Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam hidup sehari-hari, kita senantiasa dihadapkan pada pertimbangan-
pertimbangan etika dalam mengambil keputusan atau untuk tidak mengambil
keputusan. Ada beberapa hal yang berhubungan dalam pengambilan
keputusan yang etis:
• Pertimbangan tentang apa yang benar dan apa yang salah
• Sering menyangkut pilihan yang suka
• Tidak mungkin dihindari
• Dipengaruhi oleh norma, situasi, iman, tabiat dan lingkungan sosial
Sehingga dapat diketahui pengambilan keputusan secara etis berdasarkan
pemikiran yang sistematis tentang kelakuan lahir serta motivasi dan keadaan
batin yang mendasarinya yaitu etika berkaitan dengan tabiat atau watak atau
karakter manusia dan perbuatan yang dilakukan berdasarkan karakternya itu.
Ketika prinsip-prinsip atau peraturan tertentu yang terkandung dalam
kode etik tidak sepenuhnya berlaku untuk masalah tertentu yang dihadapi oleh
seseorang, para pembuat keputusan dapat berpedoman pada prinsip-prinsip
umum untuk sampai pada keputusan etis yang dapat dipertahankan.
Dibutuhkan suatu pembahasan tentang bagaimana mengembangkan sebuah
kerangka keputusan menyeluruh yang praktis ditinjau dari hukum kesehatan,
etika dan budaya, maupun dari sudut pandang agama.
Oleh karena itu, penulis ingin mengangkat suatu topik yang berjudul
“Pengambilan Keputusan Etis” menjadi pokok pembahasan dalam makalah
kali ini. Penulis berusaha untuk menyusun makalah ini semenarik mungkin
agar para masyarakat dapat memahami serta dapat menerapkan keputusan
berdasarkan pada tindakan yang ditinjau baik dari segi hukum kesehatan,
etika dan budaya, maupun agama yang akan mempengaruhi kepentingan
dalam membuat keputusan.

1
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang maka rumusan masalah dalam makalah ini
yaitu:
1. Apa pengertian pengambilan keputusan etis?
2. Apakah yang dimaksud dengan pengambilan keputusan etis ditinjau dari
hukum kesehatan, etika dan budaya, dan agama?
3. Apa saja teori dasar pembuatan keputusan etis?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan pembuatan makalah ini yaitu:
1. Untuk memenuhi tugas dari dosen pengajar mata kuliah Etika Kepribadian
II
2. Untuk menambah wawasan baik bagi para pembaca maupun referensi
tambahan kepada penulis
3. Untuk menjelaskan tentang pengertian pengambilan keputusan etis
4. Untuk menjelaskan tentang pengambilan keputusan etis ditinjau dari
hukum kesehatan, etika dan budaya, dan agama
5. Untuk menjelaskan tentang teori dasar pembuatan keputusan etis

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Etika dan Pengambilan Keputusan

Kata etis (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti
karakter, watak kesusilaan atau adat.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Departemen P dan K, 1988),
etika dengan membedakan tiga arti sebagai berikut :
1. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral
2. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan moral
3. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau
masyarakat.
Sedangkan pengambilan keputusan adalah pemilihan diantara alternatif-
alternatif mengenai sesuatu cara bertindak dimana hal tersebut adalah inti dari
perencanaan. Suatu rencana dapat dikatakan tidak ada, jika tidak ada
keputusan suatu sumber yang dapat dipercaya, petunjuk atau reputasi yang
telah dibuat.
Teori-teori pengambilan keputusan berkaitan erat dengan masalah
bagaimana pilihan-pilihan semacam itu dibuat.
Beberapa pengertian tentang keputusan menurut beberapa tokoh adalah
sebagai berikut :
1. Menurut Davis (1988)
Keputusan adalah hasil dari pemecahan masalah yang dihadapinya dengan
tegas. Hal ini berkaitan dengan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
mengenai apa yang harus dilakukan dan seterusnya mengenai unsur-unsur
perencanaan. Keputusan dibuat untuk menghadapi masalah-masalah atau
kesalahan yang terjadi terhadap rencana yang telah digariskan atau
penyimpangan serius terhadap rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.
Tugas pengambilan keputusan tingkatnya sederajad dengan tugas
pengambilan rencana dalam organisasi.

3
2. Siagian (1996)
Menyatakan, pada hakikatnya pengambilan keputusan adalah suatu
pendekatan sistematis terhadap hakikat suatu masalah, pengumpulan fakta-
fakta dan data. Penentuan yang matang dari altenatif yang dihadapi dan
pengambilan tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan
yang paling tepat.
3. Claude S. George, Jr (2005)
Menyatakan, proses pengambilan keputusan itu dikerjakan oleh
kebanyakan manajer berupa suatu kesadaran, kegiatan pemikiran yang
termasuk pertimbangan, penilaian dan pemilihan di antara sejumlah
alternatif.
4. Horolddan Cyril O'Donnell (2005)
Berpendapat bahwa pengambilan keputusan adalah pemilihan diantara
alternatif mengenai suatu cara bertindak yaitu inti dari perencanaan, suatu
rencana tidak dapat dikatakan tidak ada jika tidak ada keputusan, suatu
sumber yang dapat dipercaya, petunjuk atau reputasi yang telah dibuat.
5. Dee Ann Gullies (1996)
Menjelaskan definisi pengambilan keputusan sebagai suatu proses kognitif
yang tidak tergesa-gesa terdiri dari rangkaian tahapan yang dapat dianalisa
dan dipadukan untuk menghasilkan ketepatan serta ketelitian yang lebih
besar dalam menyelesaikan masalah dan memulai tindakan.
6. Ralp C. Davis dalam Imam Murtono (2009) menyatakan keputusan dapat
dijelaskan sebagai hasil pemecahan masalah, selain itu juga harus didasari
atas logika dan pertimbangan, penetapan alternatif terbaik, serta harus
mendekati tujuan yang telah ditetapkan. Seorang pengambil keputusan
haruslah memperhatikan hal-hal seperti logika, realita, rasional, dan
pragmatis.

Dari beberapa penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa


pengambilan keputusan etis merupakan suatu keputusan tentang apa yang
benar dan apa yang salah yang harus dilaksanakan oleh setiap profesional
yang mengabdi pada suatu bidang pekerjaan tertentu.

4
Pengambilan keputusan ini adalah sesuatu pendekatan yang sistematis
terhadap hakikat suatu masalah, pengumpulan fakta-fakta dan data,
penentuan yang matang dari alternatif yang dihadapi, dan mengambil
tindakan yang menurut perhitungan merupakan tindakan yang paling tepat.
Semua aktivitas tenaga kesehatan maupun tenaga kerja lainnya dapat
dianggap sebagai pengambilan keputusan, karena mengambil keputusan
merupakan salah satu tugas terpenting seseorang dalam mengambil
tindakan dalam sebuah pekerjaan.

2.2 Pengambilan Keputusan Etis Ditinjau Dari Hukum Kesehatan, Etika dan
Budaya, serta Agama
2.2.1 Keputusan Etis Ditinjau dari Hukum Kesehatan
Tentang bagaimana suatu hal dikatakan benar dan dikatakan salah
tenaga kesehatan sering kali dihadapkan pada suatu kondisi dilema etik yang
menempatkan tenaga kesehatan untuk berfikir apa yang harus dilakukan, apa
yang seharusnya dilakukan, apakah tindakannya benar atau tidak dan
menuntut tenaga kesehatan untuk mengambil suatu keputusan yang tepat.
Saat ini aspek legislasi dan bentuk keputusan yuridis tentang masalah etika
kesehatan sedang menjadi topik yang banyak diicarakan. Hukum kesehatan
telah menjadi suatu bidang ilmu dan perundang-undangan baru yang banyak
disusun untuk menyempurnakan perundang-undangan lama atau untuk
mengantisipasi perkembangan masalah hukum kesehatan. Oleh karena itu,
diperlukan undang-undang praktik keperawatan dan keputusan menteri
kesehatan yang mengatur registrasi dan praktik perawat.

Dilema Etis
Dilema etis adalah kondisi yang mengharuskan perawat untuk melakukan
analisa, menepis, melakukan sintesa dan menentukan keputusan terbaik bagi
pasien. Dilema etik menempatkan perawat pada kondisi dimana dia harus
menimbang, memilah dan menapis pilihan keputusan yang menjadi sulit
diputuskan jika kedua piihan tidak ada yang benar benar baik ataupun
keduanya sama sama baik berdasarkan prinsip etis. Prinsip prinsip etis yang
menjadi bahan pertimbangan dalam setiap pengambilan keputusan etis

5
diantaranya adalah otonomi, nonmaleficience, beneficience, justice, fidelity
dan veracity. Keputusan etis akan menjadi sulit diambil ketika terdapat
pertentangan antara prinsip prinsip etis tersebut(Fjetland, 2009; Masruroh H,
2014) Prinsip prinsip etika dapat disimpulkan dalam 3 makna yang
terkandung didalamya, yaitu memberikan dasar untuk kode etik keperawatan
yang bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia, bertanggung jawab dan
praktik keperawatan profesional. Beberapa hal yang dapt menimbulkan
masalah peran yang ambigu menimbulkan dilema etik. Dilema etik dapat
terjadi setiap saat ketika perawat harus memutuskan suatu tindakan antara
nilai nilai dan aturan yang dianut. Mengenali tantangan etis yang terlibat
meliputi langkah langkah pengambilan keputusan etis yaitu ; mengidentifikasi
bahwa konflik etika dapat terjadi dan menganalisa masalah, merenungkan
fakta atau data data yang relevan, siapa saja yang terlibat dan
berkepentingan, konsekuensi yang ditanggung, dan sumberdaya yang
tersedia. Perawat harus dapat memutuskan hal yang tepat diakukan untuk
dilakukan dalam situasi ini dan melaksanakan, mengevaluasi dan menilai
kembali jalan yang dipilih utuk menangani diema etis.
Pemberian izin praktik bagi perawat merupakan manifestasi dari UU Ke.
RI No.23 tahun 1992 pasal 53 ayat 1 tentang hak memperoleh perlindungan
hukum, yaitu “Tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum
dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya,” dan ayat 2 tentang
perlindungan atau melindungi hak klien, yaitu “Tenaga kesehatan dalam
melakukan tugasnya berkewajiban untuk memenuhi standar profesi dan
menghormati hak klien.”
Upaya pengendalian mutu praktik keperawatan melalui legislasi
keperawatan. Legislasi berarti suatu ketetapan hukum atau ketentuan hukum
yang mengatur hak dan kewajiban seseorang yang berhubungan erat dengan
tindakan (Lieberman,1970). Keputusan Menteri Kesehatan No.1239 Tahun
2001 tentang Registrasi dan praktik Keperawatan.

6
a. Contoh Kasus
Sebagai contoh kasus dilema etis yang sering terjadi adalah ketika perawat
harus memutuskan untuk melakukan tindakan atau tidak, pada kondisi
pasien yang membutuhkan pertolongan medis. Seorang pasien datang ke
tempat praktik mandiri perawat dengan luka karena terkena sayatan pisau.
Keadaan luka cukup dalam, terjadi banyak perdarahan dan membutuhkan
penanganan segera. Perawatan luka dan balutan saja tidak cukup, sehingga
perlu untuk dilakukan penjahitan. Perawat menyarankan kepada pasien
untuk dirujuk ke dokter atau puskesmas. Namun pasien menolak dan
bersikukuh untuk mendapatkan perawatan hanya dari perawat tersebut.
Perawat tahu bahwa tindakan harus segera dilakukan, namun tindakan
tersebut bukan wewenangnya dan jika perawat tidak segera melakukan
tindakan maka prognosa buruk akan terjadi kepada pasien. Pada kasus
tersebut terdapat nilai nilai yang menjadi pertimbangan diantaranya nilai
kemanusiaan dan nilai profesionalitas. Dalam hal ini sejauh mana perawat
boleh melakukan tindakan atas kasus yang terjadi, melanggar prinsip
prinsip etika profesi atau tidak. Jika tidak dilakukan tindakan apa yang
akan terjadi. Jika dilakukan tindakan maka akan ada pelanggaran terhadap
etika profesi pula. Menjadi semakin rumit dan pelik ketika dampak
emosional terjadi, seperti perasaan bingung, bersalah, frustasi bahkan
ketakutan.
b. Pengambilan Keputusan
Pada contoh kasus diatas, mendapat perawatan dan tindakan
merupakan hak pasien yang harus dipenuhi. Begitu pula keputusan untuk
memilih dan memutuskan pengobatannya sendiri. Disisi lain perawat juga
merasa bahwa tindakan tersebut bukan kewenangannya. Disini fungsi
perawat sebagai konselor dan edukator harus dijalankan. Perawat harus
mampu memberikan penjelasan kepada pasien tentang kondisi dan
pertimbangan pertimbangan yang perlu dipikirkan demi
kebaikan pasiennya. Perawat harus melindungi hak pasien yang telah
diatur dalam kode etik keperawatan. Meliputi hak untuk mendapatkan
perawatan, hak untuk memilih da memutuskan perawatan atau pengobatan

7
untuk dirinya sendiri. Namun perawat juga tidak dapat mengabaikan kode
etik yang dan undang undang yang membatasi kewenangan tindakan yang
boleh dilakukan perawat. Jika ditinjau dari prinsip etik yang menjadi
perimbangan dalam pengambilan keputusan yaitu primary otonomi.
Otonomi berarti menghargai kemampuan individu yang
mempunyai harga diri dan martabat, yang mampu memutuskan sendiri hal
hal berkaitan dengan dirinya. Otonomi berarti kemampuan mengatur atau
menentukan sendiri. Otonomi berakar pada rasa hormat terhadap individu.
Didalam prinsip otonomi, perawat harus menghargai dan menghormati hak
pasien untuk memilh dan memutuskan sendiri pengobatannya.
Kecenderungan pasien lebih memlih tenaga kesehatan perawat
dibandingkan dengan profesi lain untuk meningkatkan status kesehatanya
diakibatkan beberapa faktor. (Brown, 2007) dalam jurnalnya yang
berjudul Consumer pespectives on nurse practicioners and independence
practice di Washington menjelaskan bahwa 90% dari respondennya
merasa puas dan menyukai praktik keperawatan dibanding dengan praktik
kesehatan lain. Hal ini dikarenakan dalam menyelesaikan masalah
kesehatannya perawat tidak hanya sekedar memberi pengobatan, tetapi
juga ada unsur “merawat”, bersikap caring dan ramah kepada pasiennya.
Sehingga pasien lebih nyaman dirawat oleh perawat, selain itu biaya
perawatan dan akses yang lebih terjangkau menjadikan profesi
keperawatan dipilih untuk mengatasi masalah kesehatannya. Keputusan
untuk memilih pengobatan dan siapa yang mengobati adalah hak penuh
seorang pasien. Dalam jurnal A path analytic model of ethical conflict in
practice and autonomy in a sample of nurse practicioners (Connie M
Ulrich, 2005) menyebutkan bahwa pasien memilih perawat dikarenakan
adanya kepercayaan bahwa perawta dapat melakukan tindakan
keperawatan secara mandiri. Konflik yang sering terjadi berkaitan dengan
otonomi pasien yang menenempatkan perawat pada posisi beresiko.
Namun keyakinan terhadap tugas dan prinsip bahwa perawat dapat
perawat mampu melaksanankan tugas secara mandiri dan menerima
konsekwensi yang berlaku (Anne Dreyer, 2011)

8
Prinsip kedua adalah nonmaleficien yang berarti tidak merugikan
pasien. Nonmaleficience adalah tidak melukai atau tidak membahayakan
orang lain. Dalam hal ini perawat dituntut untuk melakukan tindakan yang
tidak membahayakan atau berisiko menciderai pasiennya. Dalam kasus
telah diuraikan bahwa pasien menolak mendapatkan pengobatan selain
dari perawat tersebut, sedangkan putusn tindakan harus segera dilakukan.
Karena jika tidak diakukan tindakan maka perawat malah justru
membahayakan pasien. Ditilik dari prinsip ini nampaknya tindakan
perawat yang tepat adalah melakukan tindakan dengan menjahit luka
pasien untuk mencegah terjadinya perdarahan yang lebih hebat yang
merugikan pasien. Dalam keperawatan, risiko atau bahaya baik yang
disengaja maupun tidak selalu tidak dapat diterima. Oleh karena itu
perawat harus selalu hati hati dlam melakukan pengambilan keputusan
etik.
Beneficience berarti melakukan yang baik. perawat memilikki
kewajiban untuk melakukan dengan baik, yaitu melakukan proses
keperawatan dengan baik dan semaksimal mungkin. Prinsip ini menuntut
perawat untuk melakukan tindakan yang menguntungkan pasiennya atas
dasar kebaikan, namun dalam kenyataan sehari hari prinsip ini sering
membuat risiko bagi profesi perawat itu sendiri. Seperti halnya pada
contoh kasus diatas, perawat melakukan kebaikan dengan melakukan
tindakan keperawatan namun ada risiko yang ditanggung oleh perawat
tersebut dikarenakan perawat melakukan tindakan diluar kewenangannya
(Blais, 2007; Masruroh H, 2014)
Prinsip selanjutnya adalah justice, atau keadilan. Artinya perawat
dituntut untuk memberikan perawatan sesuai dengan kebutuhan pasien.
Perawatan yang diberikan harus sesuai dengan standar praktik
keperawatan secara profesional dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
Jika ditinjau dari prinsip ini tindakan perawat dalam kasus diatas perawat
sebenarnya melakukan pelanggaran atas justice karena melakukan
tindakan diluar dari kewenangannya, tidak sesuai dengan hukum yang
berlaku.

9
Selanjutnya adalah veracity atau kejujuran. Kebenaran menjadi
suatu hal yang harus disampaikan perawat kepada pasiennya. Terkait
dengan informasi yang disampaikan kepada pasien harus akurat,
komprehensif dan obyektif sehingga pasien mengerti dan paham mengenai
keadaan dirinya. Karena kebenaran merupakan dasar dalam membentuk
hubungan saling percaya (Masruroh H, 2014). Dengan mengidentifikasi
keterlibatan prinsip prinsip diatas diharapkan perawat dapat menimbang
dan memilah prinsip apa saja yang bertentangan atau mendukung proses
pengambilan keputusan. Adanya prinsip tersebut membuat perawat dan
pasien memiliki pandangan dan pilhan terhadap keputusan yang akan
diambil. Mana yang baik untuk dilakukan, apakah berisiko, bagaimana
konsekwensinya, dll. Dengan kata lain, etik, prinsip etik adalah landasan
bagi perawat untuk memutuskan suatu tindakan. Setelah mengidentifikasi
dan menganalisa prisnsip prinsip etik yang terlibat, langkah dalam
pengambilan keputusan etik selanjutnya adalah mengikutsertakan pasien,
keluarga ataupun profesi lain yang terkait dalam pengambilan keputusan
etik. Masalah etik adalah masalah yang membuat perawat berada pada
persimpangan yang menuntut dia untuk mengambil suatu keputusan.
Keputusan etik bersifat situasional, namun tidak dapat serta merta
diputuskan sendiri oleh perawat. Keterlibatan pasien dan keluarga
merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap hak pasien.
Penghormatan tersebut terkait dengan hak pasien untuk mengetahui dan
memutuskan sendiri atau autonomi. Keterlibatan profesi lain misalakan
dokter, ahli gizi atau profesi lain memberikan perawat pandangan
terhadap baik dan buruk suatu tindakan. Dengan melibatkan pihak lain,
diharapkan keputusan etis yang diambil adalah keputusan terbaik yang
menguntungkan pasien. Langkah selanjutnya dalam pengambilan
keputusan etik adalah menganalisa konsekuensi dari pilihan tindakan yang
ada. Baik buruknya, ditinjau dari beberapa prinsip tadi. Bagaimana
konsekuensi dari suatu tindakan jika dilakukan, dan bagaimana jika tidak
dilakukan. Kemudian langkah terakhir adalah mengambil keputusan
dengan mempertimbangkan keinginan pasien. Kembali lagi pada prinsip

10
etik pertama yaitu autonomi. Keinginan pasien adalah suatu hal yang harus
dipahami dan dihormati. Bagaimanapun juga keputusan tersebut adalah
berhubungan dengan kehidupan pasien. Perawat adalah problem solver
bagi pasiennya, dengan fokus utama adalah untuk menyelesaikan masalah
klien. Setelah melakukan analisa etik tentang keputusan apa yang terbaik
bagi pasien, perawat menyimpulkan alasan etik. Yaitu apa yang harus dan
seharusnya dilakukan berdasarka prinsip etik yang telah dibahas diatas.

2.2.2 Keputusan Etis Ditinjau dari Etika dan Budaya


Dalam organisasi, pengaruh yang penting terhadap perilaku yang
etis adalah adanya norma dan nilai tim, dan organisasi secara keseluruhan.
Budaya bukanlah satu-satunya aspek dari organisasi yang memengaruhi
etika, namun merupakan suatu kekuatan yang besar karena menentukan
nilai-nilai suatu organisasi. Aspek organisasi yang lain, seperti aturan dan
kebijakan yang eksplisit, sistem seleksi, penekanan pada standar hukum
dan profesional. Serta proses kepemimpinan dan pengambilan keputusan,
juga dapat memengaruhi nilai etika dan proses pengambilan keputusan
oleh individu.
Berbagai faktor yang mempengaruhi terhadap pembuatan keputusan
etis meliputi perilaku sosial dan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi,
hukum dan peraturan perundang-undangan (Ellis, Hartley, 1980).
Beberapa tahun terakhir telah terjadi berbagai perkembangan perilaku
sosial dan budaya kita.
Perkembangan sosial dan budaya juga berpengaruh terhadap sistem
kesehatan nasional. Pelayanan kesehatan yang awalnya berorientasi pada
program medis lambat laun menjadi pelayanan komprehensif dengan
pendekatan tim kesehatan. Ini menyebabkan beberapa perubahan dalam
berbagai kebijakan pemerintah. Berbagai kebijakan dirumuskan dengan
melibatkan tim kesehatan. Namun, untuk menentukan kebijakan dan
peraturan tidak mudah. Oleh karena cukup luasnya wilayah Indonesia
maka kita ketahui adanya berbagai peraturan yang bersifat regional,

11
misalnya peraturan daerah. Nilai yang diyakini masyarakat berpengaruh
pula terhadap keperawatan.

2.2.3 Keputusan Etis Ditinjau dari Agama


Agama merupakan faktor utama dalam membuat keputusan etis.
Setiap perawat disarankan memahami nilai yang diyakini maupun kaidah
agama yang dianutnya. Untuk memahami ini memang diperlukan proses.
Semakin tua akan semakin banyak pengalaman dan belajar, seseorang
akan lebih mengenal siapa dirinya dan nilai yang dimilikinya.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang dihuni oleh penduduk
dengan berbagai agama atau kepercayaan. Setiap penduduk yang menjadi
warga negara Indonesia harus beragama atau berkepercayaan. Ini sesuai
dengan sila pertama Pancasila, “Ketuhanan yang Maha Esa” dan Indonesia
menjadikan aspek ketuhanan sebagai dasar yang paling utama. Setiap
warga negara diberi kebebasan untuk memilih agama atau kepercayaan
yang dianutnya. Ini sesuai dengan Bab XI pasal 29 UUD 1945 yang
berbunyi
1) Negara berdasarskan atas Ketuhanan Yang Maha Esa
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan
kepercayaannya.
Sebagai negara berketuhanan, segala kebijakan atau aturan yang
dibuat diupayakan tidak bertentangan dengan aspek agama yang ada di
Indonesia (Islam, Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan Konghucu).
Misalnya, sebelum keluarga berencana atau KB dijadikan program
nasional, pihak pemerintah telah mendiskusikan berbagai metode
kontrasepsi yang tidak bertentangan dengan agama dengan para pemuka
agama. Dengan adanya kejelasan tentang program kesehatan nasional,
misalnya KB, dengan ketentuan agama maka perawat tidak ragu-ragu
dalam mempromosikan program tersebut dan dapat memberi informasi
yang tidak bertentangan dengan agama yang dianut pasien. Pada tahun
2001 ditetapkan oleh MPR-RI dengan ketetapan MPR-RI

12
No.VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Bangsa. Etika kehidupan
bangsa bersumber pada agama yang universal dan nilai-nilai luhur budaya
bangsa yaitu Pancasila.
Selain memahami dan menghayati sumpah profesi dan kode etik, para
tenaga kesehatan perlu pula meningkatkan pemahaman agama yang
dianutnya. Melalui pemahaman agama yang benar, diharapkan para tenaga
kesehatan dalam menjalankan profesinya selalu mendasarkan tindakannya
kepada tuntunan agama.

2.3 Teori Dasar Pembuatan Keputusan Etis


Teori etika merupakan penuntun untuk membuat keputusan etis praktik
profesional. Secara garis besar teori etika diklasifikasikan menjadi teori
teleologi dan deontologi.

2.3.1 Teori Teleologi


Teleologi berasal dari kata yunani telos = tujuan, etika teleologi yaitu etika
yang mengukur baik buruknya satu tindakan berdasarkan tujuan yang
hendak dicapai dengan tindakan itu atau berdasarkan akibatnya yang
ditimbulkan atas tindakan yang dilakukan. Satu tindakan dinilai baik, jika
bertujuan mencapai sesuatu yang bai, atau akibat yang ditimbulkan baik
dalam bermafaat. ). Teleologi merupakan suatu doktrin yang menjelaskan
fenomena berdasarkan akibat yang dihasilkan atau konsekuensi yang dapat
terjadi. Pendekatan ini sering disebut dengan ungkapan the end justifies
the means atau makna dari suatu tindakan ditentukan oleh hasil akhir yang
terjadi. Teori ini menekankan pada pencapaian hasil akhir yang terjadi.
Pencapaian hasil dengan kebaikan maksimal dan ketidakbaikan sekecil
mungkin bagi manusia (Kelly, 1987).

13
Teori teleologi atau utilitarianisme dapat dibedakan menjadi rule
utilitarianisme dan act utilitarianisme, yaitu :
1. Rule utilitarianisme
Berprinsip bahwa manfaat atau nilai suatu tindakan bergantung pada
sejauh mana tindakan tersebut memberikan kebaikan atau kebahagiaan
kepada manusia.
2. Act utilitarianisme
Bersifat lebih terbatas tidak melibatkan aturan umum, tetapi berupaya
menjelaskan pada suatu situasi tertentu dengan pertimbangan terhadap
tindakan apa yang dapat memberikan kebaikan sebanyak-banyaknya
atau ketidakbaikan sekecil-kecilnya pada individu.
Contoh penerapan teori ini: bayi yang lahir cacat lebih baik diizinkan
meninggal daripada nantinya menjadi beban masyarakat.
Filosofinya:
1. Egoism
Perilaku yang dapat diterima tergantung pada
konsekuensinya. Inti pndangan egoisme adalah bahwa tindakan
dari setiap orang pada dasarnya bertujuan untuk mengejar pribadi
dan memajukan dirinya sendiri. Satu-satunya tindakan dari setiap
orang adalah mengejar kepentingan pribadi dan memajukan
dirinya. Egoime ini baru menjadi persoalan serius ketika ia
cenderung menjadi hedonistis, yaitu ketika kebahagiaan dan
kepentingan pribadi diterjemahkan semata-mata sebagai
kenikmatan fisik yang bersifat vulgar. Memaksimalkan
kepentingan terkait eratdenga akibat yang kita terima.
2. Utilitarianism
Semakin tinggi kegunaannya maka semakin tinggi nilainya.
Berasal dari bahasa latin utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut
teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi
manfaat itu harus menyakut bkan saja satiu dua orang melainkan
masyarakat sebagai keseluruhan. Dalam rangka pemikiran
utilitarianism, kriteria utuk menentukan baik buruknya suatu

14
perbuatan adalah “the greatest happiness of the greatest number”,
kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar.

2.3.2 Teori Deontologi


Deontologi (berasal dari bahasa Yunani, deon, berarti “tugas” dan “sesuatu
yang harus” menurut David McNaghton) berprinsip pada aksi atau
tindakan. Teori ini diperkenalkan oleh Imanuel Kant (1725-1804).
Tulisan-tulisan kant tentang moral dapat ditemukan dalam karya karyanya,
antara lain Groundwork of the Menatapisics of Moral (1785, Critique of
Paractical Reason (1788), dan The Metapisics of Meral (1797). Menurut
Kant, benar atau salah bukan ditentukan oleh hasil akhir atau konsekuensi
dari suatu tindakan, melainkan oleh nilai morainya. Dalam konteks ini,
perhatian difokuskan pada tindakan melakukan tanggung jawab moral
yang dapat memberikan penentu apakah tindakan tersebut secara moral
benar atau salah. Kant berpendapat bahwa prinsip moral atau yang terkait
dengan tugas harus bersifat universal, tidak kondisional, dan imperatif.
Contoh penerapan deontologi adalah seorang perawat yang yakin bahwa
klien harus diberi tahu tentang yang sebenarnya terjadi walaupun
kenyataan tersebut sangat menyakitkan. Contoh lain: seorang perawat
menolak membantu pelaksanaan abortus karena keyakinan agamanya yang
melarang tindakan membunuh. Dalam menggunakan pendekatan teori ini,
perawat tidak menggunakan pertimbangan, misalnya tindakan abortus
dilakukan untuk menyelamatkan nyawa ibunya karena setiap tindakan
yang mengakhiri hidup (dalam hal ini calon bayi) merupakan tindakan
buruk secara moral.
Menurut Kant yang bisa disebut baik dalam arti yang sesungguhnya
dalam hal-hal lain. Hal-hal yang lain seperti kekayaan, intelegensia,
kesehatan dan keuasaan dan sebagaiya disebut sebagai kebaikan yang
terbatas, yang baru memiliki arti manakala ia dipakai oleh kehendak baik
kemanusiaan (Bertens, 254 ). Kant menolak pandangan moral kaum
utilitarianism yang mengedepankan tujuan yang ingin dicapai sebagai
landasan moral dari suatu perbuatan. Bagi Kant suatu perbuatan dinilai

15
baik manakala dilakukan atas dasar kewajiban yang disebutnya sebagai
perbuatan berdasarkan legislatif tidak penting untuk tujuan apa perbuatan
dilakukan.
Teori deontologi adalah konsep moral yang menitikberatkan pada
kewajiban. Baik dan buruk dinilai berdasarkan konteks terjadinya suatu
perbuatan. Pemikiran etika kant mendapatkan banyak kritikan. Jika
penilaian suatu perbuatan hanya dilakukan berdasarkan kewajiban semata-
mata seseorang bisa saja bertindak denganmengabaikan “secara moral”
hati nuranunya secara serta merta, karena itu harus tundauk pada prinsip
kewajiban. Perbuatan yang dilkukan atas prinsip “kewajiaban demi
kewajiban” juga dapat berarti seseorang harus bertindak secara membuta
sesuai denga aturan yang ketat, tanpa pengkaji konsekuensi langsung yang
akan terjadi dari perbuatan tersebut dalam keadaan khusus, bahkan juga
tanpa mempertimbangkan akibat janga panjangnya. (Henry Hazlitt, 178-9)

Fungsi etika dan moralitas dalam pelayanan keperawatan:

1. Menjaga otonomi setiap individu khususnya perawat dan klien


2. Menjaga agar selalu melakukan tindakan kebaikan dan mencegah dari
tindakan yang merugikan atau membahayakan orang lain
3. Manjaga privasi setiap individu
4. Mengatur manusia untuk berbuat adil dan bijaksana sesuai dengan
porsinya
5. Dengan etika kita mengetahui apa suatu tindakan itu dapat diterima dan
apa alasan (berdasarkan pada moral yang berlaku pada umumnya)
6. Menghasilkan tindakan yang benar
7. Mendapatkan informasi tentang hal yang sebenarnanya
8. Memfasilitasi proses pemecahan masalah etika
9. Mengatur hal-hal yang bersifat praktik
10. Mengatur tata cara pergaulan baik didalam taat tertib masyarakat maupun
tata cara didalam organisasi profesi
11. Mengatur sikap, tindak tanduk orang dalam menjalankan tugas prifesinya
yang bisa disebut dengan kode etik profesi.

16
Secara lebih luas, teori deontologi dikembangkan menjadi lima prinsip
penting yaitu kemurahan hati, keadilan, otonomi, kejujuran, dan ketaatan
(Fry, 1991) diantaranya :
1. Kemurahan hati
Inti dari prinsip kemurahan hati (beneficence) adalah tanggung jawab
untuk melakukan kebaikan yang menguntungkan klien dan menghindari
perbuatan yang merugikan atau membahayakan klien. Prinsip ini sering
kali sulit diterapkan dalam praktik keperawatan.Perawat diwajibkan
untuk melaksanakan tindakan yang bermanfaat bagi klien, tetapi dengan
meningkatnya teknologi dalam sistem asuhan kesehatan, dapat juga
merupakan risiko dari suatu tindakan yang membahayakan.

Contoh 1: Perawat menasihati klien tentang program latihan untuk


memperbaiki kesehatan secara umum, tetapi tidak seharusnya
melakukannya apabila klien dalam keadaan risiko serangan jantung,

Contoh 2: Seorang klien mempunyai kepercayaan bahwa pemberian


transfusi darah bertentangan dengan keyakinannya, mengalami
perdarahan hebat akibat penyakit hati yang kronis. Sebelum kondisi
klien bertambah berat, klien sudah memberikan pernyataan tertulis

Kepada dokter bahwa ia tidak mau dilakukan transfusi darah. Pada


suatu saat, kondisi klien bertambah buruk maka terjadi perdarahan
hebat dan dokter menginstruksikan untuk memberikan transfusi darah.

Dalam hal ini, akhirnya transfusi darah tidak diberikan karena prinsip
beneficience, walaupun sebenarnya pada saat yang bersamaan
terjadipenyalahgunaan prinsip maleficience.

Dengan majunya ilmu dan teknologi, konflik yang terjadi semakin


tinggi. Untuk itu, perlu diterapkan sistem klarifikasi nilai-nilai, yaitu
suatu proses ketika individu memperoleh jawaban terhadap beberapa
situasi melalui proses pengembangan nilai individu.

17
Menurut Megan (1989), proses penilaian mencakup tujuh proses yang
ditempatkan ke dalam tiga kelompok, yaitu:
1. Menghargai
a. Menjunjung dan menghargai keyakinan dan perilaku seseorang
b. Menegaskan di depan umum bila diperlukan.
2. Memilih
a. Memilih dari berbagai alternatif.
b. Memilih setelah mempertimbangkan konsekuensinya.
c. Memilih secara bebas.
3. Bertindak
a. Bertindak
b. Bertindak sesuai dengan pola, konsistensi, dan repetisi
(mengulang yang telah disepakati).
Dengan menggunakan ketujuh langkah tersebut ke dalam klasifikasi
nilai-nilai, perawat dapat menjelaskan nilai-nilai mereka sendiri dan
dapat mempertinggi pertumbuhan pribadinya. Langkah di atas dapat
diterapkan pada situasi-situasi klien, misainya perawat dapat membantu
klien mengidentifikasi bidang konflik, memilih dan menentukan
berbagai alternatif, menetapkan tujuan dan melakukan tindakan.

2. Keadilan
Prinsip dari keadilan (justice) menurut Beauchamp dan Childress
adalah mereka yang sederajad harus diperlakukan sederajad, sedangkan
yang tidak sederajad diperlakukan secara tidak sederajad, sesuai dengan
kebutuhan mereka,. Ini berarti bahwa kebutuhan kesehatan mereka yang
sederajad harus menerrima sumber pelayanan kesehatan dalam jumlah
sebanding. Ketika seseorang mempunyai kebutuhan kesehatan yang
besar pula. Kegiatan alokasi dan distribusi sumber ini memungkinkan
dicapainya keadilan dalam pembagian sumber asuhan kesehatan kepada
klien secara adil sesuai kebutuhan.

18
3. Otonomi
Prinsip otonomi menyatakan bahwa setiap individu mempunyai
kebebasan untuk menentukan tindakan atau keputusan berdasarkan
rencana yang mereka pilih (Veatch dan Fry, 1987). Masalah yang
muncul dari penerapan prinsip ini adalah adanya variasi
kemampuan otonomi klien yang dipengaruhi oleh banyak hal,
seperti tingkat kesadaran, usia, penyakit, lingkungan rumahsakit,
ekonomi, tersedianya informasi, dan lain-lain.
4. Kejujuran
Prinsip kejujuran (veracity) menurut Veatch dan Fry (1987) di
definisikan sebagai menyatakan hal yang yang sebenarnya dan
tidak bohong. Kejujuran harus dimiliki perawat saat berhubungan
dengan klien. Kejujuran amerupakan dasar terbinanya hubungan
saling percaya antara perawat-klien. Perawat sering
tidakmemberitahukan kejadian sebenarnya pada klien yang sakit
parah. Namun, penelitian pada klien dalam keadaan terminal
menjelaskan bahwa klien ingin diberi tahu tentang kondisinya
secara jujur (Veatch, 1987).

Contoh : Ny. M seorang wanita lansia umur 68 tahun, dirawat di


Rumah Sakit dengan berbagai macam fraktur karena kecelakaan di
mobil. Suaminya yang juga ada dalam kecelakaan tersebut masuk
ke RS yang sama dan meninggal. Ny.M bertanya erkali-kali
kepada perawat tentang keadaan suaminya. Dokter ahli bedah
berpesan kepada perawatnya untuk tidak mengatakan kematian
suami Ny. M kepada Ny. M perawat tidak diberi alasan apa pun
untuk petunjuk tersebut dan menyatakan keprihatinannya kepada
perawat kepala ruangan, yang mengatakan bahwa intruksi dokter
harus diikuti.

19
Dalam contoh tersebut, data dasar meliputi :

1. Orang-orang yang terlibat: klien (memperhatikan kesejahteraan


suami), suami (almarhum), dokter ahli bedah, perawat kepala
ruangan, dan perawat yang bersangkutan.
2. Tindakan yang diusulkan: masalah tidak diketahui klien,
memungkinkan untuk melindungi Ny.M dari trauma psikologis,
perasaan bersalah yang berlebihan, dan sebagai akibatnya akan
terjadi kemunduran kondisi fisiknya.
3. Konsekuensi dari tindakan yang diusulkan : apabila informasi
ditahan atau tidak disampaikan, klien mungkin menjadi semakin
cemas danmarah, klien mungkin menjadi semakin cemas dan
marah, serta mungkin menolak untuk bekerjasama dalam asuhan
sehingga akan menunda pemulihan kesehatannyya.

Untuk mengidentifikasi konflik tersebut:

1. Perlu jujur kepada Ny. M, berarti tidak loyal terhadap dodkter ahli
bedah dan perawat kepala ruangan.
2. Perlu loyal terhadap dokter ahli bedah dan perawat kepala
ruangan tanpa tidak jujur terhadap NY. M.
3. Konflik tentang pengaruh pada kesehatan Ny. M apabila
diinformasikan atau apabila tidak diinformasikan.

5.Ketaatan
Prinsip ketaatan (fidelity) didefinisikan oleh Veatch dan Fry sebagai
tanggung jawab untuk tetap setia pada suatu kesepakatan. Tanggung
jawa dalam kontens hubungan perawat-klien meliputi tanggung
menjaga janji, mempertahankan konfidensi, dan memberikan
perhatian atau kepedulian. Dalam hubungan antara manusia, individu
cenderung tetap menepati janji dan tidak melanggar, kecuali ada
alasan demi kebaikan. Pelanggaran terhadap konfidensi merupakan
hal yang serupa, terutama bila pelanggaran tersebut merupakan pilihan
tindakan yang lebih baik daripada jika tidak dilanggar.

20
Kesetiaan perawat terhadap janji-janji tersebut mungkin tidak
mengurangi penyakit atau mencegah kematian, tetapi akan
memengaruhi kehidupan klien serta kualitas kehidupannya.

Salah satu cara untuk menerapkan prinsip dalam menepati janji adalah
dengan masukan ketaatan dalam tanggung jawab. Untuk mewujudkan
hal ini, perawat harus selektif dalam mempertimbangkan informasi
apa yang perlu fijaga kofidesinya dan mengetahuii waktu yang tepat
untuk menepati janji sesuai hubungan perawat-klien.

Peduli kepada klien merupakan salah satu aspek dari prinsip ketaatan.
Peduli kepada klien merupakan komponen paling penting dari praktik
keperawatan, terutama pada klien dalam keadaan terminal (Larson,
1986; Mayer, 1987). Rasa kepedulian perawat diwujudkan dalam
memberi perawatan dengan pendekatan individual, bersikap baik
kepada klien, memberikan kenyamanan, dan menunjukkkan
kemampuan professional.

21
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia etika dengan membedakan tiga


arti sebagai ilmu, tentang apa yang baik dan apa yang buruk, serta tentang hak
dan kewajiban moral (akhlak). Keputusan etis dari segi hukum kesehatan
harus mempunyai beberapa prinsip yaitu prinsip otonomi, yang berakar pada
rasa hormat terhadap individu yaitu harus menghargai dan menghormati hak
pasien untuk memilh dan memutuskan sendiri pengobatannya, prinsip
nonmaleficien yang berarti tidak merugikan pasien, prinsip beneficience
berarti melakukan yang baik, prinsip justice atau keadilan, dan prinsip
veracity atau kejujuran. Dari sudut pandang etika dan budaya, keputusan etis
berpengaruh penting terhadap norma dan nilai tim, departemen, dan
organisasi secara keseluruhan. Riset menunjukkan bahwa nilai-nilai ini sangat
memengaruhi tindakan dan proses pengambilan keputusan oleh seseorang.
Budaya dapat diamati untuk melihat jenis-jenis sinyal etika yang diberikan
kepada suatu individu. Standar etika yang tinggi dapat ditegaskan dan
dikomunikasikan melalui penghargaan publik atau upacara resmi. Sebagai
negara berketuhanan, keputusan etis ditinjau dari segi agama merupakan
faktor utama segala kebijakan atau aturan yang dibuat, sehingga diupayakan
tidak bertentangan dengan aspek agama yang ada di Indonesia (Islam,
Kristen, Katolik, Budha, Hindu dan Konghucu) apapun yang dikerjakan
dalam menjalankan profesinya selalu mendasarkan tindakannya kepada
tuntunan agama yang dianutnya.

22
3.2 Saran
Kode etik di Indonesia yang sudah ada perlu didukung dengan adanya
perangkat-perangkat aturan yang jelas agar dapat dilaksanakan secara baik
dilapangan. Perlunya sosialisai yang luas tentang kode etik profesi dan bila
perlu diadakan pelatihan yang bersifat review tentang etika profesi secara
periodik dan tidak terbatas. Dalam hukum kesehatan terkait dengan
bagaimana suatu keputusan etis dibuat, apakah keputusan yang diambil
efektif dan tidak merugikan pasiennya perlu dipertimbangkan. Standar etika
yang tinggi dapat ditegaskan dan dikomunikasikan melalui penghargaan
publik atau upacara resmi agar menjadi suatu kebudayaan dalam suatu ruang
lingkup kehidupan. Dan juga melalui pemahaman agama yang benar,
diharapkan para tenaga kesehatan dalam menjalankan profesinya selalu
mendasarkan tindakannya kepada tuntunan agama.

23
Daftar Pustaka

https://www.academia.edu/19198146/KEPUTUSAN_ETIS
(diakses pada tanggal Jumat, 18 Oktober 2019)
https://media.neliti.com/media/publications/74107-ID-pengaruh-pertimbangan-
etis-perilaku-mach.pdf
(diakses pada tanggal Jumat, 18 Oktober 2019)
Hasyim, Prasetyo.2012.Etika Keperawatan.Yogyakarta.Penerbit Bangkit
Suhaemi,Emi.2003.Etika Keperawatan : Aplikasi Pada Praktik.Jakarta.Penerbit
Buku Kedokteran EGC

24
Lampiran

25
26
27
28
29
30
31
32
33
34

Anda mungkin juga menyukai