Anda di halaman 1dari 5

0

SEJARAH PEMBENTUKAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA

1. Latar Belakang

Pada prinsipnya kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya,

dalam lingkungan Peradilan sebuah Mahkamah Konstitusi.

Hal tersebut secara tegas diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, baik sebelum maupun sesudah diamandemen.

Keberadaan kekuasaan kehakiman menunjukkan bahwa Negara Indonesia sebagai Negara hukum (rechtsstaat). Pasal 1 ayat

(3) Perubahan Undang-Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Salah satu syarat

Negara hukum adalah perlu adanya Peradilan Tata Usaha Negara. Untuk mewujudkan hadir Peradilan Tata Usaha Negara,

maka pada tanggal 29 Desember 1986 Presiden mensahkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara. Kemudian pada tanggal 29 Maret 2004 disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dalam perubahan

tersebut tidak semua pasal diubah. Bahkan, pasal-pasal yang mengatur tentang kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara

tetap dipertahankan dan masih tetap berlaku.

Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara, memberikan kompetensi absolut kepada Peradilan Tata Usaha Negara untuk

mengontrol tindakan pemerintah dan menyelesaikan, memeriksa, serta memutuskan sengketa Tata Usaha Negara.

Perlu diketahui bahwa Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman telah

disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Namun pada Tanggal 15 Januari 2004 kedua undang-

undang tersebut dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Kemudian, diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004

tentang Kekuasaan Kehakiman. Demikian pula dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara, pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004

yang kemudian disahkan pada tanggal 29 Maret 2004.

2. Lahirnya Perdilan Tata Usaha Negara

Bagi Indonesia keinginan untuk memiliki Peradilan Tata Usaha Negara yang pada mulanya disebut Peradilan Administrasi

Negara kemudian berubah nama Peradilan Tata Usaha Pemerintahan kemudian setelah berlakunya Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1986 istilah yang digunakan adalah Peradilan Tata Usaha Negara, sudah lama dicita-citakan sejak zaman

pemerintahan jajahan Belanda. Namun, keinginan itu selalu kandas di tengah jalan karena berbagai alasan. Keinginan itu

baru terwujud pada penghujung Tahun 1986, yakni dengan diundangkannya UU Nomr 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata

Usaha Negara, pada tanggal 29 Desember 1986.

Meskipun UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara berlaku pada saat diundangkan , namun UU tersebut

belum berlaku secara efektif karena penerapan UU ini akan diatur lebih lanjut engan peraturan pemerintah selambat-

lambatnya 5 tahun sejak UU diundangkan ( pasal 145 UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara ). Karena

itu hingga akhir tahun 1990, meskipun lembaganya sudah terbentuk, namun belum bisa menyelesaikan perkata TUN yang

timbul. Bila ditelaah lebih lanjut, beberapa pasal dalam UU NO. 5 Tahun 1986 masih memerlukan peraturan pelaksanaan .

Selain itu Peradilan TUN adalah sutu lembaga baru yang masih memerlukan persiapan. Oleh karena itu pemerintah

diberikan waktu ancang-ancang untuk melakukan persiapan seperlunya , baik yang menyangkut prasarana dan sarana

maupun personalianya. Waktu yang diberikan oleh UU No. 5 Tahun 1986 paling lambat 5 tahun.

Harus kita akui bahwa kelahiran UU tersebut adalah suat langkah maju dalam era pembangunan hukum yang dicanangkan

pemerintah dan juga menunjukkan adanya itikad baik dari pemerintah, karena pihak pemerintahlah yang menjadi tergugat

tetepi pihak pemerintah jugalah yang mengajukan Rancangan UU tersebut ke Dewn Perwakilan Rakyat. Keberadaan

Peradilan TUN merukan salah satu jalur yudisial dalam rangka pelaksanaan asas perlindungan hukum, di samping

pengawasan jalur Administratif yang berjalan sesuai dengan jalur yang ada dalam lingkungan pemerintahan sendiri. Karena

itu Peradilan TUN membrikan landasan pada badan yudikatif untuk menilai tindakan eksekutif serta mengatur mengenai

perlindungan hokum kepada masyarakat.


Apabila kita telusuri Peradilan TUN telah menempuh perjalanan yang cukup panjang dan berliku. Oleh karena itu, kita harus

menelusuri dari zaman pra-kemerdekaan hingga sesudah kemerdekaan. Pada zaman pemerintahan Belanda tidak dikenal

adanya Peradilan TUN sebagai suatu lembaga yang berdiri sendiri, yang diberi kewenangan untuk memeriksa dan

menyelesaikan sengketa di bidang Tata Usaha Negara. Peradilan Administrasi Negara (TUN ) pada waktu itu dilakukan baik

oleh hakim administrasi Negara (TUN ), yaitu hakim khusus yang memeriksa perkara administrasi Negara ( TUN ), maupun

hakim perdata. Ketentuan yang digunakan pada waktu itu adalah pasal 134 IS jo ( Indische Staatsregeling ) , pasal 2 RO (

Reglement op de Rechter Iijke Organisatie en het beleid der justitie in Indonesia ) . Inti dari pasal 134 ayat (1) IS jo da pasal

2 RO adalah bahwa peradilan hanya dilakukan oleh kekuasaan kehakiman semata. Selain itu, ada pul pasal yang

menyinggung masalah itu, yakni pasal 138 ayat (1) IS dan pasal 2 ayat 2 RO . Inti dari kedua psal tersebut adalah bahwa

perkara-perkara yang menurut sifatnya atau berdasarkan UU termasuk dalam wewenang pertimbangan kekuasaan

administrasi, tetap ada dalam kewenangannya. Apabila kita telaah lebih lanjut kedua pasal tersebut sebenarnya belum

menunjukkan keberadaan Peradilan TUN . Pasal ini sekedar menunjukkan penyelesaiaan sengketa administrasi Negara (

TUN ) yang dilakukan oleh pihak administrasi Negara di Indonesia. Pasal 2 Ro bukanlah dasar hokum atau yang

menentukan batas-batas kewenangan Peradilan administrasi Negara di Indonesia, tetapi hanya menentukan bahwa

sengketa-sengketa yang telah ditetapkan termasuk dalam kewenangan hakim tertentu, akan tetap menjadi kewenangan

mereka. Pasal tersebut juga tidak memberikan pengertian Peradilan Tata Usaha Negara. Namun kedua pasal itu bisa

dikatakan merupakan konsep dasar atau cikal bakal dari Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia.

Pada Tahun 1942, pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Dengan jatuhnya pemerintah Belanda

maka berakhirlah riwayat pemerintah Hindia Belanda dan mulailah zaman pemerintahan Jepang dengan menerapkan

pemerintahan militernya. Pada masa pendudukan Jepang ini, pemerintahan militer yang lebih sibuk berperang, tidak begitu

banyak menaruh perhatian terhadap kelengkapan perangkat kenegaraan. Namun, untuk menjaga kelangsungan roda

pemerintahan, diundangkanlah UU Nomor 1 tanggal 7 Maret 1942. Pasal 3 dari UU ini, yang merupakan aturan peralihan

yakni :

“Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hokum dan

undang-undang dari pemerintah yang dahulu, tetap diakui sah bagi

sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan aturan

pemerintah militer”

Dengan perkataan lain, selama pendudukan Jepang masih tetap digunakan system IS dan RO, yakni system banding

administratif (administratief beroep). Setelah itu, pada tanggal 17 Agustus 1945 diproklamasikanlah kemerdekaan Negara

RepubLik Indonesia. Untuk kali pertama diberlakukan UUD 1945 dari tanggal 18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949.
Kemudian dari tanggal 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950 diberlakukanlah Konstitusi Indonesia Serikat. Selanjutnya

sejak tanggal 17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959 diberlakukanlah UUD Sementara tahun 1950. Dan terkhir sejak tanggal 5 Juli

1959 dengan Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 berlakulah kembali UUD 1945.

Apabila kita telusuri, pada kurun waktu di atas, yakni sejak Indonesia merdeka hingga penghujung tahun 1986 , Indonesia

belum mempunyai suatu lembaga Peradilan Administrasi Negara (TUN) yang berdiri sendiri. Memang dalam praktek telah

banyak perkara administrasi Negara (TUN) yang dapat diselesaikan . Namun dalam penyelesaiannya bukan dilakukan oleh

lembaga Peradilan TUN, melainkan diselesaikan oleh berbagai macam badan yang masing-masing mempunyai batas

kompetensi tertentu dengan prosedur pemeriksaan yang berbeda pula. Dalam praktek, kita mengetahui adanya 3 lembaga

yang melakukan fungsi seperti lembaga Peradilan TUN yaitu Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), Peradilan Pegawai Negeri,

dan Peradilan Bea Cukai. Tetapi yang betul-betul menjalankan hanya MPP saja dan yang lainnya tidak pernah berfungsi .

Satu-satunya lembaga yang dianggap sebagai Peradilan TUN adalah Majelis Pertimbangan Pajak (MPP), Majelis ini

merupakan hakim yang mandiri, yang mengadili antara sengketa yang memungut pajak (pemerintah) dengan pembayar

pajak (rakyat) . Dalam hal ini kedua pihak mempunyai kedudukan yang sederajat dan hak yang sama.

Apabila kita telusuri dokumen yang berkenaan dengan masalah Peradilan Tata Usaha Negara, maka upaya kearah

perwujudan Peradilan TUN memang sudah sejak lama dirintis . Untuk kali pertam pada tahun

1946 Wirjono Prodjodikoro membuat Rancangan Undang Unang tentang Acara Perkara Dalam Soal Tata Usaha

Pemerintahan. Di samping itu masih ada usaha lain yang mendukung perwujudan Peradilan TUN. Misalnya kegiatan-

kegiatan yang berupa penelitian , symposium , seminar , penyusunan RUU , dan sebagainya. Perintah untuk mewujudkan

Peradilan TUN untuk kali pertama dituangkan dalam Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960. Kemudian perintah itu

ditegaskan kembali dalam UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang

dituangkan dalam pasal 10 ayat (1) jo. Pasal 12. Selanjutnya perintah ini diperkuat dalam Ketetapan MPR Nomor

IV/MPR/1978, yang menyatakan “Mengusahakan terwujudnya Peradilan TUN”. Di samping itu, Presiden Soeharto dalam

pidato kenegaraannya di depan Sidang Dewan Perwakilan Rakyat tanggal 16 Agustus 1978 menegaskan bahwa : “akan

diusahakan terbentuknya pengadilan administrasi, yang dapat menampung dan menyelesaikan perkara-perkara yang

berhubungan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat atau aparatur Negara, maupun untuk memberikan kepastian

hukum untuk setiap pegawai negeri”.

Selanjutnya untuk merealisasikan kehadiran Peradilan TUN maka ditetapkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1982 tentang

GBHN. Selanjutnya dalam Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN untuk Pelita IV, yang merupakan

kelanjutan dari Pelita III, memeng tidak disebutkan secara jelas tantang perwujudan Peradilan TUN. Namun karena rencana

pembangunan merupakan rencana yang berkesinambungan maka sudah sepantasnya untuk tetap mengupayakan Peradilan
TUN. Seiring dengan itu pada tanggal 16 April 1986 pemerintah melalui Surat Presiden Nomor R.04/PU/IV/1986

mengajukan kembali RUU Peradilan Administrasi ke DPR. Rancangan tersebut merupakan penyempurnaan dari RUU

Peradilan Administrsi 1982.

Akhirnya pada tanggal 20 Desmber 1986, DPR secra aklamasi menerima Rancangan Undang Undang tentang Peradilan

TUN menjadi UU. UU tersebut adalah UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan TUN yang diundangkan pada tanggal 29

Desember 1986 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3344. Dengan demikian terwujudlah sudah badan atau wadah tunggal yang bebas dari pengaruh dan

tekanan siapapun, yang diserahi tugas dan kewenangan untuk memeriksa , memutus , dan menyelesaikan sengketa TUN.

Setelah itu melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1991 dinyatakan bahwa Pengadilan Tata Usaha Negara dan UU

No. 5 Tahun 1986 mulai berlaku. Kemudian pada tanggal 29 Maret 2004 disahkan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan

Atas Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Anda mungkin juga menyukai