Anda di halaman 1dari 118

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS TEKNIK
PROGRAM STUDI SARJANA TEKNIK SIPIL

DIKTAT

Mata Kuliah
PERKERASAN JALAN

Materi I
BAHAN PERKERASAN JALAN DAN
PERENCANAAN CAMPURAN ASPAL PANAS

Oleh:
I Nyoman Arya Thanaya

2019
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penyusun panjatkan kehadapan NYA, karena Diktat Mata Kuliah Perkerasan
Jalan, Materi I: Bahan Perkerasan dan Perencanaan Campuran Aspal Panas ini dapat
diselesaikan.

Dengan disusunnya Diktat ini diharapkan para mahasiswa bisa mempersiapkan diri dengan
baik sebelum perkuliahan dimulai sebagai aktifitas mandiri mahasiswa, sehingga kuliah di kelas
bisa efektif dan lebih banyak berdiskusi, dan presentasi topik- topik yang sudah dibahas.

Semoga diktat ini dapat membatu mahasiswa untuk mengikuti perkuliahan secara efektif
dan berhasil guna. Diktat ini masih memiliki keterbatasan, kritik saran pembaca sangat kami
harapkan. Terimakasih.

Denpasar, 28 Januari 2019


BAB I
AGREGAT

1.1 Umum
Pada perkerasan jalan, agregat merupakan komponen terbesar.Dari segi jumlah berkisar
antara 90-95 % berdasarkan berat, atau 75-85% berdasarkan volume (Sukirman, 2007).

1.2 Klasifikasi Agregat


Agregat dapat diklasiifikasikan sbb (Sukirman, 2007):
1.2.1 Dari segi asal/kejadiannya, agregat dapat berupa:
 Batu beku:
Batu yang berasal dari magma gunung berapi yang mendingin.
 Batu sedimen:
Dari campuran partikel mineral, sisa-sisa hewan dan tanaman yang mengalami
sedimentasi. Misalnya: lempung, batu gamping, batu bara, gips, flint, dll.
 Batu Metamorf:
Dari batuan sedimen atau batuan beku yang mengalami perubahan bentuk akibat adanya
perubahan tekanan dan temperatur. Misalnya: marmer, kuarsit, batu sabak, filit, sekis,
dll.
1.2.2 Berdasarkan proses pengolahannya:
 Agregat alam:
Agregat ini digunakan sebagaimana bentuknya di alam. Terbentuk dari proses erosi dan
degradasi (penghancuran). Misalnya: batu kali (halus), batu gunung (bersudut dan
kasar), berupa kerikil atau pasir.
 Agregat pecah:
Dari proses pemecahan agregat dengan menggunakan ‘stone crusher’, dengan ukuran
butiran sesuai kebutuhan
 Agregat buatan:
- Sebagai hasil sampingan/limbah dari pabrik besi/baja: steel slag, dan iron slag.
- Artificial Light Weight Aggregate (ALWA): dari campuran mineral berbutir halus
dicampurdengan bahan perekat (lempung, lumpur endapan sungai, dll), yang dibentuk
bulat, kemudian dipanaskan dengan suhu tinggi (>1000 °C) tergantung jenis material
yang dipakai, sampai terjadi penggabungan unsur (sintering).
1.2.3 Berdasarkan ukuran butir (Spesifikasi Umum 2018)
 Agregat kasar: tertahan saringan No. 4 = 4,75mm
 Agregat halus: lolos saringan No.4 = 4,75mm dan tertahan saringan No. 200 = 0,075
mm)
 Filer: lolos saringan No. 200 = 0,075 mm minimal 85%, bersifat non plastis, tidak
mengandung bahan organic, tidak menggumpal, dan kadar air max 1 %.
1.3 Gradasi Agregat
Adalah distribusi atau komposisi agregat berdasarkan ukuran butiran agregat, terdapat
(Kreb and Walker 1971) dan dapat dilihat pada Gambar 1.1 dan 1.2:
 Gradasi seragam (uniform graded):

1
Gradasi ini terdiri dari sejumlah besar (dominan) ukuran partikel yang lolos suatu
ayakan dan tertahan suatu ayakan tertentu.Gradasi ini menghasilkan perkerasan yang
kurang kedap air, stabilitas kurang, dan kurang padat.
 Gradasi rapat (dense/continuous/well graded):
Pada gradasi ini memberikan proporsi agregat kasar dan halus berimbang, pada seluruh
rentang ukuran partikel dengan komposisi rapat (saling mengunci), lebih kedap air,
lebih padat.Dirancang untuk memperoleh stabilitas maksimum.
 Gradasi senjang/buruk (poor graded/gad graded):
Proporsi agregat kasar dan halus tidak berimbang, biasanya jumlah agregat halus
cukup tinggi, dan terdapat kesenjangan (dalam proporsi relative kecil) untuk suatu
rentang ukuran partikel agregat tertentu.Gradasi ini untuk memberikan efek kedap air
yang optimal.

100
90 Gradasi menerus
80 Gradasi senjang
Komulatif lolos (%)

70 Gradasi seragam
60
50
40
30
20
10
0
0.01 0.1 1 10 100
Ukuran partikel (mm)

Gambar 1.1 Contoh tipikal gradasi agregat


(Dep. PU, 2006)

Gambar 1.2 Ilustrasi tipikal gradasi agregat


(Sukirman, 2007)

Bila diaplikasikan untuk campuran agregat-aspal, gradasi rapat dan senjang akan tampak
sepeti pada Gambar 1.3.
2
a. Gradasi rapat b. Gradasi senjang
(Kekuatan dari agregat interlock) (Kekuatan dari mortar aspal-agregat
halus+filer dan aspal)
Gambar 1.3 Potongan melintang campuran aspal.

 Pengujian gradasi agregat dilaksanakan dengan mengayak agregat kering memakai satu
set ayakan. Ayakan yang berukuran lebih besar ditempatkan pada bagian atas.
Kemudian tentukan/timbang berat agregat yang tertahan (dalam %) pada masing-
masing ayakan. Kemudian hitung jumlah komulatif tertahan pasing-pasing ayakan.
Selanjutnya jumlah komulatif agregat yang lolos masing-masing ayakan dapat dihitung,
dan dibuat grafik hubungan antara ukuran partikel agregat (mm) sebagai absis, dengan
jumlah komulatif (%) lolos masing-masing saringan sebagai oordinat. Sebagai contoh
dapat dilihat pada analisa saringan agregat dan gradasi (Lampiran 1.1).

1.4 Kurva Gradasi Menerus

Untuk memperoleh gradasi menerus sesuai dengan ukuran butir yang dinginkan, dapat
mempergunakan Rumus Fuller (Fuller and Thomson, 1907) sbb:
n
d
P  100  ……………………………………………………………….............(1.1)
D
dimana : P = komulatif prosentase lolos saringan d mm
D = diameter agregat maximum (mm)
Karena dalam campuran aspal memerlukan sejumlah tertentu agregat halus, terutama filer, maka
oleh Cooper et. al (1985) Rumus Fuller di atas dimodifikasi (Modified Fuller’s curve by Cooper
et. al (1985) menjadi:
(100  F)(d n  0.075 n ) ……………..………………………………………(1.2)
P F
D n  0.075 n
dimana:
P = komulatif prosentassse lolos saringan d (mm )
D = diameter agregat maximum (mm)

3
F = % filler (ditentukan sesuai spesifikasi atau kebutuhan, atau berdasarkan pengalaman)
n = nilai ekponential, yang dapat mempengaruhi kelengkungan kurva. Untuk memperoleh
efek penguncian (interlock) optimal, sering dipakai nilain = 0,45. Di Inggris nila n =
0.5 umum dipakai.
Berikut diberikan contoh aplikasi rumus Modifikasi Fuller yang dibandingkan dengan
suatu spesifikasi yang disarankan oleh Nikolaides, seorang Highway Engineer yang pernah
bekerja untuk Dep. PU, Bina Marga di Indonesia pada tahun 1990an.

Data gradasi diambil dari gradasi Campuran Aspal Emulsi Dingin (CAED) Tipe V yang
diperkenalkan oleh Nikolaides(Nikolaides, 1994) dan dibandingkan dengan hasil aplikasi rumus
Modifikasi Fuller. Dengan mengambil F = 4 %, dan n = 0,45 (Tabel 1.1)

Tabel 1.1 Gradasi Campuran Nikolaides Tipe V, dan Gradasi Modifikasi Fuller

Sieve size Gradation( cumulative passing) - %


(mm) Nikolaides Mix Type V Mod Fuller’s C
LL Mid UL F = 4 %,
n = 0.45

12.70 100 100 100 100.00


10.00 90 95 100 89.13
5.00 60 70 80 63.48
2.36 35 50 65 43.39
1.18 28 41.5 55 30.00
0.60 20 33 46 20.40
0.30 5 15 25 13.17
0.075 3 7 11 4.00
Catatan: LL = lower limit (batas bawah) ; Mid = batas tengah ; UL = upper limit (batas atas)

Grafik batas-batas spesifikasi Nikolaides dan garis aplikasi Rumus Modifikasi Fuller dengan F =
4 % dan nilai ‘ n ‘ yang divariasi nilai 0,1 – 0,45 diberikan pada Gambar 1.4 dan 1.5.

4
100

90

80
Cumulative % Passing

70

60

50

40 LL Mid UL
30 ( n = 0.1 ) ( n = 0.2 ) ( n = 0.3)
20 ( n = 0.4 ) ( n = 0.45 )

10

0
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

Sieve Size ( mm )

Gambar 1.4 Gradasi Campuran Nikolaides Tipe V, dan Gradasi Modifikasi Fuller
(Sumbu x dan y dengan skala normal)

Pada umumnya kurva gradasi lebih sering dibuat dengan absis berskala log. Bila kurva pada
Gambar 2a di atas dibuat dengan absis (sb x) dengan skala log akan tampak seperti Gambar 2b.

100
LL Mid
90
UL ( n = 0.1 )
80 ( n = 0.2 ) ( n = 0.3)
( n = 0.4 ) ( n = 0.45 )
Cumulative % Passing

70

60

50

40

30

20

10

0
0.01 0.10 1.00 10.00 100.00
Sieve Size ( mm )

Gambar 1.5 Gradasi Campuran Nikolaides Tipe V, dan Gradasi Modifikasi Fuller
(Sb. x berskala log dan Sb.y berskala normal)

5
1.5 Ukuran agregat maksimum
Disesuaikan dengan tebal padat perkerasan.Untuk lapis pondasi biasanya ukuran
agregatnya lebih besar dari pada untuk lapisan permukaan.Hal ini sudah ditentukan pada
spesifikasi gradasi agregat.Campuran dengan ukuran diameter agregat > 14 mm termasuk
berdiameter besar.Umumnya ukuran agegat terbesar sekitar 2/3 tebal padat perkerasan jalan.
Aspek positif penggunaan agregat bergradasi besar:
- usaha pemecahan lebih kecil
- karena luas permukaan lebih kecil, penggunaan aspal lebih efisien
- kekuatan lebih besar karena sifat interlock antar agregat yang berdiameter besar lebih stabil
Aspek negatif penggunaan agregat bergradasi besar:
- workability (kemudahan pencampuran dan pelaksanaan) berkurang
- bisa terjadi segregasi (pemisahan agregat sesuai ukuran butir)

1.6 Kadar Lempung


Yang dipergunakan adalah agregat yang lolos 4.74mm (No.4) tertahan 0.30 mm (No.50).
Kadar lempung pada agregat dibatasi (max 1 %). Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah
sbb:
- lempung yang melapisi agregat dapat mengurangi ikatan antara agregat dan aspal sehingga
bisa menyebabkab pengelupasan (stripping)
- luas permukaan agregat menjadi lebih besar sehingga tebal lapisan aspal menipis dan mudah
mengalami oksidasi yang berakibat mempercepat pengerasan aspal dimana aspal menjadi
lebih getas
- lempung menyerap air, dimana air dapat melunakkan aspal, sehingga campuran menjadi lebih
lemah dan cepat rusak
- pengujian kadar lempung untuk agregat kasar, dilaksanakan dengan mencari selisih berat dari
agregat kering sebelum dicuci dengan agegat kering setelah dicuci. Selisih berat ini dibagi
dengan agregat kering sebelum dicuci (%).
- pengujian kadar lempung untuk material yang lolos ayakan No. 40 (0,125 mm), disyaratkan
memiliki sifat sbb:
Batas cair (Liquid Limit): max 40 %
Plasticity Index (PI): 10 – 11 %
- pengujian kadar lempung untuk material yang lolos ayakan No. 4 (4,75mm), dilaksanakan
dengan ‘Sand Equivalent (SE) Test’. Syarat nilai SE > 50 %.

Prinsip pengujiannya sbb:


Material/pasir dimasukkan kedalam tabung SE, kemudian diisi larutan standar (CaCl2)
untuk uji SE seukupnya sampai semua material terendam, dan dibiarkan selama 10
menit.Tabung ditutup dan dikocok 90 kali di arah mendatar.Tambahkan larutan SE sampai
skala yang ditentukan (skala 15) dan diamkan 20 menit, kemudian baca skala diatas
permukaan lumpur (jarak dari dasar sampai permukaan lumpur).
Selanjutnya tangkai dengan beban ekivalen dimasukkan kedalam tabung yang berisi
sample pasir secara perlahan sampai beban ekivalen berhenti menekan. Baca skala pasir
(jarak dari dasar sampai bidang tekan beban ekivalen), lihat Gambar 1.6.

Nilai SE = (skala pasir/skala lumpur) x 100 %.

6
Skala
larutan
SE
Skala Skala
pasir lumpur

Gambar 1.6Tabung SE dan Prinsip TesSE.

1.7 Daya Tahan Agregat


Agregat dapat mengalami:
 Degradasi/Keausan:
o Keausan/pecah atau hancur akibat beban saat penimbunan, penggilasan atau akibat beban
lalu lintas
o Tingkat degradsi dipengaruhi oleh:
- Jenis agregat, gradasi (gradasi terbuka lebih sensitive dari pada gradasi rapat), bentuk (yang
bulat lebih peka dari pada yang kubikal)
- Ukuran yang lebih besar lebih peka thd degradasi
- Enersi pemadatan yang besar
o Nilai keausan > 40 % : agregat kurang kuat
< 30 % : untuk lapis penutup
< 40 % : untuk lapis permukaan dan Lapis Pondasi Atas (LPA)
< 50 % : untuk Lapis Pondasi Bawah (LPB)
Efek degradasi/keausan di test dengan Test Abrasi menggunakan mesin Los Angeles.

Prinsip test:
Sejumlah agregat bersih dan kering dimasukkan ke dalam tabung silinder baja mesin
Los Angeles( Gambar 1.7) yang sudah terisi sejumlah bola baja berdiameter sekitar 50 mm,
dengan berat sekitar 416 gram. Jumlah bola baja tergantung dari jumlah berat dan ukuran
partikel agregat yang dipakai (lihat Tabel 1.2). Kemudian mesin (silinder) diputar sejumlah
putaran yang diperlukan, lalu agregat diayak dengan ayakan No. 12 (1,70 mm), dicuci dan
dikeringkan.
Tingkat keausan ditentukan dengan menghitung selisih berat benda uji sebelum dan
sesudah nya (% terhadap berat semula).

7
Bola baja

Gambar 1.7 Mesin abrasi agregat ‘ Los Angeles’ .

Tabel 1.2 Berat dan ukuran agregat untuk tes abrasi dengan mesin Los Angeles
Ukuran Saringan Jumlah berat dan ukuran partikel agregat (gram)
Lolos Tertahan A B C D E F G
(mm) (mm)
76,20 63,5 2500
63,50 50,80 2500
50,80 35,10 5000 5000
38,10 25,40 1250 5000 5000
25,40 19,50 1250 5000
19,05 12,70 1250 2500
12,70 9,51 1250 2500
9,51 6,35 2500
6,35 4,75 2500
4,75 2,36 5000
Jumlah bola baja 12 11 8 6 12 12 12
Putaran ( x ) 500 500 500 500 1000 1000 1000
Berat Bola Baja 5000 4584 3330 2500 5000 5000 5000
(gram) ± 25 ± 25 ± 25 ± 25 ± 25 ± 25 ± 25

 Disintegrasi:
Terjadi akibat pelapukan oleh efek kimia, lingkungan: lembab atau panas atau perbedaan
temperatur.
Diuji dengan Soundness Test, dimana agregat direndam dengan larutan Magnesium Sulfat
(MgSO4) atau Sodium/Natrium Sulfat (Na2SO4) selama 16 jam. Secara praktis biasanya
larutan soundness bisa dibuat dengan melarutkan 120 gram MgSO4 ke dalam 1 liter air.
Besar pengurangan berat terhadap berat semula akibat pelapukan setelah perendaman
dihitung. Syarat Nilai Soundness < 12 %.

1.8 Bentuk dan Tekstur Agregat


 Agregat bulat, mis. agregat sungai permukaannya halus akibat kikisan air. Daya saling
kuncinya lemah.
 Agregat lonjong:
- Ditemukan di sungai-sungai atau di tempat bekas endapan
- Dikatakan lonjong bila ukuran terpanjang > 1,8 kali diameter rata-rata
8
- Index kelonjongan = berat agregat yang lonjong dibagi berat agregat total
- Sifat inerlock tidak baik
 Kubikal (cubical):
- Biasanya dari hasil pemecahan batu
- Bidang kontak lebih luas dan permukaannya kasar
- Sifat interlock baik, cocok untuk bahan perkerasan jalan
 Pipih:
- Bila lebih tipis dari 0,6 x diameter rata-rata
- Muda pecah
- Penggunaannya dibatasi
 Berpori:
- Agregat ini menyerap aspal lebih banyak sehingga mengurangi pelapisan
permukaan agregat. Biasanya kekuatannya lemah.

1.9 Daya Lekat Agregat Terhadap Aspal


 Sifat Mekanis lekatan agregat thd aspal dipengaruhi oleh:
Tingkat pori/absorpsi, bentuk dan tektur permukaan, dan ukuran butir
 Sifat Kimia lekatan agregat thd aspal dipengaruhi oleh:
- Sifat ‘hydrophilic’ , senang thd. air. Agregat ini biasanya mengandung silica. Mis.
kapur, granit.
- Sifat ‘hydrophobic’, tidak suka thd. air, sehingga ikatan antara aspal dan agregat lebih
baik. Mis. diorit dan andesit.
- Kelekatan agregat thd. aspal > 95 %
Prinsip pengujian kelekatan terhadap aspal sbb:
Beberapa butir agregat dilapisi dengan aspal, kemudian direndam dalam air suling selama
16-18 jam. Kemudian dievaluasi secara visual dan diestimasi prosentase aspal yang
masih menyelimuti agregat.

1.10 Berat Jenis ( Specific gravity – SG)


Dalam kaitan perencanaan campuran aspal, SG adalah suatu rasio tanpa dimensi, yaitu
rasio antara berat suatu benda terhadap berat air yang volumenya sama dengan benda tersebut.
Sebagai standar dipergunakan air pada suhu 4 o C karena pada suhu tsb. air memiliki kepadatan
yang stabil (Kreb and Walker, 1971).

Vs = volume solid

Vi = volume yg. impermeable


thd. air dan aspal

Vp - Vc Vp = total volume permeable


Vs Vi Vc

Vc = volume yg. permeable


Vp thd. air tapi impermeable
thd. aspal

Vp – Vc = volume yg. permeable


thd air dan aspal

Gambar 1.8 Pertimbangan volume untuk penentuan SG

9
SG merupakan sifat agregat yang penting, yang dapat dipergunakan untuk menghitung
parameter perencanaan campuran aspal, yaitu: SG campuran/mix, porositas, Volume in Mineral
Aggregate (VMA), dan Volume Filled with Bitumen (VFB).
Secara umum volume agregat yang diperhitungkan adalah volume yang tidak diresapi
oleh aspal. Terdapat tiga jenis SG agregat yaitu tergantung dari sifat penetrasi aspal ke dalam
agregat, yaitu SG bulk, SG semu (Apparent), dan SG Effektif. Untuk menggambarkan secara lebih
jelas, pertimbangan asumsi volume aggregate diilustrasikan pada Gambar 1.8.

Bulk Specific Gravity:


Bila aspal diasumsikan hanya menyelimuti agregat di bagian permukaan saja, tidak
meresap ke bagian agregat yang permeable, volume yang diperhitungkan adalah:
Vs + Vi + Vp. Maka:

Ws Ws
BulkSG   …………………………….(1.3)
(Vs  Vi  Vp)  w Vtot  w
dimana : Ws= berat partikel; w = berat volume air = 1 gr / cc = 1 t / m3. Sehingga Bulk SG
adalah rasio antara berat agregat dan berat air yang volumenya = Vs+Vi+Vp.

Apparent Specific Gravity.


SG ini didasarkan atas asumsi bahwa aspal meresap ke dalam agregat dengan tingkat
resapan yang sama dengan air, yaitu sampai Vc atau ke dalam seluruh Vp. Karenanya volume
yang dipertimbangkan adalah: Vs + Vi

Ws
App.SG  …..………………………………………….(1.4)
(Vs  Vi )  w

Effective Specific Gravity.


SG Bulk dan SG Apparent didasarkan atas dua kondisi ektrem. Asumsi yang realistis
adalah bahwa aspal dapat meresap sampai ke ( Vp – Vc ). Oleh karena itu SG atas asumsi ini
disebut SG efektif.
Ws
Eff .SG  ..………………………………………….(1.5)
(Vs  Vi  Vc)  w

Dalam praktek, nilai SG Eff diambil sbb :


1 …..……………………………………(1.6)
Eff .SG  (Bulk .SG  App.SG)
2
Menurut Asphalt Institute,SG bulk dipergunakan untuk menghitung VMA dan VFB
campuran padat, sedangkan SG eff. dipergunakan untuk menghitung Porositas(saat menghitung
SGmix). Namun Bina Marga mempergunakan SG. eff. untuk seluruh perhitungan sifat campuran.

10
Catatan:
Istilah ‘berat jenis’ atau ‘specificgravity (SG)’ atau ‘relative density’, dalam hal ini
memiliki pengertian sama dengan ‘kepadatan partikel (partikel density)’ atau sering juga
disebut ‘berat volume’.
Bila istilah berat jenis atau SG yang dipakai, tidak berisi satuan karena merupakan
perbandingan berat material dengan berat air yang volumenya sama dengan volume material.
Bila istilah yang dipakai kepadatan partikel atau berat volume satuannya gram/cm3 atau
ton/m3, secara numerik (bilangan) sama besarnya dengan berat jenis atau SG.

1.11 Angularitas Agregat


Angularitas agregat kasar didefinisikan sebagai persen berat butiran agregat yang lebih
besar dari 4,75 mm (No.4) dengan satu bidang pecah atau lebih.
Angularitas agregat halus didefinisikan sebagai persen rongga udara pada agregat lolos
ayakan No.4 (4,75mm) yang dipadatkan dengan berat sendiri.

Pengujian Angularitas agregat disajikan pada Lampiran 1.2.

1.12 Mencampur (Blending ) Agregat


Suatu jenis agregat mungkin saja tersedia dalam beberapa gundukan (stock pile). Masing-
masing gundukan agregat bisa terdiri dari komposisi ukuran partikel (gradasi) tertentu. Kegiatan
mencampur agregat diperlukan dalam upaya untuk memperoleh gradasi agregat yang didinginkan
sesuai dengan spesifikasi campuran untuk suatu jenis perkerasan jalan. Secara umum ada tiga cara
blending yaitu: grafis, analitis, dan cara coba-coba, atau kombinasi.

1.12.1 Mencampur Secara Grafis

Dari kajian terhadap beberapa metode yang tersedia, pada dasarnya metode mencampur
agregat bersifat sangat empiris yang pada prinsipnya didasarkan atas metode coba-coba.Pada
awalnya pencampuran bisa didasarkan dengan metode tertentu yang umum dipakai yang
dilanjutkan dengan cara coba-coba (trial and error).

a Mencampur 2 Jenis Gradasi Agregat

Misalnya mencampur agregat A dan B yang memiliki gradasi seperti pada Tabel 1.3,
supaya memenuhi spec C (Krebs and Walker, 1971).

Tabel 1.3 Data dua jenis gradasi agregat dan spesifikasi yang ditargetkan
No. Saringan % lolos berdasarkan berat
Agregat A Agregat B Spec C
2” 100 100 100
1½” 100 95 90 - 100
¾“ 63 85 65 - 80
No. 4 (4,75mm) 25 50 30 - 40
No. 10 (2,0mm) 15 36 20 - 35
No. 200 (0,075mm) 3 7 0-5
Kombinasi 60 % A 40 % B

11
Prosedur blending dilaksanakan sbb:

a. Buat grafik dengan absis dan oordinat seperti Gambar 1.9.


Lihat data agregat yang lolos masing-masing ayakan, dan perhatikan sb.x di bag. atas dan
bawah, dan sb. y di sebelah kiri dan kanan.

b. Untuk ayakan 2”, kedua jenis agregat lolos 100 %. Hubungkan titik 100 % di sb.y kiri dan
kanan (berimpit dengan sb.x di bag. atas).

c. Untuk ayakan 1½ “, hubungkan titik 100 % di sb.y kiri dengan titik 95 % di sb.y kanan.

d. Untuk ayakan ¾ “, hubungkan titik 63 % di sb.y kiri dengan titik 85 % di sb.y kanan. Demikian
seterusnya untuk ayakan yang lain.

e. Beri tanda (tebalkan ) garis penghubung (garis ayakan) yang telah dibuat pada bagian yang
memenuhi spec. Misalnya untuk ayakan ¾ “, tebalkan garis yang berada diantara prosentase
spec (65-85) % pada sb.y.
Untuk ayakan No. 4, tebalkan garis yang berada diantara prosentase spec. (30-40) % pada
sb. y. Demikian seterusnya untuk garis ayakan yang lain.

f. Tarik garis vertikal melalui ujung paling dalam (sebelah kiri dan kanan) dari garis-garis
ayakan yang ditebalkan, kemudian arsir bidang yang ada diantaranya dan baca skala pada
sb.x di bagian bawah dan atas.

Untuk contoh ini, kombinasi (50-72) % thd. gradasi A, dan (28-50) % thd. gradasi B yang
memenuhi syarat. Diantara rentang tsb. Dapat dipilih kombinasi 60 % thd. gradasi A dan 40 %
thd. gradasi B, untuk memenuhu spesifikasi C, seperti disajikan pada Tabel 1.3.

Gambar 1.9 Grafik blending secara grafis 2 jenis gradasi agregat

12
b. Mencampur 3 Jenis Gradasi Agregat

Sebagai contoh agregat A, B, dan C dicampur secara secara grafis, supaya memenihi spec.
seperti terlihat pada Tabel 1.4.

Tabel 1.4 Data tiga jenis gradasi agregat dan target spesifikasinya
Ayakan Ag. A Ag. B Ag. C Spec. Kombinasi
1“ 100 100 100 95 – 100 100
½“ 63 100 100 70 – 85 77
No. 4 19 100 100 40 – 55 50
No. 10 8 93 100 30 – 42 41
No. 40 5 55 100 20 – 30 27
No. 80 3 36 97 12 – 22 19
No. 200 2 3 88 2 – 10 7
Catatan:
Ag. A lebih kasar dari ag. B, ag. B lebih kasar dari ag. C

Pada penyelesaian blending ag. diatas, dilaksanakan penyederhanaan dengan memakai data
ayakan No. 4, No. 40 dan No. 200 saja, karena sudah dianggap mewakili. Data dari ayakan lain
bisa ditambahkan bila dipandang perlu.

Prosedur blending dilaksanakan sbb:

a. Buat dua buah grafik dengan absis dan oordinat seperti Gambar 1.10.
Lihat data agregat yang lolos masing-masing ayakan, dan perhatikan sb.x di bag. atas dan
bawah, dan sb. y di sebelah kiri dan kanan pada tiap grafik.

b. Buatlah untuk data gradasi ag. A dan B pada grafik disebelah kanan seperti prosedur pada
Gambar 7, dimana diperoleh garis kombinasivertical , dengan65 % ag. A dan 35 % ag. B.

c. Tarik garis horizontal ke kiri mulai dari perpotongan garis kombinasi vertical dengan garis
ayakan, sampai memotong sb. y sebelah kanan (dari grafik yang di sebelah kiri), kemudian
hubungkan dengan titik lolos saringan gradasi ag. C pada sb. y sebelah kiri (dari grafik di
sebelah kiri). Buat hal yang sama untuk garis ayakan yang lain.

d. Kemudian beri tanda (tebalkan) bagian garis ayakan (pada grafik yg di sebelah kiri) yang
berada diantara rentang spec.

e. Tarik garis kombinasi vertical yang mewakili. Pada contoh ini diperoleh kombinasi 95 % thd.
( ag. A + B) dan 5 % thd. ag. C. Selanjutnya dibuat perhitungan seperti yang sudah diberikan
di depan.

Hasil blending disajikan pada Gambar 1.10.

13
Gambar 1.10 Grafik blending secara grafis 3 jenis gradasi agregat
Dari hasil blending diperoleh porporsi kombinasi agregat sbb:
Ag. A = 0,95 x 65 % = 62 %
Ag. B = 0,95 x 35 % = 33 %
Ag. C = 5%
----------
100 %
Contoh:
Lihat Tabel 4. Bila proporsi agregat yang diperoleh dikombinasikan untuk data pada ayakan
No.4, maka akan diperoleh hasil kombinasi sbb:
= (62 % x 19) + (33 % x 100) + (5 % x 100) = 50 %
Selanjutnya coba dan cocokkan hasil kombinasi yang lain dengan rentang spec.

c. Blending Cara Diagonal

Berikut adalah sebuag contoh blending secara diagonal (PT. MBT Utama, 1984):

1. Mengetahui syarat gradasi (spec) yang diminta (Tabel 1.5)


2. Buat diagram/grafik empat persegi panjang (dengan millimeter block) ukuran 10 x 20 cm.
3. Sisi vertical (10 cm) adalah sumbu % lolos saringan (Gambar 1.11).
4. Tarik garis diagonal dari sisi kiri bawah ke kanan atas.
5. Tentukan titik tengah ( spec ideal) dari spesifikasi untuk tiap ukuran saringan.
6. Tempatkan titik-titik tengah spesifikasi pada garis diagonal, dan tarik garis vertikal untuk
mendapatkan posisi diameter saringan.
7. Gambarkan grafik % lolos dari masing masing fraksi agregat yang akan di ‘blending’ pada
diagram.
8. Untuk menentukan % agregat kasar, tarik garis vertikal sedemikian rupa di suatu posisi
sehingga jarak antara garis agregat sedang ke tepi atas diagram = jarak antara garis agregat
kasar ke tepi bawah gambar/diagram.
9. Dari titik potong garis vertikal (sesuai point 8 di atas) dengan garis diagonal, tarik garis
horizontal sampai memotong tepi kanan diagram. Jarak perpotongan yang diperoleh dengan
tepi atas diagram memberi jumlah % agregat kasar yang diperlukan.
14
10. Buat lagi garis vertikal sedemikian rupa di suatu tempat, supaya: X = b+c (Gambar 1.11).
Kemudian dari titik potong garis ini dengan garis diagonal, tarik garis horizontal ke kanan
sampai memotong tepi kanan. Maka diperoleh % agregat sedang dan halus.

(Gambar 1.11 disajikan pada halaman 16)

Selain cara-cara diatas, masih ada cara grafis lain: Triangular Chart Method dan cara
Rothfuch’s Method (Singh, 1978; Sukirman, 2007).

15
Tabel 1.5 Daftar Gradasi Agregat Untuk Blending Cara Diagonal

Ukuran Saringan 1” ¾” 3/8” No.4 No.8 No.30 No.50 No.100 No.200


2.54mm 1.90mm 0.95mm 4.75mm 2.36mm 0.60mm 0.30mm 0.15mm 0.075mm
Ag. Kasar 100 80.1 47.6 27.5 16.7 7.8 5.0 3.0 1.3
Ag. Sedang 100 100 100 79.1 53.9 26.0 18.0 12.5 8.2
Ag. Halus 100 100 100 100 89.0 51.8 36.2 24.2 12.3
Spec. Limit 100 80-100 60-80 48-65 35-50 19-30 13-23 7-15 1-8
Ideal Spec. 100 90 70 56.5 42.5 24.5 18 11 4.5

Gambar 1.11 Grafik Blending Agregat dengan Cara Diagonal

16
1.12.2 Mencampur Agregat Secara Analitis
a. Cara Asphalt Institute
Penggabungan dua jenis agregat dapat dilaksanakan dengan menggunakan persamaan(Asphalt
Institute,1995): P = Aa + Bb ……………………………………………………………….(1.7)
P = persen agregat campuran yang diinginkan, yang melalui ayakan tertentu
A = persen lolos agregat pertama (biasanya yang lebih kasar), yang melalui ayakan tertentu
B = persen lolos agregat kedua (biasanya yang lebih halus), yang melalui ayakan tertentu.
a = proporsi (%) agregat pertama , dan b = proporsi (%) agregat kedua.
PA
Diketahui: a + b = 1, sehingga : a = 1 – b. Kemudian didapat: b  , selanjutnya lihat
BA
Tabel 1.6 dst.
.
Tabel 1.6 Spesifikasi dan gradasi masing-masing agregat
19 12,5 9,5 4,75 2,36 0,600 0,300 0,150 0,075
mm mm mm mm mm mm mm Mm Mm
Ayakan ¾“ ½“ 3/8 “ No.4 No.8 No. 30 No. 50 No.100 No.200
Spec. 100 80- 79-90 50-70 35-50 18-29 13-23 8-16 4-10
100
Agg. I 100 90 59 16 3,2 1.1 0 0 0
Agg II 100 100 100 96 82 51 36 21 9,2
- Lihat persentase lolos ayakan yang diperkirakan berpengaruh besar. Misal diambil data
pada ayakan 2.36 mm (No.8).
PA 42,5  3,2
b = = 0,50 ; a = 1 – 0,50 = 0,50
BA 82  3,2
Tabel 1.7 Kombinasi pertama
19 12,5 9,5 4,75 2,36 0,600 0,300 0,150 0,075
mm mm mm mm mm mm mm Mm Mm
Ayakan ¾“ ½“ 3/8 “ No.4 No.8 No. 30 No. 50 No.100 No.200
Spec. 100 80- 79-90 50-70 35-50 18-29 13-23 8-16 4-10
100
Agg. I x 0,50 50 45 29.5 8 1.6 0.55 0 0 0
Agg II x 0,50 50 50 50 48 41 25.5 18 10.5 4.6
Total 100 95 79.5 56 42,6 25.6 18 10.5 4,6
- hasil kombinasi (total) pada ayakan 0.075mm (No.200), perlu ditambahkan. Coba nilai a =
0,45 dan b = 0,55
Tabel 1.8 Kombinasi kedua
19 12,5 9,5 4,75 2,36 0,600 0,300 0,150 0,075
mm mm mm mm mm mm mm Mm Mm
Ayakan ¾“ ½“ 3/8 “ No.4 No.8 No. 30 No. 50 No.100 No.200
Spec. 100 80- 79-90 50-70 35-50 18-29 13-23 8-16 4-10
100

17
Agg. I x 0,45 45 40,5 26,6 7,2 1,4 0,5 0 0 0
Agg II x 0,55 55 55 55 52,8 45,1 28 19,8 11,5 5,1
Total 100 95.5 81.6 60 46.5 28.5 19.8 11.5 5.1
- hasil kombinasi (total) pada ayakan 0.600mm (No.30) terlalu mendekati batas atas spec.
Coba nilai = a = 0,48 dan b = 0,52.
Tabel 1.9 Kombinasi ketiga
19 12,5 9,5 4,75 2,36 0,600 0,300 0,150 0,075
mm mm mm mm mm mm mm mm Mm
Ayakan ¾“ ½“ 3/8 “ No.4 No.8 No. 30 No. 50 No.100 No.200
Spec. 100 80- 79-90 50-70 35-50 18-29 13-23 8-16 4-10
100
Agg. I x 0,48 48 43.2 28.3 7.7 1.5 0.53 0 0 0
Agg II x 0,52 52 52 52 49.9 42.6 26.5 18.7 10.9 5.1
Total 100 95.2 80.3 57.6 44.1 27.3 18.7 10.9 5.1
- kombinasi ini relative sudah lebih mendekati yang diharapkan.
Untuk mengkombinasi tiga jenis agregat, dapat dilakukan dengan mengkombinasi dua
agregat terlebih dahulu, hasilnya dikombinasikan dengan agregat yang ketiga. Bila
mengkombinasi empat jenis agregat, bisa dicoba dengan mengkombinasi masing masing dua
agregat terlebih dahulu, kemudian hasilnya dikombinasi lagi.

b. Cara lain (Bambang Ismanto, 1993)


Blending agregat secara analitis dapat juga dilakukan dengan seperti contoh sbb:

Contoh 1.
Suatu bahan (agregat) seperti tercantum pada Tabel 1.10, memerlukan tambahan butir halus untuk
memenuhi gradasi yang dikehendaki (dalam hal ini pasir halus). Hasil gabungan yang dikehendaki
adalah mendekati tengah-tengah batas spesifikasi. Banyaknya pasir halus yang dibutuhkan dapat
dihitung sbb:

Tabel 1.10 Data persentase lewat saringan agregat


Saringan ¾” ½” 3/8” No.4 8 30 100 200
Spec limit 100 100/80 90/70 70/50 50/35 29/18 16/18 4/10
Ag. Kasar 100 87 75 58 35 17 8 2
Ag. Halus 100 100 100 100 100 80 53 40
Hasil blending:
13.2%Ag. Halus+ 100 88.7 78.3 63.5 43.6 25.4 13.9 7
86.8% Ag.Kasar

Tentukan persentase pasir yang diperlukan untuk meningkatkan jumlah butir yang lolos saringan
No. 200 sebesar titik tengah spec limit ( 7%). Persentase agregat halus yang diperlukan dapat
dihitung dengan rumus:

SC
X x100 % , dimana …………………………………………………………..(1.8)
FC
X = % pasir halus yang dikehendaki
18
S = % titik tengah spec limit dari saringan yang dikehendaki (No.200)
F = % pasir halus yang lewat saringan No.200.
C = % agrergat kasar yang lewat saringan No.200.

72
X x100 %  13.2%
40  2
Jadi pasir halus yang dikehendaki adalah 13.2 %, sedangkan agregat kasar 86.8%.

Contoh 2: Suatu persediaan agregat seperti tercantum pada Tabel 1.11.

Tabel 1.11 Data % lolos saringan agregat


Saringan ¾” ½” 3/8” No.4 8 30 100 200
Spec limit 100 100/80 90/70 70/50 50/35 29/18 16/18 10/4
Ag. Kasar 100 85 58 29 2.4 0.5 0.3 0.1
Ag. Halus 100 100 100 100 95 47 23 8.8
Filler 100 100 100 100 100 100 95 74
Hasil blending:
57%Ag. Kasar + 100 91.4 76.1 59.5 42.5 22.6 13.0 6.5
39% Ag. Halus +
4% Filler

Dari data (sebaiknya digambar gradasinya), dapat dilihat ada perbedaan besar antara % agregat
kasar dan halus yang lewat saringan No.8. Karenanya sebagai langkah awal, ditargetkan nilai
tengah spec limit pada ayakan No.8 yaitu: 42.5%. Selanjutnya dihitung % agregat halus seperti
pada contoh 1:
FS 95  42.5
X x100 %  x100 %  57% , dimana ………………………………(1.9)
FC 95  2.4
X = % agregat kasar yang dikehendaki dalam blending
F = % agregat halus lewat saringan No.8
S = % yang dikehendaki yang lewat ayakan No.8
C = % agregat kasar lewat saringan No.8.

Agregat halus yang diperlukan = 100%-57%= 43%, dimana jumlah agregat halus yang lolos
saringan No.200 adalah = 43%×8.8%=3.8%.

Titik tengah spec limit ayakan No.200 adalah 7%. Jadi masih kekurangan filler (lolos ayakan no.
200 (0.075mm) lagi: 7%-3.8%=3.2%.

3.2
Filler yang diperlukan adalah: x100 %  4.3% atau diambil 4%.
74
Jadi susunan agrgat gabungan menjadi:
57% agregat kasar
(43-4)% = 39% agregat halus
4% filler.

Hasil kombinasi agregatnya adalah seperti tercantum pada Tabel 1.11 di atas.

Pada prinsipnya, metode blending agregat baik secara grafis maupun analitis merupakan
langkah awal, yang kemudian dilanjutkan lagi dengan cara coba-coba sampai gradasi agregat
gabungan memenuhi syarat batas spesifikasi.

19
1.11.3 Mencampur Secara Proporsional
Untuk memperoleh proporsi agregat campuran yang diinginkan selain dengan cara
mencampur (blending) dapat juga dilakukan dengan cara memproporsikan agregat sesuai dengan
gradasi suatu spesifikasi yang ditentukan (Zoorob, 1995). Lebih lanjut akan dijelaskan pada Bab
III, tentang Perencanaan Campuran Aspal Panas.

DAFTAR PUSTAKA

Asphalt Institute, 1995, Mix Design Methods for Asphalt Concrete and Other Hot Mix Types,
Manual Series No. 2 ( MS-2), Sixth Edition.

Bambang Ismanto, 1993, Bahan Perkerasan Jalan, Campuran Aspal dan Agregat, Penataran
Highway Engineering, FT Unvesitas Lampung.

Cooper, K.E. , Brown, S.F. and Pooley, G.R. , 1985, The Design of Aggregate Gradings for
Asphalt Basecourses , Journal of The Association of Asphalt Paving Technologists , Vol.
54 , page 324 to 346.

Departemen PU-Puslitbang Prasarana Transportasi, 2004, Buku Volume III - Spesifikasi


Campuran Beraspal Panas.

Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2004. Desiminasi Spesifikasi Baru Campuran
Beraspal Panas Dengan Alat PRD.

Departemen PU, Puslitbang Jalan dan Jembatan, 2006,Bahan Untuk Campuran Beraspal Panas.

Fuller, W.B., and Thomson, S.E., 1907,The Laws of Proportioning Concrete, Transaction of the
American Society of Civil Engineers, Vol.59, pp.67-172.

Kementerian PU RI-Ditjen Bina Marga, 2010, Dokumen Pelelangan Nasional Penyediaan


Pekerjaan Konstruksi (Pemborongan ) Untuk Harga Satuan, Spesifikasi Umum,
Campuran Beraspal Panas.

Krebs, R.D. and Walker, R.D., 1971, Highway Materials , McGraw-Hill Book Company.

Nikolaides, A.F, 1994,A New Design Method for Dense Cold Mixtures . Proceedings of the First
European Symposium on Performance and Durability of Bituminous Materials ,
University of Leeds , March 1994 , Editor : J.G. Cabrera and J.R. Dixon , pp. 259 to 269 ,
E & FN Spon , London.

MBT Utama, 1984, Diktat Pendidian dan Latihan Teknologi Aspal, Bandung.

Singh, G.C., 1978, Highway Engineering, Standard Publisher Distributor, Delhi, India.

Sukirman, S., 2007, Beton Aspal Campuran Panas, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Zoorob, S.E., 1995,The Effect of Pulverised Fuel Ash on the Properties and Performance of Hot
Rolled Asphalt. Ph.D Thesis , University of Leeds , UK.

20
LAMPIRAN-LAMPIRAN BAB I

LAMPIRAN 1.1 ANALISIA SARINGAN DAN GRADASI

LAMPIRAN 1.2 PRINSIP UJI ANGULARITAS AGREGAT

21
Lampiran 1.1 Pembuatan iron / steel slag
Fluxing stones
(limestone, dolomite),
for removing acidic
impurities

Temperature:
1300-1600 °C

Jenis furnace:

Blast or Basic Oxygen Furnaces

(BOF)

Electric Arc Furnace (EAF)

Open Hearth Furnace (OHF)

Gambar tungku pemanas (furnace) dalam


pembuatan besi / baja 22
Skema isntalasi peleburan bijih besi/baja
23
Analisa Saringan Agregat dan Gradasi (SNI 03-1968-1990)

24
Ukuran agrEgat :
lolos ayakan a tertahan B
(a-b) mm
(10-5) mm
25
26
Cara II
Dia Sample 1 Kom Lolos Sample 2 Kom Lolos Kom lolos
Ayakan Tertahan diatas tiap ayakan Kom tertahan Tertahan diatas tiap ayakan Kom tertahan rata-rata
( mm ) ( gram ) (%) (%) (%) ( gram ) (%) (%) (%)
a b c d e=100-d b' c' d' e'=100-d' f = (e+e')/2
25 0.00 0.00 0.00 100.00 0.00 0.00 0.00 100.00 100.00
19.0 0.00 0.00 0.00 100.00 100.00 1.79 1.79 98.21 99.11
12.5 850.00 17.00 17.00 83.00 800.00 14.29 16.07 83.93 83.46
9.5 800.00 16.00 33.00 67.00 950.00 16.96 33.04 66.96 66.98
4.75 800.00 16.00 49.00 51.00 850.00 15.18 48.21 51.79 51.39
2.36 700.00 14.00 63.00 37.00 750.00 13.39 61.61 38.39 37.70
1.18 800.00 16.00 79.00 21.00 800.00 14.29 75.89 24.11 22.55
0.60 750.00 15.00 94.00 6.00 750.00 13.39 89.29 10.71 8.36
0.075 200.00 4.00 98.00 2.00 350.00 6.25 95.54 4.46 3.23
Talam (pan) 100.00 2.00 100.00 0.00 250.00 4.46 100.00 0.00 0.00

Sum 5000.00 100.00 5600.00 100.00

27
100 100
90 90 Sampel 1
80 80 Sampel 2

Komulatif lolos (%)


Komulatif lolos (%)
70 70 Rata2
60 60 HRS-WC UL
50 Sampel 1 50 HRS-WC LL
40 Sampel 2 40
30 30
Rata2
20 20
10 10
0 0
0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 0.010 0.100 1.000 10.000 100.000
Diameter agregat (mm) Diameter agregat (mm)

Sb x dan y , skala biasa/normal Sb x skala log, sb y skala biasa/normal (semi log)


Analisis:

Agregat kasar : > 4,75 mm = …………..%

Agregat halus : (4,75 - 0.075) mm = lolos 4,75 mm tertahan 0,075 mm (ayakan no. 200) =………….%

Filler : < 0.075mm (lolos 0.075 mm minimal 65%) = ……………%

Bisa juga dibandingkan dengan gradasi agregat suatu campuran aspal, apakah memenuhi spec

Bagaimana mestinya memilh agregat spy memenuhi spec (blending, cara proporsional) 28
No saringan/ayakan =
jumlah bukaan sepanjang 1 inchi (diarah/sejajar
lubang)

Ukuran Saringan No. 4


No. Bukaan (mm)
3/4 " 19.0
1/2" 12.5
3/8" 9.5
No. 4 4.75
No. 8 2.36 No. 8
No.16 1.18
No. 30 0.60
No.200 0.075 29
Ayakan

30
JENIS GRADASI
100
90 Gradasi Rapat

80 Gradasi Senjang
Persen Lolos Komulatif (%)

70 Gradasi Seragam

60
50
40
30
LOLOS 2,36mm
20
10
0
0.01 0.1 1 10 100
Ukuran Saringan (mm) TERTAHAN 1,18 mm

31
Gradasi menerus (proporsi agregat disetiap ukuran relatif berimbang)

% lolos
Dia (mm) Tertahan diatas Ayakan
komulatif
(gram) (%) 100
90 Gradasi menerus
19 100
80 Gradasi senjang
12.5 600 12 88 70

Komulatif lolos (%)


Gradasi seragam
9.5 400 8 80 60
4.75 950 19 61 50
40
2.36 900 18 43
30
1.18 625 12.5 30.5 20
0.6 425 8.5 22 10
0.3 325 6.5 15.5 0
0.01 0.1 1 10 100
0.15 250 5 10.5
Ukuran partikel (mm)
0.075 200 4 6.5
Talam (pan) 325 6.5 0
Jumlah 5000 100
32
Gradasi senjang (ada ukuran agregat tertentu sangat sedikit atau kosong)

% lolos
Dia (mm) Tertahan diatas Ayakan
komulatif
100
(gram) (%) 90 Gradasi menerus
19 100 80 Gradasi senjang
12.5 1000 20 80 70

Komulatif lolos (%)


Gradasi seragam
60
9.5 300 6 74
50
4.75 550 11 63 40
2.36 100 2 61 30
1.18 0 0 61 20
10
0.6 1150 23 38 0
0.3 650 13 25 0.01 0.1 1 10 100
0.15 650 13 12 Ukuran partikel (mm)

0.075 275 5.5 6.5


Talam (pan) 325 6.5 0
Jumlah 5000 100
33
Gradasi seragam (dominan agregat ukuran tertentu)

% lolos
Dia (mm) Tertahan diatas Ayakan
komulatif
(gram) (%) 100
19 100 90 Gradasi menerus
80 Gradasi senjang
12.5 250 5 95 70

Komulatif lolos (%)


Gradasi seragam
9.5 250 5 90 60
4.75 2750 55 35 50
40
2.36 850 17 18 30
1.18 350 7 11 20
0.6 100 2 9 10
0
0.3 50 1 8 0.01 0.1 1 10 100
0.15 50 1 7 Ukuran partikel (mm)
0.075 25 0.5 6.5
Talam (pan) 325 6.5 0
Jumlah 5000 100
34
Lampiran 1.2a

PROSEDUR PENGUJIAN

ANGULARITITAS AGREGAT KASAR DAN HALUS

35
PROSEDUR PENGUJIAN ANGULARITITAS AGREGAT KASAR
(Pennsylvania DoT Test Method No.621 :
Menentukan Persentase Fraksi Pecah dalam Kerikil)

1) Umum :

Sifat-sifat agregat dengan kriteria angularitas adalah untuk menjamin gesekan antar agregat
dan ketahanan terhadap alur (rutting).
Angularitas agregat kasar didefinisikan sebagai persen berat butiran agregat yang lebih besar
dari 4,75 mm (No.4) dengan satu bidang pecah atau lebih.
Suatu pecahan didefinisikan sebagai suatu yang bersudut, kasar atau permukaan pecah pada
butiran agregat yang dihasilkan dari pemecahan batu, dengan cara buatan lainnya, atau dengan
cara alami.
Kriteria angularitas mempunyai suatu nilai minimum dan tergantung dari jumlah lalu lintas
serta posisi penempatan agregat dari permukaan perkerasan jalan.
Suatu muka dipandang pecah hanya bila muka tersebut mempunyai proyeksi luas paling
sedikit seluas seperempat proyeksi luas maksimum (luas penampang melintang maksimum) dari
butiran dan juga harus mempunyai tepi-tepi yang tajam dan jelas.

2) Prosedur:

a) Ambillah agregat kasar tertahan yang sudah dicuci dan dikeringkan sekitar 500 gram.
b) Pisahkan bahan yang tertahan ayakan No.4 (4,75 mm) dan buanglah bahan yang lolos No.4
(4,75 mm), kemudian timbanglah sisanya (B).
c) Pilihlah semua fraksi pecah dalam contoh dan tentukan beratnya dalam gram terdekat (A).

3) Perhitungan :

Angularitas Agregat Kasar = (A / B) x 100

Dimana :
A = berat fraksi pecah.
B = berat total contoh yang tertahan ayakan No.4 (4,75 mm).

4) Pelaporan :
Laporkan angularitas dalam persen terdekat.

36
PROSEDUR PENGUJIAN ANGULARITAS AGREGAT HALUS
(AASHTO TP-33, ASTM Standard Method of Test C1252, Metode Pengujian untuk
menentukan Rongga Udara dalam Agregat Halus yang tidak dipadatkan)

(sebagaimana dipengaruhi oleh Bentuk Butiran, Tekstur Permukaan dan Gradasi)

1) Umum :

Sifat-sifat agregat dengan kriteria angularitas adalah untuk menjamin gesekan antar agregat
dan ketahanan terhadap alur (rutting).
Angularitas agregat halus didefinisikan sebagai persen rongga udara pada agregat lolos
ayakan No.4 (4,75mm) yang dipadatkan dengan berat sendiri.
Angularitas agregat halus diukur pada agregat halus yang terkandung dalam agregat
campuran, diuji dengan AASHTO TP-33, ASTM Standard Method of Test C1252, Metode
Pengujian untuk menentukan Rongga Udara dalam Agregat Halus yang tidak dipadatkan
(sebagaimana dipengaruhi oleh Bentuk Butiran, Tekstur permukaan dan Gradasi). Semakin
tinggi rongga udara berarti semakin tinggi persentase bidang pecah dalam agregat halus.

2) Prosedur :

a) Ambillah agregat halus lolos ayakan No.4 (4.75mm) yang sudah dicuci dan dikering- kan,
kemudian tuangkan kedalam silinder kecil yang sudah diukur dan dikalibrasi volumenya (V)
melalui corong standar yang dipasang diatas silinder dengan suatu kerangka dan mempunyai
jarak tertentu.
b) Hitung dan timbang berat agregat halus (W) yang diisi ke dalam silinder yang sudah diukur
volumenya.
c) Ukurlah Berat Jenis Kering Oven agregat halus (Gsb)
d) Hitung volume agregat halus dengan menggunakan Berat Jenis Kering Oven agregat halus
(W/Gsb).

3) Perhitungan :
V – (W/Gsb)
Hitung rongga udara dengan rumus berikut ini : ----------------- x 100%
V

37
SNI 03-6877-2002
PENGUJIAN
ANGULARITAS AGREGAT HALUS (AAH)
AAH:
persen rongga udara pada agregat lolos
ayakan No.8 (2,36mm) yang dipadatkan
dengan berat sendiri
V = volumenya cetakan/mould
W = berat pasir yang dituangkan
Gsb = BJ Kering Oven agregat halus

V – (W/Gsb)
Rongga udara : ---------------------- x 100%
V

AAH , min 45% (unt pada kedalaman < 10 cm)


min 40% (unt pada kedalaman ≥10 cm) 38
PENGUJIAN ANGULARITAS
Revisi SNI 03-1737-1989
AGREGAT KASAR (AAK)

Persen berat butiran agregat yang lebih besar dari 4,75 mm


(No.4) dengan satu bidang pecah atau lebih

Angularitas Agregat Kasar =


(A / B) x 100%

Dimana :
A = berat fraksi pecah.
B = berat total contoh
yang tertahan ayakan
500 gram, cuci dan keringkan No.4 (4,75 mm).
AAK Min = 95 (1+) /90 (2+) (unt pada kedalaman < 10 cm)
= 80 (1+) /75 (2+) (unt pada kedalaman ≥ 10 cm)
39
Jml bid pecah
BAB II

ASPAL

2.1 Klarifikasi Pengertian Aspal dan Bitumen

Secara semantik, perlu diberikan klarifikasi perihal pengertian tentang aspal sbb
(Whiteoeak, 1991):
Di Eropa ‘aspal’ berarti campuran antara bahan perekat (bitumen) dengan agregat,
misalnya: hot rolled asphalt, mastic asphalt, dll. Di Eropa bahan perekat aspal lebih dikenal
dengan nama ‘ bitumen’.
Di Amerika Utara ‘aspal’ diartikan sebagai material bahan perekatnya saja. Pengertian
seperti di Amerika Utara ini juga sama halnya dengan di Indonesia.

2.2 Proses Terjadinya Aspal

 Aspal adalah resedu dari proses destilasi alam atau buatan (pengilangan) minyak mentah
(crude oil).

 Minyak mentah terbentuk oleh (Whiteoeak, 1991):


Deposit hewan laut dan tumbuh-tumbuhan, lumpur, fragmentasi batuan yang berlapis-lapis
dalam waktu lama. Material organik dan tumbuh-tumbuhan akibat panas bumi, tekanan
lapisan di bagian atas yang terus bertambah, adanya kegiatan bakteri dan proses radio aktif,
berubah menjadi minyak mentah (crude oil) yang pada prinsipnya berupa rantai hidrokarbon
panjang.
- Bila deposit minyak mentah dalam perut bumi terdestilasi secara alami akan terbentuk
resedu (aspal). Resedu ini bisa muncul ke permukaan bumi melalui celah/retakan. Bila
resedu/aspal muncul kepermukaan yang berupa lembah maka akan terbentuk deposit
aspal alam berupa danau aspal yang disebut aspal danau (lake asphalt). Bila muncul ke
permukaan bumi dan meresap ke dalam batuan porous (biasanya dari jenis batu kapur)
akan membentuk aspal gunung (rock asphalt).
- Bila deposit minyak mentah ini terperangkap oleh lapisan impermeable maka akan
terbentuk suatu reservoir minyak mentah dalam perut bumi. Reservior minyak mentah
ini kemudian dikeluarkan dengan dibor/ditambang, kemudian di destilasi pada instalasi
pengilangan minyak. Hasil pengilangan minyak ini memberikan resedu berupa aspal
(aspal penetrasi).
 Illustrasi proses terbentunya aspal diberikan pada Gambar 2.1a.

 Proses Pengilangan minyak mentah, diperlihatkan pada Gambar 2.1b dan 2.2.

40
Gambar 2.1.a. Ilustrasi proses terbentunya aspal

41
Light gases:
propane and butane
gasoline
Reforming

Naphtha

Chemicals
Crude oil

Kerosine Aviation fuel


Atmospheric
Distillation
Domestic fuel
(300-350)˚C
Gas oil Diesel fuel

Gas oil Domestic fuel

Long residue

Gasoline
Distillate
Vacuum e
Distillation Cracking
(350-400)˚C

Chemical
s
Proses Pemecaham
Lube oil
Molekul. Terjadi Arang.
Manufac-
ture
Bitumen feedstock

Short residue Fuel oils


(strightrun)

Gambar 2.1b Diagram Skematis Produksi Aspal


(Whiteoeak, 1991)

42
Gambar 2.2 Flow Chart Proses Produksi Aspal Minyak
(Asphalt Institute, 1995)

43
2.3 Proses Destilasi Fraksional (Fractional Distillation) Minyak Mentah

 Proses awal pengilangan minyak mentah adalah ‘destilasi fraksional’ yang dilakukan pada
menara baja yang disebut ‘fractionating column’ atau kolom destilasi (‘distillation column’).
Kolom destilasi ini dibagi dalam beberapa interval yang disekat dengan talam baja
horizontal (‘horizontal steel trays’) yang berlubang untuk melewatkan uap ke atas. Diatas
lubang talam terdapat bagian yang berbentuk lengkung/kubah (bubble caps) yang
memantulkan uap ke bawah, dimana uap akan terkondensasi membentuk gelembung cairan,
yang kemudian ditampung pada talam, terus dialirkan dengan pipa-pipa (Gambar 2.1, 2.2,
dan 2.3).

Gambar 2.3Fractionating distillation column

 Minyak mentah dipanaskan pada temperatur 300-350 ˚C pada tekanan atmosfir.


Komponen yang titik didihnya rendah menjadi uap, yang titik didihnya tinggi menjadi
cairan.
 Komponen yang berbentuk uap bergerak ke bagian atas kolom destilasi melalui lubang-
lubang pada talam. Uap kehilangan panas saat bergerak ke atas. Pada temperatur dibawah
titik didihnya, uap terkondensasi menjadi cairan yang terkumpul pada ‘bubble caps’.
 Pada tekanan atmosfir, bagian minyak mentah yang paling ringan tetap berbentuk uap/gas
sampai pada bagian teratas kolom destilasi (gas ‘propane’ dan ‘butane’). Ke arah bawah
kolom destilasi terbentuk: naphtha, kerosene, dan gas oil. Naphtha dapat diubah (reforming
process) menjadi gasoline.
 Sisa destilasi minyak pada tekanan atmosfir berupa: ‘Long Residue’.
 Selanjutnya Long Resedu didestilasi pada tekanan yang lebih rendah dari tekanan atmosfir
(reduced pressure) di dalam ‘vacuum distillation column’. Destilasi ini dilakukan pada
tekanan vacuum (tersedot) sebesar 10-100 mm Hg, dengan temperatur 350 - 400 ˚C. Proses
ini menghasilkan: gas oil, distillates, dan ‘Short Residue’ (strightrun).
 Kemudian Short Residue menjadi ‘fuel oils’ dan aspal (bitumen feedsock). Tergantung dari
sumber minyak mentah, tekanan, dan temperatur pada ‘vacuum distillation column’, dapat
dihasilkan aspal dengan tingkat kekerasan/penetrasi berbeda : aspal pen 100 – 300.
 Peniupan Udara (‘Air Blowing’) dari ‘ Short Residue’, memberilan hal-hal berikut:

44
o Sifat fisik short residue dapat dimodifikasi dengan ‘air blowing’. Udara bertindak selaku
‘reactant’ dan mengaduk aspal, sehingga meningkatkan luas permukaan terjadinya reaksi
dan kecepatan reaksi. Dilaksanakan pada temperatur antara: 240 – 320 ˚C.
o Terjadi ‘dehydrogenation’ pada short residue, sehingga mengakibatkan terjadinya:
‘oxidation and polycondensation’, meningkatkan ukuran molekul asphaltene yang sudah
ada, dan membentuk tambahan asphaltene dari phase malthene dalam aspal. Pada
proses ini dihasilkan air (H2O) sebagai hasil sampingan.
o Tujuan utama dari ‘air blowing’ ini adalah untuk meningkatkan kadar asphaltene
sehingga aspal menjadi lebih keras, dan lebih tahan terhadap pengaruh temperatur.
Tingkat kekerasan aspal dapat diatur, tergantung dari: kekentalan bahan aspal awal
temperatur dan lama proses ‘air blowing’.

2.4 Penyimpanan dan Penanganan Aspal

Untuk menjaga supya kualitas aspal dapat bertahan lama, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
 Dalam penyimpanan tidak terkena pemanasan yang berlebihan sampai diatas titik bakar
aspal, dan perlu diaduk secara berkala. Suatu tangki penyimpanan aspal dilengkapi dengan
sistim pemanas dan pengaduk untuk mensirkulsi aspal agar homoginitas aspal terpelihara.
 Tidak terjadi oksidasi dan kehilangan komponen aspal akibat penguapan. Diusahakan luas
bagian aspal yang terekpose udara seminimal mungkin. Hal ini dapat dilaksakanan dengan
menyimpan aspal pada tangki yang tinggi (perbandingan antara luas permukaan/jari-jari
terhadap volume/tinggi tangki, kecil).
 Bila aspal sudah tersimpan dalam waktu lama, perlu diaduk rata dan dites sifat-sifatnya
sebelum dipergunaan.

Tabel 2.1 Rekomendasi Temperatur Penanganan Aspal(Whiteoeak, 1991)


Temperatur Tipikal Aplikasi Temperatur Temperatur
Grade Pemompaan Pencampuran Penyemprotan Penanganan
Min /Penyelimutan Max.
˚C ˚C ˚C ˚C
Tingkat Penetrasi (penetration grades)
450 90 130 160 190
300 95 135 165 190
200 100 140 175 190
100 105 155 190 200
70 110 160 - 200
50 115 165 - 200
40 125 175 - 200
35 125 175 - 220
25 135 185 - 220
15 140 190 - 220
Tingkat Oksidasi (oxidized grades)
75/30 (TL/Pen)* 150 195 - 230
85/25 165 210 - 230
85/40 165 210 - 230
95/25 175 220 - 230
105/35 195 220 - 230
115/15 205 230 - 230

45
Tabel 2.1 (lanjutan)
Tingkat Kekerasan (hard grades)
H 80/90 160 200 - 230
H 110/120 190 230 - 230
Tingkat Aspal Cutback (cutback grades) **
50 detik 65 105 150 160
100 detik 70 110 160 170
200 detik 80 120 170 180

Catatan: Viscositas max pemompaan : 2 Pascal Second (Pa.s)


Viskositas pencampuran/penyelimutan : 0.2 Pascal Second (Pa.s)

Viskositas penyemprotan :
- aspal penetrasi : 0.06 Pascal Second (Pa.s)
- aspal cutback : 0.03 Pascal Second (Pa.s)
*) (TL/Pen) : Titik Lembek / Penetrasi
**) cutback asphalt dibedakan atas ‘flow time’ sejumlah tertentu cutback
asphalt pada ‘Standard Tar Viscometer’ (STV).

 Aspal hendaknya dipergunakan pada temperatur terendah yang memungkinkan.


Temperatur penanganan aspal direkomendasikan seperti terlihat pada Tabel 2.1.

 Penanganan aspal dari segi kesehatan, keselamatan kerja, dan lingkungan.


o Sejauh aspal dipergunakan sesuai ketentuan, tidak ada hal-hal negatif yang signifikan,
misalnya:
- Bahaya terkena aspal panas, dapat dicegah dengan menggunakan perlengkapan kerja
yang memadai: sepatu tahan panas, selop tangan anti panas, baju tahan panas, dll.
- Aspal memiliki sifat beracun akibat adanya kompoen biologis aktif ‘carcinogen’.
Namun konsentrasi ‘carcinogen’ relatif rendah, sehiggga tidak berbahaya.
- Hindari kulit dari lekatan aspal dalam jangka waktu lama untuk menghindari
gangguan pada kilut: gatal, kanker kulit dll.
- Pada proses produksi campuran aspal akanterbentuk uap hidrokarbon (hydrocarbon
vapour) dan hydrogen sulfide (hydrogen sulphide) yang bersifat beracun (toxic). Hal
ini tidak terlalu berbahaya karena jumlah semisi gas ini tidak terlalu banyak, asalkan
ada sirkulasi udara yang memadai. Sebaiknya pekerja dilengkapi dengan masker
pernafasan.

2.5 Jenis Aspal

2.5.1 Aspal Alam

a. Aspal Danau (Lake Asphalt)


 Terdapat di beberapa tempat di Amerika Tengah: di Kep. Bermuda dan di Pulau Trididad.
Deposi terbesar terdapat di P. Trinidad pada areal ± 35 Ha, kedalaman ± 90 m, dengan
volume ± 10-15 juta ton(Whiteoeak, 1991).
 Terbentuk oleh resapan resedu minyak mentah (deposit aspal) dari dalam perut bumi dalam
waktu lama.
 Permukaan aspal danau cukup keras, bisa dilalui oleh alat berat (truk dan traktor). Secara
konstan mengalami pergerakan sirkular dari bagian tengah ke bagian luar pada permukaan

46
danau dan kemudian ke bagian pusat danau. Bila digali akan tertutup kembali dalam waktu
24 jam.
 Dalam proses eksplorasi, aspal danau digali, kemudian dipanaskan 160ºC, disaring saat
masih encer untuk memisahkan bagian-bagian yang tidak diperlukan: kayu, batuan, ranting-
ranting tumbuhan, dll.
 Cukup keras dengan nilai penetrasi 2 dan titik lembek 95ºC. Dalam pemakaian, aspal danau
biasanya dicampur dengan aspal penetrasi yang lunak (pen 200,300).
 Memiliki ketahanan yang baik terhadap cuaca (oksidasi), namun memerlukan enersi
pemanasan tinggi, sehingga kurang efisien. Belakangan ini sudah ada aspal minyak yang
dimodifikasi dengan bahan-bahan additif yang memiliki tingkat kekerasan yang memadai
dan lebih efisien, sehingga aspal danau belum digunakan secara luas.
 Belakangan ini teknologi aspal danau sudah dikembangan. Salah satu produknya adalah
Trinidad Lake Asphalt (TLA).

Gambar 2.4 Trinidad Lake Asphalt

b. Aspal Gunung (Rock Asphalt)


 Terdapat di beberapa tempat: di Perancis, Switzerland, Italy, Amerika serikat, Kanada, dan
di Indonesia( di P. Buton, Sulawesi Tenggara).
 Terbentuk oleh resapan resedu aspal (dari dalam perut bumi) kedalam batuan porous (batuan
kapur) yang kemudan dipecah-pecah menjadi butiran kecil-kecil yang mengandung aspal.
 Kandungan aspal pada aspal gunung sekitar 10-30 %, dengan kualitas yang bervariasi.
 Dalam pemakaiannya memerlukan bahan pelunak ‘flux oil’ (white spirit, kerosene, gas oil,
creosote). Butir aspal gunung diberi fux oil kemudin ‘diperam’ (didiamkan) untuk
melelehkan kandungan aspal.
 Teknologi aspal gunung di Indonesia (aspal buton) sudah dikembangkan selama beberapa
tahun. Belakangan ini sudah diprodukasi ‘asbuton mikro’ dan Buton Granular Asphalt
(BGA) yang tidak lagi memerlukan pemeraman flux oil.
 Spesifikasi BGA: kadar aspal 23-27%, dalam trichlorethylene 23%, berat jenis 1.7-1.9, titik
nyala 200ºC, kehilangan berat 2 %, kadar air 2%, ukuran partikel max 1.2 mm, penetrasi
ekstrak bitumen 20-40, titik lembek ekstrak bitumen 65-98 ºC, SG ektrak bitumen 1.00.

47
Gambar 2.5 Rock Asphalt

2.5.2 Aspal Buatan (Aspal Minyak)

a. Aspal Penetrasi (asphalt cement-AC)


 yaitu aspal yang merupakan resedu yang diperoleh dari hasil pengilangan minyak mentah.
Pada suhu ruang berbentuk padat (plastis), perlu dipanaskan sebelum dipergunakan
(supaya cair). Aspal keras dibedakan atas tingkat penetrasinya (ukuran kekentalan aspal
keras), misalnya AC 60-70, AC 80-100, AC 200, AC 300 (Asphalt Institute, 1995).
 Di Indonesia umumnya dipakai AC 60-70, dan AC 80-100.
 AC penetrasi rendah (keras) biasanya dipakai di daerah dengan cuaca panas, atau lalu lintas
tinggi. AC penetrasi tinggi (lunak) biasanya digunakan pada daerah dengan cuaca dingin,
atau lalu lintas rendah. Namun, sesuai dengan perkembangan teknologi campuran aspal,
variasi tingkat penetrasi aspal dan variasi jenis gradasi sudah sering diaplikasikan.
 Tingkat kekentalan aspal keras bisa diturunkan dengan: pemanasan, pengemulsian (aspal
emulsi), pembusaan (aspal busa), dan Pengenceran dengan bahan pelarut minyak (cutback
asphat). Hal ini dimaksudkan untuk memudahkan pencampuran dengan agregat ( pada suhu
ruang).
 Spesifikasi Aspal penetrasi dapat dilihat pada Bab III (Lampiran 3.6. Spesifikasi Umum
2018)

Bahan Aditif Anti Pengelupasan

Aditif kelekatan dan anti pengelupasan (anti striping agent) harus ditambahkan dalam bentuk cairan
kedalam campuran agregat dengan mengunakan pompa penakar (dozing pump) pada saat proses
pencampuran basah di pugmil. Kuantitas pemakaian aditif anti striping dalam rentang 0,2% - 0,3 %
terhadap berat aspal. Anti striping harus digunakan untuk semua jenis aspal tetapi tidak boleh tidak
digunakan pada aspal modifikasi yang bermuatan positif. Jenis aditif yang digunakan haruslah yang
disetujui Direksi Pekerjaan. Penyediaan aditif dibayar terpisah dari pekerjaan aspal.

48
b. Aspal Oksidasi (oxidized asphalt)

 Aspal ini adalah hasil proses ‘air blowing’ dari short residue. Umumnya dipakai untuk
keperluan industri seperti: pelapisan atap, lantai, pipa, pelaburan dll.
 Aspal oksidasi di beri nama berdasarkan ‘titik lembek/tingkat penetrasinya’, misalnya Aspal
Oksidasi 85/40: titik lembeknya 85 ˚C, titik tingkat penetrasinya 40. Jenis aspal oksidasi a.l.:
aspal oksidasi 75/30, 85/25, 85/40, 95/25, 105/35, 115/15.
 Aspal ini memiliki ketahanan yang tinggi terhadap temperatur (memiliki Penetration Index -
PI) Tinggi sekitar + 2 s/d +8. Nilai PI aspal secara umum berkisar antara: - 3 s/d +7.

c. Aspal Keras (Hard Asphalt/Bitumen)

 Aspal ini relatif sama dengan aspal oksidasi, hanya tingkat kekerasannya lebih tinggi.
Umumnyadiberi nama dengan huruf awal H (hard) dan interval titik lembeknya. Misalnya
‘H 80/90’ ( aspal keras dengan titik lembek antara 80-90 ˚C). Aspal ini juga umumnya untuk
keperluan industri, seperti halnya aspal oksidasi.

c. Aspal Cair (cutback asphalt)


 yaitu aspal keras (dipanaskan) dan diberi bahan pelarut ‘flux oil’ atau minyak (kerosene).
Pada suhu ruang berbentuk cair.
 Jenisnya: Rapid Curing (RC): AC+bensin, Medium Curing (MC): AC+minyak tanah, dan
Slow Curing (SC): AC+solar.
 Berdasarkan viskositasnya (ukuran kekentalan aspal cair atau aspal yang dicairkan),
dibedakan menjadi (misalnya):
- RC/MC/SC 30-60 : lebih encer
- RC/MC/SC 3000-6000 : lebih kental
 Biasa dipakai sebagai bahan perekat antar lapisan perkerasan jalan:
- Prime coat : dilapiskan pada permukaan tidak beraspal (unbound base course)
Di lapangan biasanya digunakan: 60% berat aspal + 40 % berat minyak tanah
- Tack coat : dilapiskan pada permukaan beraspal (aspal lama)
Di lapangan biasanya digunakan: 70% berat aspal + 30 % berat minyak tanah
 Kekuatan (stiffness) campuran yang menggunakan cutback asphalt lemah bila menggunakan
‘flux oil’. Baik menggunakan pelarut ‘flux oil’ maupun minyak biayanya mahal dan
peningkatan kekuatan relatif lama. Kekuatan campuran akan optimal bila semua bahan
pelarutnya sudah menguap.
 Di UK campuran aspal cutback digunakan untuk bahan penutup sementara galian utilitas,
yang kemudian digali lagi dan diganti dengan campuran aspal panas.

d. Aspal Emulsi
 Yaitu aspal keras yang diemulsikan kedalam air. Pada suhu ruang berbentuk cair (Thanaya,
2003).
 Diproduksi pada instalasi khusus (Gambar 2.6). Aspal keras (biasanya pen 100,200, atau
300) dipanaskan kemudian dipecahkan dalam ‘colloid mill’ melalui gerakan rotor dan stator
yang berjarak 0.25-0.50 mm. Ukuran butiran aspal sekitar 2-5 mikron (1 mikron = 10-3 mm).
Kemudian secara simultan kedalam colloid mill dialirkan air yang sudah dicampur dengan

49
bahan pengemulsi (emulsifier), larutan asam untuk mengatur pH, dan bahan aditif yang
diperlukan. Larutan pengemulsi memberikan muatan listrik yang sama pada permukaan
butiran aspal sehingga butiran aspal tidak bergabung karena adanya gaya saling tolak
menolak. Hal ini memberikan kestabilan aspal emulsi.
 Kestabilan aspal emulsi (tidak terjadi pengendapan akibat penggabungan butiran aspal)
dipengaruhi oleh: ukuran butiran aspal, jumlah dan jenis komponen: (bahan
pengemulsi/emulsifier, aditif, larutan asam), kontaminasi elektrolit, gangguan mekanik, dan
tingat penguapan kadar cairan.
 Aspal Emulsi dapat dipakai sebagai prime coat, tack coat, dan bahan pengikat untuk
Campuran Aspal Emulsi Dingin (CAED).
 Proses produksi CAED: {agregat (kasar+halus+filer) + air (dilembabkan) dengan jumlah
tertentu yang memberi ‘best coating’ + aspal emulsi}: lalu diaduk rata, kemudian
dipadatkan. Pemadatan dilaksanakan pada kondisi campuran tidak terlalu encer atu terlalu
kering. Hal ini dilakukan dengan menganginkan campuran sebelum dipadatkan.
 CAED diproduksi dan diaplikasikan tanpa perlu pemanasan atau pada suhu ruang.
 Masalah umum pada CAED: penyelimutan tidak merata terutama pada agregat kasar, terjadi
pengaliran aspal (asphalt drain), kohesi rendah, film aspal tipis. Hal ini umumnya bisa
diatasi dengan teknik perbaikan teknik produksi CAED.
 Ada tiga masalah utama pada CAED: kekuatan awal lemah, porositas tinggi, dan waktu
penguapan (curing) agak lama tergantung cuaca.
 CAED memerlukan enersi pemadatan yang tinggi untuk mencapai target porositas yang
ditentukan (5-10%), karena saat dipadatkan butiran aspal emulsi beikatan shg semakin kaku.
 Peningkatan kekuatan tergantung dari kecepatan penguapan kandungan air pada CAED.
 CAED cocok untuk daerah tropis, dan untuk jalan dengan tingkat lalu lintas rendah sampai
sedang, daerah terpencil, dan untuk skala pekerjaan kecil (pemeliharaan jalan rutin).
 Kekuatan CAED dapat diitingkatkan dengan menambah 1-2% semen, atau ditambah bubuk
kapur/lime.
 Harga aspal emulsi persatuan berat, masih lebih mahal dari pada aspal penerasi.
 CAED dapat memberikan efieiensi enersi sampai 40 %, karena tidak memerlukan
pemanasan, sehiggga secara keseluruhan dari segi biaya bisa bersaing dengan campuran
aspal panas.

50
Gambar 2.6a Skema instalasi pembuatan aspal emulsi

Gambar 2.6b Skema produksi aspal emulsi

51
Gambar 2.6c Rotor dan Stator pada Colloid Mill

Gambar 2.6.c Ilustrasi Sistem Emulsi Kationik

52
Gambar 2.6d. Gambar prosedur pembuatan CAED

53
Gabar 2.6e. Ilustrasi Coating Test (tes penyelimutan)

e. Aspal Busa (Foamed Aphalt)

 Aspal busa diperoleh dengan menginjeksikan air dingin pada aspal panas dengan suhu 149ºC
ke atas, (sehingga timbul busa secara spontan) di dalam suatu tempat pembusaan (foaming
chamber) seperti diilustrasikan pada Gambar 2.7, dan Gambar 2.8.
 Pembusaaan aspal dimaksudkan untuk menurunkan viskositas/kekentalan, sehingga mudah
dicampur dengan agregat.
 Kekuatan awal campuran lemah, dan penyelimutan tidak merta.
 Kekuatan campuran padat meningkat sejalan dengan penguapan kandungan air.
 Kekuatan campuran dapat ditingkatkan dengan menambah kapur atau semen.
 Masalah dalam produksi: perlu ketelitian tinggi pada sistim penyemprotan aspal busa
terhadap agrregat.
 Agregat perlu dilembabkan sebelum dicampur dengan aspal busa.
 Ada dua sifat yang menentukan kualitas aspal busa:
- perbandingan pengembangan (expansion ratio) yaitu perbandingan volume aspal awal
dengan volume setelah dibusakan: 10 – 15 kali.
- umur setengah (half life), yaitu umur dalam detik dimana busa aspal masih bertahan
sampai setengah dari volume pengembangan maksimalnya: 5-10 detik.
 Tipikal komposisi aspal busa berdasarkan berat: 97% aspal, 2% air, dan 1 % bahan pelunak
air , mis. sodium chlorida untuk mengurangi kekerasan air akibat kandungan Ca dan Mg.
 Kekurangannya: tidak bisa disimpan lama, harus dicampur langsung dilapangan.

54
Gambar 2.7 Skema Pembusaan Aspal dan aplikasi lapangan.

Gambar 2.8a Skematis produksi ‘Foamed Asphalt Mixtures’ secara dingin.

55
Gambar 2.8.b Rangkaian peralatan aplikkasi aspal busa di lapangan

f. Aspal Modifikasi (Modified Asphalt)

 Yaitu aspal penetrasi yang sudah dimodifikasi dengan penambahan bahan-bahan aditif,
untuk mendapakan perbaikan sifat-sifat aspal sesuai kebutuhan.
 Umumnya bahan-bahan aditif dicampur terlebih dahulu (pre-blended) ke dalam aspal
sebelum dipergunakan.
 Tujuan memodifikasi aspal umumnya untuk mengurangi terjadinya deformasi permanen
pada suhu tinggi dan meningkatkan sifat elastis/lentur pada suhu rendah di mana aspal
menjadi lebih getas (mudah retak) pada suhu dingin.
 Aspal modifikasi sudah banyak tersedia di pasaran, dan merupakan produk yang cara
pembuatannya dirahasiakan (proprietary product).
 Terdapat banyak jenis bahan aditif diantaranya adalah: polimer (polymer). Polimer secara
teori adalah suatu senyawa alami atau buatan yang terdiri dari molekul-molekul ukuran besar
yang terbenuk oleh kombinasi molekul-molekul sederhana berukuran kecil. Polimer dapat
dikelompokkan kedalam dua kelompok besar:
- ‘thermolastic’, ‘crystalline polymers’ atau ‘plastomer’, seperti: polyethylene,
polypropylene, polyvinyl chloride (PVC), polystyrene, ethylene vinyl acetate (EVA) and
ethylene methyl acrylate (EMA).
- thermoplastic rubbers or ‘elastomers’ seperti: natural rubber, styrene-butadiene-
rubber (SBR), styrene-butadiene-styrene (SBS), styrene-isoprene-styrene (SIS),
polybutadiene (PBD), and polyisoprene.
 Ada pula bahan aditif berupa ubuk (powder): ‘carbon black’ dan ‘hydrated lime’.
 Aspal emulsi sudah banyak dibuat dari aspal modifikasi (modified bitumen emulsion) untuk
mengatasi kelemahan-kelemahan pada sifat aspal emulsi.
 Salah satu aspek dalam menggunakan bahan aditif adalah kecocokan (compatibility) dengan
jenis aspal yang dipakai. Bisa dikatakan compatiblebila bahan aditif mudah menyatu/larut
(dissolve) ke dalam aspal membentuk senyawa homogen, tidak terjadi pemisahan (segregasi)
akibat perbedaan Spesific Grafity (SG).

56
2.5.3 Tar
 Suatu cairan yang diperoleh dari proses karbonasi (destilasi destruktif tanpa udara/oksigen)
suatu material organis, misalnya kayu atau batubara.
 Tar biasa diproduksi dari proses karbonasi batu bara menjadi ‘coke’, yaitu sejenis arang
dengan kadar karbon tinggi dan sangat sedikit mengeluarkan asap bila dipakai bahan bakar
(smokeless fuel). Coke biasanya dipakai sebagai bahan bakar pada pabrik besi/baja karena
memiliki intensitas panas yang tinggi. Dalam proses karbonasi tadi terbentuk gas dan uap
yang bila dikondensasi akan menjadi cairan kental (Tar) yang berupa rantai hidrokarbon
panjang.
 Tar bisa dipakai sebagai bahan perekat seperti aspal, tetapi lebih peka terhadap temperature.
 Pada temteratur tinggi lebih mudah mengalami deformasi, dan pada temperatur rendah lebih
getas dari pada aspal minyak.
 Tar juga dapat mengeluarkan gas beracun (tidak terlalu signifikan), dapat diatasi dengan
memakai masker untuk pernafasan.

2.6 Empat Sifat Pokok Aspal

Secara garis besar, ada empat sifat pokok aspal yang perlu dievaluasi untuk memperoleh kinerja
aspal yang memuaskan:

 Reologi Aspal (Asphalt Rheology):


Pengertian reologi aspal adalah suatu studi untuk mengetahui kinerja (deformasi) aspal
akibat pembebanan (stress). Hubungan antara beban (stress) dan dan regangan (strain)
memberikan data penting tentang kinerja aspal. Evalusi terhadap reologi aspal dapat
dilaksanakan dengan beberapa jenis test, a.l. test rangkak (creep test) dan test kelelahan (fatigue
test). Pada kedua test ini diperoleh data: komulatif beban (berulang), komulatif regangan, dan
beban yang diaplikasikan. Data ini kemudian dianalisa untuk memperoleh kinerja/ reologi aspal.
 Kohesi (cohesion):
Sifat kohesi aspal yaitu ikatan antar komponen aspal dievaluasi dengan test daktilitas.
 Adesi (adhesion):
Yaitu ikatan antara aspal dan agregat pada campuran aspal beton. Sifat ini dievaluasi dengan
menguji sepesimen dengan test stabilitas Marshall. Paramter yang dipakai adalah:
Stabilitas Sisa (Retained Stability) = ( Stabilitas Rendaman/Stabilitas Kering), harus memenuhi
spesifikasi.
 Durabilitas (durability):
Yaitu kemampuan untuk menjaga reologi, adesi dan kohesi aspal untuk tetap baik dalam
jangka panjang masa pelayanan. Ada tiga factor utama yang mempengaruhi durabilitas,
yaitu:
o Pengerasan Oksidasi dan Evaporasi (oxidative and evaporation hardening).
Pengerasan ini terjadi akibat pengaruh oksigen pada aspal dan adanya penguapan
komponen tertentu aspal (volatile component). Efek pengerasan ini di test dengan ‘
rolling thin Film Oven Test’.
o Pengerasan Eksudatif (Exudative Hardening)
Pengerasan ini terjadi akibat adanya bagian berminyak aspal yang keluar dan meresap
(exudes) ke permukaan agregat (terutama jenis agregat porous), sehingga lapisan aspal
yang tertinggal menyelimuti agregat menjadi lebih keras. Pengerasan ini di test dengan
‘exudation droplet test’ yang pada prinsipnya adalah hubungan antara jumlah molekul
dengan berat rendah yaitu komponen parafin (paraffinic components) dari aspal dengan
komponen asphaltenes.
57
2.7 Komponen Pembentuk Aspal

 Aspal terdiri dari beberapa unsur dengan unsur karbon dan hydrogen yang paling banyak.
Tipikal komposisi komponen aspal adalah sbb:
Karbon 82 - 88 %
Hydrogen 8 - 11 %
Sulfur 0-6%
Oxygen 0 - 1.5 %
Nitrogen 0-1%

 Komposisi unsur pembentuk aspal berbeda-beda tergantung dari sumber minyak


mentahnya. Misalnya aspal dari Amerika Tengah tidak sama dengan yang dari Timur
Tengah atau dari Laut Utara.

 Aspal dibedakan atas komposisi kimianya yang terdiri dari:


Asphaltenes (berupa butiran haus) dan Maltenes, yang mayoritas berupa cairan.Maltenes
terdiri dari Resins, Saturates dan Aromatics.

 Aspaltenes:
o tidak larut dalam heptane
o bersifat polar tinggi (memiliki kutub listrik)
o berupa butiran dengan berat molekul antara 600 – 300.000 satuan molekul
o ukuran partikel 5 nano meter (nm) – 50 nm.
1 nano meter (nm) = 10-9m = 10-6mm = 10-3mikron.
1 mikron (μm) = 10-3mm
o Makin tinggi kadar asphaltenes, aspal semakin kental. Tipikal kadar asphaltenes
suatu jenis aspal : 5-25%, dan sebagian besar tersusun dari unsur karbon.

 Maltenes: larut dalam heptane dan terdiri dari:


o Resins:
- bersifat polar sehingga memiliki sifat adhesive tinggi
- berupa butiran dengan berat molekul: 500 – 50.00 satuan molekul
- ukuran partikel: 1-5 nanometer (nm)

o Aromatics:
- berupa cairan dengan berat molekul paling rendah: 300 – 2000 satuan molekul
- membentuk 45 – 65 % dar senyawa aspal
- bersifat non polar
- memiliki daya melarutkan tinggi terhadap molekul hidrokarbon yang lebih berat.

o Saturates:
- berupa minyak (oil) yang kental dan non polar
- berwarna putih atau ke kuning-kuningan
- berat molekul hampir sama dengan aromatics
- terdiri dari komponen seperti lilin (waxy) dan non waxy

2.8 Struktur Kimia Aspal

 Aspal pada hakekatnya adalah sistim koloid, dimana asphaltenes larut dalam maltenes.
58
 Bila aspal mengandung kadar resins dan aromatics tinggi dengan daya larut baik, maka aspal
disebut aspal tipe ‘SOL’.
 Bila resins dan aromatics jumlahnya sedikit, dimana asphaltenes tidak sepenuhnya
terdistribusi/larut, maka disebut aspal tipe ‘GEL’, yang lebih kental dari tipe ‘SOL’. Jenis
aspal ‘GEL’ ( blown asphalt atau oxidized asphat) biasanya dipakai sebagai pelapis atap.
 Kekentalan aspal tergantung dari berat molekul pembentuknya. Makin berat aspal (makin
banyak kadar asphaltenesnya), aspal makin kental.
 Struktur Kimia Aspal diperlihatkan pada Gambar 2.9

Gambar 2.9 Struktur Kimia Aspal

59
2.9 Bitumen Data Charts

Panduan umum kondisi dan karakteristik pemakaian aspal dapat disajikan pada
Gambar2.10 dan 2.11.

1.25

800

Gb 2.10

Gb 2.11

60
2.10 Prinsip Pengujian Aspal

Dalam campuran aspal beton, aspal berfungsi sebagai bahan pengikat dan pengisi rongga antar
butiran agregat dan pori-pori agregat. Untuk memperoleh kualitas campuran yang diinginkan maka perlu
dilaksanakan pengujian kualitas aspal.

2.10.1 Pengujian Aspal Penetrasi (Asphalt Cement /AC)

a. Pengujian Penetrasi

 Untuk mengetahui tingkat kekentalan/kekerasan aspal.


 Pengujian dilaksanakan pada suhu 25 ºC, dan kedalaman penetrasi diukur setelah beban
dilepaskan selama 5 detik, seperti diperlihatkan pada Gambar2.12 dan 2.13.

Gambar 2.12 Diagram pengujian nilai penetrasi aspal

Misalnya : penetrasi = 6-7 mm = (60-70) x 0.1 mm (0.1 mm = 1desi mm = dmm)


Maka jenis aspalnya adalah AC60/70, dst.
Jenis AC lain : AC 15, AC 35, AC 50, AC 40/60, AC 80/100, AC 200, AC 300.

Gambar 2.13 Alat Uji Penetrasi Aspal.

61
b. Pengujian Titik Lembek

 Untuk mengetahui kepekaan aspal terhadap temperatur. Walaupun Nilai Penetrasinya sama,
titik lembeknya bisa berbeda.
 Sebagai pedoman untuk pelaksanaan pemadatan di lapangan. Pemadatan akhir (finish
rolling) dilaksanakan di atas titik lembek aspal, dimana aspal masih bersifat plastis.
 Pengujian dilaksanakan dengan alat ‘Ring and Ball Apparatus’ (R&B).

Gambar 2.14 Ring and Ball Apparatus (R&B)

 Untuk aspal yang titik lembeknya dibawah 80 ˚C dipergunakan media air suling, untuk aspal
yang titik lembeknya diatas 80 ˚C dipergunakan ‘gliserin’.
 ‘Ring’ diisi aspal, kemudian ‘ball’ dengan diameter ± 9.53mm, berat ± 3.5 gram diletakkan
diatas aspal, seperti pada gambar, dan gelas/bejana diberi pemanasan. Pemanasan
dilaksanakan mulai dari suhu 5 ˚C dengan kenaikan suhu 5 ˚C permenit.
 Titik lembek adalah suhu rata-rata (dengan beda suhu ≤ 1˚C) pada saat bola baja menembus
aspal karena leleh dan menyentuh plat dibawahnya (sejarak 1 inch = 25,4 mm).
 Nilai penetrasi aspal pada titik lembeknya sekitar 800.

62
c. Pengujian Titik Nyala (Flash Point)

 Untuk mengetahui temperatur pemanasan aspal maksimal ‘yang aman’ sebelum terbakar.
 Diuji dengan Cleveland Open Cup seperti gambar.
 Titik Nyala (Flash Point), yaitu suhu pada saat terlihat nyala api minimal selama 5 detik.

Gambar 2.15Cleveland Open Cup

d. Pengujian Kehilangan Berat Aspal/Loss on Heating (Thick Film Oven Test)

 Dimaksudkan untuk mengetahui kehilangan berat akibat penguapan komponen-komponen


tertentu aspal (mengandung/terkontaminasi komponen yang lebih ringan, sehingga mudah
menguap).
 Aspal dilelehkan dan setebal 7/8 inchi (21mm) ditempatkan diatas piring metal dengan
poros berputar dengan kecepatan 5-6 putaran permenit, di dalam oven dengan suhu 163 ˚C,
selama 5 jam. Beda berat sebelum dan sesudah pengujian bisa didapat.
 Penurunan berat menunjukkan adanya komponen aspal yang menguap, yang dapat berakibat
aspal mengalami pengerasan yang eksesif/berlebihan sehingga menjadi getas (rapuh) bila
pengurangan berat melebihi syarat maksimalnya.
 Pengujian ini dilanjutkan dengan pengujian nilai penetrasi aspal, untuk mengetahui
peningkatan kekerasannya (dalam % penetrasi semula).

Gambar 2.16 Pemeriksaan Kehilangan Berat Aspal

63
e. Thin Film Oven (TFO) Test

 Test ini pada prinsipnya sama dengan Test Kehilangan Berat (Loss on Heating) di atas,
tetapi film aspalnya lebih tipis yaitu 1/8 inchi (3mm), dengan menggunakan ukuran piring
metal (pan) yang diameternya lebih besar .
 Dalam TFO Test , karena aspal yang di test lebih tipis, sehingga memberikan efek
penguapan (volatilization) dan oksidasi (oxidation) yang lebih signifikan dari pada Test
Kehilangan Berat (loss on heating).
 TFO Test dimaksudkan untuk mensimulasi efek pemanasan saat memproduksi campuran
aspal panas, dimana agregat diselimuti oleh lapisan aspal tipis.
 Proses pemanasan, sama dengan Test Kehilangan Berat (loss on heating), dan diakhir test
aspal ditimbang (uji kehilangan berat) dan di tes nilai penetrasinya.
 Ada kecenderungan semakin banyak Spesifikasi berdasarkan TFO Test, dari pada
berdasarkan Test Kehilangan Berat (loss on heating).
 Sebelum dan setelah test ini, biasanya dilaksanakan test viskositas aspal untuk mengetahui
peningkatan kekekentalan/kekerasan aspal ybs.

f. Rolling Thin Film Oven (RTFO) Test

 Ada tipe pengujian lain suatu tebal film aspal yang disebut ‘Rolling Thin Film Oven
(RTFO) Test’, dengan tujuan sama dengan TFO Test tetapi cara yang berbeda. Pada test ini
digunakan beberapa botol gelas khusus, dimana sejumlah tertentu aspal dituangkan ke dalam
beberapa botol, lalu diletakkan dalam rak yang dapat berputar di dalam oven dengan suhu
163 ˚C selama 5 jam, dan spesimen diberikan tekanan udara panas.

Gambar 2.17Rolling Thin Film Oven (RTFO) Test

g. Pengujian Kelarutan (solubility)

 Test ini dimaksudkan untuk mengetahui jumlah aspal yang ada / larut dalam ‘karbon
tetraklorida (CCl4)’ atau dalam ‘karbon bisulfida (CS2)’. Test ini juga untuk mengetahui
apakah aspal mengandung material yang tidak diinginkan.
 Pada test ini sekitar 2 gram aspal dilarutkan dalam 100 ml larutan di atas, kemudian disaring
dengan kertas saring.
 Berat material yang tersaring (kotaminan: karbon dan unsur mineral) ≤ 1% dari berat aspal
semula, atau:
 Kelarutan aspal = (berat aspal yang larut/berat aspal semula) ≥ 99 %.
64
h. Pengujian Daktilitas (Ductility)

 Test ini dimaksudkan untuk mengetahui sifat kohesi aspal.


 Aspal dicetak dan di test seperti pada Gambar 2.18, pada suhu 25 ˚C (pada daerah beriklim
tropis dilakukan pada ruangan ber AC), dengan menggunakan media air dalam bak.
 SG air diatur sedemikian rupa (dengan tambahan alcohol atau garam) sehingga benang aspal
tidak mengapung atau tertarik ke bawah.
 Spesimen ditarik dengan kecepatan 5 cm/menit sampai putus. Jarak terpajang dalam cm
yang dapat ditarik antara dua cetakan sebelum aspal putus dicatat sebagai nilai daktilitas
aspal.

Gambar 2.18Test Daktilitas aspal

i. Pengujian Berat Jenis (specific gravity/SG test)

 SG aspal, adalah perbandingan antara berat aspal dengan berat air suling dengan volume
sama pada temperatur tertentu (25 ˚C).
 Data SG dipergunakan untuk perhitungan dalam perencanaan dan evaluasi sifat campuran
aspal beton ( perhitungan SG mix dan Porositas).
 Pengujian SG dilaksanakan dengan menggunakan Pycnometer (lihat Gambar 2.19), dengan
prinsip sbb:
A = berat pycnometer dengan penutup
B = berat pycnometer + air (penuh) +penutup
C = berat pycnometer + aspal
D = berat pycnometer + aspal + air (s/d penuh)+ penutup

SG aspal = (C-A)/{(B-A)/(D-C)} , tanpa satuan.

65
a. b.

c. d. e.

Gambar 2.19 Model-model pycnometer (a,b,c,d); dan alternatif alat (e) memakai tabung gelas dan
penutup.

j. Pengujian Viskositas Aspal Penetrasi

 Pemeriksaan viskositas dilaksanakan untuk menentukan konsistensi/ kekentalan aspal dalam


kondisi leleh/cair. Konsistensi aspal penetrasi dilaksanakan pada suhu tertentu.

 Cara fundamental untuk mengukur viskositas adalah dengan ‘sliding plate viscometer’,
yang terdiri dari dua plat berukuran 2x3x0.6 cm, yang diantara keduanya dilapisi aspal
setebal 50-100 mikron. Kemudian diberikan tekanan (stress) dalam Pascal (Pa), dan
deformasi (regangan) atau ‘rate of strain’ yang terjadi perdetik dicatat. Viskositas ini disebut:
Viskositas dinamis/absolut = tekanan (Pa)/ regangan perdetik = Pascal(Pa) second atau
Pa.s.

Pa

∆𝑙
ε =𝑙
Gambar 2.21 Diagram penentuan viskositas dinalis

Pa
Viskositas dinamis = ε/sec = Pa second………………………………………………….(2.1)

 Alat yang umum dipakai untuk mengukur viskositas adalah Viscometer, dimana aspal
penetrasi dipanaskan terlebih dahulu kemudian dituangkan ke dalam viscometer sampai
mencapai tanda isian (filling line). Kemudian disimpan di dalam bak dengan pengatur
temperatur yang berisi air atau olie (Gambar 2.22).

 Nilai viskositas, ditentukan berdasarkan waktu yang diperlukan aspal untuk melalui dua
tanda (timing marks) pada pipa kapiler viscometer. Waktu mulai dicatat saat aspal melewati
tanda pertama sampai mencapai tanda berikutnya.

 Viscometer dikalibrasi dengan suatu jenis olie standar.

66
Gambar 2.22 Pipa kapiler dan viskometer dalam bak

 Pengujian viscositas aspal penetrasi umumnya dilaksanakan pada dua suhu:


o suhu 60 ˚C: estimasi temperatur maksimum perkerasan selama masa pelayanan.
Pengujian dilaksanakan dengan viscometer pipa kapiler (capillary tube viscometer).
Karena aspal pada suhu ini masih relatif kental untuk melewati pipa kapiler, maka
perlu diberi tenaga hisap parsial (partial vacuum sebesar 30 cm Hg) pada bagian
dengan bukaan kecil pada pipa kapiler untuk memberi tenaga pengaliran. Jenis
viskometer yang umum dipakai adalah (Gambar 2.23):

Asphalt Institute Viscometer (kiri) dan Pipa Ostwald, Canon-Fenske, Ubbel


Cannon-Manning Viscometer (kanan). Lohde.

Gambar 2.23 Jenis-jenis cappillary viscometer

- Asphalt Institute Vacuum Viscometer : memiliki beberapa ‘timing marks’ untuk


menguji viskositas aspal dengan kekentalan berbeda.
- Cannon-Manning Vacuum Viscometer.
Nilai viskositas dari test ini adalah: Viskositas Absolut atau Viskositas Dinamis, yang
diperoleh dengan mengalikan waktu yang diperlukan bagi aspal untuk melewati ‘dua
tanda’ dikalikan dengan faktor kalibrasi alat, dalam satuan ‘poise’ = 10-1 Pacal
second (Pa.s), yang setara dengan ‘gram/cm/detik’.

o suhu 135 ˚C: mewakili temperatur selama proses pencampuran dan penghamparan
campuran aspal. Pada suhu ini aspal cukup encer, dimana aspal dapat mengalir pada

67
pipa kalpiler secara gravitasi dengan memberi sedikit tekanan pada bukaan pipa yang
besar, atau sedikit hisapan/vacuum pada bukaan pipa yang kecil.
Kepadatan (density) aspal mempengaruhi kecepatan pengaliran. Test viskositas
pada suhu ini umumnya memakai jenis ‘Zeitfuchs Cross-Arm Viscometer’ (Gambar
2.24). Nilai viskositas yang diperoleh adalah: Viskositas Kinematis, yang diperoleh
dengan mengalikan waktu yang diperlukan bagi aspal untuk melewati ‘dua tanda’
dikalikan dengan faktor kalibrasi alat. Dengan variable waktu dan faktor kalibrasi,
maka Viskositas Kinematis dapat dihitung dalam satuan cm2/detik (stokes), atau
mm2/detik (centistokes).

Gambar 2.24 Zeitfuchs Cross-Arm Viscometer

o Viskositas Absolut = Viskositas Kinematis x kepadatan aspal (pada temperatur


yang ditentukan).
Nilai Viskositas Absolut ‘hampir sama dengan’ Viskositas Kinematis, bila kepadatan
aspal nilainya sekitar 1,00 (1.01, 1.02, atau 1.03), seperti halnya untuk aspal semen.

 Faktor Kalibrasi (Konstanta Kalibrasi) beberapa viscometer diperlihatkan pada


Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Faktor Kalibrasi beberapa viscometer.


No Tipe Viskometer Faktor
Kalibrasi
1 Saybolt Universal 0.000218
2 Redwood I 0.000247
3 Saybolt Furol 0.00218
4 Redwood II 0.00247
5 Engler 0.00758
6 Standard Tar Viscometer (4mm) 0.0132
7 Standard Tar Viscometer (10mm) 0.400
Bila waktu mengalir (flow time) dinyatakan dalam detik, dan kepadatan aspal (density)
dalam (gram/ml), maka:
Viskositas kinematis = flow time x faktor kalibrasi , dalam mm2/detik = centistokes
Viskositas dinamis/absolut = flow time x faktor kalibrasi x density, dalam Pascal
seconds (Pa.s)

68
 Ada pula jenis test viskositas empiris yaitu Test Viskositas Saybolt Furol (Gambar 2.25).
Umumnya dipergunakan untuk menguji viskositas aspal emulsi, ‘blown asphalt’, dan
‘oxidised asphalt’. Pada test ini sejumlah 60 ml aspal (cair) ditempatkan dalam tabung
kemudian dialirkan keluar melalui suatu bukaan ukuran standar. Waktu yang diperlukan
untuk mengalirkan semua aspal dicatat dalam satuan ‘detik’, atau Second Saybolt Furol
(SSF). Makin kental aspal makin lama waktu yang dibutuhkan.

Gambar 2.25 Test Viskositas Saybolt Furol

k. Pemitivity Test atau Dielectric Constant Test

 Test ini tidak begitu luas dipakai, dan diperkenalkan oleh Transport and Road Research
Laboratory (TRRL)-UK.
 Test ini memberi indikasi ketahanan aspal terhadap cuaca: ultra violet dari sinar
matahari, oksigen, hujan, dan deposit kontaminan dari lalu lintas (olie dan minyak).
 Test ini mempergunakan suatu kapasitor.
 Permitivity = kapasitan suatu kapasitor dengan aspal sebagai dielektrik (media) ‘dibagi’
kapasitan suatu kapasitor dengan ruang hampa udara sebagai dielektrik.
 Nilai Permitivity minimal = 2.63 (menurut TRRL, UK).

- +
Media

Gambar 2.26 Prinsip Permitivity Test

l. Float Test

 Test ini dipergunakan untuk menguji konsistensi/kekentalan aspal yang terlalu lunak
untuk di tes penetrasi dan terlalu kental untuk Tes Viskositas Saybolt Furol, misalnya
aspal resedu dari hasil destilasi aspal cair.
 Pengujian dilaksanakan dengan mengisi suatu tabung (colar) dengan aspal dan
disekrupkan pada mangkok aluminium. Kemudian diapungkan (float-ed) diatas air dalam
suatu bak pada temperatur tertentu (biasanya 50 ºC).
 Hasil Float Test ini berupa ‘waktu (detik) dari saat mengapungkan mangkok aluminium
sampai aspal dalam tabung (colar) didesak oleh air.
69
Gambar 2.27 Float Test

m. Fraass Breaking Point Test

 Test ini dipergunakan untuk menggambarkan kelakuan aspal pada suhu rendah sampai
sekitar - 30 ºC, dengan memakai alat seperti pada Gambar 2.28.
 Pada tes ini suatu pelat baja yang berukuran 41x20x0.15 mm dilapisi aspal setebal 0.5 mm.
Pelat dilentur-lenturkan perlahan pada temperatur yang diturunkan sebesar 1 ºC permenit,
sampai terjadi retak (biasanya pada suhu antara 0 -30ºC, tergantung jenis aspal).
 Temperatur pada saat aspal mulai retak disebut ‘Fraass Breaking Point’, dimana aspal
memiliki kekakuan sekitar 2,1 x 109 Pascal (Pa), yang mendekati kekakuan maksimal aspal
sekitar 2,7 x 109 Pa.
 Pada ‘Fraass Breaking Point’, aspal memiliki nilai penetrasi sekitar 1.25.

Gambar 2.28 Fraass Breaking Point Test

2.10.2 Pengujian Aspal Cair

a. Tes Viskositas Kinematis


 Menggunakan alat yang serupa/sama dengan pengujian viskositas aspal penetrasi
cair.

70
b. Tes Titik Nyala
 Untuk menentukan suhu tertinggi dimana aspal cair mulai terbakar/menyala.
 Untuk menguji aspal cair jenis slow curing/setting dipakai ‘cleveland open cup’.
 Untuk menguji aspal cair jenis medium dan rapid curing/setting yang lebih cepat
menguap, dipakai ‘tag open cup’ yang terbuat dari gelas, dengan pemanasan
mempergunakan pemanas air (water bath), seperti diperlihatkan pada Gambar 2.29.

Gambar 2.29 Tag Open Cup

c. Tes Penyulingan Aspal Cair


 Untuk memisahkan/mengetahui tipe dan jumlah zat-zat yang memiliki titik didih yang
berbeda yang terdapat dalam aspal cair (mengandung pelarut), dan untuk mengetahui
jumlah aspal resedunya (Gambar 2.30).

Gambar 2.30 Alat Penyulingan Aspal Cair

 Jumlah aspal cair yang dipakai sekitar 200 ml.

 Resedu yang diperoleh, diuji nilai penetrasi dan daktilitasnya setelah didinginkan terlebih
dahulu.
71
DAFTAR PUSTAKA

Asphalt Institute, 1995, Mix Design Methods for Asphalt Concrete and Other Hot Mix Types.
Manual Series No. 2 ( MS-2), Sixth Edition.

Asphalt Institute, 1977, . A Brief Introduction to Asphalt and Some of Its Uses.Manual Series
No. 5 ( MS-5) , Seventh Edition.

Garber, N.J, and Hoel L.A., 1996, Traffic and Highway Engineering, PWS Publishing
Company.

Krebs, R.D. and Walker, R.D., 1971, Highway Materials , McGraw-Hill Book Company.

Sukirman, S., 1992, Perencanaan Perkerasan Lentur Jalan Raya, Penerbit Nova.

Sukirman, S., 2007, Beton Aspal Campuran Panas, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Thanaya, I N.A., 2003, Improving the Performance of Cold Bitumnious Emulsion Mixtures
Incorporating Waste Materials, PhD Thesis, Leeds University, United Kingdom.

Wright, P.H., 1996, Highway Engineering, John Willey and Sons, INC.

Whiteoeak, D., 1991, The Shell Bitumen Hand Book , Shell Bitumen – UK.

72
BAB III

PERENCANAAN CAMPURAN ASPAL PANAS

Perencanaan suatu jenis campuran aspal panas (hot mix) dilaksanakan dengan mengacu
kepada spesifikasi yang ditentukan. Secara umum dilaksanakan dengan tahapan sbb:

3.1 Pengujian Material

Sebelum merencanakan campuran aspal, terlebih dahulu harus dilaksanakan pengujian


material: agregat kasar, agregat halus, filer, dan aspal. Sifat-sifat material harus memenuhi
spesifikasi yang ditentukan.

3.2 Penentuan Gradasi Agregat


Gradasi masing-masing jenis agregat: kasar, halus dan filler mungkin saja ditentukan
dalam spesifikasi suatu jenis campuran aspal panas. Demikian pula gradasi agregat gabungannya.
Gradasi agregat gabungan bisa diperoleh dengan mencampur (blending) agregat kasar, halus dan
filler. Teknik mencampur (blending) agregat dapat dilaksanakan secara analitis maupun secara
grafis.
Dalam kenyataan dilapangan, akan sangat tidak praktis melaksanakan pencampuran
agregat supaya memenuhi spesifikasi agregat gabungan. Produksi aspal secara masal biasa
dilaksanakan dengan instalasi pencampur aspal (Asphalt Mixing Plant – AMP). Setiap jenis AMP
memiliki fasilitas: penampung agregat (bin) untuk agregat kasar, agregat halus maupun filler yang
dilengkapi bukaan (pintu) dan ban berjalan (‘belt conveyor’) untuk menyalurkan agregat dari bin.
Besar bukaan pintu bin dan kecepatan bergerak ban berjalan diatur sesuai kalibrasi (standard
operasi/penyetelan) alat untuk memperoleh gradasi agregat gabungan yang diinginkan. Setiap
jenis AMP memiliki cara pengoperasian tersendiri. Hasil akhir campuran akan besar dipengaruhi
oleh ketrampilan operator AMP yang mengatur operasi AMP melalui pengaturan pada Controll
Unit dari AMP, dan tipe AMP.AMP tipe batch plant memiliki fasilitas penakaran/penimbangan
material sesuai gradasinya.Jenis ini memberikan gradasi agregat gabungan yang lebih teliti
(Sukirman, 2007). Skema AMP Batch Plant disajikan pada Gambar 3.1.

Gambar 3.1 Skema AMP Batch Plant

73
Sedangkan perencanaan gradasi agregat untuk campuran aspal di laboratorium, bisa
dilaksanakan tanpa mem ‘blending’ agregat, yaitudengan Cara Proporsional (memproporsikan
agregat) berdasarkan Gradasi Ideal (Batas Tengah) ‘Spesifikasi Gradasi Agregat Gabungan’ yang
ditentukan (Zoorob, 1995). Masing-masing ukuran butir agregat diperoleh dengan mengayak
agregat sesuai ukuran saringan yang ditentukan.Kemudian proporsi agregat dicari berdasarkan
komulatif prosentase lolos gradasi ideal (Lampiran 3.1).

3.3 Penentuan Proporsi Agregat


Agregat dikelompokan: agregat kasar (tertahan saringan No. 8 =2,36mm), agregat halus
(lolos saringan No. 8 =2,36mm dan tertahan saringan No. 200 = 0,075 mm) dapat langsung
menggunakan pasir halus. Sedangkan filer adalah material non plastis yang lolos saringan No. 200
= 0,075 mm minimal 85%. Filer dapat berupa abu batu, abu kapur, fly ash dll. Agregat
diproporsikan secara Proporsional berdasarkan gradasi ideal (batas tengah) spesifikasi agregat
gabungan suatu campuran aspal.
Untuk pembuatan satu buah sampel biasanya diperlukan sekitar 1000-1200 gram agregat
sesuai proporsi yang ditentukan (Lampiran 3.1).

3.4 Estimasi Kadar Aspal Awal


Untuk menentukan kadar aspal awal terdapat beberapa formula pendekatan. Salah satunya
adalah formula dari Depkimpraswil, 2004:
P = 0,035 (%CA) + 0,045 (%FA) + 0,18 (%FF) + k
Dimana:
P = % kadar aspal awal
%CA = % agregat kasar (Coarse Agregate) terhadap berat total agregat
%FA = % agregat halus (Fine Agregate) terhadap berat total agregat
%FF = % filler (Fine Filler) terhadap berat total agregat
k = konstanta = 0,5 – 1 untuk AC dan 2,0 – 3,0 untuk HRS

Misalnya: untuk Campuran Hot Rolled Sheet-Wearing Course (HRS-WC)atu Lataston


(lihat Lampiran 3.1, Tabel 3.2), %CA = 31, %FA = 61, %FF = 8. Bila nilai k diambil 2, dan maka
dari rumus diatas diperoleh P = 7,27 %, dibulatkan 7%.
Atau kadar aspal awal bisa juga diestimasi berdasarkan kadar aspal tertentu yang memberi
tingkat penyelimutan (coating) yang merata atau berdasarkan pengalaman.
Kemudian untuk mendapatkan kadar aspal optimum, kadar aspal divariasi dengan
mengambil penambahan/pengurangan 0,5 % pada dua variasi kadar aspal di atas dan di bawah
nilai P awal (mis. 7%). Dengan demikian variasi kadar aspal menjadi : 6 ; 6,5 ; 7 ; 7,5 ; 8 %
terhadap berat total campuran.
Karena rumus di atas hanyalah pendekatan dan bersifat empiris, maka bisa juga ditentukan
berdasarkan pendekatan lain, misalnya:

Kadar aspal awal dapat diestimasi = kadar aspal efektif + kadar aspal yang diserap.

Kadar aspal efektif bisa mengacu pada suatu spesifikasi. Kadar aspal yang diserap
biasanya diambil sebesar 50 % dari absorpsi total agregat (kasar, halus dan filer) terhadap air.

3.5 Penentuan Prosentase Material Terhadap Berat Total Campuran

Prosentase proporsi agregat seperti yang tercantum pada Lampiran 3.1 (Tabel 1, 2, dan 3),
adalah berdasarkan berat total agregat.Karena dalam campuran terdapat kandungan aspal, maka
perlu dihitung prosentase material terhadap berat total campuran, dengan cara sbb:
74
Tabel 3.1 Proporsi Material
Material % terhadap Faktor Pengali % terhadap
berat total agregat berat total campuran
1 2 3 4=2x3
Agregat kasar (a) 31 (100-d)/100 28,8
Agregat Halus (b) 61 (100-d)/100 56,7
Filler (c) 8 (100-d)/100 7,5
Aspal (d) - - 7
Total 100 % 100 %
Untuk membuat sebuah sampel, umumnya diperlukan antara 1000-1200 gram agregat
(tergantung berat jenis) yang proporsinya sesuai dengan ukuran butir agregat (seperti pada kolom
2 Tabel 3.4 di atas).Selanjutnya lihat contoh pada Lampiran 3.1.
Prosentase terhadap berat total campuran akan berubah sesuai dengan variasi prosentase
kadar aspalnya, misalnya: 6 ; 6,5 ; 7 ; 7,5 ; 8 % terhadap berat total campuran.

3.6 Perhitungan Jumlah Material Yang Dibutuhkan


Contoh pada Tabel 3.1 di atas didasarkan atas prosentase kadar aspal awal 7 %, dimana
jumlah agregatnya 93%. Maka berat aspal yang diperlukan untuk satu sampel adalah: (7/93) x
1200 gram = 90.3 gram. Berat total campuran menjadi = 1200 gr + 90,3 gr = 1290,3 gram.
Proporsi agregat kasar disesuaikan dengan prosentase ukuran butirnya yang sudah
dipersiapkan (di ayak) terlebih dahulu. Untuk agregat halus bisa langsung menggunakan pasir
halus lolos 4,75 mm tertahan 0.075 mm. Perincian kebutuhan material disajikan pada Tabel-
tabel pada Lampiran 3.1)
3.7 Pemanasan Material dan Cetakan (Mould)
Agregat yang sudah diproporsikan, diwadahi dengan wadah dari metal (misalnya
piring/loyang aluminium).Demikian juga aspal ditempatkan dalam kaleng dengan ukuran yang
cukup.Kemudian dipanaskan (sebaiknya) dalam oven.Dalam praktek sering dilaksanakan
pemanasan dan pengadukan memakai wajan.Hal ini memang kelihatan praktis, tetapi kontrol
terhadap suhu bisa tidak optimal.
Ketentuan temperatur aspal untuk pemanasan, pencampuran dan pemadatan didasarkan
atas rentang temperatur dimana ‘ viskositas aspal’ akan memberikan hasil yang optimal.Hal ini
didasarkan atas hasil studi dan data-data yang sudah ada. Sebagai pedoman umum, suhu
pemanasan material disajikan pada Spesifikasi.
Mould (cetakan sample) dengan dia 4 inch (101,6 mm) dan tinggi 3 inch (75 mm) dilengkapi
‘colar mould’ (mould tambahan), dan alat pencampur (mixer) atau sendok pengaduk metal, dan
batang besi perojok/penusuk juga perlu dipanaskan (dapat dipanaskan pada temperatur sama
dengan temperatur pemanasan aspal).

3.8 Jumlah Sampel dan Pencampuran


Untuk setiap variasi kadar aspal, idealnya dibuat minimal 3 sampel, kemudian karakteristik
campuran diambil dari nilai rata-rata minimal dari dua sample yang memberi hasil terbaik.
Bila pencampuran dilaksanakan secara manual, agregatditempatkan dalam waskom metal
dan diaduk rata sebelum dipanaskan. Setelah panas (2-3 jam dalam oven) kemudian dituangi aspal
sejumlah yang diperlukan, lalu diaduk dengan sendok metal serata mungkin.Dalam praktek di lab
sering pemanasan material dilakukan dengan memakai wajan metal.

75
Untuk mengurangi kehilangan temperatur, yang bisa berakibat agregat tidak terselimuti
aspal dengan merata maka material campuran dipanaskan lagi beberapa saat (2-5 menit),
kemudian diaduk kembali sampai rata.

3.9 Pemadatan Sampel


Sebaiknya semua perlatan dipanaskan untuk mempertahankan temperatur dan kemudahan
pelaksanaan (workability).Sekitar 1000-1200 gram campuran (untuk memperoleh tinggi benda uji
mendekati tinggi standard 63,5 mm)yang sudah diaduk rata dituangkan kedalam mould. Pada
bagian dasar mould diberi kertas saring/penghisap atau lapis metal tipis bulat. Dasar dan dinding
mould dilapisi olie/gemuk supaya campuran tidak melekat pada mould. Kemudian campuran aspal
dituangkan ke dalam mould, lalu di rojok-rojok dengan batang besi diameter 12 mm disekeliling
mould sebanyak 15 kali, dan dibagian tengahnya sebanyak 10 kali. Di bagian atasnya diberi kertas
saring/penghisap atau lapis metal tipis bulat. Letakkan mould pada dasar alat pemadat/tumbuk
Marshall (Gambar 3.2).
Ukur temperatur campuran memakai thermometer dengan membuka sedikit penutup
kertas/metal di bagiam atas mould sampai mencapai temperatur yang tepat untuk pemadatan.
Kemudian dipadatkan dengan jumlah tumbukan sbb (Kementerian PU, 2010):
- 2 x 50 tumbukan (masing-msing 50 tumbukan pada satu sisi, kemudian sampel dibalikkan dan
dipadatkan lagi 50 kali tumbukan untuk sisi berikutnya), untuk campuran Lapis Tipis Aspal
Pasir (Latasir) atau Sand Sheet (SS).
- 2 x 75 tumbukan, untuk campuran selain Latasir.

Gambar 3.2 Alat Tumbuk Marshall Gambar 3.3 Ejektor sampel

Catatan: berat alat tumbuk = 4,5 kg (10 lb), dengan tinggi jatuh tinggi 45.7 cm (18 inch).

Setelah pemadatan, sampel berikut mould didinginkan pada suhu ruang.Setelah dingin (mencapai
suhu ruang) sample dikeluarkan dengan ejektor (Gambar 3.3).

3.10 Pengukuran Volumetrik Sampel


Yang termasuk data volumetrik sample adalah: kepadatan (density), porositas, rongga antar
agregat (Void in Mineral Agregat -VMA), dan rongga terisi aspal (Void Filled with Bitumen -
VFB), (Asphalt Institute, 1997).

76
 Kepadatan Bulk Kering (Dry Bulk Density-D)
Untuk data/sifat ini diperlukan massa dan volume dari sampel. Masa/beratnya dengan
mudah dapat ditimbang, namun penentuan volumenya memerlukan ketelitian karena bentuk
sample yang tidak sepenuhnya berbentuk matematis.Hal ini dapat dilakukan dengan prinsip
‘penggantian volume air’ sesuai Hukum Archimedes.
Sampel ditimbang diudara dan saat seluruhnya berada didalam air. Volume
Vdiperolehdengan menghitung selisih berat di udara dan berat di dalam air.
V= (berat di udara – berat di dalam air)
Prinsip ini sesuai dengan Hukum Archimedes, yaitu sampel di dalam air akan memperoleh
tekanan ke atas (uplift pressure) seberat air yang dipindahkan. Kepadatan air diambil 1 gram/cm3
pada suhu ruang, karenanya berat air (dalam gram) yang dipindahkan akan sama dengan volume
sampel dalam cm3. Rumus diatas berlaku untuk sample yang benar-benar kedap air.
Penimbangan sample di dalam air dilakukan dengan bantuan sejenis keranjang atau metal
dengan dasar dan dinding berlubang-lubang. Terlebih dahulu alat timbang dibebani keranjang
kawat kecil dimana keranjang dalam keadaan terendam air.Kemudian alat timbang di nolkan.Lalu
keranjang diangkat dan diisi sampel, setelah itu sampel ditimbang dalam air (lihat Gambar 3.4).

Gambar 3.4 Penimbangan sampel di udara dan di dalam air

Karena kondisi sampel campuran aspal yang ‘tidak seluruhnya kedap air’ akibat adanya
porositas, mengakibatkan air bisa meresap kedalam sampel.Karena itu volume sampel ditentukan
sbb.(Asphalt Institute, 1995):
V= (berat sampel dalam keadaan SSD – berat di dalam air)
Sampel SSD: saturated surface dry, diperoleh dari mengeringkan permukaan sampel dengan ‘lap’
(towel dried) setelah ditimbang dalam air.
Bila sample memiliki porositas tinggi, maka gelembung-gelembung udara akan keluar dari
sample. Pembacaan timbangan dilakukan saat tidak ada lagi gelembung udara yang keluar.Untuk
efisiensi waktu, sebaiknya sample yang memiliki porositas tinggi direndam dahulu beberapa
waktu (sekitar 30 menit) sampai semua gelembung udara keluar.

Selajutnya Kepadatan Bulk kering(D) ditentukan sbb:


W
D , gr/cm3, dimana W = berat kering sample diudara, V = volume.
V

77
 Porositas (P) = Void in Mix (VIM)
Porositas (air voids) adalah volume dari kantung udara diantara agregat yang terlapisi aspal,
ditentukan menggunakan rumus dibawah (BS EN 12697-8:2003):
SGmix  D  D 
Porositas (P) % =  100 %  1    100 % , thd.vol.bulk sample.
SGmix  SG mix 
dimana SGmix ditentukan dari Rumus dibawah (BS EN 12697-5:2002):
100
SG mix  berdasarkanberat total campuran
%CA %FA %F %Binder
  
SG CA SG FA SG F SG Binder
Catatan :SGmix = maximum theoretical density ; CA (coarse aggregate) =agregat kasar; FA (fine
aggregate)=agregat halus; F = filler, Binder =perekat aspal,.
(Untuk perhitungan Porositas, dipergunakan :SG effective = ½ (SG bulk+SG Apparent) dari dari
masing-masing agregat).

 Nilai voids in mineral aggregates (VMA) dan voids filled with bitumen (VFB), dihitung
dengan rumus berikut (Asphalt Institute, MS-2, 1995).

VMA adalah volume antar butiran agregat dari sample yang dipadatkan yang mencakup
porositas (void) dan kadar aspal efektif campuran padat (yaitu kadar aspal total dikurangi bagian
aspal yang terserap oleh agregat). Sedangkan VFB adalah bagian dari VMA yang terisi oleh aspal
efektif.
 % Wagg 
Voids in mineral aggregates (VMA) = 100     D , dalam satuan % thd.
 SG agg 
volumetotal sampel, dimana: % Wagg = % thd berat total campuran.
(VMA  P)
Voids Filled with Bitumen (VFB)   100 %, terhadap VMA
VMA
dimana SGagg.dihitung berdasarkan rumus berikut:
100
SG agg  berdasarkan berat total agregat
%CA %FA %F
 
SG CA SG FA SG F
Catatan : CA = Coarse Aggregate, FA = Fine Aggregate, F = Filler, SG = specific gravity, (Menurut Bina Marga,
untuk perhitungan VMA dipergunakan : SG eff. dari dari masing-masing agregat. Manurut Asphalt Institute
dipergunakan SG bulk).

Sebuah alternatif contoh tabulasi perhitungan volumetrik sampel diberikan pada Lampiran 3.2.

3.11 Test Stabilitas Marshall dan Flow


Pengujian yang umum dipergunakan untuk sifat mekanis campuran aspal adalah: test
stabilitas, kekakuan (stiffness), ketahanan terhadap deformasi (resistance to deformation atau
creep), kelelahan (fatifue) dan kekuatan tarik (tensile strength). Campuran aspal hendaknya
memiliki kekuatan mekanis tersebut tadi secara memadai (Asphalt Institute, 1997).
Yang paling umum dipakai di negara berkembang adalah tesstabilitas Marshall dan flow
(deformasi), yang dilaksanakan dengan mempergunakan Marshall Stability Apparatus (Gambar
4), dimana sampel dikondisikan dalam suhu 60 °C selama 30-40 menit dalam bak perendam berisi
pemanas air (60 °C) atau oven, kemudian ditest secepatnya dalam waktu maximal 30 detik dari
saat pengambilan sample dari bak perendam atau oven.Sampel akan tertekan dengan kecepatan
tetap sebesar 50mm permenit, sampai runtuh. Beban maximum (stabilitas- dalam kg atau kN) dan
78
besarnya deformasi plastis (flow), dalam mm dapat dibaca pada arloji pengukur, atau secara
digital.

Stabilitas Max

/ kN)
Stabilitas (kg
Flow (mm)

Gambar 3.5a Gambar 3.5b


Marshall Stability Apparatus Tipikal Hubungan Stabilitas dan Flow

Secara umum hubungan Stabiltas (kg atau kN) terhadap Flow (mm) adalah seperti disajikan
pada Gambar 3.5a, dan tipikal grafik sifat campuran diperlihatkan pada Gambar 3.5b.
Nilai stabilitas sampel, perlu dikoreksi, sesuai dengan ketebalan atau volumenya, dengan
mempergunakan Koefisien Koreksi seperti diperlihatkan pada Tabel 3.2.

79
Tabel 3.2 Faktor Koreksi Stabilitas, [Asphalt Institute, MS-2, 1998].

Volume specimen Ketebalan Koefisiean


(cm3) Spesimen (cm) Koreksi
200 - 213 2.54 5.56 Catatan:
214 - 225 2.70 5.00
226 - 237 2.86 4.55 Tebal Standar Sampel dengan
238 - 250 3.02 4.17 diameter ±10 cm adalah 6,35
251 - 264 3.18 3.85 cm. Sampel dengan ukuran ini
265 - 276 3.34 3.57 diberi koef. koreksi =1.00.
277 - 289 3.49 3.33
290 - 301 3.65 3.03 Untuk ukuran sampel yang
302 - 316 3.81 2.78 sedikit berbeda dari ukuran
317 - 328 3.97 2.50 standar, maka Nilai stabilitas
329 - 340 4.13 2.27 Marshallhasil pengujian
341 - 353 4.29 2.08 dikalikan koef. koreksi
354 - 367 4.45 1.92 berdasarkan volume atau
368 - 379 4.60 1.79 ketebalan sampel.
380 - 392 4.76 1.67
393 - 405 4.92 1.56 Lebih praktis bila koreksi
406 - 420 5.08 1.47 diberikan bedasarkan volume
421 - 431 5.24 1.39 sampel.
432 - 443 5.40 1.32
444 - 456 5.56 1.25
457 - 470 5.72 1.19
471 - 482 5.88 1.14
483 - 495 6.03 1.09
496 - 508 6.19 1.04
509 - 522 6.35 1.00
523 - 535 6.51 0.96
536 - 546 6.67 0.93
547 - 559 6.83 0.89
560 - 573 6.99 0.86
574 - 585 7.14 0.83
586 - 598 7.30 0.81
599 - 610 7.46 0.78
611 - 625 7.6 0.76

Catatan :
1 kg = 1kg x 9,8 m/dt2 = 9,8 N = 0,0098 kN
1 kN = 1 / 0,0098 = 102 kg

80
Stabilitas (kg , kN)

Flow (mm)
Kadar Aspal (%) Kadar Aspal (%)

Disarankan
memilih
kadar aspal
Kepadatan Bulk (gr/cm3)

VMA min - (%)


opt. dibagian
kiri lengkung

Min

Kadar Aspal (%) Kadar Aspal (%)


Porositas (%)

VFB (%)

Kadar Aspal (%) Kadar Aspal (%)

Gambar 3.6 Tipikal Grafik Hubungan antara Kadar Aspal dengan Sifat Campuran Aspal Panas.

Pada Lampiran 3.4, disajikan Contoh Perhitungan Karakteristik Marshall.Diagram


volumetrik campuran aspal disajikan pada Lampiran 3.5.Spesifikasi untuk material perkerasan
81
jalan dan campuran aspal panas diberikan pada Lampiran 3.6. Sifat-sifat campuran seperti yang
tercantum pada Gambar 3.6, disyaratkan untuk memenuhi spesifikasi tertentu sesuai dengan jenis
campurannya.

3.12 Karakteristik Campuran Aspal Perkerasan Jalan

Secara umum ‘karakteristik’ campuran aspal untuk perkerasan jalan yang perlu dikaji adalah
sbb:

a. Stabilitas
Stabilitas campuran:
- Mengindikasikan kemampuan lapis perkerasan jalan untuk menerima beban tanpa terjadi
deformasi seperti bergelombang, beralur, ataupun bleeding (karena kelebihan aspal), sesuai
tingkat beban lalulintas yang direncanakan.
- Stabilitas yang terlalu tinggi (karena campuran padat) berakibat campuran manjadi kaku,
bisa lebih cepat retak. Karena padat, maka rongga antar agregat dalam campuran (VMA)
lebih rendah sehingga kadar aspal yang diperlukan bisa lebih sedikit. Hal ini berakibat tebal
lapis film aspal menjadi tipis, sehingga mudah teroksidasi, menjadi getas dan mudah
mengelupas.
- stabilitas yang baik bisa diperoleh dengan menggunakan:
a. Gradasi rapat, sehingga sifat saling kunci (interlock) optimal
b. Agregat dengan permukaan kasar, dan berbentuk kubikal
c. Aspal penetrasi rendah
d. Aspal dalam jumlah cukup untuk megikat antar butiran agregat
e. Bila kadar aspal lebih tinggi dari yang diperlukan, porositas (Void in Mixture-VIM)
menjadi lebih kecil. Bila terjadi tambahan pemampatan akibat beban berulang lalu lintas,
aspal dapat memberi efek pelumasan/lubrikasi. Karena tidak cukup VIM (terutama
dalam cuaca yang lebih tinggi), maka aspal bisa meleleh keluar (bleeding). Karenanya
ada batas bawah dari VIM.
f. Campuran aspal AC (asphalt concrete) mengandalkan stabilitas tinggi.

b. Durabilitas:
Yaitu ketahanan jangka panjang, perkerasan jalan, yang dipengaruhi oleh:
- Tebal film aspal yang memadai. Bila terlalu tipis mudah teroksidasi udara dan terkelupas,
bila terlalu tebal bisa terjadi bleeding.
- Porositas (VIM) yang kecil, dimana lapisan menjadi cukup impermeable, sehingga tidak
mudah ditembus oleh udara sehingga mengurangi proses oksidasi yang merapuhkan aspal,
kemudian mengelupas.
- VMA yang besar, sehingga tebal film aspal bisa lebih tebal. Untuk mendapat VMA yang
besar disarankan memakai gradasi senjang.
- VMA dan VIM (dapat dipandang sebagai indikator durabilitas)

c. Kelenturan (fleksibilitas):
Yaitu kemampuan campuran untuk mengalami deformasi akibat beban lalu lintas, tanpa
timbul retak dan perubahan volume. Hal ini dapat dicapai dengan:
- Menggunakan agregat bergradasi senjang, sehingga VMA menjadi lebih besar.
- Menggunakan aspal yang lebih lunak (penetrasi lebih tinggi)
- Menggunakan aspal yang lebih banyak sehingga VIM menjadi lebih kecil walaupun VMA
agak besar.

82
- Memenuhi syarat Marshall Quotient (MQ), yaitu perbandingan antara stabilitas/flow
(kN/mm). MQ merupakan indikator sifat lentur perkerasan.

d. Tahanan Geser/Kekesatan (skid resistance):


Yaitu gesekan yang diberikan oleh permukaan perkerasan, sehingga kendaraan tidak
mudah megalami slip baik saat cuaca kering dan terutama pada saat hujan. Perkerasan aspal
umumnya memiliki tahanan geser yang memadai. Hal ini diperoleh dengan menggunakan:
- Kadar aspal yang tepat sehingga tidak terjadi bleeding.
- Agregat dengan permukaan kasar, dan bebentuk kubikal.
- Penggunaan agregat kasar dalam jumlah yang cukup. Untuk ini, pada campuran aspal
bergradasi senjang biasanya ditentukan jumlah agregat kasar yang dipergunakan.

Untuk meningkatkan skid resistance pada campuran bergadasi senjang (HRS/lataston),


bisa dilaksanakan dengan menebarkan agregat kasar dan dipadatkan (chipping) pada permukaan
perkerasan yang baru. Di Inggris sudah umum dilaksanakan coated chipping, untuk campuran
Hot Rolled Asphalt (HRA) yang bergradasi senjang.

e. Kemudahan pelaksanaan (workability):

Yang dimaksudkan adalah kemudahan dalam pencampuran, penghamparan dan


pemadatan campuran aspal. Hal dapat ini dipengaruhi oleh:
- Gradasi agregat
- Ketepatan temperatur saat pelaksanaan pekerjaan. Aspal bersifat termoplastis ( menjadi lebih
lunak saat temperatur tinggi dan sebaliknya)
- Kandungan bahan pengisi (filler). Bila kadar filler terlalu tinggi bisa mengurangi
workability.

f. Ketahanan terhadap kelelahan (fatigue resistance):

Yang dimaksud fatigue adalah femomena keretakan akibat beban berulang. Fenomena ini
bersifat kompleks dan dipengaruhi oleh beberapa hal.

Untuk mengoptimalkan ketahanan terhadap fatigue, dapat dilaksanapan upaya:


- Bila VIM dan VMA tinggi dan kadar aspal ditingkatkan.
- Campuran dengan gradasi yang lebih halus memiliki ketahanan fatigue yang lebih baik.
- Pengunaan aspal yang lebih keras untuk perkerasan yang lebih tebal.

Sebagai panduan umum, campuran aspal hendaknya direncanakan sesuai persyaratan


(sepesifikasi) yang ditentukan untuk memperoleh kinerja yang optimal.

83
3.13 Penentuan Kadar Aspal Optimum

Kadar aspal optimum, ditentukan dengan mengevaluasi rentang kadar aspal yang
memberikan karakteristik sample yang memenuhi spesifikasi. Hal ini dapat dilakukan dengan
membuat diagram seperti diperlihatkan dalam contoh pada Gambar 3.7.

Stabilitas Ket:

Flow Terlalu rendah

VMA (Min.) Memenuhi

VFB Terlalu tinggi

Porosity

Estimasi Kadar Aspal Optimum=7,75 %

7 7,5 8 8,5 9
Kadar Aspal ( % )

Gambar 3.7 Rentang Kadar Aspal yang memenuhi syarat.

Pada contoh kasus di atas, rentang kadar aspal yang memenuhi syarat tergantung dari nilai
VFB yang memenuhi spesifikasi.Selanjutnya lihat contoh pada Lampiran 3.4 bagian akhir.

3.14 Tujuan Perencanaan Campuran Aspal


1. Campuran memiliki cukup kadar aspal untuk menjamin durabilitas (ketahanan terhadap
beban dan pengaruh lingkungan).
2. Campuran memiliki stabilitas yang memadai untuk menahan beban lalu lintas tanpa terjadi
kerusakan.
3. Memiliki porositas yang cukup (ada batas minimum dan maksimumnya).
Nilai minimum, dimaksudkan untuk memungkinkan terjadinya penambahan pemadatan
akibat beban lalu lintas dan terjadinya pengembangan volume aspal akibat peningkatan
temperatur tanpa mengakibatkan deformasi, bleeding, dan pengurangan stabilitas.
Bila porositas terlalu rendah (lebih kecil dari syarat minimum), akibat pengaruh beban
maka aspal dapat berperan sebagai pelumas yang menciptakan media untuk terjaadinya
tekanan hidrolis, yang berakibat terjadinya deformasi dan akhirnya terjadi kerusakan.
Demikian pula sebaliknya bila porositas lebih dari syarat maksimumnya, akan mengurangi
kepadatan dan mengakibatkan campuran kurang kedap untuk menahan pengaruh oksidasi
udara dan penetrasi air. Udara dapat mengoksidasi aspal sehingga menjadi lebih
getas/rapuh.Sedangkan air dapat mengakibatkan efek pelunakan terhadap aspal yang
mengakibatkan kekuatan campuran berkurang.
84
4. Memberikan kekasaran permukaan (skid resistance) yang memadai untuk campuran lapis
permukaan (wearing course/surface course). Karenanya diperlukan tekstur agregat yang
kubikal dan memiliki kekerasan yang cukup.

3.15 Perbedaan Dasar Campuran Aspal Bergradasi Menerus dan Senjang

Karakteristik Camp. Bergradasi Menerus Camp. Bergradasi Senjang


Kekuatan Dari gesekan internal dan Dari kekakuan dari mortar:
penguncian mekanis antar agg.halus/filler dan aspal
agregat
Komposisi Kadar agregat halus/filler dan Kadar agregat halus/filler dan
aspal relatif kecil (lebih aspal relatif tinggi (lebih
efisien) mahal)
Kekerasan aspal Lebih lunak (penetrasi lebih Lebih keras (penetrasi lebih
rendah), temperatur tinggi), temperatur pemanasan
pemanasan lebih rendah lebih tinggi
Sifat umum Porositas lebih tinggi Porositas lebih rendah
Lebih permiabel Lebih kedap air
Kurang tahan terhadap cuaca Lebih tahan terhadap cuaca
Jenis campuran Laston (AC) Lataston (HRS)
Dense Macadam Hot Rolled Asphalt (HRA)
Asphalt Concrete Mastic Asphalt

Gambar 3.8 Tipikal posisi aggregate dalam campuran bergradasi menerus/rapat (macadam),
dengan textur permukaan tidak halus.

85
Gambar 3.9 Tipikal posisi aggregate dalam campuran bergradasi senjang (hot rolled asphalt),
dengan textur permukaan halus. Biasanya diberi ‘14 mm coated chipping’ untuk memberi
efek gesekan (skid resistant)

Daftar Pustaka

Asphalt Institute , 1998, Marshall Mix Design Criteria, Manual Series 2 (MS-2).
Asphalt Institute, 1995, Mix Design Methods for Asphalt Concrete and Other Hot Mix Types.
Manual Series No. 2 ( MS-2), Sixth Edition.
Asphalt Institute, 1977, .A Brief Introduction to Asphalt and Some of Its Uses.Manual Series No.
5 ( MS-5) , Seventh Edition.
British Standard-BS 594: Part 1, 1992, Criteria for Stability and Flow of Laboratory Designed
Asphalt (Hot Bituminous Mixtures).
British Standard BS EN 12697-5:2002, Bituminous mixtures, Test methods for hot mix asphalt,
Part 5: Determination of the maximum density.
British Standard BS EN 12697-6:2003, Bituminous mixtures, Test methods for hot mix asphalt,
Part 6: Determination of bulk density of bituminous specimens.
British Standard BS EN 12697-8:2003, Bituminous mixtures, Test methods for hot mix asphalt,
Part 8: Determination of voidcharacteristics of bituminous specimens.
Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. 2004. Desiminasi Spesifikasi Baru Campuran
Beraspal Panas Dengan Alat PRD.
Sukirman, S., 2007, Beton Aspal Campuran Panas, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Kementerian PU RI-Ditjen Bina Marga, 2010, Dokumen Pelelangan Nasional Penyediaan
Pekerjaan Konstruksi (Pemborongan ) Untuk Harga Satuan, Spesifikasi Umum,
Campuran Beraspal Panas.
Zoorob, S.E., 1995,The Effect of Pulverised Fuel Ash on the Properties and Performance of Hot
Rolled Asphalt. Ph.D Thesis ,University of Leeds , UK.

86
Lampiran-Lampiran Bab III

87
Lampran 3.1

Persyaratan Gradasi Agregat Campuran Aspal Beton


Hot Rolled Sheet -Wearing Course (HRS-WC), Spesifikasi 2018

Tabel 1.a Gradasi agregat HRS -WC Tabel 1.b Gradasi agregat HRS -WC

Ukuran Saringan % lolos (thd berat) Ukuran Saringan % lolos (thd berat)
HRS-WC HRS-WC
No. Bukaan (mm) Bts bawah Bts tengah Bts atas No. Bukaan (mm) Bts bawah Bts tengah Bts atas
3/4 " 19.0 100 100 100 3/4 " 19.0 100 100 100
1/2" 12.5 90 95 100 1/2" 12.5 90 95 100
3/8" 9.5 75 80 85 3/8" 9.5 75 80 85
No. 4 4.75 *) No. 4 4.75 60 69 78
No. 8 2.36 50 61 72 No. 8 2.36 50 61 72
No.16 1.18 *) No.16 1.18 45 55 65
No. 30 0.60 35 47.5 60 No. 30 0.60 35 47.5 60
No.50 0.30 *) No.50 0.30 25 32 42
No.100 0.15 *) No.100 0.15 13 20 28
No.200 0.075 6 8 10 No.200 0.075 6 8 10
*) tidak ditentukan

100 100

90 Bts atas 90 Bts atas

80 Bts tengah 80 Bts tengah


Komulatif lolos (%)

70 70 Bts bwh
Bts bwh
Komulatif lolos (%) 60
60
50 50
40 40
30 30
20 20
10 10
0 0
0.01 0.10 1.00 10.00 100.00 0.01 0.10 1.00 10.00 100.00

Ukuran partikel (mm) Ukuran partikel (mm)


88
Tabel 1.c Gradasi agregat HRS -WC Tabel 2 Proporsi Agregat Berdasarkan Batas Tengah HRS-WC

Ukuran Saringan % lolos (thd berat) Ukuran Saringan Batas Proporsi


HRS-WC Tengah
No. Bukaan (mm) Bts bawah Bts tengah Bts atas No. Bukaan (mm) (%) lolos (%) tertahan
3/4 " 19.0 100 100 100 3/4 " 19.0 100
1/2" 12.5 90 95 100 1/2" 12.5 95 5 **)
3/8" 9.5 75 80 85 3/8" 9.5 80 15
No. 8 2.36 50 61 72 No. 4 4.75 69 11 ***)
No. 30 0.60 35 47.5 60 No. 8 2.36 61 8
No.200 0.075 6 8 10 No. 30 0.60 47.5 13.5
No.200 0.075 8 39.5
Pan/talam - 0 8
Jumlah 100
**) Proporsi 5% ( agregat lolos 19mm, tertahan 12.5 mm)
100
***) Ukuran partikel 4,75, walaupun tidak ditentukan sebaiknya diisi angka untuk
90 Bts bwh memudahkan perhitungan proporsi agregat
80 Bts tengah
Ag. Kasar 31 % (total tertahan ayakan 4,75mm)
Komulatif lolos (%)

70 Bts atas Ag. Halus 61 % (lolos 4,75mm tertahan 0.075mm)


60 Filer 8.0 % (lolos 0.075mm)
Jumlah 100 %
50
40
30
20
10
0
0.01 0.10 1.00 10.00 100.00

Ukuran partikel (mm)

89
Tabel 3. Proporsi agregat dan aspal untuk pembuatan sampel HRS-WC

Material Ukuran ag. Proporsi 1 sampel 2 sampel 3 sampel


(mm) (%)
Agregat Kasar : 31 % 19-12,5 *) 5 60 120 180
12,5-9,5 15 180 360 540
9,5-4,75 11 132 264 396
Agregat Halus/ Pasir : 61 4,75-2.36 8 96 192 288
% 2,36 – 0,60 13.5 162 324 486
0,60-0,075 39.5 474 948 1422
Filer :8% 0.075 8 96 192 288
Total 100 1200 2400 3600
(gram) (gram) (gram)
Kebutuhan aspal (% thd berat total campuran):
6% = 6/(100-6) x berat ag 76.6 153.2 229.8
6,5% = 6,5/(100-6,5) x berat ag 83.4 166.8 250.3
7% = 7 / (100-7) x berat ag. 90.3 180.6 271.0
7,5 % = 7,5/(100-7,5) x berat ag. 97.3 194.6 291.9
8% = 8 / (100-8) x berat ag. 104.3 208.7 313.0
(gram) (gram) (gram)

*) (19-12.5) mm: lolos 19mm, tertahan 12.5 mm

Catatan:

- Berat total agregat untuk membuat satu sampel bisa lebih atau kurang dari 1200 gram, tergantung
berat jenis agregat.
- Hal ini perlu dicoba sesuai dengan ukuran cetakan sampel (dia 4 inch = 101, 6 mm) dan enersi
pemadatan yg dipakai
- Pada prinsipnya jumlah campuran material (agregat dan aspal) yang dipadatkan sejumlah tertentu,
yang menghasilkan sampel padat dengan tebal sekitar 63,5 mm.

90
Tabel 4. Alternatif cara memproporsikan material HRS-WC

Kadar aspal rencana (%) N 6 6.5 7 7.5 8

Total campuran (gram) A 1166 1171.5 1177 1182.5 1188

Total aspal (gram) B NxF 66 71.5 77 82.5 88

Berat agregat (gram) F 1100 1100 1100 1100 1100

Berat agregat per fraksi

19.0 -

12.5 5 55 55 55 55 55

9.5 15 165 165 165 165 165

4.75 11 121 121 121 121 121

2.36 8 88 88 88 88 88

0.60 13.5 148.5 148.5 148.5 148.5 148.5

0.075 39.5 434.5 434.5 434.5 434.5 434.5

Filler 8 88 88 88 88 88

Aspal 66 71.5 77 82.5 88

Berat total campuran (gram) 1166 1171.5 1177 1182.5 1188

91
LAMPIRAN 3.2

Contoh Alternatif Tabulasi 'Perhitungan Volumetrik ' Campuran Aspal Panas

Uraian % thd berat Faktor Proporsi Material berdasarkan berat total campuan Berat Jenis Note
agregat Pengali (Specific Gravity)
(%) (%) (%) (%) (%) (%) SG Bulk SG App. SG Eff.
a b c d1 = b*c d2 = b*c d3 = b*c d4 = b*c d5 = b*c e f g=(e+f)/2
Agregat Kasar 39.00 (100-KAi )/100 36.66 36.47 36.27 36.08 35.88 2.550 2.620 2.585 Batu Klungkung
Agregat Halus 53.00 (100-KAi )/100 49.82 49.56 49.29 49.03 48.76 2.600 2.680 2.640 Pasir Klungkung
Filer (fly ash) 8.00 (100-KAi )/100 7.52 7.48 7.44 7.40 7.36 2.160 2.160 2.160 Abu Batu
Kadar Aspal (KAi) - - 6.00 6.50 7.00 7.50 8.00 1.037 1.037 1.037 Pen 60/70
Jumlah 100.00 - 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 -

Sifat Campuran (rata-rata):


SG Agg. (eff.) (BM) - - 2.573 2.573 2.573 2.573 2.573 -
SG Mix. (eff.) - - 2.363 2.347 2.331 2.316 2.300 -
Kepadatan (D) bulk (gr/cm3) - - 2.275 2.280 2.282 2.278 2.272 -
VIM (Porositas, % ) - - 3.7 2.9 2.1 1.6 1.2 -
VMA ( % *) (BM) - - 16.9 17.1 17.5 18.1 18.8
VFB ( % ) thd VMA (BM) - - 78.0 83.4 87.9 91.0 93.4 -

Catatan:
* thd vol. bulk/total
BM = Bina Marga
Lihat Rumus-rumus untuk perhitungan volumetrik sampel
D-Bulk berdasarkan hasil pengujian sampel
Porositas diihitung berdasarkan SG Mix (eff.) agregat

92
Lampiran 3.3 Contoh Tabulasi Perencanaan Campuran Aspal Panas

Berat Jenis (SG) Jenis Aspal Aspal Pen. 60/70


Material
Bulk App B.J Aspal (Gbt) 1.01
1. Agregat Kasar 2.493 2.624
2. Agregat Halus 2.487 2.641
3. Filler (abu batu bata) 2.51

Proporsi Agregat Kadar BJ. Bulk BJ. Eff BJ. Max Berat (gr) Isi Benda BJ. Bulk Kadar Rongga Rongga Stabilitas Flow MQ
(% Total Campuran Agregat) Aspal Total Total Total Di Dalam SSD Uji (gr) Campuran Rongga Dalam Terisi Dibaca Kalibrasi Disesuaikan (mm) (kg/mm)
No
Agregat Agregat Campuran Udara Air Agregat Campuran Aspal lab alat
(Gsb) (Gse) (Gmm) Gmb VMA VIM VFB (kN) (kg) (kg)
p1 p2 p3 A B C D E F G H I J K L M N O P Q
Agregat Agregat Filler % berat Lihat Lihat Lihat Dari Dari Dari G-F E/H Lihat Lihat Lihat Dari M x 102 Dari Dari O/P
Kasar Halus total Catatan 1 Catatan 2 Catatan 3 Lab Lab Lab Catatan 4 Catatan 5 Catatan 6 Lab Lab Lab

1 70 24 6 5 2.488 2.555 2.373 1112.4 601.6 1121.4 519.8 2.140 18.29 9.817 46.32 12.19 1243.38 1243.38 3.42 363.56
2 5 2.488 2.555 2.373 1124.2 615.1 1130.1 515 2.183 16.65 8.010 51.89 12.75 1300.50 1300.50 3.39 383.63
3 5 2.488 2.555 2.373 1114.7 613.8 1124.2 510.4 2.184 16.61 7.966 52.04 11.37 1159.74 1159.74 3.09 375.32
rata-rata 2.169 17.181 8.598 50.081 1234.54 3.30 374.17
1 70 24 6 5.5 2.488 2.555 2.355 1122.3 617.2 1132.1 514.9 2.180 17.21 7.446 56.74 13.14 1340.28 1340.28 2.71 494.57
2 5.5 2.488 2.555 2.355 1124.8 621.7 1138.4 516.7 2.177 17.32 7.563 56.33 14.31 1459.62 1459.62 3.22 453.30
3 5.5 2.488 2.555 2.355 1116.8 614.1 1120.3 506.2 2.206 16.20 6.317 61.01 15.26 1556.52 1618.78 4.79 337.95
rata-rata 2.188 16.910 7.109 58.026 1472.89 3.57 428.61
1 70 24 6 6 2.488 2.555 2.339 1153.7 647.3 1171.2 523.9 2.202 16.80 5.851 65.17 14.12 1440.24 1382.63 2.9 476.77
2 6 2.488 2.555 2.339 1154.1 649.2 1174.5 525.3 2.197 16.99 6.070 64.28 17.15 1749.30 1679.33 4.99 336.54
3 6 2.488 2.555 2.339 1163.6 650.7 1179.2 528.5 2.202 16.82 5.870 65.09 15.16 1546.32 1484.47 3.47 427.80
rata-rata 2.200 16.870 5.930 64.849 1515.48 3.79 413.70
1 70 24 6 6.5 2.488 2.555 2.324 1159.2 649.3 1176.4 527.1 2.199 17.35 5.370 69.06 15.48 1578.96 1515.80 5.98 253.48
2 6.5 2.488 2.555 2.324 1177.4 654.5 1186.8 532.3 2.212 16.88 4.823 71.42 13.44 1370.88 1316.04 5.62 234.17
3 6.5 2.488 2.555 2.324 1159.2 648.7 1177.1 528.4 2.194 17.56 5.603 68.09 14.52 1481.04 1421.80 3.21 442.93
rata-rata 2.202 17.262 5.265 69.521 1417.88 4.94 310.19
1 70 24 6 7 2.488 2.555 2.307 1145.1 639.9 1158.6 518.7 2.208 17.48 4.307 75.36 12.21 1245.42 1245.42 5.04 247.11
2 7 2.488 2.555 2.307 1174.3 652.3 1187.8 535.5 2.193 18.03 4.946 72.57 13.22 1348.44 1348.44 6.33 213.02
3 7 2.488 2.555 2.307 1148.4 641.1 1162.7 521.6 2.202 17.70 4.565 74.21 11.59 1182.18 1182.18 5.06 233.63
rata-rata 2.201 17.738 4.606 74.048 1258.68 5.48 231.25
Spec Min. 14 4.9 - 5.9 Min. 63 Min. 800 Min. 2 Min. 200

Catatan : Nilai stabilitas Marshall yang terbaca pada kolom M, berdasarkan perendaman sampel pada bak air dengan suhu 60 °C selama 30-40 menit.
Perlu dicari Stabilitas Sisa pada kadar aspal optimum : (stab marshall spt diatas / stab Marshall dengan perendaman pada suhu 60 °C selama 24 jam), nilainya minimal 90 %.

1. B = Gsb = (p1+p2+p3) / (p1/bulk 1) + (p2/bulk 2) + (p3/SG filler) 4. J = VMA=100 {1- (Gmb.(1-Pbt)/Gsb)}


2. C = Gse = { (p1+p2+p3)/2 } / (p1/App 1) + (p2/App 2) + (p3/SG filler) 5. K = VIM=100 {1- (Gmb/Gmm) }
3. D = Gmm = 100/ {100.(1-Pbt)/Gse} + (100.Pbt/Gbt) 6. L = VFB ={ (J-K)/J } . 100%

93
Lampiran 3.4 Contoh Perhitungan Karakteristik Marshall

Tabel 1. Data Berat Jenis Dan Penyerapan Agregat


Berat Jenis (SG)
Jenis Agregat Absorption (%)
Bulk SSD App
1. Agregat Kasar 2,493 2,542 2,624 2
2. Agregat Halus 2,487 2,545 2,641 2,354
3. Filler (abu batu bata) 2,510

Tabel 2. Data Komposisi Campuran Agregat


Jenis Material % terhadap total agregat
Agregat Kasar (p1) 70
Agregat Halus (p2) 24
Filler (p3) 6

Berat jenis aspal (Gbt) = 1,01


Perhitungan Volumetrik Marshall Standar 2 x 75 tumbukan

Kadar aspal (Pbt) = 6%

1. Berat Jenis Bulk Total Agregat


p1  p 2  p3 70  24  6
Gsb  
p1 p2 p3 70 24 6
   
Bulk 1 Bulk 2 SG filler 2,493 2,487 2,51

 2,49 gr/cm3

2. Berat Jenis Efektif Campuran Maksimum


p1  p 2  p3
2 Gsb
Gse  
p1 p2 p3 2
 
App1 App2 SG filler

94
70  24  6
2 2,49
 
70 24 6 2
 
2,624 2,641 2,51
 2,555 gr/cm3

3. Berat Jenis Maksimum Campuran


100
Gmm 
100 (1  Pbt) 100 xPbt

Gse Gbt
100

100 (1  6%) 100 x6%

2,555 1,01
 2,339 gr/cm3

4. Isi Benda Uji


= Berat SSD – Berat di air (Ba) ; lihat contoh tabulasi perhitungan.
= 1179,2 – 650,7
= 528,5 cm3

5. Berat Jenis Campuran Padat


B.udara
Gmb  , B. udara = berat kering sampel di udara
IsiBendaUji
1163,6

528,5
= 2,202 gr/cm3

6. Persentase Rongga Dalam Campuran (VIM) = Porositas (P)


 Gmb 
VIM  1001  
 Gmm 
 2,202 
 1001  
 2,339 
= 5,86 %

7. Persentase Rongga Antar Agregat (VMA)


 Gmb(1  Pbt) 
VMA  1001  
 Gsb 
95
 2,202 (1  6%) 
 1001  
 2,49 
= 16,872 %

8. Persentase Rongga Terisi Aspal (VFB)


 VMA  VIM 
VFB     100 %
 VMA 
 16,872  5,89 
   100 %
 16,872 
= 65,09 %

9. Pembacaan angka stabilitas = 15,16 kN = 15,16 x 102 = 1546,32 kg


Pembacaan flow = 3,47 mm
Volume benda uji = 528,5 cm3
Faktor koreksi = 0,96 (berdasarkan volume sampel); lihat daftar faktor koreksi stabilitas Marshall.
Nilai Stabilitas = Stabilitas x Faktor Koreksi
= 1546,32 kg x 0,96
=1484,47 kg

10. Marshall Quotient


Stabilitas
MQ 
Flow
1484 ,47

3,47
= 427,8 kg/mm

96
Contoh grafik karakteristik Marshall

97
Catatan:

Setelah kadar aspal optimum ditentukan, kemudian buat sampel sesuai dengan kadar aspal optimum,
kemudian dicari karakteristik Marshall nya.

Tahap akhir adalah menentukan Nilai Stabilitas Sisa (NSS) , minimal 90 %.

Stab Sisa = Nilai stab pada KAO (direndam pd suhu 60 °C selama 30-40 mnt) ×100%
Nilai stab pada KAO (direndam pd suhu 60 °C selama 24 jam)

98
Lampiran 3.5 Diagram Volumetrik Campuran Beraspal

udara VIM VIM


VMA
aspal VFB
Vb
Vba
Vmb
Vmm

Vsb
Agregat/ Vse
solid

Keterangan:
VFB = volume rongga berisi aspal (Void Filled with Bitumen)
Vba = volume aspal yang diserap agregat (volume of bitumen absorbed)
VMA = volume rongga antar agregat (void in mineral agregat)
Vsb = volume agregat/solid bulk
Vb = volume aspal/bitumen
Vbe = volume aspal efeltif = Vb – Vba = VFB
Vse = volume agregat/solid efektif
VIM = volume rongga dalam campuran (Voi in Mix) = porositas
Vmm = volume campuran tanpa rongga
Vmb = vilume bulk campuran padat

Catatan:

VIM = % terhadap volume total campuran


VMA = % terhadap volume total campuran
VFB = % terhadap VMA

99
Lampiran 3.6

RINGKASAN
SPESIFIKASI UMUM 2018

UNTUK PEKERJAAN KONSTRUKSI


JALAN DAN JEMBATAN

KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN


PERUMAHAN RAKYAT
DIREKTORAT JENDERAL
BINA MARGA

100
D IV IS I 6
PERKERASAN ASPAL

S E K S I 6.1
LAPIS RESAP PENGIKAT DAN LAPIS P E R E K A T
Tabel 6.1.2.1). Persyaratan Aspal Emulsi Modifikasi
(PMCQS-1h dan PMQS-1h)

101
S E K S I 6.2
L A B U R A N A S P AL S A T U L A P I S (B U R T U ) D A N
L A B U R A N A S P A L D U A L A P I S (B U R D A )

102
103
Temperatur aspal keras pada saat penyemprotan untuk BURTU dan BURDA
tidak boleh bervariasi melebihi 10 °C dari temperatur harga-harga yang telah
diberikan dalam Tabel 6.2.5.1)

S E K S I 6.3
CAMPURANBERASPALPANAS

Jenis campuran beraspal

104
105
6.3.2 BAHAN

106
107
108
109
6) Bahan aspal untuk campuran beraspal

110
7) Bahan Anti Pengelupasan

111
8) Aspal Modifikasi

9) Serat selulosa

112
6.3.3 CAMPURAN

113
114
115
116

Anda mungkin juga menyukai