan
inflamasi). Sepsis dibagi dalam derajat Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS),
sepsis, sepsis berat, sepsis dengan hipotensi, dan syok septik.

Infeksi dapat disebabkan oleh virus, bakteri, fungi atau riketsia. Respon sistemik dapat
disebabkan oleh mikroorganisme penyebab yang beredar dalam darah atau hanya disebabkan
produk toksik dari mikroorganisme atau produk reaksi radang yang berasal dari infeksi lokal.

Sepsis, syok sepsis, dan kegagalan multipel organ (MOF) mengenai hampir 750. 0000
penduduk di Amerika Serikat dan menyebabkan kematian sebanyak 215.000 orang. Angka
kematian oleh karena sepsis berkisar 9,3 % dari seluruh penyebab kematian di Amerika Serikat,
setara dengan angka kematian yang disebabkab oleh infark miokardial dan jauh lebih tinggi dari
kematian oleh karena AIDS dan kanker payudara.

Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks dimulai dengan
rangsangan endo atau eksotoksin terhadap sistem imunologi, sehingga terjadi aktivasi makrofag,
sekresi berbagai sitokin dan mediator, aktivasi komplemen dan netrofil, sehingga terjadi
disfungsi dan kerusakan endotel, aktivasi sistem koagulasi dan trombosit yang menyebabkan
gangguan perfusi ke berbagai jaringan dan disfungsi/kegagalan organ multipel.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Syok Septic

Sepsis adalah suatu sindroma klinik yang terjadi oleh karena adanya respon tubuh yang
berlebihan terhadap rangsangan produk mikroorganisme. Ditandai dengan panas, takikardia,
takipnea, hipotensi dan disfungsi organ berhubungan dengan gangguan sirkulasi darah.
Sepsis sindroma klinik yang ditandai dengan:
 Hyperthermia/hypothermia (>38°C; <35,6°C)
 Tachypneu (respiratory rate >20/menit)
 Tachycardia (pulse >100/menit)
 >10% cell immature
 Suspected infection
Biomarker sepsis (CCM 2003) adalah prokalsitonin (PcT); Creactive Protein (CrP).

2.2 Derajat Sepsis


1. Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), ditandai dengan .2 gejala sebagai berikut:
a) Hyperthermia/hypothermia (>38,3°C; <35,6°C)
b) Takipnea (resp >20/menit)
c) Tachycardia (nadi >100/menit)
d) Leukositosis >12.000/mm atau Leukopenia <4.000/mm
e) >10% cell imature
2. Sepsis : Infeksi disertai SIRS
3. Sepsis Berat : Sepsis yang disertai MODS/MOF, hipotensi, oliguria bahkan anuria.
4. Sepsis dengan hipotensi : Sepsis dengan hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg atau
penurunan tekanan sistolik >40 mmHg).
5. Syok septik
Syok septik adalah subset dari sepsis berat, yang didefinisikan sebagai hipotensi yang diinduksi
sepsis dan menetap kendati telah mendapat resusitasi cairan, dan disertai hipoperfusi jaringan.

Perbedaan Sindroma Sepsis dan Syok Sepsis


Sindroma sepsis Syok Sepsis
Takipneu, respirasi 20x/m Sindroma sepsis ditambah dengan
Takikardi 90x/m gejala:
Hipertermi 38 C Hipotensi 90 mmHg
Hipotermi 35,6 C Tensi menurun sampai 40 mmHg dari
Hipoksemia baseline dalam waktu 1 jam
Peningkatan laktat plasma Membaik dengan pemberian cairan
Oliguria, Urine 0,5 cc/kgBB dalam 1 jam danpenyakit shock hipovolemik, infark
miokard dan emboli pulmonal sudah
disingkirkan

2.3 Epidemiologi
Dalam kurun waktu 23 tahun yang lalu bakterimia karena infeksi bakteri gram negatif di
AS yaitu antara 100.000-300.000 kasus pertahun, tetapi sekarang insiden ini meningkat antara
300.000-500.000 kasus pertahun. Shock akibat sepsis terjadi karena adanya respon sistemik pada
infeksi yang seirus. Walaupun insiden shock sepsis ini tak diketahui namun dalam beberapa
tahun terakhir ini cukup tinggi Hal ini disebabkan cukup banyak faktor predisposisi untuk
terjadinya sepsis antara lain diabetes melitus, sirhosis hati, alkoholisme, leukemia, limfoma,
keganasan, obat sitotoksis dan imunosupresan, nutrisi parenteral dan sonde, infeksi traktus
urinarius dan gastrointestinal. Di AS syok sepsis adalah penyebab kematian yang sering di ruang
ICU.

2.4 Etiologi Syok Septic


Shock sepsis dapat disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif 70% (pseudomonas
auriginosa, klebsiella, enterobakter, echoli, proteus). Infeksi bakteri gram positif 20-40%
(stafilokokus aureus, stretokokus, pneumokokus), infeksi jamur dan virus 2-3% (dengue
hemorrhagic fever, herpes viruses), protozoa (malaria falciparum). Sedangkan pada kultur yang
sering ditemukan adalah pseudomonas, disusul oleh stapilokokus dan pneumokokus. Shock
sepsis yang terjadi karena infeksi gram negatif adalah 40% dari kasus, sedangkan gram positif
adalah 5-15% dari kasus.
Penyebab terbesar sepsis adalah bakteri gram (-) yang memproduksi endotoksin
glikoprotein kompleks sedangkan bakteri gram (+) memproduksi eksotoksin yang merupakan
komponen utama membran terluar dari bakteri menghasilkan berbagai produk yang dapat
menstimulasi sel imun. Sel tersebut akan terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi. Produk
yang berperan penting terhadap sepsis adalah lipopolisakarida (LPS).
LPS merangsang peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita yang terinfeksi.
Struktur lipid A dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam tubuh penderita. LPS
endotoksin gram (-) dinyatakan sebagai penyebab sepsis terbanyak, dia dapat langsung
mengaktifkan sistme imun selular dan humoral, yang dapat menimbulkan perkembangan gejala
septikemia. LPS sendiri tidak mempunyai sifat toksik tetapi merangsang pengeluaran mediator
inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Makrofag mengeluarkan polipeptida, yang
disebut faktor nekrosis tumor (Tumor necrosis factor /TNF) dan interleukin 1 (IL-1), IL-6 dan
IL-8 yang merupakan mediator kunci dan sering meningkat sangat tinggi pada penderita
immunocompromise (IC) yang mengalami sepsis.

2.3 Faktor Resiko Syok Septic

1. Umur
- Pasien yang berusia kurang dari 1 tahun dan lebih dari 65 tahun
2. Pemasangan alat invasive
- Venous catheter
- Arterial lines
- Pulmonary artery catheters
- Endotracheal tube
- Tracheostomy tubes
- Intracranial monitoring catheters
- Urinary catheter
3. Prosedur invasive
- Cystoscopic
- Pembedahan

4. Medikasi/Therapeutic Regimens
- Terapi radiasi
- Corticosteroids
- Oncologic chemotherapy
- Immunosuppressive drugs
- Extensive antibiotic use
5. Underlying Conditions
- Poor state of health
- Malnutrition
- Chronic Alcoholism
- Pregnancy
- Diabetes Melitus
- Cancer
- Major organ disease – cardiac, hepatic, or renal dysfunction

2.4 Patofisiologi Syok Septic


Respon inflamasi sistemik timbul bila benda asing di dalam darah atau jaringan diketahui
oleh tuan rumah. Respon ini bertujuan untuk menetralisir mikroorganisme dan produknya sampai
bersih, tetapi dapat terjadi efek negative pada tuan rumah, terutama kerusakan jaringan. Sitokin
proinflamasi dan antiinflamasi yang diaktifkan di ruang intravascular melalui kehadiran material
mikroba mempunyai efek merusak. Respon inflamasi yang berlebihan berperan terhadap
gangguan hemodinamik dan iskemia jaringan dan berakhir sebagai multiple organ dysfunction.
Patofisiologi sepsis adalah complex karena memberikan efek pada hemodinamik. Faktor
koagulasi, respon kekebalan, dan proses metabolik berkaitan dengan serangkaian reaksi biokimia
yang distimulasi mediator endogen. Produksi mediator endogen dirangsang oleh endotoksin,
suatu lipopolisakarida yang merupakan bagian dari dinding sel bakteri gram-negatif.
Endotoksin dilepaskan dan memulai kegiatannya setelah bakteri telah dihancurkan oleh
sistem kekebalan tubuh inang atau dengan terapi antibodi. Oleh karena itu, sepsis dapat terjadi
meskipun bakteri tidak lagi beredar pada sirkulasi intravaskular. Bakteri Gram positif tidak
menghasilkan endotoksin. Namun, mediator kimia endogen dari respon sepsis diaktifkan dalam
gram sepsis positif. bakteri Gram positif, jamur dan virus dapat menghasilkan respon inflamasi
sistemik yang mirip dengan sepsis gram negatif, walaupun biasanya tidak parah.
Meskipun tidak adanya endotoksin dalam beberapa bentuk sepsis, efek endotoksin dapat
digunakan sebagai model untuk menjelaskan perubahan physiologyc terlihat pada SIRS, sepsis
dan syok septik.

Pengaruh endotoksin
Endotoksin mengaktifkan jalur klasik dan alternatif. C3a dan C5a adalah produk utama
komplemen protein yang diproduksi. Mediator ini menghasilkan vasodilatasi melalui pelepasan
histamin dan meningkatkan permeabilitas kapiler, yang menyebabkan perpindahan cairan ke
interstisial.
Perpindahan cairan ke interstisial juga disebabkan oleh vasodilatasi dan perubahan
permiabelitas yang disebabkan oleh endotoksin / reaksi mediator lain. Contoh bradikinin,
prostaglandin, dan leukotrien metabolisme. Perpindahan cairan dari intravaskuler ke ruang
interstisial menyebabkan terjadinya hypovolemia, penurunan perfusi jaringan, dan hipoksia
jaringan.
Perfusi jaringan juga berkurang melalui pembentukan emboli dalam mikrosirkulasi.
Koagulasi dipicu oleh endotoksin, dengan mengaktifkan jalur koagulasi intrinsik , melalui faktor
Hageman. Koagulasi lebih lanjut disebabkan oleh komplemen / platelet prostaglandin dengan
meningkatkan platelet aggregation dan aktivasi platelet factor. platelet factor diproduksi dan
distimulasi oleh faktor lain Tumor nekrosis mediator endogen (TNF, cachectin). Proses biokimia
yang diaktivasi oleh endotoksin digambarkan pada tabel 1.

Tabel 1
Proses Biokimia yang dipacu oleh endotoksin dalam sepsis dan SIRS

Proses Mediator Efek


Aktivasi jalur klasik dan C3a dan C5a Vasodilatasi
alternatif Peningkatan permeabelitas
kapiler
Aktivasi histamine
Kemotaksis oleh leukosit
Platelet agregasi
Aktivasi intrinsic koagulasi Hageman factor (factor XII) Koagulasi intravaskular
Aktivasi kallikrein- Bradikinin Vasodilatasi
bradikinin Peningkatan permeabelitas
kapiler
Aktivasi metabolism Prostaglandin Vasodilatasi
arachidonic acid Leukotrien Peningkatan permeabelitas
kapiler
Platelet agregasi
Bronkokonstriksi
Depressi myokardial
Produksi Makrofag oleh Tumor nekrosis factor Intravascular koagulasi
sitokin (TNF) Neutrofil agregasi
Interleukin 1 Menimbulkan perusakan
dan fagosit endotel sel dan
adesi oleh Pmn
Menghasilkan proteolitik
enjim
Penurunan aktivitas lipase
Demam
Pengeluaran hormone Endorphin, ACTH Vasodilatasi
pituitari Hipotensi
Hiperglikemia
Sumber : Bone,RC

Tumor necrosis factor

TNF dianggap sebagai mediator utama pada sepsis dan SIRS. Endotoksin merangsang
makrofag untuk menghasilkan TNF dan sitokin lainnya, seperti interleukin 1, interferon dan
interleukin 6. TNF memiliki efek langsung dan juga menguatkan reaksi mediator lainnya, seperti
cascade koagulasi dan produksi leukotriene.

TNF secara langsung meracuni sel-sel endotel. Selain itu, kerusakan sel juga meningkat
akibat aktivasi TNF pada sel polymorphonuclear (PMNs), melalui phagocytize sel endotel, dan
melalui pelepasan TNF promored enzim proteolitik. TNF juga terlibat dalam metabolisme
derangements. Hal ini berkaitan dengan hubungan TNF dengan penurunan aktivitas lipase
dengan mencegah penyerapan dan penyimpanan triglyserides.

Efek metabolik
Beberapa penyimpangan metabolik terlihat selama respon septik. Hypermetabolic,
Hiperglikemi, katabolik terjadi sebagai akibat dari respon stres (rilis cathecolamine), endotoksin
menstimulasi adrenocoticotropic hormon (ACTH) rilis dan TNF menyebabkan penurunan
aktivitas enzim lipase. Glukosa, lemak. dan metabolisme protein berubah. Serum glukosa
meningkat terkait dengan peningkatan produksi glukosa hepatik dan resistensi insulin perifer.
Lypolisis dan katabolisme Protein ditinagkatkan. katabolik, ditambah dengan perfusi terganggu
dan hipoksia jaringan, berkontribusi terhadap kerusakan sel dan organ.
Empat perubahan patofisiologi yang utama terjadi pada syok septik adalah, depresi
miokard, vasodilatasi masif, maldistribution volume intravaskuler dan pembentukan
microemboli (gambar 1). Depresi miokard terjadi bila kekuatan kontraksi ventrikel menurun
akibat dari mediator biokimia, termasuk yang terlibat di dalamnya adalah faktor depresi miokard,
endotoksin, tumor nekrosis faktor, endorfin, produk komplemen dan leukotrien. vasodilatasi
masif dan meningkatnya permeabilitas kapiler menyebabkan menurunnya jumlah darah kembali
ke jantung (preload). Penurunan afterload karena vasodilatasi terjadi akibat pelepasan mediator
seperti bradikinin, endorphions, produk komplemen, histamin dan prostaglandin. Meskipn
volume plasma normal pada fase awal syok septik, akan menjadi maldistributed selama shock
berlangsung karena peningkatan permeabilitas kapiler, vasokonstriksi selektif, dan oklusi
vaskuler. Peningkatan permeabilitas kapiler memungkinkan protein dan cairan bergeser ke
kompartemen interstisial dan intacellular. Tetapi tidak semua vaskular vasodilatasi. Stimulasi
sistem saraf simpatik dan prostaglandin dan mediator biokimia lainnya menyebsdabkan
vasokonstriksi selektif dalam sirkulasi paru, ginjal, dan splancnic.
Aktivasi dari sistem pembekuan dan agregasi neutrofil menyebabkan pembentukan
microemboli yang kemudian menutupi pembuluh darah kecil, menyebabkan beberapa jaringan
vaskular untuk menerima darah lebih dari yang mereka butuhkan, sementara yang lain menerima
terlalu sedikit. Maldistribution darah ini menyebabkan hipoksia dan kurangnya dukungan gizi ke
beberapa daerah, menyebabkan disfungsi seluler yang akhirnya menyebabkan kematian sel.

ENDOTOXIN

Production, Release and/or activation of endogenous Mediators

Gambar 1 Patofisiologi syok septic


↑ Capillary Vasodilation
Permiability

Platelet Clotting
Aggregation Cascade

Shunting of Fluids ENDOTO


intravascular to Interstitial XIN
Production, Release and/or activation of
endogenous Mediators
Distributional Hypovolemia
↑ Intravascular Microemboli
Vasodilati
Capillary on Clottin
Platelet
Permiab Aggregat g Hypermetobolism &
Shunting of Fluids
ility ion Casca Metabolic
intravascular to
Distributional Intravascular de Derangements
Interstitial
Hypovolemia
Decreased Tissue Microemboli Hypermetobolis
Perfusion m & Metabolic
Decreased
Derangements
Catabolism of
Tissue Catabolism
Protein Direct
Direct Endothelial
Lactic
Lactic AcidosisPerfusion of Protein
Endothelial
Cell Damage
Acidosis
Cellular Cell Damage
Death
Multiple Organ
Cellular Death Failure
Deat
h

Multiple Organ Failure

Death
Tahap awal syok septik dicirikan oleh fase hiperdinamik atau hangat sebagai mekanisme
kompensasi diaktifkan. Selama fase ini, vasodilatasi besar terjadi di pembuluh vena dan arteri,
menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik. Dilatasi vena menurunkan arus vena
kembali ke jantung dan menurunkan preload. Dilatasi arteri menurunkan afterload. vasodilatasi
ini menyebabkan penurunan tekanan darah, tekanan nadi melebar dan hangat, kulit flused.
peningkatan denyut jantung merupakan kompensasi untuk mengimbangi hipotensi, peningkatan
asidosis metabolik, terstimulasinya sistem saraf simpatik, dan adrenal. ventilasi / perfusi yang
tidak seimbang terjadi di paru-paru sebagai akibat dari vasokonstriksi paru sehingga frekuensi
napas akan meningkat untuk mengimbangi hipoksemia tersebut. Crackles terjadi karena
permeabilitas kapiler membran paru meningkat sehingga menyebabkan edema paru. Hasil
penilaian gas darah arteri menunjukkan alkalosis pernafasan, asidosis metabolik, dan
hipoksemia. Tingkat kesadaran menurun, pasien menjadi disorientasi, bingung, agresif, atau lesu.
Suhu tubuh pasien meningkat sebagai reaksi terhadap phyrogen yang dibebaskan oleh
mikroorganisme yang menyerang. Ketika proses syok septik terus berlangsung, kondisi pasien
memburuk dan masuk ke dalam fase hypodynamic, dengan penurunan output jantung dan
hipotensi. Hasil dari fase kegagalan ventrikel yang disebabkan oleh hipoksemia miokard, akibat
faktor depresan miokardial, dan asidosis, untuk menghasilkan peningkatan afterload. Takikardia
terjadi karena tubuh berusaha untuk mengkompensasi penurunan output jantung dan hipotensi.
vasokonstriksi perifer menyebabkan peningkatan tekanan resistensi vaskular sistemik untuk
mengimbangi penurunan tekanan darah . Kulit pasien menjadi pucat, dingin dan lembap. Pada
Tabel 2, mencantumkan gejala dan temuan klinis yang terlihat pada syok hiperdinamik dan syok
hipodinamik.

Tabel 2.Manifestasi klinis dari syok septic

Syok Hiperdinamik Syok hipodinamik


Hipotensi Hipotensi
Takikardia Takikardia
Takipnea (inspirasi dalam) Takipnea (inspirasi dangkal)
Alkalosis respiratorik Asidosis metabolic
Curang jantung tinggi, TVS Curah jantung rendah, TVS
rendah tinggi
Kulit hangat, kemerahan Kulit dingin, pucat
Hyperthermia/hypothermia Hypothermia
Perubahan status mental Status mental memburuk
Poliuria Disfungsi organ dan selular
(oliguria, KID, ARDS)
Sel darah putih meningkat Sel darah putih menurun
Hiperglikemia Hipoglikemia
Sa O2 80% Sa O2 < 60%

2.5 Manifestasi Klinik Syok Septic

1. Manifestasi Kardiovaskular
a. Perubahan sirkulasi
Karakteristik hemodinamik utama dari syok septic adalah rendahnya tahanan vaskular
sitemik (TVS) ,sebagian besar karena vasodilatasi yang terjadi Sekunder terhadap efek-efek
berbagai mediator ( prostaglandin, kinin, histamine dan endorphin). Mediator-mediator yang
sama tersebut juga dapat menyebabkan meningkatnya permeabelitas kapiler, mengakibatkan
berkurangnya volume intravascular menembus membrane yang bocor, dengan demikian
mengurangi volume sirkulasi yang efektif. Dalam berespon terhadap penurunan TVS dan volume
yang bersirkulasi, curah jantung (CJ), biasanya tinggi tetapi tidak mencukupi untuk
mempertahankan perfusi jaringan dan organ. Aliran darah yang tidak mencukupi sebagian
dimanifestasikan oleh terjadinya asidemia laktat.
Dalam hubungnnya dengan vasodilatasi dan TVS yang rendah, terjadi maldistribusi aliran
darah. Mediator-mediator vasoaktif yang dilepaskan oleh sistemik menyebabkan vasodilatasi
tertentu dan vasokonstriksi dari jaringan vascular tertentu, mengarah pada aliran yang tidak
mencukupi ke beberapa jaringan sedangkan jaringan lainnya menerima aliran yang berlebihan.
Selain itu terjadi respon inflamasi massif pada jaringan, mengakibatkan sumbatan kapiler karena
adanya agregasi leukosit dan penimbunan fibrin, dan berakibat kerusakan organ dan endotel yang
tidak dapat pulih.

b. Perubahan miokardial
Kinerja miokardial mengalami gangguan, dalam bentuk penurunan fraksi ejeksi
ventricular dan juga gangguan kontraktilitas. Factor depresan miokardial, yang berasal dari
jaringan pankreatik iskemik, adalah salah satu penyebabnya. Terganggunya fungsi jantung juga
diakibatkan oleh keadaan metabolic abnormal yang diakibatkan oleh syok, yaitu adanya asidosis
laktat, yang menurunkan responsivitas terhadap katekolamin.
Dua bentuk pola disfungsi jantung yang berbeda terdapat pada syok septic. Bentuk
pertama dicirikan dengan curah jantung yang tinggi dan TVS yang rendah, kondisi ini disebut
dengan syok hiperdinamik. Bentuk kedua ditandai dengan curah jantung yang rendah dan
peningkatan TVS disebut sebagai syok hipodinamik.
Gambar 2. Cardiovascular changes associated with septic shock and the effects of fluid
resuscitation.
A. Fungsi normal kardiovaskular, B. respon kardiovaskular pada syok septic, C.kompensasi
resusitasi cairan. (Sumber : Dellinger RP: Cardiovascular management of septic shock. Crit Care
Med 2003;31:946-955.)

B. Manifestasi Hematologi
Bakteri dan toksinnya menyebabkan aktivasi komplemen. Karena sepsis melibatkan
respon inflamasi global, aktivasi komplemen dapat menunjang respon-respon yang akhirnya
menjadi keadaan yang lebih buruk ketimbang melindungi.
Komplemen menyebabkan sel-sel mast melepaskan histamine. Histamine merangsang
vasodilatasi dan meningkatnya permeabelitas kapiler. Proses ini selanjutnya menyebabkan
perubahan sirkulasi dalam volume serta timbulnya edema interstisial.
Abnormalitas platelet juga terjadi pada syok septic karena endotoksin secara tidak
langsung menyebabkan agregasi platelet dan selanjutnya pelepasan lebih banyak bahan-bahan
vasoaktif (serotonin, tromboksan A). platelet teragregasi yang bersirkulasi telah diidentifikasi
pada mikrovaskular, menyebabkan sumbatan aliran darah dan melemahnya metabolism selular.
Selain itu endotoksin juga mengaktivasi system koagulasi, dan selanjutnya dengan menipisnya
factor-faktor penggumpalan, koagulapati berpotensi untuk menjadi koagulasi intravaskular
disemanata.

C. Manifestasi Metabolik
Gangguan metabolic yang luas terlihat pada syok septic. Tubuh menunjukkan
ketidakmampuan progresif untuk menggunakan glukosa, protein, dan lemak sebagai sumber
energy. Hiperglikemia sering dijumpai pada pada awal syok karena peningkatan glukoneogenesis
dan resisten insulin, yang menghalangi ambilan glukosa ke dalam sel. Dalam berkembangnya
syok, terjadi hipoglikemia karena persedian glikogen menipis dan suplai protein dan lemak
perifer tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolic tubuh.
Pemecahan protein terjadi pada syok septic, ditunjukkan oleh tingginya eksresi nitrogen
urine. Protein otot dipecah menjadi asam-asam amino, yang sebagian digunakan untuk oksidasi
dsan sebagian lain dibawa ke hepar untuk digunakan pada proses glukoneogenesis. Pada syok
tahap akhir, hepar tidak mampu menggunakan asam-asam amino karena disfungsi metaboliknya,
dan selanjutnya asam amino tersebut terakumulasi dalam darah.
Dengan keadaan syok berkembang terus, jaringan adipose dipecah untuk menyediakan
lipid bagi hepar untuk memproduksi energi, metabolism lipid menghasilkan keton,yang
kemudian digunakan pada siklus kreb (metabolism oksidatif), dengan demikian menyebabkan
pembentukan laktat.
Pengaruh dari pada kekacauan metabolik ini menyebabkan sel menjadi kekurangan
energi. Deficit energi menyebabkan timbulnya kegagalan banyak organ Pada keadaan multiple
organ failure terjadi koagulasi, respiratory distress syndrome, payah ginjal akut, disfungsi
hepatobiller, dan disfungsi susunan saraf pusat seperti terlihat pada tabel 3 (Dobb, 1991).
Pada penelitian para ahli didapatkan bahwa tambah banyak disfungsi organ akan
meningkatkan angka mortalitas akibat sepsis. Pada susunan saraf pusat karena terganggunya
permeabelitas kapiler menyebabkan terjadinya odem otak peninggian tekanan intrakranial akan
menyebabkan terjadinya destruksi seluler atau nekrosis jaringan otak (Plum, 1983). Tetapi defisit
neurologik fokal dapat terjadi akibat
meningkatnya aggregasi platelet dan eritrosit sehingga menyumbat aliran darah serebral.
Sedangkan DIC dapat mengakibatkan terjadinya perdarahan intra serebral.

2. Manifestasi Pulmonal
Endotoxin mempengaruhi paaru-paru baik langsung maupun tidak langsung. Respon
pulmonal awal adalah bronkokonstriksi, mengakibatkan hipertensi pulmonal dan peningkatan
kerja pernapasan. Neutrofil teraktifasi dan menginviltrasi jaringan pulmonal dan vaskulatur,
menyebabkan akumulasi air ekstravaskular paru-paru (edema pulmonal). Neutrofil yang
teraktivasi menghasilkan bahan-bahan lain yang mengubah integritas sel-sel parenkim pulmonal,
mengakibatkan peningkatan permeabelitas. Dengan terkumpulnya cairan di interstisium,
komplians paru berkurang, terjadinya gangguan pertukaran gas dan terjadi hipoksemia.

2.6 Diagnosis Syok Septic

Diagnosis awal sepsis atau syok septik tergantung pada kepekaan dokter untuk menilai
pasien dengan dan tanda awal yang tidak spesifik seperti takipnnea, dispnea, takikardia dengan
keadaan hiperdinamik, vasodilatasi perifer, instabilitas tempratur, dan perubahan keadaan mental.
Keadaan seperti ini penting di perhatikan pada seperti pada wanita – wanita dengan resiko tinggi
seperti pyelonefritis, korioamnionitis, endometritis, abortus septik, atau telah menjalani prosudur
operasi emergensi. Diagnosa dan penanganan awal ini sangat menentukan keberhasilan hidup
pasien.
Tanda yang tampak tergantung dari fase syok septik dan tipe kerusakan organ yang
terjadi, tetapi hipotensi selalu ditemukan. Kebanyakan pasien mengalami peningkatan temperatur
dan lekosit dengan pergeseran ke kiri, tetapi pada beberapa pasien terjadi penurunan temperatur
dan kadar leukosit dibawah normal. Sebagai akibat dari keadaan hiperdinamik jantung, terjadi
gejala gejala pada jantung seperti iskemia, gagal jantung kiri, atau aritmia. Konsekuansi klinik
dari DIC adalah perdarahan, trombosis dan hemolisis mikroangiopati. Karena pada syok sepsis
potensi terjadinya disfungsi ginjal dan hipovolemia, manifestasi klinik dapat berupa oligouria,
hematuria dan proteinuria.
Dalam hal membantu menegakkan diagnosa sepsis atau syok septik, selain melalui
pemeriksaan fisik, juga diperlukan pemeriksaan rongen dan kultur. Dua kuman yang sangat
virulen dengan angka mortalitas yang tinggi adalah Streptokokus pyogens ( group A streptokokus
) dan Clostridium Sordeli.

Tabel 3.
Kriteria Diagnosis Severe sepsis/Syokseptik

Variable Umum
Temperature >38.3 c atau < 36 c
HR > 90x/mnt
Takipnea
Penurunan status mental
Signifikan edema > 20 ml/kg dalam 24 jam
Hiperglikemia (>120 mg/dl) pada pasien non diabetes

Variabel inflamasi
WBC >12000,<4000 mm
C reaktif protein meningkat
Procalcitonin plasma meningkat
Variabel heodinamik
Sistolik BP <90 mmHg/
MAP < 70 mmHg
SVO2 > 70 %

Variabel perfusi jaringan


Laktat serum >1mmol/L
CRT> 2 detik
Variable gangguan organ
Pa O2/FiO2 <300
Urine output < 0,5 ml/kgbb/jam
Kreatinin > 0,5 mg/dl
INR> 1.5 atau aPTT>60 detik
Platelet <100000mm
Hiperbilirubin > 4 mg/dl
Sumber : Levy MN et all:2001,Crit Care Med 31:1250,2003.

2.7 Penatalaksanaan Syok Septic

Early goal directed treatment, merupakan tatalaksana syok septic, dengan pemberian
terapi yang mencakup penyesuaian beban jantung, preload, afterload dan kontraktilitas dengan
oxygen delivery dan demand. Protocol tersebut mencakup pemberian cairan kristaloid dan koloid
500 ml tiap 30 menit untuk mencapai tekanan vena sentral (CVP) 8-12 mmHg. Bila tekanan
arteri rata-rata (MAP) kurang dari 65 mmHg, diberikan vasopressor hingga >65 mmHg dan bila
MAP > 90 mmHg berikan vasodilator. Dilakukan evaluasi saturasi vena sentral (Scv O2), bila
ScvO2 <70 %, dilakukan koreksi hematokrit hingga di atas 30 %. Setelah CVP, MAP dan
hematokrit optimal namun scvO2 <70%, dimulai pemberian inotropik. Inotropik diturunkan bila
MAP < 65 mmHg, atau frekuensi jantung >120x/menit. (Gambar 2)

Gambar 3. Algoritma early goal directed therapy

Sumber : Rivers 2001


Tata laksana syok sepik yang biasa digunakan pada Advanced Cardiac Life lSupport
(ACLS) and Advanced Trauma Life Support (ATLS), meliputi 9 tahap sebagai berikut (gambar
4):

Stages ABC: Immediate Stabilization

Lakukan dengan segera upaya resusitasi untuk mempertahankan patensi dan keadekuatan
jalan napas, dan memastikan oksigenasi dan ventilasi. manajemen Penanganan hipotensi pertama
kali adalah dengan resusitasi volume secara agresif, baik dengan kristaloid isotonik, atau dalam
kombinasi dengan koloid. Jangan mengganggu denyut jantung: karena takikardia adalah
manuver kompensasi

Airway harus dikontrol dan pasien diberikan oksigen dengan menggunakan ventilasi
mekanik . Hal ini biasanya membutuhkan intubasi endotrakeal dan ventilator. Tujuan dari semua
upaya resusitasi adalah untuk menjaga pengiriman oksigen tetap adekuat. Indikasi untuk intubasi
dan ventilasi mekanik adalah: kegagalan jalan napas, adanya perubahan status mental, kegagalan
ventilasi dan kegagalan untuk oksigenasi. Pada sepsis, oksigen tambahan hampir selalu
diperlukan. Hal ini disebabkan karena adanya peningkatan kebutuhan oksigen oleh otot-otot
pernafasan,bronkokonstriksi dan asidosis; penggunaan ventilasi mekanis bertujuan untuk
mengatasi hal tersebut.

Stage C: re-establishing the circulation

Hipotensi disebabkan oleh depresi miokard, vasodilatasi extravascation patologis dan sirkulasi
volume karena kebocoran kapiler luas. Upaya pernafasan awal adalah upaya untuk memperbaiki
hipovolemia absolut dan relatif dengan mengisi pohon vaskular. Ada bukti yang bagus bahwa
tujuan awal diarahkan resusitasi volume agresif meningkatkan hasil pada sepsis

Pemberian cairan resusitasi (kristaloid) seperti salin normal atau laktat Ringer.
Pemberian cairan dalam jumlah besar dapat menimbulkan redistribusi ke interstisial
(ekstravaskular) sehingga pasien dapat menjadi sangat edematous . Pemberian resusitasi
kristaloid dapat berhubungan dengan acidemia, karena hyperchloremia (disebut "asidosis
dilutional"). Cairan Ringerlaktat tidak aman diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi hati
parah.
• Step D = Detective work - history, physical, immediate investigation

Kaji riwayat, lakukan pemeriksaan fisik pada pasien, dan mengukur sejauh mana sepsis:
suhu, jumlah sel putih, asam-basa status dan budaya. Pemilihan antimikroba ditentukan oleh
sumber infeksi dan perkiraan terbaik dari organisme yang terlibat.

• Step E = Step E: Empiric Therapy – Antibiotics and Activated Protein C

Pemilihan antibiotik tertentu tergantung pada:

- Hasil kultur (menentukan jenis dari bakteri dan resistensi terhadap mikroba)
- Status immune pasien (pasien dengan neutropenia dan penggunaan obat
immunosuppressive ), alergi, kelainan fungsi renal dan hepar.
- ketersediaan antibiotik, pola resistansi rumah sakit, dan variabel klinis pasien diperlakukan
- Pemberian activated protein C bila ada indikasiActivated protein C memodulasi inflamasi
dan koagulasi baik pada sepsis berat, dan mengurangi kematian. Activated protein C
(drotrecogin alfa) merupakan protein endogen yang mempromosikan fibrinolisis dan
menghambat trombosis dan inflamasi.

Step F = Find and control the source of infection

Respon inflamasi sistemik terjadi bersamaan dengan infeksi persisten: Anda harus
menemukan sumber dan melakukan kontrol. Ini merupakan pekerjaan detektif yang lebih luas .

Pada tahap awal detektif, serangkaian kultur dilakukan sebagai bagian dari penyelidikan
sumber infeksi. Pemeriksaan fisik lebih lanjut perlu dilakukan, yang biasanya akan menunjukkan
situs infeksi, tes diagnostic lain yang lebih mahal-luas mungkin perlu dilakukan, seperti
tomografi terkomputerisasi. Dengan cara ini 95 % dari 100 sumber dapat dilokalisasi dan
dikendalikan.

Step G = Gut: feed it to prevent villus atrophy and bacterial translocation

- Pemberian nutrisi untuk mencegah atrophy villus dan bakterial translokasi


- Pencegahan atrofi vili mukosa usus dan bakteri translokasi melibatkan restorasi aliran
darah splanknik dan gizi lumen usus.

- Efek obat vasoaktif terhadap aliran darah ke usus. Lapisan usus membutuhkan oksigen,
dari darah, dan nutrisi, agar lumen usus tetap utuh. Keberadaan lapisan ini penting
sebagai penghalang terhadap translokasi bakteri
(1). Pemberian nutrisi enteral mempertahankan hal tersebut. Strategi perlindungan telah
muncul: menggabungkan vasodilator splanknik, seperti dobutamine, dengan makan
Immunonutrition
(2) strategi terkini tentang pemberian nutrisi enteral yaitu dengan menggabungkan glutamin,
omega-3 asam lemak, arginin dan ribonucleotides dan zat makan konvensional. Ada
beberapa bukti bahwa formula ini dapat mengurangi risiko infeksi.

Step H = Hemodynamics: assess adequacy of resuscitation and prevention of organ failure.

- Kaji keadekuatan resusitasi dan pencegahan gagal organ


- Kecukupan resusitasi dievaluasi dengan melihat pada perfusi organ - menggunakan
pemeriksaan klinis dan interpretasi variabel. Pengukuran tekanan darah langsung
(menggunakan jalur arteri) adalah penting untuk membimbing terapi, dan ada hubungan
yang kuat antara pemulihan tekanan darah dan output urin. Tekanan vena sentral berguna
untuk memantau status volume, tapi nilai kecil dalam hal perfusi organ. Analisa gas darah,
pH, defisit dasar dan laktat serum adalah panduan yang berguna dari semua perfusi tubuh
dan metabolisme anaerobik. Selama proses resusitasi, harus bertahap mengurangi
asidosisnya dan defisit dasar dari laktat dalam serum.

• Step I = Iatrogenic Iatrogenic injuries and complications

Monitor pemberian analgesia, sedasi dan psikospiritual pasien, kontrol gula darah
dan monitor adanya adrenal insufisiensi.

Pasien sakit kritis di unit perawatan intensif memiliki kondisi yang rentan
terhadap sumber infeksi . Tim kesehatan harus berupaya untuk melakukan tindakan yang
akan memperburuk kondisi pasien, misalkan trombosis vena dalam (DVT), luka tekanan.
Selain itu, penggunaan endotrakealtube dapat menjadi jalan bagi organisme untuk
menginfeksi paru-paru. Penggunaan neuromuscular blocking agents dan steroids dapat
menjadi factor predisposisi terjadinya polymiopati. Semua intervensi yang diberikan dapat
memberikan efek komplikasi pada pasien. Pemasangan central line dapat menimbulkan
pneumothoraks, emboli udara. Sehingga perlu dikaji betul manfaat dari semua intervensi
yang dilakukan.

 Step J = Justify your therapeutic plan


- Lihat keefektifan rencana terapi dan menilai kembali therapy yang sudah dilakukan
- Apakah terapi tersebut masih diperlukan. Jika hemodinamik pasien sudah stabil dan
sumber infeksi telah dikendalikan, adalah tidak mungkin bahwa kateter arteri paru-paru
akan terus menjadi manfaat, bahkan dapat memberikan risiko negatif. Spektrum terapi
antimikroba harus dipersempit, sesuai dengan hasil laboratorium. Secara agresif upaya
untuk melakukan penyapihan penggunaan vasopressor dan ventilasi mekanik harus
dilakukan. Jika pasien tidak melakukan perbaikan secara klinis, Anda harus
mempertanyakan mengenai sumber kontrol lain yang belum teridentifikasi

Step KL = Keep Looking. Have we adequately controlled the source? Are there secondary
sources of infection/inflammation.

- Monitor segala sesuatu yang mungkin terjadi, apakah kita sudah menguasai sumber
infeksi? Apakah ada sumber-sumber sekunder infeksi / peradangan.
- Tim perawatan harus selalu waspada terhadap sumber kontrol. Hal-hal yang harus
diwaspadai misalkan pasien tetap tidak stabil atau jika tanda-tanda infeksi baru muncul ,
jumlah sel darah putih meningkat . Ingatlah infeksi baru cenderung datang dari
pernapasan, saluran kemih. Saluran cerna tidak boleh dilupakan karena dapat beresiko
terjadinyakolesistitis, perforasi tukak lambung.

Step MN = Metabolic and Neuroendocrine control. Tight control of blood sugar. Address
adrenal insufficiency. Think about early aggressive dialysis in renal failure

Kontrol ketat gula darah. Monitor adanya insufisiensi adrenal. Lakukan dialisa bila
ditemukan adanya gagal ginjal akut
Sepsis adalah penyakit multisistem dipengaruhi oleh respon neuroendokrin.
Hiperglikemia tidak dapat dihindari dan ada bukti yang bagus bahwa kontrol gula darah
meningkatkan harapan hidup.
Gambar 4. Stepwise approach to sepsis and septic shock

Dalam melakukan evaluasi pasien sepsis, diperlukan ketelitian dan pengalaman dalam
mencari dan menentukan sumber infeksi, menduga patogen yang menjadi penyebab (berdasarkan
pengalaman klinis dan pola kuman di RS setempat), sebagai panduan dalam memberikan terapi
antimikroba empirik.

Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen penyebab infeksi,


mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan, terapi
antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi kegagalan organ atau renjatan. Vasopresor dan
inotropik, terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi imunologi
bila terjadi respons imun maladaptif host terhadap infeksi.

1. Resusitasi
Mencakup tindakan airway (A), breathing (B), circulation (C) dengan oksigenasi, terapi
cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan.
Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami hipoperfusi dalam 6
jam pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan
saturasi oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70%
dengan resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk
mencapai hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin (sampai maksimal 20
μg/kg/menit).

Banyak pasien syok sepsis terjadi penurunan volume intravaskuler, sebagai respon
pertama harus diberikan cairan jika terjadi penurunan tekanan darah. Untuk mencapai
cairan yang adekuat pemberian pertama 1 L-1,5 L dalam waktu 1-2 jam. Jika tekanan
darah tidak membaik dengan pemberian cairan maka perlu dipertimbangkan pemberian
vasopressor seperti dopamin dengan dosis 5-10 ug/kgBB/menit. Dopamin diberikan bila
sudah tercapai target terapi cairan, yaitu MAP 60mmHg atau tekanan sistolik 90-110
mmHg. Dosis awal adalah 2-5 μmg/Kg BB/menit. Bila dosis ini gagal meningkatkan
MAP sesuai target, maka dosis dapat di tingkatkan sampai 20 μg/ KgBB/menit. Bila
masih gagal, dosis dopamine dikembalikan pada 2-5 μmg/Kg BB/menit, tetapi di
kombinasi dengan levarterenol (noreepinefrin). Bila kombinasi kedua vasokonstriktor
masih gagal, berarti prognosisnya buruk sekali. Dapat juga diganti dengan
vasokonstriktor lain (fenilefrin atau epinefrin).
2. Eliminasi sumber infeksi
Tujuan: menghilangkan patogen penyebab, oleh karena antibiotik pada umumnya tidak
mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yang mengalami obstruksi dan implan
prostesis yang terinfeksi. Tindakan ini dilakukan secepat mungkin mengikuti resusitasi
yang adekuat.
3. Terapi antimikroba
Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan sepsis. Terapi antibiotik
intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui sepsis berat, setelah
kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas
melawan patogen bakteri atau jamur dan dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber
sepsis. Oleh karena pada sepsis umumnya disebabkan oleh gram negatif, penggunaan
antibiotik yang dapat mencegah pelepasan endotoksin seperti karbapenem memiliki
keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi yang hebat akibat
pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal multi organ.
Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data
mikrobiologi dan klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa
terapi kombinasi lebih baik daripada monoterapi.

Indikasi terapi kombinasi yaitu:


 Sebagai terapi pertama sebelum hasil kultur diketahui
 Pasien yang dapat imunosupresan, khususnya dengan netropeni
 Dibutuhkan efek sinergi obat untuk kuman yang sangat pathogen (pseudomonas
aureginosa, enterokokus)

4. Terapi suportif
a. Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan
kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.
b. Terapi cairan
 Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9%
atau ringer laktat) maupun koloid.
 Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik
melebihi tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
 Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila kadar
Hb rendah pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard dan
renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis masih
kontroversi antara 8-10 g/dL.
c. Vasopresor dan inotropic
Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian
cairan adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor diberikan mulai
dosis rendah dan dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60 mmHg atau tekanan
darah sistolik 90mmHg. Dapat dipakai dopamin >8μg/kg.menit,norepinefrin
0.03-1.5μg/kg.menit, phenylepherine 0.5-8μg/kg/menit atau epinefrin 0.1-
0.5μg/kg/menit. Inotropik dapat digunakan: dobutamine 2-28 μg/kg/menit,
dopamine 3-8 μg/kg/menit, epinefrin 0.1-0.5 μg/kg/menit atau fosfodiesterase
inhibitor (amrinone dan milrinone).
d. Bikarbonat
Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum bikarbonat <9
mEq/L dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.
e. Disfungsi renal
Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segera
diperbaiki dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor dan inotropik bila
diperlukan. Dopamin dosis renal (1-3 μg/kg/menit) seringkali diberikan untuk
mengatasi gangguan fungsi ginjal pada sepsis, namun secara evidence based
belum terbukti. Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan
hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu.
f. Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis,
glukoneogenesis), ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan produksi dan
penumpukan laktat dan kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi insulin.
Selain itu terjadi lipolisis, hipertrigliseridemia dan proses katabolisme protein.
Pada sepsis, kecukupan nutrisi: kalori (asam amino), asam lemak, vitamin dan
mineral perlu diberikan sedini mungkin.
g. Kontrol gula darah
Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat penurunan mortalitas
sebesar 10.6-20.2% pada kelompok pasien yang diberikan insulin untuk mencapai
kadar gula darah antara 80-110 mg/dL dibandingkan pada kelompok dimana
insulin baru diberikan bila kadar gula darah >115 mg/dL. Namun apakah
pengontrolan gula darah tersebut dapat diaplikasikan dalam praktek ICU, masih
perlu dievaluasi, karena ada risiko hipoglikemia.
h. Gangguan koagulasi
Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi dan
DIC (konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di sirkulasi).
Pada sepsis berat dan renjatan, terjadi penurunan aktivitas antikoagulan dan
supresi proses fibrinolisis sehingga mikrotrombus menumpuk di sirkulasi
mengakibatkan kegagalan organ. Terapi antikoagulan, berupa heparin,
antitrombin dan substitusi faktor pembekuan bila diperlukan dapat diberikan,
tetapi tidak terbukti menurunkan mortalitas.
Untuk masa mendatang pengobatan dengan antibodi monoklonal merupakan
harapan dan diharapkan dapat menurunkan biaya pengobatan dan dapat
meningkatkan efektifitas. Pada binatang percobaan pemberian TNF antibodi
hanya efektif bila diberikan sebagai profilak. Suatu studi preklinik dengan
antibodi CB0006 dan TNF antibodi lainnya dapat digunakan sebagai profilak dan
mungkin juga dapat digunakan untuk pengobatan walaupun terapeutic window-
nya sempit. Pemberian HA-1A Human monoclonal antibody sebaiknya
dipertimbangkan pada pasien sepsis yang penyebabnya dicurigai bakteri Gram
negative, terutama pada sumber infeksi saluran cerna dan saluran kemih yang
sering disebabkan kuman Gram negatif (Mansjoer, 2001).

i. Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison dengan dosis
50 mg bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan renjatan septik
menunjukkan penurunan mortalitas dibandingkan kontrol. Keadaan tanpa syok,
kortikosteroid sebaiknya tidak diberikan dalam terapi sepsis.

Pemberian kortikosteroid pada binatang percobaan yang dibuat sepsis dapat


menurunkan angka mortalitas. Pada suatu studi prospektif pada manusia
pemberian dosis tinggi 30 mg metil prednisolon/kgBB dan diikuti 5 mg/kgBB/jam
sampai 9 jam pada ke dua studi ini tidak didapatkan peningkatan angka mortalitas.
Pada penelitian yang lain juga didapatkan hasil yang sama dan hanya dapat
memperbaiki keadaan shock tetapi tidak memperbaiki angka mortalitas.
5. Modifikasi respons inflamasi
Anti endotoksin (imunoglobulin poliklonal dan monoklonal, analog lipopolisakarida);
antimediator spesifik (anti-TNF, antikoagulan-antitrombin, APC, TFPI; antagonis PAF;
metabolit asam arakidonat (PGE1), antagonis bradikinin, antioksidan (N-asetilsistein,
selenium), inhibitor sintesis NO (L-NMMA); imunostimulator (imunoglobulin, IFN-γ,
G-CSF, imunonutrisi); nonspesifik (kortikosteroid, pentoksifilin, dan hemofiltrasi).
Endogenous activated protein C memainkan peranan penting dalam sepsis: inflamasi,
koagulasi dan fibrinolisis. Drotrecogin alfa (activated) adalah nama generik dari bentuk
rekombinan dari human activated protein C yang diindikasikan untuk menurunkan
mortalitas pada pasien dengan sepsis berat dengan risiko kematian yang tinggi.
2.8 Prognosis
Keseluruhan angka kematian pada pasien dengan syok septik menurun dan sekarang rata-
rata 40% (kisaran 10 to 90%, tergantung pada karakteristik pasien). Hasil yang buruk
sering mengikuti kegagalan dalam terapi agresif awal (misalnya, dalam waktu 6 jam dari
diagnosa dicurigai). Setelah laktat asidosis berat dengan asidosis metabolik
decompensated menjadi mapan, terutama dalam hubungannya dengan kegagalan
multiorgan, syok septik cenderung ireversibel dan fatal.

BAB III
KESIMPULAN

Bila ada pasien dengan gejala klinis berupa panas tinggi, menggigil, tampak toksik,
takikardia, takipneu, kesadaran menurun dan oliguria harus dicurigai terjadinya sepsis
(tersangka sepsis).
Pada keadaan sepsis gejala yang nampak adalah gambaran klinis keadaan tersangka
sepsis disertai hasil pemeriksaan penunjang berupa lekositosis atau lekopenia,
trombositopenis, granulosit toksik, hitung jenis bergeser ke kiri, CRP (+), LED meningkat
dan hasil biakan kuman penyebab dapat (+) atau (-).
Keadaan syok sepsis ditandai dengan gambaran klinis sepsis disertai tanda-tanda syok
(nadi cepat dan lemah, ekstremitas pucat dan dingin, penurunan produksi urin, dan
penurunan tekanan darah).
Keadaan syok sepsis merupakan kegawatdaruratan klinik yang membutuhkan reaksi
cepat untuk menyelamatkan nyawa pasien. Terapi yang diberikan berupa resusitasi, eliminasi
sumber infeksi, terapi antimikroba, dan terapi suportif.
DAFTAR PUSTAKA

1. Dolan’s, 1996, Critical care nursing clinical management through the nursing process,
Davis Company, USA.
2. Emergency Nurse association, 2005, Manual of emergency care, Mobby, st Louis.
3. Hudak galo, 1996, keperawatan Kritis pendekatan holistic edisi IV, ECG, Jakarta.
4. Linda D, Kathleen. M Stacy, Mary E,L, 2006, Critical care nursing diagnosis and
management, Mosby, USA.
5. Monahan, Sand, Neighbors, 2007.Phipps Medical surgical nursing, Mosby, st Louis.
6. Persatuan Dokter spesialis penyakit dalam Indonesia , 2006, Buku ajar ilmu penyakit
dalam, PDSPDI. Jakarta.
7. Franklin C M, Darovic G O, Dan B B. Monitoring the Patient in Shock. Dalam buku:
Darovic G O, ed, Hemodynamic Monitoring: Invasive and Noninvasive Clinical
Application. USA : EB. Saunders Co. 1995 ; 441 - 499.
8. Schwarz A, Hilfiker ML.Shock. update October 2004
http:/www/emedicine.com/ped/topic3047
9. Patrick D. At a Glance Medicine, Norththampon : Blackwell Science Ltd, 2003
10. Bartholomeusz L, Shock, dalam buku: Safe Anaesthesia, 1996; 408-413

Anda mungkin juga menyukai