Anda di halaman 1dari 30

PERCOBAAN 1

PENGAMATAN AKTIVITAS ANTIBAKTERI DAN PENENTUAN

KONSENTERASI HAMBAT MINIMUM (KHM)

I. Tujuan Percobaan
1. Memahami bagaimana cara menguji aktivitas antibiotika terhadap suatu
mikroba secara in vitro.
2. Melatih keterampilan dalam penentuan Konsentrasi Hambat Minimum
(KHM).
3. Membandingkan 2 metode dalam penentuan KHM.

II. Pendahuluan

Konsentrasi hambat minimun adalah konsentrasi terendah dari antibiotika


atau antimikrobial yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba tertentu. Nilai
KHM adalah spesifik untuk tiap-tiap kombinasi dari antibiotika dan mikroba
(Greenwood, 1995).

KHM dari sebuah antibiotika terhadap mikroba digunakan untuk


mengetahui sensitivitas dari mikroba terhadap antibiotika. Nilai KHM berlawanan
dengan sensitivitas mikroba yang diuji. Semakin rendah nilai KHM dari sebuah
antibiotika, sensitivitas dari bakteri akan semakin besar. KHM dari sebuah
antibiotika terhadap spesies mikroba adalah rata-rata KHM terhadap seluruh strain
dari spesies tersebut. Strain dari beberapa spesies mikroba adalah sangat berbeda
dalam hal sensitivitasnya (Greenwood, 1995).

Pada umumnya, pengujian potensi antibiotik secara mikrobiologi


menggunakan dua metode, yaitu metode pengenceran agar dan metode difusi agar.
Prinsip metode pengenceran agar adalah berdasarkan hambatan pertumbuhan
biakan mikroorganisme dalam media cair yang mengandung larutan antibiotik
sedangkan prinsip metode difusi agar adalah membandingkan zona hambatan
pertumbuhan mikroorganisme uji oleh dosis senyawa antibiotik yang diuji terhadap
zona hambatan oleh dosis antibiotik baku pembanding pada media lempeng agar
(Radji, 2010).

Pada umumnya metode yang dipergunakan dalam uji sensitivitas bakteri


adalah metode Difusi Agar yaitu dengan cara mengamati daya hambat pertumbuhan
mikroorganisme oleh ekstrak yang diketahui dari daerah di sekitar kertas cakram
(paper disk) yang tidak ditumbuhi oleh mikroorganisme. Zona hambatan
pertumbuhan inilah yang menunjukkan sensitivitas bakteri terhadap bahan anti
bakteri (Jawetz, 1995).

Bakteri merupakan mikroba prokariotik uniselular yang berkembang biak


secara aseksual dengan pembelahan sel. Bakteri tidak berklorofil kecuali beberapa
yang bersifat fotosintetik. Bakteri ada yang dapat hidup bebas, parasit, saprofit,
pathogen pada manusia, hewan dan tumbuhan. Sel-sel individu bakteri dapat
berbentuk seperti elips, bola, batang (Volk dan wheeler, 1988).

Bakteri merupakan mikroorganisme prokariot yang khas, bersel tunggal dan


tidak mengandung struktur yang terbatasi oleh membrane di dalam sitoplasmanya.
Sel baktei berbentuk khas pada beberapa bakteri yaitu bulat, batang atau silinder
dan spiral, dengan struktur luar berupa flagella, pili dan kapsul (Pelezar & Chan,
1986).

Staphylococcus adalah bakteri Gram-positif yang berbentuk bola. Bakteri


ini ada yang berkoloni dan berbentuk seperti buah buah anggur. Beberapa
karakteristik yang dimiliki Staphylococcus Aureus diantaranya hemolytic pada
darah agar, catalase-oxidase-positif dan negatif, dapat tumbuh pada suhu berkisar
15 sampai 45 derajat dan lingkungan NaCl pada konsentrasi tinggi hingga 15 persen
dan menghasilkan enzim coagulase. Escherichia coli termasuk dalam famili
Enterobacteraceae yang termasuk gram negatif dan berbentuk batang yang
fermentatif, Escherichia coli hidup dalam jumlah besar di dalam usus manusia,
yaitu membantu sistem pencernaan manusia dan melindunginya dari bakteri
patogen (Tom, 2005).
Antibiotika adalah senyawa kimia yang dihasilkan oleh berbagai jasad renik
bakteri, jamur dan aktinomises, yang dapat berkhasiat menghentikan pertumbuhan
atau membunuh jasad renik lainnya. Antibiotika yang diperoleh secara alami dari
mikroorganisme disebut antibiotika alami, antibiotika yang disintesis di
laboratorium disebut antibiotika sintetis. Antibiotika yang dihasilkan oleh
mikroorganisme dan dimodifikasi di laboratorium dengan menambahkan senyawa
kimia disebut antibiotika semisintetis (Subronto dan Tjahajati, 2001).

Antibiotik merupakan suatu substansi yang dihasilkan oleh suatu


mikroorganisme yang dalam jumlah yang sangat kecil dapat menghambat
pertumbuhan jasad renik lain. Kini, antibiotik merupakan senyawa kimia utama
untuk pengobatan penyakit menular (Pelczar, 1986).

Antibiotik adalah semacam bahan yang apabila digunakan dan memasuki


tubuh, akan mengeliminasi kuman, bakterial dan berbagai jasad renik. Pada
umumnya ketika diberikan, maka yang bersangkutan sedang diserang oleh jenis
kuman, bakterial atau jasad renik tertentu. Antibiotik biasanya memiliki daya basmi
terhadap jenis kuman tertentu, atau bakterial tertentu termasuk jasad renik,
disamping juga memiliki daya basmi bagi jenis yg memang berlaku umum (Anna,
2006).

Tetrasiklin merupakan salah satu obat antimikroba yang menghambat


sintesis protein mikroba. Untuk kehidupannya, sel mikroba perlu mensintesis
berbagai protein. Sintesis protein berlangsung di ribosom, dengan bantuan mRNA
dan tRNA. Pada bakteri, ribosom terdiri atas atas dua subunit, yang berdasarkan
konstanta sedimentasi dinyatakan sebagai ribosom 30S dan 50S. Untuk berfungsi
pada sintesis protein, kedua komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai mRNA
menjadi ribosom 70S (Anna, 2006).

Antibiotika terbagi menjadi beberapa golongan yaitu :

1. Golongan Beta Laktam


Terbagi menjadi derivat penisilin dan sefalosforin. Kerjanya menghambat
pembentukkan dinding sel bakteri. Contohnya : penisilin.
2. Golongan Amoniglikosida
Kerjanya menghambat sintesa protein sel bakteri. Contohnya :
Strepromisin, gentamisin.
3. Golongan Makroloda
Menghambat sintesa protein sel bakteri. Contohnya : Eritromisin.
4. Golongan Tetrasiklin
Kerjanya menghambat sintesa protein sel bakteri. Contohnya : Tetrasiklin.
5. Golongan lainnya
Kloramfenikol : untuk penyakit typus.
Rifampisin : untuk TBC (Wahyuni, 2005).

Berdasarkan ketahanan suatu mikroba terhadap antibiotika, maka


antibiotika dapat digolongkan menjadi :

a. Bakteriostatik, yaitu antibiotika yang menghambat pertumbuhan bakteri.


b. Bakteriosida, yaitu antibiotika yang membunuh bakteri (Wahyuni,2005).

III. Alat dan Bahan

Alat Bahan
Autoklaf Alumunium foil
Benang kasur Alkohol 70%
Bunsen Antibiotik ampisilin Na
Cawan petri Antibiotik kloramfenikol
Gunting Antibiotik tetrasiklin HCl
Hot plate Aquadest steril
Inkubator Cakram kertas
Jarum ose Kain kasa steril
Labu erlenmeyer Kapas berlemak
Labu takar Kertas
Pinset Medium NaCl 0,9%
Pipet eppendorf Medium Nutrient Agar
Pipet volume Medium Nutrient Broth
Solatip Mikroba uji Escherichia coli
Tabung reaksi Mikroba uji Staphylococcus
aureus

IV. Prosedur
4.1.Persiapan Praktikum
4.1.1. Sterilisasi alat dan media pertumbuhan bakteri
Sterilisasi alat dan media pertumbuhan bakteri dilakukan dengan
cara panas lembab menggunakan autoklaf pada suhu 121℃
selama 15 menit. Jarum ose disterilisasi dengan cara fiksasi pada
nyala api bunsen.

4.1.2. Penyiapan media pertumbuhan bakteri


Nutrien agar (NA) dibuat dengan melarutkan 23 gram serbuk NA
dalam air suling steril sebanyak 1000mL. Nutrienth broth (NB)
dibuat dengan melarutkan 8 gram serbuk NB dalam air suling
steril sebanyak 1000mL. Kemudian masing-masing dipanaskan
hingga larut dalam labu Erlenmeyer, disumbat dengan kapas
berlemak dan ditutup dengan aluminium foil lalu disterilkan
dengan autoklaf pada suhu 121℃ selama 15 menit.

4.1.3. Penyiapan bakteri uji


Tiap bakteri uji yaitu E. coli dan S. aureus dibiakkan pada media
pertumbuhan nutrien agar (NA) miring dan diinkubasi pada suhu
37℃ selama 24 jam.

4.1.4. Penyiapan perhitungan konsentrasi antibiotika


Antibiotik yang digunakan yaitu ampisilin, tetrasiklin,
kloramfenikol. Perhitungan pengenceran antibiotika dibuat.
Konsentrasi antibiotika untuk pengujian metoda difusi agar:
konsentrasi 500, 250, 100, 50, 25, 10, dan 1 𝜇g/mL. Konsentrasi
antibiotika untuk pengujian metoda pengenceran agar:
konsentrasi 0,9; 1,8; 3,6 dan 7,2 𝜇g/mL.

4.1.5. Pensuspensian bakteri uji


Pensuspensian bakteri uji dilakukan dengan mengumpulkan
biakan yang terdapat pada permukaan media agar miring kedalam
50mL larutan NaCl fisiologis.

4.1.6. Pembuatan larutan antibiotika


Disiapkan antibiotik ampisilin, tetrasiklin dan kloramfenikol
dengan konsentrasi 500, 250, 100, 50, 25, 10, dan 1 𝜇g/mL (untuk
pengujian metoda difusi agar). Dan konsentrasi 0,9; 1,8; 3,6 dan
7,2 𝜇g/mL (untuk pengujian metoda pengenceran agar).

4.2.Hari Praktikum
4.2.1. Pengujian Aktivitas Antibakteri Metoda Difusi Agar
Sebanyak 30 mL nutrien agar (NA) dicairkan dan dibiarkan
mencapai suhu ∓ 45℃, kemudian dituangkan kedalam cawan
petri steril yang sudah berisi suspensi bakteri sebanyak 0,5 mL.
Campuran kemudian diputar hingga homogen dan dibiarkan
selama beberapa menit sehingga menjadi padat. Empat buah
cakram kertas steril diletakkan pada tiap lempeng agar dalam
cawan petri. Setiap cakram ditetesi dengan 10 𝜇L larutan
antibiotik yang berbeda konsentrasi. Untuk 8 konsentrasi
penisilin digunakan 2 cawan petri. Pada cakram kertas akan
diperoleh kadar 5; 2,5; 1; 0,5; 0,25; 0,1 dan 0,01 𝜇g/cakram. Lalu
didiamkan ∓30 menit (pra inkubasi). Cawan petri kemudian
dimasukkan kedalam inkubator pada suhu 37℃ selama 18-24
jam. Setelah inkubasi, diamati dan diukur diameter hambat yang
terbentuk di sekitar cakram kertas. Buat kurva hubungan
konsentrasi atau log konsentrasi dengan diameter hambatan untuk
antibiotik yang digunakan pada percobaan.

4.2.2. Pengujian Aktivitas Antibakteri Metoda Pengenceran Agar


Sebanyak 15,5 mL nutrien agar (NA) dicairkan dan dibiarkan
mencapai suhu ∓ 45℃, kemudian dituangkan kedalam cawan
petri steril yang sudah berisi larutan antibiotika sebanyak 0,5 ml
sehingga diperoleh konsentrasi 0,03; 0,06; 0,12 dan 0,24 𝜇g/ml
antibiotika per cawan petri. Campuran kemudian diputar hingga
homogen dan dibiarkan selama beberapa menit sehingga menjadi
padat. Untuk setiap konsentrasi digunakan satu cawan petri.
Kemudian bakteri diteteskan keatas medium yang sudah menjadi
padat sebanyak 0,05 ml kemudian digores dengan jarum ose. Lalu
didiamkan ∓30 menit (pra inkubasi). Cawan petri kemudian
dimasukkan kedalam inkubator pada suhu 37℃ selama 18-24
jam. Setelah inkubasi, diamati ada atau tidak adanya
pertumbuhan bakteri pada cawan petri. Konsentrasi antibiotika
terendah yang tidak ditumbuhi bakteri disebut KHM antibiotika
tersebut untuk bakteri yang digunakan.

V. Data Pengamatan
5.1.Perhitungan pengenceran antibiotika
Larutan induk = 1g/ 10 mL akan dibuat 50 mL dengan konsentrasi 500
µg/mL.
500 µg/ mL x 50 mL = 25000 µg/ 50mL
= 25 mg/ 50 mL
1. V1 . N1 = V2 . N2
50 mL x 25 mg = V2 x 1000 mg
V2 = 1,25 mL
2. Konsentrasi 250 µg/ mL
V1 . N1 = V2 . N2
50 mL x 250 µg = V2 x 500 µg
V2 = 25 mL
3. Konsentrasi 100 µg/ mL
V1 . N1 = V2 . N2
50 mL x 100 µg = V2 x 250 µg
V2 = 20 mL
4. Konsentrasi 50 µg/ mL
V1 . N1 = V2 . N2
50 mL x 25 µg = V2 x 50 µg
V2 = 25 mL
5. Konsentrasi 25 µg/ mL
V1 . N1 = V2 . N2
50 mL x 25 µg = V2 x 50 µg
V2 = 25 mL
6. Konsentrasi 10 µg/ mL
V1 . N1 = V2 . N2
50 mL x 10 µg = V2 x 25 µg
V2 = 20 mL
7. Konsentrasi 7,2 µg/ mL
V1 . N1 = V2 . N2
50 mL x 7,2 µg = V2 x 10 µg
V2 = 36 mL
8. Konsentrasi 3,6 µg/ mL
V1 . N1 = V2 . N2
50 mL x 3,6 µg = V2 x 7,2 µg
V2 = 25 mL
9. Konsentrasi 1,8 µg/ mL
V1 . N1 = V2 . N2
50 mL x 1,8 µg = V2 x 3,6 µg
V2 = 25 mL
10. Konsentrasi 1 µg/ mL
V1 . N1 = V2 . N2
50 mL x 1 µg = V2 x 1,8 µg
V2 = 27,8 mL

11. Konsenterasi 0,9 µg/ mL


V1 . N1 = V2 . N2
50 mL x 0,9 µg = V2 . 1 µg
V2 = 45 mL
5.2.Hasil Pengamatan

5.2.1. Pengujian aktivitas antibakteri metode difusi agar

Tabel 5.2.1.1. Hasil pengamatan kelompok IB terbentuknya zona bening


pada media yang terdapat S. Aureus dan Ampisilin Na
Diameter
Kadar Ampisilin Na Hambatan ± SD
(µg/cakram kertas) (mm)
S. aureus
5 3,65 cm
2.5 4 cm
1 3,25 cm
0.5 3 cm
0.25 2,65 cm
0.1 1,25 cm
0.01 1 cm
Kontrol (Aquadest steril
-
tanpa antibiotika)

Nilai KHM Ampisilin terhadap S. aureus IB : 0,01 µg/cakram kertas.

Gambar 5.2.1.1. Zona Hambat kelompok IB Ampisilin Na terhadap S.aureus


Tabel 5.2.1.2. Hasil pengamatan kelompok IIB terbentuknya zona bening pada
media yang terdapat S.aureus dan Tetrasiklin HCl
Diameter
Kadar Tetrasiklin HCl Hambatan ± SD
(µg/cakram kertas) (mm)
S.aureus
5 5,7 cm
2.5 2,5 cm
1 -
0.5 -
0.25 -
0.1 -
0.01 -
Kontrol (Aquadest steril
-
tanpa antibiotika)

Nilai KHM Tetrasiklin HCl terhadap S.aureus IIB : 2,5 µg/cakram kertas.

Gambar 5.2.1.2 Zona Hambat kelompok IIB Tetrasiklin terhadap E.Coli


Tabel 5.2.1.3. Hasil pengamatan kelompok IIIB terbentuknya zona bening pada
media yang terdapat S. Aureus dan Kloramfenikol
Diameter
Kadar Kloramfenikol Hambatan ± SD
(µg/cakram kertas) (mm)
S. aureus
5 1,65 cm
2.5 -
1 -
0.5 -
0.25
0.1
0.01
Kontrol (Aquadest steril
tanpa antibiotika)

Nilai KHM Kloramfenikol terhadap S. aureus IIIB : 5 µg/cakram kertas.

Gambar 5.2.1.3. Zona Hambat kelompok IIIB Kloramfenikol terhadap S. aureus


Tabel 5.2.1.4. Hasil pengamatan kelompok IVB terbentuknya zona bening pada
media yang terdapat E. coli dan Ampisilin Na
Diameter
Kadar Ampisilin Na Hambatan ± SD
(µg/cakram kertas) (mm)
E. coli
5 -
2.5 -
1 -
0.5 -
0.25 -
0.1 -
0.01 -
Kontrol (Aquadest steril
-
tanpa antibiotika)

Nilai KHM Ampisilin terhadap E. coli IVA : - µg/cakram kertas.

Gambar 5.2.1.4. Zona Hambat kelompok IVB Ampisilin Na terhadap E.coli


Tabel 5.2.1.5. Hasil pengamatan kelompok VB terbentuknya zona bening pada
media yang terdapat S.aureus dan Tetrasiklin HCl
Diameter
Kadar Tetrasiklin HCl Hambatan ± SD
(µg/cakram kertas) (mm)
S.aureus
5 5,7 cm
2.5 2,5 cm
1 -
0.5 -
0.25 -
0.1 -
0.01 -
Kontrol (Aquadest steril
-
tanpa antibiotika)

Nilai KHM Tetrasiklin HCl terhadap S.aureus VB : 2,5 µg/cakram kertas.

Gambar 5.2.1.5. Zona Hambat kelompok VB Tetrasiklin terhadap S.aureus


Tabel 5.2.1.6. Hasil pengamatan kelompok VIB terbentuknya zona bening pada
media yang terdapat S.aureus dan Kloramfenikol
Diameter
Kadar Kloramfenikol Hambatan ± SD
(µg/cakram kertas) (mm)
S.aureus
5 -
2.5 -
1 -
0.5 -
0.25 -
0.1 -
0.01 -
Kontrol (Aquadest steril
-
tanpa antibiotika)

Nilai KHM Kloramfenikol terhadap S.aureus VIA : - µg/cakram kertas.

Gambar 5.2.1.6. Zona Hambat kelompok VIB Kloramfenikol terhadap S.aureus


Tabel 5.2.1.7. Hasil pengamatan kelompok VIIB terbentuknya zona bening pada
media yang terdapat S.aureus dan Ampisilin Na
Diameter
Kadar Ampisilin Na Hambatan ± SD
(µg/cakram kertas) (mm)
S.aureus
5 4,75
2.5 4,25
1 4,65
0.5 4,2
0.25 3,85
0.1 3,35
0.01 3,30
Kontrol (Aquadest steril
-
tanpa antibiotika)

Nilai KHM Ampisilin Na terhadap S.aureus VIIA : 0,01 µg/cakram kertas.

Gambar 5.2.1.7. Zona Hambat kelompok VIIB Ampisilin Na terhadap S.aureus


5.2.2. Pengujian aktivitas antibakteri metode pengenceran

Tabel 5.2.2.1 Hasil pengamatan kelompok IB petumbuhan bakteri S.aureus pada


media yang mengandung Ampisilin Na
Pertumbuhan
Konsentrasi Ampisilin Na
bakteri (+/-)
(µg/ml)
S.aureus
0.03 -
0.06 -

Nilai KHM Ampisilin terhadap E.coli : 0,03 µg/ml

Gambar 5.2.2.1. pertumbuhan bakteri S.aureus pada konsentrasi 0.03 dan 0.06
µg/mL kelompok IB
Tabel 5.2.2.2. Hasil pengamatan kelompok IIB petumbuhan bakteri S.aureus
pada media yang mengandung Ampisilin Na
Pertumbuhan
Konsentrasi Ampisilin Na
bakteri (+/-)
(µg/ml)
S.aureus
0,12 -
0,24 -

Nilai KHM Ampisilin terhadap S.aureus : 0,12 µg/ml

Gambar 5.2.2.2. pertumbuhan bakteri S.aureus pada konsentrasi 0.12 dan 0.24
µg/mL kelompok IIB
Tabel 5.2.2.3. Hasil pengamatan kelompok IIIB petumbuhan bakteri S.aureus
pada media
yang mengandung Tetrasiklin HCl
Konsentrasi Tetrasiklin Pertumbuhan
HCl bakteri (+/-)
(µg/ml) S.aureus
0,9 +
1,8 +
0,12 +
0,24 +

Nilai KHM Tetrasiklin HCl terhadap S.aureus : -

Gambar 5.2.2.3. pertumbuhan bakteri S.aureus pada kelompok IIIB


Tabel 5.2.2.4. Hasil pengamatan kelompok IVB petumbuhan bakteri S.aureus
pada media yang mengandung Tetrasiklin HCl
Konsentrasi Tetrasiklin Pertumbuhan
HCl bakteri (+/-)
(µg/ml) S.aureus
0,9 +
1,8 +
0,12 +
0,24 +

Nilai KHM Tetrasiklin HCl terhadap S.aureus : -

Gambar 5.2.2.4. pertumbuhan bakteri S.aureus pada kelompok IVB


Tabel 5.2.2.5. Hasil pengamatan kelompok VB petumbuhan bakteri S.aureus
pada media yang mengandung Kloramfenikol
Konsentrasi Pertumbuhan
Kloramfenikol bakteri (+/-)
(µg/ml) S.aureus
0,03 +
0,06 +

Nilai KHM Kloramfenikol terhadap S.aureus : -

Gambar 5.2.2.5. pertumbuhan bakteri S.aureus pada kelompok VB


Tabel 5.2.2.6. Hasil pengamatan kelompok VIB petumbuhan bakteri E.coli pada
media
yang mengandung Kloramfenikol
Konsentrasi Pertumbuhan
Kloramfenikol bakteri (+/-)
(µg/ml) E.coli
0,12 +
0,24 +

Nilai KHM Kloramfenikol terhadap S.aureus : -

Gambar 5.2.2.6. pertumbuhan bakteri E.coli pada kelompok VIB


Tabel 5.2.2.7. Hasil pengamatan kelompok VIIB petumbuhan bakteri S.aureus
pada media
yang mengandung Ampisilin Na
Pertumbuhan
Konsentrasi Ampisilin Na
bakteri (+/-)
(µg/ml)
S.aureus
0,03 ++
0,06 +

Nilai KHM Ampisilin terhadap S.aureus : -

Gambar 5.2.2.7. pertumbuhan bakteri S.aureus pada kelompok VIIB


5.2.3. Grafik

Grafik Hubungan Log Konsentrasi Kadar Tetrasiklin µg/cakram


kertas Dengan Diameter Hambat Tetrasiklin Terhadap S.
Aureus dan E. Coli

6
Diameter Hambatan

5
4
3 Diamter Hambat S. Aureus
(Cm)
2
Diamter Hambat E. Coli (Cm)
1
0
-2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 -1 0 0.5 1
Kadar Tetrasiklin

Grafik Hubungan Log Konsentrasi Kadar Kloramfenikol


µg/cakram kertas Dengan Diameter Hambat Kloramfenikol
Terhadap S. Aureus dan E. Coli
Diameter Hambatan

2
1.5
1 Diamter Hambat S. Aureus
(Cm)
0.5
Diamter Hambat E. Coli (Cm)
0
-2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 -0.5 0 0.5 1
Kadar Kloramfenikol

Grafik Hubungan Log Konsentrasi Kadar Ampisilin


µg/cakram kertas Dengan Diameter Hambat Ampisilin
Terhadap S. Aureus dan E. Coli
5
Diameter Hambatan

4
3
2
1
0
-2.5 -2 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1
Kadar Ampisilin

Diamter Hambat S. Aureus (Cm) Diamter Hambat E. Coli (Cm)


VI. Pembahasan

Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan pengamatan aktivitas


antibakteri dan penentuan konsentrasi hambat mininum (KHM) dengan
metode difusi agar dan pengenceran agar menggunakan bakteri
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli serta antibiotik yang digunakan
yaitu kloramfenikol. Parameter yang diamati pada metode difusi adar yaitu
adanya zona hambat yang terbentuk sedangkan pada metode pengenceran
agar yaitu ada atau tidak adanya pertumbuhan bakteri pada media.

Pertama-tama dilakukan sterilisasi alat dan bahan yang digunakan


tujuannnya agar tidak terjadi kontaminasi pada proses pengamatan sehingga
tidak menyebabkan kegagalan pada saat pengamatan. Sterilisasi dilakukan
dengan cara panas lembab menggunakan autoklaf, tujuannya yaitu untuk
membunuh bakteri atau mikroorganisme pada alat dan bahan yang akan
digunakan.

Selama proses pengerjaan berlangsung harus dilakukan di meja


steril yang telah disemprotkan desinfektan untuk membunuh
mikroorganisme yang ada pada permukaan meja serta di area yang aseptik
diantara nyala api bunsen untuk mencegah kontaminasi. Untuk alat-alat
apabila akan dimasukan media atau bakteri haruslah diflambir terlebih
dahulu diatas nyala api bunsen sehingga bakteri atau mikroorganisme akan
mati karena tidak tahan terhadap panas atau suhu tinggi.

Antibiotika klormafenikol merupakan antibiotik dengan spektrum


luas yang artinya dapat menghambat pertumbuhan bakteri gram positif dan
gram negatif. Kloramfenikol adalah antibiotik yang mempunyai aktifitas
bakteriostatik, dan pada dosis tinggi bersifat bakterisid. Aktivitas
antibakterinya dengan menghambat sintesa protein dengan jalan mengikat
ribosom subunit 50S, yang merupakan langkah penting dalam pembentukan
ikatan peptida. Kloramfenikol efektif terhadap bakteri aerob gram-positif,
termasuk Streptococcus pneumoniae, dan beberapa bakteri aerob gram-
negatif, termasuk Haemophilus influenzae, Neisseria meningitidis,
Salmonella, Proteus mirabilis, Pseudomonas mallei, Ps. cepacia, Vibrio
cholerae, Francisella tularensis, Yersinia pestis, Brucella dan Shigella,
Escherichia coli (Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departemen
Kesehatan Republik Indonesia,1992).

Pada metode difusi agar digunakan bakteri Staphylococcus aureus,


pengerjaannya dimulai dari mencairkan media agar yang telah disterilkan
dan dibiarkan sampai suhunya sekitar 45-53˚C, hal tersebut dilakukan
untuk menghindari suhu media agar yang terlalu panas akan menyebabkan
bakterinya mati karena suhu yang terlalu panas sedangkan jika suhu media
agar terlalu rendah akan menyebabkan media agar tersebut memadat
sehingga sukar untuk dituangkan ke dalam cawan petri. Suspensi bakteri
Staphylococcus aureus dimasukkan ke dalam cawan petri steril dan
ditambahkan media agar. Kemudian diatas media yang telah memadat
ditempatkan sebuah cakram kertas lalu ditetesi antibiotik ke atas cakram
kertas. Pengamatan dilakukan setelah inkubasi selama 18-24 jam dalam
inkubator dengan suhu 37˚C. Pada suhu 37˚C, bakteri dapat berkembang
biak dengan baik karena suhu tersebut merupakan suhu tubuh normal
manusia.

Hasil pengamatan dengan metode difusi agar menunjukkan bahwa


tidak terbentuknya zona hambat dari antibiotik yang digunakan, yang berarti
konsentrasi hambat mininum (KHM) kloramfenikol terhadap
Staphylococcus aureus tidak ada (negatif). Hal ini terjadi dapat disebabkan
oleh adanya kontaminan pada saat pengerjaan, suspensi bakteri yang tidak
dibandingkan terlebih dahulu dengan standar yang memungkinkan jumlah
bakteri pada suspensi bakteri tersebut banyak sehingga dengan konsentrasi
antibiotik yang digunakan belum bisa menghambat bakteri dengan
maksimum, atau bakteri Staphylococcus aureus telah resistensi terhadap
kloramfenikol. Resistensi kloramfenikol merupakan akibat dari perusakan
obat oleh suatu enzim yang dikendalikan oleh plasmid (Jawetz et al., 2001).
Bakteri Staphylococcus aureus yang resistensi ditunjukkan dengan
adanya peningkatan pola kepekaan antibiotik dari tahun ke tahun, pola
kepekaan Staphylococcus aureus terhadap antibiotik tetrasiklin 53.3%,
kloramfenikol 23.6 %, ampisilin 18.1%, sefotaksim 6.6% dan gentamisin
4,2%. Keadaan ini menunjukan bahwa kuman-kuman tersebut sebagian
besar telah resisten (Refdanita dkk, 2004).

Dari data pengamatan, maka antibiotik yang memiliki nilai KHM


paling baik adalah ampisilin dengan kadar 0,01 µg/cakram kertas dan
diameter hambat yang dihasilkan yaitu 3,30 cm. Hal ini dikarenakan
ampisilin memiliki spektrum kerja yang luas terhadap mikroba gram positif
dan gram negatif dan mekanisme kerja dari antibiotik ampisilin adalah
dengan menghambat pembentukan ikatan silang pada biosintesis
peptidoglikan yang melibatkan penicillin- binding protein (PBP)
(Retnoningrum, 1998).

Selain dengan metode difusi agar, dilakukan pula metode


pengenceran untuk pengamatan antibiotik terhadap pertumbuhan bakteri.
Metode pengenceran memiliki keuntungan dibandingkan dengan metode
difusi agar yaitu lebih spesifik karena dalam satu cawan petri mengandung
satu konsentrasi namun memliki kekurangan yaitu lebih boros karena
penggunaan media yang lebih banyak. Metode pengenceran agar
merupakan turunan dari metode difusi agar dimana digunakan untuk
menentukan nilai KHM yang sebenarnya setalah dilakukan pengamatan
pada pengujian difusi agar. Tujuan penggunaan metode ini yaitu untuk
menetukan apakah terdapat pertumbuhan bakteri pada media atau tidak
setelah diberikan antibiotik atau untuk menentukan apakah antibiotik yang
digunakan dapat bekerja atu tidak. Antibiotika yang digunakan yaitu
kloramfenikol dan bakteri yang digunakan yaitu Escherichia coli. Berbeda
dengan metode difusi agar yang mneggunakan bakteri Staphylococcus
aureus.
Pada metode pengenceran agar antibiotik kloramfenikol dengan
konsentrasi 3,6 µg/mL dan 7,2 µg/mL dimasukan kedalam masing-masing
cawan petri steril dimana alat-alat yang digunakan pada praktikum kali ini
haruslah disterilisasi terlebih dahulu agar mencegah kontaminasi sehingga
tidak mengganggu pada proses pengamatan. penggunaan dua konsentrasi
ini yaitu untuk perbandingan apakah bakteri dapat tumbuh di konsentrasi
yang rendah atau yang lebih tinggi. Bakteri yang digunakan yaitu
Escherichia coli atau biasa disingkat E. coli, adalah salah satu
jenis spesies utama bakteri gram negatif. Pada umumnya, bakteri yang
ditemukan oleh Theodor Escherich ini dapat ditemukan dalam usus
besar manusia. Kebanyakan E.coli tidak berbahaya, tetapi beberapa,
seperti E.coli tipe O157 : H7, dapat mengakibatkan keracunan makanan
yang serius pada manusia yaitu diare berdarah karena eksotoksin yang
dihasilkan bernama verotoksin. Toksin ini bekerja dengan cara
menghilangkan satu basa adenin dari unit 28S rRNA, sehingga
menghentikan sintesis protein (Pelczar, 1988).

Selanjutnya media pertumbuhan NA steril sebanyak 15,5 mL


dimasukan masing-masing kedalam cawan petri yang telah berisi antibiotik
kemudian dikocok agar media dan antibiotik dapat becampur secara
homogen, biarkan media memadat selama beberapa menit selanjutnya
bakteri Escherichia coli dimasukan kedalam cawan petri, medium agar
digores menggunakan jarum ose bundar agar bakteri dapat tersebar secara
merata, jarum ose yang digunakan sebelumnya telah diflambir telebih
dahulu dari ujung bawah sampai atas diatas nyala api bunsen hingga
warnanya merah namun selama penggoresan diatas media harus dilakukan
secara berhati-hati agar jarum ose tidak menembus pada media
pertumbuhan.

Setelah itu cawan petri di inkubasi dalam inkubator selam 30 menit


dengan suhu 37°C, pemilihan suhu 37°C karena sama dengan suhu pada
tubuh manusia dimana bakteri akan lebih mudah tumbuh pada suhu yang
sama dengan suhu tubuh manusia. Setelah diinkubasi hasil yang diperoleh
pada cawan petri yaitu terdapat pertumbuhan bakteri pada kedua konsentrasi
yang digunakan hal ini terjadi karena adanya kesalahan praktikan pada saat
proses praktikum yang kurang memperhatikan keaseptikan dalam proses
pengerjaan sehingga hasil yang diperoleh tidak sesuai dengan teoritis yang
seharusnya tidak tumbuh bakteri karena antibiotik kloramfenikol
merupakan antibiotik dengan spektrum luas yang dapat menghambat atau
membunuh bakteri gram negatif dan positif dimana Escherichia coli
merupakan bakteri gram negatif yang seharusnya dapat mati atau terhambat
pertumbuhannya pada antibiotik kloramfenikol (Ganiswara S.G.,1995).

VII. Kesimpulan
1. Cara menguji aktivitas antibiotika terhadap mikroba uji secara in vitro dapat
dilakukan dengan metode difusi agar dan pengenceran agar
2. Penentuan KHM pada metode difusi agar parameternya adalah terdapat
zona hambat, dan pada metode pengenceran agar adalah ada atau tidaknya
pertumbuhan bakteri
3. Kedua metode dibandingkan, untuk melihat kerja antibiotika yg paling baik
pada konsentrasi terkecil dan sudah mampu menghambat pertumbuhan
bakteri.

VIII. Daftar Pustaka

Betsy, Tom. Microbiology Demystifed. USA: McGraw-Hill Publisher,


2005. Chemoteraphy. Mc Graw Hill Company, USA.

Debbie S. Retnoningrum, 1998, Mekanisme dan Deteksi Molekul Resistensi


Antibiotik pada Bakteri , Jurusan Farmasi-ITB, Bandung

Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departemen Kesehatan Republik


Indonesia, 1992. Pedoman Penggunaan Antibiotik Nasional. Edisi 1,
Jakarta. Diterjemahkan oleh R.S. Hadioetomo dkk. UI Press, Jakarta.
Ganiswara S.G. (Ed)., 1995: Farmakologi dan terapi. Edisi IV, Bagian
Farmakologi,Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.

Greenwood. 1995. Antibiotics Susceptibility (Sensitivity) Test,


Antimicrobial and Jawetz, G., Melnick, J. L., dan Adelberg, E. A.
1991, “Mikrobiologi untuk Profesi Kesehatan”. EGC, Jakarta.
Jawetz, Melnick, dan Adelberg. 2001. Mikrobiologi Kedokteran. Buku 1.
Surabaya: Salemba Medika. Mahasiswa Farmasi & Kedokteran”.

Pelczar, 1988, Dasar – Dasar Mikrobiologi, 8, UI Press, Jakarta.

Pelczar, M.J. dan E.C.S. Chan. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jilid I dan
II.
Radji, DR. Maksum. 2010. “Buku Ajar Mikrobiologi Panduan
Refdanita, Maksum R, Nurgani, Endang. 2004. Pola Kepekaan Kuman
Terhadap Antibiotika Di Ruang Rawat Intensif Rumah Sakit
Fatmawati Jakarta Tahun 2001 – 2002. Jakarta: Makara kesehatan,
Vol. 8, No. 2, Desember: 41-48.

Subronto dan Tjahajati. 2001. Ilmu Penyakit Ternak II. Yogyakarta :


Universitas Gadjah Mada Press.

Volk, A.W dan Wheeler, M.F.MikrobiologiDasarjilid1.Jakarta: Erlangga,


1993.

Anda mungkin juga menyukai