Anda di halaman 1dari 72

DISPEPSIA

A. TINJAUAN TEORITIS
1. DEFINISI
Dispepsia berasal dari bahasa Yunani (Dys) berarti sulit dan Pepse berarti
pencernaan. Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinisyang terdiri dari rasa
tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalamikekambuhan. Keluhan
refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam
lambung, kini tidak lagi termasuk dispepsia. Pengertian dispepsia terbagi dua, yaitu :
a. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan organik sebagai
penyebabnya.Sindroma dispepsi organik terdapat kelainan yang nyata terhadap organ
tubuh misalnyatukak (luka) lambung, usus dua belas jari, radang pankreas, radang
empedu, dan lain-lain.
b. Dispepsia nonorganik atau dispepsia fungsional, atau dispesia nonulkus (DNU), bila
tidak jelas penyebabnya. Dispepsi fungsional tanpa disertai kelainan atau gangguan
struktur organberdasarkan pemeriksaan klinis, laboratorium, radiologi, dan endoskopi
(teropong saluran pencernaan).
Dispepsia atau sakit maag adalah sekumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari
nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, rasa penuh atau
cepat kenyang, dan sering bersendawa. Biasanya berhubungan dengan pola makan yang
tidak teratur, makanan yang pedas, asam, minuman bersoda, kopi, obat-obatan tertentu,
ataupun kondisi emosional tertentu misalnya stress (Wibawa, 2006).
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan / gejala klinis yang terdiri dari rasa tidak
enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan keluhan
refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan regurgitasi asam
lambung kini tidak lagi termasuk dispepsia (Mansjoer A edisi III, 2000).
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan / gejala klinis (sindrom) yang terdiri dari
rasa tidak enak / sakit diperut bagian atas yang dapat pula disertai dengan keluhan lain,
perasaan panas di dada daerah jantung (heartburn), regurgitasi, kembung, perut terasa
penuh, cepat kenyang, sendawa, anoreksia, mual, muntah, dan beberapa keluhan lainnya
(Warpadji Sarwono, et all, 1996, hal. 26)
2. PATOFISIOLOGI
Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-zat
seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stres, pemasukan makanan
menjadi kurang sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung dapat
mengakibatkan erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding lambung,
kondisi demikian dapat mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang akan
merangsang terjadinya kondisi asam pada lambung, sehingga rangsangan di medulla
oblongata membawa impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik makanan
maupun cairan.
PATHWAY

DISPEPSIA

Dispepsia
Organik

Merokok Kopi & alkohol

DISPEPSIA Stress
Fungsional Sel epitel kolumner
(-) prduksinya

Kecemasan b/d Perangsangan


perubahan status saraf simpatis Respon mukosa lambung
kesehatan NV (Nervus
Vagus)
Vaso dilatasi mukosa Eksfeliasi
gaster (Pengelupas
↑ Produksi HCL
an)
di lambung

HCL kontak
dengan mukosa
Mual, gaster
Perubahan muntah,
keseimbngan anoreksia
cairan & Nyeri
elektrolit b/d
adanya mual&
Nutrisi kurang
muntah dari kebutuhan Nyeri akut (nyeri epigastrium) b/d
tubuh iritasi pd mukosa lambung
3. ETIOLOGI
Beberapa perubahan dapat terjadi pada saluran cerna atas akibat proses penuaan,
terutama pada ketahanan mukosa lambung (Wibawa, 2006). Kadar asam lambung lansia
biasanya mengalami penuruna hingga 85%.
Dispepsia dapat disebabkan oleh kelainan organik, yaitu :
a. Gangguan penyakit dalam lumen saluran cerna: tukak gaster atau duodenum,
gastritis, tumor, infeksi bakteri Helicobacter pylori.

Gambar 1. Infeksi bakteri H. Pylori

b. Obat-obatan: anti inflamasi non steroid (OAINS), aspirin, beberapa jenis antibiotik,
digitalis, teofilin dan sebagainya.
c. Penyakit pada hati, pankreas, maupun pada sistem bilier seperti hepatitis,
pankreatitis, kolesistitis kronik.
d. Penyakit sistemik seperti diabetes melitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner.
Dispepsia fungsional dibagi 3, yaitu :
a. Dispepsia mirip ulkus bila gejala yang dominan adalah nyeri ulu hati.
b. Dispepsia mirip dismotilitas bila gejala dominan adalah kembung, mual, cepat
kenyang.
c. Dispepsia non-spesifik yaitu bila gejalanya tidak sesuai dengan dispepsia mirip ulkus
maupun dispepsia mirip dismotilitis.
Peranan pemakaian OAINS dan infeksi H. Pylori sangat besar pada kasus-kasus dengan
kelainan organik (Panchmatia, 2010).

4. MANIFESTASI KLINIS
a. Nyeri perut (abdominal discomfort)
b. Rasa perih di ulu hati
c. Mual, kadang-kadang sampai muntah
d. Nafsu makan berkurang
e. Rasa lekas kenyang
f. Perut kembung
g. Rasa panas di dada dan perut
h. Regurgitasi (keluar cairan dari lambung secara tiba-tiba).

5. KOMPLIKASI
Penderita sindroma dispepsia selama bertahun-tahun dapat memicu adanya
komplikasi yang tidak ringan. Salah satunya komplikasi dispepsia yaitu luka di dinding
lambung yang dalam atau melebar tergantung berapa lama lambung terpapar oleh asam
lambung. Bila keadaan dispepsia ini terus terjadi luka akan semakin dalam dan dapat
menimbulkan komplikasi pendarahan saluran cerna yang ditandai dengan terjadinya
muntah darah, di mana merupakan pertanda yang timbul belakangan. Awalnya penderita
pasti akan mengalami buang air besar berwarna hitam terlebih dulu yang artinya sudah
ada perdarahan awal. Tapi komplikasi yang paling dikuatirkan adalah terjadinya kanker
lambung yang mengharuskan penderitanya melakukan operasi.

6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pemeriksaan penunjang harus bias menyingkirkan kelainan serius, terutama
kanker lambung, sekaligus menegakkan diagnosis bila mungkin. Sebagian pasien
memiliki resiko kanker yang rendah dan dianjurkan untuk terapi empiris tanpa
endoskopi.
a. Tes Darah
Hitung darah lengkap dan LED normal membantu menyingkirkan kelainan
serius. Hasil tes serologi positif untuk Helicobacter pylori menunjukkan ulkus
peptikum namun belum menyingkirkan keganasan saluran pencernaan.
b. Endoskopi (esofago-gastro-duodenoskopi)
Endoskopi adalah tes definitive untuk esofagitis, penyakit epitellium Barret,
dan ulkus peptikum. Biopsi antrum untuk tes ureumse untuk H.pylori (tes CLO)
(Davey,Patrick, 2006).
Endoskopi adalah pemeriksaan terbaik masa kini untuk menyingkirkan kausa
organic pada pasien dispepsia. Namun, pemeriksaan H. pylori merupakan pendekatan
bermanfaat pada penanganan kasus dispepsia baru. Pemeriksaan endoskopi
diindikasikan terutama pada pasien dengan keluhan yang muncul pertama kali pada
usia tua atau pasien dengan tanda alarm seperti penurunan berat badan, muntah,
disfagia, atau perdarahan yang diduga sangat mungkin terdapat penyakit struktural.
Pemeriksaan endoskopi adalah aman pada usia lanjut dengan kemungkinan
komplikasi serupa dengan pasien muda. Menurut Tytgat GNJ, endoskopi
direkomendasikan sebagai investigasi pertama pada evaluasi penderita dispepsia dan
sangat penting untuk dapat mengklasifikasikan keadaan pasien apakah dispepsia
organik atau fungsional. Dengan endoskopi dapat dilakukan biopsy mukosa untuk
mengetahui keadaan patologis mukosa lambung (Wibawa, I Dewa Nyoman, 2006).
c. DPL : Anemia mengarahkan keganasan
d. EGD : Tumor, PUD, penilaian esophagitis (Pierce.A.Grace & Neil.R.Borley, 2006)
e. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan laboratorium termasuk hitung darah
lengkap, laju endap darah, amylase, lipase, profil kimia, dan pemeriksaan ovum dan
parasit pada tinja. Jika terdapat emesis atau pengeluaran darah lewat saluran cerna
maka dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan barium pada saluran cerna bgian atas
(Schwartz, M William, 2004).

7. PEMERIKSAAN FISIK
Anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien dyspepsia yang belum diinvestigasi
terutama hasrus ditujukan untuk mencari kemungkinan adanya kelainan organik sebagai
kausa dispepsia. Pasien dispepsia dengan alarm symptoms kemungkinan besar didasari
kelainan organik. Menurut Wibawa (2006), yang termasuk keluhan alarm adalah :
a. Disfagia,
b. Penurunan Berat Badan (weight loss),
c. Bukti perdarahan saluran cerna (hematemesis, melena, hematochezia, anemia
defisiensi besi,atau fecal occult blood),
d. Tanda obstruksi saluran cerna atas (muntah, cepat penuh).
Pasien dengan alarm symptoms perlu dilakukan endoskopi segera untuk
menyingkirkan penyakit tukak peptic dengan komplikasinya, GERD (gastroesophageal
reflux disease), atau keganasan.

8. PENATALAKSANAAN MEDIK
Adapun beberapa pencegahan terjadinya dyspepsia, antara lain : pola makan yang
normal, dan teratur, pilih makanan yang seimbang dengan kebutuhan dan jadwal makan
yang teratur, sebaiknya tidak mengkonsumsi makanan yang berkadar asam tinggi, cabai,
alkohol dan, pantang rokok, bila harus makan obat karena sesuatu penyakit, misalnya
sakit kepala, gunakan obat secara wajar dan tidak mengganggu fungsi lambung.
ASMA
A. TINJAUAN TEORITIS
1. PENGERTIAN
Asma merupakan gangguan radang kronik saluran napas. Saluran napas yang mengalami
radang kronik bersifat hiperresponsif sehingga apabila terangsang oleh factor risiko tertentu,
jalan napas menjadi tersumbat dan aliran udara terhambat karena konstriksi bronkus, sumbatan
mukus, dan meningkatnya proses radang (Almazini, 2012).
Asma adalah suatu keadaan di mana saluran nafas mengalami penyempitan karena
hiperaktivitas terhadap rangsangan tertentu, yang menyebabkan peradangan, penyempitan ini
bersifat sementara. Asma dapat terjadi pada siapa saja dan dapat timbul disegala usia, tetapi
umumnya asma lebih sering terjadi pada anak-anak usia di bawah 5 tahun dan orang dewasa
pada usia sekitar 30 tahunan (Saheb, 2011).

2. ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Genetik merupakan faktor predisposisi dari asma bronkhial.
2. Faktor Presipitasi
a. Alergen
Alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
1) Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan. Contohnya: debu, bulu binatang,
serbuk bunga, spora jamur, bakteri, dan polusi.
2) Ingestan, yang masuk melalui mulut. Contohnya: makanan dan obat-obatan.
3) Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit. Contohnya: perhiasan, logam,
dan jam tangan.
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi asma.
c. Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma. Stress juga bisa
memperberat serangan asma yang sudah ada
d. Lingkungan kerja
Lingkungan kerja mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
asma.Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes,
polisi lalu lintas.
e. Olah raga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jasmani
atau olah raga yang berat.

3. PATOFISIOLOGI
Asma ditandai dengan kontraksi spastik dari otot polos bronkus yang menyebabkan sukar
bernafas.Penyebab yang umum adalah hipersensitivitas bronkhioulus terhadap benda-benda
asing di udara. Reaksi yang timbul pada asma tipe alergi diduga terjadi dengan cara sebagai
berikut : seorang yang alergi mempunyai kecenderungan untuk membentuk sejumlah antibody
IgE abnormal dalam jumlah besar dan antibodi ini menyebabkan reaksi alergi bila reaksi dengan
antigen spesifikasinya.
Pada respon alergi di saluran nafas, antibodi IgE berikatan dengan alergen menyebabkan
degranulasi sel mast. Akibat degranulasi tersebut, histamin dilepaskan. Histamin menyebabkan
konstriksi otot polos bronkiolus. Apabila respon histamin berlebihan, maka dapat timbul spasme
asmatik. Karena histamin juga merangsang pembentukan mukkus dan meningkatkan
permiabilitas kapiler, maka juga akan terjadi kongesti dan pembengkakan ruang iterstisium
paru.
Individu yang mengalami asma mungkin memiliki respon IgE yang sensitif berlebihan
terhadap sesuatu alergen atau sel-sel mast-nya terlalu mudah mengalami degranulasi. Di
manapun letak hipersensitivitas respon peradangan tersebut, hasil akhirnya adalah
bronkospasme, pembentukan mukus, edema dan obstruksi aliran udara.

4. MANIFESTASI KLINIS
Gejala awal :
a. Batuk
b. Dispnea
c. Mengi (whezzing)
d. Gangguan kesadaran, hyperinflasi dada
e. Tachicardi
f. Pernafasan cepat dangkal
Gejala lain :
1. Takipnea
2. Gelisah
3. Diaphorosis
4. Nyeri di abdomen karena terlihat otot abdomen dalam pernafasan
5. Fatigue (kelelahan)
6. Tidak toleran terhadap aktivitas: makan, berjalan, bahkan berbicara.
7. Serangan biasanya bermula dengan batuk dan rasa sesak dalam dada disertai pernafasan
lambat.
8. Ekspirasi selalu lebih susah dan panjang disbanding inspirasi
9. Sianosis sekunder
10. Gerak-gerak retensi karbondioksida seperti : berkeringat, takikardia, dan pelebaran tekanan
nadi.

5. KLASIFIKASI
Berdasarkan etiologinya Asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi 3 tipe, yaitu
a. Ekstrinsik (alergik) : Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor
pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan (antibiotic
dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu
predisposisi genetik terhadap alergi.
b. Intrinsik (non alergik) : Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap
pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga
disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi.
c. Asma gabungan : Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari
bentuk alergik dan non-alergi.
Berdasarkan Keparahan Penyakit :
1. Asma intermiten : Gejala muncul < 1 kali dalam 1 minggu.
2. Asma persisten ringan : Gejala muncul > 1 kali dalam 1 minggu tetapi < 1 kali dalam 1
hari.
3. Asma persisten sedang (moderate): Gejala muncul tiap hari, eksaserbasi mengganggu
aktifitas atau tidur, gejala asma malam hari terjadi >1 kali dalam 1 minggu.
4. Asma persisten berat (severe) : Gejala terus menerus terjadi, eksaserbasi sering terjadi,
gejala asma malam hari sering terjadi, aktifitas fisik terganggu oleh gejala asma, PEF dan
PEV1 < 60%.

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan sputum
b. Pemeriksaan darah
c. Foto rontgen
d. Pemeriksaan faal paru
e. Elektrokardiografi

7. PENATALAKSANAAN
a. Pengobatan non farmakologik
1) Penyuluhan
Penyuluhan ini ditujukan pada peningkatan pengetahuan klien tentang penyakit asma
2) Menghindari faktor pencetus
3) Fisioterapi
b. Pengobatan farmakologik
1) Agonis beta.Contohnya : Alupent, metrapel
2) Metil Xantin.Contohnya : Aminophilin dan Teopilin
3) Kortikosteroid.Contohnya : Beclometason Dipropinate dengandosis 800 empat kali
semprot tiap hari.
4) Kromolin. Kromolin merupakan obat pencegah asthma, khususnya anak-anak .
Dosisnya berkisar 1-2 kapsul empat kali sehari.
5) Ketotifen. Efek kerja sama dengan kromolin dengan dosis 2 x 1 mg perhari.
Keuntunganya dapat diberikan secara oral.
6) Iprutropioum bromide (Atroven). Atroven adalah antikolenergik, diberikan dalam
bentuk aerosol dan bersifat bronkodilator.
c. Pengobatan selama serangan status asthmatikus
1) Infus RL : D5 = 3 : 1 tiap 24 jam
2) Pemberian oksigen 4 liter/menit melalui nasal kanul
3) Aminophilin bolus 5 mg / kg bb diberikan pelan-pelan selama 20 menit dilanjutka
drip Rlatau D5 mentenence (20 tetes/menit) dengan dosis 20 mg/kg bb/24 jam.
4) Terbutalin 0,25 mg/6 jam secara sub kutan.
5) Dexamatason 10-20 mg/6jam secara intra vena.
6) Antibiotik spektrum luas

8. KOMPLIKASI
a. Pneumo thoraks
b. Pneumomediastinum
c. Emfisema subkutis
d. Ateleltaksis
e. Aspergilosis
f. Gagal nafas
g. Bronchitis
DHF
A. TINJAUAN TEORITIS
1. DEFINISI
Dengue Fever (DF) adalah penyakit demam akut selama 2-7 hari dengan dua atau lebih
manifestasi berikut: nyeri kepala, nyeri perut, mual, muntah, nyeri retro orbital, myalgia,
atralgia, ruam kulit, hepatomegali, manifestasi perdarahan, dan lekopenia.
Dengue Hemoragik Fever (DHF) adalah kasus demam dengue dengan kecenderungan
perdarahan dan manifestasi kebocoran plasm. Demam berdarah dengue atau Dengue
Hemorrhagic Fever (DHF) adalah demam dengue yang disertai dengan pembesara hati dan
manifestasi perdarahan. Demam Berdarah Dengue (BDB) atau Dengue Hemorrhagic Fever
(DHF) adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue Family Flaviviride, dengan
genusnya adalah Flavivirus. Virus mempunyai empat serotype yang dikenal dengan DEN-1,
DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Selama ini secara klinik mempunyai tingkatan manifestasi yang
berbeda-beda tergantung dari sterotipe virus dengue. Mordibitas penyakit DBD menyebar di
negara-negara tropis dan sub tropis. Di setiap Negara penyakit DBD mempunyai manifestasi
klinik yang berbeda.
Dengue Shock Syndrome (SSD)/ Dengue Syok Sindrom (DSS) adalah kasus deman
berdarah dengue disertai dengan manifestasi kegagalan sirkulasi/ syok/ renjatan. Dengue Shok
Syndrome (DSS) adalah sindroma syok yang terjadi pada penderita Dengue Hemorrhagic
Fever (DHF) atau Demam Berdarah Dengue (DBD).
Dengue Shok Syndrome bukan saja merupakan suatu permasalahan kesehatan masyarakat
yang menyebar dengan luas dan tiba-tiba, tetapi juga merupakan permasalahan klinis. Karena
30 – 50% penderita demam berdarah dengue akan mengalami renjatan dan berakhir dengan
suatu kematian terutama bila tidak ditangani secara dini dan adekuat.

2. TANDA DAN GEJALA


Infeksi oleh virus dengue menimbulkan variasi gejala mulai syndrome virus nonspesifik
sampai perdarahan yang fatal. Gejala demam dengue tergantung pada umur penderita, pada balita
dan anak-anak kecil biasanya berupa demam, disertai dengan ruam-ruam makulopapular. Pada
anak-anak yang lebih besar dan dewasa, bisa dimulai dengan demam ringan, atau demam tinggi
(> 390 C) yang tiba-tiba dan berlangsung 2 – 7 hari, disertai sakit kepala hebat, nyeri di belakang
mata, nyeri sendi dan otot, mula muntah, dan ruam-ruam.
Bintik-bintik perdarahan di kulit sering terjadi, kadang-kadang disertai bintik-bintik
perdarahan dipharynx dan konjungtiva. Penderita juga sering mengeluh nyeri menelan, tidak enak
di ulu hati, nyeri di tulang rusuk kanan (coste dexter), dan nyeri seluruh perut. Kadang-kadang
demam mencapai 40-41 derajat C, dan terjadi kejang demam pada balita.
DHF adalah komplikasi serius dengue yang dapat mengancam jiwa penderitanya, oleh:
1. Demam tinggi yang tiba-tiba
2. Manifestasi perdarahan
3. Mepatomegali atau pembesaran hati
4. Kadang-kadang terjadi syok manifestasi perdarahan pada DHF, dimulai dari test tourniquet
positif dan bintik-bintik perdarahan di kulit (ptechiae). Ptichiae ini bisa terjadi di seluruh
anggota gerak, ketiak, wajah dan gusi, juga bisa terjadi perdarahan hidung, gusi, dan
perarahan dari seluran cerna, dan pendarahan dalam urine.
Berdasarkan gejalannya DHF dikelompokan menjadi 4 tingkat:
1. Derajat I : Demam diikuti gajala spesifik, satu-satunya manifestasi pendarahan adalah tes
Terniquet yang positif atau mudah memar.
2. Derajat II : Gejala yang ada pada tingkat 1 ditambah dengan pendarahan spontan, pendarahan
bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
3. Derajat III : Kegagalan sirkulasi ditandai dengan denyut nadi yang cepat dan lemah, hipotensi,
suhu tubuh rendah, kulit lembab, dan penderita gelisah.
4. Derajat IV : Shok berat dengan nadi yang tidak teraba, dan tekanan darah tidak dapat diperiksa,
fase kritis pada penyakit ini terjadi pada akhir masa demam.
Setelah demam 2-7 hari, penurunan suhu biasnanya disertai dengan tanda-tanda gangguan
sirkulasi darah, penderita berkeringat, gelisah, tangan dan kakinya dingin dan mengalami
perubahan tekanan darah dan denyut nadi. Pada kasus yang tidak terlalu berat gejala-gejala ini
hamper tidak terlihat, menandakan kebocoran plasma yang ringan.
Beberapa tanda dan gejala yang perlu diperhatikan dalam diagnosis klinik penderita dengan
dengue shock syndrome, yaitu:
1. Clauding of sensorium
2. Tanda-tanda hipovolemia, seperti akral dingin, tekanan darah menurun
3. Nyeri perut
4. Tanda-tanda perdarahan di luar kulit, dalam hal ini seperti epitaksis, hematemisis, melena,
hematuri, dan hemoptisis.
5. Trombositopenia berat
6. Adanya pleural effusion pada thoraks foto
7. Tanda-tanda miokarditis pada EKG. (Wong dkk. 1973).

3. PATOFISIOLOGI
Pathogenesis dan patofisiologi, pathogenesis DBD tidak sepenuhnya dipahami namun
terdapat 2 perubahan patofisiologi yang menyolok, yaitu meningkatnya permeabilitas kapiler
yang mengakibatkan bocornya plasma, hipovolemia dan terjadinya syok. Pada DBD terdapat
kejadian unik yaitu terjadinya kebocoran plasma ke dalam rongga peritoneal. Kebocoran plasma
terjadi singkat (24-28 jam).
Hemostatis abnormal yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopeni dan koagulopati,
mendahului terjadinya manifestasi perdarahan. Aktivasi system komplemen selalu dijumpai pada
pasien DBD kadar C3 dan C5 rendah, sedangkan C3a dan C5a meningkat. Mekanisme aktivasi
komplemen tersebut belum diketahui. Adanya komples imun telah dilaporkan pada DBD. Namun
demkian peran kompleks antigen-antibodi sebagai penyebab aktivasi komplemen pada DBD
belum terbukti.
Selama ini diduga bahwa derajat keparahan DBD dibandingkan dengan DD dijelaskan
adanya pemacuan dari multiplikasi virus di dalam makrofag oleh antibody heterotipik sebagai
akibat infesi dengue sebelumnya. Namun demikian terdapat bukti bahwa factor virus serta
responsimun cell-mediated terlibat juga dalam pathogenesis DBD.
Patofisiologi yang terutama pada Dengue Shock Syndrome adalah terjadinya peninggian
permiabilitas dinding pembuluh darah yang tidak dengan akibat terjadinya perembesan plasma
dan elektrolit melalui endotel dinding pembuluh darah dan masuk ke dalam ruang interstial,
sehingga menyebabkan hipotensi, hemokonsentrasi, hipoproteinemia, dan efusi cairan kerongga
serosa.
Pada penderita dengan renjatan berat maka volume plasma dapat berkurang sampai kurang
lebih 30% dan berlangsung selama 24-48% jam. Renjatan hopovolemi ini bila tidak segera diatasi
maka dapat mengakibatkan anoksia jaringan, asidosis metabolic, sehingga terjadi pergeseran ion
kalium intraseluler ke ekstra seluler. Mekanisme ini diikuti pula dengan penurunan kontraksi otot
jantung dan venous penting, sehingga lebih lanjut akan memperberat renjatan. Penyebab lain
kematian DSS ialah perdarahan hebat saluran pencernaan yang biasanya timb ul setelah renjatan
berlangsung lama dan tidak diatasi adekuat.
Terjadinya perdarahan ini disebabkan oleh:
1. Trombositopenia hebat, dimana trombosit mulai menurun pada masa demam dan
mencapai nilai terendah pada masa renjatan.
2. Gangguan fungsi trombosit.
3. Kelainan system koagulasi, masa tromboplastin partial, masa protrombim memanjang
sedangkan sebagian besar penderita didapatkan masa thrombin yang normal.
Beberapa factor pembekuan menurun, termasuk factor II, V, VII, IX, X, dan
fibrinogen.
4. Pembekuan inravaskuler yang meluas (disseminated intravaskeler Coagulasion =
DIC).
Bila masa dini DBD, peranan DIC tidak menonjol dibandingkan perembesan plasma,
namun apabila penyakit memburuk sehingga renjatan dan metabolism asidosis, maka
renjatan akan mempercepat sehingga peranannya akan menonjol. Renjatan dan DIC akan
organ-organ vital dan berakhir dengan kematian.
Ada dua perubahan patofisiologi utama terjadi pada DBD/ DSS. Pertama adalah
peningkatan perembesan vascular yang meningkatkan kehilangan plasma dari kompartemen
vascular. Keadaan ini mengakibatkan hemokosentrasi, tekanan nadi rendah, dan tanda syok
lain, bila kehilangan plasma sangat membahayakan. Perubahan kedua adalah gangguan pada
hemostasis yang mencakup perubahan vascular, trombositopenia, dan koagulopati.
Temuan konstan pada DBD/ DSS adalah aktivasi system komplemen, dengan depresi
besar C3 dan C5. Mediator yang meningkatkan permeabilitas vascular dan mekanisme pasti
fenomena perdarahan yang timbul pada infeksi dengue belum teridentifikasi. Kompleks
imun telah ditemukan pada DBD tetapi peran mereka belum jelas.
Defek trombosit terjadi baik kualitatif dan kuantitatif yaitu beberapa trombosit yang
bersirkulasi selama fase akut DBD mungkin kelelahan (tidak mampu berfungsi normal).
Karenanya, meskipun klien dengan jumlah trombosit lebih besar dari 100.000 mm3 mungkin
masih mengalami masa perdarahan yang panjang.
Mekanisme yang dapat menunjang terjadinya DBD/ DSS adalah peningkatan replikasi
virus dan makrofag oleh antibody heterotipik. Pada infeksi sekunder dengan virus dari
serotype yang berbeda dari yang menyebabkan infeksi primer, antibody reaktif silang yang
gagal untuk menetralkan virus dapat meningkatkan jumlah minosit terinfeksi saat kompleks
antibody virus dengue masuk ke dalam sel ini. Hal ini selanjutnya dapat mengakibatkan
aktivasi reaktif silang CD4+ dan CD8+ limfosit sitotoksik. Pelepasan cepat sitokin yang
disebabkan oleh aktivasi sel T dan oleh lisis monosit terinfeksi di media oleh limfosit
sitotoksik uang dapat mengakibatkan rembesan plasma dan perdarahan yang terjadi pada
DBD. (Monica Ester, 1999).
PATHWAY
Fase-fase pada DBD:
1. Fase inkubasi : 9 – 11 hari
2. Fase akut : hari ke 1 – 3
3. Fase kritis : hari 4 – 6
4. Fase penyembuhan : hari 7 – 10
Apabila setelah hari ke 7 masih terjadi kenaikan suhu badan perlu dipikirkan 3 hal:
1. Proses pirogen : karena infuse terlalu lama
2. Proses alergi
3. Proses infeksi
(Materi Pelatihan Keperawatan Professional Dasar Anak, 2002)

4. MANIFESTASI KLINIK
Dengue Shock Syndrome (DSS) menurut klasifikasi WHO (1975) merupakan demam
berdarah dengue derajat III dan IV atau demam berdarah dengue dengan tanda-tanda
kegagalan sirkulasi sampai tingkiat renjatan.
1. Renjatan
Terjadinya renjataan pada DBD biasanya terjadinya pada saat atau setelah demam
menurun yaitu antara hari ke-3 dan ke-7, bahkan renjatan dapat terjadi pada hari ke-10.
Menurut Wong, dkk. (1973) renjatan terjadi pada hari ke-5 (39%), hari ke-4 (23,5%).
Sumarmo (1983) mendapatkan 39,2% pada hari ke-5 dan 25% pada hari ke-4. Renjataan
yang terjadi pada saat demam mulai turun dapat diterangkan dengan hipotese
meningkatnya reaksi imonologis (The Immunological Enhancement Hypothesis).
Manifastasi klinis renjatan pada anak terdiri atas:
a. Kulit pucat, dingin, dan lembab terutama pada ujung jari kaki, tangan dan hidung.
b. Anak semula rewel, cengeng, dan gelisah lambat laun menurun menjadi apti, spoor
dan koma
c. Perubahan nadi baik frekuensi maupun amplitudonya
d. Tekanan nadi menurun menjadi 20 mmHg atau kurang
e. Tekanan sistolik menurun menjadi 80 mmHg atau kurang
f. Oliguria sampai anuria.
Berdasarkan gangguan sirkulasi di atas, maka sebagian ahli membagi renjatan atas:
a. Renjatan berat (profound shock) ialah renjatan yang ditandai oleh tekanan darah
yang tidak dapat diukur dan nadi tidak dapat diraba.
b. Renjatan sedang ialah tekanan nadi menurun 20 mmHg atau lebih dan atau tekanan
darah sistolik kurang atau sama dengan 80 mmHg.
c. Renjatan ringan ualah tekanan sistolik mulai menurun, dimana tekanan diastolic
tetap normal atau sedikit rendah.
Sedangkan Munir dan Rampengan (1984) membagi renjatan menjadi:
a. Syok ringan/ tingakt 1 (Impending shock) yaitu gejala dan tanda syok disertai
menyempitnya tekanan nadi menjadi 20 mmHg.
b. Syok sedang/ tingkat 2 (Moderate shock) yaitu = tingkat 1 ditambah tekanan
nadi menjadi <>
c. Syok berat/ tingkat 3 (Profound shock) yaitu tekanan darah tak terukur/ nol,
tetapi belum ada sianosis/ asidosis.
d. Syok sangat berat/ tingkat 4 (Moribund cases) yaitu tekanan darah tak terukur
lagi disertai sianosis dan asidosis.
Merupakan salah satu manifestasi klinik yang selalu ditemukan, kebanyakan peneliti
melaporkan 100% penderita DSS didahului oleh panas.
Sumarmo (1983) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa suhu penderita DSS
terendah adalah 36,20C dan tertinggi 40,80C dan ternyata DSS banyak dijumpai pada
suhu sekitar 370C. (45,65%).

2. Hepatomegali
Di Indonesia (Jakarta) dilaporkan 89% dan Semarang 65,5%. Terdapat koreksi antara
persentase hepatomegali dengan derajat berat penyakit tetapi pembesaran hati tidak sejajar
dengan beratnya penyakit. Pembesaran hati pada penderita DBD derajat IV, tidak selalu
lebih besar daripada penderita DBD II.
Menifestasi klinik lain yaitu diantaranya: nyeri perut,anoreksia, muntah-muntah, diare/
obstipasi, kejang-kejang, pleura effusion, asxites, cafalgia, serta gambaran EKG yang
abnormal.
Manifestasi perdarahan:
a. Uji tourniquet dinyatakan positif apabila > / = 10 petekie pada diameter 1 inci 2,5 cm.
b. Petekie, ekimosis, atau purpura
c. Perdarahan mukosa (epstaksis, perdarahan gusi)
d. Hematemosis, melena
e. Trombositopenia <>3*). Biasanya mulai hari ke 3 dan kembali normal 7 – 10 hari sejak
permulaan sakit.
Manifestasi kebocoran plasma:
a. Peningkatan hematokrit > / = 20%
b. Penurunan hematorkrit > / = 20 % setelah pengobatan
c. Efusi pleura, asites, edema palpebra, atau hipoproteinemia (khususnya albumin)
Manifestasi syok:
a. Nadi lemah/ kecil dan cepat
b. Tekanan nadi menurun (20 mmHg)
c. Hipotensi sesuai umur
d. Hipotensi ditentukan dengan tekanan sistolik <>
e. Kulit dingin dan lembab
f. Gelisah dan lemah
g. Kencing <>
h. Perfusi jaringan menurun
i. Nafas cepat dan dalam
j. Kesadaran menurun
(Naskah Lengkap Pelatihan bagi Pelatih Dokter Spesialis Anak dan Dokter Spesialis
Penyakit Dalam dalam Tatalaksana Kasus DBD, 1999)
Kriteria DBD menurut WHO (WHO, 1997):
1. Klinis:
a. Demam tinggi mendadak, tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus- menerus selama 2
– 7 hari.
b. Terdapat manifestasi perdarahan: RL, tes positif, petekie, ekimosis, epistaksis,
perdarahan hati/ hepatomegali
c. Syok.
2. Laboratorium:
a. Trombositopenia (100.000 mm3 atau kurang)
b. Hemokonsentrasi: peningkatan hematokrit 20% menurut standar umur dan jenis
kelamin.
5. KOMPLIKASI
1. Syok
2. Sepsis
3. Ensefalopati
4. Gagal ginjal akut
5. Edema pulmo
6. Perdarahan GIT
7. Perdarahan intra karnial
8. DIC
(Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak IADI, 2004)

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. AT dan Hmt serial, Hb, Golongan darah, CT, BT.
2. Ro thorak: adakah efusi pleura
3. USG: kelainan vesika telea
(Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak IADI, 2004)

7. PENATALAKSANAAN
Penanganan renjatan pada DBD merupakan suatu masalah yang sangat penting
diperhatikan, oleh karena angka kematian akan meninggi bila renjatan tidak ditanggulangi
secara dini dan adekuat.
Dasar penangani renjatan DBD ialah volume replacement atau penggantian cairan
intravascular yang hilang, sebagai akibat dari kerusakan dinding kapiler yang menimbulkan
peninggian permeabilitas sehingga mengakibatkan plasma leakage.
Prinsip pengobatan Dengue Shock Syndrome (DSS):
a. Atasi segera hipovolemia
b. Lanjutkan penggantian cairan yang terus keluar dari pembuluh darah selama 12 – 24
jam, atau paling lama 48 jam
c. Koreksi keseimbangan asam basa
d. Beri darah segera bila terjadi perdarahan hebat.
Mengatasi renjatan (volume replacement)
a. Jenis cairan
Jenis cairan yang dipakai ialah:
1) Ringer laktat
2) Glukosa 5% dalam half strength NaC1 0,9%
3) RL-D5, dapat dibuat dengan jalan mengeluarkan 62,5 cc cairan RL, kemudian
ditambahkan D40% sebanyak 62,5 cc.
4) NaC1 0,9%; D10, aa ditambahkan Natrium Bikarbonat 7,5% sebanyak 2 cc/ kgBB.
Plasma/ plasma ekspander
1) Diperlukan pada penderita renjatan berat, atau pada penderita yang tidak segera
mengalami perbaikan dengan cairan kristaloid di atas.
2) Bila dapat cepat disiapkan, diberikan sebagai pengganti cairan a.1, setelah itu cairan
pertama dilanjutkan lagi.
3) Setelah pemberian cairan a.1, nilai hematokrit masih tinggi dan hitung trombosit masih
rendah.
4) Dosis yang diberikan 10 – 20 ml/ kg.bb dalam waktu 1-2 jam
5) Apabila nadi/ tekanan darah masih jelek atau hematokrit masih tinggi, dapat
ditambahkan plasma 10 ml/kh.bb setiap jam sampai total 40 ml/ kg.bb.
6) Plasma ekspander yang dapat digunakan adalah:
7) Plasbumin (human albumin 25%)
8) Plasmanate (plasma, protein, fleksion 5%)
9) Plasmafuchin
10) Dextran L 40
Pemberian obat-obatan:
1) Antibiotic
2) Antivirus
3) Heparin
4) Kartikosteroid
5) Carbazochrom Sodium Sulfonat
6) Dopamine
7) Sedative anti konvulsen
8) Antasida
9) Diuretika
10) Digitalisasi
Panatalkasanaan terdiri dari:
a. Pencegahan
Tidak ada vaksin yang tersedia secara komersial untuk flavivirus demam berdarah.
Pencegahan utama demam berdarah terletak pada menghapuskan atau mengurangi vector
nyamuk demam berdarah.

Cara pencegahan DBD:


1. Bersihkan tempat menyimpan air (bak mandi, wc)
2. Tutuplah rapat-rapat tempat penampungan air
3. Kubur atatu buanglah pada tempatnya barang-barang bekas (kaleng, botol bekas)
4. Tutuplah lubang-lubang, pagar pada pagar gambu dengan tanah.
5. Lipatlah pakaian atau kain yang bergantungan dalam kamar agar nyamuk tidak
hinggap di situ.
6. Untuk tempat-tempat air yang tidak mungkin untuk membunuh jintik-jintik nyamuk
(ulangi hal ini setiap 2 sampai 3 bulan sekali.
b. Pengobatan
Pengobatan penderita demam berdarah adalah dengan cara:
1. Penggantian cairan tubuh
2. Penderita diberi minum sebanyak 1,5 liter sampai 2 liter dalam 24 jam
3. Gastroenteritis oral solution atau krital diare yaitu garam elektrolid (oralit kalau perlu
1 sendok makan setiap 3 sampai 5 menit)
4. Penderita sebaiknya dirawat di rumah sakit diperlukan untuk mencegah terjadinya
syok yang dapat terjadi secara tepat.
5. Pemasangan infuse NaC1 atau Ringer melihat keperluannya dapat ditambahkan,
plasma atau plasma expander atau preparat hemasel.
Antibiotic diberikan bila ada dugaan infeksi sekunder.
1. Keperawatan
a. Memonitor vital sign
b. Mengganti cairan dan elektrolit yang hilang
c. Memonitor tanda dehidrasi dan overhidrasi
d. Memonitor tanda-tanda syok
e. Memonitor perdarahan dan kebocoran plasma
f. Mengelola infuse dan tranfusi
g. Memenuhi kebutuhan nutrisi
h. Mengontrol dan mengatasi demam
i. Tirah baring
j. Mengelola pemberian oksigen jika diperlukan
2. Medis
a. Terapi intravena: RL, Asering
b. Transfusi sesuai kebutuhan: plasma, trombosit, whole blood
c. Antipiretik: paracetamol 10 mg/kg BB/pemberian. Tidak boleh diberikan aspirin,
Proris/ ibuprofen dapat memperberat trombositopenia
d. Oksigtenasi jika diperlukan
Antibiotic diberikan untuk DBD ensefalopati, atau jika ada infeksi sekunder.

8. PROGNOSIS
Infeksi dengue pada umumnya mempunyai prognosis yang baik, DF dan DHF tidak
ada yang mati. Kematian dijumpai pada waktu ada pendarahan yang berat, shock yang tidak
teratasi, efusi pleura dan asites yang berat dan kejang. Kematian dapat juga disebabkan oleh
sepsis karena tindakan dan lingkungan bangsal rumah sakit yang kurang bersih. Kematian
terjadi pada kasus berat yaitu pada waktu muncul komplikasi pada system syaratf,
kardiovaskuler, pernafasan darah, dan organ lain.
Kematian disebabkan oleh banyak factor, antara lain:
1. Keterlambatan diagnosis
2. Keterlambatan diagnosis shock
3. Keterlambatan penanganan shock
4. Shock yang tidak teratasi
5. Kelebihan caian
6. Kebocoran yang hebat
7. Pendarahan massif
8. Kegagalan banyak organ
9. Ensefalopati
10. Sepsis
11. Kegawatan karena tindakan
ABDOMINAL PAIN

A. TINJAUAN TEORITIS

1. Pengertian

Abdominal pain atau nyeri abdomen merupakan Nyeri Abdomen adalah nyeri yang
dirasakan di daerah Abdomen. Sensasi subyektif tidak menyenangkan yang terasa disetiap region
abdomen.
Nyeri abdomen dibedakan menjadi 2 yaitu:
a. Nyeri abdomen akut :
Nyeri abdomen hebat yang berlangsung lebih dari 6 jam di mana sebelumnya
keadaan pasien normal saja. Nyeri tersebut sangat akut dan mengakibatkan kematian.
Nyeri abdomen akut biasanya digunakan untuk menggambarkan nyeri dengan onset
mendadak dan atau durasi pendek.
b. Nyeri abdomen kronis:
Nyeri yang biasanya menggambarkan nyeri berlanjut baik yang berjalan dalam waktu
lama atau berulang atau hilang timbul .Nyeri kronis dapat berhubungan dengan eksaserbasi
akut.
Nyeri pada abdomen terbagi menjadi :
1. Visceral pain
1) Mulainya perlahan-lahan lalu agak tumpul (dullness).
2) Lokalisasinya tidak jelas.
3) Biasanya berada di garis tengah (midline). Oleh karena sifat-sifat sensoris itu akan
secara simetris meneruskan rasa nyeri tadi ke sumsum tulang belakang.
2. Parietal Pain
1) Sifatnya lebih akut, lebih tajam
2) Biasanya tidak di Midline tapi mendekati organ yang terkena
3. Referred Pain
1) Rasa nyeri yang timbul jauh dari organ penyebabnya
Contohnya: rasa nyeri karena radang kandung empedu atau oleh rangsang diaphragma kanan, rasa
nyeri dirasakan di daerah bahu kanan
4. Shifting Pain
Contoh 1 : radang dari appendicitis
Permulaan appendicitis, rasa nyeri berada di para umbilical (sekitar daerah pusat). Setelah
proses lebih lanjut, nyeri berpindah ke arah kuadran kanan bawah oleh karena lebih
banyak peritoneum yang terkena iritasi.
Contoh 2 : Ulcus pepticum
Mulai di dekat pusat, lalu ulcus pecah, sekretnya jatuh ke bawah di daerah para colica
kanan. Biasanya rasa nyeri yang dirasakan bersifat combined. Akan tetapi yang paling
sering adalah pada radang subdiaphragmatica nyeri dirasakan di bahu kanan. Nyeri
abdomen biasanya timbulnya spontan, non traumatis. Oleh karena itu pemeriksaan dari
abdomen harus sangat teliti.

2. Etiologi
Penyebab utama dari abdominal pain atau nyeri abdomen adalah cedera
intraabdomen. Cedera intraabdomen ini terdiri dari dua macam cedera yang mungkin terjadi
antara lain trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen. Di samping dari cedera
yang dapat memnyebabkan abdominal pain atau nyeri abdomen ada pula penyebab lain yang
dapat menyebabkan abdominal pain atau nyeri abomen yaitu nyeri abdomen bisa disebabkan
oleh masalah di sepanjang saluran pencernaan atau di berbagai bagian abdomen, yang bisa
berupa:
- ulkus yang mengalami perforasi
- irritable bowel syndrome
- apendisitis
- pankreatitis
- batu empedu.
Beberapa kelainan tersebut bersifat relatif ringan; yang lainnya mungkin bisa berakibat fatal.
3. Patofisiologi

Pendarahan pada abdomen dapat terjadi akibat hampir semua gangguan dari jaringan
dinding abdomen. Rasa nyeri pada abdominal baik mendadak maupun berulang, biasanya
selalu bersumber pada: visera abdomen, organ lain di luar abdomen, lesi pada susunan saraf
spinal, gangguan metabolik, dan psikosomatik. Rasa nyeri pada abdomen somatik berasal
dari suatu proses penyakit yang menyebar ke seluruh peritoneum dan melibatkan visera
mesentrium yang beisi banyak ujung saraf somatik, yang lebih dapat meneruskan rasa
nyerinya dan lebih dapat melokalisasi rasa nyeri daripada saraf otonom. Telah diketahui pula
bahwa gangguan pada visera pada mulanya akan menyebabkan rasa nyeri visera, tetapi
kemudian akan diikuti oleh rasa nyeri somatik pula, setelah peritoneum terlibat. Rasa nyeri
somatik yang dalam akan disertai oleh tegangan otot dan rasa mual yang merupakan gejala
khas peritonitis. Reflek rasa nyeri abdomen dapat timbul karena adanya rangsangan nervus
frenikus, misalnya pada pneumonia. Rasa nyeri yang berasal dari usus halus akan timbul
didaerah abdomen bagian atas epigastrium, sedangkan rasa nyeri dari usus besar akan timbul
dibagian bawah abdomen. Reseptor rasa nyeri didalam traktus digestivus terletak pada saraf
yang tidak bermielin yang berasal dari sistem saraf otonom pada mukosa usus. Jaras saraf ini
disebut sebagai serabut saraf C yang dapat meneruskan rasa nyeri lebih menyebar dan lebih
lama dari rasa nyeri yang dihantarkan dari kulit oleh serabut saraf A. reseptor nyeri pada
abdomen terbatas di submukosa, lapisan muskularis, dan serosa dari organ abdomen. Serabut
C ini akan bersamaan dengan saraf simpatis menuju ke ganglia pre dan paravertebra dan
memasuki akar dorsa ganglia. Impuls aferen akan melewati medula spinalis pada traktus
spinotalamikus lateralis menuju talamus, kemudian ke korteks serebri. Impuls aferen dari
visera biasanya dimulai oleh regangan atau akibat penurunan ambang nyeri pada jaringan
yang meradang. Nyeri ini khas bersifat tumpul, pegal, dan berbatas tak jelas serta sulit
dilokalisasi. Impuls nyeri dari visera abdomen atas ( lambung, duodenum, pankreas, hati, dan
sistem empedu ), mencapai medula spinalis pada segmen torakalis 6,7,8 serta dirasakan
didaerah epigastrium. Impuls nyeri yang timbul dari segmen usus yang meluas dari
ligamentum Treitz sampai fleksura hepatika memasuki segmen torakalis 9 dan 10, dirasakan
di sekitar umbilikus. Dari kolon distalis, ureter, kandung kemih, dan traktus gnetalia
perempuan, impuls nyeri mencapai segmen torakal 11 dan 12 serta segmen
lumbalis pertama. Nyeri dirasakan pada daerah suprapubik dan kadang-kadang menjalar ke
labium atau skrotum. Jika proses penyakit meluas ke peritorium maka impuls nyeri
dihantarkan oleh serabut aferen somatis ke radiks spinal segmentalis 1,3. nyeri yang
disebabkan oleh kelainan metabolik seperti pada keracunan timah, dan porfirin belum jelas
patofisiologi dan patogenesisnya.
4. Manifestasi Klinis
Trauma tembus abdomen merupakan trauma yang dapat di akibatkan oleh luka
tembak maupun luka tusuk bersifat serius dan biasanya memerlukan pembedahan. Pada
cedera tembus, factor yang paling penting adalah kecepatan peluru masuk ke tubuh. Peluru
kecepatan tinggi membuat jaringan yang luas. Hampir semua luka tembak membutuhkan
bedah eksplorasi. Luka tusuk mungkin lebih ditangani secara konservatif. Trauma tembus
abdominal menimbulkan insiden yang tinggi dari luka terhadap organ beruang, terutama usus
halus. Hati adalah organ padat yang paling tersering cedera.
Trauma tumpul abdomen merupakan trauma yang dapat terjadi akibat kecelakaan
motor,jatuh, atau pukulan. Pasien dengan trauma tumul adalah suatu tantangan karena adanya
potensi cedera tersembunyi yang mungkin sulit terdeteksi.linsiden komplikasi berkaitan
dengan trauma yang penanganannya terlambat lebih besar dari insiden yang behubungan
dengan trauma tembus abdomen. Khususnya trauma tumpul abdomen mengenai hati, ginjal,
limpa, atau pembuluh darah yang dapat menimbulkan kehilangan darah dari substansial
kedalam rongga peritoneum. Trauma tumpul abdomen sering berhubungan dengan cedera
ekstra-abdomen pada dada, kepala, atau ektremitas. Sifat nyeri dan hubungannya dengan
makan atau pergerakan bisa merupakan petunjuk untuk membantu menegakkan
diagnosis.Bila anggota keluarga lainnya sudah pernah mengalami kelainan abdomen,
(misalnya batu empedu), ada kemungkinan penderita mengalami kelainan yang sama.
Apa yang terlihat pada penderita juga dapat menjadi petunjuk penting. Sebagai
contoh, sakit kuning (kulit dan bagian putih mata yang berwarna kuning) menunjukan
penyakit hati, kandung empedu atau saluran empedu.
5. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Urinalisis : sebagai pedoman untuk kemungkinan infeksi saluran urinari.
Seri kadar hematokrit : cenderung menggambarkan ada atau tidaknya pendarahan.
Hitung darah lengkap (HDL) : jumlah sel darah putih meningkat pada trauma
adalah umum.
Penentuan amylase serum : peningkatan kadar menandakan cedera pancreas atao
perforasi saluran gastrointestinal.
DPL:Leukositosis,penyakit infeksi/inflamasi,anemia,keganasan tersembunyi,pud
b. LFT:Biasanya abnormal pada kolangitis ,dapat abnormal pada kolesistitis
akut
c. Amilase :Kadar serum >3x batas atas kisaran normal merupakan diagnostik
pankreatitis.
c.β-HCG(serum):Kehamilan ektopik(kadar β-HCG dalam serum lebih akurat
daripada dalam urine)
d. Gasdarah arteri :Asidosis metabolik(iskemia usus,peritonitis,pankreatitis)
e. Urin porsi tengah (MSU):infeksi saluran kemih
b. Pemeriksaan sinar-x
Pemindaian tomogrfi computer (CT) : memungkinkan evaluasi deti tentang isi
abdomen dan pemeriksaan retroperitoneal.
Sinar x dada dan abdomen : menunjukan udara bebas dibawah diafragma,yang
menunjukan rupture viskus berongga (organ interior besar)

6. Penatalaksanaan
1. Mulai prosedur resusitasi ( memperbaiki airway, breething, sirkulasi )
2. Pertahankan pasien pada brankar atau tandu papan; gerakan dapat menyebabkan
fragmentasi bekuan pada pembuluh darah besar dan dapat menimbulkan hemoragi masif.
3. Bantu pemeriksaan rectal atau vagina untuk diagnosis cedera pada pelvis, kandung
kemih, dan dinding usus.
4. Siapkan lavase peritoneum diagnostic untuk menguji perdarahan injtraperitoneal;
laserasi atau perdarahan didiagnosa dengan pemeriksaan lengkap dan mikroskopik
terhadap aliran balik cairan setelah lavase peritoneum. Bantu pemasangan selang
nasogastrik untuk mencegah mluntah dan aspirsi. Ini juga membantu dalam membuang
FRAKTUR

A. TINJAUAN TEORITIS
1. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. (smeltzer S.C & Bare B.G,2001) Fraktur adalah setiap retak atau patah pada
tulang yang utuh.( reeves C.J,Roux G & Lockhart R,2001 )
Fraktur cruris adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya, terjadi pada tulang tibia dan fibula. Fraktur terjadi jika tulang dikenao stress
yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. (Brunner & Suddart) Fraktur adalah
Hilangnya kesinambungan substansi tulang dengan atau tanpa pergeseran fragmen-
fragmen fraktur.

2. Klasifikasi
1. Complete fraktur ( fraktur komplet ), patah pada seluruh garis tengah tulang,luas
dan melintang. Biasanya disertai dengan perpindahan posisi tulang.
2. Closed frakture ( simple fracture ), tidak menyebabkan robeknya kulit, integritas
kulit masih utuh.
3. Open fracture ( compound frakture / komplikata/ kompleks), merupakan fraktur
dengan luka pada kulit ( integritas kulit rusak dan ujung tulang menonjol sampai
menembus kulit) atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.
Fraktur terbuka digradasi menjadi :
a. Grade I : luka bersih, kuarang dari 1 cm panjangnya
b. Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif
c. Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan jaringan
lunak ekstensif.
4. Greenstick, fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya
membengkok.
5. Transversal, fraktur sepanjang garis tengah tulang
6. Oblik, fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang
7. Spiral, fraktur memuntir seputar batang tulang
8. Komunitif, fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen
9. Depresi, fraktur dengan frakmen patahan terdorong kedalam ( sering terjadi pada
tulang tengkorak dan wajah )
10. Kompresi, fraktur dimana tulang mengalami kompresi ( terjadi pada tulang
belakang )
11. Patologik, fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit ( kista tulang,
paget, metastasis tulang, tumor )
12. Avulsi, tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendo pada prlekatannya.
13. Epifisial, fraktur melalui epifisis
14. Impaksi, fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang lainnya.

3. Etiologi
1. Trauma :
a. Langsung (kecelakaan lalulintas)
b. Tidak langsung (jatuh dari ketinggian dengan posisi berdiri/duduk sehingga
terjadi fraktur tulang belakang )
2. Patologis : Metastase dari tulang, osteoporosis, neoplasma
3. Degenerasi
4. Spontan : Terjadi tarikan otot yang sangat kuat.
5. Gerakan pintir mendadak
6. Kontraksi otot ekstem

4. Tanda dan gejala


a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya samapi fragmen tulang
diimobilisasi, hematoma, dan edema
b. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
c. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat
diatas dan dibawah tempat fraktur
d. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit
f. Peningkatan temperatur lokal
g. Pergerakan abnormal
h. Echymosis
i. Kehilangan fungsi
j. Kemungkinan lain.

5. Patofisiologi
Trauma yang terjadi mengakibatkan fraktur akan dapat merusak jaringan lunak
disekitar fraktur mulai dari otot fascia, kulit sampai struktur neuromuskuler atau
organ-organ penting lainnya. Pada saat terjadi kerusakan terjadilah respon
peradangan dengan pembentukan gumpalan atau bekuan fibrin. Oesteoblas mulai
muncul dengan jumlah besar untuk membentuk suatu matrix tulang baru, antara
fragmen-fragmen tulang. Garam kalsium dalam matrix tulang membentuki kallus
yang akan memberikan stabilitas dan menyokong untuk pembentukan matrik baru.

6. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan diagnostik yang sering dilakukan pada fraktur adalah:
2) X-ray: menentukan lokasi/luasnya fraktur
3) Scan tulang: memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan
jaringan lunak
4) Arteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler.
5) Hitung Darah Lengkap hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada
perdarahan; peningkatan lekosit sebagai respon terhadap peradangan.
6) Kretinin trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk klirens ginjal
7) Profil koagulasi perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi atau
cedera hati.
8) pemeriksaan foto radiologi dari fraktur : menentukan lokasi, luasnya
9) Pemeriksaan jumlah darah lengkap

7. Komplikasi
a) Infeksi
b) Kompartemen sindrom
c) Kerusakan kulit; abrasi, laserasi, penetrasi, nekrosis
d) Gangren
e) Emboli paru
f) Trombis vena
g) Acut Respiratory Disstres Sindrome
h) Oesteoporosis pasca trauma
i) Ruptur tendon
j) Syok; hemoragik, neurogenik
k) Pembuluh darah robek
l) Osteomieliris
m) Tetanus
n) Batu gunjal bila lama immobilisasi
Umum :
1) Shock
2) Kerusakan organ
3) Kerusakan saraf
4) Emboli lemak
Dini
1) Cedera arteri
2) Cedera kulit dan jaringan
3) Cedera partement syndrom.
Lanjut
a. Stiffnes (kaku sendi)
b. Degenerasi sendi
c. Penyembuhan tulang terganggu :
a) malunion : tulang patah telahsembuh dalam posisi yang tidak seharusnya.
b) Delayed union : proses penyembuhan yang terus berjlan tetapi dengan
kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
c) Non union : tulang yang tidak menyambung kembali

8. Penatalaksanaan Medis
1) Reduksi fraktur terbuka atau tertutup : tindakan manipulasi fragmen-fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak semula.
2) Imobilisasi fraktur : Dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna
3) Pengobatan terkait dengan fraktur; mengurangi nyeri, mencegah perdarahan dan
edema, mengurangi spasme otot, meluruskan tulang yang patah, meningkatkan
kesembuhan tulang, immobilisasi fraktur dan mencegah komplikasi.
4) Reduksi; reposisi tulang. Reduksi tertutup dilakukan dengan memanipulasi
eksternal untuk meluruskan atau kesegarisan tulang yang patah keposisi semula.
Open reduction dan internal fixation ( ORIF ) yaitu dengan pembedahan, adanya
fiksasi internal yang membantu mempertahankan kelurusan tulang
5) Retensi misalnya gips, traksi; kulit dan skeletal. Traksi kulit yang gunakan “Buck
extension traction” untuik fraktur panggul, komntraktur, spasme otot dan
hernarthrosis. Traksi Bryant digunakan pada fraktur femur atau Congenital Hip
Dysplasia. Traksi Russel untuk stabilisasi fraktur femur. Traksi servikal untuk
fraktur servikal dan mengobati iritasi saraf dan otot pada bahu dan lerngan atas.
Traksi skeletal digunakan ; traksi balance suspension yang digunkan pada fraktur
pelvis dan femur.
6) Fasciotomy adalah prosedur pembedahan yang dilakukan untuk mengurangi
tekanan yang terkait dengan kompartemen sindrom.
7) Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
a) Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan
b) Pemberian analgetik untuk mengerangi nyeri
c) Status neurovaskuler (misal: peredarandarah, nyeri, perabaan gerakan)
dipantau
d) Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalakan atrofi
disuse dan meningkatkan peredara darah
8) Rehabilitasi, mengembalikan ke fungsi semula.

Tahap Penyembuhan Tulang:


1. Hematoma :
a. Dalam 24 jam mulai pembekuan darah dan haematom
b. Setelah 24 jam suplay darah ke ujung fraktur meningkat
c. Haematom ini mengelilingi fraktur dan tidak diabsorbsi selama penyembuhan tapi
berubah dan berkembang menjadi granulasi.
2. Proliferasi sel :
a. Sel-sel dari lapisan dalam periosteum berproliferasi pada sekitar fraktur
b. Sel ini menjadi prekusor dari osteoblast, osteogenesis berlangsung terus, lapisan fibrosa
periosteum melebihi tulang.
c. Beberapa hari di periosteum meningkat dengan fase granulasi membentuk collar di ujung
fraktur.
3. Pembentukan callus :
a. Dalam 6-10 hari setelah fraktur, jaringan granulasi berubah dan terbentuk callus.
b. Terbentuk kartilago dan matrik tulang berasal dari pembentukan callus.
c. Callus menganyam massa tulang dan kartilago sehingga diameter tulang melebihi
normal.
d. Hal ini melindungi fragmen tulang tapi tidak memberikan kekuatan, sementara itu terus
meluas melebihi garis fraktur.
4. Ossification
a. Callus yang menetap menjadi tulang kaku karena adanya penumpukan garam kalsium
dan bersatu di ujung tulang.
b. Proses ossifikasi dimulai dari callus bagian luar, kemudian bagian dalam dan berakhir
pada bagian tengah
c. Proses ini terjadi selama 3-10 minggu.
5. Consolidasi dan Remodelling
Terbentuk tulang yang berasal dari callus dibentuk dari aktivitas osteoblast dan osteoklast.
PATHWAY

Trauma langsung trauma tidak langsung kondisi patologis

FRAKTUR

Diskontinuitas tulang pergeseran frakmen tulang

nyeri
Perub jaringan sekitar kerusakan frakmen tulang

Pergeseran frag Tlg laserasi kulit: spasme otot tek. Ssm tlg > tinggi dr kapiler

Kerusakan
putus vena/arteri peningk tek kapiler reaksi stres klien
integritas
deformitas kulit
perdarahan pelepasan histamin melepaskan katekolamin
gg. fungsi
protein plasma hilang memobilisai asam lemak
kehilangan volume cairan
Gg mobilitas
fisik edema bergab dg trombosit
Shock
hipivolemik
emboli
penekn pem. drh
menyumbat pemb drh
penurunan perfusi jar

gg.perfusi jar
HIPERTENSI

A. TINJAUAN TEORITIS
1. DEFINISI
Hipertensi dapat diartikan sebagai tekanan darah persiten dimana tekanan
sistoliknya di atas 140mmHg dan tekanan diastoliknya di atas 90 mmHg (Brunner and
Sudarth, 2002) WHO (World Health Organization), memberikan batasan tekanan darah
normal adalah 140/90 mmHg, dan tekanan darah sama atau di atas 160/95 mmHg
dinyatakan sebagai hipertensi. Batasan ini tidak membedakan antara usia dan jenis
kelamin.
Sedangkan, NM Kaplan (Bapak Ilmu Penyakit Dalam), memberikan batasan
dengan membedakan usia dan jenis kelamin sebagai berikut :
a. Pria, usia < 45 tahun, dikatakan hipertensi apabila tekanan darah pada waktu
berbaring > 130/90 mmHg.
b. Pria, usia > 45 tahun, dikatakan hipertensi apabila tekanan darahnya > 145/95
mmHg.
c. Pada wanita tekanan darah > 160/95 mmHg, dinyatakan hipertensi.

2. KLASIFIKASI
Klasifikasi hipertensi menurut JNC-7 2003 adalah sebagai berikut :
a. Klasifikasi Tekanan Darah Usia 18 Tahun Keatas
No Kategori Sistolik Diastolik
1 Normal < 120 mmHg < 80 mmHg
2 Normal Tinggi 120 – 139 mmHg 80 – 90 mmHg
3 Hipertensi :
a. Stadium 1 atau stadium Ringan 140 – 159 mmHg 90 – 99 mmHg
b. Stadium 2 atau stadium Sedang 160 – 179 mmHg 100 – 109 mmHg
c. Stadium 3 atau stadium Berat 180 – 209 mmHg 110 – 119 mmHg
d. Stadium 4 atau stadium Sangat > 209 mmHg > 119 mmHg
Berat
b. Klasifikasi hipertensi dalam kehamilan.
No Diagnosis Tekanan Darah
1. Hipertensi karena kehamilan
 Hipertensi  Kenaikan tekanan darah diastolik 15
mmHg atau 90 mmHg
 Preeklampsia ringan  Kenaikan tekanan darah diastolik 15
mmHg atau 90 mmHg
 Preeklampsia berat  Tekanan diastolik > 110 mmHg
 Eklampsia  Hipertensi

c. Klasifikasi hipertensi pada anak


Berdasarkan rekomendasi The Task Force, hipertensi pada anak adalah suatu
keadaan di mana tekanan darah sistolik dan atau diastolik rata-rata berada pada persentil
besar sama dengan 95 menurut umur dan jenis kelamin, yang dilakukan paling sedikit
tiga kali pengukuran.
Klasifikasi hipertensi menurut derajatnya adalah hipertensi ringan, bila tekanan
darah baik sistolik maupun diastolik berada 10 mmHg di atas persentil ke-95 (khusus
remaja 150/100-159/109 mmHg). Hipertensi sedang, bila tekanan darah baik sistolik
maupun diastolik lebih besar dari 20 mmHg di atas persentil ke-95 (khusus remaja besar
dari 160/110 mmHg.

3. PATOFISIOLOGI
Tekanan darah ditentukan oleh dua factor yaitu aliran darah dan tahanan
pembuluh darah. Sebaliknya aliran darah ditentukan oleh cardiac output, kekuatan,
kecepatan, ritme dari denyut jantung dan volume darah. Sedangkan tahanan terhadap
aliran terutama ditentukan oleh diameter dari diameter pembuluh darah dan sedikit oleh
viskositas darah. Peningkatan tahanan perifer sebagai akibat dari penyempitan arteriole
merupakan karakteristik yang paling dikenal pada hipertensi. Dari pusat vasomotor ini
bermula jaras saraf simpatis, yang berlanjut kebawah ke korda spinalis dan keluar dari
columna medula spinalis ke ganglia simpatis di thorax dan abdomen. Rangsangan pusat
vasomotor dihantarkan dalam bentuk impuls yang bergerak kebawah melalui sistem saraf
simpatis ke ganglia simpatis. Pada titik ini neuron preganglion melepaskan asetilkolin
yang akan merangsang serabut saraf pasca ganglion ke pembuluh darah, dimana dengan
dilepaskannya norepineprin mengakibatkan konstriksi pembuluh darah. Berbagai faktor
seperti kecemasan dan ketakutan dapat mempengaruhi respon pembuluh darah terhadap
rangsang vasokonstiktor.
Pada saat bersamaan dimana sistem saraf simpatis merangsang pembuluh darah
sebagai respon rangsang emosi, kelenjar adrenal juga terangsang mengakibatkan
tambahan aktifitas vasokonstriksi. Medula adrenal mensekresi epineprin yang
menyebabkan vasokontriksi. Korteks adrenal mensekresi kortisol dan steroid lainnya
yang dapat memperkuat respon vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokontriksi yang
mengakibatkan penurunan aliran darah ke ginjal, menyebabkan pelepasan renin. Renin
merangsang pembentukan angiotensin I yang kemudian diubah menjadi angiotensin II
suatu vasokonstriktor kuat yang merangsang sekresi aldosteron oleh korteks adrenal.
Hormon ini menyebabkan retensi natrium dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan
peningkatan volume intravaskuler. Semua faktor tersebut cenderung mencetuskan
keadaan hipertensi.
PATHWAY

Ginjal Medula
otak
Pusat
Medula Korteks vasomotor
adrenal adrenal
Saraf simpatis Kelenjar
adrenal
Epinefri Kortiso
nn l Asetilkolin

Norepinefri
n
Kecemasan
Vasokonstrik , ketakutan
si
Hipertensi

Penurunan
aliran darah
k Fungsi Fungsi
Peningkatan volume Dialisi
intravaskuler Ginjal GFR nefron ekskresi
s

Reni Fungsi non


n ekskresi
Angiotensin
I
G3 G3 Absorbsi Ca
Angiotensin
reproduksi eritro-
II
poetin Hipokalse
Korteks Libido
Anemia mi
adrenal
Retensi
Na dan air Aldosteron

Ekskresi H+ Ekskresi Ekskresi Ekskresi


posphat kalium sampah
Asidosis nitrogen
metabolik
Hiperkalemia Uremia Proteinuria
4. ETIOLOGI
Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua golongan (Lany Gunawan,
2001), yaitu :
a. Hipertensi Esensial (Primer)
Penyebab hipertensi esensial ini tidak diketahui namun banyak factor yang
mempengaruhi, seperti genetika, lingkungan, hiperaktivitas, susunan saraf simpatik,
system rennin angiotensin, efek dari eksresi Na, obesitas, merokok, alkohol dan stress
yang tidak dapat dikontrol (seperti keturunan, jenis kelamin, dan umur) dan yang
dapat dikontrol (seperti kegemukan, kurang olahraga, merokok, serta konsumsi
alkohol dan garam). Hipertensi dapat dicegah dengan pengaturan pola makan yang
baik dan aktivitas fisik yang cukup.
Hiperrtensi primer terdapat pada lebih dari 90 % penderita hipertensi,
sedangkan 10 % sisanya disebabkan oleh hipertensi sekunder. Meskipun hipertensi
primer belum diketahui dengan pasti penyebabnya, data-data penelitian telah
menemukan beberapa factor yang sering menyebabkan terjadinya hipertensi. Factor
tersebut adalah sebagai berikut:
1) Faktor keturunan
Dari data statistik terbukti bahwa seseorang akan memiliki kemungkinan lebih
besar untuk mendapatkan hipertensi jika orang tuanya adalah penderita
hipertensi.
2) Ciri perseorangan
Cirri perseorangan yang mempengaruhi timbulnya hipertensi adalah umur
(jika umur bertambah maka TD meningkat), jenis kelamin (laki-laki lebih tinggi
dari perempuan) dan ras (ras kulit hitam lebih banyak dari kulit putih).
3) Kebiasaan hidup
Kebiasaan hidup yang sering menyebabkan timbulnya hipertensi adalah konsumsi
garam yang tinggi (melebihi dari 30 gr), kegemukan atau makan berlebihan,
stress dan pengaruh lain misalnya merokok, minum alcohol, minum obat-obatan
(ephedrine, prednison, epineprin).

b. Hipertensi Sekunder
Dapat diakibatkan karena penyakit parenkim renal/vakuler renal, penggunaan
kontrasepsi oral yaitu pil, gangguan endokrin, koarktasio aorta, hipertensi yang
berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain.

5. MANIFESTASI KLINIS
Pemeriksaan fisik, jarang dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang
tinggi dengan gejala : sakit kepala/pusing, mudah lelah dan marah, telinga berdengung,
rasa berat di tengkuk, sukar tidur, mata berkunang-kunang. tetapi dapat juga terjadi
gejala yang muncul setelah terjadi komplikasi, seperti : perubahan pada retina seperti
perdarahan, exudat, penyempitan pembuluh darah dan pada kasus hipertensi berat dapat
ditemukan adanya edema pupil.
a. Jantung : dapat terjadi suara jantung ke dua yang keras, pada pasien yang lebih tua
sering terjadi bising ejeksi sistolik akibat sklerosis aorta dan ini dapat berkembang
menjadi stenosis aorta pada beberapa individu.
b. Nokturia (peningkatan produksi urin malam hari).
c. Azotemia (peningkatan nitrogen urea darah dan kreatinin).

6. KOMPLIKASI
Komplikasi potensial yang mungkin terjadi mencakup :
a. Perdarahan retina, bahkan gangguan penglihatan sampai kebutaan.
b. Gagal jantung kongestif.
c. Cedera serebrovaskular (CVA) atau stroke.
d. CRF (Chronic Renal Failure).
e. Pecahnya pembuluh darah otak.

7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan dasar
1) Hemoglobin
2) BUN / kreatinin
3) Urinalisa : darah, protein, glukosa, mengisaratkan disfungsi ginjal dan ada DM.
4) Gula darah
5) EKG
b. Pemeriksaan yang tidak selalu dikerjakan
1) Sedimen urine.
2) Darah : kadar glukosa kholesterol, trigliserida, kalsium, kalium dan asam urat.
3) Foto thorax.
c. Pemeriksaan khusus yang hanya dikerjakan pada kasus-kasus tertentu.
1) Renovasculer : IVP dan Renogram
2) Phaechromocytoma : kolesterol darah dan urine

8. PENATALAKSANAAN MEDIK
Penatalaksanaan medic pada klien dengan hipertensi dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Penatalaksanaan Non farmakologis
1) Modifikasi diet
a) Pembatasan natrium.
b) Penurunan masukan klesterol dan lemak jenuh.
c) Penurunan masukan kalori untuk mengontrol berat badan.
d) Menurunkan masukan minuman beralkohol.
2) Menghentikan merokok
3) Aktivitas : Klien disarankan untuk berpartisipasi pada kegiatan dan disesuaikan dengan
batasan medis dan sesuai dengan kemampuan seperti berjalan, jogging, bersepeda atau
berenang.
b. Penatalaksanaan Farmakologis
1) Mempunyai efektivitas yang tinggi.
2) Mempunyai toksitas dan efek samping yang ringan atau minimal.
3) Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
4) Tidak menimbulakn intoleransi.
5) Harga obat relative murah sehingga terjangkau oleh klien.
6) Memungkinkan penggunaan jangka panjang. Golongan obat - obatan yang diberikan
pada klien dengan hipertensi seperti
1. Golongan Diuretik :
Obat-obatan jenis diuretik bekerja dengan cara mengeluarkan cairan tubuh (lewat
kencing) sehingga volume cairan ditubuh berkurang yang mengakibatkan daya
pompa jantung menjadi lebih ringan.
a. Hidroklorotiasid 25 mg (HCT)
Indikasi : hipertensi ringan sampai sedang.
Dosis : 1-2 x 25-50 mg.
Efek samping : hipokalemi, hiponatremi, hiperurikalemi, hiperkolesterolemi,
hiperglikemi, kelemahan atau kram otot, muntah dan disines.
Kontra indikasi : DM, Gout Artritis, riwayat alergi (Sindrom Steven Johnson).
Catatan : terapi hipertensi pada usia lanjut dengan HCT lebih banyak efek
sampingnya dari pada efektifitasnya. Untuk menghindari efek hipokalemi maka
diberikan asupan Kalium 1 x 500 mg, atau memperbanyak makan pisang.
b. Furosemid 40 mg
Indikasi : hipertensi ringan sampai berat.
Dosis : 1-2 x 40-80 mg.
Efek samping : sama dengan HCT.
Kontra indikasi : DM, gout artritis, riwayat alergi (Sindrom Steven Johnson).
2. Golongan Inhibitor Simpatik (Beta Blocker)
Mekanisme kerja antihipertensi obat ini adalah melalui penurunan daya pompa
jantung. Jenis betabloker tidak dianjurkan pada penderita yang telah diketahui
mengidap gangguan pernapasan seperti asma bronkial. Contohnya Metoprolol,
Propranolol dan Atenolol.
a. Propranolol 40 mg
Indikasi : hipertensi ringan sampai sedang.
Dosis : 3 x 40-160 mg.
Efek samping : depresi, insomnia, mimpi buruk, pusing, mual, diare,
obstipasi, bronkospasme, kram otot dan bradikardi serta gagal
jantung.
Kontra indikasi : DM, gagal jantung, asma, depresi.
3. Golongan Penghambat Enzim Konversi Angiotensin (ACE I)
Golongan obat ini menyebabkan penurunkan tekanan darah dengan cara melebarkan
arteri.
a. Captopril 25 mg
Indikasi : hipertensi ringan sampai berat
Dosis : dosis awal 2-3 x 12,5-25 mg, bila setelah 1-2 minggu belum
ada respon dosis dinaikkan 2-3 x 50 mg. Captopril harus
diberikan 1 jam sebelum makan.
Efek samping : pruritus, retensi kalium ringan, proteinuri, gagal ginjal,
neutropeni dan agranulositosis, mual dan muntah, gangguan
pengecap, parestesia, bronkospame, limfadenopati dan batuk-
batuk.
Kontra indikasi : asma
4. Golongan Antagonis Kalsium
Obat golongan ini bekerja langsung pada pembuluh darah dengan relaksasi otot
polos (otot pembuluh darah).
a. Diltiazem 30 mg
Indikasi : hipertensi ringan sampai sedang.
Dosis : 3-4 x 30 mg.
Efek samping : Bradikardi, dizziness, sakit kepala, mual, muntah, diare,
konstipasi, udem ekstremitas bawah, shoulder and elbow pain.
Kontra indikasi : Sick sinus Syndrome, AV Block.
b. Nifedipin 10 mg
Indikasi : hipertensi ringan sampai berat.
Dosis : 3 x 10-20 mg
Efek samping : sama dengan diltiasem.
Kontra indikasi : sama dengan diltiasem.
STROKE NON HEMORAGIK

A. TINJAUAN TEORI
1. DEFINISI
Gangguan peredaran darah diotak (GPDO) atau dikenal dengan CVA ( Cerebro Vaskuar
Accident) adalah gangguan fungsi syaraf yang disebabkan oleh gangguan aliran darah dalam otak
yang dapat timbul secara mendadak ( dalam beberapa detik) atau secara cepat ( dalam beberapa
jam ) dengan gejala atau tanda yang sesuai dengan daerah yang terganggu.(Harsono,1996, hal 67)
Stroke atau cedera cerebrovaskuler adalah kehilangan fungsi otak yang diakibatkan oleh
berhentinya suplai darah ke bagian otak sering ini adalah kulminasi penyakit serebrovaskuler
selama beberapa tahun. (Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)
Penyakit ini merupakan peringkat ketiga penyebab kematian di United State. Akibat stroke pada
setiap tingkat umur tapi yang paling sering pada usia antara 75 – 85 tahun. (Long. C,
Barbara;1996, hal 176).

2. ETIOLOGI
Penyebab-penyebabnya antara lain:
Trombosis ( bekuan cairan di dalam pembuluh darah otak )
Embolisme cerebral ( bekuan darah atau material lain )
Iskemia ( Penurunan aliran darah ke area otak)
(Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)

3. FAKTOR RESIKO PADA STROKE


a. Hipertensi
b. Penyakit kardiovaskuler: arteria koronaria, gagal jantung kongestif, fibrilasi atrium, penyakit
jantung kongestif)
c. Kolesterol tinggi
d. Obesitas
e. Peningkatan hematokrit ( resiko infark serebral)
f. Diabetes Melitus ( berkaitan dengan aterogenesis terakselerasi)
g. Kontrasepasi oral( khususnya dengan disertai hipertensi, merkok, dan kadar estrogen tinggi)
h. penyalahgunaan obat ( kokain)
i. konsumsi alkohol
(Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)

4. MANIFESTASI KLINIS
Gejala - gejala CVA muncul akibat daerah tertentu tak berfungsi yang disebabkan oleh
terganggunya aliran darah ke tempat tersebut. Gejala itu muncul bervariasi, bergantung bagian
otak yang terganggu.Gejala-gejala itu antara lain bersifat:
a. Sementara
Timbul hanya sebebtar selama beberapa menit sampai beberapa jam dan hilang sendiri dengan
atau tanpa pengobatan. Hal ini disebut Transient ischemic attack (TIA). Serangan bisa muncul
lagi dalam wujud sama, memperberat atau malah menetap.
b.Sementara,namun lebih dari 24 jam
Gejala timbul lebih dari 24 jam dan ini dissebut reversible ischemic neurologic defisit (RIND)
c. Gejala makin lama makin berat (progresif)
Hal ini desebabkan gangguan aliran darah makin lama makin berat yang dissebut progressing
stroke atau stroke inevolution
d.Sudah menetap/permanen (Harsono,1996, hal 67)

Gangguan yang muncul tertulis pada tabel.

NO DEFISIT NEUROLOGIK MANIFESTASI


1. DEFISIT LAPANG
PENGLIHATAN
a. Homonimus hemianopsia  Tidak menyadari orang/objek ditempat
(kehilangan setengah kehilangan peglihatan
lapang penglihatan)  Mengabaikan salah satu sisi tubuh
 Kesulitan menilai jarak

b. Kehilangan penglihatan  Kesulitan melihat pada malam hari


perifer  Tidak menyadari objekatau batas objek
c. Diplopia  Penglihatan ganda
2 DEFISIT MOTORIK
a. Hemiparese  Kelemahan wajah, lengan dan kaki pada sisi
yang sama
b. Hemiplegia
 Paralisis wajah, lengan dan kaki pada sisi
yang sama
c. Ataksia
 Berjalan tidak mantap, tegak
 Tidak mampu menyatukan kaki, perlu dasar
d. Disatria berdiri yang luas

 Kesulitan dalam membentuk kata


e. Disfagia
 Kesulitan dalam menelan
3. DEFISIT SENSORI
Parestesia (terjadi pada sisi  Kebas dan kesemutan pada bagian tubuh
berlawanan dari lesi)  Kesulitan dalam proprisepsi

4 DEFISIT VERBAL
a. Afasia ekspresif Ketidakmampuan menggunakan simbol
berbicara
b. Afasia reseptif Tidak mampu menyusun kata-kata yang
diucapkan
c. Afasia global Kombinasi baik afasia reseptif dan ekspresif
5. DEFISIT KOGNITIF  Kehilangan memori jangka pendek dan
panjang
 Penurunan lapang perhatian
 Kerusakan kemampuan untuk
berkonsentrasi
 Alasan abstrak buruk
 Perubahan penilaian

6. DEFISIT EMOSIONAL - Kehilangan kontrol diri


- Labilitas emosional
- Penurunan toleransi pada situasi yang
menimbulkan stres
- Menarik diri
- Rasa takut, bermusuhan dan marah
- Perasaan isolasi
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. CT Scan
Memperlihatkan adanya edema , hematoma, iskemia dan adanya infark
b. Angiografi serebral
membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan atau obstruksi
arteri
c. Pungsi Lumbal
- menunjukan adanya tekanan normal
- tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah menunjukan adanya
perdarahan
d. MRI : Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik.
e. EEG: Memperlihatkan daerah lesi yang spesifik
f. Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena
g. Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal (DoengesE,
Marilynn,2000 hal 292)

7. PENATALAKSANAAN
1. Diuretika : untuk menurunkan edema serebral .
2. Anti koagulan: Mencegah memberatnya trombosis dan embolisasi.
(Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)

8. KOMPLIKASI
Hipoksia Serebral
Penurunan darah serebral
Luasnya area cedera
(Smeltzer C. Suzanne, 2002, hal 2131)
VERTIGO

A. TINJAUAN TEORI
1. DEFINISI
”Vertere” suatu istilah dalam bahasa latin yang merupakan bahasa lain dari vertigo,
yang artinya memutar. Vertigo dalam kamus bahasa diterjemahkan dengan pusing
(Wahyono, 2007). Definisi vertigo adalah gerakan (sirkuler atau linier), atau gerakan
sebenarnya dari tubuh atau lingkungan sekitarnya diikuti atau tanpa diikuti dengan gejala
dari organ yang berada di bawah pengaruh saraf otonom dan mata (nistagmus) (Jenie, 2001).
Sedangkan menurut Gowers Kapita Selekta neurologi, 2005, mendefinisikan vertigo adalah
setiap gerakan atau rasa gerakan tubuh penderita atau objek-objek disekitar penderita yang
bersangkutan dengan gangguan sistem keseimbangan (ekuilibrum).
Vertigo dapat digolongkan sebagai salah satu bentuk gangguan keseimbangan atau
gangguan orientasi di ruangan. Banyak system atau organ tubuh yang ikut terlibat dalam
mengatur dan mempertahankan keseimbangan tubuh kita. Keseimbangan diatur oleh
integrasi berbagai sistem diantaranya sistem vestibular, system visual dan system somato
sensorik (propioseptik). Untuk memperetahankan keseimbangan diruangan, maka sedikitnya
2 dari 3 sistem system tersebut diatas harus difungsikan dengan baik. Pada vertigo, penderita
merasa atau melihat lingkunganya bergerak atau dirinya bergerak terhadap lingkungannya.
Gerakan yang dialami biasanya berputar namun kadang berbentuk linier seperti mau jatuh
atau rasa ditarik menjauhi bidang vertikal. Pada penderita vertigo kadang-kadang dapat kita
saksikan adanya nistagmus. Nistagmus yaitu gerak ritmik yang involunter dari pada
bolamata (Lumban Tobing, 2003).
Vertigo adalah perasaan seolah-olah penderita bergerak atau berputar, atau seolah-
olah benda di sekitar penderita bergerak atau berputar, yang biasanya disertai dengan mual
dan kehilangan keseimbangan. Vertigo bisa berlangsung hanya beberapa saat atau bisa
berlanjut sampai beberapa jam bahkan hari. Penderita kadang merasa lebih baik jika
berbaring diam, tetapi vertigo bisa terus berlanjut meskipun penderita tidak bergerak sama
sekali (Israr, 2008).
Vertigo adalah keadaan pusing yang dirasakan luar biasa. Seseorang yang menderita
vertigo merasakan sekelilingnya seolah-olah berputar, ini disebabkan oleh gangguan
keseimbangan yang berpusat di area labirin atau rumah siput di daerah telinga. Perasaan
tersebut kadang disertai dengan rasa mual dan ingin muntah, bahkan penderita merasa tak
mampu berdiri dan kadang terjatuh karena masalah keseimbangan. Keseimbangan tubuh
dikendalikan oleh otak kecil yang mendapat informasi mengenai posisi tubuh dari organ
keseimbangan di telinga tengah dan mata. Vertigo biasanya timbul akibat gangguan telinga
tengah dan dalam atau gangguan penglihatan (Putranta, 2005)
Vertigo adalah sensasi atau perasaan yang mempengaruhi orientasi ruang dan
mungkin dapat didefinisikan sebagai suatu ilusi gerakan. Keluhan ini merupakan gejala yang
sifatnya subyektif dan karenanya sulit dinilai. Walupun pengobatan sebaiknya langsung pada
penyebab yang mendasari penyebab atau kelainannya, asal atau penyebab vertigo sering
tidak diketahui ataupun tidak mungkin diobati (CDK, 2009)

2. JENIS VERTIGO
Vertigo diklasifikasikan menjadi dua kategori berdasarkan saluran vestibular yang
mengalami kerusakan, yaitu
1. Vertigo Periferal
Vertigo periferal terjadi jika terdapat gangguan di saluran yang disebut kanalis
semisirkularis, yaitu telinga bagian tengah yang bertugas mengontrol keseimbangan.
Gangguan kesehatan yang berhubungan dengan vertigo periferal antara lain
penyakitpenyakit seperti benign parozysmal positional vertigo (gangguan akibat
kesalahan pengiriman pesan), penyakit meniere (gangguan keseimbangan yang sering kali
menyebabkan hilang pendengaran), vestibular neuritis (peradangan pada sel-sel saraf
keseimbangan), dan labyrinthitis (radang di bagian dalam pendengaran).
2. Vertigo Sentral
Saluran vestibular adalah salah satu organ bagian dalam telinga yang senantiasa
mengirimkan informasi tentang posisi tubuh ke otak untuk menjaga keseimbangan.
Vertigo sentral terjadi jika ada sesuatu yang tidak normal di dalam otak, khususnya di
bagian saraf keseimbangan, yaitu daerah percabangan otak dan serebelum (otak kecil).

3. ETIOLOGI
Tubuh merasakan posisi dan mengendalikan keseimbangan melalui organ keseimbangan
yang terdapat di telinga bagian dalam. Organ ini memiliki saraf yang berhubungan dengan area
tertentu di otak. Vetigo bisa disebabkan oleh kelainan di dalam telinga, di dalam saraf yang
menghubungkan telinga dengan otak dan di dalam otaknya sendiri. Vertigo juga bisa
berhubungan dengan kelainan penglihatan atau perubahan tekanan darah yang terjadi secara
tibatiba. Penyebab umum dari vertigo: (Israr, 2008)
1. Keadaan lingkungan : Motion sickness (mabuk darat, mabuk laut)
2. Obat-obatan
a. Alkohol
b. Gentamisin
3. Kelainan sirkulasi
a. Transient ischemic attack (gangguan fungsi otak sementara karena berkurangnya
aliran darah ke salah satu bagian otak) pada arteri vertebral dan arteri basiler
4. Kelainan di telinga
a. Endapan kalsium pada salah satu kanalis semisirkularis di dalam telinga bagian
dalam (menyebabkan benign paroxysmal positional vertigo)
b. Infeksi telinga bagian dalam karena bakteri
c. Herpes zoster
d. Labirintitis (infeksi labirin di dalam telinga)
e. Peradangan saraf vestibuler
f. Penyakit Meniere : Kelainan neurologis
g. Sklerosis multipel
h. Patah tulang tengkorak yang disertai cedera pada labirin, persarafannya atau
keduanya
i. Tumor otak
j. Tumor yang menekan saraf vestibularis.
4. PATOFISISIOLOGI
1. Anatomi Vertigo
Jaringan saraf yang terkait dalam proses timbulnya sindrom vertigo:
a. Reseptor alat keseimbangan tubuh yang berperan dalam proses transduksi yaitu
mengubah rangsangan menjadi bioelektrokimia:
1) Reseptor mekanis divestibulum
2) Resptor cahaya diretina
3) Resptor mekanis dikulit, otot dan persendian (propioseptik)
b. Saraf aferen, berperan dalam transmisi menghantarkan impuls ke pusat
keseimbangan di otak:
1) Saraf vestibularis
2) Saraf optikus
3) Saraf spinovestibulosrebelaris.
c. Pusat-pusat keseimbangan, berperan dalam proses modulasi, komparasi,
integrasi/koordinasi dan persepsi: inti vestibularis, serebelum, kortex serebri,
hypotalamusi, inti akulomotorius, formarsio retikularis

2. Patofisiologi Vertigo
Dalam kondisi fisiologi/ normal, informasi yang tiba dipusat integrasi alat
keseimbangan tubuh yang berasal dari resptor vestibular, visual dan propioseptik kanan dan
kiri akan diperbandingkan, jika semuanya sinkron dan wajar akan diproses lebih lanjut secara
wajar untuk direspon. Respon yang muncul beberapa penyesuaian dari otot-otot mata dan
penggerak tubuh dalam keadaan bergerak. Di samping itu orang menyadari posisi kepala dan
tubuhnya terhadap lingkungan sekitarnya. Tidak ada tanda dan gejala kegawatan (alarm
reaction) dalam bentuk vertigo dan gejala dari jaringan otonomik.
Namun jika kondisi tidak normal/ tidak fisiologis dari fungsi alat keseimbangan tubuh
dibagian tepi atau sentral maupun rangsangan gerakan yang aneh atau berlebihan, maka
proses pengolahan informasi yang wajar tidak berlangsung dan muncul tanda-tanda
kegawatan dalam bentuk vertigo dan gejala dari jaringan otonomik. Di samping itu respon
penyesuaian otot-otot menjadi tidak adekuat sehingga muncul gerakan abnormal dari mata
disebut nistagnus.
PATHWAY

5. TANDA DAN GEJALA VERTIGO

1. Vertigo Sentral
Gejala yang khas bagi gangguan di batang otak misalnya diplopia, paratesia,
perubahan serisibilitas dan fungsi motorik. Biasanya pasien mengeluh lemah, gangguan
koordinasi, kesulitan dalam gerak supinasi dan pronasi tanyanye secara berturut-
turut (dysdiadochokinesia), gangguan berjalan dan gangguan kaseimbangan. Percobaan
tunjuk hidung yaitu pasien disuruh menunjuk jari pemeriksa dan kemudian menunjuk
hidungnya maka akan dilakukan dengan buruk dan terlihat adanya ataksia. Namun pada
pasien dengan vertigo perifer dapat melakukan percobaan tunjuk hidung sacara normal.
Penyebab vaskuler labih sering ditemukan dan mencakup insufisiensi vaskuler berulang,
TIA dan strok. Contoh gangguan disentral (batang otak, serebelum) yang dapat
menyebabkan vertigo adalah iskemia batang otak, tumor difossa posterior, migren basiler.
2. Vertigo perifer
Lamanya vertigo berlangsung:
a. Episode (Serangan ) vertigo yang berlangsung beberapa detik.
Vertigo perifer paling sering disebabkan oleh vertigo posisional berigna (VPB).
Pencetusnya adalah perubahan posisi kepala misalnya berguling sewaktu tidur atau
menengadah mengambil barang dirak yang lebih tinggi. Vertigo berlangsung
beberapa detik kemudian mereda. Penyebab vertigo posisional berigna adalah
trauma kepala, pembedahan ditelinga atau oleh neuronitis vestibular prognosisnya
baik gejala akan menghilang spontan.
b. Episode Vertigo yang berlangsung beberapa menit atau jam.
Dapat dijumpai pada penyakit meniere atau vestibulopati berulang. Penyakit
meniere mempunyai trias gejala yaitu ketajaman pendengaran menurun
(tuli), vertigo dan tinitus. Usia penderita biasanya 30-60 tahun pada permulaan
munculnya penyakit.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan penurunaan pendengaran dan kesulitan dalam
berjalan “Tandem” dengan mata tertutup. Berjalan tandem yaitu berjalan dengan
telapak kaki lurus kedepan, jika menapak tumit kaki yang satu menyentuh jari kaki
lainnya dan membentuk garis lurus kedepan.
Sedangkan pemeriksaan elektronistagmografi sering memberi bukti bahwa terdapat
penurunan fungsi vertibular perifer. Perjalanan yang khas dari penyakit meniere
ialah terdapat kelompok serangan vertigo yang diselingi oleh masa remisi. Terdapat
kemungkinan bahwa penyakit akhirnya berhenti tidak kambuh lagi pada sebagian
terbesar penderitanya dan meninggalkan cacat pendengaran berupa tuli dan timitus
dan sewaktu penderita mengalami disekuilibrium (gangguan keseimbangan) namun
bukan vertigo. Penderita sifilis stadium 2 atau 3 awal mungkin mengalami gejala
yang serupa dengan penyakit meniere jadi kita harus memeriksa kemungkinana
sifilis pada setiap penderi penyakit meniere.
c. Serangan Vertigo yang berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu.
Neuronitis vestibular merupakan kelainan yang sering dijumpai pada penyakit ini
mulanya vertigo, nausea, dan muntah yang menyertainya ialah mendadak. Gejala
ini berlangsung beberapa hari sampai beberapa minggu. Sering penderita merasa
lebih lega namun tidak bebas sama sekali dari gejala bila ia berbaring diam.
Pada Neuronitis vestibular fungsi pendengaran tidak terganggu kemungkinannya
disebabkan oleh virus. Pada pemeriksaan fisik dijumpai nistagmus yang menjadi
lebih basar amplitudonya. Jika pandangan digerakkan menjauhi telinga yang terkena
penyakit ini akan mereda secara gradual dalam waktu beberapa hari atau minggu.
Pemeriksaan elektronistagmografi (ENG) menunjukkan penyembuhan total pada
beberapa penyakit namun pada sebagian besar penderita didapatkan gangguan
vertibular berbagai tingkatan. Kadang terdapat pula vertigo posisional benigna.
Pada penderita dengan serangan vertigo mendadak harus ditelusuri kemungkinan
stroke serebelar. Nistagmus yang bersifat sentral tidak berkurang jika dilakukan
viksasi visual yaitu mata memandang satu benda yang tidak bergerak
dan nigtamus dapat berubah arah bila arah pandangan berubah. Pada nistagmus
perifer, nigtagmus akan berkurang bila kita menfiksasi pandangan kita suatu benda
contoh penyebab vetigo oleh gangguan system vestibular perifer yaitu mabok
kendaraan, penyakit meniere, vertigo pasca trauma

VERTIGO PERIFERAL VERTIGO SENTRAL (NON-


NO
(VESTIBULOGENIK) VESTIBULER)
1 Pandangan gelap Penglihatan ganda
2 Rasa lelah dan stamina menurun Sukar menelan
3 Jantung berdebar wajah Kelumpuhan otot-otot
4 Hilang keseimbangan Sakit kepala yang parah
5 Tidak mampu berkonsentrasi Kesadaran terganggu
6 Perasaan seperti mabuk Tidak mampu berkata-kata
7 Otot terasa sakit Hilangnya koordinasi
8 Mual dan muntah-muntah Mual dan muntah-muntah
9 Memori dan daya pikir menurun Tubuh terasa lemah
10 Sensitif pada cahaya terang dan Suara
11 Berkeringat

6. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Tes Romberg yang dipertajam
Sikap kaki seperti tandem, lengan dilipat pada dada dan mata kemudian ditutup. Orang
yang normal mampu berdiri dengan sikap yang romberg yang dipertajam selama 30 detik
atau lebih
2. Tes Melangkah ditempat (Stepping Test)
Penderita disuruh berjalan ditempat dengan mata tertutup sebanyak 50 langkah.
Kedudukan akhir dianggap abnormal jika penderita beranjak lebih dari satu meter atau
badan berputar lebih dari 30 derajat
3. Salah Tunjuk(post-pointing)
Penderita merentangkan lengannya, angkat lengan tinggi-tinggi (sampai fertikal)
kemudian kembali kesemula
4. Manuver Nylen Barang atau manuver Hallpike
Penderita duduk ditempat tidur periksa lalu direbahkan sampai kepala bergantung
dipinggir tempat tidur dengan sudut 300 kepala ditoleh kekiri lalu posisi kepala lurus
kemudian menoleh lagi kekanan pada keadaan abnormal akan terjadi nistagmus
5. Tes Kalori = dengan menyemprotkan air bersuhu 300 ketelinga penderita
6. Elektronistagmografi
Yaitu alat untuk mencatat lama dan cepatnya nistagmus yang timbul
7. Posturografi
Yaitu tes yang dilakukan untuk mengevaluasi system
visual, vestibular dan somatosensorik

7. PENATALAKSANAAN
1. Vertigo posisional Benigna (VPB)
 Latihan : latihan posisional dapat membantu mempercepat remisi pada sebagian besar
penderita VPB. Latihan ini dilakukan pada pagi hari dan merupakan kagiatan yang
pertama pada hari itu. Penderita duduk dipinggir tempat tidur, kemudian ia
merebahkan dirinya pada posisinya untuk membangkitkan vertigo posisionalnya.
Setelah vertigo mereda ia kembali keposisi duduk \semula. Gerakan ini diulang
kembali sampai vertigo melemah atau mereda. Biasanya sampai 2 atau 3 kali sehari,
tiap hari sampai tidak didapatkan lagi respon vertigo.
 Obat-obatan : obat anti vertigo seperti miklisin, betahistin atau fenergen dapat
digunakan sebagai terapi simtomatis sewaktu melakukan latihan atau jika
muncul eksaserbasi atau serangan akut. Obat ini menekan rasa enek (nausea) dan rasa
pusing. Namun ada penderita yang merasa efek samping obat lebih buruk dari
vertigonya sendiri. Jika dokter menyakinkan pasien bahwa kelainan ini tidak berbahaya
dan dapat mereda sendiri maka dengan membatasi perubahan posisi kepala dapat
mengurangi gangguan.
2. Neurotis Vestibular
Terapi farmokologi dapat berupa terapi spesifik misalnya pemberian anti biotika dan
terapi simtomatik. Nistagmus perifer pada neurinitis vestibuler lebih meningkat bila
pandangan diarahkan menjauhi telinga yang terkena dan nigtagmus akan berkurang
jika dilakukan fiksasi visual pada suatu tempat atau benda.
3. Penyakit Meniere
Sampai saat ini belum ditemukan obat khusus untuk penyakit meniere. Tujuan dari
terapi medik yang diberi adalah:
 Meringankan serangan vertigo: untuk meringankan vertigo dapat dilakukan
upaya : tirah baring, obat untuk sedasi, anti muntah dan anti vertigo. Pemberian
penjelasan bahwa serangan tidak membahayakan jiwa dan akan mereda dapat
lebih membuat penderita tenang atau toleransi terhadap serangan berikutnya.
 Mengusahakan agar serangan tidak kambuh atau masa kambuh menjadi lebih
jarang. Untuk mencegah kambuh kembali, beberapa ahli ada yang menganjurkan
diet rendah garam dan diberi diuretic. Obat
anti histamin dan vasodilator mungkin pula menberikan efek tambahan yang
baik.
 Terapi bedah: diindikasikan bila serangan sering terjadi, tidak dapat diredakan
oleh obat atau tindaka konservatif dan penderita menjadi infalid tidak dapat
bekerja atau kemungkinan kehilangan pekerjaannya.
4. Presbiastaksis (Disekuilibrium pada usia lanjut)
Rasa tidak setabil serta gangguan keseimbangan dapat dibantu obat supresan
vestibular dengan dosis rendah dengan tujuan meningkatkan mobilisasi.
Misalnya Dramamine, prometazin, diazepam, pada enderita ini latihan vertibuler dan
latihan gerak dapat membantu. Bila perlu beri tongkat agar rasa percaya diri meningkat
dan kemungkinan jatuh dikurangi.
5. Sindrom Vertigo Fisiologis
Misalnya mabok kendaraan dan vertigo pada ketinggian terjadi karena terdapat
ketidaksesuaian antara rangsang vestibuler dan visual yang diterima otak. Pada penderita
ini dapat diberikan obat anti vertigo.
6. Strok (pada daerah yang didarahi oleh arteria vertebrobasiler)
 TIA: Transient Ischemic Atack yaitu stroke ringan yang gejala klinisnya pulih
sempurna dalam kurun waktu 24 jam
 RIND: Reversible Ischemic Neurologi Defisit yaitu penyembuhan sempurna terjadi
lebih dari 24 jam.
 Meskipun ringan kita harus waspada dan memberikan terapi atau penanganan yang
efektif sebab kemungkinan kambuh cukup besar, dan jika kambuh bisa
meninggalkan cacat.
VULNUS APERTUM

A. TINJAUAN TEORITIS
1. DEFINISI
Luka adalah kerusakan kontinuitas jaringan atau kuit, mukosa mambran dan tulang
atau organ tubuh lain (Kozier, 1995).
Vulnus appertum adalah luka dengan tepi yang tidak beraturan biasanya karena
tarikan atau goresan benda tumpul.
Vulnus appertum adalah luka robek merupakan luka terbuka yang terjadi kekerasan
tumpul yang kuat sehingga melampaui elastisitas kulit atau otot.
Ketika luka timbul, beberapa efek akan muncul :
- Hilangnya seluruh atau sebagian fungsi organ
- Respon stres simpatis
- Perdarahan dan pembekuan darah
- Kontaminasi bakteri
- Kematian sel

2. KLASIFIKASI VULNUS APERTUM


 Berdasarkan derajat kontaminasi
a. Luka bersih
Luka bersih adalah luka yang tidak terdapat inflamasi dan infeksi, yang merupakan
luka sayat elektif dan steril dimana luka tersebut berpotensi untuk terinfeksi. Luka tidak
ada kontak dengan orofaring,traktus respiratorius maupun traktus genitourinarius.
Dengan demikian kondisi luka tetap dalam keadaan bersih. Kemungkinan terjadinya
infeksi luka sekitar 1% - 5%.
b. Luka bersih terkontaminasi
Luka bersih terkontaminasi adalah luka pembedahan dimana saluran pernafasan,
saluran pencernaan dan saluran perkemihan dalam kondisi terkontrol. Proses
penyembuhan luka akan lebih lama namun luka tidak menunjukkan tanda infeksi.
Kemungkinan timbulnya infeksi luka sekitar 3% - 11%.
c. Luka terkontaminasi
Luka terkontaminasi adalah luka yang berpotensi terinfeksi spillage saluran
pernafasan, saluran pencernaan dan saluran kemih. Luka menunjukan tanda infeksi.
Luka ini dapat ditemukan pada luka terbuka karena trauma atau kecelakaan (luka
laserasi), fraktur terbuka maupun luka penetrasi. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%.
d. Luka kotor
Luka kotor adalah luka lama, luka kecelakaan yang mengandung jaringan mati dan
luka dengan tanda infeksi seperti cairan purulen. Luka ini bisa sebagai akibat
pembedahan yang sangat terkontaminasi. Bentuk luka seperti perforasi visera, abses dan
trauma lama.
 Berdasarkan Mekanisme terjadinya Luka
a. Vulnus ekskoriasi atau luka lecet/gores adalah cedera pada permukaan epidermis akibat
bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau runcing. Luka ini banyak dijumpai pada
kejadian traumatik seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh maupun benturan benda tajam
ataupun tumpul.
b. Vulnus scissum adalah luka sayat atau iris yang di tandai dengan tepi luka berupa garis lurus
dan beraturan. Vulnus scissum biasanya dijumpai pada aktifitas sehari-hari seperti terkena
pisau dapur, sayatan benda tajam ( seng, kaca ), dimana bentuk luka teratur .
c. Vulnus laseratum atau luka robek adalah luka dengan tepi yang tidak beraturan atau
compang camping biasanya karena tarikan atau goresan benda tumpul. Luka ini dapat kita
jumpai pada kejadian kecelakaan lalu lintas dimana bentuk luka tidak beraturan dan kotor,
kedalaman luka bisa menembus lapisan mukosa hingga lapisan otot.
d. Vulnus punctum atau luka tusuk adalah luka akibat tusukan benda runcing yang biasanya
kedalaman luka lebih dari pada lebarnya. Misalnya tusukan pisau yang menembus lapisan
otot, tusukan paku dan benda-benda tajam lainnya. Kesemuanya menimbulkan efek tusukan
yang dalam dengan permukaan luka tidak begitu lebar.
e. Vulnus morsum adalah luka karena gigitan binatang. Luka gigitan hewan memiliki bentuk
permukaan luka yang mengikuti gigi hewan yang menggigit. Dengan kedalaman luka juga
menyesuaikan gigitan hewan tersebut.
f. Vulnus combutio adalah luka karena terbakar oleh api atau cairan panas maupun sengatan
arus listrik. Vulnus combutio memiliki bentuk luka yang tidak beraturan dengan permukaan
luka yang lebar dan warna kulit yang menghitam. Biasanya juga disertai bula karena
kerusakan epitel kulit dan mukosa.
 Berdasarkan Kedalaman dan Luasnya Luka, dibagi menjadi
 Stadium I
o Luka Superfisial (Non-Blanching Erithema) : yaitu luka yang terjadi pada lapisan
epidermis kulit.
 Stadium II
o Luka Partial Thickness yaitu hilangnya lapisan kulit pada lapisan epidermis dan
bagian atas dari dermis. Merupakan luka superficial dan adanya tanda klinis seperti
abrasi, blister atau lubang yang dangkal.
 Stadium III
o Luka Full Thickness yaitu hilangnya kulit keseluruhan meliputi kerusakan atau
nekrosis jaringan subkutan yang dapat meluas sampai bawah tetapi tidak melewati
jaringan yang mendasarinya. Lukanya sampai pada lapisan epidermis, dermis dan
fasia tetapi tidak mengenai otot. Luka timbul secara klinis sebagai suatu lubang yang
dalam dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.
 Stadium IV
o Luka Full Thickness yang telah mencapai lapisan otot, tendon dan tulang dengan
adanya destruksi/kerusakan yang luas (David, 2007).
3. PATOFISIOLOGI TERJADINYA VULNUS (LUKA)
Benturan, tekanan, cedera, sayatan

Luka

Perdarahan

Luka terbuka/tertutup → Perawatan luka baik
↓ ↓
Perawatan luka tidak baik Infeksi (-)
↓ ↓
Kuman masuk Sembuh

Infeksi

4. FASE PENYEMBUHAN LUKA


1) Fase Inflamasi : berlangsung mulai terjadi luka sampai hari ke 5
Terjadi akibat sel mast dalam jaringan ikat menghasilkan serotonin dan histamin yang
meningkatkan permiabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi cairan, penumpukan sel radang
disertai vasodilatasi setempat yang menyebabkan udem dan pembengkakan yang ditandai
dengan warna kemerahan karena kapiler melebar (rubor), suhu hangat (kalor), rasa nyeri (dolor)
dan pembengkakan (tumor).
2) Fase Proliferasi / Fibroplastic / Granulasi :
Terjadi mulai akhir fase inflamasi sampai akhir minggu ke 3. Pada fase ini luka dipenuhi sel
radang, fibroblast dan kolagen, membentuk jaringan berwarna kemerahan dengan permukaan
yang berbenjol halus yang disebut jaringan granulasi. Proses ini baru berhenti setelah ephitel
saling menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka.
3) Fase penyudahan / Pematangan.
Fase ini berlangsung berbulan bulan dan dinyatakan berakhir jika semua tanda radang telah
hilang. Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri penyerapan kembali jaringan yang
berlebih, pengerutan sesuai dengan gaya grafitasi, dan akhirnya perupaan kembali jaringan yang
baru dibentuk
5. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYEMBUHAN LUKA
a) Usia
Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua. Orang tua lebih sering
terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat mengganggu sintesisdari faktor
pembekuan darah.
b) Nutrisi
Penyembuhan menempatkan penambahan pemakaian pada tubuh. Klien memerlukan diitkaya
protein, karbohidrat, lemak, vitamin C dan A, dan mineral seperti Fe, Zn. Klienkurang nutrisi
memerlukan waktu untuk memperbaiki status nutrisi mereka setelah pembedahan jika mungkin.
Klien yang gemuk meningkatkan resiko infeksi luka danpenyembuhan lama karena supply
darah jaringan adipose tidak adekuat.
c) Infeksi
Infeksi luka menghambat penyembuhan. Bakteri sumber penyebab infeksi.Sirkulasi
(hipovolemia) dan OksigenasiSejumlah kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan luka.
Adanyasejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki sedikit
pembuluhdarah). Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat karena jaringan
lemaklebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk sembuh. Aliran darah
dapatterganggu pada orang dewasa dan pada orang yang menderita gangguan pembuluh
darahperifer, hipertensi atau diabetes millitus. Oksigenasi jaringan menurun pada orang
yangmenderita anemia atau gangguan pernapasan kronik pada perokok.Kurangnya volume
darah akan mengakibatkan vasokonstriksi dan menurunnyaketersediaan oksigen dan nutrisi
untuk penyembuhan luka.
d) Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah. Seringkali darah pada luka secara bertahapdiabsorbsi oleh
tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika terdapat bekuan yang besar hal tersebut memerlukan
waktu untuk dapat diabsorbsi tubuh, sehingga menghambatproses penyembuhan luka.
e) Benda asing
Benda asing seperti pasir atau mikroorganisme akan menyebabkan terbentuknya suatu abses
sebelum benda tersebut diangkat. Abses ini timbul dari serum, fibrin,jaringan sel mati dan
lekosit (sel darah merah), yang membentuk suatu cairan yangkental yang disebut dengan nanah
(“Pus”).
f) Iskemia
Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan suplai darah padabagian tubuh
akibat dari obstruksi dari aliran darah. Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu
ketat. Dapat juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanyaobstruksi pada pembuluh darah itu
sendiri.
g) Diabetes
Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan peningkatan gula darah, nutrisi tidak
dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal tersebut juga akan terjadi penurunanprotein-kalori tubuh.
h) Keadaan Luka
Keadaan khusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan efektifitas penyembuhan luka.
i) Obat
Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin), heparin dan anti neoplasmikmempengaruhi
penyembuhan luka. Penggunaan antibiotik yang lama dapat membuat seseorang rentan terhadap
infeksi luka.
- Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal tubuh terhadap cedera
- Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan
- Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum pembedahan untuk bakteri
penyebabkontaminasi yang spesifik. Jika diberikan setelah luka pembedahan tertutup,
tidakakan efektif akibat koagulasi intravaskular.

6. KLASIFIKASI PENYEMBUHAN LUKA


1) Penyembuhan Primer
Didapat bila luka bersih, tidak terinfeksi, dan dijahit dengan baik.
2) Penyembuhan sekunder
a) Didapat pada luka yang dibiarkan terbuka
b) Luka diisi jaringan granulasi dimulai dari dasar terus naik sampai penuh
c) Ephitel menutup jaringan granulasi mulai dari tepi
d) Penyembuhan
3) Penyembuhan Primer tertunda atau Penyembuhan dengan jaringan tertunda
a) Luka dibiarkan terbuka
b) Setelah beberapa hari ada granulasi baik dan tidak ada infeksi
c) Luka dijahit
d) Penyembuhan

7. PENATALAKSANAAN LUKA
Teknik Perawatan Luka
1) Desinfeksi
Adalah tindakan dalam melakukan pembebasan bakteri dari lapangan operasi dalam hal ini
yaitu luka dan sekitarnya. Macam bahan desinfeksi: Alkohol 70%, Betadine 10%, Perhidrol 3%,
Savlon (Cefrimid +Chlorhexidine), Hibiscrub (Chlorhexidine 4%). Teknik : Desinfeksi sekitar
luka dengan kasa yang di basahi bahan desinfeksan. Tutup dengan doek steril atau kasa steril.
Bila perlu anestesi Lido/Xylo 0,5-1%
2) Irigasi
Adalah mencuci bagian luka
Bahan yang di gunakan : Perhidrol, Savlon, Boor water, Normal Saline, PZ.
Bilas dengan garam faali atau boor water
3) Debriement (Wound Excision)
Adalah membuang jaringan yang mati serta merapikan tepi luka. Memotong dengan
menggunakan scalpel atau gunting. Rawat perdarahan dengan meligasi menggunakan cat gut
4) Perawatan perdarahan
Adalah suatu tindakan untuk menghentikan proses perdarahan. Yaitu dengan kompresi lokal
atau ligasi pembuluh darah atau jaringan sekitar perdarahan
5) Penjahitan Luka
Penjahitan luka membutuhkan beberapa persiapan baik alat, bahan serta beberapa peralatan lain.
Urutan teknik juga harus dimengerti oleh operator serta asistennya.
a. Alat, bahan dan perlengkapan yang di butuhkan
1) Naald Voeder ( Needle Holder ) atau pemegang jarum biasanya satu buah.
2) Pinset Chirrurgis atau pinset Bedah satu buah
3) Gunting benang satu buah.
4) Jarum jahit, tergantung ukuran cukup dua buah saja.
5) Bahan yang dibutuhkan :
6) Benang jahit Seide atau silk
7) Benang Jahit Cat gut chromic dan plain.
Lain-lain :
1) Doek lubang steril
2) Kasa steril
3) Handscoon steril
4) Operasi teknik
 Urutan teknik penjahitan luka ( suture techniques)
1) Persiapan alat dan bahan
2) Persiapan asisten dan operator
3) Desinfeksi lapangan operasi
4) Anestesi lapangan operasi
5) Debridement dan eksisi tepi luka
6) Penjahitan luka
7) Perawatan luka
6. Bebat Luka
- Setelah luka di jahit dengan rapi di bersihkan dengan desinfeksan (beri salep)
- Tutup luka dengan kasa steril yang dibasahi dengan betadine
- Lekatkan dengan plester atau hipafix ( bila perlu diikat dengan Verban)
7. Angkat Jahitan
Adalah proses pengambilan benang pada luka. Berdasarkan lokasi dan hari tindakan:
a. Muka atau leher hari ke 5
b. Perut hari ke7-10
c. Telapak tangan 10
d. Jari tangan hari ke 10
e. Tungkai atas hari ke 10
f. Tungkai bawah 10-14
g. Dada hari ke 7
h. Punggung hari ke 10-14

8. KOMPLIKASI PENYEMBUHAN LUKA


1) Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat trauma, selama pembedahan atausetelah
pembedahan. Gejala dari infeksi sering muncul dalam 2 – 7 hari setelahpembedahan.
Gejalanya berupa infeksi termasuk adanya purulent, peningkatan drainase,nyeri, kemerahan
dan bengkak di sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatanjumlah sel darah putih.
2) Perdarahan
Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan, sulit membeku pada garis jahitan,
infeksi, atau erosi dari pembuluh darah oleh benda asing (seperti drain).Hipovolemia mungkin
tidak cepat ada tanda. Sehingga balutan (dan luka di bawahbalutan) jika mungkin harus sering
dilihat selama 48 jam pertama setelah pembedahandan tiap 8 jam setelah itu.Jika perdarahan
berlebihan terjadi, penambahan tekananbalutan luka steril mungkin diperlukan. Pemberian
cairan dan intervensi pembedahanmungkin diperlukan.
3) Dehiscence dan Eviscerasi
Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi yang paling serius. Dehiscence adalah
terbukanya lapisan luka partial atau total. Eviscerasi adalah keluarnyapembuluh melalui daerah
irisan. Sejumlah faktor meliputi, kegemukan, kurang nutrisi,,multiple trauma, gagal untuk
menyatu, batuk yang berlebihan, muntah, dan dehidrasi,mempertinggi resiko klien mengalami
dehiscence luka. Dehiscence luka dapat terjadi 4 –
5 hari setelah operasi sebelum kollagen meluas di daerah luka. Ketika dehiscence daneviscerasi
terjadi luka harus segera ditutup dengan balutan steril yang lebar, kompresdengan normal saline.
Klien disiapkan untuk segera dilakukan perbaikan pada daerahluka.)

Anda mungkin juga menyukai