Anda di halaman 1dari 20

DEFISIENSI ENZIM G6PD

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Defisiensi Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) ditemukan pertama kali oleh
Carson dkk (1956) saat mereka menyelidiki suatu reaksi hemolitik yang timbul
pada individu ras kulit hitam yang mendapatkan primaquin, suatu 8aminoquinoline, sebagai terapi radikal malaria.1 Kemudian primaquine sensitivity
dikenali pula pada ras bangsa lainnya. Pada tahun 1960-an, empat sindrom,
termasuk hemolisis intravaskuler masif sebagai reaksi idiosinkrasi terhadap
beberapa jenis obat dan bahan kimia, hemolisis setelah mengkonsumsi kacang
koro ( fava bean ) atau yang biasa disebut sebagai Favisme, hemolisis sebagai
komplikasi penyakit yang tidak biasa , dan ikterus neonatorum yang
menyebabkan kernicterus, semuanya dapat terjadi pada individu yang secara
genetik menderita defisiensi enzim G6PD.2,3,4
Enzim Glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G6PD) adalah enzim yang memiliki peran
penting dalam proses metabolisme eritrosit. G6PD adalah enzim yang bekerja
pada tahap awal proses glikolisis, yaitu pada jalur Hexose Monophosphate shunt.
Jalur metabolisme ini berfungsi untuk mereduksi glutation yang melindungi gugus
sulfhidril hemoglobin dan membran sel eritrosit dari oksidasi yang disebabkan
oleh radikal oksigen. Kelainan pada jalur heksose monofosfat mengakibatkan
tidak adekuatnya perlindungan terhadap oksidan, yang menyebabkan oksidasi
gugus sulfhidril dan presipitasi hemoglobin yang dikenali sebagai Heinz bodies
dan lisisnya membran eritrosit.2,3,4,5
Diperkirakan 400 juta manusia di dunia menderita defisiensi G6PD, frekuensi
yang tinggi tersebar di belahan dunia timur. Varian mutan gen G6PD yang
mengakibatkan gejala anemia berat hampir seluruhnya berasal dari Afrika. Selain
itu defisiensi G6PD di dapatkan pula di Eropa Selatan , Semenanjung Arabia,
Brasilia kulit hitam, juga hampir seluruh negara-negara sekitar laut Tengah
(Mediterrania),benua Asia dan Papua New Guinea, termasuk Indonesia. 2,3,4,5
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini menjelaskan tentang patogenesa, patofisiologi,
masalah klinis dan tata laksana pada penderita defisiensi enzim G6PD.

BAB II
DEFISIENSI ENZIM GLUKOSA-6-FOSFAT DEHIDROGENASE
2.1. Struktur Enzim
Bentuk aktif enzim G6PD merupakan dimer (terdiri dari 2 subunit) dan tetramer
(terdiri dari 4 subunit) dengan subunit yang identik. Masing-masing subunit
tersusun oleh 514 asam amino dan mempunyai massa molekul 59.265 Dalton.
Bentuk dimer dan tetramer terdapat dalam keseimbangan tergantung pH, pada
pH neutral terdapat dalam proporsi yang sama. Pada tiap molekul dimer
didapatkan 2 molekul NADP (Nikotinamide Adenin Dinucleotide Phosphate
binding site) yang terikat erat dan penting bagi kestabilan protein . Binding site
koenzim ini diperkirakan terletak pada exon 10 urutan asam amino ke 386 dan
387 (lisin dan arginin), sedangkan tempat mengikat substrat glukosa 6 fosfat
(G6P binding site) terletak pada exon 6 dengan urutan asam amino (lisin) ke 205
Struktur enzim G6PD memiliki dua bagian, yaitu bagian NADP Binding dan bagian
besar (large domain). Bagian yang aktif terletak diantara dua bagian
tersebut.3,4,5,8.
2.2. Peran Enzim G6PD
Enzim G6PD terdapat dalam sitoplasma, tersebar di seluruh sel dengan kadar
yang berbeda. Enzim ini bekerja pada tahap pertama jalur pentosa
heksosemonofosfat (Pentosa Phosphate Shunt) yaitu jalur oksidasi glukosa yang
menghasilkan NADPH dan pentosa (ribose 5 fosfat untuk sintesis asam lemak,
kolesterol, hormon steroid, purin, pirimidin dan forfirin). Pada jalur pentosa fosfat,
G6PD mengkatalisis reaksi glukosa 6 fosfat (G6P) dan NADP+ menjadi 6 fosfo
glukonat (6GP) dan menghasilkan NADPH. NADPH merupakan koenzim yang
berfungsi sebagai donor hidrogen pada reaksi enzimatik pada berbagai alur
biosintetik. NADPH juga berfungsi sebagai koenzim pada reaksi pembentukan
GSH (glutation tereduksi) dari GSSG (glutation teroksidasi) oleh enzin glutation
reduktase (GSSGR). GSH sangat penting untuk melindungi sel terhadap
kerusakan oksidatif karena GSH dapat meredam hidrogen peroksida (H2O2)
menjadi H2O dengan bantuan enzim glutation peroksidase (GSHPX). Jalur
alternatif untuk meredam H2O2 adalah melalui enzim katalase, dalam keadaan
normal jalur ini tidak efektif karena aktivitas katalase terhadap H2O2 jauh lebih
rendah dari pada afinitas GSHPX. Pada keadaan dimana terjadi produksi H2O2
berlebihan maka katalase akan berperan lebih dari 50% meredam H2O2 yang

terbentuk, namun untuk aktivitas katalase memerlukan NADPH. Jadi NADPH


sangat diperlukan baik untuk meredam H2O2. melalui jalur GSHPX ataupun
melalui jalur katalase.3,4,5,7,8.
Kadar enzim G6PD di dalam eritrosit relatif rendah bila dibandingkan dengan
kadar enzim G6PD pada sel tubuh yang lain. Enzim G6PD merupakan satusatunya enzim dalam sel eritrosit yang berfungsi memproduksi NADPH untuk
mereduksi GSSG menjadi GSH yang meredam H2O2, sehingga GSH berfungsi
mencegah kerusakan eritrosit dari kerusakan akibat oksidasi. Untuk
mempertahankan kadar GSH selalu cukup, diperlukan mekanisme pembentukan
GSH dari GSSG dengan bantuan enzim glutation reduktase (GSSGR) dan NADPH
yang tergantung aktivitas G6PD. Semakin tua usia eritrosit, aktifitas enzim G6PD
juga semakin berkurang. 2,3,8,9 G6P : Glukosa 6 fosfat 6PG : fosfoglukonat
H2O2 H2O GSSGR : glutation reduktase
GSHPX GSHPX : glutation peroksidase
GSH GSSG
GSSGR
Glukosa
NADP NADPH
30% Pentosa Phosphate Shunt G6PD
G6P 6PG
(Glukosa 6 fosfat) (6 fosfo glukonat)
70% Embden Meyerhof Pathway
F6P (Fruktosa 6 fosfat)
Siklus Asam Sitrat Ribosa 5 fosfat
Gambar 2.1 . Diagram Jalur Pentosa Fosfat dan Jalur Glikolisis.Dikutip dari
Luzzatto L, Mehta A, Vulliamy TJ. Glucose-6-Phosphate dehydrogenase deficiency.
Dalam : Scriver CR, Beaudet AL, Sly WS, Valle D,eds. The metabolic basis of
inherited disease. New York: McGraw-Hill, 2001; 4517-53.
2.3. Genetika dan Mekanisme Pewarisan Defisiensi Enzim G6PD
Gen penyandi G6PD terletak pada regio telomerik rantai panjang kromosom X
(band Xq28), sekitar 400 kb centromerik dari gen Faktor VIII. Panjang gen G6PD
18.5 kb, terdiri dari 13 exon (exon pertama bersifat non coding) dan 12 intron.
Exon koding ukurannya bervariasi antara 38 bp sampai 236 bp. Ukuran intron
kurang dari 1 kb, kecuali intron kedua mencapai panjang 11 kb. 3,4,9,10,11
Defisiensi enzim G6PD adalah kelainan genetik yang bersifat X linked recessive.
Berbeda dengan kelainan terkait kromosom X lainnya, tampak populasi dimana
frekuensi defisiensi enzim G6PD sedemikian tinggi sehingga tidak jarang
ditemukan wanita yang homozigot. 4,6,9,11

Gambar 2.2 Letak gen penyandi enzim G6PD pada kromosom X


Dikutip dari Pai, G. S.; Sprenkle, J. A.; Do, T. T.; Mareni, C. E.; Migeon,B.

Localization of loci for hypoxanthine phosphoribosyltransferase and glucose-6phosphate dehydrogenase and biochemical evidence of nonrandom X
chromosome expression from studies of a human X- autosome translocation.
Proc. Nat. Acad. Sci 1980; 77: 2810-13
Gen G6PD terletak pada kromosom X, untuk itu kromosom X yang mengandung
alel G6PD mutan dituliskan sebagai Xo, sedangkan alel G6PD normal sebagai X .
3,5,6,11,12
Ada beberapa genotipe dan fenotipe yang kemungkinan didapatkan:
Genotipe Fenotipe
Pria X Hemizigot normal
Xo Hemizigot penderita
Wanita X / X Homozigot normal
X / Xo Heterozigot
XoXo Homozigot penderita
Kelainan akan muncul pada pria hemizigot mutan (XoY) atau pada wanita
homozigot mutan (Xo Xo ) dan sebagian heterozigot (Xo X). Pada penderita lakilaki, gen mutan ini didapat dari ibunya, sedangkan pada anak perempuan gen
mutan didapatkan dari ibu atau dari bapaknya atau dari keduanya.3,4,11,12
Contoh pedigree :

Gambar 2.3. Contoh pedigree penderita G6PD. Dikutip dari: Suhartati.Molecular


study in G6PD deficiency, a pedigree analysis of a Javanese-chinese family in
Surabaya,Indonesia. Fol Med Indones 2001; 3:100-3.
Secara umum, aktivitas enzim G6PD dalam eritrosit wanita dengan defisiensi
G6PD berada diantara pria yang mengalami defisiensi G6PD dan pria normal.
Beberapa wanita yang heterozigot memiliki aktivitas enzim G6PD eritrosit
normal, sedang yang lain tidak lebih aktif dari aktivitas enzim G6PD pria
hemizigot. Hal tersebut dapat diterangkan dengan hipotesa Lyon berdasarkan
teori prinsip inaktivasi kromosom X. 3,4,11,12
Ada 3 prinsip pada hipotesa Lyon :
1. Sel somatik wanita pada mamalia hanya mempunyai satu kromosom X yang
aktif, kromosom X yang lain tidak aktif yang nampak sebagai Bar body pada
tahap interphase.
2. Inaktivasi kromosom X terjadi sejak permulaan kehidupan embrio, dimulai
pada stadium morula tiga hari setelah pembuahan.
Inaktivasi ditentukan secara random dan bersifat menetap (permanen) .
3. Inaktivasi ditentukan secara random dan bersifat menetap11,12
Hipotesis Lyon menjelaskan bahwa satu dari dua kromosom X pada setiap sel
wanita tetap inaktif selama hidup. Hasilnya adalah suatu mosaik dari aktivitas
kromosom X. Proses inaktivasi bersifat acak, sehingga distribusi aktivitas G6PD
pada wanita heterozigot antara 0-100% dari normal. Apabila inaktivasi tersebut
mengenai kromosom X yang membawa gen G6PD mutan, maka sel wanita
tersebut akan menunjukkan aktivitas G6PD yang normal, apabila inaktivasi
mengenai kromosom X dengan gen G6PD normal, maka akan terjadi sebaliknya.
Jadi pada wanita heterozigot didapat dua populasi sel yang berbeda yaitu satu

populasi normal dan yang satu populasi yang abnormal. 3,4,11,12


Mutasi gen G6PD dapat terjadi pada semua exon namun yang mengakibatkan
anemia hemolitik yang berat pada umumnya terletak pada exon 6 (tempat
pengikat substrat G6P) dan exon 10 (tempat pengikat koenzim NADP). Sejauh ini
pada penelitian defisiensi G6PD tingkat molekuler terdapat 130 varian mutan
G6PD yang telah ditemukan dari 442 variasi G6PD di dunia, terdiri dari: 78 jenis
mutasi titik (point mutation) , dua jenis delesi pada satu atau dua kodon dan
hanya satu splicing mutation. Mutasi gen G6PD dapat menyebabkan defek pada
mekanisme katalitik, tempat pengikatan substrat (substrat binding atau koenzim
binding) sehingga dapat menurunkan aktivitas G6PD dan mengakibatkan
hemolisis. 3,4,9,11,12
World Health Organization (WHO), mengklasifikasikan varian mutan G6PD
berdasarkan pengukuran aktivitas enzim dan ada atau tidaknya anemia
hemolitik, kemudian dibagi lagi atas dasar mobilitas elektroforesis dalam setiap
varian sebagai berikut :
1. Klas I: varian G6PD yang defisiensi enzimnya sangat berat (aktivitas enzim
kurang dari 10% dari normal) dengan anemia hemolitik kronis.
2. Klas II: varian G6PD yang defisiensi enzimnya cukup berat (aktivitas enzim
kurang dari 10% dari normal) namun tidak ada anemia hemolitik kronis.
3. Klas III: varian G6PD dengan aktivitas enzimnya antara 10%-60% dari normal
dan anemi hemolitik terjadi bila terpapar bahan oksidan atau infeksi.
4. Klas IV: varian G6PD yang tidak memberikan anemia hemolitik atau penurunan
aktivitas enzim G6PD
5. Klas V: varian G6PD yang aktivitas enzimnya meningkat.
Varian klas IV dan klas V secara biologis, genetik dan antropologis tidak didapat
gejala klinik.3,4,5,8,9,14

2.4. Prevalensi dan Penyebaran Geografik


Frekuensi defisiensi G6PD di Asia diperkirakan 14% di Kamboja, 5% di Cina
selatan, 2.6% di India dan 0.1% di Jepang. 15 Di Indonesia frekuensi defisiensi
G6PD sebagai berikut, di Irian Barat 8%, di Sasak 18.4%, di Bima 12%, di Flores
4% 16,19, Jawa Tengah di Semarang adalah 14% 17, di pulau Buru dan
Halmahera sekitar 6 % 4 ,15,16,17. Penelitian di Sumatra Utara 3.9% 18.
Penelitian di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta menemukan 2.6% defisiensi G6PD
pada 3200 bayi baru lahir pada tahun 197919. Sedangkan penelitian di RS
dr.Soetomo menemukan 3% defisiensi G6PD dari 480 bayi baru lahir pada tahun
1995.20

Gambar.2.4. Distribusi penderita defisiensi enzim G6PD di dunia.


Dikutip dari Layton DM, Bellingham AJ. Disorders of erythrocyte
metabolism(2000)

Distribusi defisiensi enzim G6PD mirip dengan distribusi penyakit thalasemia


sehingga timbul pemikiran bahwa terdapat keuntungan selektif tertentu terhadap
infeksi endemik malaria, bahkan pada waktu lampau. Luzzatto dkk menemukan
bahwa individu normal dibandingkan dengan individu defisiensi G6PD yang
heterozigot, parasit malaria lebih banyak ditemukan pada normal eritrosit.4,9,21
Hal ini menunjukkan kepadatan infeksi parasit malaria yang berkurang pada
individu heterozigot, yang memiliki korelasi langsung dengan insiden mortalitas
malaria yang lebih rendah sehingga memberikan keuntungan survival bagi
individu dengan defisiensi enzim G6PD. Hal tersebut didukung dengan bukti
penelitian bahwa defisiensi G6PD di Sardinia lebih umum ditemukan di daerah
pantai dari pada di dataran tinggi, serta defisiensi G6PD didapatkan sejajar
dengan endemis malaria. Namun hal ini bukan berarti individu dengan defisiensi
G6PD imun terhadap malaria, hal ini dapat dijelaskan dengan terjadinya adaptasi
Plasmodium falciparum terhadap sel yang mengalami defisiensi dengan
memproduksi sendiri enzim G6PD.3.6.9.21.22.23
Defisiensi G6PD pada pria dapat dengan mudah dideteksi dengan menggunakan
tes skrining tertentu. Tes paling sederhana dikembangkan oleh Beutler dan
Mitchell berdasarkan tes fluoresensi NADPH, yang menunjukkan jumlah enzim
G6PD yang cukup. Tes ini juga dapat digunakan pada sampel darah yang kering
pada kertas filter yang mirip dengan kartu Guthrie. Tes semacam ini telah
digunakan secara rutin di Hong Kong pada neonatus.2.3.6

Tabel I. menunjukkan insiden defisiensi enzim G6PD pada beberapa etnis grup
tertentu di dunia dan Tabel II pada Asia Tenggara.
Tabel I. Distribusi dunia defisiensi enzim G6PD
Estimated Population Frequency(in males)
(x1000) 1966 %
Africa
West - Ghana 7,300 24
Nigeria 9,104 2-25
Central - Angola 5,084 11-27
Congo 15,300 6-23
East - Kenya 9,104 2-25
Tanzania 9,900 2-28
South Africa 17,474 3-9
Ethiopia 22,200 0
Algeria 11,600 <1

Americas
USA 192,119 11(in blacks)
Venezuela 8,427 2-12
Brazil 78,809 0
Asia
China 686,400 2-5
Hong Kong 3,692 3,7-5,5
India 471,627 4-19
Japan 96,906 <1
Europe
Greece 8,480 1-32
Italy 50,762 <1
Sardinia 3-35
Others rare
Dikutip dari WHO Scientific Group. Treatment and hemoglobinopathies and allied
disorders. WHO Tech Rep Ser 1972;509:61-3

Tabel II. Defisiensi enzim G6PD di Asia tenggara


Number Tested G6PD Deficient %
Taiwan
Mainland Chinese 282 5 1.77
Taiwanese Chinese 343 1 0.29
Hakka Chinese 1535 84 5.47
Hong Kong
Adult Chinese 200 11 5.5
Newborn Chinese 1379 61 4.42
Kwangtung
Adult Chinese 1048 90 8.6
Malaya
Aborigines 607 103 17
Chinese 747 28 3.8
Malays 550 14 2.6
Indonesia 446 5 1.1
Thailand
various Provinces 1577 189 11.98
Filipinos 1205 86 7.1
Dikutip dari Chan, Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase (G6PD) Deficiency: A
Review
2.5. Patogenesa dan Patofisiologi Hemolisis pada Defisiensi Enzim G6PD
Sel eritrosit dewasa tidak mengandung inti, organel intrasel seperti mitokondria,
lisosom atau aparatus Golgi. ATP merupakan unsur yang penting dalam berbagai
proses yang membantu eritrosit mempertahankan bentuk bikonkafnya disamping
dalam proses pengaturan transportasi ion dan air yang mengalir ke dalam serta
keluar sel. ATP ini dihasilkan dari proses glikolisis. Fungsi sel eritrosit yang

spesifik adalah mengangkut oksigen dari paru-paru kejaringan perifer yang


dijalankan oleh hemoglobin. Sebagai pengangkut oksigen hemoglobin
bertanggung jawab kelenturan sel eritrosit untuk melalui kapiler-kapiler
pembuluh darah.24
Hemoglobin terdiri dari porfirin besi yang dinamakan heme dan protein yang
disebut globin. Satu molekul hemoglobin terdiri dari 4 subunit protein (globin)
yaitu 2 rantai dan 2 rantai dan 4 molekul heme.7,24
Setiap molekul heme mengikat zat besi. Setiap pengikatan oksigen oleh
hemoglobin melibatkan aktivitas dua komponen: heme {Fe (II)-porfirin} dan
suatu rantai polipeptida yang menyelubungi (globin). Hanya hemoglobin dalam
kondisi fero [Fe (II)] ini yang dapat mengikat oksigen menjadi oksihemoglobin
(Hb-Fe2+ + O2 HbFe2+O2 ). Ketika menangkap oksigen terbentuk senyawa
antara { Fe2+-O2 Fe(III)-O2*-} selanjutnya akan melepaskan superoksida
(O2*- ) menjadi methemoglobin {Fe(III)-porfirin} yang tidak dapat menangkap
oksigen. Pada oksigenasi hemoglobin dapat menghasilkan ion superoksida (O2*-)
dan akan berbahaya apabila bersamaan dengan hidrogen peroksida (H2O2)
karena akan membentuk radikal hidroksil (*OH). Radikal hidroksil (*OH) adalah
senyawa oksigen reaktif (SOR) atau dikenal dengan ROS (reactive oxygen
species) yang paling reaktif dan berbahaya. Radikal hidroksil (*OH) dapat
merusak tiga jenis senyawa yang penting untuk mempertahankan integritas sel,
yaitu: (1). asam lemak, khususnya asam lemak tak jenuh yang merupakan
komponen penting fosfolipid penyusun membran sel. (2) DNA, yang merupakan
perangkat genetik sel. (3) Protein, yang memegang berbagai peran penting
seperti enzim, reseptor, antibodi dan pembentuk matriks serta sitoskleleton.
Dapat disimpulkan bahwa pembentukan radikal hidroksil (*OH) diperlukan tiga
komponen, yaitu: logam transisi Fe atau Cu, H2O2 dan O2*-. 24
Untuk itu dibutuhkan anti oksidan untuk melindungi sel dari pengaruh radikal,
yaitu dengan mencegah keberadaan ion Fe++ dan Cu+ bebas yang dihasilkan
reaksi Fenton. Peranan beberapa protein penting antara lain adalah transferin
atau feritin untuk Fe++ , sedang untuk Cu adalah seruloplasmin atau albumin.24
Selain proses diatas penimbunan O2*- dapat dicegah melalui aktivitas:
Enzim superoksida dimustase (SOD) yang mengkatalisis O2*2O2*- + 2 H+ H2O2 + O2
Katalase (H2O2 + 2 H2O + O2)
Peroksidase (R + H2O2 RO + H2O)
Enzim peroksidase yang penting adalah glutation peroksidase (GSHPX)
2 GSH + H2O2 GSSG + 2 H2O
Apabila radikal hidroksil (*OH) masih terbentuk, masih ada sarana lain untuk
meredam oksidan yaitu melibatkan senyawa-senyawa yang mengandung
gugusan sulfhidril seperti glutation dan sistein .
Glutation (GSH): GSH + *OH GS* + H2O
2GS* GSSG
Sistein (Cys-SH): Cys-SH + + *OH Cys-S* + H2O
2.Cys-S* Cys-S-S-Cys

Gugusan sulfhidril pada GSH berfungsi sebagai donor elektron, GSH oleh GSHPX
akan dioksidasi menjadi bentuk disulfida (GSSG). Ratio GSH/GSSG di dalam sel
normal tinggi oleh karena itu perlu mekanisme untuk mereduksi agar GSSG
kembali menjadi GSH. GSH didapat kembali dengan cara mereduksi GSSG oleh
enzim GSSGR. Aktivitas GSSGR memerlukan elektron dengan bantuan NADPH.
NADPH berasal dari jalur heksose monofosfat hasil kerja G6PD.3,4,5,24
Dasar yang tepat tentang destruksi dini pada sel eritrosit dengan defisiensi G6PD
belum diketahui dengan tepat. Beberapa obat-obatan dan bahan kimia tertentu
atau bahan makanan dan sebab lain yang dapat menghasilkan hidrogen
peroksida (H2O2). H2O2 merupakan salah satu SOR yang menyebabkan
hemolisis pada penderita defisiensi G6PD . 3,4,24

Oxyhaemoglobin
O2 O2 +H2O
SOD CAT
Hemoglobin Superoxide (O2*-) H2O2
MR GSH GSHPX
Methaemoglobin GSSGR
NADP+ H2O
PPP
GSSG
NADPH
CAT: Catalase MR: Methaemoglobin reductase
GSHPX : Glutathion peroxidase SOD: Cu-Zn Superoxide dismutase
GSSGR : Gltathione reductase PPP: Pentose phosphate pathway
Gambar 2.5. Pencegahan eritrosit terhadap kerusakan oksidatif
Dikutip dari Murray RK. Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency is
frequent in certain areas and an important cause of hemolytic anemia. Dalam :
Murray RK, Grannu DK, Mayes PA, Rodwell VW,eds. Harpers Biochemistry. Edisi
ke 25. New York: McGraw-Hill 2000; 763-5.

Dalam keadaan normal H2O2 akan dihilangkan terutama melalui reaksi yang
dikatalisis oleh enzim glutation peroksida (GSHPX). Pada defisiensi G6PD, reaksi
tersebut berkurang atau bahkan menghilang sehingga terjadi penumpukan H2O2
yang mengakibatkan denaturasi hemoglobin, terjadi pelepasan ion fero (reaksi
Fenton) yang dapat berinteraksi dengan H2O2 dan O*- untuk membentuk radikal
hidroksil (OH*). OH* dapat merusak tiga jenis senyawa (DNA, protein dan asam
lemak) yang penting untuk mempertahankan integritas sel, karena sel eritrosit
dewasa tidak mengandung inti sel sehingga OH* tersebut hanya berdampak
negatif pada asam lemak terutama pada membran yang kaya mengandung

fosfolipid sebagai asam lemak tak jenuh dan proteinnya saja yang dikenal
dengan nama peroksidasi lipid (lipid peroxidation), yang menyebabkan
terputusnya rantai asam lemak menjadi senyawa yang bersifat toksik terhadap
sel. Apabila lemak yang rusak adalah konstituen suatu membran biologi, susunan
lapisan ganda lemak yang kohesif dan organisasi struktural akan terganggu,
sehingga terjadi peroksidasi membran dan kerusakan tersebut akan
memudahkan sel eritrosit mengalami hemolisis selanjutnya protein berpresipitasi
di dalam eritrosit, dan membentuk badan Heinz. Badan Heinz ini merusak
kelenturan membran dan merapuhkan bentuk membran. Adanya badan Heinz
menunjukkan bahwa eritrosit telah mengalami stres oksidatif. Terbentuknya
badan Heinz dan adanya lipid peroksidatif dalam membran sel, memudahkan sel
eritrosit mengalami hemolisis. 3,4,5,24
Sel eritrosit pada orang yang menderita defisiensi G6PD tidak dapat
menghasilkan NADPH yang cukup untuk membentuk kembali GSH dari GSSG.
Selanjutnya akan mengganggu kemampuannya untuk meredam H2O2 dan
radikal oksigen sehingga berakibat peningkatan senyawa oksidan. Peningkatan
oksidan ini dapat menyebabkan oksidasi gugus SH dan kemungkinan pula
menimbulkan peroksidasi lipid membran sel eritrosit yang mengakibatkan lisis
membran sel eritrosit. Sebagian gugus SH pada hemoglobin akan teroksidasi, dan
protein berpresipitasi di dalam sel eritrosit, dan akan membentuk badan Heinz.
Adanya badan Heinz menunjukkan bahwa sel ertrosit telah mengalami stres
oksidatif .3,4,5,7,24

Mutasi gen Gen G6PD


G6PD Normal
Pemicu Produksi
Aktivitas H2O2 (SOR) Aktivitas
G6PD Misal: Bahan kimia G6PD Normal
Obat-obatan

Makanan (Vicia Faba)


NADPH H2O2 Produk NADPH Normal
Defisiensi Normal

GSH H2O2 H2O2 GSH Normal


GSSG
GSSG
H2O H2O
H2O2 tetap tinggi H2O2 menurun
(Stres oksidatif)
Heinz
Bodies
Kerusakan Hb
Fe++ intrasel
OH*
(reaksi Fenton)
Peroksidasi lipid
Kerusakan membran
Eritrosit

HEMOLISIS HEMOLISIS tak terjadi

Gambar 2.6. Penyebab anemia hemolitik karena defisiensi G6PD


Dikutip dari Murray RK. Glucose-6-phosphate dehydrogenase deficiency is
frequent in certain areas and an important cause of hemolytic anemia. Dalam :
Murray RK, Grannu DK, Mayes PA, Rodwell VW,eds. Harpers Biochemistry. Edisi
ke 25. New York: McGraw-Hill 2000; 763-5
BAB III
MANIFESTASI KLINIS DAN TATA LAKSANA DEFISIENSI ENZIM
GLUKOSA-6-FOSFAT DEHIDROGENASE
3.1. Manifestasi Klinis
3.1.1. Anemia hemolitik
3.1.1.1. Anemia hemolitik akut akibat induksi obat
Sebagian besar manifestasi varian mutan gen G6PD yang mengakibatkan

defisiensi enzim G6PD kurang dari 60% dari normal, terjadi setelah paparan obat
atau bahan kimia yang memicu terjadi anemia hemolitik akut. Umumnya, setelah
satu sampai tiga hari terpapar bahan bahan tersebut, penderita akan mengalami
demam, letargi, kadang disertai gejala gastrointestinal. Hemoglobinuria
merupakan tanda cardinal terjadinya hemolisis intravascular ditandai dengan
terjadinya urine berwarna merah gelap hingga coklat. Kemudian timbul ikterus
dan anemia yang disertai takikardia. Pada beberapa kasus berat dapat terjadi
syok hipovolemik. Dapat terjadi komplikasi berupa Acute tubular necrosis pada
episode hemolitik, terutama bila terdapat penyakit dasar berupa gangguan hepar
seperti hepatitis. 2,3,4,9,25,26,27
Kerusakan eritrosit akibat oksidatif yang parah seperti pada defisiensi enzim
G6PD ditandai dengan marker berupa eritrosit hemighost. Selain menegakkan
diagnosa dengan tepat, persentase sel hemighost dapat menunjukkan jumlah
eritrosit yang akan mengalami hemolisis dalam waktu 24-48 jam mendatang. Hal
ini juga dapat digunakan sebagai peringatan untuk mencegah terjadinya
kerusakan ginjal lebih lanjut. Pada pengecatan sel darah tepi dengan methyl
violet akan tampak adanya Heinz body. Tidak didapatkan haptoglobin dan sering
terjadi methemoglobinemia.2,3,4,5
Komplikasi dapat dicegah dengan mempertahankan Renal Blood Flow atau
menggunakan forced alkaline diuresis. Bila penderita mengalami gangguan
fungsi ginjal atau produksi urin rendah, penggunaan transfusi tukar untuk
menyingkirkan sel eritrosit rusak yang dapat merusak mikrosirkulasi akan
memperberat komplikasi pada ginjal. Pada beberapa penderita, komplikasi
berupa DIC (disseminated intravascular coagulation) dapat terjadi dan
memperparah keadaan. 2,3,4,5

Gambar 3.1. A & C .Sel hemighost ,B.gambaran Heinz Body


Dikutip dari Chan, Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase (G6PD) Deficiency: A
Review(2005)
Proses hemolisis yang terjadi merupakan proses self limited pada type varian
G6PD A-, namun dapat menjadi lebih parah pada type Mediteranean.
Obat-obat yang dapat menyebabkan anemia hemolisis pada penderita defisiensi
enzim G6PD seperti tampak pada Tabel III. Data tersebut terdiri dari dua
macam :
1. Controlled Studies dengan mengujicobakan pada sukarelawan penderita

defisiensi enzim G6PD ( seperti yang dilakukan Alving dkk pada tahun 1950an)
atau dengan menggunakan transfusi darah defisiensi enzim G6PD yang telah di
beri label radioaktif (51Cr) yang diberikan kepada individu normal yang kemudian
mendapat obat tertentu.
2. Case Reports dimana obat yang digunakan sebagai terapi penyakit tertentu
dicurigai merupakan pencetus terjadinya anemia hemolisis. Data ini lebih sulit
karena terdapat beberapa macam factor yang bekerja bersama, seperti variasi
individu dan variasi metabolisme. 5

Tabel III. Agen yang menyebabkan anemia hemolitik pada penderita defisiensi
enzim G6PD
Agen Control Studies Case Reports Agen Control Studies Case Reports
Anti malaria Lain lain
Primaquine ( 30 mg ) ++ ++ Chloramphenicol 0 +
Pamaquine ( 30 mg ) ++ Streptomycin IM 0 +
Pentaquine ( 30 mg ) + Isoniazid 0 +
Quinacrine ( 100 mg) 0 p-aminosalicylic acid 0 +
Quinine ( 2 g ) 0 ++ Neoarsphenamine +
Chloroquine( 300mg) 0 Nalidixic acid +
Pyrimethamine 0 Vitamin K 0 +
Sulfonamides Probenecid 0 +
Sulfanilamide ( 3.6g) + Quinidine +
Sulfacetamide + Dimercaprol (BAL) 0
Sulfapyridine ( 4.0g) + Methotrexate 0 +
Sulfamethozypyridazine + Phenytoin 0 +
Salicylazosulfapyridine + Methylene blue 0
Sulfadiazine 0 + Ascorbic acid 0
Sulfisoxazole (6.0 g) 0 + Naphthalene +
(8.0 g) Trinitrotoluene +
Sulphamethoxazole Fungicide ++
40mg/kg 0 Fava beans 0-->++
90mg/kg 0-->++ L-dopa 0 +
Sulfones Coptis chinensis & +
Sulfoxone 0 japonicum
Thiazolsulfone + Infeksi
Diaminodiphenylsulfone + Infeksi virus sal.napas + +
Nitrofurans Infeksi virus hepatitis +
Nitrofurantoin + ++ Bakterial pnemoni +
Furazolidone + Tifoid +
Furaltodone +
Nitrofurazone IM + Ketosis diabetes +

Antipyretik & analgesik


Acetylsalicilyc acid 0 +
Acetanilide + +
Acetophenetidin 0 +
Aminopyrine 0 +
Antipyrine 0 +
Phenylsemicarbazide
+
Catatan: hampir seluruh studi Case control dari ras kulit hitam. Defisiensi enzim
lebih parah pada ras Mediteranean dan China.
0 : tidak ada hemolisis atau hemolisis ringan, tidak terjadi anemia
+ : terjadi hemolisis sedang sampai berat
++ : terjadi hemolisis yang membahayakan sampai hemoglobinuria
( dikutip dari Chan, Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase (G6PD) Deficiency: A
Review 2005 )
3.1.1.2. Anemia Hemolisis akut karena infeksi
Infeksi merupakan penyebab paling umum terjadinya hemolisis. Infeksi bakteri
dan virus seperti Hepatitis, Salmonella, Escherchia coli, Streptoccus hemolitikus
dan Rickettsia, dapat menyebabkan anemia hemolitik pada penderita defisiensi
G6PD dan mekanisme terjadinya hemolisis belum jelas. Salah satu sebab yang
dapat menjelaskan hubungan infeksi dengan hemolisis adalah akibat proses
fagositosis. Lekosit menghasilkan radikal oksigen aktif selama proses fagositosis
yang mengakibatkan kerusakan membran eritrosit. Hemolisis yang terjadi karena
dipicu oleh infeksi biasanya ringan.4,5,8,29,30,31
Hemolisis dapat timbul satu sampai dua hari setelah onset terjadinya infeksi dan
dapat menimbulkan anemia ringan. Biasanya terjadi pada pasien dengan klinis
pnemoni atau demam tifoid. Infeksi virus hepatitis pada pasien defisiensi G6PD
dapat memperparah timbulnya ikterus. 30
Jumlah dan produksi retikulosit rendah dan hal ini akan pulih setelah infeksi
primer dapat disembuhkan.5,29,30
3.1.1.3. Anemia Hemolisis akut akibat induksi keto asidosis diabetic
Keto asidosis diabetik juga dapat memicu anemia hemolitik pada penderita
defisiensi G6PD. Aktivitas G6PD lebih rendah 30% pada pasien diabetes ketosis
daripada kelompok control atau bahkan kelompok diabetes tipe 2. Mauvies-Jarvis
melaporkan bahwa aktivitas enzim tinggal 40% dari normal terdapat dua kali
lebih banyak pada pasien keto diabetes. Mekanisme hemolisis ini diduga
diakibatkan oleh perubahan pH, glukosa, dan piruvat dalam darah . Adanya
infeksi tersembunyi seringkali menjadi pemicu hemolisis akut dan asidosis
diabetik .2,3,4,5,6,7,32
3.1.1.4. Anemia Hemolitik akut karena Favism
Manifestasi klinik defisiensi enzim G6PD lainnya yang dapat menyebabkan
anemia hemolitik adalah anemia hemolitik yang disebabkan konsumsi fava bean,
Vicia faba. Penderita favisme selalu defisiensi enzim G6PD namun tidak semua

penderita defisiensi G6PD bisa menderita favisme. Diduga terdapat faktor


genetik lainnya yang berhubungan dengan metabolisme bahan aktif dari fava
bean.2,3,4,5,6
Favisme merupakan salah satu efek hematologi yang paling berat pada penderita
defisiensi G6PD. Manifestasi klinis yang timbul dapat lebih hebat dibandingkan
anemia hemolisis yang disebabkan oleh obat. . Hemolisis dapat timbul beberapa
jam hingga beberapa hari setelah konsumsi kacang. 2,3,4,5,6
Favisme banyak didapatkan pada anak dibanding pada dewasa. Terutama pada
varian mutan gen defisiensi G6PD tipe Mediteranean, varian mutan gen G6PD
lainnya yang dapat mengalami favisme adalah tipe G6PD A-. Gejala yang timbul
pada anak berupa gelisah hingga letargi beberapa jam setelah terpapar fava
bean. Dalam waktu 24 48 jam dapat timbul demam disertai mual muntah, nyeri
abdomen dan diare. Urine berwarna merah hingga coklat gelap yang dapat
berlangsung selama beberapa haril. Ikterus timbul bersama terjadinya urine yang
gelap. Anak tampak pucat, terdapat takikardia. Pada beberapa kasus, dapat
terjadi syok hipovolemi dengan segera yang dapat berakibat fatal hingga terjadi
gagal jantung. Biasanya terdapat pembesaran hepar dan limpa yang ringan.
2,3,4,5
Adanya kasus maternal favisme pada ibu hamil dilaporkan menyebabkan
hemolisis pada bayi penderita defisiensi G6PD yang disusui, bahkan dapat terjadi
hydrops fetalis. 2,3,4
Mekanisme terjadinya anemia hemolitik pada favisme belum sepenuhnya
dipahami. Diduga kandungan vicine dan convicine dalam fava bean, suatu glukosidase yang terikat pada komponen aglycones yaitu vicine dan urasil yang
menyebabkan suatu formasi radikal bebas semiquinoid. Reaksi yang terjadi
sangat kompleks dan bervariasi luas dan sulit diprediksikan.33
3.1.1.5. Anemia hemolitik nonsferositik kongenital (Congenital Nonspherocytic
Hemolytic Anemia)
Anemia hemolitik nonsferositik congenital pada defisiensi G6PD bersifat sporadic
tanpa predileksi etnis tertentu. Seluruh kasus yang dilaporkan adalah jenis
kelamin laki laki. Manifestasi awal berupa ikterus neonatal. Manifestasi klinisnya
bervariai luas dari hemolisis yang terkompensasi dan memberikan gambaran
normal konsentrasi hemoglobin sampai terjadinya transfusi darah
dependen.2,3,4,9
Biasanya terjadi pembesaran limpa yang dapat menyebabkan hipersplenisme
yang membutuhkan splenektomi. Jarang terjadi hemoglobinuria karena hemolisis
yang terjadi berupa extravaskuler.
Defisiensi G6PD yang tergolong klas I dengan aktivitas G6PD kurang dari 10%,
disertai hemolisis sepanjang hidupnya walaupun tanpa terpapar bahan oksidan
atau infeksi pada umumnya.Gejala hemolisisnya sukar dibedakan dengan
sindroma hemolitik nonsferositik kongenital yang disebabkan defisiensi enzim
glikolisis 2,3,4,9.
Mutasi DNA hampir sebagian besar varian G6PD kelas I terjadi pada tempat
pengikat G6P atau NADP . Selain karena defisiensi G6PD,anemia hemolitik non
spherotik dapat timbul karena defisiensi enzim eritrosit lainnya.2,3,4,9

3.1.2. Hiperbilirubinemia neonatorum


Anemia dan ikterus seringkali mulai tampak pada masa neonatus.
Hiperbilirubinemia seringkali memerlukan transfusi tukar. Setelah melewati masa
bayi, gejalanya menjadi ringan dan tidak konstan, penderita mungkin pucat,
kadang sklera nampak ikterus dan kadang limpa membesar.
Beberapa varian G6PD yang menyebabkan hemolisis akut pada masa neonatus
sering menimbulkan hiperbilirubinemia. Neonatus dengan hiperbilirubinemia
sering terjadi pada varian G6PD Mediterranean (kelas II), jarang ditemukan pada
varian G6PD kelas I.
Ikterus pada neonatus timbul lebih kurang 48 jam setelah lahir, sebagian dari
kasus-kasus tersebut mungkin mencapai kadar bilirubin 30-45 mg/dl .
Hiperbilirubinemia neonatorum yang tidak mendapat pengobatan dapat menjadi
kern icterus dengan gangguan neurologi yang berat bahkan dapat menyebabkan
kematian.2,3,4,5,9,24,25,34,35
Penyebab hiperbilirubinemia pada neonatus dengan defisiensi G6PD masih belum
jelas mekanismenya, diduga bahwa peningkatan bilirubinemia sebagai akibat
peningkatan pecahnya sel eritrosit karena paparan bahan oksidan. Namun
seringkali tidak ditemukan adanya oksidan eksternal yang nyata sebagai
penyebab kerusakan eritrosit karena itu diduga kemungkinan oleh faktor
penyebab lain yaitu gangguan clearence bilirubin oleh hati, neonatus dengan
defisiensi G6PD Mediterranean juga menunjukkan defek pada konyugasi
glukoronat bilirubin.25,26,34
Beberapa penulis membuktikan bahwa pembentukan glukoronat dalam hati
berkurang pada bayi yang menderita defisiensi G6PD dibanding dengan bayi
normal. Gilman (1974) membuktikan bahwa ikterus neonatorum pada defisiensi
G6PD dapat disebabkan oleh karena fungsi hati yang terganggu, maupun
hemolisis akibat infeksi, atau terpapar bahan oksidan sebagai pencetusnya.28
Peningkatan insiden hiperbilirubinemia neonatorum juga ditemukan di Asia
Tenggara dan Cina, pada umumnya berhubungan dengan varian G6PD Canton. Di
Singapore pada tahun 1964 ditemukan 43% dari bayi yang mengalami kern
icterus merupakan defisien enzim G6PD dan 25% disebabkan oleh imaturitas
hepar. Di Indonesia 2.66% dari 3200 bayi yang baru lahir mengalami ikterus
tanpa adanya faktor-faktor infeksi, hipoksia dan ternyata disebabkan oleh
defisiensi G6PD .2,3,4,5,9,20,28,34

3.1.3. Manifestasi non hematologi


Beberapa kasus defisiensi G6PD dilaporkan dapat memberikan manifestasi non
hematologi. Dilaporkan bahwa defisiensi G6PD dapat mengakibatkan juvenile
cataract pada lensa mata. Bahkan bilateral cataract ditemukan pada anak
dengan defisiensi G6PD. Pada penelitian lebih lanjut ditemukan bahwa aktivitas
enzim G6PD hanya sebesar 40% dibanding individu normal. 36,37
Defisiensi G6PD juga dapat menyebabkan kejang otot, kelelahan pada otot,
gangguan kehamilan, katarak dan infeksi yang berulang. Dilaporkan pula bahwa
defisiensi aktivitas G6PD pada lekosit dan netrofil dapat menyebabkan defek

pada sistem imun yang menyebabkan infeksi berulang dan terbentuknya


granuloma pada beberapa kasus. Defisiensi G6PD menunjukkan heterogenitas
genetik yang cukup kompleks dan bervariasi dari satu populasi ke populasi lain.
Varian mutasi gen G6PD yang berbeda dapat menentukan ringan beratnya gejala
klinik serta berbagai akibat lain yang cukup serius dan dapat mengancam
kehidupan.36,37,38,39,40
3.2. Tata Laksana
Defisiensi enzim G6PD yang dapat menyebabkan anemia hemolitik, ikterus
maupun manifestasi non hemolitik merupakan kelainan genetik yang diwariskan
secara X-linked resesif. Karena itu, kelainan ini tidak dapat disembuhkan. Tata
laksana utama kelainan enzim G6PD berupa upaya pencegahan. 41
Upaya pencegahan hanya dapat dilakukan bila telah diketahui masalah yang
harus dihadapi. Untuk itu merupakan hal penting untuk mendapatkan
karakteristik gen G6PD dan pola variasi gen G6PD sehingga membantu untuk
diagnosis dini dan mempelajari sejauh mana permasalahan defisiensi G6PD ini
sebagai etiologi penyebab anemia hemolitik atau gejala klinis yang lain. 41
Upaya pencegahan dapat dibagi menjadi pencegahan primer, pencegahan
sekunder dan pencegahan tersier.41
3.2.1. Upaya pencegahan primer
Upaya pencegahan primer termasuk skrining untuk mengetahui frekuensi (angka
kejadian) kelainan enzim G6PD di masyarakat yang membantu diagnosis dini
karena sebagian besar defisiensi G6PD tidak menunjukkan gejala klinis, sehingga
pemahaman mengenai akibat yang mungkin timbul pada penderita defisiensi
G6PD yang terpapar bahan oksidan masih belum sepenuhnya dipahami serta
disadari yang dapat mengakibatkan diagnosis dini terlewatkan.
Masih termasuk pencegahan primer yaitu dengan memberikan informasi dan
pendidikan kepada masyarakat mengenai kelainan enzim G6PD, termasuk berupa
konseling genetik pada pasangan resiko tinggi. 41
Di Sardinia, skrining neonatal dikombinasikan pendidikan kesehatan tentang
G6PD telah berhasil menurunkan angka kejadian favisme pada anak dengan
defisiensi enzim G6PD. 6
Di Thailand dan di Malaysia telah dilakukan skrining defisien enzim G6PD
terhadap setiap bayi yang baru lahir menggunakan metode dengan darah
umbilikal dan terbukti cukup efektif. 6
Diagnosa dibuat berdasarkan satu dari beberapa tes yang dirancang untuk
mengetahui aktivitas G6PD eritrosit. Beberapa uji saring yang relatif sederhana
dan memuaskan telah dikembangkan untuk menentukan defisiensi G6PD secara
kualitatif antara lain: Fluorescent Spot test, Methemoglobin Reduction Test,
Formazan ring test, Ascorbate-cyanide screening test, Methemoglobin elution tets
. Hampir semua uji saring tersebut dapat mengidentifikasi penderita defisiensi
G6PD hemizigot (pria) dengan tepat, sayangnya tidak sensitif untuk diagnosis
penderita defisiensi G6PD yang heterozigot (wanita) , kecuali penggunaan
Formazan ring test .42,43,44
Metoda Formazan ring test selain bisa mendeteksi defisiensi G6PD yang
heterozigot, biaya relatif murah, mudah penggunaannya hanya memerlukan

inkubator dan dapat digunakan sampel dalam jumlah besar .43,44


3.2.2. Upaya pencegahan sekunder
Upaya pencegahan sekunder berupa pencegahan terpaparnya penderita
defisiensi enzim G6PD dengan bahan bahan oksidan yang dapat menimbulkan
manifestasi klinis yang merugikan seperti yang terdapat pada tabel III sehingga
dapat tercapai sumber daya manusia yang optimal.
Sekali diagnosa defisien enzim G6PD ditegakkan, orang tua harus dianjurkan
untuk menghindari bahan bahan oksidan termasuk obat obat tertentu, juga harus
dijelaskan mengenai resiko terjadinya hemolisis pada infeksi berulang. Selain itu
juga perlu dilakukan skrining G6PD pada saudara kandung dan anggota keluarga
yang lainnya.39
3.2.3. Upaya pencegahan tersier
Upaya pencegahan tersier berupa pencegahan terjadinya komplikasi akibat
paparan bahan oksidan maupun infeksi yang menimbulkan gejala klinik yang
merugikan, seperti mencegah terjadinya kern ikterus pada hiperbilirubinemi
neonatus yang dapat menyebabkan retardasi mental, mencegah kerusakan ginjal
maupun syok akibat hemolisis akut masif maupun mencegah terjadinya juvenile
katarak pada penderita defisiensi enzim G6PD.2,3,4,6,41
3.2.3.1. Tata laksana hemolisis akut
Langkah pertama yang harus dilakukan bila terjadi hemolisis akut adalah dengan
menyingkir bahan oksidan penyebab hemolisis dengan segera. Menurut Beutler,
pada beberapa varian kelas 3, masih dimungkinkan pemberian obat yang
dibutuhkan dengan pengawasan ketat. Tidak semua penderita defisien enzim
G6PD yang mengalami hemolisis akut diberikan transfusi darah. Belum ada
protokol tetap yang disepakati mengenai pemberian transfusi darah pada
penderita defisien enzim G6PD yang mengalami hemolisis akut. Beutler dan
Luzzatto hanya memberikan petunjuk bahwa transfusi darah diberikan bila kadar
Hb dibawah 7g/dl dan terdapat kejadian hemolisis yang berlanjut dan ditandai
dengan pesisten hemoglobinuria.
Pemberian hipertransfusi diatas Hb 7g/dl tidak dianjurkan karena tidak
didapatkan keuntungan eritropoesis yang efektif.2,3,4,5
Beberapa penulis menyebutkan bahwa pemberian desferrioxamine dapat
mengontrol terjadinya hemolisis akut pada favisme, namun hal ini masih
diragukan. Disebutkan bahwa penderita favisme yang mendapat 500 mg
desferrioxamine dosis sekali disertai transfusi darah merah mengalami durasi
waktu terjadinya hemoglobinuria yang lebih pendek dan peningkatan kadar
hemoglobin yang lebih cepat. Namun pemberian desferrioxamine dianjurkan
untuk mencegah hemosiderosis pada pasien yang menerima transfusi multipel.
Terjadinya overload preparat besi dapat terjadi pada penderita tergantung
transfusi atau pemberian suplemen besi yang berlebihan. Perlu diwaspadai
terjadinya hemochromatosis herediter.2,3,4,5
Beberapa penulis juga menganjurkan pemakaian xylitol untuk mengatasi krisis
hemolisis dengan meningkatkan produksi NADPH melalui jalur alternatif. 45
Namun sebuah studi klinis penggunaan 10 g xylitol perhari dibandingkan 20 g

xylitol perhari pada penderita defisiensi enzim G6PD yang mendapatkan


primaquin menunjukkan tidak terdapat proteksi terhadap terjadinya hemolisis.46
Penggunaan vitamin E dengan efek antioksidan mungkin dapat mencegah
terjadinya anemia hemolisis kronik. Beberapa studi menunjukkan manfaatnya47
namun juga terdapat studi yang meragukan manfaatnya.48
3.2.3.2. Tata laksana hiperbilirubinemia neonatorum
Kern ikterus merupakan manifestasi defisiensi enzim G6PD yang paling
berbahaya karena dapat menyebabkan retardasi mental dan kematian. Kern
ikterus dilaporkan terjadi lebih banyak pada populasi dengan varian G6PD kelas 2
lebih banyak daripada varian kelas lainnya. Tata laksana yang digunakan berupa
fototerapi, pemberian fenobarbital untuk mempercepat clearance bilirubin dan
bahkan perlu dilakukan transfusi tukar. Transfusi tukar dilakukan bila kadar serum
bilirubin diatas 20mg/dl.2,3,4,5,8,9,34,35
Sebuah penelitian terbaru dilaporkan oleh Kappas,2001 tentang penggunaan Snmesoporphyrin dosis sekali intra muskular, suatu inhibitor aktifitas hemeoxigenase poten, pada bayi defisien G6PD yang mengalami ikterus dapat
mengurangi penggunaan terapi foto sampai dengan setengah pada bayi bayi
penderita defisiensi G6PD yang baru lahir di Yunani.49

3.2.3.3. Splenektomi
Sel eritrosit yang defisien enzim G6PD tidak dihancurkan secara selektif di limpa.
Terjadinya pembesaran limpa membuktikan bahwa limpa turut berperan dalam
proses hemolisis. Splenektomi diindikasikan untuk keadaan :
1. Pembesaran limpa menimbulkan ketidaknyamanan
2. Pembesaran limpa yang terlalu masif
3. Terjadi anemia berat
Splenektomi terbukti dapat mengurangi hemolisis sehingga dapat merubah
penderita tergantung transfusi menjadi tidak lagi tergantung dengan
transfusi.2,3,4,5
3.2.3.4. Imunisasi
Beberapa jenis imunisasi yangdianjurkan bagi penderita defisien enzim G6PD
adalah imunisasi hepatitis A dan B. Imunisasi terhadap parvovirus B19 dianjurkan
karena infeksi virus ini dapat menyebabkan krisis aplastik pada penderita
defisien enzim G6PD. Imunisasi terhadap pnemococcus, meningococcus dan
hemophilus dalam vaksin polivalen juga direkomendasikan terutama bagi
penderita yang akan menjalani operasi splenektomi. 2,3,4,5,6

BAB IV
RINGKASAN
1. G6PD merupakan satu-satunya enzim yang menyediakan NADPH yang
dibutuhkan sebagai kofaktor untuk meredam senyawa oksidan (ROS) didalam sel
eritrosit. Kekurangan enzim ini diturunkan secara X-linked resesif dapat
menyebabkan hemolisis pada eritrosit dan manifestasi klinis lainnya terkait
berkurangnya perlindungan sel terhadap senyawa oksidan.
2. Prevalensi penderita defisiensi G6PD cukup tinggi di dunia, Asia Tenggara
maupun di Indonesia. Terutama di daerah endemis malaria, kelainan ini dapat
memberikan keuntungan selektif bagi individu penderita untuk survive terhadap
malaria.
3. Berdasarkan penelitian dan analisis molekuler selama lebih dari 40 tahun sejak
defisiensi enzim G6PD diidentifikasikan, jenis varian G6PD didapatkan 442 varian
dan diduga 400 juta penduduk dunia menderita kelainan ini. Berbagai jenis
mutasi (varian) gen G6PD dapat mengakibatkan penurunan aktivitas G6PD.
Mutasi pada exon 6 dan exon 10 dapat menyebabkan gejala klinis (anemia
hemolitik) yang berat. Gejala klinis pada umumnya asimptomatik, namun bila
terpapar bahan oksidan, infeksi atau makan fava beans mempunyai potensi
terjadinya anemia hemolitik, ikterus neonatorum (neonatal jaundice) yang sering
mengakibatkan kerusakan syaraf permanen dan dapat menyebabkan kematian.
Selain itu dapat juga menimbulkan katarak, kelelahan otot dan infeksi berulang.
4. Tata laksana hanya dititikberatkan pada upaya pencegahan, sebagaimana
penyakit herediter lainnya. Upaya pencegahan terbagi menjadi pencegahan
primer, pencegahan sekunder maupun pencegahan tersier.

Anda mungkin juga menyukai