OLEH
MEINI DWI UTAMI
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2019
ISOLASI DAN KARAKTERISASI SENYAWA
ALKALOID DARI FUNGI ENDOFIT AKAR
TAPAK DARA (Catharanthus roseus L.)
PROPOSAL PENELITIAN SKRIPSI
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana farmasi pada fakultas
ii
PENGESAHAN DRAF PROPOSAL SKRIPSI
b. NIM : 1613015116
iii
RIWAYAT HIDUP
iv
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN .................................................................................................. 2
v
1.4.1 Tujuan Ekstraksi ........................................................................................... 20
vi
3.6.4 Skema Isolasi Senyawa Alkaloid................................................................ 34
vii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR TABEL
ix
RINGKASAN RENCANA PENELITIAN
Fungi endofit adalah fungi yang terdapat di dalam jaringan tumbuhan. Fungi
endofit memiliki kemampuan untuk menghasilkan senyawa bioaktif yang sama
seperti inangnya dalam 2-4 minggu untuk memproduksi metabolit sekunder.
Tapak dara (Catharanthus roseus) memiliki kurang lebih 130 jenis alkaloid
triterpenoid indol (TIA) diantaranya seperti Vindoline, Vincamine, Serpentine,
Catharanthine, Vinblastine, dan Vincristine. Penelitian ini menggunakan metode
surface sterilization dan tanam langsung pada media PDA (Potato Dextrosa Agar)
hingga diperoleh isolat murni. Kemudian dilakukan karakterisasi isolat fungi
endofit yang diperoleh secara makroskopik dan mikroskopik. Selanjutnya,
dilakukan perbanyakan senyawa dengan metode fermentasi dalam media PDB
(Potato Dextrosa Broth) menggunakan alat shaker selama 14 hari. Setelah itu,
dilakukan ekstraksi hingga diperoleh ekstrak isolat fungi endofit akar tapak dara
untuk dilakukan identifikasi senyawa alkaloid dan karakterisasi senyawa alkaloid.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui teknik isolasi fungi endofit akar
tapak dara (Catharanthus roseus) mengetahui karakteristik secara makroskopik
dan mikroskopik isolat fungi endofit akar tapak dara (Catharanthus roseus)
mengetahui senyawa alkaloid yang terdapat pada isolat fungi endofit akar tapak
dara (Catharanthus roseus) dan mengetahui karakteristik senyawa alkaloid isolat
fungi endofit akar tapak dara (Catharanthus roseus).
Hasil penelitian yang diharapkan adalah mendapatkan isolat murni fungi
endofit dari akar tapak dara (Catharanthus roseus) diperoleh informasi tentang
karakteristik isolat fungi endofit akar tapak dara (Catharanthus roseus), dan
mendapatkan karakteristik senyawa alkaloid yang terdapat pada isolat fungi
endofit Diharapkan dengan melakukan isolasi fungi endofit dapat menjadi suatu
metode alternatif perbanyakan senyawa berkhasiat obat yang cepat dan
mengurangi eksploitasi tumbuhan secara besar-besaran.
1
PENDAHULUAN
Indonesia memiliki alam yang luas dan kekayaan alam yang melimpah,
sehingga dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan dan keberlangsungan
hidup, seperti memanfaatkan kekayaan alam untuk diolah menjadi makanan,
pakaian, kosmetik dan sumber obat. Salah satu sumber obat yang paling banyak
digunakan adalah tumbuhan yang memiliki berbagai khasiat untuk pengobatan
penyakit. Pembuatan obat dalam jumlah besar membutuhkan tanaman yang
banyak dan diperlukan waktu yang lama jika tanaman tersebut termasuk tanaman
tahunan, serta penyediaan bahan baku dari tanaman secara berlebihan
dikhawatirkan dapat mengurangi keanekaragaman hayati (Radji, 2005; Kumala,
2014). Salah satu peluang besar untuk dikembangkan sebagai sumber penghasil
senyawa metabolit sekunder adalah mikroorganisme endofit. Mikroorganisme
endofit merupakan mikroorganisme yang berada dalam jaringan tanaman hidup
masing-masing bagian tanaman mengandung satu atau lebih mikroorganisme
endofit yang terdiri dari bakteri dan fungi (Kumala, 2014).
Fungi endofit adalah fungi yang terdapat di dalam jaringan tumbuhan
seperti pada daun, batang, kulit kayu, akar, buah-buahan, bunga, dan biji-bijian.
Fungi endofit memiliki kemampuan untuk menghasilkan senyawa bioaktif yang
sama seperti inangnya dalam 2-4 minggu untuk memproduksi metabolit sekunder
(Ayob, 2016). Senyawa metabolit sekunder yang telah dihasilkan dari fungi
endofit diantaranya Taxol, Berberin, Digoxin-glycoside, Kaempferol, Piperin,
Vincamin, Vincristin,, Vinblastin, Camptothecin, Diosgenin, Gingkolide B,
Hypericin, dan Quercetin glycoside (Venugopalan, 2015). Strobel dan Daisy
(2003) mengisolasi fungi endofit Rhinocladiella sp. yang beraktivitas sebagai
antikanker. Aktivitas farmakologis lain seperti antidiabetes juga ditemukan pada
fungi endofit Thielavia subthermophila dan Penicillium oxalicum oleh
(Zhao,2010; Parthasarathy,2014).
Tapak dara atau Catharanthus roseus (.L) merupakan tanaman yang berasal
dari Madagaskar dan termasuk kedalam keluarga Apocynaceae (Magnotta., 2006),
selain di budidayakan sebagai tanaman hias juga sebagai tanaman obat yang dapat
mengobati berbagai penyakit. Tanaman ini memiliki kurang lebih 130 jenis
2
alkaloid triterpenoid indol (TIA) diantaranya seperti Vindoline, Vincamine,
Serpentine, Catharanthine, Vinblastine, dan Vincristine. Selain itu, tapak dara
juga menghasilkan aktivitas seperti antioksidan, antidiabetes, antifungi,
antibakteri, anthelmentik, antivirus, dan antikanker (Tolambiya, 2016). Pada
bagian akar tapak dara terdapat senyawa metabolit sekunder seperti Ajmalacine,
Serpentine, Catharanthine, Vindoline, Leurosine, Lochnerine, Reserpine,
Alstonine, Tabersonine, Horhammericine, Lochnericine, echitovenine (Shanks,
1998). Serpentine dan Ajmalacine masing masing memiliki aktivitas hipertensi
dan vasodilatasi (Mishra,2001; Pandey,2001). Kandungan alkaloid Alstonine yang
terdapat pada akar juga telah digunakan secara tradisional karena kemampuannya
untuk mengurangi tekanan darah (Panneerselvam, 2013).
Dari penelitian Yin (2011) ditemukan fungi endofit XM-J2 yang
menghasilkan senyawa vincamine beraktivitas sebagai vasodilator. Alkaloid
vincristine dan vinblastine juga teridentifikasi pada Fungi F. oxysporum,
Alternaria sp, F. solani, Talaromyces radicus, Eutypella spp, dan Nigrospora
sphaerica dari tanaman tapak dara yang berperan utama dalam pengobatan
penyakit kanker (Zafari, 2018).
Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa akar tapak dara berpotensi
untuk dikembangkan dalam pengobatan karena banyaknya kandungan metabolit
sekunder pada tapak dara terutama senyawa alkaloid. Dengan demikian, maka
dapat pula dilakukan isolasi fungi endofit akar tanaman tapak dara yang
menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang sama seperti inangnya serta
dilakukan karakterisasi senyawa alkaloid dari fungi endofit.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu (a) Bagaimana hasil
isolasi fungi endofit dari akar tapak dara?, (b) Bagaimana karakteristik isolat fungi
endofit akar tapak dara?, (c) Bagaimana profil KLT fungi endofit akar tapak
dara?, (d) Bagaimana karakteristik senyawa alkaloid hasil fungi endofit akar tapak
dara menggunakan LC-MS?.
Tujuan penelitian ini adalah (a) Untuk mengetahui hasil isolasi fungi
endofit akar tapak dara, (b) Untuk mengetahui karakteristik isolat fungi endofit
akar tapak dara, (c) Untuk mengetahui profil KLT fungi endofit akar tapak dara,
3
(d) Untuk mengetahui karakteristik senyawa alkaloid isolat fungi endofit akar
tapak dara menggunakan LC-MS.
Manfaat dalam penelitian ini adalah (a) Ditemukannya isolat fungi endofit
yang memiliki senyawa bioaktif metabolit sekunder yang dapat dikembangkan
sebagai bahan baku obat yang berasal dari bahan alam. (b) Memberikan informasi
ilmiah mengenai manfaat fungi endofit yang terdapat pada akar tapak dara. (c)
Sebagai sumber informasi bagi masyarakat dalam penggunaan sediaan herbal dari
tanaman tapak dara sebagai obat.
Gambaran umum metode penelitian ini dengan, yaitu melakukan isolasi
fungi endofit untuk mendapatkan isolat fungi endofit penghasil senyawa metabolit
sekunder, dilanjutkan dengan melakukan karakterisasi isolat fungi endofit. Setelah
didapatkan isolat fungi endofit, dilakukan pemurnian untuk mendapatkan fungi
endofit yang murni, dan dilanjutkan dengan fermentasi fungi endofit untuk
mendapatkan ekstrak fungi endofit yang akan digunakan untuk pengujian
metabolit sekunder menggunakan KLT dan karakterisasi senyawa alkaloid
menggunakan LC-MS.
Gambaran umum hasil penelitian yang diharapkan yaitu diketahui
karakterisasi senyawa alkaloid yang dihasilkan dari fungi endofit untuk penemuan
senyawa aktif yang dibutuhkan dalam pengobatan tanpa menimbulkan efek
samping yang tidak diinginkan.
Implikasi dari penelitian ini adalah dihasilkannya isolat fungi endofit dari
akar tapak dara yang memiliki senyawa alkaloid yang dapat dikembangkan untuk
penemuan obat baru.
4
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
5
1.1.2 Morfologi Tumbuhan Tapak Dara
Tanaman tapak dara memiliki tinggi 0.2 - 0.8 m dan batangnya bercabang
banyak. Bentuk daun memanjang dengan bulu-bulu halus di kedua sisinya dan
posisi daun saling berhadapan. Bunga tapak dara tumbuh di ketiak daun dan
berukuran kecil, Tapak dara pada umumnya adalah berbunga putih dan ungu yang
terdiri atas 5 kelopak. Tanaman ini juga memiliki buah yaitu sepasang folikel
dengan panjang 2 - 4 cm dan lebar 3 mm (Kardinan 2003).
Terna atau semak, menahun, tumbuh tegak, tinggi mencapai 120 cm,
banyak bercabang. Batang bulat, bagian pangkal berkayu, berambut halus,
warnanya merah tengguli. Daun tunggal, agak tebal, bertangkai pendek,
berhadapan bersilang. Helai daun elips, ujung runcing, pangkal meruncing, tepi
rata, pertulangan menyirip, kedua permukaan daun mengkilap, dan berambut
halus. Perbungaan majemuk, keluar dari ujung tangkai dan ketiak daun dengan
lima helai mahkota bunga berbentuk terompet, warnanya ada yang putih, merah
muda, atau putih dengan bercak merah di tengahnya. Buahnya buah bumbu
berbulu, menggantung, berisi banyak biji berwarna hitam. Perbanyakan dengan
biji, setek batang atau akar (Dalimartha, 2008).
1.1.3 Nama Daerah Tumbuhan Tapak Dara
Perwinkle (Inggris), Chang Chun Hua (Cina); Keminting Cina, Rumput
Jalang (Malaysia); Tapak Dara (Indonesia), Kembang Sari Cina (Jawa); Kembang
Tembaga Beureum (Sunda) (Pandiangan, 2006).
1.1.4 Kandungan Tumbuhan Tapak Dara
Kandungan senyawa aktif tapak dara sangat dipengaruhi oleh kondisi
lingkungan, geografis, dan unsur hara di dalam tanah. Oleh karena itu, kandungan
bahan aktif ekstrak dapat berbeda-beda di setiap daerah. Tanaman tapak dara
banyak mengandung senyawa aktif seperti golongan alkaloid, tanin dan
triterpenoid (Hariana, 2008).
Berbagai penelitian yang telah dilakukan mendapatkan bahwa tanaman
tapak dara ini banyak sekali mengandung bahan kimia aktif yang dapat
dimanfaatkan sebagai bahan baku obat-obatan. Tumbuhan tapak dara diketahui
memiliki kurang lebih 130 jenis Alkaloid Triterpenoid Indol (TIA) diantaranya
6
seperti Vindoline, Vincamine, Serpentine, Catharanthine, Vinblastine, dan
Vincristine.
Pada bagian akar tapak dara terdapat senyawa bioaktif seperti Ajmalacine,
Serpentine, Catharanthine, Vindoline, Lerosine, Lochnerine, Reserpine,
Alstonine, Tabersonine, Horhammericine, Lochnericine, dan Echitovenine
(Shanks, 1998).
1.1.5 Khasiat Tumbuhan Tapak Dara
Dalam pengobatan tradisional tapak dara telah digunakan untuk berbagai
penyakit seperti di Cina tapak dara digunakan untuk mengobati nyeri akibat
sengatan dari tawon, tapak dara juga digunakan untuk menghambat pendarahan,
rematik, diabetes, pengobatan kanker, obat pencahar, obat sakit gigi, serta radang
tenggorokan. Tapak dara dilaporkan memiliki aktivitas biologis seperti
antioksidan, hypoglikemik, antifungi, antibakteri, anthelmentik, antivirus, dan
antikanker (Tolambiya, 2016). Vinblastine dan vincristine telah diketahui dapat
digunakan sebagai obat kanker yang diekstrak dari daun tanaman tapak dara yang
mengandung alkaloid indol (Zhao, 2010). Tanaman ini juga diketahui dapat
digunakan sebagai obat hipertensi yang disebabkan karena kandungan ajmaline
dan serpentine-nya (Mishra,2001; Pandey,2001).
1.2 Fungi Endofit
Fungi endofit merupakan mikroorganisme yang terdapat di dalam suatu
sistem jaringan tumbuhan seperti biji, daun, bunga, ranting, batang dan akar.
Berbagai senyawa fungsional dapat dihasilkan oleh fungi endofit. Senyawa yang
dihasilkan fungi endofit tersebut dapat berupa senyawa anti kanker, antivirus,
antibakteri, antifungi, insektisida dan lain-lain (Strobel, 2004). Telah diketahui
pula bahwa hubungan antara mikroba endofit dengan tanaman adalah karena
kontribusi senyawa kimia yang dihasilkan oleh mikroba yang memiliki berbagai
jenis bioaktif (Melliawati, 2006). Setiap tanaman tingkat tinggi dapat
mengandung beberapa mikroba, salah satunya fungi endofit yang mampu
menghasilkan senyawa bioaktif atau metabolit sekunder sebagai akibat transfer
genetik dari tanaman inangnya ke dalam fungi endofit (Hidayahti, 2010).
7
Fungi endofit dapat memproduksi senyawa metabolit sekunder sesuai
dengan tanaman inangnya, merupakan peluang untuk memproduksi metabolit
sekunder dari tanaman inangnya tersebut. Apabila fungi endofit yang diisolasi
dari suatu tanaman obat dapat menghasilkan alkaloid atau metabolit sekunder
sama dengan tanaman aslinya atau bahkan dalam jumlah yang lebih tinggi, maka
tidak perlu mengambil tanaman aslinya untuk diambil sebagai simplisia yang
kemungkinan besar memerlukan waktu puluhan tahun untuk dipanen (Radji,
2005).
Fungi endofit yang diisolasi dari tumbuhan obat akan memiliki aktivitas
yang lebih besar, bahkan dapat memiliki aktivitas yang lebih besar dibandingkan
aktivitas tumbuhan inangnya. Dilihat dari segi efisiensi, hal ini sangat
menguntungkan, karena siklus hidup mikroba endofit lebih singkat dibandingkan
siklus hidup tumbuhan inangnya, sehingga dapat menghemat waktu yang
dibutuhkan untuk mendapatkan senyawa tersebut, dan jumlah senyawa yang
diproduksi dapat dibuat dalam skala yang besar dengan menggunakan proses
fermentasi (Hidayahti, 2010).
1.2.1 Teknik Isolasi Fungi Endofit
Fungi endofit diisolasi dari jaringan tanaman dan ditumbuhkan pada
medium fermentasi dengan komposisi tertentu. Fungi endofit dalam medium
fermentasi akan menghasilkan jenis senyawa yang sama seperti yang terkandung
pada tanaman inangnya dengan bantuan aktivitas enzim.
Beberapa metode untuk mengisolasi endofit telah banyak dijelaskan dalam
berbagai literatur. Metode yang umum dan telah banyak diterima oleh peneliti
adalah dengan merendam jaringan tanaman didalam alkohol 70%, larutan natrium
hipoklorit 0,52% dan dilanjutkan dengan pembilasan menggunakan air steril
sebelum diletakkan diatas media pertumbuhan untuk isolasi mikroorganisme
endofit. Proses inkubasi dilakukan selama 7 sampai 15 hari dan dilakukan isolasi
pada setiap koloni dengan morfologi yang berbeda (Hidayahti, 2010).
1.2.2 Metabolit Sekunder dari Fungi Endofit
Berbagai jenis endofit telah berhasil diisolasi dari tanaman inangnya, dan
telah berhasil dibiakkan dalam media perbenihan yang sesuai. Demikian pula
8
metabolit sekunder yang diproduksi oleh mikroba endofit tersebut telah berhasil
diisolasi dan dimurnikan serta telah dielusidasi struktur molekulnya (Radji, 2005).
1. Mikroba endofit yang menghasilkan antibiotika Cryptocandin adalah antijamur
yang dihasilkan oleh mikroba endofit Cryptosporiopsis quercina yang berhasil
diisolasi dari tanaman obat Tripterigeum wilfordii, dan berkhasiat sebagai
antijamur yang patogen terhadap manusia yaitu Candida albicans dan
Trichopyton spp.
Gambar 1.3 Paclitaxel, obat antikanker yang dihasilkan dari jamur endofit P.
microspore (Radji, 2005)
9
3. Endofit yang memproduksi antioksidan Pestacin dan isopestacin merupakan
metabolit sekunder yang dihasilkan oleh endofit P. microspora. Endofit ini
berhasil diisolasi dari tanaman Terminalia morobensis, yang tumbuh di Papua
New Guinea.
(a) (b)
Gambar 1.4 Senyawa antioksidan pestacin (A) dan isopestacin (B) dari
mikroba endofit P. Microspora (Radji, 2005).
4. Endofit yang memproduksi senyawa imunosupresif. Imunosupresif merupakan
obat yang digunakan untuk pasien yang akan dilakukan tindakan transplantasi
organ. Selain itu imunosupresif juga dapat digunakan untuk mengatasi penyakit
autoimum seperti rematoid arthritis dan insulin dependent diabetes. Senyawa
subglutinol A dan B yang dihasilkan oleh endofit Fusarium subglutinans yang
diisolasi dari tanaman T. wilfordii, merupakan senyawa imunosupresif yang
sangat potensial.
10
mikroorganisme dapat dijadikan suatu kurva pertumbuhan. Kurva pertumbuhan
mempunyai beberapa fase, antara lain (Gandjar, 2006) :
1. Fase lag, yaitu fase penyesuian sel-sel dengan lingkungan, pembentukan enzim-
enzim untuk mengurangi substrat.
2. Fase akselerasi, yaitu fase mulainya sel-sel membelah dan fase lag menjadi fase
aktif.
3. Fase eksponensial, merupakan fase perbanyakan jumlah sel yang sangat
banyak, aktivitas sel sangat meningkat dan fase ini merupakan fase yang
penting dalam kehidupan fungi.
4. Fase deselerasi yaitu waktu sel-sel mulai kurang aktif membelah, kita dapat
memanen biomassa sel atau senyawa-senyawa yang tidak lagi diperlukan oleh
sel-sel.
5. Fase stationer, yaitu fase jumlah sel yang bertambah dan jumlah sel yang mati
relatif seimbang. Kurva pada fase ini merupakan garis lurus yang horizontal.
6. Fase kematian dipercepat, jumlah sel-sel yang mati atau tidak aktif sama sekali
lebih banyak daripada sel-sel yang masih hidup.
Gambar 1.6 Kurva pertumbuhan fungi (1) Fase Lag, (2) Fase Akselerasi, (3)
Fase Eksponensial, (4) Fase Deselerasi, (5) Fase Stasioner, (6) Fase Kematian
(Gandjar,2006)
1.3 Senyawa Alkaloid
Senyawa kimia terutama senyawa organik hasil metabolisme dapat dibagi
dua yaitu yang pertama senyawa hasil metabolisme primer, contohnya
karbohidrat, protein, lemak, asam nukleat, dan enzim. Senyawa kedua adalah
11
senyawa hasil metabolisme sekunder, contohnya terpenoid, steroid, alkaloid dan
flavonoid (Robbers, 1996).
Alkaloid adalah golongan senyawa basa bernitrogen yang kebanyakan
heterosiklik dan terdapat di tumbuhan (tetapi ini tidak mengecualikan senyawa
yang berasal dari hewan). Hampir seluruh alkaloid berasal dari tumbuh-tumbuhan
dan tersebar luas dalam berbagai jenis tumbuhan tingkat tinggi. Sebagian besar
alkaloid terdapat pada tumbuhan dikotil sedangkan untuk tumbuhan monokotil
dan pteridofita mengandung alkaloid dengan kadar yang sedikit. Selanjutnya
dalam Meyer‟s Conversation Lexicons tahun 1896 dinyatakan bahwa alkaloid
terjadi secara karakteristik di dalam tumbuh-tumbuhan, dan sering dibedakan
berdasarkan kereaktifan fisiologi yang khas. Senyawa ini terdiri atas karbon,
hidrogen, dan nitrogen, sebagian besar di antaranya mengandung oksigen. Sesuai
dengan namanya yang mirip dengan alkali (bersifat basa) dikarenakan adanya
sepasang elektron bebas yang dimiliki oleh nitrogen sehingga dapat mendonorkan
sepasang elektronnya (Lenny, 2006).
12
2. Beberapa alkaloid mungkin bertindak sebagai tandon penyimpanan nitrogen
meskipun banyak alkaloid ditimbun dan tidak mengalami metabolisme lebih
lanjut meskipun sangat kekurangan nitrogen.
3. Pada beberapa kasus, alkaloid dapat melindungi tumbuhan dari serangan parasit
atau pemangsa tumbuhan. Meskipun dalam beberapa peristiwa bukti yang
mendukung fungsi ini tidak dikemukakan, mungkin merupakan konsep yang
direka-reka dan bersifat „manusia sentris‟.
4. Alkaloid dapat berlaku sebagai pengatur tumbuh, karena dari segi struktur,
beberapa alkaloid menyerupai pengatur tumbuh. Beberapa alkaloid
merangasang perkecambahan yang lainnya menghambat.
5. Semula disarankan oleh Liebig bahwa alkaloid, karena sebagian besar bersifat
basa, dapat mengganti basa mineral dalam mempertahankan kesetimbangan ion
dalam tumbuhan. Sejalan dengan saran ini, pengamatan menunjukkan bahwa
pemberian nikotina ke biakan akar tembakau meningkatkan pengambilan
nitrat. Alkaloid dapat pula berfungsi dengan cara pertukaran dengan kation
tanah.
1.3.1 Penamaan
Karakteristik dalam penamaan alkaloid adalah nama latin dalam penamaan
alkaloid diakhiri dengan ”ina”. Alkaloid yang diturunkan dari nama genus (contoh
atropin dari Atropa belladonna) ; dari nama spesies (contoh, kokain dari
Erythroxylum coca Lam.) ; dari nama yang umum obat yang menghasilkan
(contoh, ergotamin dari Claviceps purpurea, umumnya dikenal sebagai ergot) ;
dari aktivitas fisiologis (contoh, narkotin dari Papaver somniferum L.
(Papaveraceae) yang dikenal sebagai Opium) ; atau dari nama pakar kimia
alkaloid yang terkenal/penemunya (contoh, peletierin dari kulit kayu Puniea
granatum Linn.) (Kar, 2007).
1.3.2 Sifat Fisika
Menurut Kar (2007) Alkaloid umumnya mempunyai 1 atom N meskipun
ada beberapa yang memiliki lebih dari 1 atom N seperti pada Ergotamin yang
memiliki 5 atom N. Atom N tersebut dapat berupa amina primer, sekunder
maupun tersier yang semuanya bersifat basa (tingkat kebasaannya tergantung dari
13
struktur molekul dan gugus fungsionalnya). Kebanyakan alkaloid yang telah
diisolasi berupa padatan kristal tidak larut dengan titik lebur yang tertentu atau
mempunyai kisaran dekomposisi. Sedikit alkaloid yang berbentuk amorf, seperti;
nikotin berupa cairan. Kebanyakan alkaloid tidak berwarna, tetapi beberapa
senyawa yang kompleks, spesies aromatik berwarna (contoh berberin berwarna
kuning dan betanin berwarna merah). Pada umumnya, basa bebas alkaloid hanya
larut dalam pelarut organik, meskipun beberapa pseudoalkaloid dan protoalkaloid
larut dalam air. Garam alkaloid dan alkaloid quartener sangat larut dalam air.
Kelarutan senyawa alkaloid dan garamnya merupakan hal yang penting dalam
farmasi karena dapat membantu dalam tindakan farmakologisnya. Secara umum
kelarutan alkaloid dan garamnya masing-masing memiliki kelarutan yang berbeda
yang disebabkan oleh struktur kimianya. Sifat fisik alkaloid dapat dilihat dari titik
leleh dan kelarutannya (Kar,2007), sebagai berikut:
1. Ajmaline merupakan senyawa alkaloid yang memiliki titik leleh 150-160 ˚C
dan dapat larut pada kloroform, eter, etanol, dan metanol.
2. Atropina merupakan senyawa alakaloid yang memiliki titik leleh 116-144 ˚C
dan dapat larut pada pelarut benzene, kloroform, dan eter.
3. Berberine merupakan senyawa alkaloid yang memeiliki titik leleh pada 145˚C
dan dapat larut dengan air.
4. Ephedrine merupakan senyawa alkaloid yang memiliki titik leleh 79˚C dan
dapat larut dengan air, etanol, eter, kloroform dan minyak.
5. Reserpine merupakan senyawa alkaloid yang memiliki titik leleh 264-265 ˚C
dan dapat larut dengan kloroform, etil asetat, dan benzen.
1.3.3 Sifat Kimia
Kebanyakan alkaloid bersifat basa. Sifat tersebut tergantung pada adanya
pasangan elektron pada nitrogen. Gugus fungsional yang berdekatan dengan
nitrogen bersifat melepaskan elektron, sebagai contoh; gugus alkil, maka
ketersediaan elektron pada nitrogen naik dan senyawa lebih bersifat basa. Hingga
trietilamin lebih basa daripada dietilamin dan senyawa dietilamin lebih basa
daripada etilamin. Sebaliknya, bila gugus fungsional yang berdekatan bersifat
menarik elektron (contoh; gugus karbonil), maka ketersediaan pasangan elektron
14
berkurang dan pengaruh yang ditimbulkan alkaloid dapat bersifat netral atau
bahkan sedikit asam. Contoh ; senyawa yang mengandung gugus amida.
Kebasaan alkaloid menyebabkan senyawa tersebut sangat mudah mengalami
dekomposisi, terutama oleh panas dan sinar dengan adanya oksigen. Hasil dari
reaksi ini sering berupa N-oksida. Dekomposisi alkaloid selama atau setelah
isolasi dapat menimbulkan berbagai persoalan jika penyimpanan berlangsung
dalam waktu yang lama. Pembentukan garam dengan senyawa organik (tartarat,
sitrat) atau anorganik (asam hidroklorida atau sulfat) sering mencegah
dekomposisi. Itulah sebabnya dalam perdagangan alkaloid dibuat dalam bentuk
garamnya (Kar, 2007).
1.3.4 Klasifikasi
Sistem klasifikasi yang diterima adalah menurut Hegnauer yaitu berdasarkan
asal mulanya (biogenesis) dan hubungannya dengan asam amino (aktivitas, asal–
usul asam amino dan sifat kebasaannya), alkaloid dibagi menjadi tiga kelas, yaitu:
(1) True alkaloid, (2) Proto alkaloid, dan (3) Pseudo alkaloid. Ciri-ciri dari ketiga
kelas alkaloid adalah sebagai berikut (Lenny, 2006) :
1. True alkaloid
Alkaloid jenis ini memiliki ciri-ciri; toksik, perbedaan keaktifan fisiologis
yang besar, basa, biasanya mengandung atom nitrogen di dalam cincin
heterosiklis, turunan asam amino, distribusinya terbatas dan biasanya terbentuk
di dalam tumbuhan sebagai garam dari asam organik. Tetapi ada beberapa
alkaloid ini yang tidak bersifat basa, tidak mempunyai cincin heterosiklis dan
termasuk alkaloid kuartener yang lebih condong bersifat asam. Contoh dari
alkaloid ini adalah kolkhisina dan asam aristolokhat.
15
(a) (b)
Gambar 8 Contoh True Alkaloid (a) Kolkhiksina, (b) Asam aristolokhat
2. Proto alkaloid
Alkaloid jenis ini memiliki ciri-ciri; mempunyai struktur amina yang
sederhana, di mana atom nitrogen dari asam aminonya tidak berada di dalam
cincin heterosiklis, biosintesis berasal dari asam amino dan basa, istilah
biologycal amine sering digunakan untuk alkaloid ini. Contoh dari alkaloid ini
adalah meskalina dan efedrina.
(a) (b)
Gambar 9 Contoh Proto Alkaloid (a) Meskalina, (b) Efedrina
3. Pseudo alkaloid
Alkaloid jenis ini memiliki ciri-ciri; tidak diturunkan dari asam amino dan
umumnya bersifat basa. Contohnya adalah kafeina
16
Berdasarkan atom nitrogennya (Kar,2007), alkaloid dibedakan atas:
1. Alkaloid Heterosiklik
Dimana atom nitrogen terletak pada cincin karbonnya. Yang termasuk pada
golongan ini adalah :
a. Alkaloid Piperidin
Mempunyai satu cincin karbon mengandung 1 atom nitrogen. Yang termasuk
dalam kelas ini adalah : Lobelia inflata dari keluarga Lobeliaceae.
17
Gambar 13 Contoh Struktur Alkaloid Quinolon
d. Alkaloid Isoquinolin
Mempunyai 2 cincin karbon mengandung 1 atom nitrogen. Yang termasuk
disini adalah : Papaver somniferum dari keluarga Papaverceae.
18
Gambar 17 Contoh Struktur Alkaloid Imidazol
g. Alkaloid Steroid
Mengandung 2 cincin karbon dengan 1 atom nitrogen dan 1 rangka steroid
yang mengandung 4 cincin karbon. Ditemukan pada keluarga Solanaceae,
Solanum spp.
19
Gambar 20 Contoh Struktur Alkaloid Feniletalamin
1.4 Ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan mengekstraksi senyawa aktif
dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai,
kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan masa atau serbuk yang
tersisa diperlakukan sedemikian rupa hingga memenuhi standar baku yang telah
ditetapkan (Sudjadi, 1998)
1.4.1 Tujuan Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses melarutkan komponen – komponen kimia yang
terdapat dalam suatu bahan alam dengan menggunakan pelarut yang sesuai
dengan komponen yang diinginkan. Pemilihan pelarut harus memenuhi kriteria
murah, dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak
mudah menguap dan tidak mudah terbakar, selektif, tidak mempengaruhi zat
berkhasiat, diperbolehkan oleh peraturan (Harbone, 1996).
Tujuan ekstraksi adalah untuk menarik komponen – komponen kimia yang
terdapat dalam bahan alam baik dari tumbuhan, hewan dengan pelarut organik
tertentu. Proses ekstraksi ini berdasarkan pada kemampuan pelarut organik untuk
menembus dinding sel dan masuk dalam rongga sel yang mengandung zat aktif.
Zat aktif akan larut dalam pelarut organik dan karena adanya perbedaan
konsentrasi di dalam dan konsentrasi di luar sel, mengakibatkan terjadinya difusi
pelarut organik yang mengandung zat aktif ke luar sel. Proses ini berlangsung
terus – menerus sampai terjadi keseimbangan konsentrasi zat aktif di dalam dan di
luar sel (Sudjadi, 1998).
1.4.2 Maserasi
Maserasi merupakan proses penyarian senyawa kimia secara sederhana
dengan cara merendam simplisia atau tumbuhan pada suhu kamar dengan
menggunakan pelarut yang sesuai sehingga bahan menjadi lunak dan larut.
Penyarian zat-zat berkhasiat dari simplisia, baik simplisia dengan zat khasiat yang
20
tidak tahan pemanasan. Sampel biasanya direndam selama 3-5 hari, sambil diaduk
sesekali untuk mempercepat proses pelarutan komponen kimia yang terdapat
dalam sampel. Maserasi dilakukan dalam botol yang berwarna gelap dan
ditempatkan pada tempat yang terlindung cahaya. Ekstraksi dilakukan berulang-
ulang kali sehingga sampel terekstraksi secara sempurna yang ditandai dengan
pelarut pada sampel berwarna bening. Sampel yang direndam dengan pelarut tadi
disaring dengan kertas saring untuk mendapat maseratnya. Maseratnya
dibebaskan dari pelarut dengan menguapkan secara in vacuo dengan rotary
evaporator (Sudjadi, 1998).
1.5 Kromatografi
Kromatografi adalah suatu metode pemisahan fisik, dimana komponen-
komponen yang dipisahkan didistribusikan diantara dua fase, salah satu fase
tersebut adalah suatu lapisan stasioner dengan permukaan yang luas, dan fase lain
sebagai fluida yang mengalir di sepanjang landasan stasioner (Day & Underwood,
2002).
Fase stasioner bisa berupa padatan maupun cairan, sedangkan fase gerak
bisa berupa cairan maupun gas. Dalam semua tekhnik kromatografi, zat-zat
terlarut yang dipisahkan bermigrasi sepanjang kolom dan tentu saja dasar
pemisahan terletak dalam laju perpindahan yang berbeda untuk larutan yang
berbeda (Day & Underwood, 2002).
1.5.1 Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis merupakan bentuk kromatografi planar, selain
kromatografi kertas dan elektroforesis. Fase gerak yang dikenal sebagai pelarut
pengembang akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada
pengembangan secara menaik (ascending), atau karena pengaruh gravitasi pada
pengembangan secara menurun (descending) (Gandjar & Rohman, 2007). Dalam
kromatografi lapis tipis, peralatan yang digunakan lebih sederhana dan dapat
dikatakan bahwa hampir semua laboratorium dapat melaksanakan setiap saat
secara cepat (Gandjar & Rohman, 2007).
Beberapa keuntungan lain dari kromatografi lapis tipis adalah (Gandjar &
Rohman, 2007):
21
a. Kromatografi lapis tipis banyak digunakan untuk tujuan analisis
b. Identifikasi pemisahan komponen dapat dilakukan dengan pereaksi warna,
flouresensi, atau radiasi dengan sinar ultraviolet
c. Dapat dilakukan eludasi secara menaik (Ascending), menurun (descending)
atau dengan cara elusi 2 dimensi.
d. Ketepatan penentuan kadar akan lebih baik karena komponen yang akan
ditentukan merupakan bercak yang tidak bergerak.
Fase diam pada KLT dapat berupa lapisan yang seragam (uniform) pada
permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, plat aluminium, atau
pelat plastik (Gandjar & Rohman, 2007). Fase diam yang digunakan dalam KLT
merupakan penjerap berukuran kecil dengan diameter partikel antara 10-30 μm.
Semakin kecil ukuran rata-rata partikel fase diam dan semakin sempit kisaran
ukuran fase diam, maka semakin baik kinerja KLT dalam hal efisiensi dan
resolusinya. Penjerap yang paling sering digunakan adalah silika dan serbuk
selulosa, sementara mekanisme sorpsi yang utama dalam KLT adalah adsorpsi
dan partisi (Gandjar& Rohman, 2007).
Pada fase gerak dalam KLT, sistem yang paling sederhana ialah campuran
dua pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah
diatur sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Beberapa
petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak adalah sebagai berikut
(Gandjar & Rohman, 2007) :
1. Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT
merupakan tehnik yang sensitif
2. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf antara
0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan.
3. Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel,
polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solut yang berarti juga
menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat sedikit polar seperti
dietil eter ke dalam pelarut non polar seperti metil benzen akan meningkatkan
harga Rf secara signifikan.
22
4. Solut-solut ionik dan solut-solut polar lebih baik digunakan campuran pelarut
sebagai fase geraknya. Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia masing-
masing akan meningkatkan solut solut yang bersifat basa dan asam.
Pemisahan pada kromatografi lapis tipis yang optimal akan diperoleh hanya
jika menotolkan sampel dengan ukuran bercak sekecil dan sesempit mungkin.
Penotolan sampel yang tidak tepat akan menyebabkan bercak yag menyebar dan
pucak ganda. Untuk memperoleh reprodusibilitas, volume sampel yang akan
ditotolkan paling sedikit 0,5 μl. Jika volume sampel yang akan ditotolkan lebih
besar dari 2-10 μl maka penotolan harus dilakukan secara bertahap dengan
dilakukan pengeringan antar totolan (Gandjar & Rohman, 2007).
Media pemisahannya adalah lapisan kaca dengan ketebalan sekitar 0,1
sampai 0,33 mm zat padat adsorben pada lempeng kaca, plastik, atau aluminium.
Lempeng yang paling umum digunakan berukuran 8 x 12 inchi dan zat padat yang
umumnya digunakan adalah alumina, gel silika, dan selulosa (Day & Underwood,
2002).
Sampel yang biasanya berupa campuran senyawa organik diteteskan di
dekat salah satu sisi lempengan dalam bentuk larutan dalam jumlah kecil,
biasanya beberapa mikrogram senyawa. Sebuah suntikan hipodermik atau sebuah
pipet gelas kecil dapat digunakan. Noda sampel dikeringkan dan kemudian sisi
lempengan tersebut dicelupkan ke dalam fase gerak yang sesuai. Pelarut bergerak
naik di sepanjang lapisan tipis zat padat di atas lempengan, dan bersamaan dengan
pergerakan pelarut tersebut, zat terlarut sampel dibawa dengan laju yang
bergantung pada kelarutan zat terlarut tersebut dalam fase bergerak dan
interaksinya dengan zat padat. Setelah garis depan pelarut bergerak sekitar 10 cm,
lempengan dikeringkan dan noda-noda zat terlarutnya diperiksa seperti pada
kromatografi kertas (Day & Underwood, 2002).
1.5.1.2 Nilai Rf
Pemisahan pada kromatografi planar (kromatografi kertas dan kromatografi
lapis tipis) pada umumnya dihentikan sebelum semua fase gerak melewati seluruh
permukaan fase diam. Solut pada kedua kromatografi ini dikarakterisasi dengan
jarak ujung fase geraknya. Faktor retardasi solut (Rf) didefinisikan sebai
23
perbandingan antara jarak yang ditempuh oleh solut terhadap jarak yang ditemput
oleh fase gerak (Gandjar & Rohman, 2007).
Nilai maksimum Rf adalah 1 dan ini dicapai ketika solute mempunyai
perbandingan distribusi (D) dan faktor retensi (K‟) sama dengan 0 yang berarti
solut bermigrasi dengan kecepatan yang sama dengan fase gerak. Nilai minimum
Rf adalah 0 dan ini teramati jika solut tertahan pada posisi titik awal di permukaan
fase diam (Gandjar & Rohman, 2007).
1.5.2 Kromatografi Kolom
Salah satu metode pemisahan senyawa dalam jumlah besar adalah
menggunakan kromatografi kolom. Pada kromatografi kolom fase diam yang
digunakan dapat berupa silika gel, selulose atau poliamida. Sedangkan fase
geraknya dapat dimulai dari pelarut non polar kemudian ditingkatkan
kepolarannya secara bertahap, baik dengan pelarut tunggal maupun kombinasi dua
pelarut yang berbeda kepolarannya dengan perbandingan tertentu sesuai tingkat
kepolaran yang dibutuhkan (Stahl, 1969).
Kromatografi kolom adalah kromatografi yang menggunakan kolom sebagai
alat untuk memisahkan komponen-komponen dalam campuran. Alat tersebut
berupa pipa gelas yang dilengkapi suatu kran di bagian bawah kolom untuk
mengendalikan aliran zat cair. Kromatografi kolom merupakan salah satu metode
pemisahan kromatografi konvensional yang bersejarah karena dari sinilah bermula
metode kromatografi kolom gelas dengan kran pada salah satu ujungnya diisi oleh
fase diam berupa silika atau alumina. Ukuran diameter partikel fase diam berkisar
100 µm. Campuran yang akan dipisahkan dituangkan pada bagian atas kolom
yang berisi fase diam. Begitu pula fase gerak berupa pelarut organik seperti
heksan dan eter dialirkan dari bagian atas kolom. Komponen-komponen yang
telah terpisah dari campurannya bergerak terbawa fase gerak ke bawah kolom.
Jumlah komponen penyusun campuran dapat terlihat sebagai cincin-cincin
berwarna sepanjang kolom gelas. Akhirnya, komponen-komponen dari campuran
meninggalkan kolom gelas satu persatu dan dapat ditampung pada tempat yang
berbeda (Sudjadi,1998).
24
Pemisahan kromatografi kolom adsorpsi didasarkan pada adsorpsi
komponen-komponen campuran dengan afinitas berbeda-beda terhadap
permukaan fase diam. Kromatografi kolom adsorpsi termasuk pada cara
pemisahan cair-padat. Substrat padat (adsorben) bertindak sebagai fase diam yang
sifatnya tidak larut dalam fase cair. Fase bergeraknya adalah cairan (pelarut) yang
mengalir membawa komponen sepanjang kolom. Pemisahan tergantung pada
kesetimbangan yang terbentuk pada bidang antarmuka di anatara butiran-butiran
adsorben dan fase gerak serta kelarutan relatif komponen pada fase bergeraknya.
Antara molekul-molekul komponen dan pelarut terjadi kompetisi untuk
teradsorpsi pada permukaan adsorben sehingga menimbulkan proses dinamis.
Keduanya secara bergantian tertahan beberapa saat di permukaan adsorben dan
masuk kembali pada fase bergerak. Pada saat teradsorpsi komponen dipaksa untuk
berpindah oleh aliran fase bergerak yang ditambahkan secara bertahap. Akibatnya
hanya komponen yang mempunyai afinitas lebih besar terhadap adsorben akan
secara selektif tertahan. Komponen dengan afinitas paling kecil akan bergerak
lebih cepat mengikuti aliran pelarut.
Teknik pemisahan kromatografi kolom dalam memisahkan campuran,
kolom yang telah dipilih sesuai ukuran diisi dengan bahan penyerap (adsorben)
seperti alumina dalam keadaan kering atau dibuat seperti bubur dengan pelarut.
Pengisian dilakukan dengan bantuan batang pengaduk untuk memantapkan
adsorben dengan gelas pada dasar kolom. Pengisian harus dilakukan secara hati-
hati dan sepadat mungkin agar rata sehingga terhindar dari gelembung-gelembung
udara. Sejumlah pelarut dituangkan melalui bagian atas kolom dan dibiarkan
mengalir ke dalam adsorben. Komponen-komponen dalam campuran diadsorpsi
dari larutan secara kuantitatif oleh bahan penyerap berupa pita sempit pada
permukaan atas dengan penambahan pelarut (eluen) secara terus-
menerus, masing-masing komponen akan bergerak turun melalui kolom dan pada
bagian atas kolom akan terjadi kesetimbangan baru antara bahan
penyerap, komponen campuran dan eluen. Kesetimbangan dikatakan tetap bila
suatu komponen yang satu dengan lainnya bergerak ke bagian bawah kolom
dengan waktu atau kecepatan berbeda-beda sehingga terjadi pemisahan. Jika
25
kolom cukup panjang dan semua parameter pemisahan benar-benar terpilih seperti
diameter kolom, adsorben, pelarut dan kecepatan alirannya, maka akan
terbentuk pita-pita (zona-zona) yang setiap zona berisi satu macam
komponen. Setiap zona yang keluar dari kolom dapat ditampung dengan
sempurna sebelum zona yang lain keluar dari kololm. Komponen (eluat) yang
diperoleh dapat diteruskan untuk ditetapkan kadarnya, misalnya dengan cara
titrasi atau spektofotometri.
Teknik pemisahan kromatografi kolom partisi sangat mirip dengan
kromatografi kolom adsorpsi. Perbedaan utamanya terletak pada sifat penyerap
yang digunakan. Pada kromatografi kolom partisi penyerapnya berupa materi
padat berpori seperti selulosa atau silika gel yang permukaannya dilapisi zat cair
(biasanya air). Dalam hal ini zat padat hanya berperan sebagai penyangga
(penyokong) dan zat cair sebagai fase diamnya. Fase diam zat cair umumnya
diadsorpsikan pada penyangga padat yang sejauh mungkin inert terhadap
senyawa-senyawa yang akan dipisahkan. Zat padat yang penyokong harus
penyerap dan menahan fase diam serta harus membuat permukaannya seluas
mungkin untuk mengalirnya fase bergerak. Penyangga pada umumnya bersifat
polar dan fase diam lebih polar dari pada fase bergerak. Dalam kromatografi
partisi fase bergeraknya dapat berupa zat cair dan gas yang mengalir membawa
komponen-komponen campuran sepanjang kolom. Jika fase bergeraknya dari zat
cair, akan diperoleh kromatografi partisi cair-cair. Teknik ini banyak digunakan
untuk pemisahan senyawa-senyawa organik maupun anorganik (Yazid, 2005).
1.5.3 Kromatografi Cair Vakum
Kromatografi Cair Vakum (KCV) merupakan salah satu metode fraksinasi
yaitu dengan memisahkan crude extract menjadi fraksi-fraksinya yang lebih
sederhana. Pemisahan tersebut memanfaatkan kolom yang berisi fase diam dan
aliran fase geraknya dibantu dengan pompa vakum. Fase diam yang digunakan
dapat berupa silika gel atau aluminium oksida. Kromatografi cair vakum
dilakukan untuk memisahkan golongan senyawa metabolit sekunder secara kasar
dengan menggunakan silika gel sebagai absorben dan berbagai perbandingan
26
pelarut dengan menggunakan pompa vakum untuk memudahkan penarikan eluen
(Helfman, 1983).
Kelebihan KCV jika dibandingkan dengan kromatografi kolom terletak
pada kecepatan proses (efisiensi waktu) karena proses pengelusian dipercepat
dengan memvakumkan kolom selain itu KCV juga dapat memisahkan sampel
dalam jumlah banyak (Ghisalberti, 2008).
1.6 Analisis Komponen dengan LC-MS (Liquid Cromatography- Mass
Spectorscopy)
Kromatografi merupakan salah satu teknik pemisahan yang mana solut atau
zat terlarut terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi, dikarenakan solut-solut ini
melewati suatu kolom kromatografi. Pemisahan ini diatur oleh distribusi solute
dalam fase gerak dan fase diam. Penggunaan kromatografi cair dapat berjalan
dengan baik dipengaruhi berbagai macam diantaranya kondisi operasional seperti
fasa gerak, suhu kolom, dan ukuran sampel (Gandjar dan Rohman, 2012).
Mass spectrometer (MS) merupakan alat yang dapat memberikan informasi
mengenai bobot molekul dan struktur senyawa organik. Selain itu, alat ini juga
dapat mengidentifikasi dan menentukan komponen-komponen suatu senyawa
tanpa melibatkan interaksi antara REM, akan tetapi melibatkan elektron dengan
kecepatan tinggi atau energi tinggi (70 eV) dalam vakum tinggi (Sastrohamidjojo,
2005). Pada LC-MS, sampel yang telah dipisahkan dalam kolom akan diuapkan
pada suhu tinggi, kemudian diionisasi. Ion yang terbentuk difragmentasi sesuai
dengan rasio massa/muatan (m/z), yang selanjutnya dideteksi secara elektrik
(Supratman,2010).
Spektrum massa merupakan rangkaian puncak-puncak yang berbeda
tingginya. Bentuk spektrumnya tergantung dari sifat molekul, potensial ionisasi,
mudah tidaknya sampel tersebut dapat menguap, dan konstruksi alat. Untuk dapat
menghasilkan spektrum massa, dalam proses ionisasi berkas elektron
dipergunakan minimal 7-15 mV (Khopkar, 2008).
Metode spektroskopi massa berbeda dengan metode spektroskopi yang lain.
Dalam spektrometer ini, suatu sampel dalam keadan cair akan ditabrak atau
ditembak oleh elektron yang berenergi tinggi. Penembakan tersebut akan
27
menyebabkan lepasnya sebuah elektron dari suatu sampel membentuk suatu ion
organik. Ion yang dihasilkan oleh penembakan elektron tersebut tidak stabil dan
pecah menjadi fragmen fragmen kecil, baik berbentuk radikal maupun dalam
bentuk ion positif dan negatif. Dalam sebuah spektoskopi massa yang khas,
fragmen yang bermuatan positif akan dideteksi oleh rekorder (Supratman, 2010).
Keuntungan dari LC-MS yaitu dapat menganalisis lebih luas berbagai
komponen, seperti senyawa termal labil, polaritas tinggi atau bermassa molekul
tinggi, bahkan juga protein. senyawa dipisahkan atas dasar interaksi relatif dengan
lapisan kimia partikel-partikel (fase diam) dan elusi pelarut melalui kolom (fase
gerak). Komponen elusi dari kolom kromatografi kemudian diteruskan ke
spektrometer massa melalui antarmuka khusus (Supratman, 2010).
28
BAB II
29
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
30
isolat fungi endofit tanaman tapak dara, dan karakteristik senyawa alkaloid hasil
fungi endofit tanaman tapak dara.
3.4.2 Definisi
1. Definisi Konsepsional
a. Isolasi Fungi adalah cara memisahkan fungi dari lingkungannya hingga
diperoleh biakan yang murni.
b. Karakteristik senyawa Alkaloid adalah ciri-ciri, bentuk, unsur atom, sifat fisika,
sifat kimia dan bobot molekul dari senyawa.
2. Definisi Operasional
a. Isolasi fungi endofit adalah pemisahan fungi dari jaringan tanaman sehingga
diperoleh biakan murni dengan menggunakan media pertumbuhan fungi untuk
melakukan proses pemurnian fungi endofit.
b. Karakterisasi fungi endofit adalah gambaran ciri-ciri fungi endofit secara
makroskopik dan mikroskopik berupa warna dan bentuk pertumbuhan koloni
pada cawan petri.
c. Senyawa alkaloid fungi endofit adalah hasil metabolisme sekunder yang
dihasilkan oleh fungi endofit yang diproduksi pada suatu media produksi.
3.5 Data dan Sumber Penelitian
Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah:
1. Jumlah fungi endofit yang yang berhasil didapatkan dari isolasi pada medium
Potato Dextrose Agar.
2. Karakteristik isolat fungi endofit yang telah dimurnikan dengan cara
pengamatan makroskopik dan mikroskopik.
3. Karakteristik senyawa alkaloid dari isolat fungi endofit menggunakan
spektroskopi massa.
3.6 Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian diawali dengan pengumpulan akar tapak dara untuk
dilakukan isolasi fungi endofit. Selanjutnya dilakukan karakterisasi dan
pemurnian fungi endofit, fungi endofit tersebut kemudian di fermentasi. Setelah
itu dilakukan identifikasi dan karakterisasi senyawa alkaloid.
31
3.6.1 Isolasi Fungi Endofit
Sampel
Disterilisasi dengan alkohol
70% dan Natrium hipoklorit
5,3%
Penempelan fragmen pada
media Potato Dextrose Agar
Dilakukan karakterisasi
makroskopik dan
mikroskopik
32
3.6.2 Karakterisasi Isolat Fungi Endofit
Makroskopis Mikroskopis
Bagian-Bagian
Bentuk Bentuk Fungi Endofit
Koloni Warna
Studi Literatur
Ekstrak Isolat
Dihitung Nilai Rf
33
3.6.4 Isolasi Senyawa Alkaloid
Ekstrak
Kromatografi Kolom
Konvensional (KKK)
Fraksi
Kromatografi Lapis
Tipis Preparatif
(KLTP)
KLT 2 Dimensi
Isolat
34
3.6.5 Karakterisasi Senyawa Alkaloid
LC-MS
Identifikasi
35
BAB IV
36
Borth (PDB) digunakan untuk
fermentasi fungi
endofit
11 Metanol Cair Eluen untuk
mengelusi ekstrak
pada plat KLT
12 Natrium hipoklorit Cair Mensterilkan
permukaan akar
tapak dara
13 N-heksan Cair Eluen untuk
mengelusi ekstrak
14 Plat KLT Padat Identifikasi
senyawa alkaloid
15 Silica gel 60 Padat Identifikasi
senyawa alkaloid
37
4.2 Peralatan Penelitian
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 4.2
Tabel 4.2 Peralatan Penelitian dan Kegunaan dalam Penelitian
No Nama Alat Kegunaan
1 Autoklaf Alat sterilisasi
2 Cawan Petri Wadah isolat fungi
endofit
3 Chamber Tempat mengelusi
4 Corong Kaca Alat untuk menyaring
filtrate
5 Gelas kimia Wadah membuat larutan
6 Hot plate Untuk membuat dan
mencairkan media
7 Labu Erlenmeyer Wadah tempat
penyimpanan media
pertumbuhan mikroba uji
dan untuk wadah
produksi metabolit
sekunder fungi endofit.
8 Laminar air flow Tempat kerja aseptis
9 Lampu UV 254 nm dan Pengamat bercak noda
366 nm yang akan berfloresensi
atau berpendar dari suatu
senyawa
10 Lemari es Tempat penyimpanan
media
11 Mikropipet Mengambil eluen
12 Object glass Wadah preparat sampel
13 Pencadang besi Proses pemurnian jamur
14 Pinset Alat untuk mengambil
peralatan KLT dan proses
38
Isolasi Fungi
15 Pisau Steril Alat untuk membantu
memotong pada proses
isolasi fungi
16 Shaker Penggoncang pada proses
produksi biomassa sel
jamur
17 Spektrometer massa Untuk identifikasi
senyawa alkaloid
18 Timbangan analitik Menimbang bahan
39
BAB V
PROSEDUR PENELITIAN
40
b. Media PDB (Potato Dextrose Broth)
Ditimbang PDB (Potato Dextrose Broth) dan dilarutkan dengan aquades.
Dimasukkan kedalam Erlenmeyer 250 mL ditambahkan aquades sampai tanda
batas, dipanaskan sambil diaduk hingga jernih. Didinginkan dan disterilisasi
menggunakan autoklaf selama 15 menit suhu 121˚C.
5.2.2 Prosedur Khusus
1. Isolasi Fungi Endofit
Sampel akar tapak dara dikumpulkan dan dicuci secara menyeluruh dengan
air mengalir, kemudian dipisahkan bagian batangnya. Bagian tersebut dilakukan
sterilisasi permukaan dengan merendam kedalam alkohol 70% selama 30 detik,
natrium hipoklorit 5,3% 3-5 menit, selanjutnya dibilas dengan aquades lalu
dikeringkan. Setelah dikeringkan, kemudian bagian-bagian tersebut dipotong
menjadi bagian kecil dengan ukuran sekitar 5 x 5 mm yang dikerjakan secara
aseptik. Semua hasil potongan fragmen sampel dimasukkan ke dalam cawan petri
yang berisi medium PDA dan diinkubasi pada suhu 23 ± 2˚C. Dilakukan
pemurnian dan pengamatan secara berkala pada cawan petri hingga diperoleh
isolat fungi endofit (Arifuddin,2017).
2. Pemurnian Fungi Endofit
Pemurnian koloni fungi endofit yang tumbuh pada media dilakukan
pemisahan sehingga diperoleh isolat fungi endofit. Pemurnian dilakukan
berdasarkan morfologi yang diamati yaitu warna dan bentuk koloni fungi, maka
diisolasi kembali pada media yang baru. Diinkubasi pada waktu dan suhu yang
sama seperti sebelumnya hingga didapatkan isolat fungi endofit yang murni
dengan melihat ciri-cirinya secara visual.
3. Karakterisasi Fungi Endofit
Karakterisasi fungi endofit dilakukan agar dapat diketahui ciri-ciri dari
fungi yang tumbuh. Karakterisasi dilakukan secara makroskopik dan mikroskopik
a. Karakterisasi makroskopik
Secara makroskopik dilakukan dengan mengamati isolat fungi endofit
secara visual meliputi warna koloni pada tampak depan dan belakang koloni,
bentuk koloni, dan diameter koloni.
41
b. Karakterisasi Mikrosokopik
Dilakukan dengan meletakkan object glass dan cover glass didalam cawan
petri yang disangga menggunakan aluminium foil dan bagian dasarnya diberi
kertas saring hingga menutupi seluruh permukaan cawan petri. Kemudian
disterilisasi dengan menggunakan autoklaf, setelah dilakukan sterilisasi,
ditambahkan 1-2 tetes media diatas object glass selanjutnya diinokulasi fungi
endofit pada object glass dan ditutup dengan cover glass. Pada kertas saring
diteteskan gliserin secara merata dan diinkubasi selama 7 hari pada suhu 25ºC dan
diamati dengan menggunakan mikroskop.
4. Fermentasi Fungi Endofit
Fermentasi fungi endofit dilakukan dengan menggunakan media PDB
(Potato Dextrose Broth). Koloni diinokulasikan kedalam labu erlenmeyer yang
berisi media PDB sebanyak 250 mL kemudian dilakukan inkubasi dengan
penggoncangan menggunakan shaker dengan kecepatan 200 rpm selama 21 hari.
Hasil inkubasi disaring menggunakan kertas saring untuk memisahkan koloni dari
media. Kemudian hasil produksi biomassa di ekstraksi menggunakan etil asetat.
Ekstraksi biomassa dan ekstrak media digunakan untuk pengujian.
5. Ekstrak Isolat Fungi Endofit
Setelah 2 minggu hasil fermentasi disaring untuk memisahkan supernatan
dan miselia. Supernatan di ekstraksi dengan pelarut etil asetat sedangkan miselia
di maserasi selama 24 jam dengan pelarut etil asetat. Pelarut diuapkan sampai
diperoleh ekstrak kering.
6. Fraksi Isolat Fungi Endofit
Ekstrak isolat fungi endofit yang diperoleh akan dilarutkan dengan
menggunakan kombinasi pelarut yaitu methanol, etil asetat dan n-heksan yang
selanjutnya akan dilanjutkan pada fraksinasi menggunakan kromatografi kolom
konvensional.
7. Karakterisasi Senyawa Alkaloid
Fraksi yang diperoleh ditotolkan pada plat KLT, kemudian dikeringkan
dan di letakkan pada chamber yang berisi eluen etil asetat dan kloroform dengan
42
perbandingan. Setelah proses elusi selesai, amati plat KLT dengan lampu UV
254 nm dan 366 nm. Dan didapatkan eluen dengan perbandingan yang cocok,
kemudian dilakukan uji Kromatografi Kolom Konvensional. yang diawali
dengan memasukkan kapas agar tetesan yang di hasilkan tidak terlalu cepat
keluar dan tandai kolom dengan penggaris. Lalu masukkan silika Gel 60 yang
telah dibasahi dengan pelarut. Lalu dilakukan imprake, kemudian ambil fraksi
dan tambahkan silika Gel 60 lalu gerus ad homogen lalu masukkan lagi silika
Gel 60 hingga tanda batasnya. Kemudian tambahkan pelarut n-heksan 100 %
lalu n-heksan 50 mL, etil asetat 100 %, etil asetat 50 mL kemudian metanol
100% dan metanol 50 mL. Kemudian di lakukan uji Kromatografi Lapis Tipis
Preparatif, fraksi dengan pelarut n-heksan dan etil asetat 9:1. Lalu ditotolkan
fraksi tersebut pada plat KLTP hingga membentuk pita. Lalu lihat bercak noda
dengan lampu UV 254 nm dan 366 nm. Dan yang terakhir dilakuan uji
Kromatografi Lapis Tipis Dua Dimensi. Fraksi ditotolkan pada plat
Kromatografi Lapis Tipis Dua Dimensi. Lalu masukkan kedalam chamber yang
berisi eluen. Setelah proses elusi selesai, lalu keringkan plat tersebut dan amati
bercak noda pada lampu UV 254 nm dan 366 nm. Isolat yang diperoleh
kemudian dianalisis dengan LC-MS.
5.3 Prosedur Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif. Data yang
diperoleh dikumpulkan dan dianalisis menggunakan analisis kualitatif
berdasarkan perolehan data karakteristik morfologi koloni isolat fungi endofit
akar tapak dara secara makroskopis dan mikroskopis, senyawa alkaloid yang
terdapat pada fungi endofit akar tapak dara.
43
BAB VI
44
DAFTAR PUSTAKA
Gandjar, I.G., Rohman, A., (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Gandjar, I.G., Rohman, A., (2012). Analisis Obat secara Spektroskopi dan
Kromatografi, 315-317, Yogyakarta: Pustaka pelajar.
45
Hariana A., (2008). Tumbuhan Obat dan Khasiatnya Seri 2. Depok: Penebar
Swadaya
Helfman GS. (1983). Underwater Methods. P. 349 – 369. In: Nielsen LA and
Johnson DL [eds.]. Fisheries Techniques. American Fisheries Society,
Bethesda, Maryland.
Hidayahti, N. (2010). Isolasi dan Identifikasi Jamur Endofit pada Umbi Bawang
Putih (Allium sativum) sebagai Penghasil Antibakteri terhadap Bakteri
Staphylococcus aureus dan Escherichia coli. Skripsi. Jurusan Biologi
Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Malang (UIN).
Malang.
Magnotta, M., Murata, J., Chen, J., Luca, V. D. (2006). Identification of a low
vindoline accumulating cultivar of Catharanthus roseus (L.) G. Don by
alkaloid and enzymatic profiling. Phytochemistry, 67(16), 1758-1764.
46
doi:10.1016/j.phytochem.2006.05.018
47
Pengembangan Obat Herbal. Majalah Ilmu Kefarmasian, 2(3), 113-126
Shanks, J. V., Bhadra, R., Morgan, J., Rijhwani, S., Vani, S. (1998).
Quantification of metabolites in the indole alkaloid pathways of
Catharanthus roseus: Implications for metabolic engineering. Biotechnology
and Bioengineering, 58(2–3), 333–338.
Strobel, G., Daisy, B., (2003). Bioprospecting for microbial endophytes and their
natural products. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 67, 491–502
Strobel, G., Daisy, B., Castillo, U., dan Harper, J. (2004). Natural products from
endophytic microorganisms. J Nat Prod, 67, 257–268.
48
Tolambiya, P., Mathur, S. (2016). A study on potential phytopharmaceuticals
assets in Catharanthus roseus L. (Alba). International Journal of Life
Sciences Biotechnology and Pharma Research, 5(1), 1–6.
doi:org/10.18178/ijlbpr.5.1.1-6
Zafari, D., Leylaie, S., Tajick, M. A., Resources, N. (2018). Isolation and
identification of vinblastine from the fungus of Chaetomium globosum Cr95
isolated from Catharanthus roseus plant, 5(20), 1–8.
Zhao, J., Zhou, L., Wang, J., Shan, T., Zhong, L., Liu, X., (2010). Endophytic
fungi for producing bioactive compounds originally from their host plants.
Curr. Res. Technol. Educ. Trop. Appl. Microbiol. Microb. Biotechnol. 1,
567–576.
49