Falsifikasi Popper
Falsifikasi Popper
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagai sebuah obyek yang terus mengalami perkembangan, Filsafat Ilmu Pengetahuan yang
kita kenal sekarang memiliki sejarahnya sendiri, yang didalamnya memperlihatkan adanya
perkembangan pemikiran yang sangat dinamis. C.V Van Peursen , Kenneth Gallagher , dan
C.Verhaak dan R Haryono Imam serta Soerjanto Poespowardojo mengakui adanya tahap-
tahap dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan setiap tahap memiliki aliran atau kerangka
berpikirnya sendiri, yang pada umumnya merupakan koreksi dan atau penyempurnaan dari
tahap sebelumnya. Secara garis besar dan kronologis, perkembangan aliran dalam filsafat
ilmu pengetahuan dapat dibagi kedalam empat aliran, yaitu:
1. Rasionalisme
2. Empirisme dan Positivisme
3. Rasionalisme Kritis
4. Kontruktivisme
Berbeda dengan rasionalisme, aliran empirisme memberi kelonggaran pada peranan data
kenyataan untuk mengembangkan bahkan mengubah struktur ilmu pengetahuan. Maka
empirisme dalam filsafat ilmu dapat lebih mengindahkan keharusan selalu mengubah dan
mencocokan sistem ilmu dengan data empiris. Dalam membangun teori, empirisme memiliki
siklus yang selalu dimulai dari observasi, kemudian melahirkan hukum empiris, selanjutnya
dibangun teori. Aliran empirisme berpendapat bahwa induksi sangat penting, karena jalan
pikirannya berangkat dari yang diketahui menuju ke yang tidak diketahui.
Karena ilmu pengetahuan selalu ada unsur rasionalismenya, aliran empirisme mengalami
kesulitan dalam kaidah-kaidah logika dan matematika. Disinilah aliran positivisme muncul
untuk mengatasi masalah tersebut. Data observasi yang diperoleh dapat digunakan untuk
”menghitung”, atau melakukan penjabaran logis dan deduksi, sebagaimana yang terjadi pada
aliran rasionalisme. Dengan demikian, empirisme dan positivisme memberikan kelonggaran
lebih besar kepada masukan dari empiris dalam membangun ilmu pengetahuan
Seperti terlihat pada penjelasan di atas, aliran rasionalisme dan empirisme termasuk
positivisme merupakan dua aliran yang bertentangan. Rasionalisme kritis berupaya
menghubungkan unsur rasional dan empiris dalam pengetahuan ilmiah. Dengan demikian
ilmu pengetahuan yang dibangun dari proses induktif, harus selalu terbuka terhadap kritik.
Ilmu pengetahuan tersebut terbuka upaya penyangkalan/pembuktian salah (falsifikasi) yang
secara terus menerus sehingga dapat lebih dikokohkan (corroborated).
Di samping itu, titik suatu ilmu terletak pada melihat situasi permasalahan. Lewat proses trial
dan error dan error eliminitian, ilmu yang dikembangkan atas permasalahan tadi, dapat
mendekatan kebenaran
Terakhir adalah aliran konstruktivisme yang menekankan pada sifat kontekstual ilmu
pengetahuan, yaitu pentingnya seluruh konteks demi terjadinya suatu sistem ilmiah. Konteks
dan ilmu dapat saling mempengaruhi. Apabila ilmu bertentangan dengan konteks atu
pengalaman, maka tidak berarti bahwa ilmu tersebut runtuh. Dalam hal terjadi pertentangan
dan ketidaksesuasian tersebut, diperlukan terjemahan untuk memperbaharui sistem ilmu tadi.
Karl Raimund Popper lahir di Kota Wina pada tahun 1902 , dan meninggal pada hari Minggu
pagi tanggal 17 September 1994 di London sebagai akibat dari komplikasi penyakit
pneumonia dan gagal ginjal .
Dalam aliran-aliran filsafat di atas, Popper termasuk aliran rasionalisme kritis, bahkan
merupakan perintis aliran tersebut. Meskipun berkenalan dengan beberapa tokoh dalam
lingkaran Wina, namun ia tidak pernah menjadi anggota lingkaran Wina. Bahkan ia jengkel,
kalau pandangan-pandangannya dikaitkan dengan positivisme logis.
BAB II
POSITIVISME LOGIS
Positivisme logis adalah aliran filsafat ilmu yang dikritisi dan ingin disempurnakan oleh Karl
Raimund Popper dalam aliran filsafatnya yang disebut rasionalisme kritis. Dalam
rasionalisme kritis ini, terdapat kritik induktivisme dan falsifikasi yang menjadi topic utama
tulisan ini. Oleh karena itu, untuk memahami topik utama tersebut, terlebih dahulu perlu
dibahas positivisme logis.
Keberatan pada aliran rasionalisme yang menganggap bahwa kebenaran hanya dapat
diperoleh melalui rasio dan akal budi manusia, menjadi salah satu memicu munculnya aliran
empirisme. Klimaksnya terjadi pada abad ke 17 yang jalannya telah dipermulus oleh
Renaissance, yang mendorong terwujudnya revolusi ilmiah. Pada masa tersebut, cara berpikir
berubah secara ekstrim dari melihat dunia yang metafisik ke melihat dunia yang mekanistis.
Di sinilah aliran empiris muncul, dan kemudian pada abad ke 18 positivisme logis mulai
berkembang. Dunia atau fenomena sudah mulai dihitung, dianalisis secara matematis, dan
mekanistis.
Positivisme logis dikembangkan oleh tokoh-tokoh filsafat yang tergabung dalam Lingkaran
Wina, yang antara lain adalah: Moritz Sclick (1882 – 1936), Hans Hahn (1880 – 1934), Otto
Nuerach (1882 – 1945), Hans Reichenbach (1891 – 1955)
Beberapa pandangan positivisme logis dapat diuraikan antara lain sebagai berikut:
1. Hanya ada satu sumber pengalaman, yaitu pengalaman. Yang dimaksud ialah mengenal
data-data inderawi.
2. Berangkat dari pengalaman, dikembangkan metode induksi dalam menyusun suatu ilmu
penegetahuan melalui siklus empiris, yaitu observasi, hukum-hukum empiris, teori, dan
hipotesa.
3. Selain pengalaman, diakui pula adanya dalil-dalil logika dan matematika yang tidak
dihasilkan lewat pengalaman. Dalil-dalil itu hanya memuat serentetan tautologi – subjek-
predikat- saja, yang berguna untuk mengolah data pengalaman (inderawi) menjadi satu
keseluruhan yang meliputi segala data.
4. Memiliki minat besar untuk mencari garis batas atau damarkasi antara pernyataan yang
bermakna (meanigful) dan yang tidak bermakna (meaningless). Oleh karena itu, filsafat
tradisional haruslah ditolak karena ungkapan-ungkapannya melampaui pengalaman.
5. Ilmu pengetahuan dipandang sebagai logika. Konsekuensinya, Ilmu harus disusun
berdasarkan logika formal, sebagaimana halnya yang dilakukan Aristoteles.
6. Tidak ada konteks penemuan (context of discovery) . Yang ada hanya konteks pengujian
dan pembenaran (context of justification).
BAB III
INDUKTIVISME DAN FALSIFIKASI
Pada Bab III diuraikan pandangan-pandangan Karl Raimund Popper dalam aliran
rasionalisme kritis, termasuk induktivisme dan falsifikasi.
Pemikiran Karl Raimund Popper dalam aliran rasionalisme kritis berangkat dari
ketidaksetujuannya terhadap beberapa gagasan dasar Lingkaran Wina yang beraliran
positivisme logis. Terutama ia sangat menentang ungkapan yang disebut bermakna
(meaningful) dari yang tidak bermakna (meaningless) berdasarkan kriteria dapat tidaknya
dibenarkan secara empiris. Menurutnya, karena empiris merupakan peristiwa yang
berkelanjutan, maka ungkapan yang dulunya tergolong meaningless, bisa jadi sangat
meaningful nantinya. Artinya, sangat berbahaya apabila suatu ungkapan apalagi teori dibuat
tertutup dengan menyatakannya meaningless, pada perkembangan fenomena termasuk
pegalaman atau empiris juga terus berlanjut.
Metode induktif ini secara jelas dapat dilihat pada siklus empirisme sebagaimana terlihat
pada gambar berikut:
Menurut klaim dari positivisme logis, metode induktif merupakan logika dalam menemukan
ilmu pengetahuan (the logic of scientific discovery). Dalam kenyataannya, siklus positivisme
logis dengan metode induktifnya seperti di atas telah berhasil menambah hasanah ilmu
pengetahuan.
Popper melihat adanya kelemahan dalam metode induktif di atas. Menurut argumentasinya,
metode induktif tidak dapat dipergunakan untuk menyusun universal statement, karena
hakekatnya yang selalu berangkat dari singular statement hasil observasi pengalaman
empiris. Secara lengkap Popper mengatakan:
”Now it is far from obvious, from a logical point of view, that we are justified in inferring
universal statement from singular ones, no matter how numeours; for any conclusion drawn
in this way may always turn out to be false: no matter how many instances of white swans we
may have observed, this does not justify the conclusions that all swans are white”.
Kesimpulannya metode induktif tidak dapat disebut logika dalam mencari kebenaran. Dengan
demikian, logika kebenaran adalah logika deduktif, yang dulu dipergunakan oleh ilmuwan
lama dari aliran rasionalis.
B. Falsifikasi
Pernyataan dan teori yang diperoleh melalui empiris atau positivisme logis pada akhirnya
mutlak harus disimpulkan apakah pernyataan dan teori tersebut benar atau salah. Artinya,
pernyataan dan teori tersebut harus memiliki kesimpulan akhir (conclusively decidable atau
conclusive verification). Kalau pernyataan dan teori tersebut tidak dapat mencapai tahap ini,
maka keduanya tidak berarti sama sekali.
Untuk mencapai kondisi tersebut, pernyataan dan teori perlu ditest melalui bukti empiris.
Kalau hasil testnya menunjukkan bahwa pernyataan dan teori tersebut benar, maka disebut
verifiability. Sebaliknya, kalau hasil test empiris tersebut membuktikan bahwa keduanya
salah, maka disebut falsiability. Upaya/test untuk membuktikannhya salah disebut falsifikasi.
Dengan demikian, sistem test dalam ilmu pengetahuan tidak selalu harus berarti positif
(membuktikan benar) tetapi juga harus berarti negative (membuktikan salah).
Menurut Popper, cirri khas ilmu pengetahuan adalah falsifiable, artinya harus dapat
dibuktikan salah melalui proses falsifikasi. Dengan falsifikasi, ilmu pengetahuan mengalami
prosess pengurangan kesalahan (error elimination). Proses falsifikasi inilah yang mengantar
ilmu pengetahuan tersebut mendekatai kebenaran, namun tetap memiliki cirri falsifiable.
Dengan cara falsifikasilah, hukum-hukum ilmiah berlaku: bahwa bukannya dapat dibenarkan
melainkan dapat dibuktikan salah. Dengan cara yang sama, ilmu pengetahuan berkembang
maju. Bila suatu hipotesa telah dibuktikan salah, maka hipotesa itu ditinggalkan dan diganti
dengan hipotesa baru. Kemungkinan lain adalah bahwa hanya salah satu unsure hipotesa
yang dibuktikan salah, sedangkan inti hipotesa lain dapat dipertahankan, maka unsur tadi
ditinggalkan dan digantikan dengan unsur baru. Dengan demikian, hipotesa terus
disempurnakan, walaupun tetap terbuka untuk dibuktikan salah.
Popper mengutuk sistem ilmiah yang bersifat tertutup atau definitif, yang menutup
dilakukannya falsifikasi. Menurutnya, sistem seperti ini akan terus membuat ilmu
pengetahuan merosot menjadi ideology. Hal ini juga berlaku dalam Negara. Inilah yang
melatarbelakangi tulisan Popper yang berjudul Open Society and Its Enemies. Sampai
sekarang konsep ini banyak mengilhami berdirinya pendukung open society. Di Jepang,
terbentuk open society forum yang dapat diakses dengan alam www.open society forum. Jp
C. Corroboration
Menurut Popper, teori tidak dapat diverfikasi, tetapi dapat dikoroborasi. Hal ini disebabkan
karena teori tidak dapat dikatakan benar atau salah, tetapi mungkin benar atau mungkin salah.
Teori kemungkinan kemudian disebut logika kemungkinan (probability logic).
Di awalinya sistem ilmu yang terbuka, maka proses falsifikasi terhadap suatu teori atau
hipotesa dapat terus dilakukan. Apabila suatu hipotesis tahan uji atau belum dapat dibuktikan
salah, maka hipotesis tersebut semakin dikukuhkan atau corroborated.
Untuk mencapai kondisi corroborated, suatu hipotesa perlu diperhadapkan pada serangkaian
fakta yang tak terhingga, dengan rentetan verifikasi yang tak terhingga. Dengan demikian,
hipotesa tersebut memiliki kualitas koroborasi yang tinggi (how far it has been corroborated.
BAB IV
PENUTUP
Rasionalisme dan empiris (positivisme logis) yang merupakan dua aliran yang berada pada
dua titik ekstrim diupayakan untuk dipertemukan dalam aliran rasionalisme kritis yang
dipelopori oleh Karl Raimund Popper. Dalam pandangannya, dia melancarkan kritik terhadap
logika induktif yang dipergunakan oleh aliran empirisme dan positivisme logis, sebagai suatu
logika yang tidak dapat mengantar pada teori atau general statement.yang benar. Sebaliknya,
logika deduktif yang dipergunakan oleh aliran rasionalisme dijadikan sebagai logika yang
valid dalam menghasilkan teori. Teori baik hasil logika induktif atau deduktif inilah yang
kemudian difalsifikasi dan dikoroborasi, agar mendekati kebenaran, namun tetap terbuka.
Sebagai filsuf pertama yang mencoba mensintesakan kedua aliran yang berseberangan
tersebut, mungkin logika atau cara Popper belum begitu sempurna, sehingga masih tetap
terbuka. Inilah yang kemudian dilakukan oleh murid dan filsuf setelahnya seperti Imre
Lakatos yang mencoba menyempurnakan sintesa kedua aliran yang bersebarangan tersebut.