Anda di halaman 1dari 21

REFERAT

ILMU PENYAKIT DALAM


ASMA BRONKIALE

Pembimbing

dr. Afan Fatkhur, SpP.

Penyusun

Adela Marina Angel Rudi Hermawan / 20190420035

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HANG TUAH SURABAYA
RSU HAJI SURABAYA
2019
LEMBAR PENGESAHAN

Referat Ilmu Penyakit Dalam

Asma Bronkiale

Oleh

Adela Marina Angel Rudi Hermawan


20190420035

Referat “Asma Bronkiale” ini telah diperiksa, disetujui, dan diterima sebagai
salah satu tugas dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
Penyakit Dalam RSU Haji Surabaya, Fakultas Kedokteran Universitas Hang Tuah
Surabaya.

Surabaya, 30 Juli 2019

Mengesahkan,

Dokter Pembimbing

dr. Afan Fatkhur, SpP.

2
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ 2

BAB 1 .............................................................................................................. 4

PENDAHULUAN ............................................................................................. 4

BAB 2 .............................................................................................................. 5

PEMBAHASAN................................................................................................ 5

1. Definisi .................................................................................................. 5

2. Epidemiologi ......................................................................................... 5

3. Faktor resiko ......................................................................................... 8

4. Patofisiologi .......................................................................................... 9

5. Tanda dan gejala ................................................................................ 11

6. Klasifikasi ............................................................................................ 11

7. Diagnosis banding .............................................................................. 12

8. Diagnosis ............................................................................................ 12

9. Manajemen ......................................................................................... 15

10. Komplikasi ....................................................................................... 20

11. Prevensi .......................................................................................... 20

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 21

3
BAB 1

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit inflamasi dan penyempitan saluran napas kronis yang
dikarakteristikkan dengan serangan sesak napas dan wheezing berulang dengan
keparahan dan frekuensi yang berbeda-beda dari satu individu ke individu yang lain.
Penyakit ini terjadi pada anak-anak sampai dewasa, dengan tingkat keparahan ringan
sampai berat, dan bahkan beberapa kasus dapat menimbulkan kematian. Menurut
data perkiraan WHO, sekitar 235 juta orang menderita penyakit asma. Penyakit ini
bukan hanya menjadi masalah di negara berpenghasilan tinggi, melainkan terjadi di
semua negara tidak peduli tingkat perkembangannya. Namun, kematian yang
berhubungan dengan asma banyak terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah
dan menengah (Kemenkes, 2015; WHO, 2017).
Penyakit asma sering under-diagnosed dan under-treated. Sehingga penyakit
ini dapat menimbulkan hambatan terhadap aktivitas sehari-hari di sepanjang hidup
penderita. Jika terjadi pada anak-anak, asma dapat mengganggu pertumbuhan serta
perkembangan penderita. Sedangkan asma pada usia muda dapat menurunkan
produktivitas dan aktivitas sosial penderita. Peningkatan kejadian penyakit ini
diperkirakan karena buruknya kualitas udara dan berubahnya pola hidup masyarakat
(Kemenkes, 2015; WHO, 2017).
Di Indonesia, penyakit asma masih menjadi salah satu permasalahan yang ada
di masyarakat. Angka kejadian asma di Indonesia meningkat dari 3,5% di tahun 2007
menjadi 4,5% di tahun 2013. Provinsi Jawa Timur mengalami peningkatan angka
kejadian asma yang awalnya pada tahun 2007 di bawah angka nasional menjadi di
atas angka nasional pada tahun 2013 (Kemenkes, 2015).
Untuk mengatasi penyakit asma, diperlukan panduan yang memberikan
pemahaman, membantu mendiagosis, serta memberikan penanganan yang tepat
bagi penderita. Apabila asma ditangani secara efektif dan penderita dapat mencapai
kontrol yang baik, kekambuhan dapat dihindari dan produktivitas penderita akan
kembali meningkat (GINA, 2019).

4
BAB 2

PEMBAHASAN

1. Definisi
Asma adalah penyakit kronik saluran napas yang menyebabkan
kumpulan gejala, seperti wheezing, sesak napas, dada terasa sesak, dan batuk
yang bervariasi waktu kejadian, frekuensi, dan intensitasnya. Gejala-gejala ini
disebabkan oleh sulitnya mengeluarkan udara dari paru akibat bronkokontriksi
(penyempitan saluran napas), penebalan dinding saluran napas, dan
peningkatan mukus (GINA, 2019).

2. Epidemiologi
Penyakit asma sampai saat ini masih menunjukkan angka prevalensi
yang tinggi. Data dari WHO dan GINA menyatakan bahwa di seluruh dunia
diperkirakan terdapat 300 juta orang yang menderita asma dan pada tahun
2025 diperkirakan jumlah penderita asma mencapai 400 juta. Jumlah ini dapat
lebih besar mengingat penyakit asma sering underdiagnosed. Data dari
berbagai negara menunjukan bahwa prevalensi penyakit asma berkisar antara
1-18%.

5
Berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan RI, angka prevalensi
asma di Indonesia pada tahun 2007 mencapai 3,5%, sedangkan pada tahun
2013 mencapai 4,5%. Hal ini menunjukkan ada peningkatan angka prevalensi
penyakit ini di Indonesia. Beberapa provinsi, salah satunya Jawa Timur yang
pada tahun 2007 memiliki angka prevalensi lebih rendah daripada angka
nasional, mengalami peningkatan angka prevalensi hingga melebihi angka
nasional pada tahun 2013.

6
Berdasarkan riskesdas tahun 2007, terdapat peningkatan pravalensi
asma seiring dengan bertambahnya usia, di mana umur <1 tahun
pravalensinya sebesar 1,1% dan umur 75+ pravalensinya sebesar 12,4%.
Tetapi peningkatan pravalensi asma pada umur 75+ sebesar 12,4% ini bisa
saja bukan murni dari penyakit asma, melainkan juga PPOK karena gejalanya
hamper sama yaitu sesak dan batuk. Sementara berdasarkan riskesdas tahun
2013, tampak bahwa umur 25-34 tahun mempunyai pravalensi asma yang
tertinggi dibandingkan kelompok umur yang lain, yaitu sebesar 5,7% dan umur
<1 tahun memiliki pravalensi terendah, yaitu sebesar 1,5%.

Data menunjukkan bahwa pravalensi asma pasien rawat inap


berdasarkan umur yang tertinggi adalah pada umur 45-64 tahun, yaitu sebesar
25,66% dan pravalensi terendah pada usia 0-6 hari, yaitu sebesar 0,10%.
Sedangkan pravalensi asma pasien rawat jalan berdasarkan umur yang
tertinggi adalah pada umur 25-44 tahun, yaitu sebesar 24,05% dan pravalensi
terendah pada usia 0-6 hari, yaitu sebesar 0,13%.

7
Data menunjukkan bahwa pravalensi status asmatikus pasien rawat
inap berdasarkan umur yang tertinggi adalah pada umur 25-44 tahun, yaitu
sebesar 31,56% dan pravalensi terendah pada usia 7-28 hari sebesar 0,05%.
Sementara pravalensi status asmatikus pasien rawat jalan berdasarkan umur
yang tertinggi adalah pada umur 25-44 tahun, yaitu sebesar 29,95% dan
pravalensi terendah pada usia 7-28 hari, yaitu sebesar 0,43% (Kemenkes,
2015).

3. Faktor resiko
A. Faktor penjamu
 Predisposisi genetik
 Atopi
 Hiperresponsif saluran pernafasan
 Jenis kelamin
 Ras/etnik
B. Faktor lingkungan (mempengaruhi berkembangnya asma pada
individu dengan predisposisi asma)
1) Alergen dalam ruangan
 Mite domestic
 Alergen binatang
 Jamur (fungi mold, yeast)

8
2) Alergen diluar ruangan
 Tepung sari bunga
 Jamur (fungi mold, yeast)
 Bahan dilingkungan kerja
 Asap rokok
 Polusi udara
 Infeksi pernapasan
 Infeksi parasit
 Status sosioekonomi
 Diet dan obat
 Obesitas
C. Faktor lingkungan (mencetuskan eksaserbasi dan atau
menyebabkan gejala-gejala asma menetap)
 Alergen di dalam dan di luar ruangan
 Polusi di dalam dan di luar ruangan
 Infeksi pernapasan
 Aktivitas fisik (exercise) dan hiperventilasi
 Perubahan cuaca
 Sulfur dioksida
 Makanan aditif (pengawet, penyedap, pewarna makanan),
obat-obatan
 Ekspresi emosi yang berlebihan
 Asap rokok
 Iritan (parfum, bau-bauan merangsang, household spray)
(Kemenkes, 2015).

4. Patofisiologi
1) Penyempitan jalan napas
Penyempitan jalan napas adalah jalur terakhir penyakit yang
menimbulkan gejala dan perubahan fisiologis pada asma,
penyempitan tersebut menimbulkan rangsangan remodeling.
Beberapa faktor yang berkontribusi menimbulkan penyempitan
jalan napas adalah :

9
 Kontraksi otot polos jalan napas : terjadi sebagai respon
terhadap beberapa mediator bronkokonstriktor dan
neurotransmitter dan ini merupakan mekanisme utama
penyempitan jalan napas. Efek ini dihilangkan oleh
bronkodilator.
 Edema jalan napas : disebabkan oleh peningkatan
kebocoran microvascular sebagai respon terhadap
mediator inflamasi. Edema jalan napas merupakan
mekanisme yang cukup penting selama eksaserbasi akut.
 Penebalan jalan napas : hasil dari perubahan struktur,
sering disebut ‘remodeling’. Penebalan jalan napas tidak
sepenuhnya reversibel setelah diterapi dan dapat
menyebabkan penyakit yang lebih parah.
 Hipersekresi mukus : hasil dari peningkatan sekresi mukus
dan eksudat inflamasi, hipersekresi mukus dapat
menimbulkan oklusi lumen (‘mucus plugging’).
2) Hiperresponsivitas jalan napas
Hiperresponsivitas jalan napas, karakteristik abnormalitas
fungsional dari asma, menimbulkan penyempitan jalan napas
pada pasien dengan asma sebagai respon terhadap stimulus
yang seharusnya tidak berbahaya bagi orang sehat.
Penyempitan jalan napas menyebabkan pembatasan aliran
udara dan gejala intermiten. Hiperresponsivitas jalan napas
berhubungan dengan inflamasi dan perbaikan jalan napas, yang
sebagian reversibel dengan terapi. Mekanismenya adalah :
 Kontraksi berlebihan otot polos jalan napas : hasil dari
peningkatan volume dan kontraktilitas sel otot polos jalan
napas.
 Uncoupling of airway contraction : hasil dari perubahan
inflamasi pada dinding jalan napas yang dapat
menyebabkan penyempitan berlebihan jalan napas, dan
hilangnya plateau maksimum kontraksi yang ditemukan

10
pada jalan napas normal ketika substansi
bronkokonstriktor terinhalasi.
 Penebalan dinding jalan napas : edema dan perubahan
struktural memperparah penyempitan jalan napas akibat
kontraksi otot polos jalan napas untuk alasan geometris.
 Saraf sensoris : dapat tersensitisasi oleh inflamasi,
memperparah bronkokonstriksi sebagai respon terhadap
stimulus sensoris (GINA, 2016).

5. Tanda dan gejala


 Batuk, terutama malam hari, selama exercise atau ketika tertawa
 Kesulitan bernapas
 Rasa sesak pada dada
 Sesak napas
 Wheezing (suara whistling atau squeaky di dada ketika bernapas,
terutama saat ekshalasi) (ACAAI, 2018).

6. Klasifikasi

11
7. Diagnosis banding
 Obstruksi jalan napas atas dan inhalasi benda asing
 Disfungsi pita suara
 Penyakit paru obstruksi bentuk lain, terutama COPD
 Penyakit paru bentuk non-obstruktif (contohnya diffuse
parenchymal lung disease)
 Penyebab gejala non respirasi (contohnya kegagalan ventrikel
kiri) (GINA, 2012).

8. Diagnosis
Asma adalah penyakit dengan banyak variasi, biasanya
dikarakteristikkan dengan inflamasi jalan napas kronis. Asma memiliki 2 fitur
kunci :

 Riwayat gejala respirasi seperti wheeze, sesak napas, rasa sesak


pada dada, dan batuk yang bervariasi waktu dan intensitasnya
 Pembatasan aliran udara ekspirasi yang bervariasi.

12
13
14
Pemeriksaan fisik pada penderita asma sering kali normal, namun
temuan yang paling sering adalah wheezing pada auskultasi, terutama pada
ekspirasi paksa (GINA, 2019).

9. Manajemen
Tujuan jangka panjang terapi asma yaitu untuk mengurangi resiko dan
mengkontrol gejala. Hal tersebut ditujukan agar meringankan beban pasien
akan resiko kematian, eksaserbasi, kerusakan saluran pernapasan, dan efek
samping pengobatan. Dalam hal ini, diperlukan kerjasama dan komunikasi
yang baik antara pasien dan penyedia layanan kesehatan. Pasien harus
memiliki kemampuan untuk menerima, memproses, dan memahami informasi
kesehatan dasar sehingga dapat mengambil keputusan yang berkaitan dengan
kesehatannya dengan benar.
Manajemen asma terdiri atas suatu lingkaran berkesinambungan antara
Assess, Adjust Response, dan Review Response.

MEMULAI TREATMENT ASMA:


Untuk hasil terbaik, treatment dengan ICS harus diberikan secepat
mungkin sejak diagnosis asma dibuat, karena:
- Pasien dengan asma yang ringan pun dapat mengalami eksaserbasi berat
- Dosis rendah ICS dapat menurunkan angka rawat inap dan kematian akibat
asma secara signifikan
- Dosis rendah ICS sangat efektif dalam mencegah eksaserbasi berat,
mengurangi gejala, memperbaiki fungsi paru, dan mencegah
bronkokonstriki yang diinduksi olahraga, meski pada pasien dengan asma
ringan
- Treatment awal dengan dosis rendah ICS memberikan fungsi paru yang
lebih baik daripada jika gejala telah ada sejak 2-4 tahun
- Pasien yang tidak menggunakan ICS yang mengalami eksaserbasi berat
memiliki fungsi paru jangka panjang yang lebih rendah daripada mereka
yang menggunakan ICS
- Pada asma okupasional, penghindaran dini dari paparan dan treatment dini
meningkatkan probabilitas dari recovery.

15
Dosis rendah ICS memberikan manfaat klinis pada hampir setiap
pasien. Namun, respon pasien terhadap ICS dapat berbeda-beda sehingga
beberapa pasien mungkin memerlukan dosis sedang ICS jika asma tidak
terkontrol meski ketaatan baik dan teknik penggunaan inhaler yang benar
dengan ICS dosis rendah. ICS dosis tinggi diperlukan pada beberapa pasien,
dan penggunaan jangka panjangnya berhubungan dengan peningkatan resiko
dari efek samping lokal dan sistemik.

MENILAI RESPON DAN MENYESUAIKAN TREATMENT


Pasien harus kontrol dalam waktu 1-3 bulan setelah memulai treatment
dan setiap 3-12 bulan setelahnya. Apabila dalam kondisi hamil, asma harus
dievaluasi setiap 4-6 mingu. Setelah suatu eksaserbasi, harus segera
dievaluasi dalam 1 minggu. Frekuensi evaluasi atau penilaian tergantung dari
kontrol gejala oleh pasien, faktor resikonya, respon terhadap terapi inisial, dan
kemampuan serta kemauan pasien untuk berkomitmen dalam manajemen diri
dengan rencana tindakan.
Stepping up asthma treatment
 Sustained step up (minimal 2-3 bulan)
Jika gejala dan atau eksaserbasi menetap meski telah menggunakan
controller selama 2-3 bulan, periksa beberapa kondisi umum ini sebelum
memutuskan untuk step-up

16
1. Teknik penggunaan inhaler yang tidak benar
2. Ketaatan yang buruk
3. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi (contoh: merokok)
4. Gejala akibat kondisi komorbid (contoh: rhinitis alergi)
 Short-term step up (selama 1-2 minggu) oleh klinisi atau pasien dengan
rencana tindakan asma yang tertulis. Contoh: saat infeksi virus atau paparan
allergen
 Day-to-day adjustment by patients, untuk pasien yang diresepkan as needed
ICS (dosis rendah)-Formoterol untuk asma ringan, atau ICS (dosis rendah)-
formoterol sebagai terapi maintenance dan reliever.
Stepping down treatment (ketika asma terkontrol dengan baik selama 3 bulan,
bertujuan menemukan dosis terendah yang mengkontrol baik gejala dan eksaserbasi,
dan meminimalkan efek samping)
 Pilih waktu yang tepat untuk step-down (tidak ada infeksi pernapasan, tidak
dalam keadaan berpergian, tidak hamil)
 Mengurangi dosis ICS sebanyak 25-50% dalam interval 2-3 bulan
 Jika asma terkontrol dengan baik pada ICS (dosis rendah) atau LTRA, as
needed ICS (dosis rendah)0 formoterol merupakan pilihan step-down.
 Jangan memberhentikan ICS secara penuh pada dewasa atau remaja dengan
diagnosis asma kecuali hal tersebut diperlukan untuk tujuan konfirmasi
diagnosis asma
 Pastikan pertemuan untuk follow up telah terencana

KEPATUHAN DAN KEMAMPUAN UNTUK MENGUNAKAN INHALER


 Menyediakan pelatihan skills untuk penggunaan inhaler secara efektif
(4C):
1. Choose / pilih alat yang paling tepat: perhatikan medikasi,
masalah fisik (cth: arthritis), kemampuan pasien, dan biaya
2. Check / periksa cara pasien dalam menggunakan inhalernya.
3. Correct / koreksi menggunakan contoh fisik, periksa lagi hingga
benar
4. Confirmation / konfirmasi
 Periksa dan perbaiki ketaatan dengan medikasi asma

17
1. Tanyakan pertanyaan empati
2. Periksa penggunaan medikasi: tanggal peresepan, dosis dan
kadaluarsa
3. Tanyakan tentang sikap dan keyakinan mengenai asma dan
pengobatannya

MANAJEMEN EKSASERBASI ASMA


 Menilai keparahan eksaserbasi sekaligus menerapi SABA dan oksigen. Menilai
dyspnea, RR, pulse rate, saturasi oksigen dan fungsi paru (PEF). Periksa ada
tidaknya anafilaksis.
 Perkirakan penyebab alternative dari sesak akut (contoh: gagal jantung,
disfungsi saluran napas atas, benda asing di jalan nafas, atau emboli paru)
 Mulai treatment dengan dosis berulang dari SABA (biasanya dengan pMDI dan
spacer), kortikosteroid oral dini, dan controlled flow oxygen bila tersedia.
Periksa respon gejala dan saturasi secara berkala, dan ukur fungsi paru
setelah 1 jam. Titrasi oksigen untuk mencapai dan maintain saturasi 93-95%
pada dewasa dan remaja
12 tahun)

18
(GINA, 2019).

19
10. Komplikasi
Pneumothorax yang nantinya berhubungan dengan
pneumomediastinum, subcutaneous emphysema, pneumopericardium, dan
treacheoesofageal fistula (pada pasien dengan ventilasi mekanik) merupakan
komplikasi yang parah dari asma berat akut meskipun jarang terjadi. Iskemia
miokardium harus dipertimbangkan pada pasien usia tua dengan penyakit
arteri koroner. Mucus plugging dan atelektasis tidak jarang terjadi dan biasanya
merespon terapi yang efektif. Komplikasi lain yang perlu dipertimbangkan
termasuk toksisitas theophylline, asidosis laktat, gangguan elektrolit
(hipokalemia, hipofosfatemia, hipomagnesemia), myopathy, dan anoxemic
brain injury (Papiris et al., 2002).

11. Prevensi
Eksaserbasi asma dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang disebut
dengan pemicu, termasuk allergen, infeksi virus, polutan, dan obat-obatan.
Menurunkan paparan pasien terhadap faktor resiko (berhenti merokok,
menurunkan paparan asap sebagai perokok pasif, mengurangi atau
mengeliminasi agen okupasional yang dapat menimbulkan gejala, dan
menghindari makanan/ bahan aditif/ obat-obatan yang dapat menimbulkan
gejala) meningkatkan kontrol asma dan menurunkan kebutuhan medikasi.
Pada kasus yang disebabkan faktor lain (allergen, infeksi virus, dan polutan)
harus menghindari hal-hal tersebut. Karena kebanyakan penderita asma
bereaksi terhadap berbagai faktor yang banyak terdapat di lingkungan,
menghindari semua faktor ini sangatlah sulit untuk pasien. Sehingga, medikasi
untuk mempertahankan kontrol asma memiliki peran penting karena pasien
sering kali menurun sensitivitasnya apabila asmanya terkontrol dengan baik.
Pasien dengan asma terkontrol lebih jarang mengalami eksaserbasi
dibandingkan dengan yang tidak terkontrol (GINA, 2012).

20
DAFTAR PUSTAKA

ACAAI (2018) Asthma Symptoms. Available at:


https://acaai.org/asthma/asthma-symptoms.

GINA (2012) GLOBAL STRATEGY FOR ASTHMA MANAGEMENT AND


PREVENTION. Available at: https://ginasthma.org/wp-
content/uploads/2019/01/2012-GINA.pdf.

GINA (2016) GLOBAL STRATEGY FOR ASTHMA MANAGEMENT AND


PREVENTION. Available at: https://ginasthma.org/wp-
content/uploads/2016/04/GINA-Appendix-2016-final.pdf.

GINA (2019) POCKET GUIDE FOR ASTHMA MANAGEMENT AND


PREVENTION. GINA. Available at: https://ginasthma.org/wp-
content/uploads/2019/04/GINA-2019-main-Pocket-Guide-wms.pdf.

Kemenkes (2015) You Can Control Your Asthma. Available at:


https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&ua
ct=8&ved=2ahUKEwijwvbEqdfjAhUHL48KHTjeDh4QFjAAegQIAxAC&url=http%3A%
2F%2Fwww.depkes.go.id%2Fdownload.php%3Ffile%3Ddownload%2Fpusdatin%2Fi
nfodatin%2Finfodatin-asma.pdf&usg=AOvVaw2-Yx25vEEFGQ6i7yOvveEM.

Papiris, S. et al. (2002) ‘Clinical review: Severe asthma’, PMC, 6(1). Available
at: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC137395/.

WHO (2017) Asthma, World Health Organization. Available at:


https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/asthma.

21

Anda mungkin juga menyukai