Anda di halaman 1dari 11

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia terdiri beribu-ribu pulau, merupakan negara yang berkembang.


Berbagai upaya ditempuh agar masyarakat hidup sejahtera, diantaranya masalah
kesehatan. Salah satunya adalah defisiensi enzim G6PD. Defisiensi enzim ini
memang kurang popular, namun bukan berarti populasi masyarakat di lingkungan kita
terbebas dari gangguan enzim ini, karena dalam 2 dekade terakhir telah dibuktikan
terdapat penyebaran defisiensi enzim ini dari Sabang hingga Merauke antara lain di
Sumatra Utara khususnya di Nias 3.9%, di Asahan 3.9%, dan di Medan 3.9%, di Jawa
antara lain di Jakarta 3%, di Semarang 14%, di Surabaya 3%, di Nusa Tenggara
terdapat di Lombok 18.4%, di Bima 12%, di Flores 4%, di Maluku terdapat di pulau
Buru dan Halmahera sekitar 6%, dan di Irian Barat 8%.

Saat ini ditemukan sekitar 160 mutasi bersama dengan lebih dari 400 varian
biokimia telah dijelaskan (Cappellini, 2008). Varian G6PD oleh WHO telah
diklasifikasikan ke dalam empat kateoti tergantung pada aktivitas residu enzim dan
manifestasi klinis.

B. Permasalahan

Berdasarkan perbandingan peta distribusi geografi dan fenotip sel eritrosit


penderita defisiensi G6PD serta peta epidemiologi malaria , mutasi gen pada enzim
tersebut dapat dikategorikan sebagai salah satu mekanisme adaptasi terhadap infeksi
parasit plasmodium . Hal tersebut menguntungkan bagi penderita defisiensi enzim ini,
karena mempunyai daya kekebalan atau resistensi terhadap malaria . Namum
defisiensi enzim ini dapat juga membahayakan dirinya apabila terjadi pemaparan
terhadap oksidan (misal obat anti malaria primaquin) dapat menimbulkan gejala klinik
yang tidak diinginkan. Indonesia bagian timur merupakan daerah endemik malaria,
sering dilakukan radikal terapi malaria tanpa dilakukan uji saring defisiensi enzim ini
terlebih dahulu, maka anak menimbulkan gangguan kesehatan.

Sebagian besar defisiensi ini tidak menunjukkan gejala klinis, sehingga


pemahaman mengenai akibat yang mungkin timbul pada penderita ini yang terpapar
bahan oksidan masih belum sepenuhnya disadari. Sangat disayangkan jika defisiensi
enzim tersebut yang diakibatkan kekurangan antioksidan endogen dapat
menimbulkan gangguan kesehatan, karena kekurangan antioksidan endogen dapat
diatasi dengan pemberian antioksidan eksogen melalui makanan. Jadi seandainya
diagnosis dini defisiensi G6PD telah ditegakkan secara awal, kemungkinan efek buruk
terhadap tubuh dapat dihindarkan dengan mengantisipasi penambahan antioksidan
melalui makanan.

Di negara berkembang berbagai penyakit merupakan skala prioritas utama


misalnya Diabetes Mellitus, HIV/AIDS, Narkoba, penyakit akibat rokok,
2

kardiovaskuler, dan kanker. Singapore (1960) merupakan negara pemula melakukan


tes skrining G6PD sebagai pemeriksaan rutin bagi ibu hamil dan bayi lahir, Taiwan
sejak 1988 telah menjalankan external quality assurance (EQA) program untuk tes
skrining, diikuti Hongkong, Cina, India, dan Malaysia. Sejak tahun 1990 program ini
berkembang dengan cepat di Korea, Thailand dan Filipina dan usaha tersebut berhasil
menurunkan terjadinya crisis hemolitik.

Mengingat ternyata defisiensi enim ini selain hemolisis juga mengakibatkan


keguguran, apalagi di daerah endemik malaria yang frekuensinya menigkat maka
perlu diupayakan dilakukan tes skrining untuk meningkatkan kualitas hidup bagi
penderita G6PD.

C. Tujuan dan Manfaat Kajian

1. Tujuan. Adapun tujuan kajian ini dibuat agar menjadi pedoman


pelaksanaan kegiatan penelitian, sehingga menghasilkan data yang akurat dan
mampu dimanfaatkan untuk kepentingan kesehatan prajurit TNI AD, khususnya
prajurit yang bertugas di daerah endemik penyakit Malaria.

2. Manfaat. Adapun manfaat kajian ini yaitu mengetahui tingkat urgensi dari
deteksi dini defisiensi G6PD pada prajurit yang menerima pengobatan penyakit
malaria , sehingga tidak terjadi komplikasi dan gangguan kesehatan yang
mampu menurunkan kinerja prajurit saat bertugas.

BAB II
TINJAUAN DAN KERANGKA KONSEPTUAL

A. Tinjauan Konseptual

Pengertian G6PD

Glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD) adalah enzim yang bekerja pada


metabolisme karbohidrat. Enzim ini terdapat dalam sitoplasma, tersebar di seluruh sel
dengan kadar yang berbeda-beda. Defisiensi G6PD adalah cacat enzimatik karena
mutasi gen G6PD. Menurut Zhao (2010), defisiensi G6PD merupakan defek enzim
herediter dari eritrosit manusia yang paling sering ditemukan. Enzim G6PD bekerja
pada jalur fosfat pentosa metabolisme karbohidrat, diwariskan secara X-linked, oleh
karena itu mutasi pada gen G6PD ditemukan lebih banyak pada laki-laki daripada
perempuan, meyebabkan varian fungsional dengan beberapa biokimia dan fenotipe.
Cappellini (2008) mengungkapkan kasus ini paling banyak dilaporkan dari Afrika,
Eropa, Timur Tengah, dan Asia Tenggara.
3

Peran G6PD pada Metabolisme Eritrosit

Pada sel eritrosit terjadi metabolisme glukosa untuk menghasilkan energi (ATP)
yang digunakan untuk kerja pompa ionik dalam rangka mempertahankan milieu ionik
yang cocok bagi eritrosit. Pembentukan ATP ini berlangsung melalui jalur Embden
Meyerhof yang melibatkan sejumlah enzim seperti glukosa fosfat isomerase dan
piruvat kinase, sebagian kecil glukosa mengalami metabolisme dalam eritrosit melalui
jalur heksosa monofosfat dengan bantuan enzim G6PD untuk menghasilkan glutation
yang penting untuk melindungi hemoglobin dan membran eritrosit dari oksidan.
Defisiensi enzim piruvat kinase, glukosa fosfat isomerase dan G6PD dapat
mempermudah dan mempercepat hemolisis. Yang paling sering mengalami defisiensi
adalah G6PD (Rinaldi, 2009)

Metabolisme glukosa melalui jalur heksosa monofosfat meningkat beberapa kali


ketika eritrosit terpapar dengan obat-obatan atau toksin yang membentuk radikal
bebas. G6PD menginisiasi jalur ini dengan menjadi katalis oksidasi glukosa-6-fosfat
menjadi 6-phosphogluconolactone oleh ko-enzim nikotinamida adenin-
dinucleotidephosphate (NADP), yang dikurangi menjadi NADPH.6-
phosphogluconolactone menghidrolisis secara spontan untuk 6-phosphogluconate.
Ini berfungsi sebagai substrat untuk 6-phosphogluconate dehidrogenase dan NADP.
Langkah kedua dalam jalur enzimatik ini juga berhubungan dengan pengurangan
NADP+ untuk NADPH. NADPH dihasilkan sebagai akibat dari reaksi mengurangi
glutation teroksidasi (GSSG) untuk mengurangi glutation (GSH) dalam reaksi
dikatalisis oleh glutation reduktase. GSH kemudian mengurangi hidrogen peroksida,
oksidan kuat yang dihasilkan dalam metabolisme sel dan sebagai konsekuensi dari
respon inflamasi, dan oksidan endogen dan eksogen lainnya, pada reaksi katalis oleh
glutathione peroksidase (gambar 1) (Greene,1993).

Gambar 1. Reaksi Katalis oleh glutatione peroksidase


4

Awalnya varian G6PD ditandai secara biokimia menurut aktivitas enzim dalam
eritrosit, mobilitas elektroforesis, Michaelis Konstan, pemanfaatan analog substrat dan
termostabilitas (Zhao, 2010).

Fungsi utama dari jalur fosfat pentosa adalah menghasilkan kapasitas


pengurangan melalui produksi NADPH dan akhirnya GSH. Hanya ini mekanisme yang
tersedia bagi eritrosit untuk menghasilkan kapasitas pengurangan dan sehingga
penting untuk kelangsungan hidup sel, sedangkan pada sel lain dari tubuh berarti
produksi NADPH tetap ada dan jalur pentosa fosfat hanya untuk 60% dari produksi
NADPH (Greene, 1993).

GSH dihasilkan melalui jalur fosfat pentosa, seperti diuraikan di atas, melindungi
hanya terhadap stres oksidan dalam eritrosit. Dalam eritrosit yang normal tanpa
tekanan G6PD, aktivitas G6PD hanya sekitar 2% dari total kapasitas. Ini
meningkatkan kemungkinan terhadap tantangan dari stres oksidan dan GSH
dipertahankan pada tingkat stabil. Namun, eritrosit defisiensi G6PD telah sangat
mengurangi aktivitas G6PD (10 sampai 20% dari normal pada G6PD A(-) dan 0
sampai 10% dari normal pada G6PD Mediteranian dan varian serupa). Peningkatan
stress oksidan dapat menyebabkan penipisan GSH ditandai sebagai kemampuan dari
defisiensi G6PD untuk menghasilkan NADPH terlampaui oleh tingginya kehilanan
GSH (Greene, 1993)

Stres oksidan tidak terkompensasi dalam eritrosit normal (atau lebih mudah
dalam eritrosit defisiensi G6PD) menghasilkan oksidasi hemoglobin menjadi methem-
globin, pembentukan Heinz body, dan kerusakan membran. Jika terjadi sangat berat
akan mengakibatkan hemolisis, sementara bila terjadi lebih ringan tetapi stres oksidan
tidak terkompensasi akan mengurangi kemampuan eritrosit dan meningkatkan
kemungkinan bahwa eritrosit akan dikeluarkan dari sirkulasi ke sistem
retikuloendotelial. Akibat hilangnya eritrosit , hematopoiesis ditingkatkan karena tubuh
berusaha untuk mempertahankan fungsi normal vaskular, dan ada banyak retikulosit
yang dikeluarkan (eritrosit muda dilepaskan dari sumsum tulang). Retikulosit biasanya
mencapai kurang dari 1% eritrosit total, tapi berikut hemolisis dapat terdiri sampai 15%
dari eritrosit (Greene,1993).

Manifestasi Klinik

Aktivitas G6PD yang normal menurun hampir 50% pada waktu usia eritrosit
mencapai 120 hari. Pada Tipe A- penurunan ini terjadi sedikit lebih cepat dan lebih
cepat lagi pada ras Afrika (Rinaldi,2009).

Sebagian besar individu defisiensi G6PD adalah asimtomatik sepanjang hidup


mereka, dan tidak menyadari keadaan ini. Pada umumnya bermanifestasi sebagai
anemia hemolitik akut, favism, neonatal jaundice, atau anemia kronis non-hemolitik
sferositik yang biasanya muncul ketika eritrosit mengalami stres oksidatif yang dipicu
oleh zat oksidan seperti obat-obatan, infeksi, atau mengkonsumsi kacang fava.
Defisiensi G6PD tampaknya tidak mempengaruhi angka harapan hidup, kualitas hidup
5

atau aktivitas individu. Beberapa gangguan klinis, seperti diabetes dan infark miokard
dan latihan fisik berat, telah dilaporkan memicu hemolisis pada individu defisiensi
G6PD, walaupun paparan bersama antara infeksi atau oksidan obat dapat
menyebabkan hal ini. Mekanisme yang tepat yang meningkatkan sensitifitas terhadap
kerusakan oksidatif menyebabkan hemolisis tidak sepenuhnya diketahui. Penyebab
hemolisis akut pada defisiensi G6PD ditandai dengan kelelahan, sakit punggung,
anemia, dan jaundice. Peningkatan bilirubin tidak terkonjugasi, laktat dehidrogenase,
dan retikulositosis adalah marker kelainan tersebut (cappellini, 2008).

Gambar 2. Daftar obat-obatan dan bahan kimia yang dapat menyebabkan hemolisis
pada pasien penderita G6PD

Adapun manifestasi klinis defisiensi G6PD berupa Anemia hemolitik dan non
hemolitik.

1. Anemia hemolitik

a. Anemia hemolitik akut akibat induksi obat

Terjadi setelah paparan obat atau bahan kimia. Umumnya, setelah satu
sampai tiga hari terpapar bahan bahan tersebut, penderita akan mengalami
demam, letargi, kadang disertai gejala gastrointestinal. Hemoglobinuria
merupakan tanda kardinal, terjadi hemolisis intravaskular ditandai dengan
terbentuknya urin berwarna merah gelap hingga coklat. Kemudian timbul ikterus
dan anemia disertai takikardia. Dapat terjadi komplikasi apabila terdapat
penyakit dasar berupa gangguan hepar seperti hepatitis

Primaquin merupakan salah satu obat yang dapat memicu hemolisis


dikarenakan obat tersebut berinteraksi dengan hemoglobin dan oksigen.
6

b. Anemia hemolitik karena infeksi

Infeksi merupakan penyebab paling umum terjadinya hemolisis. Infeksi


bakteri dan virus seperti Hepatitis, Salmonela, Streptococcus hemoliticus dan
Rickettsia, apabila menyerang pada pasien dengan defisiensi G6PD dapat
memperparah gejala klinis yang timbul.

c. Anemia hemolitik akibat induksi diabetik asidosis

Adanya infeksi tersembunyi diabetik asidosis sering kali menjadi pemicu


hemolisis akut dan asidosis diabetik.

d. Anemia hemolitik akut karena Favism

Disebabkan konsumsi kacang koro (fava bean, Vicia faba). Favisme


merupakan salah satu efek hematologi yang paling berat pada penderita
defisiensi G6PD. Dalam waktu 24-48 jam dapat timbul demam disertai mual
muntah, nyeri abdomen dan diare. Urin berwarna merah hingga coklat gelap,
pucat, takikardi, dan beberapa kasus dapat terjadi syok hipovolemi dengan cepat
yang dapat berakibat fatal.

e. Anemia hemolitik nonsferositik kongenital (Congenital Nonspherocytic


Hemolytic Anemia atau CNHA) manifestasi awal berupa ikterus neonatal.

f. Hiperbilirubinemia neonatorum yang terjadi pada masa neonatus.

2. Anemia non hematologik

Beberapa kasus defisiensi G6PD dilaporkan dapat memberikan manifestasi non


hematologik. Dilaporkan bahwa defisiensi G6PD dapat mengakibatkan juvenile
cataract pada lensa mata, bahkan bilateral cataract ditemukan pada anak dengan
defisiensi G6PD. Dilaporkan juga dapat menyebabkan kejang otot, kelelahan pada
otot, infeksi kronis, defek pada sistem imun yang menyebabkan infeksi kronis dan
terbentuknya granuloma.

Diagnosis Defisiensi G6PD

Diagnosis defisiensi G6PD berdasarkan penilaian aktivitas enzim,secara


kuantitatif dengan analisa spektrofotometri dari produksi NADPH dari NADP
(Cappellini,2008), dipikirkan juga jika ditemukan hemolisis akut pada laki-laki ras
afrika. Pada anamnesis perlu ditanyakan tentang kemungkinan terpapar dengan zat
oksidan seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Pemeriksaan aktivitas enzim
mungkin false negative jika eritrosit tua defisiensi G6PD telah lisis. Oleh karena itu
aktivitas enzim perlu diulang 2-3 bulan kemudian ketika ada sel-sel yang tua
(Rinaldi,2009).
7

Sejauh ini, berbagai metode penyaringan (skrining test) untuk mendeteksi G6PD
telah dilaporkan, termasuk metode fluent (Beutler 1966; Beutler & Mitchell 1968) dan
formazan menggunakan substrat 3-(4,5-dimetil-2-tiazolil) 2,5-diphenyl-2H-tetrazolium
bromida (MTT) dan pembawa hidrogen, phenazine methosulfate (PMS) (Fairbank &
Beutler 1962; Fuji et al 1984; Hirono et al 1998). Namun, semua memliki berbagai
kendala untuk aplikasi aktual di lapanan, terutama metode formazan MTT atau PMS,
dimana reaksi MTT yang tidak spesifik terhadap hemoglobin memerlukan persiapan
alat uji yang melelahkan dan menyita waktu. Selain itu, formazan yang dibentuk oleh
MTT tidak larut dalam air, dan oleh karena itu, metode ini agak sulit untuk diterapkan.

Ditemukan bahwa substrat formazan baru 2-(2-methoxy-4-nitrophenyl) 3-(4—


nitrophenyl) -5- (2,4-disulfofenil) -2H tetrazolium monosodium garam (WST-8;
Ishiyama et al.1997) tidak bereaksi dengan hemoglobin, dan formazannya sangat larut
dalam air, berbeda dengan MTT. Dengan demikian, WST-8 dapat digunakan dalam
larutan berair sebagai substrat untuk mendeteksi NADPH yang dihasilkan.
Formaldana dalam bentuk terlarut sebagai garam water-solube tetrazolium salt (WST-
8) memiliki warna orange yang kuat dengan penyerapan maksimum pada 460nm.
Ditunjukkan bahwa metode formazan satu langkah lebih baik dengan menggunakan
WST-8, yang dapat diterapkan dalam tes kualitatif untuk skrining cepat individu yang
memiliki kasus kelainan defisiensi G6PD di lapangan, dengan mata telanjang, dan
juga uji kuantitatif sederhana terhadap produk NADPH (yaitu aktivitas G6PD) dengan
pengukuran absorbansi.

B. Kerangka Konseptual

REAGEN
PENELITIAN

KONTROL NEGATIF DITAMBAHKAN DARAH SEBAGAI KONTROL POSITIF


(-) KELOMPOK TES (+)

INKUBASI DAN DILETAKKAN


INKUBASI DAN DIUKUR DENGAN
MENGENAI SINAR MATAHARI DI
SPEKTOFOTOMETER
LAPANGAN

ANALISA DATA
8

BAB III
METODE KAJIAN

A. Pendekatan Kajian. Kajian disusun dengan pendekatan studi literatur dan


focus group discussion.

B. Sumber Data Kajian. Data-data yang mendasari penyusunan kajian ini


diperoleh dari jurnal-jurnal penelitian sebelumnya, text book, artikel ilmiah, dan berita
kesehatan yang berkaitan dengan variabel yang terkandung dalam penelitian ini.

C. Teknik Pengolahan Data Kajian. Pengolahan data dilakukan melalui studi


literature dari data-data yang telah dikumpulkan kemudian diskusi kecil dalam bentuk
focus group discussion hingga penyusunan kajian.

D. Lokasi Kajian dan Jadwal Pelaksanaan Kajian. Kajian dilaksanakan di


Lembaga Kesehatan Militer Puskesad pada TW I tahun 2018.

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Kajian. Dengan adanya kajian ini, diharapkan mampu mengetahui tingkat
urgensi dari pendeteksian dini defisiensi G6PD pada prajurit yang akan melaksanakan
terapi pengobatan malaria di daerah endemik, sehingga mampu mengurangi resiko
terjadinya hemolisis pada sel darah serta komplikasi penyakit.

B. Pembahasan. Berdasarkan kutipan dari berbagai pustaka, pemberian obat anti


malaria berupa primaquine dan pamaquine pada pasien dengan defisiensi G6PD
mampu mengakibatkan hemolisis. Adanya kejadian hemolisis baik akut maupun
kronis pada prajurit mampu menghambat aktiivitas dan menjadi kondisi patologis
seperti anemia, jaundice, nyeri punggung, dan kelelahan. Kondisi prajurit dengan
defisiensi G6PD sebaiknya tidak dilakukan penatalaksanaan pengobatan malaria,
namun dapat diberikan terapi berupa suportif seperti pemberian vitamin ataupun
suplemen makanan.

BAB V
SIMPULAN DAN REKOMENDASI

A. Simpulan

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam


penatalaksanaan pengobatan malaria menggunakan primaquine pada prajurit perlu
dilaksanakan skrinning test terlebih dahulu terhadap defisiensi G6PD. Pendeteksian
defisiensi G6PD dapat dilakukan melalui metode formazan dengan menggunakan
WST-8 (water-solube tetrazolium-8). Diharapkan penelitian ini mampu menjadi
9

penggagas dalam penerapan penatalaksanaan pengobatan penyakit malaria yang


akan datang, agar kesehatan prajurit lebih terjaga dan mampu lebih optimal dalam
menjalankan tugasnya.

B. Rekomendasi

Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, dalam menyusun
kajian ini dengan keterbatasan sumber-sumber yang tentunya dapat
dipertanggungjawabkan. Kami membutuhkan saran dan rekomendasi untuk
menyempurnakan tulisan ini sebagai pedoman kegiatan penelitian dan
pengembangan bidang insani yang akan kami laksanakan, demi mendapatkan hasil
yang maksimal.

Demikian tulisan ini dibuat, dengan segala kekurangan dan keterbatasan dari
kami. Kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk mendapatkan
hasil yang maksimal dalam kegiatan penelitian ini. Adanya tulisan ini diharapkan
mampu memacu ide inovatif dalam kegiatan penelitian dan pengembangan bidang
insani dengan penerapan teknik diagnosa seperti skrinning test guna mendukung
tugas pokok TNI AD. Semoga tulisan ini dapat bermanfaat dam dapat dijadikan salah
satu pertimbangan untuk kegiatan penelitian dan pengembangan TNI AD.
10

DAFTAR PUSTAKA

Cappadoro M, Giribaldi G, and O’Brien E.1998. Early Phagocytosis of Glucose 6


Phospatase Dehydrogenase (G6PD) Deficient Erytrocytes Parasitized by
Plasmodium faciparum May Explain Malaria Protection in Deficiency. Blood:
2527-2534.

Cappellini,M.D. and Fiorelli,G., 2008, Glucosa-6-Phosphate Dehidrogenase


Deficiency, Lancet 371: 64-74.

Greene,L.S.,1993, G6PD Deficiency as Protection Against Malaria: An Epidemiologic


Critique of Population andExperimental Studies, Yearbook Of Physical
Anthropology 36:153—178.

Rinaldi,I. dan Sudoyo,A.W., 2009, Anemia Hemolitik Non Imun,Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi V: 1157-59

Suhartati, Tri Martini, Notopuro H, 2006. Analisis Defisiensi Enzim Glukose 6 Fosfat
dehidrogenase (G6PD) pada Riwayat Kehamilan dengan Keuguran di Rumah
Sakit Katolik St.Vincentius A Paulo Surabaya. Folia Medica Indonesiana.

Zhao,X., Li,Z. and Zhang,X.Y., 2010. G6PD-MutDB: A Mutation and Phenotype


Database of Glucose-6-Phosphate (G6PD) Deficiency. Journal of Bioinformatics
and Computational Biology 8:101-9.
11

MARKAS BESAR ANGKATAN DARAT


PUSAT KESEHATAN

KAJIAN

TENTANG

SKRINING TEST DEFISIENSI G6PD SECARA CEPAT DI LAPANGAN UNTUK


MENCEGAH KOMPLIKASI PADA PENGOBATAN MALARIA VIVAX DI
LINGKUNGAN PRAJURIT TNI AD

Jakarta, Maret 20118

Anda mungkin juga menyukai