Anda di halaman 1dari 3

RESUME INDRA PENCIUMAN (OLFAKTORI)

PENDAHULUAN
Indra pembau/pencium terdapat pada selaput lendir rongga hidung. Indra ini mampu
menerima rangsangan zat yang berbentuk gas atau oflaksi. Sel pembau mempunyai ujung-ujung
berupa rambut-rambut halus yang dihubungkan urat saraf melalui tulang saringan dan bersatu
menjadi urat saraf olfaktori menuju pusat penciuman di otak.
Saraf olfaktori merupakan saraf pertama dari dua belas saraf kranial. Saraf ini memonitor
asupan bahan yang dibawa udara ke dalam sistem pernafasan manusia. Nervus olfaktorius
dilapisi oleh sel-sel yang sangat khusus yang mengeluarkan fibril- fibril yang sangat halus,
tenalin dengan serabut-serabut dari bulbus Olfaktorius yang merupakan otak terkecil, saraf
olfaktorius terletak di atas lempeng tulang etmoidalis. Nervus olfaktorius dilapisi oleh sel-sel
yang sangat khusus yang mengeluarkan fibril- fibril yang sangat halus, tenalin dengan serabut-
serabut dari bulbus Olfaktorius yang merupakan otak terkecil, saraf olfaktorius terletak di atas
lempeng tulang etmoidalis.

STRUKTUR INDERA PENCIUMAN

Indera penciuman terdapat pada hidung dari ujung saraf otak nervus olfaktorius, serabut saraf ini
timbul pada bagian atas selaput lendir hidung yang dikenal dengan sebutan olfaktori. Nervus
olfaktorius dilapisi oleh sel-sel yang sangat khusus yang mengeluarkan fibril- fibril yang sangat
halus, tenalin dengan serabut-serabut dari bulbus olfaktorius yang merupakan otak terkecil, saraf
olfaktorius terletak di atas lempeng tulang etmoidalis.
Berbeda dengan indera lain, indera penciuman memiliki jalur yang relatif lebih pendek.
Reseptornya yang berada di rongga hidung berhubungan langsung tanpa sinaps ke otak. Selain
itu, tidak seperti indera penglihatan dan indera penglihatan yang reseptornya jauh dari
permukaan, reseptor indera penciuman terpapar langsung dengan lingkungan, tanpa ada
pelindung di depannya.
SISTEM OLFAKTORIUS
Sistem olfaktorius terdiri dari reseptor di rongga hidung, daerah otak, dan jalur neural
penghubung. Reseptornya berupa sel-sel yang berbentuk seperti benang dan hihubungkan
dengan saraf olfaktorius. Molekul yang dilepaskan oleh substansi tertentu adalah stimulus untuk
penciuman. Molekul meninggalkan substansi, berjalan melalui udara dan memasuki hidung.
Molekul tersebut juga harus larut dalam lemak. Jika silia dari reseptor penciuman bertemu
dengan molekul odorant terjadilah impuls listrik. Proses ini adalah proses transduksi.
Molekul odorant yang telah menembus nervus olfaktorius dari bulbus olfaktorius, akan
bergerak melalui traktus olfaktorius menuju pusat olfaktoriuspada olbus temporalis di otak,
dimana akan dilakukan interpretasi pada stimulus yang masuk. Namun demikian kepekaan
reseptor penciuman terhadap molekul odorant akan berkurang, bahkan mudah hilang bila selalu
terpapar pada bau yang sama dalam waktu yang relatif lebih lama.

KELAINAN FUNGSI INDERA PENCIUMAN


Kedatangan beberapa macam kelainan yang mampu timbul dalam proses pembauan seperti :
1. Hyposmia yaitu penurunan beberapa dari nilai rasa bau. Umunya tidak dikarenakan kelainan
neurologis, tetapi berasal dari kelainan dalam hidung itu sendiri.
2. Parosmia yaitu proses mengenal yang salah dari bau
3. Cacosmia persepsi yang abnormal dari bau yang tidak memuaskan (dengan atau tanpa substrat
yang sebenarnya dibuat sebagai berbau).
4. Anosmia, ketidak mampuan total dari indera penciuman.
5. Agnosia yaitu tidak bisa menghidu satu macam odoran.
6. Parsial anosmia yaitu ketidak mampuan menghidu beberapa odoran tertentu.
7. Disosmia yaitu persepsi bau yang salah, termasuk parosmia dan phantosmia. Parosmia yaitu
perubahan kualitas sensasi penciuman, sedangkan phantosmia yaitu sensasi bau tanpa adanya
stimulus odoran/ halusinasi odoran.
8. Presbiosmia yaitu gangguan penghidu karena umur tua

DAFTAR PUSTAKA
1. Christopher G. Goetz MD., Eric J. Pappert MD. (2007). Textbook of Clinical Neurology.
Thieme. -.
2. Mark Mumenthaler,MD.,Heinrich Mattle,MD. (2004). NEUROLOGY 4th Edition. Thieme.
ISBN 3-13-523904-7.
3. Slamet Prawirohartono & Sri Hidayati, Sains Biologi 2 SMA/MA, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2007), Hlm.279
4. Corwin, Elizabeth J. (1999)). Buku Saku Patofisiologi, Hlm.217
5. Doty RL, Bromley SM, Panganiban WD. Olfactory function and disfunction. In: Bailey BJ,
Johnson JT, Newlands SD, editors. Head and Neck Surgery Otolaryngology. 4th ed.
Philadelphia: Lippincott William & Wilkins; 2006. p. 290-305
6. Wrobel BB, Leopold DA. Olfactoryand sensory attributes of the nose. Otolaryngol Clin N Am
2005; 38: 1163-70.
7. Soetjipto D, Wardhani S. Sumbatan hidung. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi
ke 6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia; 2007. Hal 118-37.
8. Rouby C, Danguin TT, Vigouroux M, Ciuperca G, Jiang T, Alexanian J, et all. The lyon
clinical olfactory test: Validation and measurement of hyposmia and anosmia in healthy and
diseased population. International Journal of otolaryngology 2011; 23:1-9.
9. Simmen D, Briner HR. Olfaction in rhinology- methods of assesing the sense smell.
Rhinology 2006; 48: 98-101

Anda mungkin juga menyukai