Disusun Oleh :
1. Lukmania Andriani P (131611133068)
2. Sabila Nisak (131611133071)
3. Silvia Farhanidiah (131611133072)
4. Konita Shafira (131611133073)
5. Tantya Edipeni P (131611133074)
6. Muhammad Rezza R (131611133126)
7. Esti Ristanti (131611133129)
8. Hayu Ulfaningrum (131611133143)
9. Sulpince Weya (131611133150)
Dosen Pembimbing :
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2019
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, penyusun panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya yang
telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya sehingga makalah yang
berjudul Asuhan Keperawatan Pada Klien Trauma Muskuloskeletal, Multiple
Trauma dan Konsep Penanganan Klien Trauma (Biomekanika Trauma, Ergonomi
Tubuh, Teknik Mengangkat dan Transportasi Klien)ini dapat terselesaikan dengan
baik.
Ucapan terima kasih penyusun tujukan kepada orang tua yang telah
membantu dalam penyelesaian makalah ini dalam bentuk bantuan doa yang
senantiasa dipanjatkan. Tidak lupa pula mengucapkan terima kasih atas bantuan
Dosen Pembimbing Mata Kuliah Keperawatan Gawat Darurat, YULIS SETIYA
DEWI S.Kep.Ns., M.Ng.yang telah memberikan bantuan secara materi maupun
lisan.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka, penyusun menerima segala saran dan kritik dari
pembaca agar dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata penyusun berharap
semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap
pembaca dalam menambah pengalaman kedepannya.
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................ i
BAB 1 PENDAHULIAN................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ........................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................................. 2
1.3 Tujuan ...................................................................................................................... 2
1.4 Manfaat .................................................................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA........................................................................................ 4
2.1 Trauma Muskuloskeletal........................................................................................ 4
2.1.1 Mekanisme Trauma ......................................................................................... 4
2.1.2 Definisi Fraktur ................................................................................................ 5
2.1.3 Etiologi .............................................................................................................. 6
2.1.4 Patofisiologi ...................................................................................................... 6
2.1.5 WOC.................................................................................................................. 7
2.1.6 Manifestasi klinis.............................................................................................. 8
2.1.7 Jenis Fraktur .................................................................................................... 9
2.1.8. Tipe Fraktur .................................................................................................. 10
2.1.9 Pemeriksaan fisik ........................................................................................... 12
2.1.10. Pemeriksaan penunjang ............................................................................. 12
2.1.11 Penatalaksanaan Fraktur ............................................................................ 12
2.2 Multiple Trauma ................................................................................................... 13
2.2.1 Definisi............................................................................................................. 13
2.2.2 Triad trauma .................................................................................................. 14
2.2.2 Etiologi ............................................................................................................ 20
2.2.3 Mekanisme Trauma ....................................................................................... 24
2.2.4 WOC................................................................................................................ 26
2.2.5 Manifestasi Klinis........................................................................................... 31
2.2.6 Trauma scoring system .................................................................................. 31
2.2.6 Manajemen trauma........................................................................................ 36
2.2.7 Pemeriksaan Fisik .......................................................................................... 45
2.2.8 Pemeriksaan Penunjang ................................................................................ 48
ii
2.3 Biomekanika Trauma ........................................................................................... 49
2.4 Ergonomi ............................................................................................................... 51
2.5 Teknik Mengangkat dan Transportasi ............................................................... 52
BAB 3 PEMBAHASAN .................................................................................................. 58
3.1 Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Trauma Muskuloskeletal .................... 58
3.2 Asuhan Keperawatan Gawat Darurat Multiple Trauma.................................. 68
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 79
iii
iv
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Melihat permasalahan tersebut diperlukan upaya untuk membahas
mengenai kecelakaan lalu lintas dan bagaiman cara penanganan yang tepat
agar sebagai mahasiswa keperawatan mampu melakukan penanganan dasar
ketika kecelakaaan terjadi dan mahasiswa dapat mengetahui mengenai layanan
ambulance dengan baik.
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah konsep dan Asuhan Keperawatan pada klien dengan
trauma muskuloskeletal, multiple trauma dan konsep penanganan klien
trauma (biomekanika trauma, ergonomi tubuh, teknik mengangkat dan
transportasi klien) ?
1.3 Tujuan
2
1.4 Manfaat
1. Mengetahui dan memahami definisi trauma muskuloskeletal dan
multiple trauma
2. Mengetahui dan memahami etiologi trauma muskuloskeletal dan
multiple trauma
3. Mengetahui dan memahami patofisiologi klinis dari trauma
muskuloskeletal dan multiple trauma
4. Mengetahui dan memahami WOC trauma muskuloskeletal dan
multiple trauma
5. Mengetahui dan memahami menifestasi klinis trauma muskuloskeletal
dan multiple trauma
6. Mengetahui dan memahami pemeriksaan penunjang trauma
muskuloskeletal dan multiple trauma
7. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan klien dengan trauma
muskuloskeletal dan multiple trauma
8. Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pasien dengan trauma
muskuloskeletal dan multiple trauma
9. Mengetahui dan memahami konsep penanganan klien trauma
(biomekanika trauma, ergonomi tubuh, teknik mengangkat dan
transportasi klien)
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
4
Disebabkan oleh penekanan yang berulang-ulang dan umumnya
terjadi pada telapak kaki setelah berjalan terlalu lama atau berjalan
dengan jarak yang sangat jauh.
f. Pathologic fracture
Dapat dilihat pada pasien dengan penyakit kelemahan pada tulang
seperti kanker yang sudah metastase.
5
beristirahat, konsentrasi, dan kegiatan yang biasa dilakukan
(Engram, 1999)
2.1.3 Etiologi
a. Fraktur terjadi karena tekanan yang menimpa tulang kebih besar
daripada daya tulang akibar trauma
b. Fraktur karena penyakit tulang seperti Tumor Osteoporosis yang
disebut Fraktur Patologis.
c. Fraktur Stress/ Fatique (akibat dari penggunaan tulang yang
berulang-ulang).
2.1.4 Patofisiologi
Ketika patah tulang, akan terjadi kerusakan di korteks, pembuluh
darah, sumsum tulang dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut adalah
terjadi perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini
menimbulkan hematom pada kanal medulla antara tepi tulang dibawah
periostium dengan jaringan tulang yang mengatasi fraktur. Terjadinya
respon inflamasi akibat sirkulasi jaringan nekrotik adalah ditandai dengan
vasodilatasi dari plasma dan leukosit. Ketika terjadi kerusakan tulang,
tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk memperbaiki cidera,
tahap ini menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang. Hematom yang
terbentuk bisa menyebabkan peningkatan tekanan dalam sumsum tulang
yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan gumpalan lemak
tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai organ-organ
yang lain. Hematom menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga
meningkatkan tekanan kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot
yang iskhemik dan menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke
interstitial. Hal ini menyebabkan terjadinya edema, sehingga
mengakibatkan pembuluh darah menyempit dan terjadi penurunan perfusi
jaringan
6
2.1.5 WOC
Trauma Langsung Trauma tidak langsung Kondisi
Patologis
FRAKTUR
Diskontinuitas tulang Pergeseran frakmen tulang Nyeri Akut
frakmen tulang
Perubahan fragmen tulang Spasme otot Tek. sumsum tulg
lebih tinggi
Deformitas Peningkatan tek. kapiler dari
kapiler
Ggn. fungsi ekstremitas Pelepasan histamin Reaksi stress
klien
Protein plasma hilang Melepaskan
Katelokamin
Gangguan
Edema Metabolisme
Mobilitas Fisik
asam lemak
Laserasi kulit Penekanan pemb. darah Bergabung dgn
trombosit
Putus vena /arteri Penurunan perfusi jaringan Emboli
Kerusakan
Intregitas
Kulit
7
Perdarahan Menyumbat
pem. darah
Kehilangan vol. cairan Ketiadakefektifan
Perfusi Jaringan Perifer
Resiko Syok
Hipovolemic
8
splin. Jangan berusaha untuk mereposisi karena dapat
menyebabkan nyeri trauma lebih lanjut.
e. Disability
Juga termasuk karakteristik dari kebanyakan trauma skeletal
pasien dengan fraktur akan berusaha menahan lokasi trauma
tetap pada posisi yang nyaman dan akan menolak
menggerakannya. Bahkan pada pasien dengan dislokasi akan
menolak untuk menggerakkan ekstremitas yang mengalami
dislokasi.
f. Exposed bone ends
Didiagnosa sebagai trauma terbuka atau compound fraktur.
Periksa pulsasi, gerakan dan sensori di bagian distal pada
setiap pasien dengan trauma musculoskeletal.
9
Fraktur terbuka adalah keadaan patah tulang yang
disertai gangguan integritas kulit. Hal ini biasanya disebabkan
oleh ujung tulang yang menembus kulit atau akibat laserasi kulit
yang terkena benda-benda dari luar pada saat cedera.
Komplikasi yang dapat terjadi pada fraktur terbuka
adalah perdarahan eksternal, kerusakan lebih lanjut pada otot-
otot dan saraf serta terjadinya kontaminasi. Sangat penting untuk
mengenal adanya luka didekat fraktur karena bisa menjadi pintu
masuk dari kontaminasi kuman.
Fraktur terbuka dapat ditemukan dengan mudah pada
penderita trauma. Adanya luka terbuka didekat daerah yang
diduga terjadi fraktur, harus dipertimbangkan sebagai fraktur
terbuka dan harus diberikan penanganan seperti fraktur terbuka.
Denyut nadi, pergerakan, sensasi dan warna kulit harus segera
dinilai dan terus dilakukan penilaian ulang secara berkala.
10
Garis frakturnya memotong melintang dari arah luar sampai
menembus bagian tengah secara tegak lurus dari tulang
biasanya disebabkan oleh kecelakaan langsung.
b. Fraktur Greenstick
Terjadi pada anak dimana tulang masih bisa dibengkokan
seperti dahan yang masih muda dan garis frakturnya melintang
lurus pada bagian luar dari tulang perpendicular sampai batas
tengah tulang.
c. Fraktur Spiral
Biasanya terjadi karena kecelakaan memutar (terpelintir) dan
garis frakturnya tidak rata
d. Fraktur Oblique
Garis fraktur melintang pada tulang tegak lurus dan oblik.
e. Fraktur Comminuted
Dimana tulang terbagi menjadi lebih dari dua bagian.
11
2.1.9 Pemeriksaan fisik
a. Nyeri pada lokasi frkatur terutama pada saat digerakan
b. Adanya pembengkakan
c. Pemendekan ekstrmitas yang sakit
d. Paralisis (kehilangan daya gerak)
e. Krepitasi (sensasi keripik yang ditimbulkan bila mempalpasi
patahan-patahan tulang
f. Spasme otot
g. Peretesia (penurunan sensasi)
2.1.10. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan rontgen: Untuk menentukan lokasi, luas dan
jenis fraktur
Scan tulang, tomogram, CT-scan/ MRI: Memperlihatkan frakur dan
mengidentifikasikan kerusakan jaringan lunak.
Pemeriksaan darah lengkap: Hb menurun terutama fraktur terbuka,
peningkatan leukosit adalah respon stres normal setelah trauma
12
Jangan pernah berusaha untuk meluruskan fraktur
termasuk sendi-sendi, meskipun ada beberapa tulang
pada fraktur yang dapat diluruskan.
Tourniket tidak dianjurkan pada fraktur terbuka kecuali
pada trauma amputasi atau anggota gerak yang sudah
tidak dapat diselamatkan lagi.
Imobilisasi ekstremitas sebelum memindahkan pasien
dan imobilisasi sendi bagian atas dan bawah dari tulang
yang fraktur.
b. Tujuan Imobilisasi
Untuk menjaga fraktur tertutup agar jangan menjadi
fraktur terbuka. Hal ini mungkin terjadi jika ujung
tulang yang fraktur masih dapat bergerak bebas ketika
pasien dipindahkan.
Untuk mencegah kerusakan sekitar nervus, pembuluh
darah dan jaringan yang lain dari ujung tulang yang
fraktur.
Untuk meminimalkan perdarahan dan bengkak.
Untuk mengurangi nyeri.
2.2.1 Definisi
Multiple trauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan secara
fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan
kematian dan memberi dampak pada fisik, kognitif, psikologik atau kelainan
psikososial dan disabilitas fungsional (Lamichhane P, et al., 2011). Trauma
masih menjadi penyebab kematian nomor satu pada kelompok usia muda dan
produktif di seluruh dunia. Di Indonesia, trauma merupakan penyebab
kematian nomor empat, tetapi pada kelompok umur 15-25 tahun merupakan
penyebab kematian utama. Cedera atau trauma adalah permasalahan yang
berkembang dengan tiga penyebab utama kematian secara global. Tiga hal
13
tersebut adalah kecelakaan lalu lintas, pembunuhan dan bunuh diri. Ketiga hal
tersebut diperkirakan akan meningkat dibandingkan dengan penyebab
kematian lain. Kasus trauma terbanyak disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas,
disamping kecelakaan industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari ketinggian
maupun akibat kekerasan.
2.2.2 Triad trauma
1. Koagulasi
Koagulopati pada trauma masih menjadi masalah besar dalam
kesehatan masyarakat. Kematian yang terjadi pada saat awal trauma
biasanya disebabkan oleh adanya perdarahan dalam jumlah besar.
Perdarahan yang masif pada kasus trauma mengakibatkan terjadinya
koagulopati. Koagulopati adalah proses patologis yang menyebabkan
kegagalan hemostasis atau mekanisme untuk menghentikan dan
mencegah perdarahan. Koagulopati adalah kerusakan atau gangguan
pada sistem koagulasi yang menyebabkan peningkatan bleeding time
(BT) atau peningkatan waktu pembekuan darah (Thorsen et al.,2011).
Pada tahun 1982, Universitas Colorado di USA menerbitkan
gagasan tentang "bloody vicious cycle ", sebagai data penelitian klinis
dan eksperimental menunjukkan bahwa hipotermia dan asidosis
merupakan faktor yang berperan dengan kematian dini pada pasien
trauma dengan koagulopati. "bloody vicious cycle" ini kemudian
disebut oleh orang lain sebagai lethal triad atau trias of death dan yang
terbaru telah diintegrasikan ke dalam konsep “Trauma Koagulopati
Iatrogenik”. Konsep ini merupakan dasar fundamental dari damage
control surgery yang diperkenalkan pada tahun 1983. Damage control
surgery memprioritaskan manajemen awal koagulopati, hipotermia,
dan asidosis, meminimalkan waktu operasi hanya untuk mencari
sumber perdarahan yang signifikan dan minimalkan kontaminasi
gastrointestinal.
Penurunan konsentrasi sirkulasi protein koagulasi telah diteliti
pada sukarelawan sehat setelah pemberian cairan infus dan transfusi
14
sel darah merah (PRC). Hasilnya adalah adanya korelasi antara jumlah
cairan resusitasi dengan penurunan sirkulasi konsentrasi faktor
koagulasi. Terjadinya dilusi atau pengenceran oleh karena cairan
resusitasi dan transfusi darah mengakibatkan sistem hemostasis
semakin memburuk(Thorsen et al.,2011).
15
waktu protrombin (PT) 1,5 kali rata-rata nilai normal menunjukkan
koagulopati membutuhkan penggantian komponen darah. Sejumlah
penelitian telah menunjukkan bahwa koagulopati umumnya terjadi
setelah trauma berat termasuk asidosis metabolik, hipotermia,
pengenceran faktor koagulasi oleh karena resusitasi cairan dan
konsumsi faktor koagulasi. Koagulopati (+) apabila dijumpai minimal
2 dari tanda berikut (Brohi 2003) : 1. Prothrombin Time (PT) > 18
detik 2. Activated Partial Thromboplastin Time (aPTT) > 36 detik 3.
International Normalized Ratio(INR)> 1,6.
Pada kondisi trauma, setiap pemeriksaan laboratorium yang
digunakan untuk mengidentifikasi adanya koagulopati membutuhkan
waktu sedangkan perdarahan masih terus berlanjut. Ketika hasil
laboratorium keluar, pasien mungkin sudah dalam keadaan hipotermia,
asidosis dan koagulopati yang irreversibel. Dengan demikian
diperlukan parameter tes yang cepat yang dapat memberikan point
penting untuk penanganan pasien-pasien trauma yang memiliki resiko
terjadinya koagulopati. Koagulopati yang terjadi setelah trauma
merupakan gangguan sistem homeostasis yang disebabkan oleh
banyak faktor. Disfungsi pembentukan fibrin, trombosit, endotel
vaskular, inhibisi pembentukan bekuan darah dan proses fibrinolitik
berperan dalam terjadinya koagulopati. Selain itu juga koagulopati
dipengaruhi oleh inflamasi, genetik, medikasi dan penyakit lain.
Mekanisme ini tergantung dari beratnya trauma, derajat gangguan
fisiologi sistemik dan efek dari terapi.
Ada 6 faktor yang menyebabkan terjadinya koagulopati akut pada
trauma yaitu: trauma jaringan, syok, hemodilusi, hipotermia, asidosis
dan inflamasi(Hess,2008).
1) Hemodilusi.
Pada penelitian yang dilakukan di Jerman, diberikan cairan
dalam jumlah besar (rata-rata 2200 ml) dan dijumpai efek dilusi
yang jelas. Penelitian ini juga menemukan bahwa lebih dari 50%
16
pasien tersebut mengalami koagulopati pada pemberian cairan
lebih dari 3 liter kristaloid pada saat fase prehospital.
2) Hipotermia.
Hipotermia sedang dan berat dijumpai pada < 9% pasien
trauma. Meskipun terdapat hubungan antara hipotermia, syok dan
beratnya cedera (Injury Severity), hal ini merupakan faktor
prediktif yang lemah. Bagaimanapun, gangguan pembekuan darah
yang signifikan dijumpai pada temperatur dibawah 330C
3) Asidemia.
Kondisi asidemia berdampak terhadap fungsi koagulasi
protease. Penelitian secara in Vitro yang dilakukan Meng (2003)
mendapati bahwa terdapat sedikit hubungan yang signifikan antara
penurunan fungsi protease pada pH 7,2. Bagaimanapun, pada
penelitian hewan coba yang dilakukan Martini (2007) menemukan
bahwa efek asidemia pada fungsi koagulasi tidak bersifat reversible
hanya dengan koreksi keadaan asidosis.
4) Syok dan Hipoperfusi.
Kondisi syok dan hipoperfusi jaringan merupakan faktor resiko
independen yang kuat terhadap terjadinya poor outcomes pada
trauma. Penelitian Martini (2007) menemukan bahwa 2% pasien
dengan Base Excess < 6mEq/L mengalami pemanjangan waktu
pembekuan. 20% pasien dengan Base excess > 6mEq/L mengalami
pemanjangan waktu pembekuan. Pada penelitian tersebut kadar
Fibrinogen dan Trombosit pasien dalam keadaan normal.
5) Konsumsi Faktor Koagulasi.
Konsumsi faktor kogulasi selalu dianggap sebagai penyebab
terjadinya koagulopati pada trauma. Degenarasi thrombin dan
derajat trauma berhubungan secara linear dengan aktivasi dari
tissue factor dependent extrinsic pathway. Dengan atau tanpa
hipotermia dan asidosis, penyebab koagulopati sekunder paska
trauma dapat berkembang pada sejumlah besar pasien. Pada
17
kepustakaan lainnya disebutkan hal yang paling paling umum
untuk menjelaskan perkembangan koagulopati setelah trauma yaitu
dilusi, depletion dan disseminated intravascular coagulation (DIC).
Secara istrogenik, resusitasi masif dengan kristaloid dan darah
yang menggunakan packed red cells membuat dilusi pada
komponen sistem koagulasi yang penting. Kedua, hilangnya darah
secara aktif yang disebabkan adanya cedera menambah besar
proses deletion pada komponen yang dibutuhkan dari sistem
pembekuan untuk membuat bekuan darah di lokasi cedera. Ketiga,
perkembangan DIC telah di laporkan pada pasien trauma dan hal
ini sering merupakan gejala sisa yang ditemukan pada akhir
penanganan bahkan sudah terlambat seperti dalam keadaan multi
organ failure(Jana et al.,2008).
2. Hipotermi
Trauma terbukti merubah termoregulasi, menurunkan produksi
panas, dan merusak kompensasi menggigil. Gangguan termoregulasi
mungkin karena berkurangnya aliran darah serebral dan hipotalamus,
penyempitan pembuluh darah hipotalamus dari pelepasan zat endogen
seperti norepinefrin dan hilangnya autoregulasi ke daerah hipotalamus
setelah cedera kepala atau shock.
Hipotermia merupakan kondisi dimana suhu tubuh inti
dibawah 350C. Kondisi hipotermi menyebabkan gangguan pada
proses fisiologi normal. Helm dan kawan-kawan mengatakan bahwa
satu dari dua pasien trauma yang datang di ruang gawat darurat dalam
keadaan hipotermia dan luna dan kawan-kawan menyatakan 2/3
pasien yang datang di trauma centre dalam keadaan terintubasi
memiliki suhu tubuh inti kurang dari 360C. (Eldar dan Charles, 2004)
Hipotermia berhubungan erat dengan peningkatan
mortalitas dan morbiditas pada pasien trauma. Perdarahan
dengan hipoperfusi jaringan menyebabkan gangguan proses
termoregulasi dan berakhir dengan hipotermia. Beberapa faktor
18
lain yang menyebabkan hipotermia pada trauma adalah paparan
lingkungan, dan pemberian cairan intravena yang masif dan
dingin. Pasien yang menjalani operasi emergensi memiliki
resiko terjadi hipotermia akibat penggunaan cairan yang tidak
dihangatkan dan ruang operasi yang dingin. (Eldar dan Charles,2004)
Pada trauma, berat ringannya hipotermia dibagi menjadi
tiga, yaitu: hipotermia ringan (34-360C), hipotermia sedang (32-
340C), dan hipotermia berat (<320C). Efek samping terjadinya
hipotermia adalah gangguan fungsi kardiovaskular, gangguan
koagulasi, penurunan metabolisme obat, dan meningkatnya
resiko infeksi. Penurunan suhu tubuh inti selama evaluasi awal dan
resusitasi sering terjadi dan dapat menyebabkan akhir yang buruk
pada pasien trauma. (Eldar dan Charles, 2004)
Hipotermia menghambat aktivitas protease dan fungsi trombosit.
Aktivitas kompleks factor jaringan menurun seiring dengan penurunan
suhu tubuh dan 50% tidak bekerja pada suhu 28oC. Fungsi platelet
lebih sensitif terhadap hipotermia dimana aktivitasnya menurun
pada kondisi ini. Hal ini disebabkan karena terjadi penurunan efek
traksi faktor von Willebrand pada glikoprotein IX. Aktivitas enzim
menurun sebesar 10% setiap penurunan 1oC suhu tubuh. (Brandon
dkk, 2007; John dkk, 2008).
3. Asidosis metabolik
Asidosis sering terjadi pada trauma, terutama disebabkan oleh
syok dan kelebihan ion klorida pada resusitasi. Asidosis metabolik
adalah yang paling sering terjadi pada kasus trauma. efek utama
asidosis pada kagulopati adalah hambatan terhadap aktivitas
kompleks enzim pada permukaan lipid. Meng dan kawan-kawan
menyebutkan bahwa ketika pH turun dari 7,4 menjadi 7,0, aktivitas
faktor VIIa menurun sebesar 90%, faktor jaringan sebesar 55% dan
rata-rata aktivasi protrombin oleh faktor Xa/faktor Va kompleks
menurun sebesar 70%. Aktivitas faktor koagulasi kompleks ini
19
tergantung dari interaksinya dengan fosfolipid pada permukaan
trombosit yang teraktivasi dan sangat dipengaruhi oleh ion hidrogen.
Penelitian pada babi yang dilakukan Martini dankawan-kawan
menunjukkan asidosis (pH 7,1) dan jika dikombinasi dengan
hipotermia (T 32oC) meningkatkan waktu perdarahan lien sebesar
41-72%. Trombin memegang peranan penting terhadap aktivasi
kofaktor, trombosit dan enzim serta memecah fibrinogen menjadi
fibrin. Asidosis merupakan penghambat yang sangat besar pada
aktivitas trombin apalagi jika dikombinasi dengan hipotermia.
(Brandon dkk, 2007).
Ketika hantaran nutrisi dan oksigen tidak adekuat pada syok,
terjadi pergeseran metabolisme sel menjadi metabolisme anaerobik.
Ketika metabolisme menjadi anaerob, pembentukan energi
menyebabkan akumulasi ion hidrogen, laktat dan piruvat yang
bersifat toksik pada fisiologi normal. Asidosis merupakan hasil akhir
dari kompensasi fisiologis pada syok. (Kenneth, 2003)
Resusitasi dengan cairan kristaloid juga dapat menyebabkan
perburukan dari asidosis. Berdasarkan model Stewart keseimbangan
asam basa, pemberian cairan sodium klorida menyebabkan
penurunan pada strong ion difference(SID) (Na + K + Ca + Mg -Cl -
Laktat). Penurunan SID menyebabkan disosiasi ion H+dari H2O
untukmenjaga kestabilan sehingga terjadi penurunan pH. (Brandon
dkk, 2007)
2.2.2 Etiologi
Secara keseluruhan mengenai mekanisme cedera untuk sistem organ
spesifik terus meningkat. CIREN (Crash Injury Research and Engineering
Network) telah berperan penting dalam meningkatkan pengetahuan kita tentang
cedera pada MCV. Misi dari program ini adalah untuk meningkatkan
pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi cedera MCV, dengan demikian
mengurangi kematian, cacat, dan biaya manusia dan ekonomi. CIREN
disponsori oleh Administrasi Keselamatan Lalu Lintas Jalan Raya Nasional
20
dan menggunakan pendekatan multidisiplin untuk menyelidiki kecelakaan.
Informasi dari program ini menunjukkan bahwa pengekangan sabuk pengaman
yang tepat mengurangi cedera kepala akibat tabrakan frontral, tetapi bukan
tabrakan lateral, dan cedera intrusi kontak yang umumnya menyebabkan cedera
otak, hati, dan paru-paru. Banyak perubahan rekayasa dalam desain kendaraan
dapat ditelusuri ke temuan yang dibuat oleh investigasi CIREN.
a. Trauma tumpul
Penyebab terbanyak dari trauma tumpul adalah kecelakaan lalu lintas.
Pada suatukecelakaan lalulintas, misalnya tabrakan mobil, maka penderita yang
berada didalam mobilakan mengalami beberapa benturan (collision) berturut-
turut sebagai berikut :
1. Primary Collision
Terjadi pada saat mobil baru menabrak, dan penderita masih berada pada
posisi masing-masing.Tabrakan dapat terjadi dengan cara : tabrakan depan
(frontal), tabrakan samping (TBone), tabrakan dari belakang, terbalik (roll
over)
2. Secondary Collision
Setelah terjadi tabrakan penderita menabrak bagian dalam mobil (atau
sabuk pengaman).Perlukaan yang mungkin timbul akibat benturan akan sangat
tergantung dari arah tabrakan.
3. Tertiary Collision
Setelah penderita menabrak bagian dalam mobil, organ yang berada
dalam rongga tubuh akanmelaju kearah depan dan mungkin akan mengalami
perlukaan langsung ataupun terlepas(robek) dari alat pengikatnya dalam rongga
tubuh tersebut.
4. Subsidary Collision
Kejadian berikutnya adalah kemungkinan penumpang mobil yang
mengalami tabrakanterpental kedepan atau keluar dari mobil. Selain itu barang-
barang yang berada dalam mobilturut terpental dan menambah cedera pada
penderita.
b. Trauma kompresi
21
Trauma kompresi terjadi bila bagian depan dari badan berhenti bergerak,
sedangkan bagian dalam tetap bergerak kedepan. Organ-organ terjepit dari
belakang oleh bagian belakang dinding torak oabdominal dan
kulumnavetrebralis, dan didepan oleh struktur yang terjepit. Pada organ yang
berongga dapat terjadi apayang trauma. Mekanisme trauma yang terjadi pada
pengendara sepeda motor dan sepeda meliputi :
1. Benturan frontal
Bila roda depan menabrak suatu objek dan berhenti mendadak maka
kendaraan akan berputarkedepan,dengan momentum mengarah kesumbu
depan. Momentum kedepan akan tetap, sampai pengendara dan kendaraannya
dihentikan oleh tanah atau benda lain.Pada saat gerakan kedepan ini kepala,
dada atau perut pengendara mungkinmembentur stang kemudi. Bila
pengendara terlempar keatas melewati stang kemudi, makatungkainya mungkin
yang akan membentur stang kemudi, dan dapat terjadi fraktur femurbilateral.
2. Benturan lateral
Pada benturan samping, mungkin akan terjadi fraktur terbuka atau
tertutup tungkai bawah. Jika sepeda / motor tertabrak oleh kendaraan yang
bergerak maka akan rawan untukmenglami tipe trauma yang sama dengan
pemakai mobil yang mengalami tabrakan samping.Pada tabrakan samping
pengendara juga akan terpental karena kehilangan keseimbangansehingga akan
menimbulkan cedera tambahan.
3. Laying the bike down
Untuk menghindari terjepit kendaraan atau objek yang akan ditabraknya
pengendara mungkinakan menjatuhkan kendaraannya untuk memperlambat
laju kendaraan dan memisahkannyadari kendaraan. Cara ini dapat
menimbulkan cedera jaringan lunak yang sangat parah.
4. Helm (helmets)
Walaupun penggunaan helm untuk melindungi kepala agak terbatas
namunpenggunaannya jangan diremehkan. Helm didesain untuk mengurangi
kekuatan yangmengenai kepala dengan cara mengubah energi kinetik benturan
melalui kerja deformasi daribantalannya dan diikuti dengan mendistribusikan
22
kekuatan yang menimpa tersebut seluasluasnya.Secara umum petugas gawat
darurat harus berhati-hati dalam melepas helm korbankecelakaan roda dua,
terutama pada kecurigaan adanya fraktur servical harus tetap menjaga
kestabilan kepala dan tulang belakang dengan cara teknik fiksasi yang benar.
Secara umum keadaan yang harus dicurigai sebagai perlukaan berat
(walaupun penderitamungkin dalam keadaan baik) adalah sebagai berikut :
a. Penderita terpental , antara lain :
i. Pengendara motor
ii. Pejalan kaki ditabrak kendaraan bermotor
iii. Tabrakan mobil dengan terbalik
iv. Terpental keluar mobil
b. Setiap jatuh dari ketinggian > 6 meter
a. Ada penumpang mobil (yang berada didalam satu kendaraan)
meninggal.
c. Trauma ledakan (Blast Injury)
Ledakan terjadi sebagai hasil perubahan yang sangat cepat dari suatu
bahan dengan volume yang relatif kecil, baik padat, cairan atau gas, menjadi
produk-produk gas. Produk gas ini yang secara cepat berkembang dan
menempati suatu volume yang jauh lebih besar dari pada volume bahan
aslinya. Bilamana tidak ada rintangan, pengembangan gas yang cepat ini akan
menghasilkan suatu gelombang tekanan (shock wave). Trauma ledakan dapat
diklasifikasikan dalam 3 mekanisme kejadian trauma yaitu primer, sekunder
dan tersier.
Trauma ledak primer merupakan hasil dari efek langsung gelombang
tekanan dan paling peka terhadap organ –organ yang berisi gas. Membran
timpani adalah yang paling peka terhadap efek primer ledak dan mungkin
mengalami ruptur bila tekanan melampaui 2 atmosfir. Jaringan paru akan
menunjukan suatu kontusi, edema dan rupture yang dapat menghasilkan
pneumothoraks. Cedera ledak primer ruptur alveoli dan vena pulmonaris dapat
menyebabkan emboli udara dan kemudian kematian mendadak. Pendarahan
23
intraokuler dan ablasio retina merupakan manifestasi okuler yang biasa terjadi,
demikian juga ruptur intestinal.
Trauma ledak sekunder merupakan hasil dari objek-objek yang melayang
dan kemudian membentur orang disekitarnya. Trauma ledak tersier Terjadi bila
orang disekitar ledakan terlempar dan kemudian membentur suatu objek atau
tanah. Trauma ledak sekuder dan tertier dapat mengakibatkan trauma baik
tembus maupun tumpul secara bersamaan.
d. Trauma tembus (Penetrating Injury)
1. Senjata dengan energi rendah (Low Energy)
Contoh senjata dengan energi rendah adalahpisau dan alat pemecah es.
Alat ini menyebabkan kerusakan hanya karena ujung tajamnya. Karena energi
rendah, biasanya hanya sedikit menyebabkan cidera sekunder. Cedera pada
penderita dapat diperkirakan dengan mengikuti alur senjata pada tubuh. Pada
luka tusuk, wanita mempunyai kebiasaan menusuk ke bawah, sedangkan pria
menusuk keatas karena kebiasaan mengepal.Saat menilai penderita dengan
luka tusuk, jangan diabaikan kemungkinan luka tusuk multipel. Inspeksi dapat
dilakukan dilokasi, dalam perjalanan ke rumah sakit atai saat tiba di rumah
sakit, tergantung pada keadaan disekitar lokasi dan kondisi pasien.
2. Senjata dengan energi menengah dan tinggi (medium and high
energy)
Senjata dengan energi menengah contohnya adalah pistol, sedangkan
senjata dengan energi tinggi seperti senjata militer dan senjata untuk berburu.
Semakin banyak jumlah mesiu, maka akan semakin meningkat kecepatan
peluru dan energi kinetiknya. Kerusakan jaringan tidak hanya daerah yang
dilalui peluru tetapi juga pada daerah disekitar alurnya akibat tekanan dan
regangan jaringan yang dilalui peluru.
2.2.3 Mekanisme Trauma
Mekanisme cedera terkait dengan jenis kekuatan luka dan respon
jaringan tersebut. Pemahaman yang menyeluruh tentang dua aspek cedera
ini membantu dalam menentukan tingkat dan sifat kerusakan. Cedera
terjadi ketika kekuatan merusak jaringan di luar batas kerusakannya. Ini
24
dapat menyebabkan kerusakan anatomis dan fisiologis. Kerusakan
anatomi, seperti patah tulang, biasanya akan sembuh dan fungsinya akan
kembali. Kerusakan fisiologis, seperti cedera sistem saraf pusat, mungkin
permanen meskipun terdapat proses penyembuhan. Mekanisme cedera
dapat membantu menjelaskan jenis cedera, memprediksi hasil akhirnya
dan mengidentifikasi kombinasi cedera umum. Pengetahuan tentang
informasi ini meningkatkan manajemen trauma pada pasien.
Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi cedera adalah
kecepatan tumbukan, bentuk objek, dan kekakuan jaringan. Jaringan tubuh
memiliki resistensi inersia serta kekuatan tarik, elastis, dan tekan.
Kekuatan tarik sama dengan jumlah ketegangan yang dapat ditahan oleh
suatu jaringan dan kemampuannya untuk menahan kekuatan regangan.
Elastisitas adalah kemampuan jaringan untuk melanjutkan bentuk dan
ukuran aslinya setelah diregangkan. Kekuatan tekan mengacu pada
kemampuan untuk menahan gaya terjepit atau tekanan ke dalam. Setiap
kali kekuatan melebihi kekuatan jaringan maksimum, fraktur atau robekan
terjadi.
Kekuatan adalah faktor fisik yang mengubah gerakan tubuh baik
saat istirahat atau sudah bergerak. Itu dihitung dengan persamaan berikut:
25
2.2.4 WOC
Multiple Fraktur
Multiple trauma
Resiko syok
Gangguan
pertukaran gas
26
2.2.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis cedera kepala pada klien yang mengalami multiple
trauma menurut Baughman (2010), meliputi:
a. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukkan fraktur.
b. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pengembangan pada area
tersebut.
c. Fraktur pada basal tulang tengkorak seringkali menyebabkan hemoragi
dari hidung, faring, atau telinga, dan darah mungkin akan terlihat pada
konjungtiva.
d. Ekimosis mungkin terlihat diatas mastoid (tanda Battle).
e. Drainase cairan serebro spinal dan telinga dan hidung menandakan
fraktur basal tulang tengkorak.
f. Drainase CSF dapat menyebabkan infeksi serius, y.i., meningitis
melalui robekan dura meter.
g. Cairan serebro spinal yang mengandung darah menunjukkan laserasi
otak atau kontusio.
2.2.6 Trauma scoring system
Pengukuran mengenai derajat keparahan suatu trauma sudah
dimulai pada tahun 1969. Diawali dengan Abbreviated Injury Scale (AIS)
untuk menilai derajat keparahan suatu trauma. AIS merupakan dasar dari
perhitungan Injury Severity Score yang kemudian banyak diaplikasikan
untuk menilai derajat keparahan suatu trauma. Usaha untuk menyimpulkan
derajat keparahan suatu trauma pada pasien multiple trauma merupakan
hal yang sulit sehingga terdapat beberapa scoring system alternatif yang
masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan (Chawda M N et
al., 2004).
Metode yang akurat untuk menilai derajat trauma secara kuantitatif
mempunyai beberapa manfaat yang potensial, salah satunya adalah untuk
memprediksi outcome dari suatu trauma atau prognosis dari pasien trauma.
Selain hal tersebut skor trauma juga dapat menjadi bahan pertimbangan
dari klinisi untuk menentukan terapi yang akan dilakukan pada pasien
31
trauma dan skor trauma berperan penting di dalam penelitian mengenai
trauma (Chawda M N et al., 2004).
Terdapat beberapa scoring system untuk trauma dan secara garis
besar dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis berdasarkan komponen-
komponen yang digunakan, yaitu skor anatomis, skor fisiologis, dan skor
kombinasi (Chawda M N et al., 2004).
1) Skor fisiologis
Untuk skor fisiologis, Revised Trauma Score (RTS) merupakan
skor yang paling sering digunakan. RTS terdiri dari tiga komponen
yaitu Glasgow Coma Scale (GCS), systolic blood pressure (SBP), dan
respiratory rate (RR). RTSmempunyai dua bentuk tergantung dari
penggunaannya. Ketika digunakan di triase lapangan, RTS
ditentukandengan menambahkan nilai dari masing-masing indikator,
sehingga RTSmempunyai rentang 0-12. (Chawda M N et al., 2004).
Coded value GCS SBP (mmHg) RR (breath/min)
0 3 0 0
32
mengkompensasi cedera kepala berat tanpa cedera multisistem atau
perubahan fisiologis utama. Sebuah ambang RTS
Perhitungan dari RTSccukup rumit yang menyebakan keterbatasan
dari penggunaan skor tersebut di lapangan. Namun, kelebihan dari
RTSc adalah menekankandampak cedera kepala yang signifikan
terhadap outcome dari pasien trauma. Kelemahan dari RTSc adalah
ketidakmampuan untuk menilai secara akurat pasien trauma yang
terintubasi dan menggunakan ventilasi mekanik, serta pasien trauma
yang sedang dalam pengaruh obat-obatan dan alkohol (Chawda M N et
al., 2004).
2) Skor anatomis
Untuk skor anatomis, terdapat beberapa scoring system, antara
lain Abbreviated Injury Score (AIS), Injury Severity Score (ISS), New
Injury Severity Score (NISS)
Abbreviated Injury Scale (AIS)
AISbertujuan untuk mendeskripsikan suatu cedera dan tidak
didesain untuk memprediksi outcome. AIS merupakan dasar dari ISS.
Pada AIS suatu cedera diranking pada skala 1-6. Setiap cedera pada
tubuh pasien diberi AIS
Injury AIS score
1 Minor
2 Moderate
3 Serious
4 Svere
5 Critical
33
masing-masing regio tubuh yang digunakan. Kemudian dari AIS score
tiga regio tubuh yang memiliki cedera terparah dikuadratkan dan
dijumlahkan sehingga menghasilkan ISS. Dengan kata lain ISS adalah
jumlah kuadrat dari AIS score tertinggi pada tiga regio tubuh yang
mengalami cedera terparah.
ISS mempunyai rentang antara 1-75. Seseorang dikatakan
mengalami multiple trauma bila ISS lebih dari atau sama dengan 16.
ISS mempunyai keterbatasan, yaitu jumlah dari cedera yang
diperhitungkan hanya berjumlah tiga, yang masing-masing berasal dari
tiga regio tubuh yang memiliki cedera terparah, sehingga akan terjadi
underscoring bila pada pasien tersebut terdapat lebih dari satu cedera
yang signifikan pada satu regio tubuh dan atau lebih dari tiga regio
tubuh. ISS hanya memperhitungkan satu cedera per regio tubuh
sehingga tidak mampu untuk mengevaluasi cedera multipel yang
terjadi pada regio tubuh yang sama sehingga derajat keparahan suatu
trauma sering salah diperkirakan. Selain itu ISShanya
memperhitungkan data anatomis dan tidak memperhitungkan data
fisiologis. ISS juga memerlukan perawat khusus trauma atau dokter
bedah trauma untuk menilai secara akurat dari AIS score (Chawda M N
et al., 2004).
Region Injury description AIS Square top three
Head and neck Cerebral contusion 3 9
Face No injury 0
Cheast Flail chest 4 16
Minor contusion of 2
Abdomen liver
Complex rupture spleen 5 25
Fractured femur 3
Extremity
No injury 0
Injury severity score 50
34
New Injury Severity Score (NISS)
Untuk mengatasi keterbatasan pada ISS maka diciptakanlah New
Injury Severity Score (NISS) oleh Osler et al. NISS merupakan jumlah
kuadrat dari nilai AIS score dari tiga cedera terparah pada pasien tanpa
mempertimbangkan regio tubuh lokasi cedera tersebut (Chawda M N
et al., 2004).
Disebutkan bahwa NISS lebih akurat dalam memprediksi
mortalitas trauma dibandingkan dengan ISS, terutama pada trauma
tajam. Disebutkan juga bahwa NISS lebih baik daripada ISS untuk
memprediksi terjadinya MOF pasca trauma (Chawda M N et al.,
2004).
Sebuah contoh akan lebih dapat menjelaskan perbedaan antara
ISS dan NISS. Misalnya seseorang mengalami kecelakaan sepeda
motor dan mengalami cedera steering-wheel compression pada regio
abdomen. Pada saat operasi laparotomi, awalnya ditemukan small-
bowel perforation (AIS score 3, ISS 9, NISS 9), kemudian ditemukan
juga adanya moderate liver laceration (AIS score 3, ISS 9, NISS 18).
Kemudian ditemukan moderate pancreatic laceration dengan duct
involvement (AIS score 3, ISS 9, NISS 27) serta ditemukan adanya
bladder perforation (AIS score 4, ISS 16, NISS 34). Pada ekstremitas
bawah pasien tersebut didapatkan bimalleolar fibular fracture (AIS
score 2, ISS meningkat menjadi 20, tetapi NISS tetap 34). Hal tersebut
menunjukkan bahwa NISS lebih konsisten dengan naluri dokter bedah
trauma daripada ISS, dimana bila jumlah cedera bertambah maka
seseorang lebih berisiko mengalami kematian, bahkan bila cedera-
cedera tersebut hanya terakumulasi pada satu regio tubuh. Selain itu
adanya cedera yang tidak terlalu parah di regio tubuh yang lain (dalam
kasus ini adalah fibular fracture) tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap risiko untuk mengalami kematian (Chawda M N et al., 2004).
35
NISS dikatakan lebih superior daripada ISS pada kasus trauma
tajam, sedangkan belum terdapat penelitian mengenai perbandingan
antara NISS dengan ISS dalam memprediksi outcome pada pasien yang
mengalami trauma tumpul (Chawda M N et al., 2004).
NISS mempunyai beberapa keterbatasan. Pada NISS, begitu
juga dengan ISS, hanya memperhitungkan data anatomis dan tidak
memperhitungkan data fisiologis, untuk memprediksi outcome pada
pasien. NISS juga memerlukan memerlukan perawat khusus trauma
atau dokter bedah trauma untuk menilai secara akurat dari AIS score
(Chawda M N et al., 2004).
2.2.6 Manajemen trauma
Manajemen cedera diprioritaskan untuk mengobati cedera yang
mengancam nyawa terlebih dahulu, mengikuti urutan ABCDE.
Pengecualian ini adalah korban yang menderita perdarahan perifer. Hal ini
telah menyebabkan pengembangan dari urutan CABC, di mana C
merupakan singkatan untuk bencana perdarahan (Hodgetts, 2002).
Mengancam jiwa, perdarahan eksternal dikendalikan, maka urutan ABC
yang biasa diikuti.
Pada korban dengan obstruksi jalan napas dalam beberapa menit,
mengamankan jalan napas pasien selalu menjadi prioritas. Setelah jalan
napas terbuka, korban harus diberi oksigen dan dipasang ventilasi jika
napas tidak memadai (ATLS, 2004).
Selama manajemen berlangsung, asumsi selalu dibuat dimana
kerusakan servikal dan tulang belakang lumbal thoraco mungkin terjadi.
Stabilitas tulang belakang leher harus dilindungi sampai leher dijamin
bebas dari risiko cedera (Hodgetts, 2006).
1. Primary survey
1) Airway with cervical spine control
Napas dibuka awalnya dengan 'manuver tangan ' angkat
dagu dan dorong rahang, kepala tidak boleh dimanipulasi dan harus
dalam posisi netral. Jika darah, air liur atau muntah ada dalam
36
napas, suction harus digunakan. Jika 'tangan kosong' teknik yang
tidak memadai, saluran udara orofaringeal atau nasofaring (NP)
jalan napas harus hati-hati ditempatkan untuk mencegah aspek
posterior lidah menghalangi faring. NP saluran udara sangat
berguna bagi korban dalam menghalangi saluran udara yang
dipertahankan dari gag refleks untuk menahan orofaringeal, namun
mereka harus digunakan hati-hati pada korban dengan patah tulang
tengkorak basal dengan klinis jelas. Jika manuver ini tidak
berhasil, ada perangkat seperti Laringeal Mask Airway (LMA),
yang dapat dimasukkan ke dalam situasi sulit (Hodgetts, 2002).
Definitif nafas securement dengan intubasi atau
krikotiroidotomi sangat sulit dalam korban terjebak. Tanpa
penggunaan obat bius dan otot relaksan, korban hanya dapat
diintubasi.
Penilaian patensi jalan nafas terjadi dengan cara biasa dimulai
dengan membuka jalan nafas dan mencari bukti obstruksi jalan
nafas. Mungkin juga ada cedera langsung pada area maksilofasial,
laring, atau trakea. Selama manajemen jalan nafas, gerakan yang
berlebihan dari putaran serviks harus dihindari, dan leher harus
diimobilisasi baik dengan peralatan stabilisasi dengan kerah keras,
karung pasir dan selotip atau stabilisasi in-line manual, di mana
asisten memegang kepala dan leher. posisi netral. Ini membatasi
manuver pembukaan jalan napas yang dapat dilakukan untuk
mengangkat dagu dan dorong rahang, dan dapat membuat saluran
udara orofaring lebih sulit untuk dimasukkan. Saluran napas
nasofaring harus dihindari jika ada risiko fraktur tengkorak basal.
Membangun jalan napas definitif
Tanda-tanda obstruksi jalan napas, gangguan pernapasan, atau
perlindungan jalan napas yang tidak adekuat untuk mengurangi
tingkat kesadaran berarti yang diperlukan untuk mengamankan
jalan napas definitif. Membangun jalan napas definitif pada pasien
37
trauma dengan induksi urutan cepat dapat menjadi tantangan.
Setidaknya tiga asisten diperlukan: satu orang untuk
mempertahankan stabilisasi in-line tulang belakang leher, satu
untuk memberikan tekanan krikoid dan peralatan jalan nafas
kepada ahli anestesi, dan satu orang untuk memberikan obat-
obatan. Agen induksi harus dipilih dengan hati-hati; thiopentone
dan propofol harus digunakan dengan hati-hati pada pasien
hipovolemik karena risiko kolaps kardiovaskular, ketamin dapat
meningkatkan tekanan intrakranial (meskipun penelitian lebih
lanjut sedang berlangsung) dan etomidat sekarang dikenal secara
luas sebagai penyebab supresi adrenal. Laringoskopi langsung
dengan pisau Macintosh mungkin sulit karena kurangnya gerakan
leher. Adjuncts seperti bougie dapat menjadi peralatan jalan nafas
yang tak ternilai dan sulit seperti jalan nafas laring intubasi atau
laringoskop tidak langsung seperti Glidescope, McGrath atau
Airtraq, di mana visualisasi pita suara dicapai secara tidak
langsung baik melalui sistem optik atau video, harus disediakan.
Bahkan di tangan operator yang paling terampil, kadang-kadang
mustahil untuk mengintubasi trakea. Dokter anestesi harus
mengingat bor intubasi yang gagal, dan bersiaplah untuk
melakukan jarum cricothyroidotomy jika perlu.
2) Breathing
Dalam praktiknya, pengkajian jalan napas, pernapasan, dan
sirkulasi sering dilakukan secara bersamaan oleh anggota tim
trauma yang berbeda. Semua pasien trauma diberikan oksigen
aliran tinggi dan dipantau dengan oksimetri nadi. Jika gangguan
pernapasan tidak berkurang dengan membersihkan jalan napas,
maka cari etiologi lain dengan:
- Observasi - cari gerakan dada asimetris, segmen flail, luka dada
terbuka, deviasi trakea, dan urat leher buncit.
- Auskultasi - dengarkan gerakan udara di kedua sisi.
38
- Perkusi - perkusi jika ada hiper-resonansi atau dull percussion
notes (mungkin sulit di ruang trauma yang bising).
Tension pneumotoraks ditangani dengan dekompresi jarum
segera di ruang interkostal kedua mid-klavikula, diikuti oleh insersi
drainase dada. Pneumo- dan haemothoraces dikelola dengan
thoracocentesis. Pastikan akses vaskular dengan lubang besar
tersedia sebelum drainase hemotoraks karena kolaps
kardiovaskular dapat terjadi pada saat dekompresi. Cacat terbuka
yang besar pada dinding dada dapat menghisap udara sehingga
menyebabkan pneumotoraks terbuka. Ini dapat dikelola pada
awalnya dengan menerapkan pembalut oklusif steril yang ditempel
di tiga sisi, dan kemudian letakkan drainase dada yang jauh dari
luka sesegera mungkin. Segmen flail menyebabkan hipoksia
melalui nyeri saat bernafas dan kontusio paru yang mendasarinya
dan pasien cenderung memburuk sebelum membaik. Pasien dengan
trauma dada harus dipantau secara ketat dan diberikan analgesia
yang memadai. Harus ada ambang batas rendah untuk intubasi dan
ventilasi.
Setelah jalan napas dibuka dan aman, penilaian pernapasan
korban dibuat. Jika bernapas baik, oksigen diberikan dengan laju
alir 5 L/menit. Jika ada keraguan bahwa pernapasan tidak
memadai, maka ventilasi harus didukung dengan bag-valve-mask
(BVM). Ini harus memiliki reservoir yang melekat dengan oksigen
mengalir dari 15 L / menit. Kecukupan oksigenasi harus dinilai
oleh penilaian klinis seperti warna bibir untuk mendeteksi sianosis,
atau menggunakan pulse oksimetri. Kecukupan ventilasi dapat
dinilai oleh penilaian klinis ekspansi dada dan suara napas, atau
penggunaan elektronik end tidal karbon dioksida (EtCO2) monitor
(Clasper, 2004).
Tidak adanya bunyi nafas menunjukkan pneumothoraks
atau hemothoraks. Sebuah pneumothoraks harus diperbaiki
39
secepatnya karena merupakan cedera yang mengancam jiwa, dan
harus segera didekompresi dengan jarum besar (14 gauge) kanula
intravena melalui interkostal kedua di garis mid – clavicularis pada
sela iga VVI.
Open atau Sucking pneumothoraks harus ditutup dengan
plester pada tiga sisi -sisi keempat terbuka untuk mencegah tension
pneumotoraks berkembang. Ventilasi tekanan positif kemungkinan
untuk mempercepat konversi tension pneumothoraks menjadi
pneumothorax sederhana. Jika korban yang diintubasi dan
berventilasi, dan pneumothoraks dicurigai, simple thoracostomy
dibuat di ruang intercostal 5, anterior garis mid-clavikularis. Hal
ini memungkinkan tension pneumothoraks untuk di dekompresi
3) Circulation with hemorehage control
Syok pada trauma sebagian besar disebabkan oleh
hipovolemia sekunder akibat perdarahan. Syok kardiogenik karena
tamponade mungkin sulit dideteksi secara klinis, tetapi secara
klasik menyebabkan hipotensi, urat leher buncit dan bunyi jantung
yang teredam. Syok neurogenik terjadi akibat gangguan pada jalur
simpatis menurun di sumsum tulang belakang. Hal ini
menyebabkan hilangnya tonus vasomotor dan persarafan simpatis
ke jantung, sehingga menyebabkan hipotensi dan bradikardia. Syok
septik saat masuk jarang terjadi, tetapi mungkin ada jika transfer ke
rumah sakit telah ditunda atau jika rongga peritoneum
terkontaminasi dengan isi usus.
Tanda-tanda klinis syok hipovolemik yang paling dapat
diandalkan adalah periferal yang dingin dan waktu pengisian
kapiler yang tertunda. Takikardia mungkin tidak selalu ada
(misalnya jika pasien menggunakan agen penghambat beta) dan
hipotensi adalah tanda terlambat. Basis defisit dan pengukuran
laktat adalah penanda sensitif untuk memperkirakan dan memantau
tingkat perdarahan dan syok. Akses vaskular dengan lubang besar
40
harus dilakukan; dalam kasus di mana ini sulit, alat penyisipan
intra-osseous untuk orang dewasa mulai populer atau akses
femoral, subklavia atau jugular internal dapat diupayakan.
Pencarian menyeluruh harus dilakukan untuk lokasi perdarahan di
dada, perut, panggul, dan tulang paha, dan sumbernya harus
dikontrol sesegera mungkin. Pemeriksaan sonografi terfokus pada
trauma (FAST) sekarang digunakan di samping tempat tidur di
ruang trauma untuk mendeteksi hemoperitoneum atau tamponade
perikardial. CT scan dapat memberikan pencitraan yang lebih rinci,
tetapi mengharuskan pasien untuk secara hemodinamik stabil
untuk transfer. Kegagalan syok hemoragik untuk merespon
pemberian cairan dan darah di unit gawat darurat merupakan
indikasi untuk intervensi operasi segera. Fraktur panggul yang
tidak stabil yang menyebabkan perdarahan mayor dapat distabilkan
dengan melilitkan selembar panggul sebagai selempang atau
dengan menggunakan pakaian anti kejut pneumatik, dan embolisasi
mungkin diperlukan.
Perdarahan eksternal dikendalikan terutama oleh tekanan
langsung dengan dressing, dan anggota tubuh di elevasi jika
memungkinkan. Metode lain yang digunakan adalah penggunaan
tourniquet, dressintag hemostatik juga dapat digunakan pada setiap
tahap (Hodgetts, 2002).
Torniket tidak dianjurkan dalam perawatan pra-rumah sakit,
karena signifikan menimbulkan risiko komplikasi serius. Tidak
tepat diterapkan torniket dalam perdarahan karena hasil di distal
ekstremitas menjadi iskemia, dan menyebabkan kerusakan tekanan
langsung pada kulit, otot dan saraf. Namun, dengan cedera
ekstremitas dapat mengakibatkan perdarahan (Hodgetts, 2006).
Shock cenderung merupakan hasil dari perdarahan yang
tidak terkendali baik eksternal atau ke internal (dada, perut,
panggul, dan beberapa tulang panjang). Kehilangan cardiac output
41
juga dapat disebabkan oleh tension pneumothorax atau tamponade
jantung. Tamponade jantung paling sering dikaitkan dengan trauma
tembus dada pada garis putting anterior atau scapula posterior.
Shock berat menyebabkan aktivitas listrik pulseless (PEA)
atau henti jantung asystolic merupakan indikasi untuk
thoracostomy bilateral dan atau pembukaan clamshell dada.
Resusitasi adalah usaha dalam memberikan ventilasi yang
adekuat, pemberian oksigen dan curah jantung yang cukup untuk
menyalurkan oksigen kepada otak, jantung dan alat-alat vital
lainnya. Ini adalah prosedur darurat menyelamatkan nyawa yang
dilakukan ketika pernapasan seseorang atau detak jantung telah
berhenti. Hal ini mungkin terjadi setelah sengatan listrik, serangan
jantung, atau tenggelam(Hazinski MF, Samson R, Schexnayder S.
2010). Berdasarkan Advanced Trauma Life Support, Dosis awal
pemberian cairan kristaloid adalah 1000-2000 ml pada dewasa dan
20 mL/kg pada anak dengan tetesan cepat. Pemberian cairan
selanjutnya berdasarkan respon terhadap pemberian cairan awal:
a. Respon cepat
- Pemberian cairan diperlambat sampai kecepatan
maintenance
- Tidak ada indikasi bolus cairan tambahan yang lain atau
pemberian darah
- Pemeriksaan darah dan cross-match tetap dikerjakan
- Konsultasikan pada ahli bedah karena intervensi operatif
mungkin masih diperlukan
b. Respon sementara
- Pemberian cairan tetap dilanjutkan, ditambah dengan
pemberian darah
- Respon terhadap pemberian darah menentukan tindakan
operatif
- Konsultasikan pada ahli bedah
42
c. Tanpa respon
- Konsultasikan pada ahli bedah
- Perlu tindakan operatif sangat segera
- Waspadai kemungkinan syok non hemoragik seperti
tamponade jantung atau kontusio miokard
- Pemasangan CVP dapat membedakan keduanya (ATLS,
2008)
4) Disability and Exposure
Pemeriksaan neurologis yang cepat menentukan tingkat
kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, dan tingkat cedera sumsum
tulang belakang. Glasgow Coma Score (GCS) kurang dari atau
sama dengan 8 adalah indikasi untuk intubasi perlindungan jalan
napas. Bahkan dengan GCS yang lebih tinggi, jika pasien gelisah
dan tidak dapat ditenangkan, intubasi mungkin diperlukan untuk
memungkinkan penyelidikan dan manajemen penanganan. Ingat
bahwa penurunan tingkat kesadaran juga mungkin disebabkan oleh
penurunan oksigenasi dan perfusi cerebral, dan masalah lain seperti
hipoglikemia, keracunan alkohol, atau penyalahgunaan obat.
Pasien harus benar-benar terbuka untuk mengikuti pemeriksaan
tanpa membiarkan hipotermi semakin parah, dan pada stase ini
dimana jika stabil, pasien diposisikan log-rolled (Teknik yang
digunakan untuk memiringkan klien yang badannya setiap saat
dijaga pada posisi lurus sejajar seperti sebuah batang kayu) untuk
pemeriksaan punggung dan kolom vertebral dan pemindahan
spinal transport board.
43
tidak terpenuhi maka pembersihan lebih bermasalah, dan risiko
kehilangan cedera yang signifikan pada koma, pasien poltrauma di
ICU harus ditimbang terhadap morbiditas dan mortalitas tindakan
pencegahan tulang belakang dalam hal ulserasi kulit, pneumonia
dan sepsis. Sebagian besar pusat trauma sekarang melakukan CT
scan leher, dan risiko kehilangan cedera tulang belakang leher yang
tidak stabil dengan pemindai modern kurang dari 0,5%. MRI
memiliki sensitivitas yang lebih tinggi untuk ketidakstabilan
ligamen, tetapi memiliki spesifisitas yang rendah. Sebagian besar
rumah sakit sekarang memiliki protokol sendiri untuk prosedur
dalam situasi ini. The Intensive Care Society menyarankan bahwa
tulang belakang dapat dibersihkan berdasarkan CT saja, dan yang
tidak dianggap penting untuk secara rutin melakukan MRI untuk
menyingkirkan cedera ligamen
2. Secondary survey
Survei sekunder adalah pemeriksaan secara rinci, evaluasi head-to-
toe untuk mengidentifikasi semua cedera yang tidak dijumpai di
primary survey. Ini terjadi setelah survei primer selesai, jika pasien
cukup stabil dan tidak membutuhkan perawatan definitif
(JRCALC,2008). Sangat membantu untuk menentukan prioritas untuk
evaluasi dan manajemen lanjutan. Ini harus dilakukan setelah survei
utama, dan stabilisasi awal selesai. Tujuan dari survei sekunder adalah
untuk memperoleh data historis terkait tentang pasien dan cederanya,
serta untuk mengevaluasi dan mengobati cedera yang tidak ditemukan
selama survei primer. Survei tidak boleh dilakukan sampai:
- Survei utama telah selesai
- Resusitasi telah dimulai
- Normalisasi tanda-tanda vital telah dimulai.
Pentingnya survei sekunder adalah bahwa luka ringan dapat
ditemukan selama survei primer dan resusitasi, tapi menyebabkan
44
jangka panjang morbiditas jika diabaikan, misalnya dislokasi sendi
kecil. Komponen dari survei sekunder adalah:
- Riwayat cedera
- Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan neurologis
- Tes diagnostik lebih lanjut
- Evaluasi ulang
Pasien yang secara hemodinamik tidak stabil harus distabilkan
sebelum dipindahkan ke ruang operasi atau ruang angiografi, kecuali
jika mereka perlu dipindahkan ke pusat trauma yang ditunjuk negara.
Upaya harus dilakukan untuk mendapatkan riwayat pasien mengenai
mekanisme cedera, karena mekanisme tertentu dapat meningkatkan
kecurigaan untuk cedera tertentu seperti:
- Trauma tumpul (penggunaan sabuk pengaman, penyebaran
kantung udara, tingkat kerusakan pada mobil, ejeksi, dan jarak
yang dikeluarkan)
- Trauma tembus (yang senjata api dan berapa banyak suara
tembakan).
2.2.7 Pemeriksaan Fisik
1) Pemeriksaan kepala dan wajah
Periksa kepala untuk mengetahui hematoma kulit kepala,
depresi tengkorak, atau laserasi. Kulit kepala harus diraba, karena
laserasi kulit kepala atau step-off tulang hanya dapat diidentifikasi
dengan palpasi yang cermat. No nasogastric tube (NG) harus
dimasukkan jika ada trauma wajah atau bukti fraktur tengkorak
basilar. Selain itu, telinga harus dievaluasi untuk hemotympanum
atau ecchymosis retro-auricular (tanda Pertempuran). Adanya
darah atau drainase yang jernih dari saluran telinga menunjukkan
fraktur tengkorak basilar dengan kebocoran serebrospinal (CSF).
45
Ukuran dan respons pupil, serta gerakan mata, harus dinilai.
Pemeriksaan mata juga harus mencakup mobilitas mata / jebakan,
atau ekiorosis periorbital (mata rakun).
2) Pemeriksaan leher
Leher harus diperiksa dan diraba dengan cermat. Hati-hati
karena cedera di bawah kerah keras mungkin tidak jelas.
Diasumsikan bahwa setiap pasien dengan trauma tumpul mungkin
mengalami cedera pada tulang belakang leher, sampai terbukti
sebaliknya. C-spine dapat dibersihkan baik secara klinis dengan
menerapkan aturan keputusan, atau dengan mendapatkan studi
pencitraan, seperti foto polos atau CT scan.
3) Pemeriksaan dada
Palpasi seluruh dinding dada untuk krepitus (emfisema
subkutan) dan nyeri tekan. Area di atas sternum dan klavikula
membutuhkan perhatian khusus karena fraktur yang melibatkan
tulang ini mungkin menunjukkan kekuatan yang signifikan dan
perlu evaluasi lebih lanjut untuk cedera intratoraks lain. Kaji setiap
upaya pernapasan dan bekerjalah saat bernafas. Evaluasi apakah
bunyi napas simetris dan bunyi jantung normal dan tidak teredam
4) Pemeriksaan perut
Perut harus diperiksa untuk distensi, bising usus, memar
atau nyeri tekan. Kehadiran temuan ini membutuhkan evaluasi
lebih lanjut. Juga, adanya tanda sabuk pengaman atau tanda lain ke
perut harus mendorong evaluasi lebih lanjut. Penting untuk diingat
bahwa tidak adanya kelembutan perut tidak menghilangkan
kemungkinan cedera perut. Selain itu, pemeriksaan perut mungkin
tidak dapat diandalkan dalam kasus-kasus berikut:
- Populasi lansia
- Adanya cedera yang mengganggu
- Kondisi mental yang berubah
- Pasien hamil, terutama kehamilan lanjut
46
- Pemeriksaan rektum dan genitalia.
Perineum harus diperiksa jika ada bukti cedera. Pemeriksaan
rektal digital harus dilakukan ketika ada kecurigaan cedera uretra
atau menembus cedera rektum. Seperti:
- Darah kotor di ruang dubur, yang mungkin mengindikasikan
cedera usus
- Prostat yang mengungsi atau berkuda, yang mungkin
menunjukkan cedera uretra
- Nada sfingter abnormal, yang mungkin disebabkan oleh cedera
tulang belakang.
Jika ada darah di meatus, cedera uretra harus dicurigai. Dalam
situasi ini, urethrography retrograde harus dilakukan sebelum
kateter Foley dimasukkan.Pertimbangkan cedera vagina pada
pasien dengan nyeri perut bagian bawah, fraktur panggul, atau
laserasi perineum. Dalam situasi seperti itu, pemeriksaan vagina
harus dilakukan.
5) Pemeriksaan ekstremitas
Ekstremitas harus dinilai untuk fraktur dengan meraba
setiap ekstremitas secara hati-hati pada seluruh panjangnya untuk
nyeri tekan dan mengurangi rentang gerak. Nilai integritas sendi
yang tidak terluka oleh gerakan aktif dan pasif. Sendi yang tidak
terluka harus diimobilisasi, dan radiografi harus diperoleh. Sendi
yang terluka juga harus diimobilisasi, dan radiografi harus
diperoleh.
Status neurovaskular setiap ekstremitas harus dinilai dan
didokumentasikan. Periksa pulsa, waktu pengisian kapiler dan
evaluasi setiap kompartemen. Adanya kompartemen nyeri atau
tegang yang signifikan. Nyeri dengan gerakan pasif dapat
mengindikasikan perkembangan sindrom kompartemen.
6) Pemeriksaan panggul
47
Pubis dan duri iliaka anterior harus dievaluasi untuk tanda-
tanda ketidakstabilan panggul. Kehadiran ekimosis di atas sayap
iliaka, pubis, labia, atau skrotum dan nyeri tekan di sepanjang
cincin panggul juga, membutuhkan evaluasi diagnostik.
7) Pemeriksaan kulit
Pemeriksaan ini harus mencakup lokasi laserasi, lecet,
ekimosis, hematoma, tanda atau memar. Perhatikan daerah kulit
kepala, lipatan perut dan gluteal aksila, perineum, punggung harus
dievaluasi dengan menggulung log pasien, dan tulang belakang
harus dipalpasi untuk step-off atau kelembutan fokus.
48
7. Pemeriksaan CFS, lumbal pungsi: dapat dilakukan jika diduga terjadi
perdarahan subarachnoid.
8. Kadar elektrolit, untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai
peningkatan tekanan intrakranial.
9. Skrining toksikologi, untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga
menyebabkan penurunan kesadaran.
10. Analisa Gas Darah (AGD), adalah salah satu tes diagnostik untuk
menentukan status respirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan
melalui pemeriksaan AGD ini adalah status oksigenasi dan status asam
basa.
49
kinematika, kajian kinetika lebih sulit untuk diamati, pada kajian kinetik yang
terlihat adalah akibat dari gaya.
B. Manfaat
- perancangan peralatan
- perancangan layout kendali mesin & stasiun kerja
- perancangan tempat duduk kerja
- acuan batas kemempuan pada material handling
- kriteria seleksi pekerja dan pelatihan
D. Mekanisme Trauma
50
dari belakang. Tabrakan dari belakang biasanya kehilangan kesadaran sebelum
tabrakan dan sebagainya. Anamnesis yang berhubungan dengan fase ini
meliputi : a. Tipe kejadian trauma, misalnya : tabrakan kendaraan bermotor,
jatuh atau trauma / luka tembus.b. Perkiraan intensitas energi yang terjadi
misalnya : kecepatan kendaraan, ketinggian dari tempat jatuh, kaliber atau
ukuran senjata. c. Jenis tabrakan atau benturan yang terjadi pada penderita :
mobil, pohon, pisau dan lain - lain.
2.4 Ergonomi
a. Definisi Ergonomi
Ergonomi berasal dari bahasa yunani yaitu Ergon (kerja) dan Nomos
(hokum alam) maksudnya adalah ergonomic merupakan suatu cabang ilmu
yang sistematis untuk memanfaatkan informasi-informasi mengenai sifat,
kemampuan dan keterbatasan manusia untuk merancang suatu system kerja
sehingga orang dapat hidup dan bekerja dalam system itu dengan baik, yaitu
mencapai tujuan yang diinginkan melalui pekerjaan itu dengan efektif, aman,
dan nyaman. Ergonomic berkenaan juga dengan optimasi, efisiansi, kesehatan,
keselamatan dan kenyamanan manusia di tempat kerja, di rumah dan di tempat
rekreasi.
Dalam ilmu ergonomi dikenal jargon “Fitting the Task to the Person
and Fitting The Person To The Task”, yang berarti penyesuaian pekerjanya dan
penyesuaian pekerja dengan pekerjaannya, dimana sebuah system kerja yang
mengatur sedemikian rupa agar pekerja merasa aman dan nyaman dalam
bekerja.
b. Hal-hal yang dipelajari dalam ilmu ergonomi
1) Lingkungan kerja meliputi kebersihan, tata letak, suhu, pencahayaan,
sirkulasi udara, desain peralatan dan lainnya
2) Persyaratan fisik dan psikologis (mental) pekerja untuk melakukan sebuah
pekerjaan: pendidikan,postur badan, pengalaman kerja, umur dan lainnya
3) Bahan-bahan/peralatan kerja yang berisiko menimbulkan kecelakaan kerja:
pisau, palu, barang pecah belah, zat kimia dan lainnya
4) Interaksi antara pekerja dengan peralatan kerja: kenyamanan kerja,
kesehatan dan keselamatan kerja, kesesuaian ukuran alat kerja dengan
pekerja, standar operasional prosedur dan lainnya
51
4) Meningkatkan produktivitas dan upaya untuk menciptakan kesesuaian
antara kemampuan pekerja dan persyaratan kerja.
5) Membangun pengetahuan dasar guna mendorong pekerja untuk
meningkatkan produktivitas.
6) Mencegah dan mengurangi resiko timbulnya penyakit akibat kerja
7) Meningkatkan faktor keselamatan kerja
8) Meningkatkan keuntungan, pendapatan, kesehatan dan kesejahteraan
untuk individu dan institusi
52
c. Jenis-jenis transportasi
1) Transportasi Gawat Darurat:
Setelah penderita diletakan diatas tandu (atau Long Spine Board bila
diduga patah tulang belakang) penderita dapat diangkut ke rumah sakit.
Sepanjang perjalanan dilakukan Survey Primer, Resusitasi jika perlu.
Tulang yang paling kuat ditubuh manusia adalah tulang panjang dan yang
paling kuat diantaranya adalah tulang paha (femur). Otot-otot yang beraksi
pada tulang tersebut juga paling kuat. Dengan demikian maka
pengangkatan harus dilakukan dengan tenaga terutama pada paha dan
bukan dengan membungkuk angkatlah dengan paha, bukan dengan
punggung. Panduan dalam mengangkat penderita gawat darurat.
a. Kenali kemampuan diri dan kemampuan pasangan kita.
b. Diangkat secara bersama dan bila merasa tidak mampu jangan
dipaksakan
c. Ke-dua kaki berjarak sebahu kita, satu kaki sedikit didepan kaki
sedikit sebelahnya
d. Berjongkok, jangan membungkuk, saat mengangkat
e. Tangan yang memegang menghadap kedepan
f. Tubuh sedekat mungkin ke beban yang harus diangkat. Bila terpaksa
jarak maksimal tangan dengan tubuh kita adalah 50 cm
g. Jangan memutar tubuh saat mengangkat
h. Panduan diatas berlaku juga saat menarik atau mendorong penderita
Pasien kritis adalah pasien dengan disfungsi atau gagal pada satu
atau lebih sistem tubuh, tergantung pada penggunaan peralatan monitoring
dan terapi.
Transport intra hospital pasien kritis harus mengikuti beberapa aturan,
yaitu:
a. Koordinasi sebelum transport
Informasi bahwa area tempat pasien akan dipindahkan telah siap
untuk menerima pasien tersebut serta membuat rencana terapi
Dokter yang bertugas harus menemani pasien dan komunikasi antar
dokter dan perawat juga harus terjalin mengenai situasi medis pasien
Tuliskan dalam rekam medis kejadian yang berlangsung selama
transport dan evaluasi kondisi pasien
53
Salah satu profesional adalah perawat yang bertugas, dengan
pengalaman CPR atau khusus terlatih pada transport pasien kondisi
kritis
Profesioanl kedua dapat dokter atau perawat. Seorang dokter harus
menemanipasien dengan instabilitas fisiologik dan pasien yang
membutuhkan urgent action
54
2) Tandu Sekop (Scoop Stretcher)
55
b) Memindahkan pasien dengan tarikan Selimut atau alas
1) Atur brankar dalam posisi terkunci pada tiap sisinya dan dekatkan dan
sejajarkan dengan tempat tidur atau brankar atau stretcher yang akan
digunakan selanutnya.
2) Satu perawat berada disisi tempat tidur, sedangkan posisi dua perawat
yang lain di samping brankar
3) Gunakan pengalas dibawah tubuh klien untuk media mengangkat dapat
berupa selimut maupun alas brankar
4) Silangkan tangan pasien didepan dada untuk mencegah terjepit
5) Perawat yang berada di sisi tempat tidur siap memegang dan mendorong
pasien
6) Dua perawat lain yang berada di samping brankart memulai aba-aba
secara bersamaan dan mengangkat/ menarik pengalas di bawah tubuh
pasien dan pasien hingga mencapai tempat tidur satunya. Apabila pasien
dalam kondisi cedera berat ataupun fraktur yang luas maupun memiliki
bobot tubuh yang sedikit berlebih anjurkan minimal terdapat 4 perawat
yang masing-masing berada pada sisi kepala, samping kanan kiri dan
kaki.
7) Jauhkan brankar
8) Baringkan pasien ke kiri atau kanan dan tarik pengalas atau selimut.
9) Atur posisi pasien hingga merasa nyaman.
56
4.Memfasilitasi fisioterapi dada dan lain-lain.
Sedikitnya empat orang penolong dibutuhkan untuk membantu dalam
prosedur log roll dengan tugas sebagai berikut:
1.Satu penolong untuk menahan kepala klien
2.Dua penolong untuk menahan dada, abdomen dan lengan bawah.
Tambahan satu orang mungkin juga akan dibutuhkan pada saat
melakukan log roll klien trauma yang gemuk, tinggi atau memiliki cedera
pada lengan bawah.
3.Satu penolong melakukan prosedur yang dibutuhkan (misalnya
pengkajian tulang belakang klien).
Langkah-langkah Log roll
1. Jelaskan prosedur pada pasien dengan mempertimbangkan status
kesadaran klien dan minta klien untuk tetap berbaring dan menunggu
bantuan. Pastikan colar terpasang dengan benar.
2. Jika mungkin, pastikan peralatan seperti kateter indwelling, kateter
interkosta, ventilator tube dan lain-lain pada posisinya untuk mencegah
overekstensi dan kemungkian tertarik keluar selama perubahan posisi.
3. Jika klien diintubasi atau terpasang tracheostomy tube, suction jalan
nafas sebelum log roll dianjurkan, untuk mencegah batuk yang mugkin
menyebabkan malalignment secra anatomis selama prosedur log roll.
4. Tempat tidur harus diposisikan sesuai tinggi badan penolong yang
menahan kepala dan penolong lainnya.
5. Klien harus dalam posisi supine dan alignment secara anatomis selama
prosedur log roll.
6. Tangan proksimal klien harus diaduksi sedikit untuk menghindari
berpindah ke peralatan monitor misalnya selang intravena perifer.
Tangan distal klien harus diekstensikan dengan alignment pada thorak
dan abdomen, atau tekuk kearah dada klien jika mungkin misalnya jika
tangan cedera. Satu bantal harus ditepatkan diantara kaki-kaki klien.
7. Penolong 1, bantu menahan bagian atas badan klien, tempatkan satu
tangan melampaui bahu klien untuk menopang area dada posterior, dan
tangan yang lain melingkari paha klien.
8. Penolong 2, bantu menahan abdomen dan tangan bawah klien,
bertumpuk dengan penolong 1 untuk menempatkan satu tangan di
bawah punggung klien, dan tangan lainnya melingkari betis klien.
9. Dengan aba-aba dari penolong panahan kepala, klien diputar secara
alignment anatomis denga tindakan yang lembut.
10. Penyelesaian aktivitas, penolong penahan kepala akan memberi aba-aba
untuk mengembalikan klien pada posisi lateral dengan bantal penahan.
57
Klien harus ditingggalkan dalam posisi alignment anatomis yang benar
setiap waktu.
BAB 3
PEMBAHASAN
Keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa
akut atau kronik tergantung lamanya serangan.
2 . Riwayat penyakit
a . Riwayat Penyakit Sekarang
Dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang dapat
membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Bisa berupa
kronologi terjadinya penyakit sehingga bisa ditentukan kekuatan yang
terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.
b. Riwayat Penyakit Dahulu
Dilakukan untuk menentukan kemungkinan penyebab fraktur danmemberi
petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.Penyakit tertentu
58
seperti paget’s atau Ca tulang yang menyebabkan fraktur patologis yang sering
sulit untuk disambung. Selain itu penyakit diabetes dengan luka di kaki
sangat beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronis dan
menghambat proses penyembuhan tulang.
c. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,dan
kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
3. Pemeriksaan Fisik(Review of Systems)
a. B1 – Breath (Pernafasan)
Memperhatikan pola nafas klien. Pola nafas yang cepat dan ireguler
mengindikasikan klien merasakan nyeri pada angota bagian tubuhnya.
b. B2 – Blood (Kardiovaskuler)
Memperhatikan irama dan frekuensi denyut jantung,
reguler/ireguler.Perabaan denyut nadi perifer untuk mengindikasikan
kemungkinan adanya perdarahan didalam dekat jaringan yang mengalami
fraktur,sehingga nadi teraba cepat namun lemah.
c. B3 – Brain (Kesadaran)
Tingkat kesadaran klien dapat dikaji lewat pertanyaan-pertanyaan seperti
nama dan alamat klien, dan menentukan nilai GCS klien.
d. B4 – Bladder (Perkemihan)
Memeriksa jumlah, warna, dan karaktersitik urine. Ada atau tidaknya
distensi kandung kemih.
e. B5 – Bowel (Pencernaan)
Penilaian pada rongga mulut, adatidaknya lesi pada mul ut atau
perubahan pada lidah menunjukkan adanya dehidrasi. Ada atau tidaknya
bising usus. Ada atau tidaknya distensi abdomen.
f. B6 – Bone (Muskuloskeletal)
Perhatikan warna kulit, suhu, kelembaban, dan turgor kulit. Kebiruan
menunjukkan adanya sianosis, kemerahan menunjukkan adanya infeksi
59
atau perdarahan. Warna kulit pucat menandakan klien memiliki kadar
Hemoglobin (Hb) yang rendah. Mengkaji rentang gerak dan kekuatan ekstremitas
klien, dan juga melihat integritas atau keutuhan kulit klien.
3.1.2 Diagnosa Keperawatan
60
b. Nyeri b/d spasme otot, pergerakan fragmen tulang, edema, traksi / imobilisasi karena
penggunaan alat, stress dan kecemasan
Kriteria Hasil:
1 ) K l i e n m a m p u m e m a h a m i p e n ye b a b n y e r i ,
2 ) K l i e n m a m p u m e n g o n t r o l n ye r i
3)Tanda-tanda vital dalam rentang normal.
Rencana tindakan:
1 ) L a k u k a n i m o b i l i s a s i ( bed-rest , gips, bidai dan traksi) untuk
mengurangi nyeri dan mencegah perubahan posisi tulang serta luka pada
jaringan.
2)Tinggikan dan sangga daerah luka.
3)Tinggikan bagian depan tempat tidur.
4)Anjurkan klien untuk menggunakan teknik relaksasi nafa s dalam.
5)Lakukan latihan range of motion untuk mempertahankan
kemampuan otot dan menghindari pembengkakan pada jaringan yang luka.
c.Resiko terjadi gangguan integritas kulit/jaringan
b / d compound fracture, pemasangan traksi, gangguan sensasi, sirkulasi dan
imobilisasi fisik.
Rencana tindakan:
1)Periksa kulit sekitar luka apakah ada kemerahan, perdarahan atau
perubahan warna kulit.
2)Masase kulit dan tempat yang menonjol, menjaga alat tenun tetap
kering, memberikan alas yang lembut pada siku dan tumit.
3)Ubah posisi selang-seling sesuai indikasi.
61
perencana dan pelaksana asuhan keperawatan yaitu memberikan pelayanan
perawatan dengan menggunakan proses keperawatan.
3.1.6 KASUS
62
mengatakan merasa nyeri pada bagian kepala dan lengan dengan VAS 4 (skala 1–
10).
Pengkajian
1. Identitas Klien
Tn. S mengalami kecelakaan lalu lintas sepeda motor – bus sekitar 1 jam
yang lalu (pukul 10:00 WIB). Klien dibawa ke IGD RSUD Cikampek oleh warga
sekitar. Klien mengatakan sebelumnya hendak pergi ke kota Bogor, namun
diperjalanan tiba-tiba mengantuk dan bertabrakan dengan bus dari arah
berlawanan. Didapatkan hasil TTV: Tekanan darah 130/90 mmHg, Nadi
90x/menit, Suhu 36,70 C, RR 24x/menit, dan GCS e3 v5 m6 (total 14), TB 170
cm, BB 70kg. Pada hasil pemeriksaan fisik ditemukan luka robekan di pelipis
kanan ±4 cm dan pada jari telunjuk tangan kiri ± 4 cm dengan kedalaman ± 0,5 cm. Terdapat
perdarahan pada luka robekan.terdapat bengkak berwarna merah kebiruan pada kulit
sekitar luka. Klien mengatakan merasa nyeri pada bagian kepala dan lengan
dengan VAS 4 (skala 1– 10).
3. Pemeriksaan Tanda-tanda Vital
Primary Survey
Waktu kedatangan : klien Transportasi : Klien dibawa Kondisi datang :
datang ke IGD pada pukul ke IGD menggunakan Klien datang dengan
11:00 WIB ambulance kondisi adanya
63
perdarahan pada luka
robekan terdapat
bengkak berwarna
merah kebiruan pada
kulit sekitar luka.
Klien mengatakan
merasa nyeri pada
bagian kepala dan
lengan dengan VAS 4
(skala 1– 10)
Tindakan Pre Hospital : Klien diberikan O2 dan infus RL
TRIAGE
Kesadaran Kategori Triage : Klasifikasi Kasus
Onset/awal kejadian: klien mengatakan nyeri itu Faktor yg meringankan: tidak ada
dirasakan ketika mengalami kecelakaan pukul 10:00
WIB
Tindakan yang telah dilakukan sebelum ke RS:
Diberikan O2 dan cairan infus
Lokasi: nyeri dirasakan pada bagian kepala dan lengan
bagian kiri
Faktor Pencetus: klien mengalami kecelakaan
lalu lintas
Durasi: nyeri dirasakan setiap 3 menit sekali
64
: 130/90 mmHg menit : 24 x/menit Lokasi :...........
AIRWAY CIRCULATION
Membran
BREATHING
mukosa : Sianosis Jaundice Normal
simetris asimetri,
< 2 Dtk > 2Dtk
Pergerakan dada :
CRT :
Irama pernapasan : Reguler Ireguler
Suara napas tambahan : tidak ada Turgor kulit : Baik sedang jelek
SPO2 90% Edema :
Adanya edema berwarna merah kebiruan disekitar
luka
Secondary Survey
65
Diagram Tubuh : PEMERIKSAAN HEAD TO TOE
Kepala leher, thoraks, abdomen, Genitourinaria
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Skull COR
Tindak lanjut
66
ANALISA DATA
Data Etiologi Masalah
Keperawatan
Ds: Kecelakaan lalu lintas Nyeri Akut
- Klien mengatakan
bahwa ia hendak Trauma Jaringan Tubuh
menuju kota
Bogor dan tiba- Terputusnya kontinuitas
jaringan
tiba tertabrak bus
dari arah
Pelepasan mediator-mediator
berlawanan nyeri(prostaglandin,sitokinin,
Do: neurotrofin,serotonin,
adenosin,cannabinoid,
- Terdapat luka histamin,leukotrin, dan kinin)
robekan di pelipis
kanan ±4 cm dan Hantaran impuls nyeri ke
pada jari telunjuk sistem syaraf pusat
tangan kiri ± 4 cm
dengan kedalaman ± Respon nyeri
0,5 cm.
- nyeri pada bagian Nyeri
kepala dan lengan
dengan VAS 4
(skala 1– 10).
INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan: Nyeri akut berhubungan dengan agens cedera fisik
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan asuhan keperawatan selama 1x24 jam, nyeri
yang dirasakan klien berkurang.
67
NOC NIC
1. Klien dapat mengenali kapan 1. Lakukan pengkajian nyeri
terjadinya nyeri secara komprehensif yang meliputi
konsisten (5) lokasi, karakteristik, onset /
2. Klien dapat melakukan tindakan durasi, frekuensi, kualitas,
pencegahan nyeri intensitas atau beratnya nyeri
3. Pemberian analgesic yang dan faktor pencetus
direkomendasikan untuk 2. Ajarkan prinsip-prinsip
mengurangi nyeri manajemen nyeri
4. V A S n y e r i turun menjadi 3. Pilih dan implementasikan
1-2 (skala 1-10) tindakan yang beragam
(misalnya, farmakologi,
nonfarmakologi, interpersonal)
untuk memfasilitasi penurunan
nyeri, sesuai dengan kebutuhan
4. Berikan individu penurun nyeri
sesuai dengan peresepan
analgesic
5. Anjurkan klien untuk melakukan
pemeriksaanrontgen daerah
kepala dan bagian tubuh lain
yangtampak mengalami
deformitas, curiga memar
CF,atau teraba nyeri.
68
menabrak motor Nn.A. Motor beserta pengendara terseret sejauh 10
meter.Banyak darah yang keluar dari kaki kanan dan tampak tulang femur
terpisah dari fragmennya dan Nn. A mengalami fraktur bagian lengan tangan
atas sebelah kanan. Kondisi Nn.A tidak sadarkan diri ditempat kejadian.
Nn.A kemudian langsung dibawa ke UGD rumah sakit terdekat. Kondisi
Nn.A setibanya di rumah sakit didapatkan data RR : 30 x/menit, TD : 140/90
mmHg, N : 130 x/menit, suhu 37,5oCakral dingin dan basah, CRT 3 detik,
pucat pada wajah, GCS 111, luka lecet tersebar luas di muka, tangan, dan
punggung. Hasil pemeriksaan gas darah menunjukkan pH 7,45; BE -1; HCO3
22, PaO2 45 mmHg, PaCO2 50 mmHg, pemeriksaan darah lengkap
dihasilkan leukosit 7.000, trombosit 100.000, Hb 10, albumin 4, BUN 45 &
Cr serum 3.
PENGKAJIAN
1. Anamnesa
a. Identitas Klien
Nama : Nn.A
Umur : 25 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Bangsa / suku : Indonesia / Jawa
Pendidikan : S1
Pekerjaan : Swasta
Status Perkawinan : lajang
Alamat : Jl. Anggrek, Surabaya
No. RM : 690415
b. Keluhan Utama
Klien tidak sadarkan diri dan terbaring lemas
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Nn.A mengalami kecelakaan lalu lintas saat akan menuju ke kantor
tempat kerjanya dengan mengendarai motor. Nn.A ditabrak oleh tangki
69
pembawa BBM. Motor beserta pengendara terseret sejauh 10 meter.
Nn.A mengalami open fraktur pada femur dextra dan close fraktur pada
lengan atas dextra. Kondisi Nn.A tidak sadarkan diri ditempat kejadian
lalu segera dibawa ke UGD.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Klien tidak memiliki riwayat penyakit
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Ayah dari klien menderita hipertensi dan punya riwayat stroke ringan,
sedangkan ibunya menderita diabetes tipe 2.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Primary Survey
1) Airway
L = Look/Pergerakan dada simetris, adanya penggunaan otot bantu
pernafasan
L = Listen/Bernapas dengan cepat
F = Feel/ Aliran udara (hembusan) terasa lemah
2) Breathing
RR 30x/menit
3) Circulation
TD: 140/90, Suhu: 37,5,RR: 30 x/mnt, Nadi 130 x/mnt regular, CRT 3
detik, akral dingin dan basah, wajah pucat.
4) Disability
A (Allert) :Klien tidak sadar
Total Skor GCS dari klien adalah 3
E1 – tidak ada respon
M1 – Tidak ada respon
V1– Tidak ada respon
5) Exposure of extermitas
Luka lecet tersebar luas di muka, tangan, dan punggung. OF femur
dextra. CF lengan atas dextra
70
b. Secondary survey
A : Klien tidak memiliki riwayat Alergi
M : Klien tidak mengkonsumsi obat-obatan
P : Klien tidak pernah menderita penyakit sebelumnya.
L :Sebelum kejadian, sempat sarapan bubur ayam dan tidak
mengkonsumsi obat-obatan. Saat ini klien sedang menstruasi hari
ke 4.
E : Klien akan berangkat ke kantor tempat kerjanya dan mengalami
kecelakaan saat melewati lampu merah perempatan jalan.
c. Pemeriksaan Review of System (ROS)
a) B1 (breathing) : RR 30x/menit, tidak ada tanda sesak, pergerakan
dada simetris, adanya penggunaan otot bantu pernafasan
b) B2 (blood) : TD: 140/90, Suhu: 37,5, RR: 30 x/mnt, Nadi 130
x/mnt regular, CRT 3 detik, akral dingin dan basah, wajah pucat,
klien menstruasi hari ke-4.
c) B3 (brain) : Penurunan kesadaran, GCS 3.
d) B4 (bladder) : Perut simetris, tidak ada jejas, warna urine kuning,
keluaran urin sedikit 200cc/8 jam
e) B5 (bowel) : bising usus +, tidak ada benjolan, perabaan massa
tidak ada, asites ( - ).
f) B6 (bone) : Luka lecet tersebar luas di muka, tangan, dan
punggung OF femur dextra CF lengan atas dextra.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. BGA menunjukkan pH 7,45; BE -1; HCO3 22, PaO2 45 mmHg, PaCO2
50 mmHg
b. Pemeriksaan darah lengkap dihasilkan leukosit 7.000, trombosit 100.000,
Hb 10, albumin 4, BUN 45 & Cr serum 3.
71
ANALISA DATA
No. Data Etiologi Masalah
Keperawatan
1. DS:- Open fraktur tulang femur Defisit volume
DO:Darah banyak keluar dari ↓ cairan
arteri femoralis, TD: 140/90, Trauma jaringan disekitar
Suhu: 37,5, RR: 30 x/mnt, Nadi ↓
130 x/mnt regular, CRT 3 detik, Kerusakan vaskuler (arteri
akral dingin dan basah, wajah femoralis)
pucat,keluaran urin sedikit ↓
200cc/8 jam, Hb 10 Perdarahan banyak
↓
Volume cairan dalam tubuh
menurun
2. DS:- Perdarahan banyak Ketidakefektifan
DO:RR 30x/menit, tidak ada ↓ pola napas
tanda sesak, pergerakan dada CO menurun
simetris, adanya penggunaan ↓
otot bantu pernafasan Suplai darah dan O2 ke otak
BGA menunjukkan pH 7,45; BE menurun
-1; HCO3 22, PaO2 45 mmHg, ↓
PaCO2 50 mmHg Kerusakan sel otak
↓
Depresi pusat pernapasan di
batang otak
↓
Pola napas tidak efektif
3. DS:- Perdarahan banyak Resiko
DO: penurunan kesadaran, GCS ↓ ketidakefektifan
3. CO menurun perfusi jaringan
72
Pemeriksaan darah lengkap ↓ serebral
dihasilkan, Hb 10. Suplai darah dan O2 ke otak
menurun
↓
Gangguan metabolisme
↓
Produksi asam laktat
meningkat
↓
Edema serebral
↓
Resiko ketidakefektifan
perfusi jaringan serebral
4. DS:- Kerusakan fragmen tulang Hambatan
DO: Tampak tulang femur ↓ mobilitas fisik
terpisah dari fragmennya (OF Pergeseran tulang
femur dextra) ↓
Fraktur bagian lengan tangan Deformitas
sebelah kanan ↓
Ekstremitas tidak dapat
berfungsi dengan baik
↓
Hambatan mobilitas fisik
5. DS:- Open fraktur tulang femur Resiko infeksi
DO:Luka lecet tersebar luas di ↓
muka, tangan, dan punggung, Diskontinuitas jaringan
terdapat open fraktur femur ↓
dextra Port de entry kuman
↓
Resiko Infeksi
73
INTERVENSI KEPERAWATAN
No. Diagnosa NOC NIC
1 Defisit volume NOC: Keseimbangan NIC: Pengurangan
cairan b.d Cairan perdarahan
kehilangan volume
cairan secara aktif Setelah dilakukan Intervensi:
(perdarahan) tindakan keperawatan - Beri penekanan
selama 3x24 jam deficit atau balutan pada
volume cairan teratasi area luka
dengan kriteria hasil: - Monitor jumlah
- TD, nadi, suhu dan sifat
tubuh dalam kehilangan darah
batas normal - Monitor ukuran
- Jumlah dan irama dan karakter
pernafasan dalam hematoma
batas normal - Monitor
- Elektrolit, Hb, kecenferungan
Hmt dalam batas dalam tekanan
normal darah serta
- pH urin dalam parameter
batas normal hemodinamik
- Intake intravena - Monitor status
adekuat cairan
- Monitor tinjauan
koagulasi
- Monitor penentu
dari jaringan
pelepasan oksigen
- Atur kesediaan
produk-produk
darah untuk
74
transfuse
- Pertahankan
kepatenan akses
IV
- Lakukan hematest
semua kotoran dan
drainase luka
dengan tepat
75
- Tidak ada nafas, catat area
pernafasan yang ventilasinya
cuping hidung menutun
- Volume tidal - Regulasi asupan
dalam batas cairan untuk
normal mengoptimalkan
keseimbangan
cairan
- Monitor status
pernafasan dan
oksigenasi
76
tidak ada pernafasan
- Berikan sedasi jika
perlu
77
selama 3x24 jam resiko tana dan gejala
infeksi dapat teratasi infeksi
dengan kriteria hasil: - Monitor WBC dan
- Luka tidak asil-hasil
berbau diferensial
- Suhu tubuh stabil - Pertahankan
(dalam batas asepsis
normal) - Berikan perawatan
- Leukosit dalam kulit yang tepat
batas normal untuk area luka
- Beri asupan cairan
yang tepat
- Gunakan antibiotic
sesuai petunjuk
dokter
- Lakukan
perawatan luka
78
DAFTAR PUSTAKA
Andri Andreas.Dr. 2012. Basic Trauma Cardiac Life Support. Jakarta: AGD
Dinkes Provinsi DKI Jakarta.
Doengoes, Marylin E. 2000. Rencana Asuhan Dan Dokumentasi
Keperawatan(Edisi 3) Jakarta: EGC.
Brunner & Suddart. 2011. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.
Smeltzer, Z. C,& Brenda, G. B .( 2001 ) Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah.Edisi 8, vol 3. Jakarta: EGC
Rerves, C. J., Roux, G.,& Lockhart, R .( 2001). keperawatan medikal
bedah. Jakarta: Salemba Medika.
Watson, R. (2002). Anatomi dan fisiologi: untuk perawat. Jakarta: EGC.
Feliciano, David V.; Mattox, Kenneth L.; Moore, Ernest J (2012). Trauma,
Seventh Edition (Trauma (Moore)). McGraw-Hill Professional. ISBN
978-0071663519Andrew B., Peitzman;
GRA Mahartha, S Maliawan, KS Kawiyana. 2013. Manajemen Fraktur pada
Trauma Muskuloskeletal. OJS Unud. p1-13
GerechtRyan.2014. Hypothermia, acidosis & coagulopathy create a deadly
cycle for trauma patients.Journal of Emergency Medical Services:56-59.
79