Anda di halaman 1dari 17

KWN 15

RADIKALISME DI TENGAH KEHIDUPAN


MAHASISWA

Disusun Oleh :

1. Nabillah Rachmawati 02211940000042


2. Ainiya Nanda Aurunnisa 02211940000049
3. Aldy fernanda prastianto 02211940000056
4. Zafira Mirza Ramadhani 02211940000185
5. Afifah Nur Aini 02211940000150
6. Fikri Albari Widiyadi 03411940000046
7. Tasya Sifa Salsabila 09111940000032
8. Insanosa Fauzan R 09111940000082
9. Tina Sekar Ayu 09111940000089

ITS GASAL 2019


BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Radikalisme agama dalam beberapa waktu belakangan ini gencar dibicarakan.
Radikalisme menjadi sebuah isu yang sering dikaitkan dengan kelompok muslim.
Keterkaitan antara radikalisme agama dan terorisme dikarenakan keterkaitan antara term
terorisme dengan term jihad yang sejak beberapa dekade menjadi dua isu besar yang satu
sama lain tidak terpisahkan dan mewarnai perkembangan dunia geopolitik global. Terlebih
pasca tragedi Bom Bali pada tahun 2002 yang semua pelakunya beragama Islam.
Pengaruh paham dan ideologi radikal semakin merisaukan karena gerakan militan
marak berkembang di kalangan kelompok mahasiswa. Hal itu cukup mengkhawatirkan
karena bisa mengakibatkan disintegrasi bangsa dalam dua atau tiga dekade ke depan bila
tidak ada tindakan dari negara dan kalangan moderat.
Di tengah gejala-gejala intoleran yang muncul di Tanah Air dewasa ini, kampus
diharapkan bisa menunjukkan peranannya. Kampus atau perguruan tinggi sebagai pusat
peradaban diharapkan dapat menjadi lingkungan yang bisa menanamkan dan membentuk
peradaban damai. Berbagai kegiatan di lingkungan kampus, baik dalam konteks
perkuliahan maupun yang lainnya, diharapkan turut membentuk individu-individu
berkarakter toleran sehingga kemudian bisa ditularkan pada masyarakat secara luas agar
terbentuk masyarakat yang damai. Namun, pada kenyataannya, kampus justru menjadi
salah satu tempat berkembangnya radikalisme. Paham radikalisme menyusup di
lingkungan kampus dan mengancam kalangan mahasiswa.
Masuknya radikalisme melalui narasi keagamaan, menunjukkan peran pendidikan yang
sangat penting, baik pendidikan agama maupun kebangsaan. Persoalan yang dihadapi
generasi muda, termasuk kaum intelektual atau mahasiswa adalah persoalan identitas.
Mereka cenderung galau memilih antara agama atau kepentingan bangsa. Mereka tidak
mengerti identitas berbangsa yang di dalamnya juga terkandung hak-hak beragama sebagai
warga negara. Oleh karena itu, paham radikalisme begitu mudah menyelinap ke ranah
kampus.
Mengingat ideologi radikalisme bersifat tertutup, ekslusif dan sektarian, maka
diperlukan kerja sama semua pihak dan sektor, untuk mengikis penyebaran paham
radikalisme. Perlu pembenahan pendidikan, baik sistem dan kebijakan. Perlu meningkatkan
keterbukaan di ruang pendidikan, terutama dalam pengajaran keagamaan. Selanjutnya,
pendidikan kebangsaan juga harus kembali mengingatkan bahwa ideologi radikalisme
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Sumpah membangun Khilafah
atau negara agama hingga meniadakan umat beragama lainnya, jelas bertentangan dengan
Pancasila yang menjunjung keragaman, kebhinekaan sebagai dasar kehidupan berbangsa
dan bernegara. Maka dari itu, dalam makalah ini kami mengangkat tema radikalisme di
tengah kehidupan mahasiswa

1.2 Rumusan Masalah


Dari latar belakang yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah dari masalah ini
adalah sebagai berikut :
1.2.1 Bagaimana hubungan antara radikalisme dengan kehidupan mahasiswa?
1.2.2 Bagaimana penyebaran radikalisme di kalangan mahasiswa?
1.2.3 Apa sajakah faktor yang menyebabkan timbulnya radikalisme di kalangan
mahasiswa?
1.2.4 Bagaimana dampak radikalisme terhadap kehidupan mahasiswa?
1.2.5 Bagaimana cara mengantisipasi radikalisme di kalangan mahasiswa?

1.3 Tujuan
Tujuan dari diangkatnya permasalahan ini adalah sebagai berikut.
1.3.1 Untuk mengetahui hubungan antara radikalisme dengan kehidupan mahasiswa
1.3.2 Untuk mengetahui penyebaran radikalisme di kalangan mahasiswa
1.3.3 Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan timbulnya radikalisme di kalangan
mahasiswa
1.3.4 Untuk mengetahui dampak radikalisme terhadap kehidupan mahasiswa
1.3.5 Untuk mengetahui cara mengantisipasi radikalisme di kalangan mahasiswa
BAB II
DASAR TEORI
2.1 Radikalisme
Radikalisme berasal dari bahasa Latin radix yang berarti akar. Maksudnya yakni
berpikir secara mendalam terhadap sesuatu sampai ke akar-akarnya. Merupakan istilah
yang digunakan pada akhir abad ke-18 untuk pendukung gerakan radikal. Radikalisme
merupakan suatu paham yang menghendaki adanya perubahan, pergantian, dan
penjebolan terhadap suatu sistem di masyarakat sampai ke akarnya. Radikalisme
menginginkan adanya perubahan secara total terhadap suatu kondisi atau semua aspek
kehidupan masyarakat. Tentu saja melakukan perubahan (pembaruan) merupakan hal yang
wajar dilakukan bahkan harus dilakukan demi menuju masa depan yang lebih baik. Namun
perubahan yang sifatnya revolusioner sering kali “memakan korban” lebih banyak
sementara keberhasilannya tidak sebanding.
Sebagian ilmuwan sosial menyarankan perubahan dilakukan secara perlahan-lahan,
tetapi kontinu dan sistematik, ketimbang revolusioner tetapi tergesa-gesa. Dari sini, dapat
dikembangkan telisik makna radikalissme, yaitu pandangan / cara berfikir seseorang yang
menginginkan peningkatan mutu, perbaikan, dan perdamaian lingkungan
multidimensional, hingga semua lapisan masyarakatnya dapat hidup rukun dan tenteram
(M. Arib, 2015). Gerakan radikalisme sesungguhnya bukan sebuah gerakan yang muncul
begitu saja tetapimemiliki latar belakang yang sekaligus menjadi faktor pendorong
munculnya gerakan radikalisme. Diantara faktor-faktor itu adalah :
1. Faktor Sosial-Politik
Gejala kekerasan “agama” lebih tepat dilihat sebagai gejala sosial-politik
daripada gejala keagamaan. Secara historis kita dapat melihat bahwa konflik-konflik
yang ditimbulkan oleh kalangan radikal dengan seperangkat alat kekerasannya dalam
menentang dan membenturkan diri dengan kelompok lain ternyata lebih berakar pada
masalah sosial-politik. Dalam hal ini kaum radikalisme memandang fakta historis
bahwa umat Islam tidak diuntungkan oleh peradaban global sehingga menimbulkan
perlawanan terhadap kekuatan yang mendominasi.
Dengan membawa bahasa dan simbol serta slogan-slogan agama kaum radikalis
mencoba menyentuh emosi keagamaan dan menggalang kekuatan untuk mencapai
tujuan “mulia” dari politiknya. Tentu saja hal yang demikian ini tidak selamanya dapat
disebut memanipulasi agama karena sebagian perilaku mereka berakar pada
interpretasi agama dalam melihat fenomena historis. Karena dilihatnya terjadi banyak
Islam dan Wacana penyimpangan dan ketimpangan sosial yang merugikan komunitas
Muslim maka terjadilah gerakan radikalisme yang ditopang oleh sentimen dan emosi
keagamaan.
2. Faktor Emosi Keagamaan
Salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen keagamaan,
termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang tertindas oleh
kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi
keagamaannya, dan bukan agama (wahyu suci yang absolut) walalupun gerakan
radikalisme selalu mengibarkan bendera dan simbol agama seperti dalih membela
agama, jihad dan mati syahid.
3. Faktor Kultural.
Ini juga memiliki andil yang cukup besar yang melatar belakangi munculnya
radikalisme. Sedangkan yang dimaksud faktor kultural di sini adalah sebagai anti tesa
terhadap budaya sekularisme. Budaya Barat merupakan sumber sekularisme yang
dianggab sebagai musuh yang harus dihilangkan dari bumi. Sedangkan fakta sejarah
memperlihatkan adanya dominasi Barat dari berbagai aspeknya atas negeri-negeri dan
budaya Muslim. Peradaban barat sekarang ini merupakan ekspresi dominan dan
universal umat manusia yang telah dengan sengaja melakukan proses marjinalisasi
seluruh sendi-sendi kehidupan muslim sehingga umat Islam menjadi terbelakang dan
tertindas.
4. Faktor Ideologis Anti Westernisme.
Westernisme merupakan suatu pemikiran yang membahayakan Muslim dalam
mengaplikasikan syari’at Islam. Sehingga simbol-simbol Barat harus dihancurkan
demi penegakan syari’at Islam. Walaupun motivasi dan gerakan anti Barat tidak bisa
disalahkan dengan alasan keyakinan keagamaan tetapi jalan kekerasan yang ditempuh
kaum radikalisme justru menunjukkan ketidakmampuan mereka dalam memposisikan
diri sebagai pesaing dalam budaya dan peradaban.
5. Faktor Kebijakan Pemerintah.
Ketidakmampuan pemerintahan di negara-negara Islam untuk bertindak
memperbaiki situasi atas berkembangnya frustasi dan kemarahan sebagian umat Islam
disebabkan dominasi ideologi, militer maupun ekonomi dari negera-negara besar.
Dalam hal ini elit-elit pemerintah di negeri-negeri Muslim belum atau kurang dapat
mencari akar yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme)
sehingga tidak dapat mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat.
Di samping itu, faktor media massa (pers) Barat yang selalu memojokkan umat
Islam juga menjadi faktor munculnya reaksi dengan kekerasan yang dilakukan oleh
umat Islam.
2.2 Kehidupan Mahasiswa
Secara umum, mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi, baik di
universitas, institut, maupun akademi. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (2008), definisi
mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi. Setelah menyelesaikan
pendidikan di bangku sekolah, sebagian siswa ada yang menganggur, mencari pekerjaan,
atau melanjutkan pendidikan ke tingkat perguruan tinggi. Takwin (2008) mengatakan
bahwa mereka yang terdaftar sebagai murid di perguruan tinggi dapat disebut sebagai
mahasiswa. Salim dan Salim (2002) menyebutkan mahasiswa sebagai orang yang
terdaftar dan menjalani pendidikan dalam perguruan tinggi. Badudu dan Zaih (2001) juga
mendefinisikan mahasiswa sebagai siswa perguruan tinggi. Sukirman (dalam hulu, 2010)
menjelaskan bahwa mahasiswa adalah pelajar di tingkat perguruan tinggi dan sudah
dewasa berkembang emosional, psikologis, fisik, kemandirian, dan telah berkembang jadi
dewasa. Sedangkan mahasiswa dalam peraturan pemerintah RI No. 30 tahun 1990 adalah
peserta didik yang terdaftar dan belajar diperguruan tinggi tertentu. Menurut Piaget ( dalam
hulu, (2010), kapasitas kognitif individu yang berusia 18 tahun telah mencapai operasional
formal, taraf ini menyebabkan individu mampu menyelesaikan masalah yang kompleks
dengan kapasitas berfikir abstrak, logis, dan rasional.
Berdasarkan definisi-definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa mahasiswa adalah
seseorang yang sedang dalam proses menimba ilmu ataupun belajar dan terdaftar sedang
menjalani pendidikan pada salah satu bentuk perguruan tinggi, yang terdiri dari akademik,
politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas.
Sebagai mahasiswa berbagai macam lebel pun disandang, ada beberapa macam label
yang melekat pada diri mahasiswa (dalam Novita, 2014) misalnya:
1. Direct of change, mahasiswa bisa melakukan perubahan langsung karena sumber daya
manusianya yang banyak.
2. Agen Of Change, mahasiswa agen perubahan, maksudnya SDM untuk melakukan
perubahan.
3. Iron Stock, sumber daya manusia dari mahasiswa itu tidak akan pernah habis.
4. Moral Force, mahasiswa merupakan kumpulan orang yang baik.
5. Social Control, mahasiswa itu pengontrol kehidupan sosial, contohnya mengontrol
kehidupan sosial yang dilakukan masyarakat.
Sebagai mahasiswa kita harus pandai memilah mana yang baik dan mana yang
buruk. Terorisme dan radikalisme khususnya radikalisme agama merupakan ancaman
tidak hanya bagi multikultur tetapi juga menjadi ancaman bagi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Ironisnya kasus-kasus kekerasan atas nama agama ini
menjadikan mahasiswa sebagai sasaran utamanya. Hal ini terlihat dari munculnya kasus
cuci otak NII pada mahasiswa dibeberapa kampus, hingga kasus penculikan mahasiswa
yang disinyalir dilakukan oleh gerakan NII KW IX yang terjadi pada pertengahan tahun
2010. Gerakan Negara Islam Indonesia (NII) yang disinyalir menjadi dalang dari kasus-
kasus cuci otak dan radikalime agama marak terjadi terutama di lingkungan kampus.
Kasus ini menjadi kecemasan bagi kampus sebagai lingkungan yang kental dengan
dunia pendidikan dan dakwah kampus.
Kampus merupakan ranah publik dengan mahasiswa dan alumni terkait
kealmamaterannya menjadi sasaran berbagai pengaruh serta infiltrasi paham, wacana,
dan gerakan radikalisme agama dari luar. Menurut Azra(http://cetak.kompas.com)
“Rekrutmen Sel Radikal di Kampus” menyatakan bahwa dari masa ke masa di
lingkungan kampus hampir selalu ada kelompok radikal dan ekstrem, baik kanan
maupun kiri.Beragam penelitian dan pengakuan mereka yang keluar dari sel-sel radikal
dan ekstrem mengisyaratkan, mahasiswa perguruan tinggi umum lebih rentan terhadap
rekrutmen daripada mahasiswa perguruan tinggi agama Islam. Gejala ini berkaitan
dengan kenyataan bahwa cara pandang mahasiswa perguruan tinggi umum, khususnya
bidang sains dan teknologi, cenderung hitam-putih.
Mahasiswa perguruan tinggi agama Islam yang mendapat keragaman perspektif
tentang Islam cenderung lebih terbuka dan bernuansa. Menanggapi hal tersebut,
menjadi suatu kehawatiran bagi dunia kampus dalam menghadapi masalah radikalisme
agama yang terjadi pada mahasiswa.
Mahasiswa yang dianggap sebagai kaum intelektual justru banyak terjaring oleh
kelompok NII sebagai organisasi gerakan radikal. Menurut Ketua Forum Ulama
Ummat Indonesia (FUUI) KH Athian Ali M (http://www.antaranews.com).
Banyaknya mahasiswa yang terlibat dalam kasus radikalisme agama tidak
terlepas dari faktor internal dan eksternal pada mahasiswa. Pada dasarnya mahasiswa
rawan dimasuki berbegai ideologi radikal karena secara internal dipengaruhi oleh
psikologis. Faktor psikologis tersebut diantaranya jiwa muda mahasiswa yang memiliki
daya kritis tinggi, hasrat ingit tahu yang tinggi serta masih labilnya emosi yang sulit
terkontrol.
Selain faktor internal diatas, faktor eksternal sedikit banyak membawa pengaruh
yaitu berupa kondisi kultural dunia kampus yang terbuka dan mudah dimasuki berbagai
ideologi, termasuk ideologi radikal. Hal ini dikarenakan kampus dan segala
kegiatannya cenderung sulit dikontrol mengingat dunia kampus memberikan kebebasan
bagi setiap organisasi ektra maupun intra kampus untuk melakukan berbagai kegiatan
di kampus. Selain itu, gerakan penanaman ideologi radikal melalui cuci otak pada
mahasiswa ini dilakukan dengan sembunyi-sembunyi atau tertutup dengan
menggunakan modus dakwah. Untuk itu, maka perlu kiranya mencari suatu bentuk
upaya pencegahan terhadap radikalisme agama di kampus.
Berdasarkan pemaparan diatas, maka pendidikan kewarganegaraan memiliki
peranan penting dalam upaya deradikalisasi di dunia kampus. Melalui pendidikan
kewargaenaraan dengan pendekatan multikultural, toleransi bisa ditanamkan dalam
proses belajar mengajar didunia kampus. Penanaman nilai-nilai multikultur dalam
pendidikan kewarganegaraan akan memberikan pemahaman kebangsaan- keagamaan
yang kuat pada mahasiswa.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Hubungan Antara Radikalisme dengan Kehidupan Mahasiswa
Fenomena radikalisme di kalangan mahasiswa benar adanya, sesuatu yang dapat
dipegang dan dipelajari, meskipun pada dasarnya gerakan seperti ini menggunakan sistem
sel yang kasat mata, adanya ibarat angin yang bisa dirasakan tapi sulit dipegang.
Mahasiswa yang direkrut ke dalam gerakan-gerakan radikal biasanya berasal dari
perguruan tinggi umum (sekuler) terlebih yang berasal dari fakultas eksakta. Namun
demikian, perkembangan terbaru menginformasikan bahwa kampus berbasis keagamaan
juga tidak luput dari sasaran perekrutan gerakan-gerakan radikal. Ada dua hal kenapa yang
terakhir ini bisa terjadi: Pertama, telah terjadi perubahan di dalam perguruan tinggi
berbasis keagamaan itu sendiri. Kedua, telah terjadi metamorfosa bentuk dan strategi
gerakan di internal gerakan-gerakan radikal itu sendiri.
3.2 Penyebaran Radikalime Di Kalangan Mahasiswa
Menteri Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Menristekdikti) Mohammad Nasir
mengatakan Perguruan Tinggi (PT) baik yang berstatus negeri ataupun swasta di Indonesia
memiliki potensi besar untuk disusupi paham radikalisme. Meskipun belum bisa terlihat
secara nyata, namun perguruan tinggi sangat berpotensi. Potensi diakibatkan karena
kampus merupakan tempat bernaungnya anak muda yang tengah menimba ilmu dari
berbagai latar belakang dan ilmu pengetahuan. Sehingga masalah radikalisme di kampus
menjadi pusat radikalisme.
Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, menambahkan masuknya paham
radikalisme di kampus tidak bisa dihindarkan, terlebih dengan semakin berkembangnya
teknologi seperti internet yang membuat arus informasi terbuka lebar. Sehingga
perkembangan teknologi mempunyai dua sisi yaitu sisi negatif dan positif. Rudiantara
mengatakan bahwa yang lebih tahu terhadap pergerakan mahasiswa di kampus yakni
masing-masing rektor. Setiap kampus harus memiliki data dari mulai dosen, mahasiswa,
serta kegiatan- kegiatan mereka di kampus. Hal ini guna mendeteksi secara dini kerawanan
radikalisme. (Sumber : Republika.co.id). Perguruan tinggi di samping sebagai sumber ilmu
kini harus mampu menjadi pusat integritas dan peradaban.
Mahasiswa sebagai garda terdepan dalam memelihara NKRI, harus senantiasa
meningkatkan ketahanan diri dari perilaku terorisme dan paham radikal yang berbau
kekerasan. Mahasiswa sebagai agen perubahan diharapkan menjadi modal besar untuk
membendung aksi terorisme. Melibatkan mahasiswa sebagai agen perubahan merupakan
salah satu solusi melakukan tindakan preventif dalam menghadapi perkembangan
radikalisme dan terorisme di perguruan tinggi.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya radikalisme di kampus
yaitu :
1. Kampus sebagai tempat berkumpulnya mahasiswa yang sedang mencari ilmu.
2. Pemahaman agama yang dimiliki oleh mahasiswa yang minim.
3. Rasa ingin tahu yang tinggi namun diiringi dengan pengetahuan yang minim.
4. Percepatan perubahan pola pikir mahasiswa.
5. Sifat menyendiri dan tertutup yang dikhawatirkan mudah terpengaruhi oleh
kelompok-kelompok radikal.
6. Majunya teknologi ( dampak negatif).
Gerakan radikalisme di kampus bukan hanya terfokus pada mahasiswa, namun dosen
dan kegiatan-kegiatan yang ada di kampus juga perlu diperhatikan. Menjadi tanggung
jawab rektor di dalam universitas terhadap apa pun yang terjadi di dalamnya.
Menristekdikti mengeluarkan program yaitu dengan membuat edaran perguruan tinggi,
membuat program yang menyangkut general education di dalamnya. Ada bela negara dan
wawasan kebangsaan. Ke depan, 48 pendidikan karakter akan terus didorong. Selain
melakukan sosialisasi ke mahasiswa, Mohamad Nasir juga mendorong para rektor dan
direktur menyosialisasikan edaran ini ke para dosen. Tidak hanya mengingatkan
mahasiswa untuk bela negara namun dosen akan melakukan hal yang sama.
Selain itu, ada banyak cara yang digunakan oleh oknum-oknum yang ingin
menyebarkan paham radikalisme kepada mahasiswa. Di antaranya adalah dengan melalui
pamflet-pamflet yang ditempel. Biasanya, pamflet berisi mengenai suatu isu yang sedang
hangat diperbincangkan agar menarik untuk dibaca, dalam pamflet ini opini kita akan
digiing menuju satu titik yang mereka yakini. Penyebaran dengan pamflet ini terbukti
ampuh untuk menggaet banyak sasaran baru. Cara yang kedua adalah melalui kajian yang
dibuka untuk umum di masjid-masjid kampus. Cara ini terkonsep sama seperti
penyebaran melalui pamflet namun dilakukan secara langsung/diskusi langsung. Dan cara
yang biasa digunakan saat musim penerimaan mahasiswa baru adalah dengan mendatangi
mahasiswa-mahasiswa baru secara personal. Mahasiswa baru biasanya masih sangat
awam dengan paham-paham seperti ini, maka mereka menjadi sasaran yang empuk dalam
penyebaran paham ini.
3.3 Faktor Penyebab Tumbuhnya Radikalisme di Kalangan Mahasiswa
Faktor-faktor penyebab timbulnya radikalisme di kalangan mahasiswa antara lain
adalah
1. Faktor Sosial Politik
Gejala kekerasan “agama” lebih tepat dilihat sebagai gejala sosial-politik
daripada gejala keagamaan. Adanya peradaban global yang menyempitkan posisi
islam menjadi pemicu utama timbulnya radikalisme. Jika salah satu mahasiswa
menganggap bahwa dalam suatu lingkungan kampus posisinya dipersempit dengan
paham-paham lainnya maka akan timbul radikalisme pada dirinya yang membuatnya
memengaruhi orang lain di sekitarnya.
2. Faktor Emosi Keagamaan
Dimana ketika seorang mahasiswa yang mencintai agamanya kemudian ia
diperlakukan tidak baik, maka akan menyebabkan ia fanatik terhadap agamanya dan
menjadi seseorang yang radikalis.
3. Faktor Budaya
Faktor ini merupakan faktor dasar dimana ketika seorang mahasiswa memunyai
latar belakang budaya yang berbeda dengan tempat tinggalnya sekarang maka akan
menyebabkan hatinya berontak dan ingin melepaskan diri dari jeratan budaya-budaya
yang mengikat dan tidak sesuai dengan dirinya.
4. Faktor Adanya Westernisasi
Ketika seorang muslim salah mengartikan westernisasi akan menyebabkan
dirinya berusaha untuk memaksakan pemahamannya agar sesuai dengan hatinya. Hal
ini lah yang menjadikan seseorang menjadi radikalis dan berontak dengan pengaruh
luar yang ada.
5. Faktor Kebijakan Pemerintah
Ketika mahasiswa merasa kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan diri
mereka, akan terjadi pemberontakan dan keinginan untuk mengganti kebijakan
tersebut. Dalam hal ini elit-elit pemerintah di negara belum atau kurang dapat mencari
akar yang menjadi penyebab munculnya tindak kekerasan (radikalisme) sehingga
tidak dapat mengatasi problematika sosial yang dihadapi umat (Bakri, 2004).
3.4 Dampak Radikalisme terhadap Kehidupan Mahasiswa
Adanya radikalisme menjadi ancaman nyata bagi kehidupan mahasiswa. Tidak hanya
tindakan-tindakan radikalisme yang membuat keresahan, tetapi juga adanya radikalisme
dapat mengubah pola pikir mahasiswa dan membuat mereka mulai mengikuti radikalisme.
Mahasiswa tidak hanya berinteraksi di kampus, mereka bahkan lebih banyak
menghabiskan waktu mereka untuk berinteraksi dengan berbagai kelompok masyarakat,
dunia digital, dunia internet, organisasi-organisasi ekstra universitas. Hal ini menyebabkan
mahasiswa menjadi sasaran utama dalam penyebaran radikalisme. Mahasiswa akan
menjadi generasi penerus bangsa yang memiliki tekad yang kuat dalam mencapai tujuan
mereka. Contoh penyebaran yang sering terjadi terlihat di lingkungan pertemanan yang
banyak mereka jumpai membawa pengaruh melalui doktrin-doktrin. Hal ini dapat
mempengaruhi pola pikir mahasiswa itu sendiri. Mahasiswa akan mulai mengikuti paham
radikalisme yang tentunya akan menjadi racun pada pola pikir mahasiswa.
Tidak hanya itu, masih banyak dampak yang ditimbulkan dari radikalisme tersebut.
Berikut adalah dampak dari radikalisme terhadap kehidupan mahasiswa.
1. Meresahkan banyak umat
Adanya gerakan radikalisme tentunya akan meresahkan banyak orang. Tidak hanya
mahasiswa, dampak ini dapat terjadi pada siapapun yang merasakan tindakan-
tindakan anarkis oleh pihak tertentu dan merasa tidak tenang karena keamanan mereka
terancam. Bagi mahasiswa, keresahan ini akan berdampak kepada kegiatan mereka
yang lainnya karena mereka merasa dalam keadaan terancam sementara mereka tetap
mempunyai tanggung jawab tertentu yang harus mereka laksanakan. Sehingga
tanggung jawab mereka itu dapat terhambat karena adanya radikalisme.
2. Meracuni pola pikir mahasiswa
Adanya Gerakan radikalisme tentu akan menjadi racun para pola pikir mahasiswa.
Mereka adalah generasi penerus yang sebaiknya diberikan contoh yang baik yaitu
saling rukun dan gotong-royong bukan malah melakukan penyerangan. Yang
dilakukan oleh para pelaku radikalisme akan menyebabkan mahasiswa dengan tidak
langsung berpikir keras. Mahasiswa pada umumnya masih sulit untuk mengendalikan
emosi sehingga jika ada yang melakukan penyerangan sering mereka terpancing
emosi untuk melakukan penyerangan balik.
3. Menghilangkan rasa saling kasih sayang dan merusak masa depan
Gerakan radikalisme ini mengajarkan seseorang bertindak dengan kekerasan,
seakan mereka bukan manusia yang mempunyai hati nurani. Mereka akan menyerang
siapapun yang tidak bersalah. Mereka melakukan hakim sendiri dengan menuduh
orang salah. Hal ini tentunya akan berpengaruh kepada kehidupan mahasiswa, karena
tidak adanya rasa kasih sayang, mahasiswa akan terus melakukan tindakan kekerasan
kepada siapapun dan dapat menyebabkan rusaknya masa depan mereka.
4. Menimbulkan sikap frustasi
Dengan adanya radikalisme dapat menyebabkan mahasiswa ataupun masyarakat
sekitar menjadi frustasi karena tindakan kekerasan tersebut yang mereka anggap
sebagai ancaman. Bagi mahasiswa yang sudah terpengaruh radikalisme juga akan
menjadi frustasi karena pemikiran mereka yang sempit dan pada akhirnya akan
menjadi eksklusif dalam bermasyarakat.
5. Menimbulkan banyak kerugian
Banyak sekali kerugian yang dialami karena tindakan radikalisme. Contohnya
seperti kerugian ekonomi. Karena tindakan yang radikal tersebut tentunya akan
merusak fasilitas-fasilitas yang ada. Hal ini juga dapat merugikan mahasiswa, karena
rusaknya fasilitas, mahasiswa tidak bisa menjalankan kegiatan mereka sebagaimana
mestinya. Selain itu kerugian lain yaitu dapat menghilangkan nyawa seseorang.
Karena mahasiswa adalah sasaran utama, mereka mungkin saja kehilangan nyawanya
karena adanya tindakan radikalisme.
3.5 Mengantisipasi Radikalisme di Kalangan Mahasiswa
Peran dan fungsi organisasi keagamaan di kampus amatlah penting untuk menetralisir
dan mencegah bertumbuhnya paham radikal.
1. Diperlukan kerjasama antar organisasi keagamaan di kampus untuk mengadakan
diskusi atau seminar untuk membahas isu-isu terkini terkait hal-hal yang ingin
menggantikan eksistensi Pancasila.
2. Diperlukan suatu forum kajian antar organasasi keagamaan yang berkelanjutan
sebagai wadah dalam meregenerasikan dan mengedukasi terutama mahasiswa baru
mengenai pentingnya kebhinekaan dalam menjaga kesatuan dan persatuan bangsa
3. Diperlukan pembukaan khotbah yang bertemakan nilai-nilai Pancasila. Hal di atas
tidak akan berjalan apabila kita sebagai Warga Negara Indonesia dan terutama umat
Kristen yang berada di kampus berlaku pasif, antipati, dan hanya fokus mengejar nilai
akademik tanpa memedulikan ancaman yang merongrong Pancasila. Sebagai umat
Kristen, kita harus berani menjalin kerjasama dan persaudaraan dengan umat agama
lain dalam mewujudkan perdamaian.
Selain hal di atas, diperlukan pula peran Pemerintah dalam upaya mempertahankan
Pancasila.
1. Merestorasi kembali Pancasila khususnya kepada kalangan terpelajar melalui
pembuatan cetak biru Pemerintah Pusat berkoordinasi dengan Kemendiknas,
Kemenrisetdikti, Kementerian Agama dan lainnya dalam pengaktifan kembali mata
pelajaran seperti Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dari SD
sampai Universitas.
2. Pejabat kampus melakukan pembersihan kampus beserta tempat ibadah kampus dari
organisasi serta paham radikal; dan ketiga, pemberian sanksi yang tegas terhadap
organisasi radikal yang menentang eksistensi Pancasila.
BAB IV
PENUTUP
4.1 SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah ada dapat ditarik kesimpulan bahwa mahasiswa
yang direkrut ke dalam gerakan-gerakan radikal biasanya berasal dari perguruan tinggi
umum (sekuler) terlebih yang berasal dari fakultas eksakta. Namun demikian,
perkembangan terbaru menginformasikan bahwa kampus berbasis keagamaan juga tidak
luput dari sasaran perekrutan gerakan-gerakan radikal. Ada dua hal kenapa yang terakhir
ini bisa terjadi: Pertama, telah terjadi perubahan di dalam perguruan tinggi berbasis
keagamaan itu sendiri. Kedua, telah terjadi metamorfosa bentuk dan strategi gerakan di
internal gerakan-gerakan radikal itu sendiri.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya radikalisme di kampus
antara lain karena kampus sebagai tempat berkumpulnya mahasiswa yang sedang mencari
ilmu, pemahaman agama yang dimiliki oleh mahasiswa yang minim. rasa ingin tahu yang
tinggi namun diiringi dengan pengetahuan yang minim, percepatan perubahan pola pikir
mahasiswa, Sifat menyendiri dan tertutup yang dikhawatirkan mudah terpengaruhi oleh
kelompok-kelompok radikal, majunya teknologi. Selain itu, ada banyak cara yang
digunakan oleh oknum-oknum yang ingin menyebarkan paham radikalisme kepada
mahasiswa. Di antaranya adalah dengan melalui pamflet-pamflet yang berisi mengenai
suatu isu yang sedang hangat diperbincangkan agar menarik untuk dibaca, dalam pamflet
ini opini kita akan digiring menuju satu titik yang mereka yakini. Dan cara yang biasa
digunakan saat musim penerimaan mahasiswa baru adalah dengan mendatangi mahasiswa-
mahasiswa baru secara personal.
Adanya peradaban global yang menyempitkan posisi islam menjadi pemicu utama
timbulnya radikalisme. Jika salah satu mahasiswa menganggap bahwa dalam suatu
lingkungan kampus posisinya dipersempit dengan paham-paham lainnya maka akan timbul
radikalisme pada dirinya yang membuatnya memengaruhi orang lain di sekitarnya. Selain
itu seorang mahasiswa yang mencintai agamanya kemudian ia diperlakukan tidak baik,
maka akan menyebabkan ia fanatik terhadap agamanya dan menjadi seseorang yang
radikalis
Dampak dari radikalisme terhadap kehidupan mahasiswa adalah meresahkan banyak
mahasiswa, meracuni pola pikir mahasiswa, menghilangkan rasa saling kasih sayang dan merusak
masa depan, menimbulkan sikap frustasi, dan menimbulkan banyak kerugian.
Peran dan fungsi organisasi keagamaan di kampus amatlah penting untuk menetralisir dan
mencegah bertumbuhnya paham radikal. Diperlukan kerjasama antar organisasi keagamaan di
kampus, Suatu wadah dalam meregenerasikan dan mengedukasi terutama mahasiswa baru
mengenai pentingnya kebhinekaan dalam menjaga kesatuan dan persatuan bangsa, pembukaan
khutbah yang bertemakan nilai-nilai Pancasila guna mewujudkan perdamaian.
Selain hal di atas, diperlukan pula peran Pemerintah dalam upaya mempertahankan
Pancasila. Merestorasi kembali Pancasila khususnya kepada kalangan terpelajar melalui pembuatan
cetak biru Pemerintah Pusat berkoordinasi dengan Kemendiknas, Kemenrisetdikti, Kementerian
Agama dan lainnya dalam pengaktifan kembali mata pelajaran seperti Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P4) dari SD sampai perguruan tinggi.Pejabat kampus melakukan
pembersihan kampus beserta tempat ibadah kampus dari organisasi serta paham radikal;
dan pemberian sanksi yang tegas terhadap organisasi radikal yang menentang eksistensi Pancasila.
4.2 SARAN
Setelah penulis menyelesaikan penelitian, membahas, menganalisis data dan mengambil
kesimpulan dari hasil penelitian maka penulis ingin memberikan saran bahwa
4.2.1 Kepada seluruh dosen untuk selalu menanamkan nilai-nilai Pancasila di dalam setiap
perkuliahan. Mengingatkan arti penting toleransi dan menjaga persatuan. Pendidikan
karakter dan wawasan negara harus terus diberikan dan dipraktikan karena dosen menjadi
salah satu unsur terpenting dalam pendidikan karakter di perguruan tinggi.
4.2.2 Kepada Mahasiswa harus siap sebagai garda terdepan dalam memelihara NKRI, harus
senantiasa meningkatkan ketahanan dari perilaku dan paham radikal yang berbau
kekerasan. Mahasiswa diharapkan dapat terus menggali pengetahuan sehingga memiliki
pemahaman yang lebih dan tidak mudah disusupi dengan pemahaman yang menyimpang.
Disarankan mengikuti organisasi kemahasiswaan yang ada di kampus karena memiliki
manfaat yang positif.
DAFTAR PUSTAKA

Bakri, S. (2004). Islam dan Wacana Radikalisme Agama Kontemporer. Jurnal Dinika, 3(1),
1–8.
http://digilib.unila.ac.id/32141/19/SKRIPSI%20TANPA%20BAB%20PEMBAHASAN.pdf
dikutip pada hari Jumat, tanggal 18 Oktober 2019 pukul 07.45
http://repository.uma.ac.id/bitstream/123456789/1827/6/138600196_file6.pdf dikutip pada
hari Jumat, tanggal 18 Oktober 2019 pukul 11.15
Republika.Co.Id.(2017, 25 Juli). Menristekdikti Sebut Ada Potensi Paham Radikalisme di
Kampus. Diperoleh 20 November 2017, dari nasional.republika.co.id
S, Lukman Hakim. 2014. Radikalisme Agama dan Tantangan Kebangsaan. Jakarta:
Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai