Anda di halaman 1dari 86

Sesi 3

Artikal 1 - Creating a Sense of Mission

Dalam artikel ini Campbell menyatakan bahwa pernyataan mission berfungsi sebagai alat dalam
mendefinisikan organisasi budaya yang menarik bagi karyawan, berpotensi mempengaruhi rekrutmen
karyawan, kepuasan kerja, motivasi dan terdapat hubungan positif antara kehadiran pernyataan mission
dan kinerja organisasi.

Peter Drucker menyatakan bahwa business purpose dan business mission sangatlah jarang memberikan
pemikiran yang cukup karena penyebab utama adalah rasa frustasi dan kegagalan. Hal ini masih cukup
relevan karena mission masih merupakan area yang tidak terdefinisikan dalam management. Masalah
utama dalam management adalah mission masih menjadi term yang tidak berarti, tidak ada dua akademisi
atau manager yang bersepakat atas satu definisi. Namun terlepas dari beragamnya artikel mengeai hal
tersebut, tidaklah terlepas dari konsep “school of thought”.

Dimana secara umum satu pandangan mengenai strategi bisnis dan pendapat lain terkait mission dari
aspek pilosohpy dan etika. Pandangan dari apek strategi memandang mission terutama sebagai alat
strategi, suatu disipline ilmu yang mengartikan aspek business rationale dan target market. Ini untuk
menjawab dua pertanyaan utama : Apa bisnis utama kita dan mengapa harus ada ?

Disisi lain, pandangan kedua mengartikan mission adalah sebagai lem perekat “cultural glue” yang
memungkinkan suatu organisasi untuk berfungsi sebagai suatu unit utuh yang berjalan bersama (collective
unity). Lem perekat ini terdiri dari norma norma yang kuat dan nilai nilai yag mempengaruhi bagaimana
orang orang berperilaku, bagaimana mereka bekerja bersama dan bagaimana mereka mengejar tujuan
dari organisasi. Dibanding pandangan pertama, pandangan kedua ini juga melihat dari aspek emosional
dari organisasi. Campbell percaya bahwa teori teori ini dapat disintesiskan kedalam satu satu deskripsi
yang komprehensif mengenai pengertian Mission. Campbel juga percaya bahwa kerancuan atas
pemahaman Mission juga terjadi karena kegagalan untuk memahami bahwa mission adalah suatu hal
yang terkait atas aspek hati (budaya) dan pikiran (strategi) dari karyawan. Campbell juga lalu membuat
rerangka yang menjelaskan pengertian tentang mission yang terdiri dari empat elemen utama, Purpose,
strategy, behavioural standard, dan values. Mission yang kuat tercipta tatkala keempat elemen tersebut
ada dan saling terikat kuat satu sama lain, saling bergema dan memperkuat satu sama lain.

Gambar 1 : Ashridge Mission Model


PURPOSE Pertanyaan intinya adalah “ Why do we exist ?
Terdapat banyak jawaban namun terdapat tiga kategori utama yaitu :
a. Untuk kepentingan shareholder.
b. Untuk memenuhi kepentingan para stajeholder.
c. Higher ideal, tidak hanya untuk kepentingan shareholder dan stakeholder,
namun juga dimana para stakeholder akan merasa bisa berkontribusi dan
bangga dengan kehadirannya.

STRATEGY Strategy menyediakan commercial logic untuk perusahaan. Strategi akan menetapkan
di bisnis apa perusahaan akan berada dan bersaing, posisi yang akan dicapai
perusahaan di dalam bisnis dan kompetensi yang membedakan atau keunggulan
kompetitif yang harus dimiliki perusahaan.

BEHAVIOUR Purpose dan Strategi hanyalah akan sia sia apabila tidak diterjemahkan menjadi aksi,
STANDARD kedalam policy dan ke dalam petunjuk perilaku yang akan membantu orang apa yang
akan dilakukan dalam aspek basis secara harian.

VALUES Value adalah kepercayaan dan prinsip moral yang berada di balik budaya perusahaan.
Value memberikan arti kepada norma norma dan standar perilaku di perusahaan
dan menjadi otak kanan dari organisasi.
Commercial rationale (otak kiri) adalah mengenai strategy dan jenis perilaku yang
akan membantu perusahan untuk mengalahkan pesaing nya di arena . Sementara
aspek emosional, moral dan etika ( otak kanan), adalah tentang value dan jenis
perilaku apa yang secara etis benar memperlakukan oramg lain, dan cara yang benar
untuk berperilaku dan besikap di masyarakat pada umumnya.

A sense of mission adalah suatu komitmen emosi yang dirasakan oleh orang terhadap suatu mission
perusahaan. Ini terjadi ketika terdapat kecocokan nilai value diperusahaan dengan yang ada di orang
tersebut (value match). Emotional commitment muncul ketika perorangan mengidentifikasikan value dan
behaviour yang berada didalam suatu rencana merubah strategi menjadi mission dan kesepakatan
intelektual terhadap sense of mission. Mengapa penting untuk mengenali tingkat kematangan personal
dengan senses of mission karena dua alasan, pertama tidak ada organisasi yang bisa percaya 100% seluruh
pegawainya memiliki sense of mission. Kedua proses rekrutmen yang sangat penting. Nilai orang tidak
berubah ketika merubah / pindah perusahaan. Dengan merekrut orang dengan value yang saling
compatible, maka perusahaan akan dengan mudah dengan cepat mencapai sense of mission.
Penting untuk membedakan antara mission dan sense of mission karena sering para managers keliru
dalam mengartikan keduanya. Mission adalah konsep intelektual yang dapat didiskusikan dan dianalisis
tanpa aspek emosional. Seperti halnya strategi, mission adalah sekumpulan istilah/ kalimat yang dapat
dipergunakan untuk menjadi petunjuk bagi policy dan perilaku di perusahaan. Namun demikian mission
merupakan konsep yang lebih besar dibandingkan strategi. Mission mencakup strategi dan budaya.
Sense of mission bukanlah sebuah konsep intelektual. Lebih merupakan aspek emossional dan perasaan
personal yang mendalam. Seiring dengan waktu jumlah pegawai dengan sense of mission yang tinggi
akan meningkat seiring dengan kebijakan dari sebuah mission telah diimplementasikan dan melekat ke
dalam budaya perusahaan.

Visi Mission Strategic Intent


A central concept of the theory in Envision a desired leadership position
leadership, a mental image of a and establishes the crieterion the
possible and desirable future state of organization will use to chart its
the organization. progress
A vision articulates view of a realistic, To answer What business are we in
credible, attractive future for the and what strategic position do we
organization, a condition that is better seek ?
in some important ways than what
now exist
Refer to a future state, a condition Refer to the present… Less powerful concept than mission,
that is better… than now exist exclude with the values and
behavioural standards,
More associated with with a goal, More associated with a way of Focus on organization atentions to
behaving the essence of winning, motivating
people by communicating the value of
target, guide resource allocations
Ketika visi tercapai, sebuah visi baru Sebuah mission bisa tetap saja Ketika tercapai, maka perusahaan
harus disiapkan lagi sama, bisa akan jadi kehilangan arah,
Vision must not be too ambitious and Mission is much more timeless
unrealistic, shall be achievable in 5-10 concept
years to come

Di era saat ini yang penuh perubahan sebuah mission baru akan sulit dibedakan dengan sebuah visi
karena mission yang baru akan menjadi mental image atas sebuah kondisi yang diharapkan dimasa
depan. Maka tidak menjadi penting sebuah perbedaan pandangan tersebut, akan tetapi ada dua hal
perludiperhatikan,yaitu :

1. Sebuah visi akan mulai kehilangan kekuatannya ketika telah tercapai,


2. Apabila sebuah visi sangatlah ambisius maka sedemikian akan sangat sulit tercapai dalam lima
atau sepuluh tahun ke depan, maka ia akan kehilangan kekuatanya untuk bisa memberikan
sumber motivasi dan inspirasi.

Mission planning dapat dilakukan oleh manager sama dengan cara menjalankan strategic planning.
Bahkan strategic planning adalah bagian /subset dari mission planning. Mission planning adalah dimana
strategy, organisasi dan aspek sumber daya manusia menjadi satu. Banyak kegagalan dari suatu strategi
adalah karena sebuah strategi itu gagal membangun value dan behaviour standard yang sudah ada di
dalam suatu organisasi dan mereka tidak menginsipirasi level emosi para managers dan karyawan yang
sebenarnya diharapkan menjalankannya sehari hari. Mission planning melebihi strategic planning dalam
tiga aspek :

1. Melakukan analisis nilai nilai value karyawan dan perilaku organisasi dalam menghadapi
perubahan yang terjadi.
2. Mission planning fokus kepada mengidentifikasi standar perilaku yang merupakan elemen pokok
dalam implementasi strategi dan symbol dari sistem nilai yang baru.
3. Mendorong diskusi komitmen organisasi kepada para pemangku kepentingan dan pada level yang
lebih tinggi.
Sesi 3
Artikel 2 – Building Your Own Company’s Vision

Perusahaan yang sukses adalah perusahaan yang memiliki core values dan core
purpose yang tetap sama sementara strategi bisnis dan praktiknya tanpa henti beradaptasi
kepada dunia yang berubah.
Kemampuan untuk memanajemen apa yang seharusnya berubah dan tidak berelasi
ketat dengan kemampuan untuk mengembangkan visi. Visi memberikan arahan tentang apa
inti yang harus dipertahankan dan masa depan apa yang harus dirangsang untuk maju ke
depan.
Visi sudah menjadi salah satu kata paling sering digunakan dan paling sedikit dipahami
Visi yang disusun dengan baik memiliki dua komponen penting, yaitu: core ideology
dan envisioned future.

core ideology mendefinisikan apa yang kita perjuangkan dan kenapa kita ada dan bertujuan
untuk memberikan arahan dan inspirasi
Para pembuat perusahaan besar mengerti bahwa: lebih penting bagi kita untuk
mengetahui siapa dirimu daripada kemana kamu akan pergi, karena kemana kamu akan pergi
akan berubah seiring perubahan dunia di sekitarmu
Core ideology memberikan lem “glue” yang menahan/mempertahankan organisasi
bersama selama organisasi berkembang, desentralisasi, diversifikasi, ekspansi dan
mengembangkan diversity
Visi yang efektif harus mewujudkan core ideology dari organisasi, yang terdiri dari dua
bagian: core values dan core purpose
Core values adalah prinsip penting dan abadi dari suatu organisasi. Core values tidak
membutuhkan justifikasi eksternal, dia memiliki nilai yang Hakiki dan penting untuk anggota
organisasi
Tidak ada kebenaran secara universal
Perusahaan besar tidak perlu memiliki core values yang menyenangkan/disukai atau
humanistic, walaupun banyak yang melakukannya. Kuncinya adalah bukan apa core values
yang dimiliki organisasi tersebut tetapi organisasi memiliki core values
Jumlah core values tidak lebih dari lima. Berdasarkan hasil riset tidak semua nilai itu
benar-benar core values. Lalu bagaimana cara mengidenftifikasi core values?
Yang perlu diingat adalah core values harus tahan pada ujian terhadap waktu
Kita bisa mengetahui dengan cara mempertanyakan masing-masing nilai tersebut,
apakah kita akan mempertahankan nilai tersebut jika keadaan berubah dan memberikan
kerugian kepada kita? Jika jawabannya tidak, maka nilai tersebut bukanlah core values.
Karena core values tidaklah dirubah karena keadaan pasar, tetapi justru membuat kita
merubah pasar jika diperlukan untuk mempertahankan core values
Kita juga bisa melakukan mars group. Kondisi dimana kita diminta untuk menciptakan
ulang atribut-atribut terbaik dari organisasi di planet lain, dengan roket yang hanya mampu
menampung lima sampai tujuh orang. Siapa yang akan kita bawa? Kemungkinan besar kita
akan memilih orang yang memiliki pemahaman sangat dalam akan core values, orang yang
memiliki tingkat kredibilitas paling tinggi dengan rekannya dan orang dengan tingkat
kompetensi yang paling tinggi
Untuk mendapatkan orang yang mengerti sangat dalam tentang core values
oraganisasi, bisa dilakukan dengan menanyakan core values apa yang akan kamu bawa ke
pekerjaan secara personal?
Core Purpose adalah alasan organisasi untuk berada. Tujuan yang efektif
merefleksikan motivasi idealis dari orang-orang untuk melakukan pekerjaan organisasinya.
Core Purpose memiliki rentang pencapaian yang sangat panjang, bisa sampai 100 tahun
berbeda dengan goal yang bisa berubah sangat banyak dalam jangka waktu sepanjang 100
tahun. Dengan tujuan utama adalah untuk mengarahkan dan menginspirasi.
Salah satu metoda untuk mendapatkan core purpose adalah dengan melakukan five
whys. Dimulai dengan mendeskripsikan statement terkait kita membuat produk x atau
menghasilkan layanan X, kemudian tanya kenapa hal itu penting sebanyak lima kali. Metoda
ini membantu perusahaan di industri manapun menciptakan pekerjaannya di cara yang lebih
bermakna
Metoda lain yang bisa digunakan untuk mendapatkan core values yang didasari lebih
daripada memaksimalkan kesejahteraan shareholder dengan melakukan random corporate
serial killer. Dengan cara membuat simulasi dimana seseorang akan melakukan apapun dan
menjaminkan yang terbaik untuk sdm di perusahaan, tetapi akan menghancurkan
brand/produk/operasional perusahaan tersebut. apakah anda akan menjualnya?
Metoda selanjutnya adalah dengan memberi pertanyaan kepada mars group,
bagaimana kita membingkai tujuan dari organisasi sehingga saat kita terbangun besok dengan
cukup uang untuk pension kita akan tetap bekerja disini?
Menemukan Core Ideology
Kamu tidak membuat atau menentukan core ideology, tetapi kamu menemukan core
ideology. Core ideology tidak dapat disimpulkan dengan melihat lingkungan luar, kita harus
memahaminya dengan melihat internal kita. Ideology harus autentik. Apa yang harus
dipertanyakan adalah core values apa yang kita benar-benar dan dengan penuh semangat
dipertahankan?
Core ideology harus bermakna dan menginspirasinya hanya kepada orang di dalam
organisasi. Maka dari itu core ideology bisa digunakan untuk menentukan siapa yang cocok
didalam organisasi dan tidak
Intinya adalah untuk tidak menciptakan statement yang sempurna tetapi untuk
mendapatkan pemahaman yang dalam tentang core values dan purpose dari organisasi yang
bisa dieksperikan dengan cara yang banyak.
Jangan campur terbingungkan antara core ideology dengan konsep core competence.
Core competencies harus searah dengan core ideology perusahaan dan sering berakar di
dalamnya.
IT IT’S NOT CORE, CHANGE IT
envisioned future adalah apa yang kita cita citakan untuk jadi, untuk mencapai, untuk
membuat sesuatu yang membutuhkan perubahan signifikan dan proses untuk mencapainya
10-to-30-year audacious goal
BHAG (Big, Hairy, Audacious, Goals) atau bold missions digunakan sebgai stimulus
yang kuat untuk mendapatkan kemajuan. BHAG yang bagus adalah yang jelas dan menarik,
berfungsi sebagai titik fokus dan bertindak sebagai sebagai katalis untuk semangat tim. BHAG
memiliki tujuan yang jelas.
Vivid Description, memberikan deskripsi bagaimana organisasi akan menjadi saat
mencapai BHAG secara menarik, bersemangat dan spesifik. Dimana gairah, emosi dan
keyakinan menjadi bagian yang esensial.
Jangan sampai tertukar antara core ideology dengan envisioned future dan core
purpose dengan BHAG. Core purpose bukanlah tujuan yang spesifik tetapi alasan kenapa
organisasi ada dan tidak akan bisa diselesaikan, BHAG tujuan yang diartikulasikan dengan jelas
dan bisa diselesaikan dalam jangka waktu 10-30 tahun. Mengidentifikasi core ideology adalah
sebuah proses penemuan tetapi mengatur envisioned future adalah proses kreatif.
Resume Session 3
Hamel, G.,&Prahalad, C. K.1989. Strategic Intent. Harvard Business Review. May-June pg.63-77.
Strategic Intent
1. The new global competitors approach strategy from a perspective that is fundamentally
different from that which underpins West Management thought.
2. Few Western companies have enviable track record anticipating the moves of new global
competitors. Why? The explanation begins with the way most companies have approached
competitor analysis.
3. Typically, competitor analysis focuses on existing resources (human, technical and financial)
of present competitors. The only companies seen as a threat are those with the resource to
erode margins and market share in next period.
4. Traditional competitor analysis is like snapshot of a moving car. By itself, the photograph
yields little information about the car’s speed or direction.
5. Many managers have learned that a business’s initial resource endowment (whether
bountiful or meager) is unreliable predictor of future global success.
6. The lesson: assessing the current tactical advantages of known competitors will not help you
understand the resolution, stamina and inventiveness of potential competitors.

What is Strategic Intent?

7. Companies that have risen to global leadership over the past 20 years invariably began with
ambitions that were out of all proportion to their resource and capabilities. But they created
an obsession with winning at all level of the organization and then sustained that obsession
over 10-20 year quest for global leadership. We term this obsession “strategic intent”.
8. Strategic Intent envision a desired leadership position and establishes criterion the
organization will user to chart its progress. Komatsu set out to ‘Encircle Caterpillar’, Canon
sought to ‘Beat Xerox’, Honda strove to become a second Ford-an automotive pioneer. All
expressions of Strategic Intent.
9. Strategic Intent, not only about ambition, it’s also encompasses an active management
process that includes: focusing the organization’s attention on the essence of winning;
motivating people by communicating the value of the target; leaving room for individual and
team to contributions; sustaining enthusiasm by providing new operational definitions as
circumstances change; and using intent consistently to guide resource allocation.
10. Strategic Intent provides consistency to short-term action, while leaving room for
reinterpretation as new opportunities emerge.
11. Strategic Intent sets a target that deserves personal effort and commitment. Strategic Intent
gives employees the only goal that is worthy of commitment: to unseat the best or remain
the best, worldwide.

Strategic Planning v Strategic Intent

12. Many companies are more familiar with strategic planning than they are with strategic
intent. Global leadership is an objective that lies outside the range of planning. Companies

Page 1 of 4
that are afraid to commit to goals that lie outside the range of planning are unlikely to
become global leader.
13. Strategic Planning is billed as a way of becoming more future oriented, most managers,
when pressed will admit that their strategic plans are reveal more about today’s problem
than tomorrow’s opportunities.

Creativity & Innovation in Strategic Intent

14. Strategic Intent is clear about ends, it is flexible as to means—it leaves room for
improvisation. Achieving Strategic Intent requires enormous creativity with respect to
means. But this creativity comes in the service of clearly prescribed end.
15. Whereas the traditional view of strategy focuses on the degree of fit between existing
resource and current opportunities, Strategic Intent creates extreme misfit between
resource and ambitions. Top management then challenges the organization to close the gap
by systematically building new advantage.
16. Corporate challenges come from analyzing competitors as well as foreseeable pattern of
industry evolution.
17. Companies that set corporate challenges to create new competitive advantages, requires
top management to:
a. create sense of urgency or quasi crisis
b. develop a competitor focus at every level through widespread use of competitive
intelligence
c. provide employee with the skills they need to work effectively
d. give the organization to digest one challenge before launching another
e. establish clear milestones and review mechanism
18. The challenge will take root only if senior executives and lower level employee feel
reciprocal responsibility for competitiveness. Reciprocal responsibility mean shared gain and
shared pain. One-sided approach to regaining competitiveness keeps many companies from
harnessing (mengekang) the intellectual horsepower of their employees.
19. An organization’s capacity to improve existing skills and learn new ones is the most
defensible competitive advantage of all.
20. To achieve Strategic Intent, managers cannot simply by playing better the same game, they
must fundamentally change the game in ways that disadvantage incumbents devising novel
approaches to market entry, advantage building and competitive warfare.
21. For smart competitors the goal is not competitive imitation but competitive innovation. Four
approaches to competitive innovation are evident in the global expansion of Japanese
companies. These are:
a. building layer advantage the wider a company’s portfolios of advantages, the less
risk it faces in competitive battle.
b. searching loose bricks exploits the benefit of surprise.
This begin with a careful analysis of the competitor’s conventional wisdom: how
does the company define its ‘served market’? What activities are most profitable?
Which geographical are too troublesome to enter?

Page 2 of 4
The goal of this analysis is to get an uncontested profit sanctuary which could be a
particular product segment (low-end segment in motorcycle), a slice of the value
chain (components in computer industry) or geographic market (Eastern Europe)
c. changing the terms of engagement refusing to accept the front runner’s
definition of industry and segment boundaries.
Competitors that tried to match front runner business system had to pay the same
entry costs—the barrier to imitation were high. But innovative competitor
dramatically reduced the barrier to entry by changing the rules of the game.
d. competing through collaboration through licensing, outsourcing and joint
ventures it is possible to win without fighting.
For example, Matsushita in 1980 established JV with Thorn, Telefunken and
Thomson which quicly multiply the forces to against Philips in VCR business in
Europe.
Another goals of this strategy are to hijacking the development efforts of potential
rivals. Japanese competitor attack TV industry by voluntarily manufacture ‘next
generation’ of products like VCR so the rivals ratchet down development spending.
Collaboration can also be used to calibrate competitors’ strength and weaknesses.
22. Strategic Intent assures consistency in resource allocation over long term. Clearly articulated
corporate challenges focus the efforts of the individuals in the medium term. Finally
competitive innovation helps reduce competitive risk in the short term. These are process to
winning, so there is a process of surrender. Revitalization requires to understanding that
process too.

Page 3 of 4
Strategic Intent It’s About Going Global

23. Most of the tools of strategic analysis are focused domestically. So the result is predictable:
as business come under attack from foreign competitors.
24. Few companies with strong SBU orientation have built successful global distribution and
brand position.
25. General Electric’s (GE) has been unknown in Europe and Asia, GE made no coordinated
effort to build global corporate franchise. In contrast, smaller companies like Samsung and
Daewoo are busy building global brand umbrella that will ease market entry for a whole
range of business.
26. Economies of scope may as important as Economies of scale in entering global market, but
capturing Economies of scope demands inter-business coordination that only top
management can provide.
27. Inflexible SBU-type organization have also contributed to deskilling of some companies.

Substantive Knowledge of The Manager


28. The concept of the general manager as a movable peg reinforce the problem of
denominator management. GE for example, one fast-track manager had moved across five
business in five years. His series of successes finally come to an end when confronted a
Japanese competitor whose manager had been plodding along in the same business for
more than decade.
29. Fast-track manager are unlikely to develop the deep business knowledge, they need to
discuss technology option, competitors’ strategies and global opportunities substantively.
Fast-track manager are gravitate to discuss about “the numbers”. This behavior is making
competitive innovation unlikely.

Strategy Hierarchy

30. Strategy hierarchy, where Senior Management makes strategy and lower levels execute it.
This strategy undermines competitiveness by fostering an elitist view management that
tends to disfranchise most of the organization. Employee fails to identify with corporate goal
or involve themselves in the work of becoming more competitive.
31. Difficulties in embedding new capabilities are typically put down to “Communication”
problem. The new program would quickly take root if only middle management would get
the message straight.
32. In contrast Japanese companies win, not because they have smarter manager but they have
developed ways to harness the “wisdom of the anthill”. They realize that top manager like
astronaut who circle the earth in the space, it may be the astronaut get all the glory, but
everyone knows that the real intelligence behind the mission is located firmly on ground.
33. Where strategy formulation is elitist activity it is also difficult to produce truly creative
strategies.
34. The goal of the Strategy Hierarchy remain valid—to ensure consistency up and down of the
organization. But this consistency is better derived from a clearly articulated Strategic Intent
than from inflexibly applied top-down plans.

Page 4 of 4
Demystifying the Development of an Organizational Vision

Modal investasi Sonoma adalah model organisasi. Para mitra yang memimpin
perusahaan kecil namun sangat sukses itu bertekad untuk menciptakan kembali investasi
budaya perbankan. Mereka ingin menciptakan tempat di mana keputusan efektif tetapi
dibuat dengan konsensus, komunikasi yang berjalan secara bebas, potensi karir setiap
karyawan dikelola dengan hati-hati, dan tidak adanya aturan berpakaian formal. Pada
pertemuan di seluruh perusahaan, mitra senior mengakui perlunya mendefinisikan visi yang
lebih formal dan memastikan bahwa visi tersebut akan dikembangkan.

Niat terbaik dari beberapa organisasi dapat dilebih-lebihkan ketika pekerjaan


mendefinisikan visi dimulai. Dengan memulai dengan papan tulis yang kosong, proses visi
perusahaan bisa tampak menakutkan dan menyebabkan frustras. Sonoma tidak sendirian
dalam kebutuhannya untuk menyelesaikan teka-teki visi organisasi.

Mengklarifikasi sebuah visi dan mengkomunikasikannya kepada semua orang dapat


memiliki hasil yang baik. Pengalaman sonoma menggambarkan, kebutuhan akan suatu visi
tidak selalu mengarah pada satu, dan, dalam terlalu banyak organisasi, proses yang kurang
dipahami atau dikelola dengan buruk dapat mengarah pada suatu visi yang lebih buruk
daripada tidak sama sekali.

Mengapa repot dengan Visi?

Sifat perilaku utama yang paling sering mereka sebutkan adalah bahwa CEO
menyampaikan "rasa visi yang kuat". 98 persen melihat sifat itu sebagai yang paling penting
untuk tahun 2000. Dengan kata lain, manajer tidak hanya membutuhkan visi tetapi juga
rencana untuk menerapkannya. Lebih dari 90 persen manajer melaporkan kurangnya
kepercayaan terhadap keterampilan mereka sendiri dan kemampuan untuk memahami suatu
visi untuk unit organisasi mereka.

Manajer yang mengembangkan dan mengkomunikasikan visi dengan terampil dapat


membuat dampak organisasi yang mendalam. Data suara sekarang mendukung daya tarik visi
yang intuitif. Mengelola dengan visi dapat menguntungkan organisasi dalam lima cara:

1. Visi meningkatkan jangkauan luas pengukuran kinerja.


2. Visi mempromosikan perubahan. Visi berfungsi sebagai peta jalan bagi perusahaan
saat mereka bergerak melalui perubahan yang dipercepat. Kurangnya visi adalah
mengapa upaya transformasi organisasi sering gagal. Penggunaan visi sebagai alat
manajemen adalah penentu yang paling signifikan untuk memudahkan transisi dari
birokrasi ke organisasi yang fleksibel. Visi bersama dapat menyemangati orang dengan
menghubungkan mereka dengan tujuan organisasi atau pemulihan.

Bahkan perubahan budaya yang sukses bisa terjadi sangat lambat, tetapi ketika visi
menjadi kendaraan untuk mendorong perubahan, kecepatan meningkat. Banyak organisasi
yang goyah dan para pemimpin mereka berbagi ketidakmampuan untuk menyesuaikan diri
dengan dunia yang secara radikal diubah oleh kerangka waktu yang runtuh. Mereka tidak
mencoba melihat ke masa depan, dan karena mereka tidak memiliki visi, mereka tidak dapat
menetapkan jalan yang mantap untuk mempersiapkannya. Menurut definisi, visioner melihat
perlunya perubahan terlebih dahulu.

3. Visi memberikan dasar untuk rencana strategis. Sebaliknya, perencanaan strategis


tidak dapat memberikan visi sendiri dan sama sekali tidak berguna tanpa itu. Suatu
rencana tidak harus dihasilkan dari perencanaan formal. Namun, rencana yang
disusun sebagai visi, meskipun dikomunikasikan dalam citra, dapat membuktikan
insentif yang jauh lebih besar untuk bertindak.
4. Sebuah visi memotivasi individu dan memfasilitasi rekrutmen bakat. Ketika nilai-nilai
manajer jelas bagi mereka yang bekerja dengan mereka, organisasi mendapat
manfaat dari peningkatan tingkat kebanggaan dan motivasi karyawan, yang pada
gilirannya, berarti peningkatan kinerja.
5. Visi membantu menjaga pengambilan keputusan. Visi memberikan fokus dan arahan.
Dalam organisasi tanpa visi orang-orang terpapar pada peluang-peluang jangka
pendek yang mungkin mereka rasakan tanpa henti. Tanpa fokus, organisasi mungkin
tidak akan pernah mengembangkan kompetensi yang kuat.

Apa itu visi?

Visi harus fokus pada masa depan dan berfungsi sebagai landasan konkret bagi
organisasi. Tidak seperti tujuan dan sasaran, suatu visi tidak berfluktuasi dari tahun ke tahun
tetapi berfungsi sebagai janji abadi. Sebuah visi harus memberi orang perasaan bahwa hidup
dan pekerjaan mereka saling terkait dan bergerak menuju tujuan yang dapat dikenali dan sah.
Pernyataan visi tidak diperlukan, tetapi memenuhi dua fungsi yang bermanfaat. Pertama, ini
menyederhanakan fase perencanaan untuk mendefinisikan visi.

Vision = mission + strategy + culture

Jika suatu organisasi diakui sebagai tempat yang menarik untuk bekerja, akan ada kesamaan
dalam visi perusahaan. Analisis tersebut mengungkapkan bahwa visi organisasi yang sangat
efektif ini mengomunikasikan tiga pesan atau tema utama: misi atau tujuan, strategi untuk
mencapai misi, dan unsur-unsur budaya organisasi yang tampaknya diperlukan untuk
mencapai misi dan mendukung strategi.

Mission

Banyak pernyataan visi yang berhasil mendefinisikan misi yang dimulai dengan
mengidentifikasi pemangku kepentingan dan mendefinisikan apa yang mereka harapkan dari
organisasi atau departemen. Sebuah misi harus menarik bagi konstituensi pemangku
kepentingan seluas mungkin dan lebih tinggi di atas kepentingan kelompok pemangku
kepentingan tunggal mana pun.

Strategy

Strategi mendefinisikan bisnis di mana perusahaan bersaing dan kompetensi khas atau
keunggulan kompetitif yang saat ini dimiliki atau rencananya akan dikembangkan. Jelas,
pernyataan visi tidak dapat memasukkan semua detail dari strategi tertentu, tetapi itu harus
menyoroti elemen yang mengidentifikasi strategi yang unik. Karena harus membedakan
organisasi atau departemen, karena hal tersebut tidak dapat dipinjam dari orang lain.

Culture

Nilai tertinggi dari visi sebagai alat manajemen dirusak jika visi itu tidak lebih dari pernyataan
tujuan dan strategi untuk sampai kesana. Tujuan strategi tidak memiliki kekuatan untuk
meningkatkan kinerja kecuali jika mereka dapat dikonversi menjadi tindakan, kebijakan dan
pedoman perilaku yang berhubungan dengan pekerjaan. Ciri khas yang lazim bagi perusahaan
adalah intensitas pengelolaan budaya mereka.
Why do visions fail?

Visi bisa gagal karena manajer senior bingung tentang apa yang dibutuhkan oleh visi untuk
berkomunikasi; motivasi datang dari bawah ke atas; tingkat kebingungan, konflik, dan
frustrasi yang dialami para manajer sejak awal sudah cukup untuk mengesampingkan
motivasi dan momentum awal; konflik dalam proses itu mengejutkan banyak manajer,
terutama mitra senior.

The walk doesn’t match the talk

Visi yang idealistik dapat meningkatkan harapan karyawan, tetapi harapan yang sama akan
hilang ketika mereka bahwa perilaku manajemen senior tidak konsisten dengan visi tersebut.
Tanpa ide-ide substantif dan program konkret untuk memastikan bahwa perilaku konsisten
dengan visi, kata-kata hampa dengan cepat menjadi lelucon yang selalu menjadi bumerang
bagi pemimpin yang ditunjuk sendiri.

Irrelevance

Visi yang dibuat dalam ruang hampa dapat mengabaikan kebutuhan mereka yang diharapkan
untuk mengikutinya. Visi berwujud yang dapat dihubungkan dan dikomitmenkan orang
didasarkan pada pembelajaran yang diperoleh manajer dari data lunak. Informasi ini sulit
diperoleh jika manajer bertengger di atas hierarki dan tidak berbicara dengan orang-orang di
tingkat lain.

Not the holy grail

Lanskap sejarah profesi manajemen dipenuhi oleh sisa-sisa kepercayaan dan teknik yang
dimulai sebagai ide yang baik dan berakhir sebagai agama manajerial. Manajer terus mencari
solusi yang sulit dipahami yang akan menyelesaikan masalah organisasi mereka, andalan
manajemen berikutnya. Visi mendukung manajemen yang baik, tetapi mereka mengharuskan
semua orang untuk berbicara dan bertanggung jawab atas perilaku mereka. Visi tidak boleh
dipandang sebagai obat ajaib untuk penyakit organisasi.

Lack of a creative process

Mengembangkan visi bisa menjadi prosedur yang tidak tepat, membuat frustrasi, dan
menjemukan, yang sama sekali tidak seperti cara orang di sebagian besar organisasi
berkomunikasi dan membuat keputusan sehari-hari. Prosesnya kreatif dan sering kacau,
membutuhkan banyak iterasi. Proses yang jujur akan menjadi pengalaman yang
menenangkan tetapi menyegarkan.

Conclusion

Karena visi tidak dimaksudkan untuk menjadi segalanya bagi semua orang, visi dengan
konsensus adalah proses kontraproduktif. Setelah visi selesai dan dikomunikasikan, setiap
individu harus bertanya apakah dia dapat berkomitmen untuk itu. Visi harus memiliki daya
tarik yang luas, bukan proposisi satu ukuran untuk semua. Keputusan sulit sepanjang proses
visi tidak terbatas hanya pada pengembangan pernyataan visi.
Developing a Mission for a Diversified Company

 Misi perusahaan berfungsi untuk membimbing dan fokus pada upaya diversifikasi menuju strategi
yang ditentukan ruang lingkup perusahaan, lalu dalam bentuk apa seharusnya misi perusahaan
terdiversifikasi diambil?
 Pernyataan misi berfungsi untuk mengatur konteks organisasi dimana keputusan strategis akan
terbuat.
 Pernyataan misi adalah kekuatan, sebagai penuntun utama yang mengatur dimana sumber daya
utama perusahaan akan digunakan
 Dalam bentuk yang paling sederhana, pernyataan misi menggambarkan sifat dan konsep masa
depan bisnis perusahaan.
 Pernyataan misi perusahaan menjawab pertanyaan “apa bisnis kita?”. Dalam mendefinisikan
bisnis perusahaan, tujuan dasar, karakteristik dan membimbing filosofi, pernyataan misi
perusahaan membantu perusahaan dengan fokus dan strategis.

Komponen pernyataan misi

 Berbagai pendekatan telah diusulkan, misalnya Abell menyarankan pertanyaan “Apa bisnis kita?”
dapat dijawab dalam 3 dimensi yaitu :
o Kelompok pelanggan seperti apa yang dipuaskan
o Kebutuhan pelanggan terpuaskan
o Bagaimana kebutuhan pelanggan terpuaskan
 Komponen utama pernyataan misi
o Tujuan
o Prinsip bisnis
o Identitas perusahaan
o Kebijakan perusahaan
o Nilai-nilai perusahaan
 Kotler menyarankan bahwa misi harus dinyatakan dalam 5 faktor kunci:
o Sejarah perusahaan
o Preferensi saat ini manajemen dan pemilik
o Pertimbangan lingkungan
o Sumber daya yang tersedia
o Kompetensi khusus perusahaan
 Pearce mengidentifikasi 8 komponen utama pernyataan misi meliputi
o Targetkan pelanggan dan pasar
o Produk dan layanan utama
o Domain geografis
o Teknologi inti
o Komitmen untuk bertahan hidup, pertumbuhan dan profitabilitas
o Elemen-elemen kunci dalam filosofi perusahaan
o Konsep diri perusahaan
o Citra public yang diinginkan perusahaan
Perbedaan konteks strategis

 Seorang peneliti bernama Campbell berkonsultasi dengan beberapa perusahaan dan dia
menyimpulkan perusahaan dimungkinkan untuk membuat misi tunggal untuk perusahaan multi
bisnis hanya selama tingkat keanekaragamannya tetap rendah.
 Wright, Pringle dan Kroll membedakan misi di tingkat perusahaan dan di unit bisnis. Misi di tingkat
perusahaan harus dinyatakan secara luas sementara itu masih memberikan pengarahan kepada
perusahaan. Di tingkat bisnis, misi menjadi lebih jelas dan lebih sempit cakupannya.

Tingkat diversifikasi

 Produk tunggal: perusahaan yang komitmen utama adalah untuk satu bisnis
 Produk dominan: memiliki mitigasi pada satu bisnis tetapi telah sedikit terdiversifikasi
 Perusahaan terdiversifikasi terkait telah melakukan diversifikasi ke area baru yang terkait dengan
akhir-produk utama oleh pasar dan teknologi
 Perusahaan diversifikasi tidak terkait yaitu telah melakukan diversifikasi ke area baru tanpa
memperhatikan pasar atau teknologi yang berhubungan dengan produk utama

Cara kerja dalam praktek

 Pelanggan: spesfikasi pelanggan adalah target utama pasar dimaksudkan untuk melayani segmen
pelanggan tertentu, dengan demikian perusahaan dapat mendefinisikan diri dan menentukan
hubungan arah strategis masa depan untuk pelanggan tersebut.
 Produk atau layanan: Pearce menyatakan bahwa produk atau layanan dasar perusahaan
merupakan komponen yang tidak dapat dipisahkan dari pernyataan misi. Pentingnya elemen
produk untuk semua perusahaan juga sebagai identitas perusahaan yang membedakam dengan
perusahaan pesaing.
 Domain geografis: domain geografis perusahaan pada pernyataan misi diharapkan berbeda di
setiap tingkat diversifikasi yang berbeda. Perusahaan yang melakukan bisnis internasional
merasa lebih bermanfaat untuk mengidentifikasi geografis pasar mereka.
 Teknologi: Elemen teknologi lebih jarang termasuk dalam pernyataan misi daripada elemen misi
yang lain.

Komitmen untuk bertahan, bertumbuh, dan profitabilitas

 Kelangsungan hidup, pertumbuhan dan profitabilitas menjadi andalan dan tujuan dari hampir
setiap organisasi bisnis. Tiga dari empat perusahaan yang bergerak di bidang lembaga keuangan
dengan empat perbedaan (perusahaan produk tunggal, perusahaan produk dominan, perusahaan
diversifikasi terkait dan perusahaan diversifikasi tidak terkait) menyatakan komitmen mereka
terhadap tujuan ekonomi, meskipun tidak sejelas dan sepenuhnya, hal ini juga berlaku pada
industry lain.

Filosofi perusahaan

 Elemen filosofi perusahaan menentukan dasar kepercayaan, nilai-nilai, aspirasi dan prioritas
filosofis dari perusahaan. Karena nilai-nilai ini mencerminkan kode etik perilaku yang mengatur
tindakan bisnis.
Citra Diri

 Citra diri perusahaan mencerminkan penilaian diri atas komitmen kekuatan dan kelemahan
perusahaan. Kemampuan perusahaan untuk melakukan diagnose diri yang realistis sangat
penting sebagai kunci sukses terlepas dari kerumitan diversifikasi. Perusahaan dengan strategi
diversifikasi tidak terkait lebih cenderung memasukkan pernyataan membongkar kekuatan serta
kelemahan kompetitif (citra diri) dari perusahaan diversifikasi terkait, atau produk dominan. Salah
satu alasan dari kontradiksi ini adalah perusahaan diversifikasi tidak terkait mencoba untuk
mengimbangi kerugian dari “tidak terkaitnya” bisnis mereka dengan secara tegas menyatakan
serta menarik perhatian dengan keunggulan kompetitif mereka.

Citra Publik

 Elemen misi citra public membahas kualitas yang dikaitkan perusahaan dengan pelanggan,
pemasok, kreditor, dan entitas eksternal lainnya. Pencantuman citra public yang diinginkan
perusahaan dalam misinya memberikan pernyataan kepada pihak luar untuk ke depannya agar
tetap setia terhadap produk perusahaan

Kepedulian terhadap karyawan

 Kepedulian terhadap elemen misi karyawan diakui menajdikan karyawan perusahaan sebagai
asset berharga untuk pencapaian tujuan organisasi. Perusahaan diversifikasi tidak terkait lebih
mungkin memasukkan fokus penting karyawan daripada perusahaan produk tunggal.

Menulis misi yang efektif

 Proses dalam membuat pernyataan misi yang efektif melibatkan identifikasi komptensi khusus
perusahaan, identifikasi faktor eksternal yang penting dan konstituensi (pemilih) yang ada
diharapkan berdampak pada perusahaan serta identifikasi tujuan dan aspurasi organisasi. Di
banyak perusahaan proses penciptaan misi dilakukan oleh tim manajemen, sehingga membangun
dialog yang bernilai dan membangun konsesus (pemufakatan) antar anggota tim. Pernyataan misi
melayani tujuan penting dalam menentukan arah strategis untuk perusahaan terlepas dari tingkat
diversifikasi. Bnayak peneliti menyebutkan sangat sulit membuat misi tunggal untuk perusahaan
yang terdiversifikasi. Perusahaan multi bisnis mungkin lebih efektif dalam memberikan focus
strategis melalui hierarki pernyataan misi.
Session 3-Artikel 6

Visioning

The Methode and Process

By: Srinivasan

Beberapa masalah terkait pernyataan visi sebuah organisasi.


 Pertama, banyak orang tidak percaya diri mereka sendiri, visi hanya sebuah kumpulan kata yang
dibuat oleh managemen.
 Kebanyakan visi memiliki terlalu banyak jargon yang merepresentasikan yang terjadi sehari-hari
dan bisa digunakan untuk setiap organisasi.
 Ketiga, singkat dan tingginya pernyataan visi mengaburkan tujuan visi yang utama yaitu
menggembleng aspirasi anggota organisasi dan mengarahkannya menjadi sebuah aksi nyata
bersama menuju keinginan masa depan.

Yang terpenting adalah bagaimana proses menentukan visi, dibanding statemen yang dihasilkan sebagai
visi itu sendiri. Salah satu langkah terpenting dalam persiapan pembuatan visi adalah mengidentifikasi
sponsor. Sponsor tersebut adalah orang / unit / perwakilan dalam organisasi yang merasakan kebutuhan
untuk perubahan / arah baru dan inovasi. Sponsor Tidak harus selalu CEO organisasi. Di Forbes,
sponsornya adalah Direktur SDM yang menjadi agen perubahan.

Dalam proses penciptaan visi di Forbes, fasilitator membutuhkan waktu berhari-hari untuk
mewawancarai para top managemen termasuk CEO, CFO, HR Director, Kepala Divisi teknologi, dan
kepala divisi teknik. Masing-masing interview dilakukan sekitar 30-45 menit. Kemudian 27 anggota
senior manajemen menjadi bagian grup diskusi yang menentukan konteks dan prioritas organisasi.

Anggota-anggota grup yang dipilih harus termasuk:

1. Orang-orang senior di organisasi-jangan termasuk grup besar.


2. Orang-orang yang berpengaruh
3. Siapa pun yang bisa menciptakan inovasi
4. Siapa pun yang dibutuhkan untuk perubahan.
Visi: Latar belakang Konsep

Sebuah Visi harus:

(1) luas, mencakup semua, dan berwawasan ke depan;

(2) aspirasi masa depan; dan

(3) mental image dari kondisi masa depan organisasi, yang dibagikan di seluruh organisasi. Harus
menjadi inspirasi, memotivasi, dan pernyataan yang menantang, dan harus mengajak seluruh organisasi
untuk bergerak ke arah yang ditetapkan.

Misi menggambarkan tujuan organisasi dan bukan arah. Ada tiga komponen dalam pernyataan misi
yang baik:
1. Tujuannya (mengapa bisnis itu ada, apa saja kewajiban untuk berbagai pihak termasuk
stakeholder, dan prioritas relatif mereka);
2. Identitasnya (apa yang membedakan organisasi ini dari orang lain, termasuk ruang lingkup
kegiatan organisasi);
3. Dasar keyakinan yang menjadi dasar organisasi didirikan dan dijalankan.
Agar proses visioning (pembuatan visi) dapat berhasil, organisasi dan sponsor harus:
1. Menilai proses pembuatan visi itu lebih daripada hasil akhirnya. Prosesnya harus memastikan
adanya awareness, diterima, dan karena itu dapat mentrigger serta mempertahankan langkah
menuju arah yang sudah ditetapkan.
2. Menilai yang dibagikan dan dimiliki visi tersebut lebih daripada sekedar kalimat pernyataan yang
orang ingat. Adalah baik memiliki pernyataan yang didengar seperti slogan, tetapi visi yang diterima
seluruh stakeholder, perhatian dalam proses penciptaan visi itu lebih penting.
3. Menilai sebuah visi yang diberlakukan, lebih dibanding yang diterbitkan di web perusahaan,
brosur perusahaan, dan publikasi lainnya. Agar sebuah visi bisa diberlakukan, komitmen dari semua
pihak sangat penting.
4. Menilai implementasi visi, bukan justru memamerkan bahwa organisasi memiliki visi yang tinggi.
Untuk memastikan implementasi visi, sangat penting bahwa proses visioning berfokus tidak hanya
untuk mengembangkan visi, tetapi juga menghasilkan serangkaian misi yang konsisten, tujuan, dan
strategi.

Template proses visioning:


1. Persiapan intervensi: Kumpulkan sejumlah catatan sebagai latar belakang.

 Kumpulkan upaya-upaya percobaan intervensi dalam organisasi yang pernah dilakukan

sebelumnya.

 Periksa konteks internal organisasi (tujuan inti, jejak pendiri, mandat perubahan melalui sejarah,

dan evolusi organisasi saat ini)

 Analisis konteks eksternal (apa yang mengubah lingkungan secara langsung, apa arah dan

bagaimana laju perubahan, dan apakah mampu beradaptasi?)

 Bekerja dengan sponsor (board) untuk memahami arah organisasi guna merespon lingkungan

eksternal dan perubahannya.

2. Pembukaan Pleno

Tujuan: Untuk menekankan kebutuhan bagi perubahan, garis besar proses perubahan, dan

menghilight kebutuhan agar partisipan involve secara aktif dan mendukung. Pleno dihadiri

seluruh peserta. Konten dan hasil kerjanya yaitu mencari kejelasan konsep (visi, misi, nilai,

tujuan, dan strategi).

3. Eksplore grup

Tujuannya menghasilkan banyak ide dari peserta yang dibentuk menjadi 5-8 kelompok kecil. Dan

setiap orang dalam kelompok memberikan ide. Minta masing-masing grup memberikan ide

bagaimana mereka melihat organisasi dalam waktu dekat.

4. Consolidation Plenary (Pleno Konsolidasi )

Masing-masing grup mempresentasikan ide yang kemudian akan disatukan tanpa

menghilangkan ide-ide penting lainnya.

5. Grup Klarifikasi, bertujuan: Untuk mengembangkan arus dan "kondisi" masa depan organisasi.

Grup ditata ulang sesuai dengan kemampuannya. Masing-masing harus bisa menjawab

pertanyaan— (1) Di mana kita sekarang? (2) Kemana kita ingin pergi?(3) Apakah itu tujuan di

mana seluruh organisasi ingin pergi? (4) Apakah yang membuat kita ingin dikenal?(5) kelompok

pemangku kepentingan mana yang mungkin bisa dipengaruhi oleh pilihan aspirasi kita?
6. Commitment plenary (Pleno Komitmen) bertujuan untuk mencari komitmen terhadap ide-ide

yang sudah dihasilkan sejauh ini.

7. Grup Artikulasi, bertujuan untuk mendapatkan visi yang formal dan siap dibicarakan kepada

kelompok yang lebih besar.

8. Mission Plenary, bertujuan untuk untuk mengembangkan misi organisasi dari visi yang telah

dibicarakan.

9. Action plan group bertujuan: Untuk mengembangkan rencana aksi dan mengidentifikasi

persyaratan sumber daya.

10. Plan Plenary bertujuan untuk memutuskan alternatif Action yang berani dan menciptakan

komitmen sumber daya.

11. Review dan proses workshop. Tujuan: Untuk menerima umpan balik dari proses dan uji

komitmen terhadap hasil.

Kesimpulan:
Menekankan peran proses dalam visioning, artikel ini menyebutkan prasyarat dari proses visioning dan
menawarkan template untuk digunakan oleh OD dan proses strategi yang digunakan praktisi. Meskipun
orang bisa memperdebatkan nama-nama variabel pada tahap intervensi, proses template yang
diuraikan di atas, harus melayani kebutuhan unik dari proses visioning: partisipasi yang lebih luas untuk
kepemilikan, mitigasi untuk eksekusi, dan perhatian berkelanjutan untuk alokasi sumber daya yang
tepat untuk inisiatif.
Strategic Leadership
Strategy As Revolution
Hamel, G
Harvard Business Review, July August, 69-82

Dalam artikel Strategy As Revolution, Gary Hamel mengklasifikasikan perusahaan ke dalam tiga kategori di dalam dunia bisnis,
yaitu sebagai berikut :

a. Pembuat peraturan (the rule makers) .


Argumen Hamel adalah bahwa industri harus bertindak cepat dan bekerja lebih keras untuk meningkatkan industri. Ia
percaya bahwa ini hanya dapat dicapai oleh manajer yang menggabungkan lebih banyak ide inovatif dan belajar berpikir
di luar kebiasaan. Ini akan melindungi posisi perusahaan dalam ekosistem industri dan melindunginya dari kehilangan
pangsa pasarnya kepada para pesaingnya.
b. Pengguna/ pengambil peraturan (rule takers) .
Pengambil aturan di sisi lain mencerminkan tujuan dan sasaran pembuat aturan. Mereka juga mencoba dan
mengimplementasikan tujuan yang ditetapkan.
c. pelanggar aturan juga dikenal sebagai revolusioner industri. Mereka membalik tatanan industri dan mereka adalah
pemikir radikal yang merevolusi industri.

Menurut artikel itu, ada sepuluh prinsip utama yang harus diikuti oleh perusahaan dalam industri tertentu agar menjadi
revolusioner, sebagai berikut :

1. Strategic planning isn’t strategic.


2. Strategy making must be subversive.
3. The bottleneck is at the top of the bottle.
4. Revolutionaries exist in every company.
5. Change is not the problem; engagement is.
6. Strategy making must be democratic.
7. Anyone can be a strategy activist.
8. Perspective is worth 50 IQ points
9. Top-down and bottom-up are not the alternatives.

Menurut pendapat Hamel, pengembangan strategi adalah tindakan revolusioner dalam suatu organisasi. Menurutnya, itu
adalah hasil pemikiran radikal dan pengambilan risiko oleh perusahaan. Dia lebih lanjut berpendapat bahwa pemikiran radikal
adalah wajib dalam menemukan dan membangun tempat pasar baru untuk berdagang. Dia selanjutnya mengatakan bahwa
revolusi penting dalam mengamankan tempat di pasar di era globalisasi dan digitalisasi ini. Hamel percaya bahwa untuk menjadi
strategis, mereka harus memiliki imajinasi yang besar bahwa mereka bersedia untuk berlatih serta pikiran yang kreatif.

Argumen Hamel adalah bahwa industri harus bertindak cepat dan bekerja lebih keras untuk meningkatkan industri. Ia
percaya bahwa ini hanya dapat dicapai oleh manajer yang menggabungkan lebih banyak ide inovatif dan belajar berpikir di luar
kebiasaan. Ini akan melindungi posisi perusahaan dalam ekosistem industri dan melindunginya dari kehilangan pangsa pasarnya
kepada para pesaingnya. Gary tidak membantah fakta bahwa aspek bisnis tradisional yang telah digunakan selama bertahun-
tahun tidak efisien. Namun, menurut pendapatnya, model-model manajemen lama tidak lagi dilengkapi untuk memecahkan
masalah saat ini yang timbul dengan abad baru. Dia lebih lanjut mengatakan bahwa kecepatan dan kreativitas adalah wajib untuk
bertahan hidup di era ini di mana persaingan global lazim. Hamel dalam artikelnya menunjukkan bahwa dunia berubah dengan
laju yang sangat cepat dan kita harus bergerak dengan kecepatan yang sama untuk dapat menemukan kembali diri kita dan bisnis
kita. Dia menekankan perlunya orang menjadi fleksibel untuk mengakomodasi adaptasi dan perubahan yang cepat. Dengan setiap
hari yang datang, perusahaan dibuat untuk menghadapi serangkaian tantangan baru di setiap sektor. Oleh karena itu perusahaan
harus diperlengkapi untuk menangani mereka dengan cara terbaik untuk menghindari kegagalan di masa depan dalam bisnis.
Gary menyatakan bahwa beberapa perubahan yang mempengaruhi industri adalah; perkembangan teknologi di mana teknologi
di dunia tumbuh pada tingkat yang sangat cepat dan mengkhawatirkan. Gary memberikan prinsip-prinsip yang menurutnya akan
memungkinkan perusahaan untuk merevolusi. Dia juga percaya bahwa prinsip-prinsip ini akan membantu manajer untuk
menemukan strategi revolusioner.
Strategy As Stretch and Leverage

By Gary Hamel and C.K. Prahalad

Didorong oleh keinginan untuk memehami pergeraka persaingan, telah terjadi perubahan
kemampuan berkompetisi kea rah pertumbuhan industry

Kini perusahaan dan industry telah dianalisa dengan lebih detail

Langkah pertama dalam memahami kemampuan kompetisi adalah dengan mengobservasi hasil
kompetisi (beberapa perusahaan memperoleh pangsa pasar yang lain kehilangan).

Langkah selanjutnya adalah mengubah observasi menjadi diagnosis. Dalam mendiagnosis masalah
kompetisi, berdasar pada Analisa struktur industry.

Posisi pasar suatu perusahaan pada segmen pasar secara luas menentukan potensi profitabilitas dan
pertumbuhan. Analisa Struktur industry menilai:

1. Apa itu kemampuan berkompetisi


2. Apa yang menjadikan perusahaan lebi profitable daripada yang lain

Pemahaman kemampuan berkompetisi adalah prasyarat untuk mengejar kompetisi. Manajer


berkeinginan untuk mencari penyebab turunnya kompetisi dan pertanggungjawaban hal tersebut,
setelah itu melihat perusahaan yang gagal untuk mengambil manfaat dan mengelola untuk
menghindari hal-hal yang merugikan.

Breaking The Managerial Frame

Kerangka Manajerial dari referensi- asumsi, premis dan kebijksanaan yang diharapkan, membatasi
pengertian suatu perusahaan dan industrinya dalam menjalanka strategi kompetitifnya yaitu
menentukan bagian besar hambatan perusahaan dan bagaimana perusahaan akan menghindarinya.
Manajer mendapatkan referensi secara invisible melalui sekolah bisnis, pengalaman, reka, konsultan
dan lain lain. Frame managerial mungkin lebih dari yang lain, mengikat pendekatan perusahaan
kepada perang kompetitif dan oleh karenanya menentukan hasil dari kompetisi. Terminology “head
to head competition” adalah secara harfiah, kompetisi global tidak hanya profuk vs produk,
perusahaan vs perusahaan, melainkan mind set vs mind set, managerial frame vs managerial frame.
From Fit to STrectch

Apa itu strategy? Ada 3 elemen inti untuk menjawab pertanyaan ini:

1. The concept of fit atau Hubungan antara perusahaan dengan lingkungan kompetitifnya
2. Alokasi sumber daya diantara kompetisi kesempatan investasi
3. Prospektif jangka panjang dimana “patien money” terlihat mencolok

Dari perspektif ini, menjadi strategic mengindikasi keinginan untuk pandangan jauh kedepan, dan
investasi strategic adalah investasi komitmen besar dan di awal dari sumber daya dengan risiko yang
substansial.

Setiap perusahaan harus mencocokan sumberdaya nya dengan kesempatan yang mereka kejar,
pengalokasiaan sumber daya tugas strategic, dan manajer harus mengetahui dan menyetujui risiko
dan ketidakpastian dalam usaha mereka tujuan strategic. Frame yang berlawanan dengan hal ini
adalah sebagaimana me-leverage sumber daya sama pentingnya dengan mengalokasikan mereka.
Apabila suatu perusahaan memiliki sumberdaya yang terbatas namun memiliki aspires yang tinggi
untuk menjadi terbaik dapat melakukan stretch dengan pendekatan

- Melihat kompetisi sebagai pengepungan bukan sebagai konfrontasi


- Akselerasi siklus pengembangan produk
- Memanfatkan cross functional team
- Fokus pada sedikit kompetensi inti
- Melakukan strategi alliances dengan supplier
- Program pelibatan karyawan
- Consensus

Menciptakan stretch, ketidaksesuaian antara sumber daya dan aspirasi adalah salah satu tugas
penting senior manajer.

From Allocating to Leverage

Sumber daya berlimpah tidak menjamin menjadi leader dalam industry. Alokasi sumberdaya dalam
berbagai kegiatan bisnis dan wilayah geografis adalah bagian penting dalam peran strategis
manajemen level atas, namun me-leverage apa yang perusahaan miliki dibanding hanya
mengalokasikannya merupakan hal lebih kreatif untuk melawan kelangkaan. Terdapat dua
pendekatan dasar untuk meningkatkan produktivitas sumber daya (modal atau sdm):
1. Downsizing – memotong investasi dan pengurangan dengan tujuan untuk perampingan dan
berarti, dengan tujuan mengurangi biaya
2. Resource leveraging – mencari hasil terbaik dari sumber daya yang dimiliki dengan tujuan
untuk meningkatkan pendapatan

Downsizing pada dasarnya demoralisasi sedangkan resource leveraging pada dasarnya


membangkitkan. Du acara tersebut akan menghasilkan peningkatan dalam produktivitas.

The arenas of resource leverage

Manajemen dapat me-leverage sumberdaya nya baik finansial maupun non finansial, dalam lima cara
dasar

1. Melalui memfokuskan pada tujuan kunci strategis


- Leverage membutuhkan fokus strategi, diamana usaha individu, fungsi dan bisnis dapat
bersinergi setiap waktu
2. Mengakumulasi secara lebih efisien
- Belajar dari pengalaman secara efisien dan terus menerus
3. Dengan mengkomplemenkan antar sumber daya untuk menciptakan nilai lebih tinggi
- Kemampuan untuk menkombinasikan melibatkan beberapa skill antara lain integratsi
teknologi, integrase fungsi dan imajinasi produk baru
4. Melestarikan sumber daya selagi mungkin
- Semakin sering skil dan kemampuan digunakan, semakin tinggi leverage dari sumber daya
tersebut
5. Merecovery dari marketplace dalam waktu sependek mungkin
- Waktu antara pegeluaran sumber daya dan pengembalian melalui revenue merupakan salah
satu sumber dari leverage, semakin cepat proses recovery nya semakin besar pengali
sumberdaya tersebut.

Stretch Without Risk

Elemen penting dari frame strategi yang baru adalah aspirasi yang menciptakan melalui design jarak
antara ambisi dan sumberdaya. Untuk kebanyakan manajer , ambisi besar sama dengan risiko yang
besar . stretch dapat menurunkan risiko ketika secara sewenang-wenang pandangan jangka pendek
di atur untuk tujuan leadership Jangka panjang. Ketidak sabaran mengandung risiko dalam terlalu
cepat masuk ke pasar yang belum terlalu dikuasai/dipahami, peningkatan biaya Riset dan
pengembangan lebih cepat dari yang dapat dikelola, terlalu cepat menentukan partner aliansi yang
motif dan kemampuannya dimengerti dengan lemah. Masalah tidak dapat di cegah sebagai akibat jika
komitmen sumber daya mendahului akumulasi dari pengetahuan akan kompetitoe dan konsumen.

Gagasan dari strategy as Stretch membantu menjembatani jarak antara mereka yang melihat strategi
sebagai rencana besar melalui pemikiran besar dan mereka yang melihat strategi tidak lebih sekedar
pola dalam aliran peningkatan keputusan. Pada satu sisi strategy as a stretch adalah strategi by design
sedangkan disisi lain strategy as stretch adalah strategi melalui penambahan dimana manajemen
harus membersihkan jejak untuk kepemimpinan meter demi meter. Singkatnya, strategy as a stretch
mengakui paradox penting dari kompetisi, kepemimpinan tidak dapat direncenakan, namun tidak juga
dapat terjadi tanpa aspirasi yang besar dan terencana.
Resume Session 4
Chan W Kim., & Mauborgne, Renee. 1997. Value Innovation: The Strategic Logic of High Growth.
Harvard Business Review. January-February, pg.103-112.
Value Innovation: The Strategic Logic of High Growth
1. In five-year study of high growth companies and their less successful competitor, we found
that the answer lies in the way each group approached strategy.
2. The difference was in the companies’ fundamental, implicit assumption about strategy. the
less successful companies took a conventional approach: their strategic was dominated by
the idea of staying ahead of the competition. In contrast, the high growth companies paid
little attention to matching or beating their rivals. They sought to make their competitors
irrelevant through a strategic logic we call Value Innovation.
Conventional Logic v Value Innovation

3. Conventional strategic logic and the logic of Value Innovation differ along the five basic
dimensions of strategy. Those differences determine which questions managers ask, what
opportunities they see and pursue, and how they understand risk. (see the table 1: “Two
Strategic Logic”).

table 1. Two Strategic Logics

Creating New Value Curve

4. In the mid 1980s, the budget hotel industry in France was suffering from stagnation and
overcapacity. In 1985 when Accor launched Formule 1, a line of budet hotels.
5. Customer in budget hotel divided in two distinct market segments in budget hotel industry.
One segment consisted of no-star and one-star hotel, whose a 60-90 Francs. The other
segment was two-star hotels, with average price 200 Franc.
6. Accor’s Manager began with identifying what customer all budget wants: a good night’s
sleep for a low price. Focusing on those widely shared needs, they asked themselves
following four question:

Page 1 of 4
a. Which the factor that our industry takes for granted should be eliminated?
b. Which factors should be reduced well below the industry’s standard?
c. Which factors should be raised well above the industry’s standard?
d. which factors should be created that the industry has never offered?
7. By answering the questions, the company eliminated such standard hotel features as costly
restaurants and appealing lounges, receptionists are on hand only during peak check-in and
check-out hours. At all other times, customer used automated teller. Rooms at a Formule 1
hotel are small and equipped only with a bed and bare necessities. The room themselves are
blocks manufactured in factory—a method that results in economies of scale in production,
high quality control and good sound insulation.
8. Customers have rewarded Accor for its value innovation. The company has not only
captured the mass of French budget-hotel customers but also expanded the market.
9. The extent of Accor’s departure from the conventional logic of its industry can be seen in
what we call a Value Curve. (see the graph “Formule 1’s Value Curve).

10. Like Accor, all the high-performing companies we studied created fundamentally new and
superior Value Curves. They achieved that by a combination of eliminating features, creating
features and reducing and raising other to levels unprecedented in their industries.

The Trap of Competing the Necessity of Repeating


11. Once company has created a new Value Curve, sooner or later, the competition tries to
imitate it. A value innovator will find its growth and profits under attack. The Imitator often
persist and the value innovator may end up in a race to beat the competition. If the
company doesn’t find its way out of the trap, the basic shape of the its value curve will begin

Page 2 of 4
to look just like those of its rivals. The company must change the shape of the existing value
curve.
12. Value Innovation its about offering unprecedented value, not technology or competencies.
Its not the same as being first to market.
13. When company value curve is fundamentally different from that of the rest of the industry,
manager should resist innovation. Instead companies should embark on geographic
expansion and operation improvements to achieve maximum economics of scale and market
coverage. That approach discourage imitation and allows companies to tap potential of their
current value innovation.

The Three Platforms


14. The companies we studied that were most successful at repeating value innovation were
those that took advantage of all three platforms on which value innovation can take place:
product, service and delivery.
15. In general, product platform is the physical product; the service platform is support such as
maintenance, customer service, warranties for distributor and retailer; and delivery platform
include logistics and the channel used to deliver the product to customer.
16. The three platforms can be used alternately over time to create value curve, each platform
presents new possibilities, just as good farmer rotate their crops, good value innovator
rotate their value platform.

Driving a Company for High Growth


17. To promote value innovation, the senior manager must identify and articulate the
company’s prevailing strategic logic. Then they challenge it.
18. Having re-framed the company’s strategic logic around value innovation, senior executive
must ask the four question that translate that thinking into the new value curve (see point 7
for those four question).
19. For manager of diversified corporation, the logic of value innovation can be used to identify
the most promising possibilities to growth across a portfolio business.
20. A useful exercise for management to pursuing growth is to plot the company’s current and
planned portfolios on a pioneer-migrator-settler map (see the chart below).

Page 3 of 4
21. A company’ pioneers are the business that offer unprecedented value. They are the most
powerful source of profitable growth.
22. At the other extreme are settler, businesses with value curves that conform to the basic
shape of the industry’s. Settlers will not generally contribute much to a company’s growth.
23. The potential migrators lies between somewhere in between. Such businesses extend the
industry’s curve by giving customer more for less, but they don’t alter the basic shape.
24. If both the current portfolio and the planned offerings consist mainly of settlers, the
company has low growth trajectory and need to push value innovation. The company may
well have fallen into the trap of competing.
25. If current and planned offerings consist of a lot of migrators, reasonable growth can be
expected but the company does not exploiting its potential for growth and risks being
marginalized by value innovator.
26. The pioneer-migrator-settler map can help company predict and plan future growth and
profit.

Page 4 of 4
Strategy, Value Innovation, and the Knowledge Economy

Kompetisi bukanlah satu-satunya referensi untuk jauh melampaui kompetisi. Mencari


ide-ide baru yang bisa merebut pasar dengan memberikan nilai luar biasa bagi pelanggan
adalah salah satu cara yang direkomendasikan. Perusahaan yang sangat sukses tidak
menggunakan kompetisi sebagai referensi strategis mereka. Alih-alih membangun
keunggulan dibandingkan pesaing mereka, perusahaan dengan pertumbuhan
menguntungkan yang tinggi bertujuan untuk membuat persaingan tidak relevan dengan
menyediakan pembeli dengan memberikan pengalaman yang berbeda dalam value. Inovasi
value membuat persaingan tidak relevan dengan menawarkan value untuk pembeli baru dan
superior yang fundamental pada pasar yang ada dan dengan memungkinkan perusahaan
untuk menciptakan pasar baru.

Alih-alih menjadi korban kondisi industri, inovator value ini berfokus untuk
menciptakan peluang-peluang baru di bidangnya. Untuk mencapai pertumbuhan laba yang
berkelanjutan, perusahaan harus menembus perangkap kompetitif dan imitatif. Supaya bisa
bertahan dan tetap berjuang untuk mencocokkan atau mengungguli kompetisi, perusahaan
harus memacu inovasi nilai.

Value and Innovation

Value tanpa inovasi cenderung berfokus pada peningkatan manfaat bersih pembeli
atau penciptaan value pada skala tambahan. Inovasi tanpa value bisa menjadi terlalu strategis
atau bahkan liar atau terlalu didorong oleh teknologi atau futuristik. Penciptaan value sebagai
konsep strategi terlalu luas karena tidak ada syarat batas yang menentukan arah yang harus
diikuti perusahaan untuk menghasilkan tindakan strategis yang sukses. Inovator value tidak
harus masuk pertama ke pasar mereka dalam hal teknologi. Dalam hal ini, mereka tidak harus
menjadi pelopor teknologi, tetapi mereka adalah pelopor value. Perbedaan antara inovasi
teknologi dan inovasi value mungkin tidak relevan bagi para ekonom dan inovasi value
mungkin tidak relevan bagi para ekonom yang perhatian utamanya adalah teori pertumbuhan
di tingkat makro.

Konsep inovasi value konsisten dengan gagasan Schumpeterian tentang


"penghancuran kreatif" dalam arti bahwa itu adalah tentang menciptakan value yang secara
fundamental baru dan unggul. Sebaliknya, rasionalisasi inovasi Schumpeterian tunduk pada
ketersediaan pengusaha yang kekurangan pasokan. Oleh karena itu, sementara pemahaman
kewirausahaan dan wirausaha sebagai pahlawan ekonomi sangat penting untuk inovasi
Schumpeterian, itu tidak ada hubungannya dengan inovasi value.

Market Dynamics of Value Innovation

Dalam dunia barang-barang nonrival dan non-excludable yang diarungi dengan


potensi skala ekonomi, pembelajaran, dan peningkatan laba, pentingnya volume, harga, dan
biaya tumbuh dengan cara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sejak awal, tujuannya
adalah untuk menangkap massa pembeli dan memperluas ukuran pasar dengan menawarkan
nilai superior secara radikal pada titik harga yang dapat diakses oleh pasar massal. Ini berarti
bahwa inovator value tidak boleh mengikuti praktik konvensional untuk memaksimalkan
keuntungan. Pertama, dengan mengenakan premi yang tinggi dan membatasi pasokan,
permintaan yang tidak terpenuhi dikombinasikan dengan plafon harga yang tinggi yang
merupakan insentif besar bagi orang lain untuk free-ride dalam memotong harga inovator
dan menangkap pasar. Kedua, harga tinggi dan volume terbatas yang menciptakan citra
eksklusivitas dan keunikan tidak memungkinkan inovator untuk mengeksploitasi skala
ekonomi dan pembelajaran atau potensi untuk meningkatkan pengembalian. Ini dapat
menggerus keuntungan bawaan dari barang-barang yang membutuhkan banyak
pengetahuan.

Inovator value yang sukses, menggunakan pendekatan pasar yang sangat berbeda dari
perusahaan monopoli konvensional. Pendekatan mereka memiliki dua komponen yaitu:
penetapan harga strategis untuk penciptaan permintaan dan penetapan target biaya untuk
penciptaan laba. Mengakui sifat nonrival dan sebagian dikecualikan dari barang inovatifnya,
inovator value menilai secara strategis produk untuk menangkap pasar massal.

Pengakuan merek yang cepat yang dibangun oleh inovator value sebagai hasil dari
value yang sebelumnya tidak pernah ada dan ditawarkan di pasar, dikombinasikan dengan
dorongan serentak ke biaya yang lebih rendah membuat persaingan mendekati tidak relevan
dan sulit untuk mengejar ketinggalan karena skala ekonomi, dan pembelajaran.

Sementara inovator value tidak selalu melebihi harga strategis yang rendah seperti
halnya swatch, menarik banyak pembeli dalam banyak hal, tidak seperti taktik monopoli
konvensional. Dalam ekonomi produksi, perusahaan dengan posisi pasar dominan telah
dikaitkan dengan dua kegiatan kehilangan kesejahteraan sosial. Pertama, untuk
memaksimalkan keuntungan mereka, perusahaan menetapkan harga tinggi, yang melarang
banyak pelanggan yang meskipun menginginkan produk tersebut, pada akhirnya tidak
mampu membelinya. Kedua, karena kurangnya persaingan, perusahaan dengan posisi
monopolistik tidak fokus pada efisiensi dan karenanya menghabiskan lebih banyak sumber
daya masyarakat.

Making Value Innovation Happen

Untuk membuat inovasi value terjadi, top manajemen harus dengan jelas
mengomunikasikan komitmen perusahaan untuk menghargai inovasi sebagai komponen
strategi utama dengan mengartikulasikan logika dasarnya. Dua karakteristik struktural yang
umum untuk perusahaan inovasi nilai yaitu: unit atau tim otonom kecil yang berfokus pada
tujuan bisnis atau produk bersama daripada organisasi berdasarkan fungsi, wilayah, atau jenis
saluran. Kedua, anggota tim dari beragam latar belakang dan perspektif. Ini tampaknya paling
kondusif untuk tingkat kreativitas yang lebih tinggi.

Value Innovation as Strategy

Kami percaya bahwa inovasi value adalah inti dari strategi dalam ekonomi
pengetahuan. Hal itu harus didukung oleh taktik yang tepat untuk memperpanjang dan
memaksimalkan potensi laba yang menghasilkan inovasi, menempatkannya pada emulator.
Setelah inovasi value dibuat, ekstensi lini bisnis dan peningkatan berkelanjutan dapat
memaksimalkan laba sebelum inovasi value lain diluncurkan. Namun, peningkatan bisnis dan
operasional ini bukan strategi, itu taktik. Inovasi value sebagai strategi menciptakan pola
keseimbangan puncuated, di mana semburan inovasi value yang membentuk kembali lanskap
industri diselingi dengan periode perbaikan, perluasan lini produk dan geografis, dan
konsolidasi.
Blue Ocean Strategy

 Guy Laliberte merupakan CEO Cirque du Soliel yang didirikan pada tahun 1984 oleh sekolompok
pemain sirkus jalanan. Cirque telah menggelar puluhan pertunjukan yang sudah disaksikan oleh
40 juta orang di 90 kota seluruh dunia. Dalam 20 tahun Cirque memperoleh laba dimana Ringling
Bros dan Barnum & Bailey (sirkus terkemuka di dunia) membutuhkan waktu lebih dari satu abad
untuk mencapainya. Bisnis sirkus ada dalam penurunan jangka panjang karena banyaknya
alternatif hiburan lainnya seperti acara olahraga, TV dan video game. Anak-anak sebagai
penonton andalan sirkus lebih senang bermain playstation daripada penampilan sirkus. Serta
berbagai perlawanan dari animal rights group, perlawanan penggunaan hewan dalam sirkus.
Akibatnya industry sirkus dilanda penurunan audiens dan meningkatnya biaya.

 Cirque tidak mendapatkan uangnya dengan bersaing di area dari industry yang ada atau dengan
mencuri pelanggan Ringling dan lainnya. Sebaliknya ia menciptakan ruang pasar yang tidak
terbantahkan yang membuat kompetisi tidak relevan. Hal ini menarik kelompok pelanggan baru.

 Bisnis dalam alam semesta ini terbagi dalam dua jenis yaitu yang kita anggap merah dan biru.
Lautan merah mewakili semua industry yang ada saat ini dengan ruang pasar yang sudah dikenal.
Di lautan merah batas-batas industry ditentukan dan diterima, serta aturan persaingan pemain
dipahami dengan baik. Perusahaan mencoba mengungguli saingan mereka untuk meraih bagian
yang lebih besar dari permintaan yang ada. Sebagai ruang semakin ramai, prospek untuk
mendapatkan keuntungan dan pertumbuhan menjadi berkurang. Produk berubah menjadi
komoditas dan meningkatkan persaingan sehingga mengubah air menjadi berdarah.

 Lautan biru menunjukkan semua industry yang tidak masuk keberadaannya hari ini, ruang pasar
yang tidak diketahui, tidak ternoda oleh persaingan. Di samudera biru, permintaan diciptakan
daripada diperebutkan. Dalam beberapa kasus, perusahaan dapat memunculkan industry yang
benar-benar baru seperti Ebay lakukan dengan industry lelang online. Namun di kebanyakan
kasus, samudera biru diciptakan dari dalam samudera merah ketika perusahaan merubah batasan
dari industry yang ada. Ke depannya tampak jelas bagi kita samudera biru akan tetap menjadi
mesin pertumbuhan.

 Semakin banyak industry, persediaan menyalip permintaan. Situasi ini mempercepat komoditisasi
produk dan layanan, memicu perang harga, dan margin laba menyusut. Menurut penelitian
terbaru kini, di Amerika semakin banyak produk dan layanan membuat merek menjadi semakin
mirip, orang semakin mendasarkan pemilihan pembelian pada harga. Mereka memilih merek
yang memberikan promosi.

Paradoks Strategi

 Sangat disayangkan sebagian besar perusahaan tampaknya tenang di samudera merah. Dalam
sebuah studi tentang bisnis yang dilakukan pada 108 perusahaan, ditemukan 86% dari usaha baru
yang merupakan jalur perluasan – peningkatan bertahap ke penawaran industry yang sudah ada
dan hanya 14% ditujukan untuk pasar atau industry baru.

 Strategi perusahaan sangat sangat dipegaruhi oleh akar strategi dalam strategi militer. Bahasa
strategi sangat sangat dijiwai dengan rujukan militer. “Pejabat eksekutif utama di “kantor pusat”,
“pasukan” di “garis depan”. Dijelaskan dengan cara ini, strategi adalah tentang persaingan.
Tentang menghadapi lawan dan mengusirnya dari medan perang. Strategi samudera biru
sebaliknya adalah tentang melakukan bisnis dimana tidak ada pesaing.

 Strategi perusahaan untuk focus menang melawan saingan diperburuk dengan kebangkitan
perusahaan Jepang di Jepang pada tahun 1970an-1980an. Untuk pertama kalinya di sejarah
perusahaan berbondong-bondong meninggalkan perusahaan Barat.

Menuju Strategi Samudera Biru

 Lautan biru bukan tentang teknologi baru yang digunakan teknologi terdepan terkadang menjadi
bagian penciptaan dari samudera biru tetapi ini bukan fitur yang menentukan dari perusahaan.
Bahkan kebanyakan perusahaan hanya melakukan inovasi teknologi dengan teknologi dasar yang
sebelumnya sudah ada. Seperti dalam industry komputer, samudera biru dalam industry ini tidak
dating dari inovasi teknologi itu sendiri melainkan menghubungkan teknologi dengan apa yang
dibutuhkan pembeli.
 Pendatang baru membuat samudera biru – dan biasanya dalam bisnis inti mereka GM, pembuat
mobil Jepang dan Chrysler adalah pemain yang sudah mapan saat menciptakan samudera biru
pada industry otomotif. Ford, Apple, Dell dan Nickelodeon adalah pendatang baru dalam industry
mereka, tiga perusahaan pertama adalah starts up dan keempatnya adalah pemain mapan yang
memasuki industry yang saat itu masih baru. Hal ini menunjukkan bahwa pemain lama tidak
dirugikan ketika menciptakan pasar baru. Apalagi samudera biru dibuat oleh pemain lama yang
merupakan kebutuhan bisnis inti mereka.
 Perusahaan dan industry adalah unit analisis yang salah unit tradisional dalam analisis strategis,
perusahaan dan industry memiliki sedikit penjelasan untuk dianalisis bagaimana dan mengapa
samudera biru diciptakan. Tidak ada perusahaan yanhg secara konsisten unggul

Strategi Samudera Biru vs Strategi Samudera Merah

Samudera Merah Samudera Biru


Bersaing di ruang pasar yang ada Membuat ruang pasar yang tidak terbantahkan
Memenangkan kompetisi Membuat kompetisi tidak relevan
Menggali permintaan yang sudah ada Membuat atau menangkap permintaan baru
Membuat nilai trade off Menghilangkan nilai trade off
Strategi pilihan diferensiasi atau biaya rendah Mengejar diferensiasi dan biaya rendah

Mendefinisikan karakteristik

 Fitur yang paling penting dari strategi samudera biru adalah bahwa ia menolak prinsip dari strategi
konvensional bahwa perdagangan adalah anatara nilai dan biaya. Samudera biru menunjukkan
bahwa perusahaan dapat sukses mengejar diferensiasi dan biaya rendah secara bersamaan. Pada
kasus Cique dilakukan dengan cara memaksimalkan penyusutan permintaan dengan mengutak
atik penampilan sirkus tradisional tanpa merubah subtansi pengalaman sirkus. Hal yang berbeda
dari Cirque yaitu sebagian besar sirkus menawarkan berbagai aksi hewan namun hal ini
memerlukan pelatihan, perawatan medis, perumahan, asuransi, dan angkutan, namun Cirque
menemukan bahwa pertunjukan hewan semakin berkurang karena meningkatkan kekhawatiran
public tentang pengobatan hewan sirkus. Cirque menemukan daya pikat abadi dari sirkus
tradisional menjadi hanya: badut, tenda dan acrobatic. Dengan menurunkan biaya sekaligus
menaikkan nilai bagi pembeli, sebuah perusahaan bias mencapai lompatan nilai untuk dirinya
sendiri dan pelanggan. Karena nilai pembeli berasal dari harga yang ditawarkan perusahaan dan
perusahaan dapat menghasilkan nilai untuk dirinya sendiri melalui struktur, harga. Strategi
samudera biru dicapai hanya ketika seluruh system utilitas perusahaan, harga, dan biaya kegiatan
berjalan selaras dengan benar.

Hambatan untuk meniru

 Mengadopsi penciptaan model bisnis samudera biru lebih mudah dibayangkan daripada
melakukannya. Karena penciptaan samudera biru dapat segera menarik pelanggandalam volume
yang besar, mereka mampu menghasilkan skala ekonomi yang cepat. Produk kosmetik seperti
Loreal dan Estee Lauder sangat sulit ditiru karena telah memberi isyarat dan pembatalan pada
citra mereka saat ini, yang didasarkan pada janji tentang awet muda serta kecantikan.

Pola yang konsisten

 Ford motor company membuat kompetisi tidak relevan, dengan membuat mobil T daripada
menciptakan mobil yang modis dan dapat disesuaikan untuk berakhir pecan di pedesaan serta
beberapa kemewahan, Ford membangun mobil seperti yang ditarik kereta kuda untuk
penggunaan sehari-hari. Model T dating hanya satu warna dan ada beberapa tambahan opsional.
Penjualan model T meledak pangsa pasar Ford melonjak dari 9% pada tahun 1908 menjadi 61%
pada tahun 1921.
Blue Ocean Strategy: From Theory to Practice
W. Chan Kim

Renée Mauborgne

“Red ocean” menggambarkan kondisi pasar tradisional yang penuh sesak dengan tingkat persaingan
yang tinggi (“berdarah-darah”), sehingga kesempatan bagi bisnis untuk memperoleh laba dan
berkembang semakin berkurang. Sedangkan istilah “blue ocean” menggambarkan situasi pasar yang
belum terjamah atau banyak diketahui, di mana permintaan diciptakan oleh produsen, sehingga masih
banyak kesempatan bagi bisnis untuk berkembang.

Dalam pasar yang bersifat “blue ocean”, kompetisi menjadi tidak relevan karena belum banyak pebisnis
yang memasuki pasar yang sama (atau bisa jadi bisnis kita merupakan satu-satunya pemain dalam bisnis
tersebut). Seperti sifat samudra yang berwarna biru, pasar yang diciptakan dengan “blue ocean
strategy” masih sangat luas, berpotensi untuk dikembangkan, dan nyaris tidak terbatas.

Ada beberapa hal yang mendorong diciptakannya “blue ocean. Kemajuan teknologi telah secara
substansial meningkatkan produktivitas industry dan memungkinkan pemasok untuk menghasilkan
produk dan layanan yang belum pernah ada sebelumnya. Tren globalisasi, hambatan perdagangan antar
Negara, informasi harga dan produk sangat mudah dan cepat didapat, ceruk pasar dan monopoli terus
berkurang.

Strategi Blue Ocean

Ada karakteristik umum pada “blue ocean”:

 Berbeda dengan perusahaan yang bermain dengan aturan tradisional, pencipta “blue ocean”
tidak pernah menggunakan kompetisi sebagai patokan mereka. Sebaliknya mereka membuat
kompetisi menjadi tidak relevan dengan menciptakan lompatan nilai bagi pembeli dan
perusahaan itu sendiri. Kompetisi berdasarkan strategi Red ocean mengasumsikan kondisi
structural industri yang “given” dan perusahaan dipaksa untuk bersaing, sedangkan strategi
pada samudra biru didasarkan pada pandangan bahwa batas pasar dan struktur industri tidak
“given” dan dapat direkonstruksi oleh tindakan dan kepercayaan pemain industri. Inilah yang
disebut pandangan rekonstruksionis.
 strategi pada dasarnya adalah pilihan antara diferensiasi dan biaya rendah. Namun pada
pandangan rekonstruksionis, tujuan strategisnya adalah menciptakan aturan baru permainan
dengan melanggar nilai / biaya trade-off yang ada sehingga dengan demikian menciptakan
“blue ocean”

“Blue Ocean” adalah tentang menurunkan biaya sekaligus meningkatkan nilai bagi pembeli. Ini adalah.
Karena nilai pembeli berasal dari utilitas dan harga yang ditawarkan perusahaan kepada pembeli, dan
karena nilainya bagi perusahaan dihasilkan dari harga dan struktur biayanya, strategi Blue ocean
tercapai ketika seluruh sistem kegiatan utilitas, harga, dan biaya perusahaan disejajarkan dengan benar.

Strategi blue ocean yaitu mengintegrasikan kegiatan fungsional dan operasional perusahaan. Dalam
pengertian ini, strategi blue ocean lebih daripada inovasi. Ini adalah tentang strategi yang mencakup
seluruh system kegiatan perusahaan.

Canvas Strategy
Untuk secara fundamental menggeser strategi suatu industri, sebuah perusahaan harus mulai dengan
mereorientasi fokus strategisnya dari pesaing ke alternatif, dan dari pelanggan ke nonkonsumen
industri. Untuk mengejar nilai dan biaya, perusahaan harus menolak logika lama tentang pembandingan
pesaing yang ada, tetapi memilih antara diferensiasi dan cost leadership.

Untuk merekonstruksi elemen nilai pembeli dalam membuat kurva nilai baru, telah dikembangkan The
Four Actions Framework:

Dalam contoh kasus industry wine yang kompetisinya telah berdarah-darah (red-ocean) di AS.
Menggunakan The four action framework, salah satu perusahaan wine Casella menciptakan minuman
sosial yang dapat diakses oleh semua orang: termasuk peminum bir, peminum koktail, dan peminum
minuman non-anggur lainnya. Dalam 2 tahun minuman social “yellow tail” muncul sebagai merek yang
paling cepat berkembang dalam sejarah industri anggur Australia dan AS dan menjadi nomer saty
pengimpor anggur ke Amerika Serikat, melampaui anggur Perancis dan Italia. Pada Agustus 2003
menjadi anggur merah nomor satu dalam botol 750 ml yang dijual di Amerika Serikat, melampaui label
California. Pada 2004, yellow tail terjual lebih banyak dari 11,2 juta kasus ke Amerika Serikat saja.

Casella tidak berpromosi melalui iklan atau media massa. Dia tidak mencuri penjualan dari pesaing; dia
menumbuhkan pasar, menarik lebih dari 6 juta pelanggan baru. Yellow tail membawa peminum non-
anggur — bir dan konsumen koktail siap minum — ke pasar anggur. Apalagi peminum anggur pemula
mulai minum anggur lebih sering, jumlah peminum anggur naik, dan peminum anggur yang lebih mahal
beralih menjadi konsumen yellow tail. Casella Wines melakukan semua The Four Actions Framework
tersebut— menghilangkan, mengurangi, meningkatkan, dan menciptakan — untuk membuka kunci
pasar yang tidak terbantahkan yang mengubah wajah industri anggur A.S. dalam kurun waktu dua
tahun.

Dengan melihat alternatif bir dan koktail siap minum dan berpikir dalam hal nonkonsumen, Casella
Wines menciptakan tiga faktor baru di industri anggur A.S — mudah diminum, mudah dipilih, fun and
adventure—dan menghilangkan atau mengurangi yang lainnya. Casella Wines menyadari bahwa Orang
Amerika menolak anggur karena rasanya yang rumit, sulit untuk dihargai. Casella juga mengurangi atau
menghilangkan semua faktor yang telah lama bersaing dengan industri anggur—tanin, oak,
kompleksitas, dan penuaan — dalam membuat anggur, apakah itu untuk segmen premium atau segmen
bawah (murah). Dengan kebutuhan untuk penuaan dihilangkan, maka modal kerja yang dibutuhkan
untuk menuakan anggur di Casella Wines juga berkurang, sehingga menciptakan payback yang lebih
cepat untuk anggur yang diproduksi.

Dalam kurva nilai, strategi blue ocean yang efektif seperti yang dilakukn “yellow tail” harus memiliki 3
kualitas yang saling melengkapi yaitu: fokus, divergensi, dan tagline yang menarik.
Sesi 5 -1 Dynamics of core competencies in leading multinational companies.
Briance, M. B., Baveja, A., & Jamil, M. 1997

A “core competence,” as articulated by Prahalad and Hamel, has three traits:


1. it makes a contribution to perceived customer benefits;
2. it is difficult for competitors to imitate; and
3. It can be leveraged to a wide variety of markets.

Knowing a firm’s core competence is important for developing strategy. By concentrating on their
core competence and outsourcing other activities, managers can leverage their company’s
resources in four ways: they maximize returns by focusing on what they do best; they provide
formidable barriers against the entry of competitors; they fully utilize external suppliers’
strengths and investments that they would not be able to duplicate; and they reduce investment
and risk, shorten cycle times, and increase customer responsiveness.

This article examines the core competencies of twelve leading multinational companies. It
explores their competencies, how they were developed, and how they are shifting over time.
Successful companies rely on three types of competencies:
1. superior technological know-how,
A technological competence involves a deep understanding of a subject area. Deep
understanding arises from an early, substantial and continuous Involvement in that area,
includes knowledge of scientific properties, inter-relationships and latest developments
in subject area. This knowledge is valuable if competitors do not have a similar knowledge.

2. Reliable processes, base and if the knowledge can be converted into superior products
for customer. A reliable process delivers an expected results.

3. Close external relationships.


A close relationship with suppliers, regulator, professional organisation, distributor and
customer yields several benefits.

Different approaches are needed to develop each types of competency. While these firms have
historically relied on technological know-how and reliable processes, they are planning more
close external relationships for the future. External relationships help these firms strengthen and
extend their traditional competencies while responding to the demands of globalization, mass
customization, enhanced quality, and rapid technological change.
Leading companies do not stand still and rest on their traditional competencies. Instead
developing new competencies that respond to or anticipate emerging business condition. A shift
is occurring in relative emphasis from internal technological and reliable process competencies
toward external relationships competencies. Having multiple competencies can make it that
much more difficult for competitors to imitate. It also increases the adaptability of the firm and
should promote long –term survival.
Sesi 5-2
Creating Competitive (dis)advantage: Learning from Food Lion’s freefall
Gregory G.Dess and Joseph C.Picken

1967, Ralph Ketner melakukan strategi mengurangi seluruh barang yang dijual dan mendapatkan
peningkatan penjualan sebanyak 50%. 1983 annual sales $1 billion. Membuka 100 toko di
Texas, lousiana dan Oklahoma (1990s)
Permasalahan pertama muncul pada 5 Nov 1992 saat program tv ABC memberitakan cara pengelolaan
daging yang tidak baik dan kesalahan dalam pemberian tanggal di makanan. Serta terkena
permasalahan terkait kerja lembur tidak berbayar.
Seirama dengan permasalahan tersebut, pada saat itu Food Lion sedang membuka cabang baru di
area yang memiliki persaingan yang keras. Dimana pesaingnya sudah menerapkan strategi
analisis pasar yang mendalam dan menjual barang yang memang dibutuhkan oleh pasar di
sana.
What Went Wrong at Food Lion? The Fundamental Strategic Error
Food Lion mendapatka sukses dengan menerapkan strategi across the board cost cutter (1967).
Strategi everyday-low-price meminta karyawan Food Lion bekerja secara multitasking pada
standar waktu yang tinggi. Budget pegawai disesuaikan dengan hasil penjualan toko.

Kultur biaya yang kuat dan sistem kontrol yang ketat/kaku secara tradisional disajikan dengan baik
dan menciptakan competitive advantage. Tetapi seiring berjalan waktu Food Lion tidak dapat
memenuhi harapan dari pelanggan di pasar ini yaitu; pilihan produk yang banyak, excellent
cust services dan ambiens yang menarik. Sehingga kesalahan fundamental dari strategi Food
Lion adalah terlalu fokus pada kekuatan organisasi sehingga tidak menciptakan sustainable
competitive advantage. Kegagalan Food Lion terjadi karena myopia pada apa yg ingin
didapatkan organisasi.
Limitations of Traditional Approaches
Framework strategi (SWOT, Five Forces, Industry analysis Tech) yang ada saat ini masih belum bisa
memberikan sustainable competitive advantage. Berikut keterbatasannya:
1. Kekuatan mungkin tidak mengarah pada keunggulan
seberapapun hebatnya kekuatan yang dimiliki organisasi tidak akan memberikan keunggulan
yang baik jika tidak disesuaikan dengan strategi yang dimiliki dan pasar yang ada.
2. Fokus Terlalu Sempit
Dalam pembuatan strategi harus memikirkan terkait perubahan yang ada
3. Pandangan satu sasaran pada target yang bergerak
Kelemahan yang perlu diperhatikan dalam menerapkan SWOT adalah kita hanya mengkaptur
satu frame waktu pada binis yang bergerak
4. Terlalu menekankan satu dimensi strategi
Dalam penerapan strategi kita tidak boleh buta karena ada satu framework yang menerapkan
hal tersebut, sebagai contoh framework porter “the notion of three potentially successful
generic strategies” (cost leadership, differentiation & focus). Kita tidak bisa menerapkan cost
lead tanpa mempertimbangkan kualitas.
5. Membuat competitive advantage dengan fokus pada value chain
Buat keunggulan tidak hanya pada satu titik value chain, tapi mencakup keseluruhannya
6. Memahami bahwa bisnis adalah proses
Bahwa pembuatan suatu produk adalah hasil dari suatu proses value chain, kita harus
menggunakan seluruh proses tersebut untuk menciptakan strategi yang hebat
7. Lebarkan batasan hingga mencakup supplier dan pelanggan
Strategi yang baik juga harus melihat apa yang di luar perusahaan (supplier dan pelanggan),
seperti metoda JIT yang meminta supplier untuk bisa memenuhi kualitas kita dan memberikan
kita keunggulan yang sudah dimulai dari supplier.
8. Identifikasi kekuatan dan kelemahan pada setiap link chain
Pastikan S & W pada masing2 titik value chain
9. Tambahkan nilai pada banyak aktifitas dan cara yang banyak
Buatlah value pada banyak aktifitas di value chain, sehingga membuat satu set keunggulan
10. Dapatkan integrasi tertutup pada aktifitas pembuatan nilai (value creating)
Dalam pembuatan nilai perlu memperimbangkan bagaimana integrasinya dengan value chain
11. Fokus pada dinamika dari lingkungan kompetitif
Jangan sampai statis dalam membuat strategi dan beroperasi
12. Berinovasi dengan menambahkan nilai baru dan cara yang unik
Nilai baru dan yang unik adalah sesuatu yang bisa membunuh competitive advantage yang
sedang dihadapi saat ini oleh suatu organisasi
13. Fokus pada kekuatan dengan mengalih dayakan fungsi non kritikal
Dengan fokus pada kegiatan kritikal organisasi bisa mendapatkan competitive advantage

Leveraging the Value Chain: The Example of Wal-Mart


Atribut kesuksesan Wal-Mart adalah dengan melakukan strategic focus and emphasis on key elements
of the value chain. Wal-Mart merupakan salah satu contoh organisi yang merusak peraturan
industri. Di saat organisasi lain di industri tersebut melakukan strategi penjualan dan cost
cutting, Wal-Mart merubah kunci dari industri dengan menguatkan teknik logistik (cross
docking).
Dengan strategi tersebut Wal-Mart mampu meraih:
 Mengurangi biaya
 Mengurangi biaya gudang, Mengurangi waktu procurement
 Meningkatkan fleksibelitas dan respon pada kebutuhan pelanggan
The Core Competence of the Corporation

Definition of Core Competences and Core Products


1. Core competencies are the collective learning in the organization, especially how to
coordinate diverse production skills and integrate multiple streams of technologies. Core
competence is about harmonizing streams of technology, it is also about the organization of
work and the delivery of value. Core competence is communication, involvement, and a
deep commitment to working across organizational boundaries. It involves many levels of
people and all functions.
2. Core competence does not diminish with use. Competencies are enhanced as they are
applied and shared.
3. The tangible link between identified core competencies and end products is what we call the
core products —the physical embodiments of one or more core competencies. Core
products are the components or subassemblies that actually contribute to the value of the
end products.
The Competition Involves Core Competence, Core Product and End Product
4. Core competencies are the wellspring of new business development. They should constitute
the focus for strategy at the corporate level.
5. Managers have to win manufacturing leadership in core products and capture global share
through brand-building programs aimed at exploiting economies of scope.
6. Only if the company is conceived of as a hierarchy of core competencies, core products, and
market-focused business units (end products) will it be fit to fight.
7. To build or defend leadership over the long term, a corporation will probably be a winner at
each level. At the level of core competence, the goal is to build world leadership in the
design and development of a particular class of product functionality.
8. To sustain leadership in their chosen core competence areas, these companies seek to
maximize their world manufacturing share in core products.
GTE v NEC Case
9. Consider the last ten years of GTE and NEC. In the early 1980s, GTE was well positioned to
become a major player in the evolving information technology industry. It was active in
telecommunications. Its operations spanned a variety of businesses. In 1980, GTE’s sales
were $9.98 billion, and net cash flow was $1.73 billion. NEC, in contrast, was much smaller,
at $3.8 billion in sales.
10. GTE’s 1988 sales were $16.46 billion, and NEC’s sales were considerably higher at $21.89
billion. GTE has, in effect, become a telephone operating company with a position in defense
and lighting products. GTE’s other businesses are small in global terms. GTE has divested
Sylvania TV and Telenet, put switching, transmission, and digital PABX into joint ventures,
and closed down semiconductors. As a result, the international position of GTE has eroded.
Non-U.S. revenue as a percent of total revenue dropped from 20% to 15% between 1980
and 1988.

Rethinking The Corporation

11. Early in the 1970s, NEC articulated a strategic intent to exploit the convergence of
computing and communications, what it called ‘‘C&C.” Success, top management reckoned,

Page 1 of 4
would hinge on acquiring competencies, particularly in semiconductors. Management
adopted an appropriate ‘‘strategic architecture,’’ summarized by C&C, and then
communicated its intent to the whole organization and the outside world during the mid-
1970s. By using collaborative arrangements to multiply internal resources, NEC was able to
accumulate a broad array of core competencies.
12. NEC carefully identified three interrelated streams of technological and market evolution.
The computing, communications, and components businesses would so overlap that it
would be very hard to distinguish among them and that there would beenormous
opportunities for any company that had built the competencies needed to serve all three
markets. No such clarity of strategic intent and strategic architecture appeared to exist at
GTE.
The Root of Competitive Advantage

13. In the short run, a company’s competitiveness derives from the price/performance
attributes of current products. In the long run competitiveness derives from an ability to
build at lower cost and more speedily than competitors, the core competencies that spawn
unanticipated products.
14. The diversified corporation is a large tree. The trunk and major limbs are core products, the
smaller branches are business units; the leaves, flowers, and fruit are end products. The root
system that provides nourishment, sustenance, and stability is the core competence. (See
the chart below ‘‘Competencies: The Roots of Competitiveness.’’)

15. there are major companies that have had the potential to build core competencies but failed
to do so because top management was unable to conceive of the company as anything other
than a collection of discrete businesses.
16. Management trapped in the strategic business unit (SBU) mind-set almost inevitably finds its
individual businesses dependent on external sources for critical components, such as motors
or compressors. But these are not just components. They are core products that contribute
to the competitiveness of a wide range of end products. They are the physical embodiments
of core competencies.
17. Cultivating core competence does not mean outspending rivals on research and
development Nor does core competence mean shared costs, as when two or more SBUs use

Page 2 of 4
a common facility—a plant, service facility, or sales force—or share a common component.
Building core competencies is more ambitious and different than integrating vertically.
Identifying Core Competence and Losing Them
18. At least three tests can be applied to identify core competencies in a company. First, a core
competence provides potential access to a wide variety of markets. Second, a core
competence should make a significant contribution to the perceived customer benefits of
the end product. Finally, a core competence should be difficult for competitors to imitate.
And it will be difficult if it is a complex harmonization of individual technologies and
production skills.
19. Companies that judge competitiveness, their own and their competitors’, primarily in terms
of the price/performance of end products are courting the erosion of core competencies—
or making too little effort to enhance them.
20. Many companies have unwittingly surrendered core competencies when they cut internal
investment in what they mistakenly thought were just ‘‘cost centers’’ in favor of outside
suppliers.
21. Learning within an alliance takes a positive commitment of resources--travel, a pool of
dedicated people, test-bed facilities time to internalize and test what has been learned. A
company may not make this effort if it doesn’t have clear goals for competence building.
22. Another way of losing is forgoing opportunities to establish competencies that are evolving
in existing businesses. In 1970-1980s Many American and European companies chose to exit
the color television business, which they regarded as mature.
23. There are two clear lessons here. First, the costs of losing a core competence can be only
partly calculated in advance. Second since core competencies are built through a process of
continuous improvement and enhancement that may span a decade or longer, a company
that has failed to invest in core competence building will find it very difficult to enter an
emerging market, unless, of course, it will be content simply to serve as a distribution
channel.

From Core Competence to Core Products


24. By focusing on competence and embedding it in core products, Asian competitors have built
up advantages in component markets first and have then leveraged off their superior
products to move downstream to build brand share. As their reputation for brand leadership
is consolidated they may well gain price leadership.
25. Control over core products is critical for other reasons. A dominant position in core products
allows a company to shape the evolution of applications and end markets. well-targeted
core products can lead to economies of scale and scope.

The Tyranny of the SBU


26. The concepts of the corporation are summarized in ‘‘Two Concepts of the Corporation: SBU
or Core Competence.” (see the chart below)

Page 3 of 4
27. If a company is winning the race to build core competencies it will almost certainly outpace
rivals in new business development. If a company is winning the race to capture world
manufacturing share in core products, it will probably outpace rivals in improving product
fea tures and the price/performance ratio.
28. In the race for global brand dominance, companies have to built global brand umbrellas by
proliferating products out of their core competencies. This has allowed their individual
businesses to build image, customer loyalty, and access to distribution channels.
29. the SBU prism means that only one plane of the global competitive battle, the cost of this
distortion are: a) Underinvestment in Developing Core Competencies and Core Products; b)
Imprisoned Resources, the people who embody this competence are seen as the sole
property of the business in which they grew up. The manager of another SBU who asks to
borrow talented people is likely to get a cold rebuff; c) Bounded Innovation, If core
competencies are not recognized, individual SBUs will pursue only those innovation
opportunities that are close at hand.

Developing Strategic Architecture


30. A strategic architecture is a road map of the future that identifies which core competencies
to build and their constituent technologies. By providing an impetus for learning from
alliances and a focus for internal development efforts, a strategic architecture can
dramatically reduce the investment needed to secure future market leadership.
31. The strategic architecture should make resource allocation priorities transparent to the
entire organi zation.

Redeploying to Exploit Competencis


32. there are ways to wean key employees off the idea that they belong in perpetuity to any
particular business. Early in their careers, people may be exposed to a variety of businesses
through a carefully planned rotation program. In mid career, periodic assignments to cross-
divisional project teams may be necessary.
33. Competence carriers should be regularly brought together from across the corporation to
trade notes and ideas. The goal is to build a strong feeling of community among these
people. In traveling regularly, talking frequently to customers, and meeting with peers,
competence carriers may be encouraged to discover new market opportunities.

Page 4 of 4
TRADE-OFFS IN MANAGING RESOURCES AND CAPABILITIES

Pandangan berbasis resources perusahaan adalah pendekatan yang berguna dalam


menentukan keunggulan kompetitif dari sumber internal perusahaan. Sebagai seorang
manajer, sangat penting untuk menilai sumber daya dan kemampuan dengan hati-hati dan
dengan perspektif yang luas. Salah satu masalah utamanya adalah apakah dapat ditiru suatu
resources. Imitabilitas tampaknya sangat menguntungkan jika dilakukan dengan
menggunakan teknologi baru, di mana adopsi mereka yang luas memberikan dasar untuk
penciptaan nilai.

Masalah utama lainnya adalah apakah kekuatan individu dan keberhasilan fungsional
selalu baik untuk perusahaan. Lebih penting untuk memahami nilai keseluruhan dari
kumpulan sumber daya dan kemampuan daripada karakteristik sumber daya dan
kemampuan individu. Taruhannya tinggi, karena masalahnya adalah bagaimana mengelola
sumber daya dan kemampuan keseluruhan seseorang dengan cara yang memberikan
keunggulan kompetitif bagi seluruh organisasi.

Desirable Resource Characteristics May Not Hold

Pada dasarnya, resources based view berfokus pada mengidentifikasi dan menentukan nilai
sumber daya dan kemampuan perusahaan. Sumber daya adalah "stok faktor yang tersedia
[berwujud dan tidak berwujud] yang dimiliki atau dikendalikan oleh perusahaan."
Kemampuan adalah kemampuan perusahaan untuk secara efektif memanfaatkan sumber
daya berwujud dan tidak berwujud untuk mencapai tujuan strategis. Resources based view
berfokus pada bagaimana perusahaan dapat memperoleh, mempertahankan, menyebarkan,
dan mengembangkan sumber daya dan kemampuan dengan cara yang menjaga eksklusivitas
mereka dan memberikan perusahaan dengan keunggulan kompetitif. Menurut pandangan
ini, sumber daya atau kemampuan harus mempertahankan karakteristik tertentu untuk
berkontribusi pada keunggulan kompetitif. Sumber daya dan kemampuan harus dinilai di
seluruh area fungsional, dalam bundel, dan dengan kerangka waktu yang diperpanjang.
Dengan kata lain, karakteristik yang diinginkan dari sumber daya dan kemampuan individu
mungkin tidak selalu menjadi masalah yang paling relevan untuk dipertimbangkan oleh
manajer. Memeriksa tiga karakteristik yang diinginkan dan menunjukkan bahwa, dalam
kondisi tertentu, berfokus pada sumber daya dan kemampuan individu mungkin merugikan
perusahaan.

Ada dua jenis trade-off yang luas: internal dan eksternal (lihat Tabel 1). Internal trade-off
adalah tentang proses-proses di dalam perusahaan melalui mana sumber daya dan
kemampuan dikembangkan, digunakan, dan ditransfer. Melalui proses-proses ini, kekuatan
yang tampak mungkin secara tidak sengaja berubah menjadi kelemahan. Eksternal trade-off
adalah proses yang saling terhubung melalui mana sumber daya dan kemampuan dihasilkan,
dipertukarkan, dan dimanfaatkan. Melalui proses interfirm ini, karakteristik yang diinginkan
yang diterima sering dapat kehilangan kepentingannya. Di bawah ini pertama-tama kita
mengeksplorasi dua trade-off internal.

Internal Trade-offs of Resources and Capabilities Linkage Trade-off

Pertukaran linkage mengacu pada situasi di mana satu jenis sumber daya atau kemampuan
tentu akan berdampak pada satu atau lebih sumber daya atau kemampuan lainnya, baik
secara positif maupun negatif. Pertukaran linkage juga berarti bahwa nilai sumber daya atau
kemampuan tergantung pada keberadaan sumber daya atau kemampuan lainnya.

Fokus pada satu sumber daya atau kemampuan, atau pada satu pendekatan secara eksklusif
(mis. Biaya), dapat menyebabkan pengabaian sumber daya dan kemampuan pelengkap yang
penting. Intinya adalah bahwa pengembangan dan penggunaan sumber daya dan
kemampuan tertentu dapat menurun serta meningkatkan nilai sumber daya dan kemampuan
lainnya. Lebih buruk lagi ketika manajemen gagal mengenali trade-off dan sebagai gantinya
hanya berfokus pada sumber daya atau kemampuan tertentu dan gagal mengembangkan
atau mempertahankan sumber daya dan kemampuan pelengkap yang dibutuhkan. Implikasi
dari pertukaran hubungan adalah bahwa, karena sumber daya dan kemampuan sering
mempengaruhi nilai satu sama lain, manajer perlu mempertimbangkan banyak sumber daya
dan kemampuan, daripada berfokus pada satu per satu (lihat Tabel 1).

Learning Trade-off

Pencapaian keunggulan kompetitif tidak selalu sesederhana memiliki kekuatan individu


tertentu. Sebagai gantinya, perusahaan harus (1) memiliki dan menggunakan berbagai
sumber daya dan kemampuan dengan baik di seluruh bidang fungsional untuk
memaksimalkan nilai keseluruhannya, dan (2) terus mendapatkan, mengembangkan, dan
meningkatkan sumber daya dan kemampuan mereka. Perlu dilakukan adopsi perspektif yang
lebih luas setiap kali menganalisis kontribusi sumber daya dan kemampuan.

External Trade-offs of Resources and Capabilities

Semakin lama, hubungan dan proses yang saling memengaruhi memengaruhi keberhasilan
perusahaan di pasar. Walaupun perusahaan dapat memiliki banyak sumber daya dan
kemampuan, seringkali sumber daya dan kemampuan kritis mereka menjangkau batas
perusahaan, dan hubungan antar perusahaan mereka menyediakan sumber keunggulan
kompetitif. Eksternal trade-off menyebabkan kita untuk langsung memeriksa kembali
penerapan karakteristik kunci yang diterima. Ini tidak berarti bahwa karakteristik utama tidak
mengarah pada keunggulan kompetitif. Kenyataannya, mempertahankan karakteristik-
karakteristik utama ini sangat disarankan, kecuali dalam situasi tertentu.

Networking Trade-off

Dalam lingkungan bisnis saat ini, jaringan eksternal pelanggan, pemasok, dan pesaing
perusahaan sangat penting. Untuk mendapatkan sumber daya dan kemampuan yang
berharga dari sumber eksternal, perusahaan perlu membangun hubungan formal dan
informal dengan perusahaan lain. Khusus mengenai pengetahuan, ada hambatan tertentu
untuk transfer pengetahuan (atau mobilitas yang tidak sempurna) yang bisa positif dan
negatif bagi perusahaan. Dalam penelitian tentang transfer praktik terbaik di dalam
perusahaan, telah ditemukan bahwa semakin sulit untuk mentransfer pengetahuan tertentu
di dalam perusahaan, semakin sulit untuk mentransfernya di luar perusahaan juga. Dalam
membuat transfer internal praktik terbaik (atau pengetahuan) perusahaan lebih efisien,
perusahaan dapat menurunkan kemampuannya untuk mempertahankan eksklusivitas.
Sementara mengurangi mobilitas pengetahuan dapat menghambat transfer internal praktik
terbaik, meningkatkan mobilitas pengetahuan dapat menyebabkan penyebaran pengetahuan
yang tidak diinginkan kepada pesaing.

Imitation Trade-off

Trade-off eksternal kedua didasarkan pada literatur strategi-kompetitif, yang berkaitan


dengan mendapatkan posisi kompetitif yang menguntungkan terhadap saingan sebagai cara
untuk menghasilkan keuntungan di atas normal. Keuntungan tersebut diyakini terkait dengan
karakteristik struktural suatu industri. Pendekatan ini kontras dengan pandangan strategi
berbasis sumber daya dalam menekankan langkah strategis yang memengaruhi persaingan,
seperti dengan menetapkan standar industri. Dengan cara ini juga mengungkapkan imitation
trade-off dalam manajemen resources & capabilities. Imbalan tiruan, seperti yang
diperkenalkan di atas dalam kasus American Airlines dan program frequent flyer-nya, juga
diilustrasikan oleh Netscape Communications Corp. Pada tahun 1998, Netscape memposting
kode sumbernya ke perangkat lunak browser Communicator untuk akses publik di Web. Dari
perspektif berbasis sumber daya, Netscape seharusnya berusaha mempertahankan
eksklusivitas atas sumber ini daripada secara efektif memberikannya. Namun, dengan
membuka kode sumbernya kepada publik, Netscape mengundang ribuan programmer untuk
berkontribusi pada penawarannya dengan mengambil bagian dalam organisasi
pengembangan virtual terbesar di dunia. Oleh karena itu, dengan membiarkan imitasi alih-
alih melindunginya, Netscape pada dasarnya meningkatkan sumber dayanya dengan
membukanya. Dalam hal ini, jelas imitabilitas, dan imitasi yang disengaja, dari kode sumber
Netscape terjadi karena Netscape berpikir peniruan akan memberikan keunggulan
kompetitif. Dari perspektif lain, Netscape telah memperoleh akses ke organisasi
pemrograman virtual yang dapat memberikan perusahaan dengan keunggulan kompetitif
yang signifikan.
Selection Trade-off

Teori evolusi dalam ekonomi menggunakan analogi biologis untuk menjelaskan evolusi
perusahaan melalui seleksi pasar. Gagasan pemilihan pasar berarti bahwa pasar yang
kompetitif akan memilih perusahaan yang masih hidup berdasarkan tingkat kebugaran
mereka terhadap lingkungan. Sementara perusahaan memilih pasar untuk masuk dan
bersaing, mereka juga dipilih oleh pasar untuk berhasil atau gagal. Dalam memilih pasar
mereka, perusahaan harus mempertimbangkan bagaimana berpartisipasi dalam industri atau
segmen pasar tertentu akan mempengaruhi daya saing perusahaan di masa depan. Seperti
dengan trade-off eksternal lainnya, masalah untuk selection trade-off adalah tingkat analisis
di mana nilai sumber daya atau kemampuan dinilai. Dalam hal ini, analisis telah diperluas ke
tingkat pasar (yaitu, interaksi perusahaan dan pasar).

Assessing and Managing Resources and Capabilities

Karakteristik kunci adalah pendekatan penting untuk memahami nilai sumber daya atau
kemampuan. Terlepas dari kegunaan dari pendekatan ini, bagaimanapun, ada pengecualian
yang terlalu penting untuk diabaikan, baik dari sudut pandang teoritis maupun manajerial.
Dua trade-off internal menunjukkan bahwa jika penerapan resources based view terlalu
sempit, suatu perusahaan dapat fokus pada nilai sumber daya individu atau kemampuan
dalam satu area pada suatu waktu, tanpa banyak pertimbangan berbagai interaksi mereka
dengan sumber daya lain atau kemampuan. Tiga trade-off eksternal secara langsung
memeriksa apakah karakteristik yang diterima selalu diinginkan.
Finding Your Next Core Business – Harvard Business Review

Pada artikel ini membahas dua temuan yaitu mengidentifikasi tanda peringatan bahwa suatu bisnis
kehilangan potensi dan cara mendiagnosa kekuatan yang tersisa pada bisnis inti dan memetakan
membuat inti baru yang mungkin ditemukan.

Ketika Saatnya untuk Perubahan Strategis yang Dalam

Tidak setiap perusahaan yang berada dalam masa sulit perlu memikirkan kembali strategi inti, kinerja
menurun pada bisnis biasanya dapat dihubungkan dengan kurangnya eksekusi. Tetapi sebuah strategi
mengalami “kelelahan” karena satu dari tiga hal:

1. Profit pools – sepanjang total rantai nilai dalam industri memiliki keuntungan yang menarik
yang dapat diterima. Perushaan menargetkan penyusutan atau pergerseran profit pools.
Seperti pada Apple pada saat pasar untuk computer pribadi anjlok Apple memindahkan
bisnisnya ke music digital
2. Inferently inferior economics – hal ini terungkap ketika pesaing baru memasuki pasar tidak
terbebani oleh struktur dan biaya dimana perusahaan eksisting tidak siap melepaskannya.
Perusahaan pemula dapat memangkas biaya dan mengidentifikasi cara baru untuk
menambah nilai bagi pelanggan, namun terkadang ekonomi didorong oleh hukum atau
pengaturan yang mengakar bahwa perusahaan tidak bisa berubah
3. Growth for mola that cannot be sustained – sebuah perusahaan mungkin akan menemukan
pertumbuhan yang terhenti ketika pasar sudah mencapai kejenuhan. Perusahaan yang telah
mapan dengan hanya mereproduksi model bisnisnya mungkin akan kehabisan wilayah baru
untuk ditaklukan. Atau sebuah perusahaan akan terhenti apabila sumber dayanya telah habis.
Dalam semua keadaan itu perusahaan harus menemukan formula baru untuk perubahan dan
seluruhnya tergantung kepada menemukan inti yang baru dari bisnis suatu perusahaan

Evaluasi Inti Bisnis Anda

Pertanyaan Lihat Lebih Dekat


Bagaimana keadaan pelanggan inti Profitabilitas, pangsa pasar, tingkat retensi,
ukuran loyalitas dan advokasi pelanggan, share
of wallet
Bagaimana keadaan diferensiasi inti Definisi dan differentiation matrix, posisi biaya
relative, model bisnis pesaing yang baru
muncul, menambah atau mengurangi
diferensiasi
Bagaimana keadaan profit pools industry kita Ukuran pertumbuhan dan stabilitas, share of
profit pools captured, Batasan-batasan,
pergerseran dan proyeksi, biaya dan harga
tinggi
Bagaimana keadaan kapabilitas inti Inventaris kemampuan utama, kepentingan
relative, kesenjangan vis-à-vis competitor dan
vis-à-vis kebutuhan inti masa depan
Bagaimana keadaan kultur dan organisasi Loyalitas dan gesekan yang tidak diinginkan,
kapasitas dan stress point, kesepkatan dan
keselerasan dengan tujuan, energi dan
motivasi, hambatan untuk pertumbuhan
Dimana Aset Disembunyikan

Pentingnya perusahaan diabaikan, diremehkan atau asset yang kurang dimanfaatkan untuk
regernerasi. Di 21 dari 25 perusahaan tersembunyi asset yang merupakan inti dari strategi baru. Apple
yang kesulitan menyadari bahwa bakatnya untuk perangkat lunak, pengguna desain produk yang
ramah, dan pemasaran imajinatif bisa diterapkan ke lebih dari sekedar komputer - khususnya, ke
perangkat kecil untuk mendengarkan musik. Hari ini Apple berbasis iPod bisnis musik menyumbang
hampir 50% dari putaran laba perusahaan dan 40% dari keuntungan - inti baru

Bagaimana cara sebenarnya membuka manajemen menatap asset yang tersembunyi di dalam
perusahaan? Salah satu caranya adalah mengindetifikasi tempat berburu kekayaan. Penelitian
menunjukkan asset tersembunyi cenderung masuk ke dalam 3 kategori:

1. Undervalued business platform


2. Wawasan yang belum dimanfaatkan ke pelanggan
3. Kemampuan yang kurang di eksploitasi

Tujuh Langkah Menuju Bisnis Inti Baru

1. Tentukan inti bisnis Anda. Mencapai konsensus tentang keadaan sebenarnya dari inti.
2. Menilai potensi penuh inti dan daya tahan karena perbedaan kuncinya.
3. Kembangkan sudut pandang tentang masa depan, dan tentukan status quo.
4. Identifikasi berbagai pilihan untuk mendefinisikan ulang inti dari dalam dan dari luar.
5. Identifikasi aset tersembunyi Anda, dan tanyakan apakah mereka membuat opsi baru atau
mengaktifkan yang lain.
6. Gunakan kriteria kunci (kepemimpinan, kelompok laba, repeatability, peluang implementasi)
dalam memutuskan aset mana yang digunakan untuk mendefinisikan kembali inti Anda.
7. Menyiapkan program untuk membantu memulai, melacak, dan mengelola course
correction.
ORCHID ECOTEL: LEVERAGING GREEN HOTELING AS CORE COMPETENCY

Vithal Kamat, ketua dan direktur pelaksana Kamat Hotels India Ltd., adalah wirausahawan
generasi kedua yang telah membawa merek Kamat Hotels ke tingkat yang lebih tinggi.
Kamat Hotels mencakup lima vertikal utama, dari hotel mewah bintang lima (The Orchid
Ecotels) hingga restoran ekonomis (Restoran Kamat) yang melayani berbagai segmen
pelanggan. Kamat memiliki rencana ambisius untuk perluasan setiap vertikal menggunakan
strategi pertumbuhan alternatif. Namun, kemerosotan ekonomi baru-baru ini telah
menyebabkan kemunduran yang tiba-tiba karena jatuhnya tingkat hunian kamar rata-rata
dan tarif kamar yang bersaing yang ditawarkan oleh hotel-hotel lain.

Dalam situasi yang penuh gejolak, Kamat berencana untuk menggunakan kompetensi inti
dari The Orchid sebagai "ecotel," yaitu, sebuah hotel yang ramah lingkungan, untuk masuk
dalam branding perusahaan dan meningkatkan posisinya di pasar.

Kasus ini menggambarkan tantangan yang dihadapi oleh Kamat dalam memperluas
kompetensi inti dari Orchid ke bisnis ke vertikal lainnya.Orchid telah berkinerja lebih baik
daripada rata-rata industri hingga 2008, tetapi pada 2009 kinerjanya merosot, sebagian
karena resesi ekonomi.

THE ORCHID ECOTEL HOTEL


Sejak awal, Kamat sangat mengerti tentang peran dan layanan yang ditawarkan The Orchid.
Filosofinya untuk hotel adalah menambah nilai dengan menyediakan makanan dan layanan
yang ramah lingkungan dan organik. Awalnya, kolaborasi dengan perusahaan
internasional, HVS Eco Services, The Orchid melakukan program lingkungan khusus untuk
menurunkan biaya operasional, meningkatkan pendapatan, dan mengevaluasi kinerja
lingkungan hotel di berbagai bidang. HVS Eco Services memberikan sertifikasi "ECOTEL"
bergengsi kepada The Orchid, ciri khas hotel-hotel yang ramah lingkungan.

Manajemen di The Orchid menyadari bahwa mengintegrasikan infrastruktur dengan sumber


daya manusia adalah hal penting untuk dipertimbangkan dalam rangka merebut kompetensi
inti mereka dalam menyelenggarakan ECOTEL. Oleh karena itu, perusahaan secara teratur
mengadakan lokakarya pelatihan untuk karyawannya agar mereka menyadari manfaat
lingkungan dan bisnis dari layanan hotel ramah lingkungan. Bagi The Orchid, 'ramah
lingkungan' tidak hanya berarti konservasi air atau pengelolaan limbah padat: tindakan
ramah lingkungan telah menjadi bagian integral dari setiap fungsi dan divisi hotel.

BUILDING CORE COMPETENCY

Wakil presiden operasi di The Orchid, Paranjapee menguraikan proses membangun


kompetensi inti dengan mengintegrasikan infrastruktur fisik dan sumber daya manusia.
Terdapat Tim Hijau yang memainkan peran penting dalam memajukan inisiatif lingkungan.
Tim Hijau terdiri dari satu anggota dari setiap divisi operasi, langsung dari kantor depan
hingga staf dapur. Anggota perwakilan ini harus mengatur berbagai program dan kegiatan
yang mempromosikan solusi ramah lingkungan.

Akshay Gavai, manajer lingkungan di The Orchid, juga menyebut banyak aktivitas internal
untuk staf setiap bulan dan aktivitas eksternal untuk komunitas, yang diorganisir oleh Tim
Hijau. Beberapa kegiatan internal adalah kompetisi poster, kompetisi fotografi, kompetisi
limbah, dll. Kegiatan eksternal oleh anggota tim termasuk kegiatan seperti perkebunan, aksi
unjuk rasa, kunjungan sekolah, dll. Setiap bulan dipilih satu anggota tim dengan
penghargaan 'Best Eco Green Pegawai karena menunjukkan kepedulian ekstra terhadap
lingkungan.

Orchid menerapkan kegiatan ramah lingkungan di setiap aspek operasinya mulai dari tahap
konstruksi hingga layanan yang ditawarkan. Selain mengintegrasikan sumber daya
manusianya sendiri, The Orchid memperkenalkan beberapa inisiatif untuk partisipasi tamu
dengan tujuan menjadikan para tamu / pelanggan bagian dan paket dalam inisiatif
lingkungan (lihat Tampilan 9).

STRATEGI PEMASARAN

Untuk membangun merek di antara berbagai hotel bintang lima yang dimiliki oleh kelompok
besar, Kamat memutuskan untuk berjalan di jalur yang tidak konvensional. Dia memutuskan
untuk menyebut The Orchid sebagai hotel hijau. Memposisikan The Orchid sebagai merek
bintang lima dan mendefinisikan kembali kemewahan dalam konteks lingkungan, perhotelan
dipandang sebagai pengalaman dan bukan sekadar layanan.
Memposisikan The Orchid sebagai hotel ecotel telah membantu menciptakan keunggulan
terhadap pesaing dan memberi kesempatan untuk tidak hanya membuat orang sadar akan
inisiatif lingkungan tetapi juga melibatkan mereka untuk menjadi bagian dari hal yang sama .

BISNIS VERTIKAL LAINNYA

Kamat Hotels (India) Ltd. telah menjalankan empat vertikal lainnya dalam bentuk
perusahaan yang dimilikinya serta anak perusahaan. Vertikal ini melayani segmen
pelanggan yang berbeda dan penawaran layanan yang berbeda mulai dari hotel bintang
empat (VITS) ke rantai restoran (restoran Vithal Kamat).

Dari studi riset pasar, terbukti bahwa hotel melati lebih diminati dibandingkan dengan
kategori hotel seperti hotel korporat (mis., Courtyard by Marriot). Hotel melati ada dalam
kapasitas kamar yang berbeda di semua lokasi dan lebih disukai oleh wisatawan domestik.
Wisatawan asing, wisatawan religius, dan pengunjung stasiun juga lebih menyukainya.

ALTERNATIF EKSPANSI

Saat ini setiap pemilik tanah baik besar atau kecil ingin menjadi pengembang (real estat)
dan setiap pengembang ingin menjadi pengusaha perhotelan di India. Dengan demikian,
ada pasar yang sangat besar untuk menawarkan konsultasi manajemen oleh kelompok
profesional seperti Kamats. Waralaba dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, hanya
nama merek dan logo The Orchid yang dapat dibagikan, sedangkan kedua The Orchid
dapat menetapkan standar dan spesifikasi kualitas tertentu sambil mengambil alih operasi.

Merek The Orchid akan bergerak lebih tinggi hanya jika ekspansi dilakukan dengan
mengambil alih seluruh operasi. Berbagi hanya nama merek dan logo akan melemahkan
semangat ekotel yang ramah lingkungan. Dengan demikian, mengelola properti akan
menjadi pilihan yang lebih baik daripada memperluas melalui perjanjian waralaba murni.

Alternatif lain yang mungkin adalah dalam hal integrasi ke belakang, yang sudah dimulai
Kamat yaitu memulai Akademi Pelatihan. Kamat membahas pentingnya pendidikan:
"Bagaimana perusahaan perhotelan mengatasi tantangan tidak hanya menemukan staf
yang cukup tetapi memastikan mereka mempekerjakan orang yang tepat dan tetap
konsisten dengan budaya dan sistem nilai yang ada? Pendidikan adalah salah satu
caranya." Ada banyak jaringan hotel yang telah memulai pelatihan sekolah atau 'akademi
perhotelan' sebagai langkah untuk integrasi ke belakang, memelihara sumber daya manusia
sebagai salah satu input utama untuk hotel dan industri perhotelan.

DILEMA STRATEGIS

Setiap aspek operasi harus direncanakan sebelumnya untuk membangun ecotel. Kamat
perlu mempertimbangkan biaya dan manfaat yang terkait dengan keputusan penggantian
nama perusahaan. VITS Orchid atau The Orchid's Lotus daripada Kamat Hotels (India) Ltd.,
hanya akan berfungsi jika kompetensi inti diperluas bersama dengan nama merek. Menurut
Paranjapee, "Dengan menyesuaikan diri dengan praktik ramah lingkungan ini, Orchid benar-
benar telah menambahkan bisnis tambahan yang bisa berjalan dalam jangka panjang."
Tetapi apakah itu mungkin untuk kasus vertikal lainnya?
Sesi 6

Cisco Systems: DEVELOPING A HUMAN CAPITAL STRATEGY

California Management Review 47(2):137-167 · December 2005

Jenifer Chatman, O'Reilly & Chang, 2005

Artikel ini mempertimbangkan bagaimana para pemimpin organisasi dapat menggunakan modal
manusia untuk mendapatkan keunggulan kompetitif. Ini juga mengacu pada penelitian dalam
implementasi strategis dan perubahan organisasi untuk menggambarkan bagaimana organisasi perlu
menyesuaikan diri dengan kondisi pasar yang berubah jika mereka harus terus tumbuh dan menjadi
sukses seiring berjalannya waktu. Cisco tidak sederhana berinvestasi dalam mengembangkan generasi
pemimpin berikutnya karena itu adalah hal yang baik untuk melakukannya, tetapi lebih karena
kemampuan Cisco untuk menjalankan strateginya dengan cara yang sangat berbeda lingkungan
kompetitif sangat tergantung pada pemimpin yang berkembang keterampilan yang berbeda dan yang
merangkul budaya organisasi yang berbeda dari generasi sebelumnya. Pengalaman Cisco
menggambarkan tantangan yang dihadapi para pemimpin siklus hidup organisasi berkembang dan
membutuhkan manajer untuk mengembangkan kemampuan baru. Lingkungan kompetitif yang baru
mengharuskan Cisco belajar untuk memanfaatkan skala dan efisiensi daripada pertumbuhan yang tidak
terkendali. Meskipun berbeda dalam secara spesifik, ini adalah tantangan yang hampir semua organisasi
sukses akan hadapi dalam evolusi mereka. Pelajaran dari Cisco menyediakan paparan yang lain pemimpin
dapat digunakan dalam mengelola organisasi melalui berbagai tahap evolusi dan berbagai jenis
pertumbuhan.

Like many technology organizations in the late 1990s, Cisco was booming. It grew so quickly, in fact,
that it was bringing in up to 1,000 new employees each month. Cisco's solution was to acquire talent by
buying small firms, topping out in one year with 24 separate acquisitions. However, in 2000, the dot-com
bubble burst and Cisco quickly realized that it had another human capital challenge on its hands: how to
develop, rather than hire, the strategic thinkers and leaders needed for the future. Explores the challenges
facing Mary Eckenrod, Cisco's vice-president of worldwide talent, in developing a new human capital
strategy to identify and develop leaders from within the company--and to do this in a company with no
tradition of developing people internally. How can Cisco move from a "buy" to a "make" human capital
strategy?

The late 1990s were a boom time for Silicon Valley companies and one of the stars was Cisco
Systems—the leader in hardware and software technology for routing traffic on the Internet and on
corporate networks. For a short time in early 2000, Cisco’s market capitalization of $550 billion made it
the most valuable company in the world. Between 1995 and 2000, revenue grew at an average of 53
percent annually and the company employed more than 500 recruiters and regularly added 1,000 new
employees each month. Between mid-1999 and late 2000, Cisco doubled the size of its workforce to more
than 44,000 employees. While the sheer logistics of this effort were significant, Cisco’s deeper challenge
was to acquire the management talent needed to handle this growth. One of Cisco’s solutions was their
acquisition strategy. From 1993 through 2000, Cisco acquired 70 companies. These acquisitions provided
not only technology, but also served as a source of some of the management talent needed to run the
company. Cisco not only liked to hire people through acquisitions, but also from their competitors. While
the hyper-growth presented many challenges, gaining career opportunities within Cisco was not one of
them. This “buy” approach to people development provided Cisco with talented people and employees
with opportunities to prove their worth and to be promoted. With this “buy” strategy, however,
management development occurred through trial-by-fire, as people were given greater responsibilities at
an unrelenting pace.

Strategy, Leadership, Core Values, and Cultural Principles

Cisco’s Mission Be the supplier of choice by leading all competitors


in customer satisfaction, product leadership, market share, and profitability
Business To shape the future of global networking by creating
Purpose unprecedented opportunities and value for our customers, employees, partners,
and investors
Cisco Core values : 1. the strong belief in having no technology religion, and
2. listening carefully to the customer

Cisco’s 1. believe in the importance of cultural fit and a shared vision,


complementary value 2. speed, frugality, and the need to change continually

Cisco’s view about a was an enterprise of any size that strategically used information and
global networked communications to build a network of strong, interactive relationships with all its
business : key constituencies
Cisco’s Goal: was to provide solutions to all of these global networked businesses and
achieve market domination as quickly as possible
Cisco’s strategy listened carefully to customer requests, monitored all technological
towards success advancements, and offered customers a range of options
Cisco’s culture open communication, empowerment, trust, integrity, and giving
back to the community,” while “Customer Success” drove the entire
organization.

Historical “Buy” Strategy

Aggressive Acquisitions 1. It was in the late 1990s that Cisco developed a reputation for its
Strategy extremely aggressive acquisition strategy.
2. Cisco identified acquisition targets as engineering companies
that were first or second in their respective markets. After an
acquisition, Cisco incorporated the technology of the new
company into its own and supplemented it with its own
marketing and support expertise
Recruiting through As Chambers said in 1997: “Cisco has an overall goal of getting the top
Acquisitions 10 to 15 percent of people in our industry. Our philosophy is very
simple—if you get the best people in the industry to fit into your culture
and you motivate them properly, then you’re going to be an industry
leader.
Recruiting the “Passive Job 1. Acquiring talent through acquisitions was simply one way of
Seeker” recruiting for Cisco. The company also targeted those it dubbed,
“passive job seekers” or those who were happy and successful at
the companies in which they currently worked. These employees
were more difficult to lure, thus Cisco used creative strategies
and tactics to recruit such employees.
2. Historically, Cisco did not invest in college hires. We liked to
recruit people from competitorsbut this both helped and hurt us
because we ended up with a disproportionate number of high
performers versus strong leaders. Historically, we had so much
growth that if you worked at Cisco, performing well relative to
your current role was all that mattered.
Retaining New Hires 1. After the aggressive tactics to hire employees either through
acquisitions or other means, Cisco worked hard and creatively to
retain its employees.
2. Some of Cisco’s retention tactics included putting executives’
offices in the middle of floors so that regular employees could
have the window areas. The company offered a state-of-the-art
daycare center with “nanny cams” so that employees could
check up on their children without leaving their desks.
3. Chambers also personally supported efforts to help employees.
4. New hires were also assigned “buddies” who offered them
personalized attention and an insider’s view into Cisco’s value
and culture.
5. All employees received stock options, with over 40 percent of all
Cisco options in the hands of individual employees without
managerial rank.
6. as a free dinner or cash bonuses of up to $5000, that could be
approved in 24 hours, simply for working hard.

Strategy, Structure, and Process Changes

Strategy: Responding to the The company’s overall strategic positioning remained the same.
Downturn employees pointed out that Cisco began to develop a different business
strategy to leverage the opportunities and constraints of a post-boom,
more mature organization. According to Inder Sidhu, the overall strategy
of the company shifted and needed to continue shifting from :
1. one that focused on “picking low hanging fruit” and focusing on
box sales and revenue to a more of a “customer-driven strategy,”
a focus on “catching and leveraging market transitions,” and
“developing a culture of stretch goals and thinking out of the
box.
Structure and Process 1. After the financial challenges of 2000, Chambers determined
Changes: that Cisco needed to focus on productivity and cross-functional
Productivity and Cross- alignment.
Functional Alignment 2. Company presentations stated that the old Cisco focused on
growth and acquisitions, while the revised Cisco would focus on
productivity and profitability.
3. Cisco planned to increase efficiencies

A New “Build” HR Strategy:

Developing Internal Talent 1. To support the new focus on productivity and cross-functional
alignment, as well as the new strategic imperatives, Cisco’s
leaders felt the need to change from a “buy” talent strategy to a
“build” talent strategy.
2. The old Cisco focused on external recruitment and employee
growth through acquisitions as a priority, while the new Cisco
would focus more on motivating and developing internal talent,
particularly leaders.
3. The old Cisco focused on tools that were built to scale, while the
new Cisco would build tools to enhance productivity and profit
4. Contribution.

The Future and Challenges

By the end of 2003, financial analysts were skeptical that Cisco, without the ability to acquire talent,
would be able to develop the bench strength needed to execute their new corporate strategy. Mike
Campi, a Vice President of Human Resources, noted that at that time Cisco had “some pretty lousy leaders
and a leadership development culture [was] not part of our DNA.” Some senior line managers were also
concerned that what was needed wasn’t simply training but the ability to develop within senior managers
the dynamic capabilities Cisco needed to transform itself and execute a completely new strategy.” The
key questions were :

1. what should a plan for identifying leaders look like, and what would it take to implement it
successfully?
2. Once identified, what could be done to give senior Cisco executives tools and
frameworks to help them solve Cisco’s new challenges?
Between 2001 and 2004, Cisco had rebounded and was once again viewed positively by Wall Street. In
the intervening three years, Cisco had laid off almost 10,000 employees, written down over $2 billion in
inventory, cut 20 percent of their product lines, and reduced their supplier base by 60 percent. These
actions, and the recovering economy, had pushed their stock price up by more than 60 percent and, even
though their revenues were below the peak of the bubble, Cisco’s net income was at an all time high.
Cisco was also becoming a major supplier of telecommunications equipment, an estimated $750 billion
market that they had not been in when the telecom crash ruined Lucent and Nortel.

A key driver of the Cisco turnaround was their new human capital strategy. A company-wide team was
chartered to develop a new approach to developing and leveraging Cisco talent. A central part of this was
Chambers’ evolving vision of a company-wide cross-functional effort to create a development culture
executed through Cisco University. It was clear that Cisco University could not be like other corporate
universities that were largely centralized training centers. “Cisco University is an initiative, not an
organization. It is the way employees will prepare themselves for success in Cisco’s future,” commented
Kate DCamp. Although the larger human capital strategy included a series of programs and leadership
development approaches that were designed to further develop leaders at all levels of the company, the
real key to the strategy was the University’s ability to develop and promote five fundamental
organizational capabilities:

1. An agile workforce with knowledgeable employees who can move quickly to areas of highest
need;
2. a workforce that thrives on change;
3. employees who understand customers and can deliver quality products and services;
4. employees whose crossfunctional experiences improve their productivity and enhance their
business acumen; and
5. people throughout the organization who have strong capabilities in process.
Redesigning Knowledge Work
Bryan Hancock, and Diana Ellsworth

Tujuan dari artikel ini untuk Mendesain ulang pengetahuan mengenai pekerjaan dengan
beberapa langkah : 1. Mengidentifikasi Kesenjangan Keterampilan 2. Menganalisis
Bagaimana Keterampilan Dimanfaatkan 3. Menetapkan Ulang Pekerjaan 4. Proses untuk
Memperbaiki Keterampilan dan Manajemen Pengetahuan . Dan mendefinisikan bahwa
kemampuan yang tinggi mengenai pekerjaan tidak hanya dapat membantu perusahaan
mengatasi kekurangan keterampilan. Tetapi juga dapat menurunkan biaya dan
meningkatkan kepuasan kerja

1. Identifikasi Kesenjangan Keterampilan

Langkah pertama dalam mendesain ulang pengetahuan mengenai pekerjaan adalah


melakukan inventarisasi keterampilan dan membuat detail untuk memperkirakan jenis dan
jumlah keterampilan yang dimiliki perusahaan untuk menjalankan strateginya selama lima
tahun berikutnya atau lebih. Ini akan membutuhkan diskusi antara manajer puncak,
pemimpin unit bisnis, dan anggota tim SDM, dan harus menjadi bagian dari proses
perencanaan strategis.

Kami mendapati bahwa banyak perusahaan tidak memiliki proses diskusi. Mereka hanya
menggunakan kembali deskripsi pekerjaan sudah tertanam dalam bagan organisasi mereka
tahun demi tahun, dan baru menjadi waspada dengan kebutuhan akan keterampilan baru
hanya ketika mereka menemukan diri mereka harus mengejar ketinggalan untuk pesaing
yang lebih cerdas.

Perusahaan harus eksplisit dan tepat dalam mendefinisikan keterampilan yang harus
dimiliki. Berikut beberapa ilustrasi:
 Pengecer multisaluran
Tidak hanya perlu ahli wawasan konsumen dengan keterampilan analitis untuk
menambang data konsumen dalam jumlah besar tetapi juga spesialis pemasaran
yang dapat membangun merek menggunakan media sosial. Sehingga dapat
mengalahkan pesaing online
 Perusahaan jasa profesional mungkin membutuhkan keahlian dalam bidang khusus
industri tertentu untuk mengatasi kebutuhan kliennya — misalnya, kemampuan
dalam pemodelan risiko-kredit untuk lembaga keuangan atau hukum paten untuk
produsen semikonduktor.
 Perusahaan farmasi, mengingat intensi fanalisis data yang sekarang terlibat dalam
industri itu, mungkin membutuhkan lebih banyak ahli bioinformatika dengan
keahlian ilmiah dan teknologi.

Setelah mengidentifikasi keterampilan kritis, strategi yang dibutuhkan, adalah membuat


inventaris terperinci tentang berapa banyak orang-orang di organisasi yang memilikinya.
Kemudian perkirakan bagaimana angka-angka itu akan berubah selama lima tahun
setelahnya mengingat laju perekrutan, pelatihan saat ini bergerak, dan pensiun. Analisis ini
biasanya menunjukkan bahwa permintaan lebih tinggi dari yang diharapkan dan bahwa
kemungkinan pasokan (setidaknya secara internal dan potensial eksternal) akan gagal
signifikan tanpa tindakan. Kesenjangan keterampilan semacam itu dapat menempatkan
strategi utama dalam risiko.

Sayangnya, banyak perusahaan tidak secara ketat mendokumentasikan keterampilan


khusus. Beberapa perusahaan sekarang hanya fokus pada tugas dan evaluasi karyawan
daripada kemampuan pegaeainya. Dua orang-orang dalam peran yang sama, ketika
dievaluasi hanya pada tugas, keduanya bisa berkinerja tinggi tetapi mungkin memiliki
kompetensi dasar yang berbeda, sebaliknya, dua orang-orang dalam peran yang berbeda
mungkin memiliki kompetensi yang sama . Kompetensi yang mereka miliki mengimplikasi
untuk apa jalur karier mereka dan di mana organisasi paling baik untuk menggunakan
kompetensi mereka hari ini dan lima tahun ke depan.

2. Analisis Bagaimana Keterampilan Dimanfaatkan


Begitu perusahaan telah mengidentifikasi kesenjangan Keterampilan, maka kemudian harus
menentukan implikasi tenaga kerja dengan menilai seberapa efektif perusahaan
meningkatkan bakat yang ada. Itu akan memberikan wawasan tentang bagaimana
memanfaatkan ahli yang langka dengan lebih baik. Sejumlah alat dapat digunakan untuk
melakukan ini:

 Survei alokasi waktu


Di mana orang-orang mendokumentasikan berapa banyak waktu yang mereka
habiskan untuk tugas yang bisa membawa hasil. Perusahaan sering menemukannya
bahwa orang-orang yang sangat terampil menghabiskan banyak waktu pada
manajemen umum atau kegiatan administrasi yang tidak memerlukan keunikan
keterampilan mereka. Misalnya Sebuah bank ritel, menemukan bahwa tenaga
penjualan menghabiskan hanya 25% dari waktu penjualan mereka dan sisanya untuk
pekerjaan administrasi, seperti menulis ulang dokumen kontrak, memproses
pesanan, dan kegiatan lainnya.
 Analisis jaringan sosial
Metode kuantitatif untuk memunculkan dan menggambarkan interaksi informal di
antara orang-orang dalam suatu organisasi, dapat menunjukkan individu mana yang
dicari untuk tipe keahlian yang berbeda dan bagaimana mereka terhubung dengan
orang lain di perusahaan yang membutuhkan keterampilan mereka. Contohnya
seorang profesional perusahaan jasa menemukan tiga orang di salah satu divisi
terbesarnya dikendalikan oleh akses ke para ahli yang diandalkan banyak
perusahaan, membatasi mereka dari bekerja secara efektif dengan bisnis yang lebih
luas.
3. Tetapkan Ulang Pekerjaan
Dengan menggunakan hasil analisis kesenjangan keterampilan, perusahaan dapat
mendefinisikan kembali pekerjaan untuk memastikan bahwa para ahli mengabdikan diri
hampir sepanjang waktu mereka untuk tugas-tugas yang sesuai dengan keahlian khusus
mereka.

Salah satu organisasi yang telah memulai program ambisius untuk melakukan ini adalah
divisi United Kingdom’s National Health Service that serves London. Dalam upayanya untuk
memanfaatkan sumber daya yang langka secara maksimal, NHS London mencermati
keseluruhan "Perjalanan pasien" melalui sistemnya, termasuk lokasi di mana pasien
menerima perawatan, praktik yang telah menghasilkan hasil terbaik bagi pasien, dan
keterampilan yang dibutuhkan untuk memberikan perawatan berkualitas tinggi. Melalui
wawancara, pengamatan, dan survei alokasi waktu, para pemimpin berupaya
mengidentifikasi peluang untuk mendesain ulang peran. Misalnya, untuk memastikan
bahwa dokter spesialis dan dokter umum di penyedia independen dapat lebih fokus pada
tugas mereka, NHS London merekomendasikan agar kepercayaan NHS lokal menggeser
sebagian tanggung jawab klinis dan administratif mereka untuk perawat, paramedis, dan
asisten praktisi. Untuk transisi yang mulus ke peran yang didesain ulang, NHS London
menciptakan program pelatihan baru untuk dokter dan manajer senior yang akan
memimpin perubahan.

Dalam mendefinisikan ulang pekerjaan, perusahaan juga harus mempertimbangkan


kemajuan teknologi yang membuat pekerjaan dari jarak jauh lebih mudah dilakukan. Saat ini
perusahaan dan karyawan memiliki lebih banyak pilihan untuk melakukan pekerjaan
dimanapun. Dalam studi kasus di mana interaksi langsung dan penilaian yang canggih adalah
inti dari pengiriman nilai melakukan prosedur medis, penjualan, dan pemberian nasihat
keuangan termasuk dalam kategori ini, tujuannya adalah untuk mendesain ulang peran
sehingga orang menghabiskan semua waktu milik untuk keahlian mereka. Jika tugas
tersegmentasi dengan tepat dan biaya lebih rendah, bukan berarti hasil dari pekerjaan
berkualitas rendah.

Beberapa pertimbangan untuk pemisahan tugas untuk penata ulangan pekerjaan:

 Virtualisasi
Tugas yang membutuhkan keterampilan langka tetapi tidak bergantung pada
interaksi langsung atau kedekatan fisik — misalnya, menyaring atau melakukan
analisis penetapan harga yang kompleks— dapat bergeser ke orang-orang di lokasi
yang lebih murah. Ini terjadi di industri hukum A.S., di mana klien semakin
mempertanyakan model layanan pengacara tradisional yang mengenakan biaya $
300 per jam atau lebih untuk waktu mereka, terlepas dari tugas utama mereka.
Misalnya, lebih sedikit perusahaan yang mau untuk membayar biaya tinggi per jam
untuk pekerjaan rutin.
Sebagai tanggapan, lebih banyak firma hukum mengalihkan tugas tersebut ke
karyawan berbiaya rendah, beberapa di antaranya berlokasi cukup jauh. Seperti yang
kami sebutkan di atas, Orrick menggeser pekerjaan penemuan ke pusat layanan
dengan gaji pengacara yang tidak berada di jalur mitra, yang memungkinkan
perusahaan untuk secara signifikan menurunkan biaya tanpa mengorbankan
kualitas. Firma hukum lain mengirimkan tugas yang berkaitan dengan penemuan
kepada pengacara yang merupakan karyawan tetapi bekerja dari rumah dan
mengenakan tarif yang lebih rendah sebagai imbalan untuk fleksibilitas. Terlepas dari
bagaimana perusahaan memilih untuk memvirtualisasikan pekerjaan, sistem
manajemen kinerja sangat penting untuk kesuksesan. Performa individu yang
bekerja dari jarak jauh harus ditinjau secara berkala. Manajer mungkin perlu
pelatihan untuk melakukan ini secara efektif. Berbasis A.S. perusahaan kabel,
misalnya, membuat program untuk pengawas karyawan jarak jauh yang mengajar
mereka bagaimana mengelola hasil, bukan kegiatan.
 Alih daya atau kontrak
Ketika sebuah perusahaan memiliki kebutuhan akan keahlian yang hanya sekali
pakai atau jarang (misalnya perusahaan minyak memerlukan jenis insinyur tertentu
untuk sebuah proyek tertentu atau perusahaan onderdil mobil membutuhkan
keahlian khusus untuk mengembangkan model penetapan harga) atau kapan suatu
perusahaan mengalami lonjakan permintaan secara berkala keterampilan tertentu,
mempekerjakan penyedia eksternal bisa jadi pilihan terbaik. Dalam beberapa tahun
terakhir, ketersediaan "para profesional pengetahuan yang mampu" telah
meningkat.
Dalam membuat keputusan untuk melakukan outsourcing, organisasi harus
mempertimbangkan strategi dan juga biaya: Ya memiliki kepemilikan langsung atas
pekerjaan tersebut memberikan keuntungan kompetitif? Jika demikian, pertahankan
pekerjaan itu di rumah dan pastikan bahwa mereka yang bertanggung jawab untuk
pekerjaan itu dibebaskan dari tugas-tugas bernilai rendah yang bisa dilakukan orang
lain unruk menyelesaikan.
Jika suatu perusahaan memutuskan untuk melakukan outsourcing, itu harus
bersusah payah untuk menghubungkan penyedia eksternal ke organisasi yang lebih
luas. Ini dimulai dengan orientasi atau program onboarding yang memberikan
kontraktor pemahaman orang dalam tentang perusahaan dan menyediakannya
dengan titik kontak. Perusahaan harus memfasilitasi jika terjadi interaksi dan
komunikasi antara kontraktor dan pakar internal serta pembuat keputusan, dan
membangun proses yang dipikirkan dengan matang untuk serah terima pekerjaan
kepada pemilik internal. Tanpa mekanisme itu di tempatnya, penyedia eksternal
dapat menghasilkan pekerjaan yang akurat secara teknis tetapi tidak memiliki
nuansa khusus perusahaan atau dukungan internal yang diperlukan agar dapat
bertahan.
Contoh kasus: Seorang eksekutif tingkat menengah di pengecer besar dikontrak
dengan perusahaan analitik di India untuk menjalankan analisis terperinci untuk
menginformasikan strategi penetapan harga pengecer. Perusahaan menghasilkan
karya teknis berkualitas tinggi, tetapi ketika hasilnya dibagikan dengan manajemen
senior, mereka gagal; mereka dipandang "menarik" tetapi terputus dari strategi
penjualan keseluruhan — terutama sejak kelompok internal di pengecer telah
melakukan serupa tetapi kurang canggih analitik dan jangkauannya kesimpulan
berbeda. Apakah eksekutif mengaitkannya? perusahaan analitik lebih dekat dengan
orang-orang dalam bisnis yang secara historis menetapkan strategi penetapan harga
atau memilikinya memberi tahu kontraktor tentang perusahaan yang lebih luas
strategi dan sasaran bisnis, proyek akan melakukannya telah memberikan nilai jauh
lebih besar

4. Proses untuk Memperbaiki Keterampilan dan Manajemen Pengetahuan


Solusi yang kami jelaskan hanya akan efektif jika suatu organisasi juga memperlengkapi
kembali proses dan budayanya untuk mendukung cara kerja yang baru. Secara khusus,
perusahaan harus belajar cara mengelola spesialis dan penyedia eksternal dan
mengintegrasikan mereka ke dalam bisnis.

Pertama, perusahaan harus unggul dalam menarik, memotivasi, dan mempertahankan


spesialis. Beberapa pengecer besar seperti Walmart dan Staples memikat bakat teknologi,
misalnya, dengan membuka kantor di pusat teknologi seperti Silicon Valley dan Cambridge,
Massachusetts, dan dengan menawarkan pelatihan teknis dan jalur karier yang jelas.

Kedua, perusahaan harus mengembangkan mekanisme untuk memupuk spesialis yang


memiliki potensi untuk mengambil peran yang lebih luas atau menjadi pemimpin dalam
organisasi. Perusahaan telekomunikasi tempat kami bekerja menciptakan program rotasi
pekerjaan yang memungkinkan spesialis berkinerja tinggi didaerah terpencil untuk
menghabiskan beberapa bulan di kantor pusat perusahaan, di mana mereka bisa
mendapatkan eksposur ke eksekutif senior dan mengembangkan pengetahuan mereka
tentang perusahaan. Perusahaan keuangan yang berbasis di A.S. memantau kinerja analis di
lokasi lepas pantai berbiaya rendah yang menghasilkan bahan dasar laporan untuk
pedagang di operasi perusahaan di A.S., Eropa, dan Asia. Performa terbaik diidentifikasi dan
dikembangkan untuk mengambil peran perdagangan dengan keterampilan lebih tinggi.

Ketiga, perusahaan harus menangkap pengetahuan tenteng spesialis internal dan eksternal
sehingga orang lain dalam organisasi dapat mengambil manfaat darinya. Ini membutuhkan
usaha yang kuat,proses manajemen pengetahuan yang mudah digunakan dan sistem.
Beberapa perusahaan mengategorikan setiap proyek menurut wawasan yang cenderung
dihasilkan (misalnya, "khas," "milik," atau "Umum") dan membuat peta agar wawasan dapat
didokumentasikan dan dibagikan. Peta jalan menentukan templat untuk pengetahuan
kodifikasi, daftar orang dan grup dalam perusahaan yang mungkin menemukan
pengetahuan yang bermanfaat, dan jadwal yang disarankan untuk pertemuan transfer
pengetahuan.

Keempat, perusahaan harus memastikan spesialis yang merupakan karyawan yang bekerja
dari jarak jauh terlibat dengan karyawan yang menggunakan pekerjaan dan pemimpin bisnis
mereka. Cara untuk mewujudkannya termasuk mengundang mereka bergabung dengan tim
lintas fungsi, meminta pemimpin perusahaan bertemu dengan kelompok spesialis secara
teratur, dan menempatkan spesialis dalam unit bisnis.

Seperti halnya perubahan tenaga kerja, sering terjadi dimulai dari yang kecil: Pindahkan satu
subset pekerjaan ke spesialis atau penyedia eksternal. Ini memungkinkan perusahaan untuk
menguji bakat baru dan proses manajemen dan membangun kepercayaan pemangku
kepentingan di dalamnya.

Perusahaan-perusahaan agresif mengabaikan konvensi tentang di mana, bagaimana, dan


oleh siapa knowledge work dilakukan. Tetapi ketika peran tradisional didefinisikan ulang,
pekerja terikat untuk berjuang dengan ketidakpastian. Sangat penting para pemimpin
melipatgandakan upaya mereka. Untuk memastikan hal itu manajer kunci terlibat penuh.
Semua karyawan harus memahami bagaimana transformasi mereka, tahu apa yang
diharapkan dari mereka, dan jelas tentang bagaimana kesuksesan mereka akan dievaluasi.
Lewat sini mereka dapat membuka baik peningkatan produktivitas maupun kepuasan
pribadi
The Essence of Strategic Leadership: Managing Human and Social Capital
1. Strategic Leadership is a person’s ability to anticipate, envision, maintain flexibility, think
strategically and work with others to initiate changes that will create a viable future for the
organization.
2. The essence of Strategic Leadership is managing resources and that these managerial
activities are a vital part of what is often a demanding work load for executives.
Critical Resources: Human Capital and Social Capital
Human Capital
3. Human capital is the firm’s repositrory of valuable knowledge and skill. Both are significant
contributors to achievement of a competitibe advantage.
4. Human capital represent the knowledge, skills and capabilities of individuals.
5. Firm with greater investment in and utilization of human capital experience higher levels of
performance.
6. Human capital’s importance lies in the fact that it possesses most of the knowledge in an
organization, particularly the tacit knowledge in an organization, particularly the tacit
knowledge.
7. From knowledge-based perspective, human capital’s knowledge and skills denote
organizational potential—potential that realized through effective development and use of
social capital.
8. Knowledge-based company, social capital is used to find ways for the organization to serve
human capital as it pursue wealth-creating activities. Its differs from historic relationship in
organization when human capital expected to serve the firm’s system and structures.
Social Capital
9. Social capital involves the relationships between individuals and organization that facilitate
action and create value. Enabling people to act collectively, social capital reflects the value
of relationships and is a quality existing among people and organization.
10. Social capital entails a web relationships that includes norms, values and obligations but also
yield potential opportunities for the holder of the capital.
Two Dimensions of Social Capital
11. It is necessary for Strategic leaders to build relationship with individuals and organization
inside of the firm and also outside of the firm. We call those two dimension as Internal Social
Capital and External Social Capital.
12. Internal Social Capital is concerned with the relationships between strategic leaders and
those whom they led as well as relationships across all of an organization’s work units.
13. Strategic Leaders must build effective relationship with those in the group and create a
culture of trust among all group members, including the leader.
14. Trust engenders several benefit such as allowing transactions to be completed more
effectively, work teams to be more effective an human capital to more readily exercise its
creativity.
15. To build strong community (employee are regarded as citizen of the community) strategic
leaders must gain commitment from the employee to the firm’s vision and goals.

Page 1 of 2
16. External Social Capital is concerned with the relationship between strategic leaders and
those outside the organization with whom they interact to further the firm’s interest.
Leadership as Managing Resources
17. Heres four models to manage resources in order to create value, both for today and for
tomorrow:
a. Evaluating Resources: the firm’s current stocks or inventory of resources is the first
stage managing resources in ways that create value.
b. Changing Resource Stocks: Changing resources in the firm’s stock of resources
involves adding and deleting resources. Eliminate some human capital (in substantial
number) it is often called layoffs or downsizing.
c. Configuring and Leveraging Resources: effective leaders know well the people who
work with them in terms of their capabilities and weakness. In assigning tasks, they
match the task requirements to each employee’s skills and capabilities.
Most task cannot be accomplished alone but require interaction and coordination
with other work to be completed. Thus, assignment of individuals to tasks also
entails integrating human capital to complete the job assigned.

Page 2 of 2
SOCIAL INTELLIGENCE AND THE BIOLOGY OF LEADERSHIP

Para pemimpin hebat adalah mereka yang perilakunya dengan kuat memanfaatkan
sistem interkoneksi otak. Jika benar, maka cara ampuh untuk menjadi pemimpin yang lebih
baik adalah dengan menemukan konteks otentik untuk mempelajari jenis-jenis perilaku sosial
yang memperkuat sirkuit sosial otak. Memimpin secara efektif adalah, menguasai situasi -
atau bahkan menguasai serangkaian keterampilan sosial - daripada tentang mengembangkan
minat dan bakat yang tulus untuk menumbuhkan perasaan positif pada orang-orang yang
kerjasama dan dukungannya dibutuhkan.

Followers Mirror Their Leaders – Literally

Mungkin penemuan terbaru yang paling menakjubkan dalam ilmu saraf perilaku adalah
identifikasi neuron cermin di area otak yang tersebar luas. Ketika kita secara sadar atau tidak
sadar mendeteksi emosi orang lain melalui tindakan mereka, neuron cermin kita
mereproduksi emosi itu. Cermin neuron memiliki kepentingan khusus dalam organisasi,
karena emosi dan tindakan para pemimpin mendorong pengikut untuk mencerminkan
perasaan dan perbuatan itu. Dan semua orang tahu bahwa ketika orang merasa lebih baik,
mereka berkinerja lebih baik. Jadi, jika para pemimpin berharap untuk mendapatkan yang
terbaik dari orang-orang mereka, mereka harus terus menuntut tetapi dengan cara yang
menumbuhkan suasana hati yang positif di tim mereka.

The “Finely Attuned” Leader

Para eksekutif hebat sering berbicara tentang memimpin dari usus. Memang, memiliki naluri
yang baik secara luas diakui sebagai keuntungan bagi seorang pemimpin dalam konteks apa
pun, baik dalam membaca suasana organisasi seseorang atau dalam melakukan negosiasi
yang halus dengan pesaing. Koneksi ultrarapidari dari emosi, kepercayaan, dan penilaian ini
menciptakan apa yang oleh para ilmuwan perilaku disebut sistem panduan sosial kita. Sel
spindle memicu jaringan saraf yang ikut bermain kapan pun kita harus memilih respons
terbaik di antara banyak - bahkan untuk tugas yang rutin seperti memprioritaskan daftar yang
harus dilakukan. Sel-sel ini juga membantu kita mengukur apakah seseorang dapat dipercaya
dan benar (atau salah) untuk suatu pekerjaan.
Firing Up Your Social Neurons

Cincin neuron sosial terbukti ada di sekitar kita. Kami pernah menganalisis video Herb
Kelleher, salah seorang pendiri dan mantan CEO Southwest Airlines, berjalan menyusuri
koridor Love Field di Dallas, pusat maskapai. Kami bisa melihat dia mengaktifkan neuron
cermin, osilator, dan sirkuit sosial lainnya di setiap orang yang ditemuinya. Dia menawarkan
senyum berseri-seri, berjabat tangan dengan pelanggan ketika dia mengatakan kepada
mereka betapa dia menghargai bisnis mereka, memeluk karyawan saat dia berterima kasih
kepada mereka atas kerja bagus mereka. Dan dia mendapatkan kembali apa yang dia berikan.
Satu-satunya cara untuk mengembangkan sirkuit sosial secara efektif adalah dengan
melakukan kerja keras mengubah perilak. Perusahaan yang tertarik dalam pengembangan
kepemimpinan perlu memulai dengan menilai kesediaan individu untuk memasuki program
perubahan. Calon yang bersemangat harus terlebih dahulu mengembangkan visi pribadi
untuk perubahan dan kemudian menjalani penilaian diagnostik menyeluruh, mirip dengan
pemeriksaan medis, untuk mengidentifikasi bidang kelemahan dan kekuatan sosial. Berbekal
umpan balik, calon pemimpin dapat dilatih di bidang-bidang tertentu dimana
mengembangkan keterampilan sosial yang lebih baik akan memiliki hasil terbesar. Pelatihan
dapat berkisar dari melatih cara berinteraksi yang lebih baik dan mencobanya di setiap
kesempatan, hingga dibayangi oleh pelatih dan kemudian membahas tentang apa yang dia
amati, hingga belajar langsung dari panutan. Ada banyak pilihan, tetapi jalan menuju sukses
selalu sulit.

How to Become Socially Smarter

Perilaku kita menciptakan dan mengembangkan jaringan saraf, kita tidak harus menjadi
tahanan gen kita dan pengalaman masa kecil kita. Para pemimpin dapat berubah jika, mereka
siap untuk berupaya. Ketika kita berkembang dalam pelatihannya, perilaku sosial yang kita
pelajari menjadi lebih seperti sifat kedua bagi kita. Dalam istilah ilmiah, kita bisa memperkuat
sirkuit sosialnya melalui latihan. Dan ketika orang lain menanggapi dia, otak mereka
terhubung dengan miliknya lebih dalam dan efektif, sehingga memperkuat sirkuit kita dalam
lingkaran yang baik. Perusahaan jelas dapat memperoleh banyak manfaat dari menempatkan
orang melalui jenis program yang kita selesaikan.
Hard Metrics of Social Intelligence

Penelitian kami selama dekade terakhir telah mengkonfirmasi bahwa ada kesenjangan kinerja
yang besar antara pemimpin yang cerdas secara sosial dan yang tidak cerdas secara sosial. Di
sebuah bank nasional besar, misalnya, kami menemukan bahwa tingkat kompetensi
kecerdasan sosial eksekutif memperkirakan penilaian kinerja tahunan lebih kuat daripada
kompetensi kecerdasan emosi kesadaran diri dan manajemen diri. (Untuk penjelasan singkat
tentang alat penilaian kami, yang berfokus pada tujuh dimensi, lihat pameran “Apakah Anda
Pemimpin yang Cerdas Secara Sosial?”)

The way to develop your social circuitry is to


undertake the hard work of changing your behavior.
Kecerdasan sosial ternyata sangat penting dalam situasi krisis. Pertimbangkan pengalaman
para pekerja di sistem perawatan kesehatan provinsi Kanada yang besar yang telah melalui
pengurangan drastis dan reorganisasi. Survei internal mengungkapkan bahwa pekerja garis
depan menjadi frustrasi karena mereka tidak lagi dapat memberikan perawatan tingkat tinggi
kepada pasien mereka. Khususnya, pekerja yang pemimpinnya memiliki skor rendah dalam
kecerdasan sosial melaporkan kebutuhan perawatan pasien yang tidak terpenuhi pada
tingkat tiga kali lipat - dan kelelahan emosional pada tingkat empat kali lipat - dari rekan-rekan
mereka yang memiliki pemimpin yang mendukung. Pada saat yang sama, perawat dengan
bos yang cerdas secara sosial melaporkan kesehatan emosi yang baik dan kemampuan yang
ditingkatkan untuk merawat pasien mereka, bahkan selama tekanan PHK (lihat bilah samping
"The Chemistry of Stress"). Hasil ini harus menjadi bacaan wajib bagi dewan perusahaan
dalam krisis. Dewan seperti itu biasanya lebih menyukai keahlian daripada kecerdasan sosial
ketika memilih seseorang untuk membimbing lembaga melalui masa-masa sulit. Seorang
manajer krisis membutuhkan keduanya.

•••

Ketika kita menjelajahi penemuan-penemuan ilmu saraf, kita dikejutkan oleh seberapa dekat
teori-teori psikologis terbaik dari pengembangan peta dengan jaringan otak yang baru
dipetakan. Kembali pada 1950-an, misalnya, dokter anak Inggris dan psikoanalis D.W.
Winnicott menganjurkan bermain sebagai cara untuk mempercepat pembelajaran anak-anak.
Demikian pula, dokter dan psikoanalis Inggris John Bowlby menekankan pentingnya
menyediakan basis yang aman dari mana orang dapat berjuang menuju tujuan, mengambil
risiko tanpa rasa takut yang tidak beralasan, dan secara bebas mengeksplorasi kemungkinan
baru. Para eksekutif yang tergigit keras dapat menganggapnya tidak masuk akal dan secara
finansial tidak dapat dipertahankan untuk menyibukkan diri dengan teori-teori semacam itu
di dunia di mana kinerja bottom-line adalah tolok ukur kesuksesan. Tetapi ketika cara-cara
baru untuk mengukur perkembangan manusia secara ilmiah mulai mendukung teori-teori ini
dan menghubungkannya secara langsung dengan kinerja, yang disebut sisi lunak bisnis mulai
terlihat tidak begitu lembut.
How to Invest in Social Capital
Prusak and Cohen
Bisnis akan berjalan lebih baik ketika orang-orang dalam organisasi tersebut percaya satu
sama lain, transaksi akan bergerak lebih cepat dan lebih lancer, tim akan lebih produktif,
orang bergerak lebih cepat dan lebih banyak kreativitas. Manajer menunggu para
karyawannya terhubung satu sama lain, alasan pertama social capital berada di bawah
sebagian besar organisasi karena meningkatnya volatalitas dan bergantung berlebihan pada
virtualitas. Kedua, social capital diserang karena hanya sedikit manajer yang tahu cara
berinvetasi di dalamnya.
Volatile, Tempat Kerja Virtual
Dengan teknologi banyak produk baru bermunculan setiap hari, atau terasa demikian dan
organisasi merespons dengan struktur. Volatilitas memunculkan peluang untuk setiap
perusahaan dihancurkan oleh teknologi baru. Dan virtualitas memberi karyawan
fleksibilitas, ,memberi perusahaan senjata kompetitif. Tetapi volatilitas dan virtualitas
mengikis hubungan -sesederhana itu- itulah sebabnya manajer harus belajar berinvestasi
social capital

Membuat koneksi

Perusahaan yang kami pelajari menghargai komitmen nyata untuk retensi. Artinya mereka
membatasi, mengurangi volatilitas dengan bekerja keras untuk memastikan orang-orang
dalam organisasi terjebak di sekitar. Hubungan hanya bisa terjadi dan kepercayaan hanya
bisa berkembanmg ketika orang saling mengenal. Contoh yang baik dari perusahaan yang
berkomitmen untuk retensi adalah SAS, dimana tingkat turnovernya dibawah 4% untuk
perusahaan perangkat lunak di industry yang luar biasa. SAS mempertahankan karyawannya
bukan dengan gaji yang tinggi, orang bertahan disini bukan karena gajinya yang menarik,
yang menarik orang tetap di SAS adalah tempat kerja mereka, secara positif masuk akal.
Karyawan memanfaatkan fasilitas olahraga, rekreasi perusahaan, pusat perawatan
kesehatan, dan dua pusat pengasuhan anak dimana merupakan tempat interaksi mereka
satu sama lain, memperdalam hubungan dan menciptakan rasa komunitas yang kuat.

Ketika datang ke social capital, memungkinkan orang yang bertemu muka hanya setengah
dari itu. Interaksi terjadi jika mereka berbicara tentang pekerjaan. Itu sebabnya kantin,
ruang obrolan, perpustakaan, dapur, dan ruang social lainnya penting. Tentu mereka
mempromosikan pengetahuan, dan bertukar informasi tetapi hal ini juga memacu mencapai
kepentingan Bersama yang mendukung komunitas. Investasi pada karyawan memang ruang
melegitimasi percakapan informal, menandakan keyakinan perusahaan pada nilainya.

Pelanggaran modal

Berikut adalah perusak modal:


1. Hoteting: sejumlah perusahaan yang karyawannya sering bepergian telah
menghilangkan pendekatan tradisional “satu orang, satu meja”. Hoteting
menjadikan peluang karyawan untuk membentuk jaringan pribadi, mengembangkan
kepercayaan, mempelajari perilaku dan nilai-nilai organisasi dengan mengamati
orang-orang beraksi dari waktu ke waktu. Ini juga menghilangkan peluang bagi
karyawan unutk mengkomunikasikan identitasnya dan koneksi individu dengan
organisasi melalui artefak yang ditampilkan di ruang kerja pribadi
2. Rekayasa ulang dan keturunannya: Efisiensi adalah hal penting namun tidak
mengorbankan ruang dan waktu dan waktu bernafas koneksi manusia-dan
pemikiran-perlu untuk berkembang
3. Pemimpin sebagai superstar: Pemimpin karismatik kadang-kadang mencapai hal-hal
luar biasa, tetapi mengangkat pemimpin menjadi bintang besar cenderung demikian
meniadakan sifat sosial yang mendalam dari semua pekerjaan. Tidak seorang pun
bisa. Pada akhirnya, penekanan pada pemimpin yang lebih besar dari kehidupan
perusahaan, mengurangi kepercayaan, kolaborasi, dan keadilan yang dirasakan
4. Kemunafikan. Kemunafikan adalah masalah yang jelas. Salah satu contohnya adalah
memuji kerjasama dan berbagi pengetahuan sambil mempromosikan kendaraan
roda dealer yang menyimpan kartunya dekat dengan dada mereka

“Agen Bebas” Bangsa

Salah satu kunci bisnis paling popular di Indonesia adalah “agen bebas”. Idenya adalah agar
setiap pekerja tidak hanya di satu perusahaan, mengembangkan keahliannya, pada proyekj
demi proyek, kemanapun dunia membutuhkannya. Penggemar teknologi mengklaim bahwa
World Wide Web telah membuka pinmtu menuju kolaborasi universal, bahwa perusahaan
virtual akan siap memanfaatkan peluang yang muncul. Setelah selesai, agen bebas itu
menjadi model kerja dan pekerjaan

GE sangat bersemangat menjaga alat-alatnya dan tempat sampah untuk memastikan


karyawan tidak mencuri apa pun. Dihadapkan dengan tampilan ketidakpercayaan yang
nyata ini, banyak karyawan berangkat untuk membuktikannya, berjalan dengan alat atau
bagian kapan saja mereka bisa. Akhirnya, alat GE tersebar di seluruh kota, termasuk loteng
rumah tempat kami tinggal.
Rob Parson at Morgan Stanley

Paul Nasr

Paul Nasr, direktur pelaksana senior di Layanan Pasar Modal Morgan Stanley, meneliti evaluasi kinerja
produser terbaiknya, Rob Parson. Ditemukan beberapa hal yang negative. Nasr semakin merasa bahwa
Parson mengalami kesulitan menyesuaikan diri dengan budaya Morgan Stanley, dia mengalami masalah
interpersonal saat bekerja dengan orang-orang di dalam perusahaan. Nasr juga meremehkan beberapa
tindakan Parson yang telah melanggar norma Morgan Stanley. Parson dianggap sebagai penghasil
pendapatan yang kuat dan telah menghasilkan banyak bisnis baru untuk perusahaan. Parson juga berlidah
tajam, tidak sabar, dan sering sulit diajak bekerja sama. Dari sudut pandang Nasr, dia tahu bahwa Morgan
Stanley membutuhkan tim, tetapi Nasr merasa bahwa dia punya tanggung jawab untuk membangun
bisnis dan Parson dinilai sangat penting. Parson memenuhi syarat untuk dipromosikan menjadi direktur
pelaksana tahun ini. Bahkan, Nasr hampir secara implisit menjanjikan kenaikan pangkat ketika dia
merekrut Parson ke Morgan Stanley. Tetapi, dengan evaluasi kinerja seperti ini, akan menjadi sulit bagi
perusahaan untuk mempromosikan Parson.

Latar Belakang

Morgan Stanley adalah bank investasi yang terkemuka di Amerika. Di bawah kepemimpinan John mack,
perusahaan melakukan perubahan organisasi, dimana Morgan Stanley mentransformasi perusahaannya
menjadi “One firm-firm” dimana hal ini tertuang dalam visi perusahaan yaitu ingin menjadi bank investasi
terbaik di dunia ,dan menjadi pilihan utama investasi bagi client, masyarakat dan shareholder. Karyawan
nyamerupakan competitive advantages bagi perusahaan. Dimana perusahaan memperlakukan
karyawannya baik, dengan menciptakan suasana kerja yang baik untuk teamwork, serta merangsang agar
karyawan dapat mengembangkan dirinya sampai pada kemampuan terbaiknya. Menerapkan strategi
baru, maka diperlukan tanggung jawab dari seorang managing director. Seperti perusahaan lainnya,
Morgan Stanley punya jenjang karir,dengan Managing director sebagai karir tertinggi. Paul Nasr ditunjuk
sebagai presiden baru dari Morgan Stanley, dan di harapkan dapat merubah kultur perusahaan. Paul nasr
sendiri menilai perusahaan ini memiliki kualitas sumber daya manusia yang baik, dan dia juga mengakui
bahwa keberhasilan sebuah bank investasi juga sangat tergantung dari karyawan yang dimilikinya. Di
Morgan Stanley terdapat suatu divisi Capital market service yang dibentuk agar perusahaan dapat lebih
responsive dan dapat melayani konsumennya dengan lebih baik. Rob parson di tunjuk untuk dapat
mengembang bisnis dalam divisi ini.Dan dipilihlah Rob parson menjadi Principal di bank ini.
Rob Parson

Rob Parson adalah karyawan baru di bank ini, tetapi sebelumnya dia telah memiliki pengalaman lebih dari
10 tahun dan memiliki hubungan yang baik dengan orang-orang di industri perbankan dan asuransi.
Sebenarnya pada saat pertama kali direkrut dia merasa ragu karena berbeda dengan orang-orang yang
berada di morgan Stanley dan merasa dirinya kurang cocok dengan kultur yang ada di bank tersebut. Dia
merasa tidak memiliki pendidikan tinggi dan bukan berasal dari sekolah yang bergengsi seperti karyawan
lainnya. Tetapi Rob Parson akhirnya mengambil pekerjaan ini dan menjadi Principal di Morgan Stanley
karena dijanjikan akan mendapatkan kesempatan untuk dipromosikan menjadi Managing Director di
Morgan Stanley. Kinerja yang dilakukan oleh Rob sangat Luar biasa, dimana dia berhasil membuat posisi
Morgan Stanley dari posisi 10 menjadi posisi 2 dan berhasil meningkatkan market share dari 2% menjadi
12,2% walaupun gaya yang dilakukan oleh Rob Parson sangat berbeda dibanding dengan karyawan lain di
Morgan Stanley. Walaupun banyak yang menganggap kinerja Rob Parson berbeda dengan kultur yang
dianut oleh Morgan Stanley, tetapi paul Nasr membela apa yang telah dilakukan oleh Rob karena kinerja
yang telah dilakukan Rob sangat bagus dimata paul dan membuat perusahaan mendapatkan capital
market yang luas.

Dari evaluasi, jelas bahwa ada kekhawatiran luas tentang "gaya" Rob Parson. Para atasan menggunakan
kata-kata seperti "volatile" dan "abrasif." Kolega khawatir tentang "kurangnya keterampilan pemain tim."
Satu rekannya menggambarkan bagaimana dia bisa tampil "sombong, membalik atau tidak tulus." Nasr
menyimpulkan: Dia telah menciptakan lingkungan yang tidak bersahabat di sekitarnya.

Sementara dari sudut pandangnya sendiri, Parson menemukan beberapa aspek bekerja di dalam
perusahaan yang sangat membuatnya frustrasi: “Saya bertanya-tanya apakah yang paling penting adalah
"bentuk" daripada "Substansi." Apakah perusahaan itu lebih suka memiliki orang-orang yang pergi ke
sekolah yang baik, mengatakann hal yang benar, atau pria seperti saya, yang sedikit lebih kasar di tepinya,
tidak harus memiliki riwayat hidup yang tepat, tetapi umumnya bagus dalam membawa arah bisnis?”

Proses Evaluasi Kinerja di Morgan Stanley

Salah satu inovasi penting yang diterapkan oleh Mack ketika ia menjadi presiden Morgan Stanley adalah
sebuah proses evaluasi kinerja 360 derajat yang kua. Semua profesional di perusahaan dievaluasi oleh
atasan dan kolega , serta bawahan. Mack percaya, kriteria di mana orang dievaluasi dan diberi kompensasi
akan mendorong karyawan untuk menyesuaikan dengan cara baru dalam melakukan bisnis yang
menekankan kerja tim, kerja sama, dan cross-selling.
Dalam evaluasi dirinya, Parson menyadari bahwa ia perlu memiliki kesabaran" dan mengurangi perilaku
agresif di lingkungan internal. Dia juga melaporkan bahwa dia telah melakukan "pekerjaan yang buruk
dalam promosi diri." Dia menggambarkan ingin melakukan “pekerjaan yang lebih baik komunikasinya
secara internal, sejauh mana diskusi saya dengan basis klien yang luas sukses di seluruh spektrum produk
investasi perbankan.

Ketika Nasr membaca evaluasi kinerja Parson, ia mempertimbangkan pilihan. Pertama, dia harus
memutuskan apakah divisi Pasar Modal akan menempatkan Parson atau tidak untuk promosi ke direktur
pelaksana. Dia juga perlu menyelesaikan evaluasi dan pengembangan ringkasan yang akan menjadi dasar
tinjauan kinerja tahunan Parson. Jika Parson adalah kandidat untuk promosi, ringkasan evaluasi dan
pengembangan akan ditinjau oleh seluruh komite promosi, sekelompok direktur pelaksana senior dari
seluruh perusahaan yang mengkaji semua kandidat dan membuat keputusan akhir. Dia juga perlu
berbicara dengan Parson menjelaskan keputusannya dan memberinya umpan balik berupa saran
pengembangan. Nasr tahu bahwa keefektifan sesi itu akan sangat penting: pertama, dalam hal masa
depan kinerja Parson, dan kedua, jika perusahaan memutuskan untuk tidak mempromosikannya tahun
ini, apakah dia tetap mau tinggal atau tidak.

Anda mungkin juga menyukai