BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Persuteraan alam berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor
50/Kpts-II/1997 tanggal 20 Januari 1997 merupakan kegiatan perhutanan sosial
dengan hasil kokon atau benang sutera yang terdiri dari kegiatan penanaman
murbei, pembibitan ulat sutera, pemeliharaan ulat sutera, dan pengolahan kokon
(Harbi, Nurrochmat, & Kusharto, 2015), pemintalan, pertenunan sampai dengan
pemasaran kain sutera (Susatijo, 2008; Muin, 2013;). Sutera alam merupakan
salah satu dari komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) unggulan nasional
(Kemenhut, 2014). Pengembangan komoditas sutera alam merupakan salah satu
kegiatan perhutanan sosial yang ditujukan untuk peningkatan ekonomi
kerakyatan, perluasan kesempatan usaha dan kerja, pemberdayaan masyarakat dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Susatijo, 2008; Harbi, Nurrochmat, &
Kusharto, 2015). Persuteraan alam sebagai rangkaian kegiatan yang panjang
melibatkan beberapa pemangku kepentingan dengan pembagian sektor kegiatan.
Muin (2013) menyebutkan bahwa dalam kegiatan sektor hulu meliputi budidaya
murbei, ulat sutera sampai kokon, sedangkan kegiatan sektor hilir meliputi
industri dan pemasaran.
Sutera alam merupakan warisan leluhur yang telah menjadi bagian dari
budaya masyarakat secara turun-temurun di Sulawesi Selatan. Kegiatan
persuteraan alam telah dikenal sejak tahun 1950an dan hingga saat ini masih
digeluti oleh masyarakat pedesaan (Sadapotto, Penataan Institusi untuk
Peningkatan Kinerja Persuteraan Alam di Sulawesi Selatan: Studi Komparasi di
*
Makalah dipresentasikan pada Seminar Nasional Ulat Sutera dengan tema Potensi Bisnis dan
Keilmuan Budidaya Ulat Sutera di Indonesia pada LUSTRUM X (1969-2019) Fakultas
Peternakan UGM
∗∗
Bupati Wajo Sulawesi Selatan
Enrekang, Soppeng, dan Luoding City, Cina, 2010). Produk persuteraan yang
dikenal dengan kain sutera terus menerus digunakan oleh masyarakat dalam
upacara kebudayaan hingga saat ini. Kegiatan persuteraan alam di Sulawesi
Selatan telah menyebar ke seluruh kabupaten, dengan daerah penghasil kokon dan
benang adalah Kabupaten Enrekang dan Soppeng, sementara industri pertenunan
utama adalah Kabupaten Wajo (Sadapotto, 2010). Masyarakat Kabupaten Wajo
telah menjadikan persuteraan alam sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari
budaya dan kehidupan perekonomian. Komoditi sutera khas Wajo yang dikenal
dengan sebutan lifa’ sabbe to Sengkang tersebar ke seluruh Indonesia, bahkan
hingga ke mancanegara melalui perdagangan oleh putra-putri Wajo. Bahkan,
Sengkang sebagai ibukota kabupaten pun dikenal dengan julukan Kota Sutera.
Nilai omset dari perdagangan keliling lifa’ sabbe to Sengkang tergolong tinggi
sehingga sebagian masyarakat Wajo menjadikan persuteraan sebagai salah satu
sumber mata pencaharian dan menggantungkan perekonomian keluarga dari
persuteraan alam.
Kegiatan persuteraan alam di Kabupaten Wajo mencakup sektor hulu dan
hilir. Pada sektor hulu, terdapat 10 kelompok tani sutera dengan jumlah petani
sebanyak 120 orang dan luas kebun murbei mencapai 100,85 Ha. Kelompok tani
tersebut sebagian besar berdomisili di Kecamatan Sabbangparu, diantaranya 5
(lima) kelompok di Kelurahan Walennae, 1 (satu) kelompok di Kelurahan Sompe,
1 (satu) kelompok di Desa Salotengnga dan 1 kelompok di Desa Pasaka.
Sedangkan 2 (dua) kelompok yang merupakan kelompok baru dari upaya
pengembangan tanaman murbei yang berada di wilayah transmigrasi Desa
Paselloreng Kecamatan Gilireng. Persuteraan alam yang dilakukan di Kelurahan
Walennae Kecamatan Sabbangparu berupa usaha pemeliharaan ulat sutera hingga
pemintalan benang. Produksi benang dan kokon di wilayah ini mencapai 65-70%
dari total produksi benang dan kokon, sehingga dapat merepresentasikan tingkat
produksi di Kabupaten Wajo (Harbi, Nurrochmat, & Kusharto, 2015).
Selain kelompok tani, kegiatan sektor hulu dilakukan dengan penanaman
murbei terintegrasi dengan tanaman kayu-kayuan oleh Dinas Kehutanan Provinsi
Sulawesi Selatan melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Model
Awota. Bahkan Mas’ud dkk (2017) dan Sadapotto (2014) menyebutkan bahwa
2
areal KPHP Model Awota memiliki keunggulan potensi biofisik dan lingkungan,
pemasaran serta nilai finansial jika dilakukan pengembangan budidaya ulat sutera.
Hal ini sejalan dengan penemuan Dhyani dkk (dalam Harbi, Nurrochmat, &
Kusharto, 2015) bahwa tingkat keberhasilan penanaman murbei yang memadukan
tanaman sayuran serta buah-buahan terbukti dapat meningkatkan penghasilan bagi
petani di India dan lebih bersifat konservatif terhadap kondisi tanah.
Sedangkan pada sektor hilir, hasil dari proses budidaya ulat sutera pada
sektor hulu berupa benang sutera diolah agar menghasilkan produk berupa kain
sutera hingga melalui proses pemasaran. Kabupaten Wajo sebagai sentra
pertenunan sutera utama di Sulawesi Selatan memiliki 54 unit industri pemintalan
yang terdiri dari alat pemintal mesin dan alat pemintal tradisional. Jumlah industri
pertenunan di Kabupaten Wajo sebanyak 6.947 unit yang terdiri dari Alat Tenun
Mesin (ATM), Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) dan alat tenun tradisional
(gedogan).
Namun produksi kokon atau benang sutera Kabupaten Wajo sangat minim
dan tidak mampu memenuhi kebutuhan bahan baku dalam kegiatan pertenunan
dan pemasaran sutera. Padahal kebutuhan kain sutera di Indonesia sedikitnya 6
juta meter per tahun. Jika dikonversi dalam bentuk benang, Indonesia
membutuhkan sekitar 900 ton benang sutera per tahun. Besarnya kebutuhan itu
merupakan potensi pasar yang sangat menggiurkan, namun tidak dapat
dimanfaatkan karena kemampuan perajin sutera yang ada di Kabupaten Wajo
hanya mampu menghasilkan ± 3 ton per tahun atau sekitar 0,5 % dari total
kebutuhan tersebut.
Hal ini merupakan kemunduran bagi industri persuteraan di Kabupaten
Wajo. Agar dapat memenuhi kapasitas produksi, maka para pelaku industri
memilih untuk menggunakan benang sintesis yang dikenal dengan istilah benang
impor, meskipun harganya jauh lebih mahal daripada benang lokal (Taufik, 2014).
Sebagai gambaran, pengusaha sutera harus membeli benang sutera impor dari
Cina dengan harga yang meningkat drastis dari Rp. 300.000 per kg menjadi Rp.
1.030.000 per kg (Redaksi Fajar, 2017). Akibat pasokan bahan baku yang langka
dibarengi dengan kualitas yang tidak bagus, akhirnya para pelaku industi sutera
bergantung pada benang impor. Selain benang, pelaku industri juga harus
3
menggunakan pewarna impor. Selembar sarung setidaknya memerlukan
seperempat kilogram benang dengan masa pengerjaan satu minggu hingga 10 hari,
sementara bahan baku yang mampu disediakan oleh petani hanya sekitar 10% dari
total kebutuhan bahan baku. Oleh karena itu Kabupaten Wajo saat ini sangat
bergantung pada ketersediaan bahan baku dari Enrekang dan Soppeng sebagai
penghasil benang sutera di Sulawesi Selatan (Taufik, 2014).
Selain membeli benang impor dari Cina atau membeli bahan baku lokal,
para pelaku industri sutera di Kabupaten Wajo menggunakan substitusi benang
sutera yaitu benang polyester (benang India) atau benang viscose dengan kualitas
mirip benang sutera, demi untuk memenuhi permintaan pasar menengah ke
bawah. Hal ini jauh lebih mudah dan murah bagi pengusaha sutera, sehingga
berpotensi menurunkan minat masyarakat untuk menjalankan budidaya ulat sutera
di Kabupaten Wajo. Artinya, jika bahan baku terus langka dan minat masyarakat
untuk memelihara ulat sutera hilang, maka tidak mungkin persuteraan alam di
Kabupaten Wajo dapat menjadi penggerak ekonomi masyarakat.
B. Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah untuk:
a. Mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kemunduran persuteraan alam di
Kabupaten Wajo.
b. Menganalisis potensi bisnis persuteraan alam di Kabupaten Wajo.
c. Menguraikan peran pemerintah daerah dalam memajukan kembali
persuteraan alam di Kabupaten Wajo.
C. Manfaat
Dengan makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai
berikut:
a. Makalah ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan informasi bagi publik
khususnya mengenai pengembangan persuteraan alam di Kabupaten Wajo.
b. Makalah ini diharapkan menjadi stimulan bagi pihak-pihak yang ingin
berkontribusi terhadap pengembangan persuteraan alam di Kabupaten Wajo.
4
BAB II
PEMBAHASAN
5
tanaman bernilai ekspor seperti kakao atau memilih pekerjaan lain. Nilai ekonomi
yang lebih menggiurkan menyebabkan petani tidak berminat lagi memelihara
tanaman murbei. Dengan kondisi tersebut, jumlah ketersediaan tanaman murbei
tidak mampu mencukupi kebutuhan pakan ulat sutera yang diperlukan untuk
peternakan.
6
penghasil benang sutera di Sulawesi Selatan (Taufik, 2014). Varietas Perum
Perhutani yang tidak mampu bersaing menyebabkan masyarakat lebih memilih
beralih untuk membudidayakan varietas dari swasta. Pilihan lain bagi petani
adalah menggunakan benang sintesis yang dikenal dengan istilah benang impor,
meskipun harganya jauh lebih mahal daripada benang lokal (Taufik, 2014).
Selain membeli benang impor dari Tiongkok atau membeli bahan baku
lokal, para pelaku industri sutera di Kabupaten Wajo menggunakan substitusi
benang sutera yaitu benang polyester (benang India) atau benang viscose dengan
kualitas mirip benang sutera. Apabila penggunaan benang impor atau substitusi
benang sutera semakin meningkat, maka tentu minat terhadap persuteraan alam
akan semakin berkurang.
7
diintegrasikan dengan tanaman perkebunan, baik dengan teknik tanaman
sela maupun dengan teknik tanaman pagar.
c. Penanaman murbei terintegrasi dengan tanaman kayu-kayuan yang
dilakukan oleh Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan melalui KPHP
Model Awota, telah disebutkan Mas’ud dkk (2017) dan Sadapotto (2014)
memiliki keunggulan potensi biofisik dan lingkungan, pemasaran serta
nilai finansial jika dilakukan pengembangan budidaya ulat sutera.
d. Agroklimat yang sesuai dengan budidaya ulat sutera dan budidaya murbei.
Untuk hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut mengenai daerah-
daerah tertentu di Kabupaten Wajo yang memenuhi syarat iklim untuk
pengembangan persuteraan alam. Kabupaten Wajo tergolong beriklim
tropis yang termasuk type B dengan 29°C - 31°C atau suhu rata-rata 29°C
siang hari. Daerah ini tahunnya berlangsung agak pendek yaitu rata-rata 3
(tiga) bulan yaitu Bulan April sampai dengan Bulan Juli, dan Bulan
Agustus sampai dengan Bulan Oktober, curah hujan rata-rata 8.000 mm
dengan 120 hari hujan (Kabupaten Wajo, 2019).
2. Kelemahan
a. Kualitas kokon dan produk sutera yang masih rendah, akibat tidak
terpenuhinya ketersediaan pakan daun murbei bagi ulat sutera. Ulat sutera
yang tidak mendapatkan asupan makan dengan baik tidak akan tumbuh
secara optimal. Demikian pula dengan kualitas telur sutera yang bersumber
dari Perum Perhutani masih rendah dan tidak mampu bersaing dengan
telur sutera impor.
b. Tingkat keterampilan petani yang mengelola dan mengembangkan ulat
sutera masih banyak yang rendah dan tidak didukung oleh teknologi.
c. Belum adanya kesamaan visi pengembangan di antara stakeholder yang
mengelola sutera. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Muin (2013)
bahwa perlunya kesamaan visi serta keterlibatan dan kerjasama antar
pemangku kepentingan untuk meningkatkan produksi dan kualitas
persuteraan alam nasional dan daerah Sulawesi Selatan pada khususnya.
8
3. Peluang
a. Tingkat sosial ekonomi masyarakat yang semakin meningkat sehingga
kebutuhan akan kain sutera meningkat pula.
b. Adanya perhatian pemerintah dalam bentuk penyediaan kredit usaha yang
bisa dimanfaatkan oleh petani.
c. Terbentuknya KPHP Model Awota yang memfasilitasi pengusahaan ulat
sutera.
4. Ancaman
a. Serangan penyakit pada pemeliharaan ulat sutera
b. Adanya benang sutera sintetis yang mirip dengan sutera sehingga minat
masyarakat bawah lebih suka karena harganya yang murah.
9
Rendahnya keterampilan petani dan perajin sutera di Kabupaten Wajo
sampai saat ini juga masih menjadi beban tersendiri. Hasil tenun masyarakat
dalam bentuk kain polos yang dikirim ke berbagai daerah yang memiliki industri
kerajinan batik berharga sangat rendah jika dibandingkan dengan kain yang sudah
dibatik. Hal ini tentu saja menjadi salah satu tantangan yang kemudian disikapi
oleh Pemerintah Daerah dengan mengirim 10 orang perajin sutera untuk magang
di Perusahan Sutra Thailand yang bernama Chul Thai Silk. Diharapkan
sekembalinya mereka dari Thailand, mereka bisa menyebarluaskan ilmu yang
mereka dapatkan untuk meningkatkan kualitas industri persutraan di Kabupaten
Wajo.
10
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dari uraian dalam bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa
Kabupaten Wajo merupakan salah satu dari beberapa daerah di Sulawesi
Selatan yang mempunyai sejarah dan tradisi yang kuat dalam budidaya
persuteraan. Dengan kondisi tersebut, maka diperlukan intervensi berbagai
program dan kegiatan yang secara terpadu diarahkan untuk meningkatkan
kapasitas industri ini dari berbagai sektor yang terkait.
Berbagai masalah yang dihadapi harus diurai dan diselesaikan secara
sistematis untuk mewujudkan solusi yang ideal bagi pelaku usaha persuteraan
pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya. Di antaranya dengan
menjalin kerjasama yang baik dengan seluruh stakeholder persuteraan,
mengoptimalkan lahan pertanaman murbei yang tersedia dengan dukungan
ketersediaan telur ulat sutera yang berkualitas, peningkatan kualitas dan
keterampilan petani, serta pemanfaatan teknologi dalam pengelolaan
persuteraan.
Diharapkan dengan adanya upaya-upaya tersebut, Kabupaten Wajo
dapat menjadi salah satu daerah yang dapat menyuplai kebutuhan benang
sutera nasional.
2. Saran
Penelitian lebih lanjut secara komprehensif diperlukan terkait budidaya ulat
sutera di Kabupaten Wajo.
11
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, T. (2014, 11 12). Indosiana: Platform Kebudayaan. Retrieved from
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal
Kebudayaan: https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsulsel/keluar-dari-
krisis-daya-lentur-industri-tenun-wajo-menghadapi-krisis-1930-1998/
Andadari, L., & Kuntadi. (2014). Perbandingan Hibrid Ulat Sutera (Bombyx mori
l.) Asal Cina dengan Hibrid Lokal di Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian
Hutan Tanaman, 11(3), 173-183.
Andadari, L., Pudjiono, S., Suwandi, & Rahmawati, T. (2013). Budidaya Murbei
dan Ulat Sutera: Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan
Produktivitas Hutan. Bogor: Forda Press.
Atmosoedarjo, S., Kartasubrata, J., Kaomini, M., Saleh, W., & Murdoko, W.
(2000). Sutera Alam Indonesia. Jakarta : Sarana Wana Jaya.
Mas'ud, E. I., Kadir, M. I., Molo, H., Tahnur, M., Hardiyanti, & Riyadi, S. (2017).
Potensi Pengembangan Budidaya Ulat Sutera di Areal KPHP Model
Awota. Jurnal Hutan dan Masyarakat, 9, 17-22.
Rahma, F., Moerfiah, & Andadari, L. (2017). Pertumbuhan dan Kualitas Kokon
Ulat Sutera (Bombyx mori) dengan Pemberian Pakan Daun Murbei (Morus
cathayana) dan Daun Murbei Hibrid Suli-01. Jurnal Online Mahasiswa
(JOM) Bidang Biologi, 3(3).
12
Susatijo, B. (2008). Pengembangan Persuteraan Alam di Jawa Barat. Bandung:
Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat.
Kabupaten Wajo. (2019, Oktober 15). Kabupaten Wajo. Retrieved from Portal
Data Kabupaten Wajo:
https://pusatdata.wajokab.go.id/page/detail/kondisi_geografi
13