Anda di halaman 1dari 23

FENOMENA RADIKALISME, SEKULARISME DAN

FUNDAMENTALISME DALAM BERAGAMA

Di susun oleh :

Alloy Firmansyah 1901003

Amalia Latifah Hasna F 1901039

KEMENTRIAN PERINDUSTRIAN

POLITEKNIK NEGERI ATK YOGYAKARTA

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ..............................................................................1

DAFTAR ISI ...........................................................................................2

PENDAHULUAN ..................................................................................3

BAB I RADIKALISME

1. Pengertian Radikalisme ...............................................................5


2. Sejarah Kemunculan Radikalisme ...............................................5
3. Pandangan Islam Tentang Isu Radikalisme .................................8

BAB II SEKULARISME

1. Pengertian Sekularisme ................................................................11


2. Sejarah Kemunculan Sekularisme ................................................14
3. Pandangan Islam Tentang Isu Sekularisme ..................................16

BAB III FUNDAMENTALISME

1. Pengertian Fundamentalisme .........................................................18


2. Sejarah Kemunculan Fundamentalisme .........................................18
3. Pandangan Islam Tentang Isu Fundamentalisme ...........................19

PENUTUP

1. Kesimpulan .................................................................................... 22
2. Saran .............................................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 23

2
PENDAHULUAN

Belakangan ini ramai dibicarakan oleh banyak kalangan tentang


kebangkitan agama. Kebangkitan agama itu ditandai dengan meningkatnya
dedikasi pemeluk agama terhadap ajaran agamanya (religious dedication), seperti
makin rajinnya orang Islam mengerjakan shalat lima waktu dan puasa, makin
rajinnya pemeluk Kristen dan Katolik datang ke gereja, dan lain sebagainya.
Kebangkitan itu tidak saja dialami oleh satu agama, melainkan semua agama
mengalami fenomena yang sama. Di Indonesia misalnya, kebangkitan Islam dapat
dilihat dari ramainya kelas menengah kota yang beramai - ramai melaksanakan
ajaran agama. Pada saat bulan Ramadhan, peningkatan dedikasi terhadap Islam itu
begitu terasa. Televisi, hotel, dan perkantoran diramaikan dengan suasana suci
bulan Ramadhan. Kebangkitan agama menjadi fenomena menarik karena terjadi
persis ketika orang berpikir bahwa kekuatan rasional dari sains dan teknologi
telah berhasil menepikan misteri spiritual dari kerangka berpikir manusia modern.
Dalam hal ini, manusia modern menyangka bahwa kecukupan materi dapat
memenuhi kebahagiaan manusia. Pada saat itulah, justru kebangkitan agama
mendapat momentumnya. Pada dasarnya, agama apapun memiliki
kecenderungan untuk melakukan thruth claim (mengklaim sebagai yang paling
benar) karena agama merupakan nilai kepercayaan yang harus dipegang teguh
oleh para pemeluknya. Sikap thruth claim tersebut akan bernilai positif apabila
hanya diorientasikan ke dalam (intrinsic orientation) dalam penghayatan dan
aplikasinya, bukan untuk ke luar dirinya (extrinsic orientation) yang
menyebabkan prasangka negatif dan konflik. Agama intrinsik memenuhi seluruh
hidup dengan motivasi dan makna, sedang agama ekstrinsik menjadikan agama
diperbudak untuk mendukung dan membenarkan kepentingan pribadi.
Memaksakan munculnya pemahaman yang sama terhadap ajaran agama sama
halnya dengan meniadakan agama itu sendiri karena sikap tersebut akan
menimbulkan konflik berkepanjangan. Masing-masing pemeluk agama akan
menafikan kebenaran agama yang dianut oleh orang lain dan hal ini bertentangan
dengan nilai kemanusiaan. Dalam sejarah telah terbukti bahwa sikap ekslusif
memunculkan pertentangan atau bahkan peperangan antar umat beragama. Sikap
ekslusif tersebut melahirkan

3
radikalisme dalam beragama,dan lagi-lagi Islamlah yang mendapat tudingan
sebagai biang pencetus segala aksi kekerasan di berbagai belahan dunia. Di satu
sisi mungkin pendapat ini bisa dianggap benar, karena sebagian besar tindakan
terorisme tersebut dilakukan oleh orang (yang mengaku) Islam. Mereka
berasumsi bahwa sikap tersebut adalah manifestasi jihad dan balasannya adalah
surga. Namun di sisi lain, mereka tidak menyadari bahwa tindakan tersebut
adalah dampak dari pemahaman yang parsial terhadap teks keagamaan sehingga
diaplikasikan dalam tindakan yang jauh dari makna kontekstual yang diharapkan.
Sementara itu Fundamentalisme agama kembali menjadi isu penting pasca
terjadinya penembakan dan penangkapan terhadap “aktivis-aktivis”Muslim serta
penemuan senjata dan bahan peledak di wilayah-wilayah basis para “aktivis”
tersebut beberapa waktu yang lalu. Peristiwa-peristiwa tersebut memunculkan
kembali wacana fundamentalisme agama yang sempat meredup setelah mulai
terlupakannya aksi terorisme di gedung World Trade Center (WTC), Amerika
Serikat, pada 11 September 2001 yang menewaskan hampir tiga ribu orang
tersebut. Dalam konteks keindonesiaan, isu fundamentalisme agama menjadi
lebih menghangat setelah terjadinya kasus bom Bali yang menewaskan 180 orang,
yang sebagian besar adalah warga negara asing. Dan yang terakhir Sekulerisme,
Di Indonesia kata sekularisasi ataupun sekularisme merupakan kata yang ‘haram’
untuk dibicarakan. Seringkali masyarakat di Indonesia menyamaratakan kedua
kata tersebut sebagai suatu paham yang anti agama. Di Indonesia sendiri isu
mengenai sekularisasi pertama dilontarkan pada tahun 1970-an oleh Nurcholish
Majid dan telah menimbulkan perdebatan yang cukup berkepanjangan. Pada
akhirnya perdebatan tersebut memunculkan dikotomi kelompok, ada yang pro
dan ada yang kontra. Dalam makalah ini, kami lebih menitik beratkan masalah
fundamentalisme, radikalisme dan sekularisme pada masa modern (saat ini),
meski ada kajian sejarah tentang fundamentalisme, radikalisme dan terorisme
pada masa klasik.

4
BAB I

RADIKALISME

I. Pengertian

Radikalisme’ berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”, artinya akar ;


(radicula, radiculae: akar kecil). Berbagai makna radikalisme, kemudian
mengacu pada kata “akar” atau mengakar. Perubahan radikal berarti perubahan
yang mengakar, karena hal itu menyangkut penggantian dasar-dasar yang berubah
tadi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, radikal diartikan sebagai secara
menyeluruh, habis-habisan, amat keras menuntut perubahan, dan maju dalam
berpikir atau bertindak. Islam radikal mengandung makna kelompok Islam yang
memiliki keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk
menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung.

II. Sejarah Kemunculan Radikalisme

Sejarah perilaku kekerasan dalam Islam, umumnya terjadi berkaitan dengan


persoalan politik, yang kemudian berdampak kepada agama sebagai smbol. Hal
ini adalah fakta sejarah yang tidak terbantahkan. Walaupun pembunuhan
terhadap khalifah telah terjadi ketika Khalifah Umar berkuasa. Namun,
gerakan radikalisme yang sistematis dan terorganisir baru dimulai setelah
terjadinya Perang Shiffin di masa kekuasaan Ali bin Abi Thalib. Hal ini ditandai
dengan munculnya sebuah gerakan teologis radikal yang disebut dengan
“Khawarij”. Secara etimologis, kata khawarij berasal dari bahasa Arab, yaitu
“kharaja” yang berarti keluar, muncul, timbul, atau memberontak. Dari
pengertian ini, kata tersebut dapat juga dimaknai sebagai golongan orang Islam
atau Muslim yang keuar dari kesatuan umat Islam. Ada pula yang
mengatakan bahwa pemberian nama itu di dasarkan pada Q.S. an-Nisa’ [4]: 100
Surat Annisa ayat 100, yang menyakatan: “Keluar dari rumah kepada Allah dan
Rasulnya”. Dengan kata lain, golongan “Khawarij” memandang diri mereka
sebagai orang yang meninggalkan rumah atau kampung halaman untuk
“berhijrah” dan mengabdikan diri kepada Allah dan Rasul-Nya.

5
Dalam konteks teologi Islam, Khawarij berpedoman kepada kelompok
atau aliran kalam yang berasal dari pengikut Ali bin Abi Thalib yang kemudian
keluar dari barisannya, karena ketidaksetujuannya terhadap keputusan Ali yang
menerima arbitrase (tahkim) ataupun perjanjian damai dengan kelompok
pemberontak Mu’awiyah bin Abi Sufyan mengenai persengketaan kekuasaan
(khilafah). Menurut kelompok Khawarij, keputusan yang diambil Ali adalah
sikap yang salah dan hanya menguntungkan kelompok pemberontak. Situasi
inilah yang melatarbelakangi sebagian barisan tentara Ali keluar meninggalkan
barisannya.

Arbitrase terjadi dalam konteks Perang Shiffin, antara kelompok Ali


bin Abi Thalib dengan kelompok Mu’awiyah bin Abi Sufyan sebagai hasil dari
pertikaian politik pasca kematian Khalifah Usman bin Affan. Sebagaimana di
dalam sejarah, ketika Ali terpilih menjadi khalifah, ia mendapatkan tantangan
dari beberapa pemuka sahabat yang ingin menjadi khalifah, di antaranya ialah
Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Gubernur Damaskus waktu itu. Mu’awiyah tidak
mengakui Ali sebagai khalifah, sebagaimana juga Talhah dan Zubair. Mereka
menuntut kepada Ali, agar menghukum pembunuh Khalifah Usman bin
Affan, bahkan mereka menuduh Ali bin Abi Thalib turut terlibat dalam
pembunuhan itu. Salah seorang pemuka pemberontak dari Mesir yang datang ke
Madinah, dan kemudian membunuh Usman bin Affan, adalah Muhammad Ibn
Abi Bakr, anak angkat dari Ali bin Abi Thalib. Selain itu, Ali tidak mengambil
tindakan keras terhadap pemberontak, bahkan Muhammad Ibn Abi Bakr
ditunjuk dan diangkat menjadi Gubernur Mesir. Pertikaian politik tersebut
mencapai puncaknya dalam perang besar antara pasukan Ali bin Abi Thalib
dengan pasukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan di Shiffin.10 Pasaukan Ali dapat
mendesak dan memukul mundur tentara Mu’awiyah, sehingga pasukan
Mu’awiyah, Amir ibn al-Ash yang terkenal sebagai orang yang licik, meminta
berdamai dengan mengangkat al-Qur’an ke atas. Seorang sahabat dari kelompok
Ali yang bernama Qurra’ mendesak Ali supaya menerima tawaran itu. Dengan
permintaan itu, dicarilah kerangka perdamaian dengan mengadakan arbitrase
(tahkim) di antara kedua belah pihak. Sebagai perantara, diangkat dua orang:
Amir bin al-Ash dari pihak Mu’awiyah dan Abu Musa al-Asy’ari dari pihak Ali.

6
Sejarah mencatat, bahwa dalam perjanjian damai itu, kedua belah pihak
menandatangani kesepakatan untuk tidak menjatuhkan kedua pemuka sahabat
yang bertentangan itu. Tetapi, karena kelicikan Amir bin al-Ash, arbitrase
tersebut menguntungkan pihak Mu’awiyah, karena ia mengumumkan hanya
menyetujui pemakzulan Ali bin Abi Thalib yang diumumkan lebih dulu oleh
Abu Musa al-Asy’ari, dan menolak menjatuhkan Mu’awiyah. Akibatnya,
kedudukan Mu’awiyah naik menjadi Khalifah yang tidak resmi alias tidak sah.
Jadi Khawarij, sebagai sebuah kelompok sempalan dalam Islam yang berpikir
radikal, merupakan sebuah bentuk yang lahir dari kekecewaan politik terhadap
arbitrase yang merugikan kelompok Ali bin Abi Thalib. Akhirnya, sebagain dari
pendukung Ali keluar, dan berpendapat ekstrim bahwa perang tersebut tidak dapat
diselesaikan dengan tahkim manusia. Tetapi putusan hanya datang dari Allah swt
dengan cara kembali kepada hukum yang ada di dalam al-Qur’an dan Sunnah
Nabi. Semboyan mereka adalah La hukma Illa Lillah (tidak ada hukum selain
hukum Allah). Mereka, yang keluar dari kelompk Ali bin Abi Thalib ini,
yang kemudian menamakan dirinya golongan “Khawarij” memnadnag dan
mencap bahwa Ali bin Abi Thalib, Amir bin al-Ash, Abu Musa al-Asy’ari, dan
Mu’awiyah, serta yang lainnya yang setuju atau menerima arbitrase atau tahkim
adalah sebagai kafir, karena tidak kembali ke al-Qur’an dalam menyelesaikan
pertikaian tersebut. Persoalan kafir ini menjadi dasar awal persoalan teologis
dalam Islam, di mana kelompok “khawarij” adalah pendirinya. karena mereka
memandang sahabat yang terlibat dalam arbitrase itu adalah kafir, maka berarti
mereka diklaim kluar dari Islam alias murtad, dan karena itu halal darahnya untuk
dibunuh. Akhirnya, sebagaimana terbukti dalam sejarah, akhirnya Khalifah Ali
bin Abi Thalib berhasil dibunuh. Radikalisme Khawarij sebagai pemberontak
telah terbukti dalam sejarah. Tidak hanya di masa Ali, Khawarij meneruskan
perlawananya terhadap kekuasaan Islam resmi, baik di zaman Dinasti Bani
Umayyah maupun Abbasiyah. Oleh karena itu, mereka memilih Imam
sendiri dan membentuk pemerintahan kaum Khawarij

Radikalisme gerakan ini bukan saja pada aspek pemahaman, tetapi


juga pada aspek tindakan. Khawarij memahami ajaran Islam secara harfiyah,
sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi; dan mereka merasa
wajib melaksanakannya tanpa perlu penafsiran macam-macam. Alamat kafir dan

7
musyrik dialamatkan oleh kaum Khawarij kepada siapa saja orang yang tidak
sepaham dengan golongannya, bahkan terdapat orang yang sepaham tetapi tidak
mau hijrah ke daerah mereka. Bahkan mereka menyebutnya sebagai “dar al-
harb”, sehingga dapat dibunuh. Berhubung dengan perbuatan yang sangat
kejam itu, Azyumardi Azra menyebut aksi kaum Khawarij sebagai isti’rad, yaitu
eksekusi keagamaan, bukan sebuah jihad.

Dari rekaman sejarah tersebut, dapat dilihat bahwa fundamentalisme


lebih menekankan pada pembenaran dalam menggunakan kekerasan atas
nama agama. Islam dianggap mengajarkan para pemeluknya yang fanatic
untuk melakukan tindakan kekerasan sebagai manifestasi dari keimanan. Dari
peristiwa semacam itulah, kemudian ada sebagian orang yang membayangkan
adanya sekelompok umat Islam yang meyakini bahwa Tuhan telah
menyuruhnya untuk melakukan segala tindakan untuk membela agamanya,
meskipun salah jalan, bertentangan dengan nilai-nilai ajaran Islam universal
yang toleran, dan akomodatif.

III. Pandangan Islam Terhadap Isu Radikalisme

Jika dihubungkan dengan fakta -fakta sejarah, maka gerakan radikalisme


sesungguhnya, merupakan respon terhadap kondisi yang sedang berlangsung.
Respon tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan atau bahkan
perlawanan. Karena itu, gerakan radikalisme pada umumnya dan termasuk
gerakan radikalisme dalam Islam tidak akan pernah berhenti. Hal ini disebabkan,
kuatnya keyakinan kaum radikalis akan kebenaran program atau idiologi
yang mereka bawa.

Dalam konteks seperti ini, maka penyebab lahirnya radikalisme adalah


penyebarannya dapat bersifat keagamaan, politik, sosial ekonomi, psikis,
pemikiran dan lain - lain.

Hal tersebut dikarenakan :

1. Lemahnya pengetahuan tentang hakikat agama

2. Memahami nash secara tekstual

8
3. Memperdebatkan persoalan- persoalan parsial, sehingga mengenyampinkan
persoalan besar

4. Berlebihan dalam mengharamkan

5. Kerancuan konsep

6. Mengikuti ayat mutasyabihat, meninggalkan muhkamat

7. Mempelajari ilmu hanya dari buku dan mempelajari Alquran hanya dari
mushhaf.

8. Lemahnya pengetahuan tentang syariah, realitas, sunnatullah dan


kehidupan.

Dengan faktor-faktor seperti atas, maka corak pemikiran radikalisme dan


indikasinya adalah :

1. Fanatik kepada pendapat, tanpa menghargai pendapat lain

2. Mewajibkan orang lain untuk melaksanakan apa yang tidak diwajibkan


oleh Allah

3. Sikap keras yang tidak pada tempatnya.

4. Sikap keras dan kasar

5. Berburuk sangka kepada orang lain

6. Mengkafirkan orang lain.

Dengan indikasi-indikasi seperti di atas, maka ormas -ormas Islam seperti FPI,
Majelis Mujahidin, Laskar Jih ad Ahlussunnah Waljamaah dan KISDI, dapat saja
dikelompokkan sebagai Islam Radikal yang tetap dan senantiasa
memperjuangkan Islam secara kaffah. Mereka mendasarkan praktek
keagamaannya pada orientasi salafi, yang pada akhirnya mereka memusuhi
Barat.

Demikian pula telah diuraikan bahwa kaum radikalisme Islam sering kali
diasosiasikan sebagai kelompok ekstrim Islam yang menjadikan jihad
sebagai bagian integral. Seperti tersirat dalam sejarah bahwa istilah jihad

9
secara alamiah diartikan sebagai perang untu k memperluas tanah kekuasaan
dan pengaruh Islam. Dari aspek sejarah ini, maka penganut radikalisme
Islam berpendirian bahwa universalisme Islam itu haruslah diwujudkan
melalui jihad dan dengan demikian memperluas kekuasaan Islam ( dār al -
Islām) ke seluruh dunia. Kaitannya dengan ini, Azyumardi Azra menyatakan
bahwa bagi penganut radikalisme Islam, jihad merupakan rukun iman, yang tak
dapat ditinggalkan dan dilonggarkan, baik bagi individu maupun komunitas
kolektif Muslimin. Hanya saja, pada perkembangan sel anjutnya dan
berbarengan dengan ekspansi dār al Islām, perjalanan historis umat Islam
sendiri kian kompleks pada gilirannya menciptakan orientasi lain dalam
jihad. Ibn Taymiyah misalnya, merumuskan bahwa jihad identik dengan al-
harb (perang). Bagi nya, ada dua hal yang dapat menegakkan dan
mempertahankan agama, yaitu Alquran dan pedang. Di sini jelas sekali bahwa
Ibn Taymiyah meyerukan perjuangan yang tak henti -hentinya terhadap orang -
orang kafir melalui jihad.

10
SEKULARISME

I. Pengertian
Secara etimologi sekularisme berasal dari kata saeculum (bahasa latin),
mempunyai arti dengan dua konotasi waktu dan lokasi: waktu menunjukan
kepada pengertian “sekarang‟ atau “ kini‟, dan waktu menunjuk kepada
pengertian “dunia‟ atau “ duniawi‟ Sekularisme juga memiliki arti fashluddin
anil haya, yaitu memisahkan peran agama dari kehidupan yang berarti agama
hanya mengurusi hubungan antara individu dan penciptanya saja. Maka
sekularisme secara bahasa bisa diartikan sebagai faham yang hanya melihat
kepada kehidupan saat ini saja dan di dunia ini. Tanpa ada perhatian sama sekali
kepada hal-hal yang bersifat spiritual seperti adanya kehidupan setelah
kematian yang notabene adalah inti dari ajaran agama. Sekularisme secara
terminologi sering didefinisikan sebagai sebuah konsep yang memisahkan
antara negara (politik) dan agama (state and religion). Yaitu, bahwa negara
merupakan lembaga yang mengurusi tatanan hidup yang bersifat duniawi
dan tidak ada hubungannya dengan yang berbau akhirat, sedangkan agama
adalah lembaga yang hanya mengatur hubungan manusia dengan hal-hal
yang bersifat metafisis dan bersifat spiritual, seperti hubungan manusia
dengan tuhan. Maka, menurut para sekular, negara dan agama yang dianggap
masing-masing mempunyai kutub yang berbeda tidak bisa disatukan. Masing -
masing haruslah berada pada jalurnya sendiri-sendiri.

Paham sekuler ini pertama mulai mendunia ketika Harvey Cox,


menulis sebuah buku berjudul “The Secular City”, kemudian menurut Cox,
sekularisasi adalah akibat logis dari dampak kepercayaan Bible terhadap
sejarah. Selanjutnya, ada tiga komponen penting dalam Bible yang menjadi
kerangka asas menuju sekularisasi, yaitu “disentchantmen of nature” yang
dikaitkan dengan penciptaan (Creation), “desacralization of politics” dengan
migrasi besar-besaran (Exodus) kaum yahudi dari Mesir, dan “deconsecration
of values” dengan perjanjian sinai (Sinai Covenant).

11
Jadi menurut Cox, sekularisasi adalah pembebasan manusia dari
asuhan agama dan metafisika, pengalihan perhatiannya dari dunia lain menuju
dunia kini. Karena sudah menjadi satu keharusan, kata Cox, maka kaum kristen
tidak seyogyanya menolak sekularisasi. Sebab sekularisasi merupakan
konsekuensi otentik dari kepercayaan bible. Maka, tugas kaum kristiani
adalah menyokong dan memelihara sekularisasi.

Yang perlu diperhatikan adalah adanya perbedaan antara sekularisasi


dan sekularisme. Menurut Syed naquib Al Attas, Sekularisasi adalah Suatu
proses yang berkelanjutan dan berakhir terbuka dimana nilai-nilai dan
pandangan-pandangan dunia secara terus menerus diperbarui sesuai dengan
perubahan evolusioner sejarah.

Jadi, sekularisasi merupakan proses keterbukaan pandangan pada nilai-


nilai yang berlangsung tiada ujung –yang selalu berevolusi- sesuai dengan zaman
dan keadaan manusia. Ada tiga komponen integral yang ada dalam sekularisasi,
yaitu :

1. Disentchantmen of nature

2. Desacralization of politics

3. Deconsecration of values

Disentchantmen of nature atau pentidakeramatan alam, sebuah istilah yang


dipinjam dari ahli sosiologi jerman, Max Weber ; yang memiliki maksud
pembebasan alam dari nada-nada keagamaan, memisahkannya dari Tuhan dan
membedakan manusia dari padanya, yang dengan demikian membolehkannya
untuk berbuat bebas terhadap alam. Alam menurut paham ini sama sekali
tidak mempunyai nilai-nilai sakral bahwa alam sebenarnya adalah ciptaan
Tuhan yang selanjutnya manusia ditugaskan sebagai penjaga untuk
melestarikannya. Dari penidak-keramatan alam ini sebenarnya mendorong
terlahirnya faham atheisme atau yang sedikit lebih halus dari atheisme, yaitu
agonitisisme. Bagaimana tidak, ketika alam dilepaskan dari sifatnya yang
supernatural, metafisis secara halus itu berarti menolak kepercayaan bahwa
alam ini diciptakan oleh Tuhan yang akhirnya mendorong kepada

12
keyakinan bahwa Tuhan tidak ada. Karena secara agonitisisme, ketika Tuhan
sebagai esensi dan eksistensi yang tidak mungkin dibuktikan keberadaannya baik
secara akal maupun secara empiris, maka tidak ada bedanya meyakini apakah
Tuhan itu ada atau tidak. Itulah istilah halus dari atheisme, agnotisisme.

Desacralization of politics,yaitu penghapusan legitimasi sakral


kekuasaan politik seperti yang dipraktekan oleh kristen barat di masa lalu yang
menganggap kekuasaan politik sebagai warisan Tuhan sehingga ada dogma yang
menyatakan bahwa menghianati penguasa berarti menghianati Tuhan. Hal
itulah yang mendorong lahirnya sekularisme dengan desakralisasi politik
sebagai salah satu komponennya. Sekularisme memerlukan komponen ini
untuk menghapus legitimasi sakral politik sebagai prasyarat untuk terjadinya
perubahan politik yang selanjutnya akan mendorong terjadinya perubahan
sosial lalu kemudian diakhiri dengan perubahan sejarah. Karena sejarah menurut
sekularisme adalah rekayasa dan perencanaan manusia tanpa adanya campur
tangan Tuhan di dalamnya. Maka tentu yang namnya rekayasa perlu kepada
skenario yang matang, dan desakralisasi politik ini adalah salah satu dari
skenario pembentukan sejarah versi manusia.

Deconsecration of values,yaitu pemberian makna sementara dan relatif


kepada semua karya karya budaya dan setiap sistem nilai, termasuk agama
serta pandangan-pandangan hidup yang bermakna mutlak dan final. Dengan
demikian sikap manusia terhadap semua nilai-nilai menjadi relatif dan
beranggapan bahwa manusia bebas untuk menciptakan perubahan-perubahan
nilai itu dan menghilangkan nilai-nilai pandangan yang bersifat mutlak. Yang
berarti semua nilai-nilai itu bersifat nisbi.

Perbedaan antara Sekularisasi dan Sekularisme terletak pada


komponen yang ketiga, yakni Deconsecration of values. Jika dalam
sekularisasi, semua nilai-nilai bersifat nisbi, selalu berubah-ubah, dan tidak
pernah mutlak. Maka, sekularisme tidak pernah mendekonsekrasikan nilai-
nilai (Deconsecration of values) karena ia membentuk sebagai sistem nilai
sendiri dengan maksud agar dipandang sebagai mutlak dan final.

13
Jadi, Sekularisme tidak seperti sekularisasi yang menisbikan semua nilai
dan memberikan keterbukaan bagi perubahan. Dari alasan inilah mereka
(barat) menanggap sekularisme sebagai ancaman yang harus diwaspadai dan
diawasi oleh negara agar tidak menjadi ideologi negara.

II. Sejarah Kemunculan Sekularisme

Peradaban barat pernah mengalami masa pahit, yang mereka sebut “the
dark ages” atau zaman kegelapan. Zaman itu dimulai ketika Imperium Romawi
barat runtuh pada tahun 476 dan digantikan mulai munculnya gereja segamai
institusi yang menguasai eropa hingga abad 14. Pada selang waktu itu terjadi
perubahan besar dalam peradaban barat, dimana gereja mendominasi segala
aspek kehidupan, terutama dalam politik dengan pemerintahan teokrasinya.

Syamsudin Arif menjelaskan bahwa :

Sejarah sekularisasi dimulai dari kekecewaan barat terhadap dominasi gereja


dalam segi kehidupan masyarakat yang bermula sekitar 250 tahun yang lalu.
Proses sekularisasi bermula dari pergolakan pemikiran dan pertarungan
gagasan, seperti dalam kasus Copernicus, Galileo, Darwin dan para saintis
lain yang menentang gereja. Begitu juga dibidang teologi muncul tokoh-
tokoh seperti Eichhorn dan Strauss yang menerapkan beberapa metode historis
kritis dalam kajian bibel. Jawaban lainnya berusaha memperjelas sekularisasi
dalam rangka modernisasi, seperti perubahan masyarakat dari agraris ke
industri, dari kehidupan pedesaan ke perkotaan, dari kebiadaban menjadi
peradaban, dan seterusnya.

Sekularisasi dari Barat, seperti diakui oleh para ahli, sebenarnya


bertolak dai ajaran kristen sendiri. Dalam injil Matius XXII:21 tercatat
ucapan Yesus :”Urusan kaisar serahkan saja pada kaisar, urusan Tuhan
serahkan kepada Tuhan.” Implikasinya, agama tidak perlu campur tangan
dalam masalah politik. Dari sinilah kemudian muncul dikotomi antara
regnum dan sacerdotium, pemisahan antara kekuasaan raja dan otoritas
gereja, antara agama dan negara. Doktrin ini dikembangkan oleh St. Agustin
yang membedakan kota bumi (civitas terrena) dan kota Tuhan (civitas dei).
Faktor lain yang mendorong sekularisasi di barat ialah gerakan reformasi

14
Protestan sejak awal abad ke-16, sebuah reaksi terhadap maraknya korupsi
di kalangan Gereja yang mengatakan telah memanipulasi dan memolitisasi
agama untuk kepentingan pribadi. Maka tidaklah berlebihan bahwa sekularisasi di
barat adalah proses wajar dan niscaya bagi masyarakatnya. Ada beberapa hal yang
menjadi penyebab lahirnya sekularisme dari rahim kristen barat.

Diantaranya ialah:

Pertama, kristen barat berdasarkan kacamata Islam, sebenarnya adalah


bukan lagi murni agama samawi. Dan penamaan kristen sendiri justru bukan lahir
saat agama itu diturunkan kepada Nabi Isa (Yesus). Sejarah pun membuktikan,
bahwa sepeninggal Nabi Isa as. ajaran yang beliau bawa sedikit demi sedikit
mengalami perubahan (baik yang bersifat reduksi, adopsi, maupun asimilasi).
Dan perubahan yang sangat mendasar terjadi ketika Paus pertama ada. Atas nama
sebagai rasul yang diutus Yesus guna menyebarkan ajaran kristen ke seluruh
dunia, dia merubah tatanan nilai dalam kristen itu sendiri, seperti adanya trinitas.

Kedua, ketika kristen bergeesekan dengan budaya Romawi dan filsafatnya


yang notabene berbaukan ajaran paganisme, secara lambat laun namun pasti
kristen terpengaruh oleh ajaran paganisme tersebut. Filsafa-filsafat Yunani (ketika
itu Yunani sudah dikuasai Romawi) pun ikut mempengaruhi pokok-pokok ajaran
kristen. Hal tersebut bisa dilihat dari simbol-simbol yang digunakan. Dan
sebenarnya filsafat Yunani itulah yang mengandung benih-benih sekuler di
dalamnya. Sebagaimana yang kita ketahui setelah filsafat naturalisme menggeser
mitologi di Yunani, saat itu Yunani sudah beroirentasikan kepada meterialisme.
Dalam artian, sudah tidak terlalu peduli dengan hal-hal yang bersifat
supranatural dan metafisis. Maka, ketika kristen mengadopsi filsafat yunani,
alih-alih ingin menguatkan dogma kristen dengan filsafat yang terjadi malah
berujung dengan sekularisasi dalam ajaran kristen tersebut.

Ketiga, karena dalam kristen ada teori two swords yang menyatakan
bahwa adanya dua kekuasaan yaitu kekuasaan Tuhan yang diwakili oleh
Gereja dan kekuasaan dunia yang diwakili oleh raja atau penguasa, dan hal ini
adalah apa yang disabdakan sendiri oleh Yesus sebagaimana yang dikisahkan
injil, ‟Berikanlah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar dan berikanlah

15
kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan”. Pada teori two swords inilah
sebenarnya sudah mengandung benih-benih sekularisme.

Keempat, Kristen tidak mempunyai ajaran yang berbentuk syari‟at.


Karena Nabi Isa diutus oleh Allah untuk meluruskan syari‟at Taurat yang
telah diselewengkan dan bukan untuk membawa syari‟at yang baru. Oleh
sebab itu, di dalam injil lebih banyak berisikan ajaran akhlak dari pada
ajaran aqidah atau syari‟ah. Sehingga ketika kristen (gereja) mendominasi
barat dalam segala aspek kehidupan, maka hal tersebut sulit untuk dijalankan dan
bahkan banyak mendapat pertentangan-pertentangan.

Dari empat sebab itulah (diantaranya) kristen mempunyai potensi besar untuk
melahirkan sekularisme.

III. Pandangan Islam Tentang Sekularisme

Sekularisme di Dunia Islam bukanlah menjadi sesuatu yang asing


lagi. Dapat dikatakan bahwa sekularisme kini telah menjadi bagian dari
tubuhnya atau bahkan menjadi tubuhnya itu sendiri. Ibarat sebuah virus yang
menyerang tubuh manusia, dia sudah menyerang apa saja dari bagian tubuhnya
itu. Bahkan yang lebih hebat, virus itu telah menghabisi seluruh tubuh inangnya
dan menjelma menjadi wujud sosok baru; bak sebuah monster yang besar dan
mengerikan sehingga sudah sulit sekali dikenali wujud aslinya. Begitulah
kondisi umat Islam saat ini dengan sekularismenya. Perkembangan
sekularisme sudah seperti gurita yang telah menyebar dan membelit
kemana-mana. Hampir tidak ada sisi kehidupan umat ini yang terlepas dari
cengkeramannya. Akibatnya, umat sudah tidak menyadarinya lagi.

Menurut al-Attas, Islam menolak penerapan apapun mengenai


konsep-konsep sekular, sekularisasi maupun sekularisme, karena semua itu
bukan milik Islam dan berlawanan dengannya dalam segala hal. Dengan
kata lain, Islam menolak secara total manifestasi dan arti sekularisasi baik
eksplisit maupun implisit, sebab sekularisasi bagaikan racun yang bersifat
mematikan terhadap keyakinan yang benar (iman).

16
Hal senada dikemukakan almarhum Prof Dr H Mohammad Rasjidi.
Rasjidi beranggapan bahwa sekularisme dan sekularisasi membawa pengaruh
merugikan bagi Islam dan umatnya. Karena itu, keduanya harus dihilangkan.
Baginya, pemikiran baru itu memang dapat menimbulkan dampak positif, seperti
membebaskan umat dari kebodohan.

17
FUNDAMENTALISME
I. Pengertian

Secara etimologi fundamentalisme berasal dari kata fundamental yang berarti


hal-hal yang mendasar atau asas-asas. Dalam pandangan Gellner, gagasan dasar
fundamentalisme adalah bahwa suatu agama tertentu dipegang kokoh dalam
bentuk literal (harfiah) dan bulat, tanpa kompromi, pelunakan, re-interpretasi dan
tanpa pengurangan. Dalam pandangan Habermas fundamentalis adalah sebagai
gerakan keagamaan yang memberikan porsi sangat terbatas terhadap akal pikiran
(rasio), ketika memberikan interpretasi dan pemahaman terhadap teks-teks
keagamaan. Dengan demikian, fundamentalisme dapat disebut sebuah gerakan
dalam sebuah aliran atau paham keagamaan yang berupaya untuk kembali kepada
apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas.

II. Sejarah Kemunculan Islam Fundamentalis

Melirik fakta sejarah Islam, memang dapat dijumpai adanya kelompok-


kelompok dal am Islam yang berpandangan fundamentalis fundamentalisis,
walaupun tidak sepenuhnya muncul sebagai reaksi terhadap modernisasi,
melainkan juga karena latar belakang politik dan teologi. Dalam bidang teologi
misalnya ada Khawarij, kelompok ini muncul sebagai reaksi terhadap sikap
khalifah Ali Bin Abi Thalib dan Muawiyah serta para pendukungnya dari tokoh
yang bertikai ini mengambil jalan penyelesaian dengan cara arbitrase (damai)
yang berakhir dengan kemenangan dari pihak Muawiyah. Kelompok ini kemudian
menuduh orang-orang yang terlibat dalam arbitrase sebagai kafir (Nata, 2001: 19).
Kaum khawarij percaya bahwa perintah al-Qur’an untuk ”amar ma’ruf dan nahi
mungkar” harus dil aksanakan dengan cara ketat, harfiah, dan tanpa
pengecualian. Dunia khawarij hanya terbagi menjadi dua; iman dan kafir, musl
im dan non muslim (musuh Tuhan), damai dan perang. Setiap tindakan yang
tidak sesuai dengan hukum merupakan suatu dosa besar. Para pendosa
dihukum kafir dan dikeluarkan dari komunitas beriman (takf ir). Para
pelaku dosa besar tidak cuma dipandang sebagai pelanggar hukum agama tetapi
sebagai orang yang murtad, bersalah karena pengkhianatan dan pantas
dihukum mati, kecuali jika mereka bertaubat (Esposito, 2002: 52). Fazl urrahman

18
menggambarkan reaksi-reaksi kalangan fundamentalis ter hadap kaum liberal
Islam atau sebutan lain untuk kaum modernis. Gerakan fundamentalisme
ini yang disebut Fazlurrahman sebagai gerakan revival is, berawal dengan
hadirnya gerakan revivalis pra-modernis, terutama lewat gerakan Ibn Abd
alWahab (Wahabiyah), yang oleh Fazlurrahman (1979) digambarkan sebagai
denyut pertama kehidupan Islam, setelah mengalami kemorosotan beberapa
abad sebelumnya. Untuk pertama kali setelah lima abad sebelumnya, Ibn
Taimiyah (w.1328) berjuang sendirian, gerakan ini pun mengambil jalan
fundamentalis. Yakni, mempersoalkan tradisi Islam yang hidup dengan jalan
mengkonfrontasikannya pada sumber-sumber asli Islam.
Di Indonesia, gerakan revivalis awal ini bolehlah dirujuk pada
gerakan Padri di Minangkabau, sekitar abad XIX. Gerakan ini merupakan
gerakan pra-modernis pertama di Indonesia, yang berakar dalam gerakan
Tuanku Nan Tao, dan khususnya lagi setelah kembalinya ''tiga haji'' dari
Tanah Suci Makkah, yakni Haji Miskin, Haji Sumanik, Haji Piabang. (Rahman,
2001: 432).

III. Pandangan Islam Tentang Fundamentalisme

Dilihat dari substansinya, pandangan, sikap dan keyakinan keagamaan kaum


fundamentalis tidak keluar dari Islam. Mereka termasuk orang muslim dan
mukmin yang taat, bahkan dapat dikatakan bahwa mereka sangat berpegang teguh
pada ajaran Islam serta ingin memperjuangkannya dengan segala upaya dan
kemampuan yang dimiliki agar ajaran Islam, yang mereka pahami dengan benar
dapat dilaksanakan oleh seluruh umat manusia tanpa kecuali. Dengan demikian,
kehadiran fundamentalisme tidak mesti direspon secara searah dan dengan
pandangan negatif. Menurut Machasin, orang dapat mengambil pelajaran berharga
dari sikap dan kegiatan kaum fundamentalis. Anggota - anggota mereka terlihat
mempunyai kesetiaan yang kuat pada prinsip yang dianut. Kesetiaan semacam itu
sangat diperlukan dalam kehidupan ini. Apa yang dapat dilakukan dalam
mengubah keadaan yang tidak adil, tidak aman, tidak memberikan kemungkinan
bagi setiap warga masyarakat untuk berpartisipasi dan seterusnya kalau orang

19
tidak setia kepada prinsip? Dalam hal ini, semua itu hendaknya dijalankan dengan
cara yang santun dan tidak menakutkan orang lain.

Dari militansi yang terlihat dalam kelompok fundamentalis, dapat diambil


pelajaran mengenai semangat kerja, dan kemauan untuk bekerja keras. Kemalasan
dan kelemahan semangat merupakan penyakit yang menimpa kaum muslimin
negeri ini untuk waktu yang cukup lama. Fundamentalisme mengajak manusia
untuk berbuat, dan untuk tidak diam saja karena pilihan lainnya adalah perubahan
ke arah yang lebih buruk. Eksklusivitas kaum fundamentalis dapat dipakai untuk
membangun kerja tim dalam kehidupan masyarakat Islam. Ekslusivitas memang
jelek dan kadang-kadang menakutkan, namun pada kelompok-kelompok
eksklusif seperti yang ditunjukkan fundamentalisme Islam terlihat dengan jelas
solidaritas sesama anggota. Sebagai sebuah kelompok, mereka memiliki ikatan
solidaritas yang cukup tinggi, kokoh, militan dan rela menerima resiko dari
sebuah perjuangan.

Ini tidak untuk mengatakan bahwa fundamentalisme Islam mesti


didukung. Bersamaan dengan itu, terdapat beberapa catatan yang menyebabkan
kaum fundamentalis dapat dikatakan memperlihatkan sikap yang kurang baik, di
antaranya adalah sebagai berikut.
Pertama, dari segi keyakinan keagamaannya, mereka bersikap rigid
dan literalis. Kaum fundamentalis lebih menekankan simbol-simbol keagamaan
daripada substansinya. Mereka menganggap bahwa doktrin agama telah mengatur
segala-galanya. Agama dinilainya sebagai sistem yang lengkap dan mencakup
pelbagai sub-sistem di dalamnya. Pandangan seperti ini bisa dijumpai rujukannya
pada Abu al-A’la al-Maududi dan Sayyid Qutb. Mereka memiliki pandangan
keagamaan yang berbeda dengan kaum modernis, yang pada umumnya
kurang mementingkan soal istilah atau simbol-simbol keagamaan yang
bercorak distinktif. Bagi kalangan modernis, yang penting adalah agar prinsip-
prinsip, cita-cita dan roh Islam dapat menjiwai kehidupan masyarakat dan negara,
bukan mengutamakan simbol, sebagaimana yang dipegang teguh kaum
fundamentalis.

20
Kedua, kekurangan mereka juga terletak pada sikap dan pandangannya
yang eksklusif, yaitu pandangan yang bertolak dari keyakinan bahwa pandangan
dan keyakinan merekalah yang paling benar. Sementara itu, sikap dan pandangan
orang lain yang tidak sejalan dengan mereka dianggap salah. Sebagai akibat, dari
sikap dan pandangan yang demikian, mereka cenderung tertutup dan tidak mau
menerima pandangan dan sikap orang lain yang berbeda tidak terbuka dan tidak
ada jalan baginya untuk berdialog.

Ketiga, dari segi budaya dan sosial dalam menyikapi berbagai produk
budaya modern yang bersifat kultural seperti pakaian, alat-alat keperluan
kebersihan dan lain sebagainya yang bersifat konservatif. Kehidupan mereka
terkesan kolot, kuno bahkan cenderung nyeleneh.

Keempat, dari segi bentuk dan sifat gerakannya. Mereka cenderung


memaksakan kehendak dengan menggunakan berbagai cara termasuk cara-cara
kekerasan. Dengan sikapnya yang demikian, mereka seringkali dianggap sebagai
kelompok gerakan radikal, fanatik dan sebagainya.

21
PENUTUP

I. Kesimpulan

Kesimpulan yang kami peroleh dari pemaparan adanya isu- isu seperti
radikalisme,sekularisme, dan fundamentalisme diatas, dapat disimpulkan
bahwa :

1. Radikalisme tidak sesuai dengan ajaran Islam sehingga tidak patut untuk
ditunjukan dalam agama Islam karena sesungguhnya dalam Islam tidak
ada yang namanya Islam radikal. Dalam Al – Qur’an dan Hadist sendiri
memerintahkan umatnya untuk saling menghormati dan menyayangi serta
bersikap lemah lembut kepada orang lain meskipun orang lain tersebut
berbeda keyakinan dengan kita.
2. Islam dan sekularisme memiliki karakterisktik yang berbeda, sehingga
Islam yang memiliki pandangan alam (worldview) yang menyeluruh
tidak bisa dan tidak cocok dengan paham sekularisme
3. Fundamentalime Islam secara dasarnya adalah sikap dan pandangan yang
berpegang teguh pada dasar – dasar pokok dalam Islam dan tidak
mengaitkan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

II. Saran

Saran yang penulis berikan untuk arah perkembangan yang lebih baik
selanjutnya yairtu, isu radikalisme, sekularisme, dan fundamentalisme telah
menjadi isu yang kini mengancam jiwa serta kedaulatan NKRI. Oleh
karenanya, seluruh elemen baik itu pemerintah maupun rakyat harus
bekerjasama dan bersinergi, bahu – membahu dalam menanggulanginya agar
tidak terjadi hal – hal yang tidak diinginkan.

22
DAFTAR PUSTAKA

- Faridi, Azka.2009.Islam dan Sekularisme. Makalah.


- Abdullah, Anzar.2016. Gerakan Radikalisme dalam Islam : Perspektif
Historis. Makalah.
- Dahlan, Fahrurrozi. 2012. Fundamentalisme Agama: Antara
Fenomena Dakwah dan Kekerasan Atas Nama Agama. Makalah.
- Freeink11, Rahmat. 2012. Agama dan Sekularisme.
https://rachmatfatahillah.blogspot.com/2012/12/agama-dan-
sekularime.html?m=1 ( diambil pada 26 September 2019, 10.29 PM )
- Unknown. 2015. Fundamentalisme Islam. Makalah.
kumbangilmiah.blogspot.com/2015/04/makalah-fundamentalisme-
islam.html?m=1 ( diambil pada 26 September 2019, 10.34 PM )
- Rohmadi.2018. Sistem Hukum Indonesia “ Radikalisme dan Terorisme”.
Makalah.
Beilmin.blogspot.com/2017/12/makalah-radikalisme.html?m=1 (diambil
pada 26 September 2019, 9.45 PM )

23

Anda mungkin juga menyukai