Anda di halaman 1dari 2

REFLEKSI DIRI

NAMA : PUTRI USWATUN H


NIM : 8881190013
KELOMPOK : A

Saat saya berusia 13 tahun, saya memiliki keluhan sakit perut di bagian kanan bawah,
sering demam, dan mual dengan/tanpa muntah yang berkelanjutan. Saya yang pada saat itu
bersekolah di boarding school, hanya dapat mengakses fasilitas kesehatan sekolah yang berupa
klinik kecil dan dokter umum yang hanya datang tiga kali dalam seminggu. Saat gejala tersebut
mulai sering kambuh, saya mencoba untuk memeriksanya di klinik sekolah, pada saat itu
penjaganya adalah seorang perawat. Setelah saya menjelaskan gejala yang saya alami, perawat itu
langsung mendiagnosis bahwa saya hanya mengalami maag ringan tanpa memeriksa saya terlebih
dahulu dan tanpa berkomunikasi dengan dokter umum tersebut. Karena saya tidak percaya dengan
perawat tersebut, saya memeriksanya di sebuah rumah sakit di Tangerang. Saya berkonsultasi
dengan dokter spesialis anak “dr. A”. Setelah dr. A melihat hasil rontgennya, saya di rujuk ke
dokter spesialis bedah anak “dr. B”. Setelah melihat rontgennya, saya didiagnosis mengalami
gejala usus buntu kronis yang masih dapat diobati dan tidak perlu diambil tindakan operasi. Hal
ini disebabkan, karena saya kurang mengonsumsi makanan yang berserat, seperti buah-buahan dan
sayuran. Sebulan kemudian, gejala-gejala tersebut sering kambuh lagi. Saya memeriksanya lagi di
rumah sakit yang berbeda dari sebelumya. Saya berkonsultasi dengan dokter spesialis anak “dr. C”
dan dokter spesialis bedah anak “dr. D”. Saat melihat hasil rontgennya, dr. C mendiagnosis bahwa
apendisitis saya masih bisa diobati, sedangkan dr. D membuat keputusan untuk mengambil
tindakan operasi dikarenakan apendiks saya sudah membengkak sepanjang 7 cm. Karena
kekhawatiran kedua orang tua saya, mereka lebih memilih untuk mengikuti saran dr. D, yaitu
mengambil tindakan operasi apendektomi laparoskopi.
Tidak efektifnya komunikasi dan kejelasan peran dari dokter umum yang bertanggung
jawab di klinik sekolah dengan perawat, yang seharusnya perawat tidak boleh mendiagnosis pasien.
Kurangnya edukasi dari dokter B dalam hal menjaga agar apendiks pasien tidak membengkak.
Ada rasa tidak percaya dari keluarga pasien pada rumah sakit sebelumnya. Dokter C dan dokter D
tidak saling bertukar informasi tentang kondisi pasien sebelum mendiagnosis pasien.
Setelah saya mempelajari teori tentang komunikasi kesehatan dan kolaborasi, saya dapat
mengetahui bahwa kurangnya komunikasi interpersonal dan intergrup dapat menyebabkan tidak
terpenuhinya tujuan kolaborasi, yaitu patient safety. Di masa yang akan datang, saat saya sudah
berprofesi sebagai dokter, saya dapat meningkatkan kemampuan sosial saya dalam berkolaborasi
dengan interprofesi kesehatan agar terpenuhinya patient safety tersebut. Saya akan memberikan
edukasi secara mendetail kepada pasien dan keluarga pasien tentang kondisi dan pantangan apa
saja yang harus dilakukan. Saya akan mendiagnosis pasien secara menyeluruh agar tidak terjadi
kesalahan di kemudian hari. Saya akan berusaha meningkatkan kepercayaan pasien dan keluarga
dengan cara meningkatkan kualitas dan efisiensi pelayanan pada pasien, menigkatkan patient
safety, dan juga mengurangi kesalahan medis.

Referensi
Soemantri D, Sari SP, Ayubi D, et al. Kolaborasi dan kerja sama tim kesehatan. 1st ed. Jakarta:
Sagung Seto; 2019.
Triana N. Interprofessional education di institusi dan rumah sakit. 1st ed. Yogyakarta: Deepublish;
2018 Mei, 31-33.

Anda mungkin juga menyukai