Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Konflik merupakan salah satu esensi dari kehidupan dan perkembangan
manusia yang mempunyai karakterstik yang beragam. Manusia memiliki
perbedaan jenis kelamin, strata sosial dan ekonomi, sistem hukum, bangsa,
suku, agama, kepercayaan, serta budaya dan tujuan hidup yang berbeda,
perbedaan inilah yang melatarbelakangi terjadinya konflik. Konflik adalah
sebagai perbedaan persepsi mengenai kepentingan terjadi ketika tidak terlihat
adanya alternatif. Selama masih ada perbedaan tersebut, konflik tidak dapat
dihindari dan selalu akan terjadi. yang dapat memuaskan aspirasi kedua belah
pihak (Wirawan; 2010: 1-2).
Pendidikan Keperawatan diselenggarakan berdasarkan kebutuhan akan
pelayanan keperawatan, seperti yang tercantum dalam UU No. 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan Pasal 1 Ayat (6), yang menyebutkan bahwa tenaga
kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan
serta memiliki pengetahuan atau keterampilan melalui pendidikan di bidang
kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk
melakukan upaya kesehatan.
Adapun sebutan gelar untuk jenjang pendidikan tinggi keperawatan
adalah:
1. Pendidikan jenjang D3 keperawatan lulusannya mendapat sebutan Ahli
Madya Keperawatan (AMD.Kep).
2. Pendidikan jenjang Ners (Nurse) yaitu (level Sarjana plus Profesi),
lulusannya mendapat sebutan Ners (Nurse),sebutan gelarnya (Ns).
3. Pendidikan jenjang Magister Keperawatan, lulusannya mendapat gelar
(M.Kep);
4. Pendidikan jenjang spesialis keperawatan, terdiri dari:
a. Spesialis Keperawatan Medikal Bedah, lulusannya (Sp.KMB).
b. Spesialis Keperawatan Maternitas, lulusannya (Sp.Kep.Mat).
c. Spesialis Keperawatan Komunitas, lulusannya (Sp.Kep.Kom).

1
d. Spesialis Keperawatan Anak, lulusannya (Sp.Kep.Anak).
e. Spesialis Keperawatan Jiwa, lulusannya (Sp. Kep.Jiwa).
5. Pendidikan jenjang Doktor Keperawatan, lulusannya (Dr. Kep).
Pada tahun 1999, Direktorat Pendidikan Tinggi mengeluarkan SK
No.427/dikti/kep/1999, tentang landasan dibentuknya pendidikan keperawatan
di Indonesia berbasis S1 Keperawatan. SK ini didasarkan karena keperawatan
memiliki “body of knowladge” yang jelas dan dapat dikembangkan setinggi-
tingginya karena memiliki dasar pendidikan yang kuat. Penerbitan SK tersebut
direkomendasikan oleh Kemenkes dan PPNI. Dengan demikian ada kolaborasi
yang baik antara keduanya dalam memajukan dunia keperawatan di Indonesia.
Namun demikian, perkembangan sistem pendidikan keperawatan di
Indonesia masih belum dilaksanakan secara utuh. Hal ini dikarenakan regulasi
pendidikan mulai dari perijinan ditangani oleh dua kementerian, yaitu
Kemenkes dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Kondisi ini membawa dampak adanya kebijakan ganda dalam regulasi
pendidikan D3 Keperawatan berupa: perizinan, mekanisme seleksi, ujian,
penerbitan ijazah dan akreditasi pendidikan yang berbeda antara kebijakan
Kemendikbud dan Kemenkes. Akibatnya, perkembangan jumlah institusi
pendidikan tidak terkendali, terjadi perbedaan standar dan kualitas
pengelolaan, serta mutu lulusan yang berimbas pada kinerja perawat dalam
memberikan pelayanan keperawatan.
Selain itu, kinerja perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan
hingga saat ini masih belum optimal. Pelayanan keperawatan yang merupakan
tugas sehari-hari perawat hanya dianggap sebagai suatu rutinitas dan
merupakan sebuah intuisi semata. Padahal perawat yang mempunyai motivasi
tinggi dalam melaksanakan asuhan keperawatan yang berkualitas mempunyai
arti penting dalam upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan.
Kebijakan pemerintah tentang perencanaan dan pendayagunaan tenaga
keperawatan ditatanan pelayanan, baik dalam hal jenjang, jenis, jumlah,
maupun penyebaran masih belum selaras dengan tuntutan masyarakat dan
tantangan perkembangan ilmu dan teknologi, serta penataan di bidang
pendidikan. Hal ini mengakibatkan lulusan pendidikan ners dan ners spesialis

2
lebih memilih bekerja di institusi pendidikan. Selain masalah pendayagunaan
tenaga kesehatan dan persoalan lain yaitu tentang credentialing system.
Credentialing system keperawatan di Indonesia saat ini masih belum
dilakukan oleh lembaga credentialing sebagai badan regulator independen
yang ditetapkan melalui UU. Pada tahun 2001 dikeluarkan kebijakan yang
mengatur sistem registrasi dan lisensi yaitu Peraturan Menteri Kesehatan
(Permenkes) No. 1239 Tahun 2001 dalam bentuk Surat Izin Perawat (SIP),
Surat Izin Kerja (SIK), dan Surat Izin Praktik Perawat (SIPP). Peraturan ini
khususnya tentang SIPP digantikan dengan Permenkes No. 148 Tahun 2010,
dan Permenkes No. 161 Tahun 2010 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan.
Namun dikarenakan Permenkes No. 161 Tahun 2010 tidak dapat
dioperasionalkan maka kemudian diganti dengan Permenkes No. 1796 Tahun
2011 tentang Registrasi Tenaga Kesehatan, yang hingga saat ini
pelaksanaannya pun masih mengalami banyak kendala. Ini merupakan akibat
akibat dari tidak dapat dibedakannya antara tenaga keperawatan yang
memiliki kewenangan dengan yang tidak memiliki kewenangan sesuai UU
No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lestari, 2014). Peran perawat yang
ada yaitu seorang perawat harus membuat asuhan keperawatan tentang
pelayanan kesehatan yang akurat kepada pasien. Perawat berhak dan wajib
memberikan pelayanan yang menyeluruh terhadap kesembuhan pasien.
Perawat tidak boleh membeda-bedakan pasien. Baik secara usia , ras dan
kenegaraannya.

1.2 Tujuan

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konflik
2.1.1 Sejarah Terjadinya Konflik
Sejarah terjadinya suatu konflik pada suatu organisasi dimulai seratus
tahun yang lalu, dimana konflik adalah suatu kejadian yang alamiah
dan peristiwa yang pasti terjadi di organisasi. Pada awal, konflik di
indikasikan sebagai suatu kelemahan manajemen pada suatu organisasi yang
harusdihindari. Keharmonisan suatu organisasi sangat diharapkan, tetapi
konflik akan selalu merusaknya. Ketika konflik mulai terjadi pada suatu
organisasi, meskipun dihindari dan ditolak, namun harus tetap diselesaikan
secepatnya.
Konflik sebenarnya dapat dihindari, kalau staf diarahkan terhadap suat
tujuan yang jelas dalam melaksanakan tugasnya dan ketidakpuasan staf
harus diekspresikan secara langsung supaya masalah tidak menumpuk
dan bertambah banyak. Pada pertengahan abad ke-19, ketika ketidakpuasan
staf dan umpan balik dari atasan tidak ada, maka konflik diterima secara
pasif sebagai suatu kejadian yang normal dalam organisasi. 6leh karena itu,
seorang manajer harus belajar banyak tentang bagaimana menyelesaikan
konflik tersebutdaripada berusaha menghindarinya. Meskipun konflik dalam
organisasi merupakan suatu unsure penghambat staf dalam melaksanakan
tugasnya, tetapi diakui bahwa konflik dan kerjasama dapat terjadi secara
bersamaan. Teori interaksi pada tahun 1970, mengemukakan bahwa
konflik merupakan suatu hal yang penting, dan se!ara aktif mengajak
organisasi untuk menjadikan konflik sebagai salah satu pertumbuhan
produksi. Teori ini menekankan bahwa konflik dapat mengakibatkan

4
pertumbuhan produksi sekaligus kehancuran organisasi, keduanya
tergantung bagaimana manajer mengelolanya. Mengingat konflik adalah
sesuatu yang tidak dapat dihindari dalam organisasi, maka manajer harus
dapat mengelolanya dengan baik. Konflik dapat berupa sesuatu yang
kualitatif ataupun kuantitatif.Meskipun konflik berakibat terhadap stress,
tetapi dapat meningkatkan produksi dan kreativitas. Manajemen konflik
yang konstruktif akan menghasilkan lingkungan yang kondusif untuk
didiskusikan sebagai suatu fenomena utama, komunikasi yang terbuka
melalui pengutaraan perasaan, dantukar pikiran serta tanggung jawab yang
menguntungkan dalammenyelesaikan suatu perbedaan. (Agustini, 2016)

2.1.2 Pengertian Konflik


Konflik merupakan salah satu esensi dari kehidupan dan perkembangan
manusia yang mempunyai karakterstik yang beragam. Manusia memiliki
perbedaan jenis kelamin, strata sosial dan ekonomi, sistem hukum, bangsa,
suku, agama, kepercayaan, serta budaya dan tujuan hidup yang berbeda,
perbedaan inilah yang melatarbelakangi terjadinya konflik. Konflik adalah
sebagai perbedaan persepsi mengenai kepentingan terjadi ketika tidak
terlihat adanya alternatif. Selama masih ada perbedaan tersebut, konflik
tidak dapat dihindari dan selalu akan terjadi. yang dapat memuaskan aspirasi
kedua belah pihak (Wirawan; 2010: 1-2).

2.1.3 Macam-Macam Konflik


1. Konflik Berdasarkan Pihak Yang Terlibat Didalam Konflik
a. Konflik Antara Individu Dengan Individu Yang Lain, misalkan
konflik seperti ini yang sering terjadi didalam organisasi yang
biasanya terjadi diantara anggota dengan anggota yang lainnya.
Bahkan bisa terjadi juga kepada anggota dengan pimpinan dari
organisasi. Yang sering terjadi karena adanya perbedaan paham
dan juga tujuan dan adanya ego serta kurangnya sebuah
komunikasi.

5
b. Konflik Yang Terjadi Diantara Individu Dengan Kelompok,
konflik yang sering terjadi didalam organisasi disaat sudah terjadi
konflik individu. Misalkan konflik yang sering terjadi adalah
konflik diantara sekelompok bawahan pada bagian tertentu dengan
pimpinan organisasi yang akan terjadi apa bila tidak segera
diselesaikan.
c. Konflik Yang Terjadi Diantara Kelompok Dengan Kelompok
Yang Lainnya, konflik ini yang sering terjadi pada lembaga
ataupun organisasi yang sudah besar dan juga mempunyai banyak
bagian-bagian sehingga sering juga memunculkan kepentingan-
kepentingan yang berbeda diantara tiap-tiap bagian.
2. Konflik Dipandang Dari Dampak Ataupun Efek Yang Ditimbulkan
a. Pengertian konflik fungsional ialah apa bila dampak yang terjadi
bisa memberikan manfaat ataupun benefit untuk organisasi. Dan
tentu saja konflik seperti ini bisa terwujud apa bila konflik dapat
dikendalikan serta dikelola secara baik. Contoh dari konflik
fungsional ini adalah persaingan diantara karyawan atau juga
persaingan diantara kelompok karyawan dengan pimpinan
supaya dapat membuktikan skill mereka serta konflik berupa
persaingan agar bisa menjadi yang terbaik diantara bagian
ataupun divisi didalam organisasi.
b. Pengertian konflik infungsional ialah sebuah konflik yang
dampaknya terjadi dan tidak memberikan manfaat atau juga
benifit untuk jalan dan juga berlangsungnya organisasi. Konflik
seperti ini biasanya memberikan kerugian terhadap individu atau
juga organisasi. Konflik yang seperti ini terjadi dengan tidak
terencana dan juga tidak dikelola serta dikontrol dengan baik.
(Saputri,2016).
2.1.4 Jenis Konflik
Konflik banyak jenisnya dan dapat dikelompokkan berdasarkan
berbagai kriteria. Sebagai contoh, konflik dapat dikelompokkan berdasarkan
latar terjadinya konflik, pihak yang terkait dalam konflik, dan substansi

6
konflik diantaranya adalah konflik personal dan konflik interpersonal,
konflik interes (Conflict of interest), konflik realitas dan konflik non
realitas, konflik destruktif dan konflik konstruktif, dan konflik menurut
bidang kehidupan. Berbagai macam jenis konflik di atas yang sesuai dengan
topik penelitian yang akan diteliti ini adalah konflik menurut bidang
kehidupan. Jenis konflik menurut bidang kehidupan ini tidak dapat berdiri
sendiri, melainkan berkaitan dengan konflik sejumlah aspek kehidupan.
Sebagai contoh, konflik sosial sering kali tidak hanya disebabkan oleh
perbedaan suku, ras, kelas, atau kelompok sosial, tetapi sering kali
disebabkan oleh kecemburuan ekonomi.
Konflik ekonomi terjadi karena perbutan sumber-sumber ekonomi
yang terbatas. Konflik ekonomi misalnya terjadi dalam bentuk sengketa
tanah pertanian antara anggota masyarakat dan perusahaan perkebunan,
antara anggota masyarakat dan lembaga pemerintahan, atau antara anggota
masyarakat lainnya. Konflik ekonomi bisa terjadi antara anggota masyarakat
di suatu daerah dan anggota masyarakat di daerah lainnya mengenai hak
wilayah ekonomi. Konflik dapat dibedakan berdasarkan posisi pelaku
konflik yang berkonflik, yaitu:
a. Konflik vertikal
Konflik yang terjadi antara elite dan massa (rakyat). Elit yang
dimaksud adalah aparat militer, pusat pemerintah ataupun kelompok
bisnis. Hal yang menonjol dalam konflik vertikal adalah terjadinya
kekerasan yang biasa dilakukan oleh pemerintah terhadap rakyat.
b. Konflik horizontal
Konflik terjadi dikalangan massa atau rakyat sendiri, antara
individu atau kelompok yang memiliki kedudukan yang relative sama.
Artinya, konflik tersebut terjadi antara individu atau kelompok yang
memiliki kedudukan relative sederajat, tidak ada yang lebih tinggi dan
rendah.

2.1.5 Penyebab Konflik


Konflik dapat berkembang karena berbagai sebab sebagai berikut:

7
 Batasan pekerjaan yang tidak jelas.Pendeskripsian batasan batasan
pekerjaan yang tidak jelas dapat memicu timbulnya konflik
dikarenakan adanya orang atau individu yang tidak tahu
pekerjaannya dan dapat mengganggu tugas dan wewenang dariorang
lain.
 Hambatan Komunikasi. Konflik juga dapat terjadi jika komunikasi
dalam suatu komunitas tidak berjalan lancar, kondisi yang seperti
ini akan menimbulkan misunderstanding/kesalahpahaman.
 Tekanan waktu. Tekanan waktu juga dapat memicu adanya konflik,
jika dalam suatu komunitas tidak dapat memanage waktu dengan
baik danmenggunakannya secara efektif dalam mencapai target yang
di tentukan.
 Standar peraturan dan kebijakan yang tidak masuk akal. Standar,
peraturan dan kebijakan yang tidak masuk akal, juga dapat memicu
konflik dikarenakan adanya standar, peraturan dan kebijakan yang
tidak dapat diwujudkan.
 Pertikaian antar pribadi.Pertikaian antar pribadi juga dapat memi!u
adanya konflik karena akan muncul tidak adanya sinergi kerjasama
antara pribadi yang tidak bertikai dan tidak mencari pembenaran
pribadi masing-masing.
 Perbedaan status. Perbedaan status juga termasuk pemicu munculnya
konflik karena adanya yang merasa superioritas diatas dari pada
yang lain.
 Harapan yang tidak terwujud. Harapan yang tidak terwujud akan
memicu konflik karena akan menjadi halangan tersendiri bagi
komunitas atau individu ketika adanya harapan yang tidak terwujud
dapat menurunkan selfconfidance/kepercayaan dirinya menurun
sehingga terjadi kesusahan dalam mempercayai diri maupun orang
lain.
 Perilaku Menentang. Perilaku menentang dapat menimbulkan
konflik yang menghasilkan perasaan bersalah pada seseorang
dimana perilaku itu ditunjukkan. (Agustini,2016)

8
2.1.6 Faktor Penyebab Konflik

Konflik memiliki sebab yang melatarbelakangi adanya konflik atau pertentangan:

(Soekanto, Soerjono. , 2006. Sosiologi Suatu Pengantar, PT. Raja Grafindo


Persada, Jakarta )

1) Perbedaan antara individu-individu

Perbedaan pendirian dan perasaan mungkin akan melahirkan bentrokan antara


mereka.

2) Perbedaan kebudayaan

Perbedaan kepribadian dari orang perorangan tergantung pula dari pola-pola


kebudayaan yang menjadi latar belakang pembentukan serta perkembangan
kepribadian tersebut.

3) Perbedaan kepentingan

Perbedaan kepentingan antara individu maupun kelompok merupakan sumber lain


dari pertentangan.

4) Perubahan sosial

Perubahan sosial yang berlangsung dengan cepat untuk sementara waktu dapat
mengubah nilai-nilai yang ada dalam masyarakat.

Apabila dilihat dari konflik penambangan pasir besi di Desa Garongan Kecamatan
Panjatan Kabupaten Kulon Progo ini masuk dalam kategori konflik yang
diseabkan oleh perbedaan kepentingan. Hal ini seperti yang dikemukakan oleh
Hocker dan Wilmot, konflik terjadi karena pihak-pihak yang terlibat konflik
mempunyai tujuan yang berbeda. Konflik bisa juga terjadi karena tujuan pihak
yang terlibat konflik sama, tetapi cara untuk mencapainya berbeda. Hal seperti ini
banyak terjadi dalam dunia politik dan bisnis(Wirawan; 2010: 8).

9
2.1.7 Akibat Konflik

Beberapa akibat yang ditimbulkan oleh pertentangan atau konflik, antara lain
(Wirawan: 2010: 106-109):

1) Bertambahnya solidaritas/in-group

Apabila suatu kelompok bertentangan dengan kelompok lain, solidaritas antara


warga-warga kelompok biasanya akan tambah erat.

2) Hancurnya atau retaknya kesatuan kelompok

Hal ini terjadi apabla timbul pertentangan antar golongan dalam suatu kelompok.

3) Adanya perubahan kepribadian individu

Ketika terjadi pertentangan, ada beberapa pribadi yang tahan dan tidak tahan
terhadapnya. Mereka yang tidak tahan akan mengalami perubahan tekanan yang
berujung tekanan mental.

4) Hancurnya harta benda dan jatuhnya korban manusia

Konflik yang berujung pada kekerasan maupun peperangan akan menimbulkan


kerugian, baik secara materi maupun jiwa-raga manusia.

5) Akomodasi, dominasi, dan takluknya suatu pihak

Konflik merupakan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Konflik bisa terjadi
ketika beberapa tujuan dari masyarakat tidak sejalan.

2.1.8 Proses Konflik


Proses Konflik dibagi menjadi beberapa tahapan sebagai berikut:
 Konflik laten,tahapan konflik yang terjadi terus-menerus (laten)
dalam suatu organisasi. Misalnya, kondisi tentang keterbatasan staf
dan perubahan yang tepat. Kondisi tersebut memicu pada
ketidakstabilan organisasi dan kualitas produksi, meskipun konflik

10
yang ada kadang tidak Nampak secara nyata atau tidak pernah
terjadi.
 Felt conflict (konflik yang disarankan) adalah konflik yang terjadi
karena sesuatu yang dirasakan sebagai ancaman,ketakutan, tidak
percaya, dan marah. Konflik ini disebut juga sebagai konflik
(affectiveness). Hal ini penting bagi seseorang untuk menerima
konflik dan tidak merasakan konflik tersebut sebagai suatu masalah
ancaman terhadap keberadaannya.
 Konflik yang nampak, sengaja dimuculkan. Konflik yang sengaja
dimunculkan untuk dicari solusinya. Tindakan yang dilaksanakan
mungkin menghindar, kompetisi, debat atau mencari penyelesaian
konflik. Setiap orang secara tidak sadar belajar menggunakan
kompetisi, kekuatan, dan agresivitas dalam menyelesaikan konflik.
Sementara itu, penyelesaian konflik dalam suatu organisasi
memerlukan upaya dan strategi sehingga dapat mencapai
tujuanorganisasi.
 Desolusi konflik adalah suatu penyelesaian masalah dengan cara
memuaskan semua orang yang terlibat didalamnya dengan prinsip
win-win solution.
 Konflik aftermath merupakan konflik yang terjadi akibat dari
tidak terselesaikannya konflik yang pertama. Konflik ini akan
menjadi masalah besar jika tidak segera di atasi atau dikurangi bias
menjadi penyebab dari konflik utama. (Agustini, 2016)

2.1.9 Manajemen Konflik

Ketika menghadapi situasi konflik, orang berperilaku tertentu untuk menghadapi


lawannya. Perilaku mereka membentuk satu pola atau beberapa pola tertentu. Pola
perilaku orang orang dalam menghadapi situasi konflik disebut sebagai gaya
manajemen konflik (Wirawan: 2010: 134).

11
1) Koersi, yaitu suatu bentuk akomodasi yang terjadi melalui pemaksaan
kehendak suatu pihak terhadap pihak lain yang lebih lemah. Misalnya, sistem
pemerintahan totalitarian.

2) Kompromi, yaitu suatu bentuk akomodasi ketika pihak-pihak yang terlibat


perselisihan saling mengurangi tuntutan agar tercapai suatu penyelesaian.
Misalnya, perjanjian genjatan senjata antara dua negara.

3) Arbitrasi, yaitu terjadi apabila pihak-pihak yang berselisih tidak sanggup


mencapai kompromi sendiri. Misalnya, penyelesaian pertentangan antara
karyawan dan pengusaha dengan serikat buruh, serta Departemen Tenaga Kerja
sebagai pihak ketiga.

4) Mediasi, seperti arbitrasi namun pihak ketiga hanya penengah atau juru damai.
Misalnya, mediasi pemerintah RI untuk mendamaikan fraksi-fraksi yang
berselisih di Kamboja.

5) Konsiliasi, merupakan upaya mempertemukan keinginan-keinginan dari pihak-


pihak yang berselisih demi tercapainya suatu persetujuan bersama. Misalnya,
panitia tetap menyelesaikan masalah ketenagakerjaan mengundang perusahaan
dan wakil karyawan untuk menyelesaikan pemogokan.

6) Toleransi, yaitu bentuk akomodasi tanpa persetujuan yang resmi.

7) Stalemate, terjadi ketika kelompok yang terlibat pertentangan mempunyai


kekuatan seimbang. Kemudian keduanya sadar untuk mengakhiri pertentangan.
Misalnya, persaingan antara Blok Barat dan Blok Timur.

8) Ajudikasi, yaitu penyelesaian masalah melalui pengadilan. Misalnya,


persengketaan tanah warisan keluarga yang diselesaikan di pengadilan.

2.1.10 Strategi Penyelesaian Konflik


 Hubungan Perawat dengan Perawat
Sebagai anggota profesi keperawatan, perawat harus dapat bekerja
sama dengan sesama perawat dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan
keperawatan terhadap klien. Dalam menjalankan tugasnya, perawat harus

12
dapat membina hubungan baik dengan sesama perawat yangada
dilingkungan tempat kerjanya. Dalam membina hubungan tersebut, sesama
perawat harus saling menghargai dan saling tolerensi yang tinggi agar
tidak terjadi sikap saling curiga dan benci. Selain itu, perawat juga harus
memupuk rasa persaudaraan dengan silih asuh, silih asah dan silih asih
diantaranya sebagai berikut:
a. Silih asuh
Yaitu sesama perawat harus saling membimbing, menasihati,
menghormati, dan saling memngingatkan bila sejawat melakukan
kesalahan atau kekeliruaan sehingga terbina hubungan yang serasi.
b. Silih asih
Yaitu dalam menjalankan tugasnya, setiap perawat dapat saling
menghargai satu sama lain antar anggota profesi, saling bertenggang
rasa, serta bertoleransi yang tinggi sehingga tidak terpengaruh oleh
hasutan yang dapat menimbulkan sikap saling curiga dan benci.
c. Silih asah
Yaitu perawat yang merasa lebih pandai atau tahu dalam hal ilmu
pengetahuan, dapat mengamalkan ilmu yang telah diperolehnya
kepada rekan sesama perawat tanpa pamrih.
Dalam memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien, perawat tidak
bekerja sendiri akan tetapi bekerja dalam satu tim kesehatan. Dalam hal ini, selain
memberikan asuhan keperawatan berdasarkan rencana keperawatan, perawat
secara kolaborasi terlibat pula dalam program tim kesehatan. Tim keperawat
terdiri dari semua individu yang terlibat dalm pemberian asuhan kepada pasien.
Komposisi tim anggota tim kesehtan bervariasi, tergantung terhadap tenaga
kesehatan yang ada, sensus pasien, jenis unit keperawatan, dan program
pendidikan keperawatan yang bekerja sama. Dalam bekerja sama dengan sesama
tim, seluruh perawat harus berprinsip dan ingat bahwa semua tindakan yang akan
dilakukan adalah mengutamakan kepentingan pasien serta asuhan keperawatan.
Oleh karena itu, semua perawat harus berkomunikasi secara efektif. Dalam
pemberian asuhan keperawatan, perawat dibagi menjadi dalam beberapa kategori,
misalnya perawat pelaksana, kepla bangsal, kepala unit keperawatan, kepala seksi

13
keperawatan, dan kepala bidang keperawatan. Hal itu disebabkan latar bekalng
pendidikan, pekerjaan, maupun kemampuan perawat berbeda-beda. Dengan
demikian, dalam pemberian asuhan keperawatan, setiapa anggota harus mampu
mengkomunikasikan dengan perawat anggota lain. (Riviani dan Hartanti
Sulihandari, 2013)

2.1.11 Macam-Macam Profesi Keperawatan


Profesi perawat menjadi 3 macam yaitu perawat vokasional, perawat professional
dan perawat professional spesialis. Ketiga macam profesi perawat tersebut akan
dijelaskan sebagi berikut:
Perawat Vokasional
Ialah seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan vokasional setara diploma
III (D3). Bidang keperawatan atau sekolah perawat kesehatan yang telah memiliki
akreditasi dan diakui oleh pejabat yang berwenang. Perawat vokasional memiliki
kewenangan untuk melakukan praktik keperawatan dalam batasan tertentu.
Praktik perawat vokasional berada di bawah supervisi perawat professional baik
secara langsung maupun secara tidak langsung.
Perawat Profesional
Ialah tenaga keperawatan professional yang telah menyelesaikan program
pendidikan tinggi setara Sarjana Strata (S1). Profesi keperawatan yang telah
memiliki akreditasi dan diakui oleh pejabat yang berwenang. Perawat professional
harus lulus uji kompetensi sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Konsil
Keperawatan, yaitu sebuah badan otonom yang bersifat independen. Perawat
professional bekerja secara mandiri, otonom namun tetap berkolaborasi dengan
yang lain.
Perawat Profesional Spesialis
Ialah tenaga keperawatan professional yang telah menyelesaikan program
pendidikan setara Sarjana Strata II (S2), dan dinyatakan lulus uji kompetensi
perawat professional spesialis. Perawat Profesional Spesialis mempunyai
kewenangan sebagai spesialis, diatas level perawat professional. (Riviani dan
Hartanti Sulihandari, 2013)

14
2.1.12 Undang-Undang Tentang Keperawatan
Hal-hal yang berkaitan dengan praktik keperawatan diatur dalam undang-undang.
Meskipun di Indonesia belum terdapat undang-undang perlindungan bagi perawat
secara resmi, di Indonesia terdapat undang-undang yang berkaitan dengan praktik
keperawatan, yaitu sebagai berikut:
Undang-undang No.9 tahun 1960, tentang Pokok-Pokok Kesehatan.
Bab II (Tugas Pemerintah), pasal 10 antara lain menyebutkan bahwa
pemerintah mengatur kedudukan hukum, wewenang, dan kesanggupan hukum.
Undang-undang No.6 tahun 1963 tentang Tenaga Kesehatan.
Undang-undang ini merupakan penjabaran dari Undang-Undang No.9
tahun 1960. Undang-undang ini membedakan tenaga kesehatan sarjana dan bukan
sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter, dokter gigi dan apoteker. Tenaga perawat
termasuk dalam tenaga bukan sarjana atau tenga kesehatan dengan pendidikan
rendah, termasuk bidan dan asisten farmasi dimana dalam menjalankan tugas
dibawah pengawasan dokter, dokter gigig dan apoteker. Pada keadaan tertentu
kepada tenaga pendidikan rendah dapat diberikan kewenangan terbatas untuk
menjalankan pekerjaannya tanpa pengawasan langsung.
Undang-undang ini boleh dikatakan sudah usang karena hanya
mengklasifikasikan tenaga kesehatan secara dikotomis (tenaga sarjana dan bukan
sarjana). Undang-undang ini juga tidak mengatur landan hokum bagi tenaga
kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam undang-undang ini juga
belum tercantum berbagai jenis tenaga sarjana keperawatan seperti sekarang ini
dan perawat ditempatkan pada posisi yang secara hokum tidak mempunyai
tanggung jawab mandiri karena harus tergantung pada tenga kesehtannya lainnya.
UU Kesehtan No.14 tahun 1964, tentang Wajib Kerja Paramedis.
Pada pasal 2 ayat 3 dijelaskan bahwa tenaga kesehatan sarjana muda,
menengah dan rendah wajib menjalankan wajib kerja pada pemerintah selama 3
tahun. dalam pasal 3 dijelaskan bahwa selama bekerja pada pemerintah, tenaga
kesehatan yang dimaksud pada pasal 2 memiliki kedudukan sebagai pegawai
negeri sehingga peraturan-peraturan pegawai negeri juga diberlakukan
terhadapnya. Undang undang tersebut untuk saat ini sudah tidak sesuai dengan
kemampuan pemerintah dalam mengangkat pegawai negeri. Pelaksaaan wajib

15
kerja juga tidak jelas dalam undang-undang tersebut, contohnya bagaimana sistem
rekuitmen calon peserta wajib kerja, apa sankinya bila seseorang tidak
menjalankan wajib kerja dan lain-lain. Hal yang perlu diperhatikan bahwa dalam
undang-undang ini, yaitu posisi perawat di nyatakan sebagai tenaga kerja
pembentu bagi tenaga kesehatan akademis termasuk dokter, sehingga dari aspek
profesionalisasi perawat rasanya masih jauh dari kewenangan tanggung jawab
terhadap pelayanannya sendiri. (Riviani dan Hartanti Sulihandari, 2013)

2.1.13 Prinsip Etika


Menurut Dalami dan Rochiman, Ketut Rai Suryani, 2015 prinsip-prisip etika
diantaranya:
Otonomy (autonomy)
Prinsip otonomi didasarkan pada keyakinan bahwa individu mampuberfikir logis
dan mampu membuat keputusan sendiri. Orang dewasa dianggap kompeten dan
memiliki kekuatan membuat sendiri, memilih dan memiliki berbagai keputusan
atau pilihan yang harus dihargai oleh orang lain. Prinsip otonomi merupakan
bentuk resepek terhdap seseorang, atau dipandang sebagai pesetujuan tidak
memaksa dan bertindak secara rasional. Otonomi merupakan hak kemandirian dan
kebebasan individu yang menuntut pembedaan diri. Praktik professional
merefleksikan otonomi saat perawat menghargai hak-hak klien dalam membuat
keputusan tentang perawatan dirinya.
Berbuat Baik (Beneficience)
Beneficience berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan memerlukan
pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan
dan peningkatkan kebaikan oleh diri dan orang lain. Terkadang, dalam situasi
pelayanan kesehatan, terjadi konflik antara prinsip ini dengan otonomi.
Keadilan (Justice)
Prinsip keadilan dibutuhkan untuk tercapainya sesuatu yang sama dan adil
terhadap orang lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan
kemanusiaan. Nilai ini direfleksikan dalam praktik professional ketika pearawat
bekerja untuk terapi yang bentar sesuai hukum, standar praktik dan keyakinan
yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan.

16
Tidak Merugikan (Non meleficience)
Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya atau cedera fisik dan psikologis
selama perawat memberikan asuhan keperawatan pada klien dan keluarga.
Kejujuran (Veracity)
Prinsip veracity berarti penuh dengan kebenaran. Nilai diperlukan oleh pemberi
pelayanan kesehatan untuk menyampaikan kebeneran pada setiap klien dan untuk
menyakinkan bahwa klien sangat mengerti. Prinsip veracity berhubungan dengan
kemampuan seseorang untuk mengatakan kebeneran. Informasi harus ada agar
menjadi akurat, komprehensif, dan objektif untuk memfasilitasi pemahaman dan
penerimaan materi yang ada, dan mengatakan yang sebenernya kepada klien
tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keadaan dirinya selama
menjalani perawatan. Walaupun demikian, terdapat beberapa argumen
mengatakan adanya batasan untuk kejujuran seperti jika kebenaran akan kesalahan
prognosis klien untuk pemulihan atau adaya hubungan paternalistic bahwa
“doctors know best” sebab individu memiliki otonomi, mereka memiliki hak
untuk mendapatkan informasi penuh tentang kondisinya. Kebenaran merupakan
dasar dalam membangun hubungan saling percaya.
Menepati Janji (Fidelity)
Prinsip fidelity dibutuhkan individu untuk menghargai janji dan komitmennya
terhadap orang lain. Perawat setia pada komitmennya dan menepati janji serta
menyampaikan rahasia kilen. Ketaatan, kesetian, adalah kewajiban seseorang
untuk mempertahankan komitmen yang dibuatnya. Kesetian, menggambarkan
kepatuhan perawat terhadap kode etik yang menyatakan bahwa tanggung jawab
dasar dari perawat adalah untuk meningkatkan kesehatan, mencegah penyakit,
memulihkan kesehatan dan meminimalkan penderitaan.
Kerahasian (Confidentiality)
Aturan dalam prinsip kerahasian adalah informasi tentang klien harus dijaga
privasi klien. Segala sesuatu yang terdapat dalam dokumen catatan kesehatan
klien hanya boleh dibaca dalam rangka pengobatan klien. Tidak ada seorangpun
dapat memperoleh informasi tersebut kecuali jika diijinkan oleh klien dengan
bukti persetujuan. Diskusi tentang klien diluar area pelayanan, menyampaian pada
temen atau keluarga tentang klien dengan tenaga kesehatan lain harus dihindari.

17
Akuntabilitas (Accountability)
Akuntabilitas merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang professional
dapat dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali.

2.1.14 Kode Etik Keperawatan di Indonesia


Kode etik adalah pernyataan standar professional yang digunakan sebagai
pedoman perilaku dan menjadi kerangka kerja untuk membuat keputusan.
Aturan yang berlaku untuk seorang perawat Indonesia dalam melaksanakan tugas
atau fungsi perawat adalah kode etik perawat nasional Indonesia, dimana seorang
perawat selalu berpegang teguh terhadap kode etik sehingga menjadi pelanggaran
etik dapat dihindari.
Berkat bimbingan Tuhan Yang Maha Esa dalam melaksanakan tugas pengabdian
untuk kepentingan kemanusiaan, bangsa dan tanah air, Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (PPNI) menyadari bahwa perawat Indonesia yang berjiwa
pancasila dan UUD 1945 merasa terpanggil untuk menunaikan kewajiban dalam
bidang keperawatan dengan penuh tanggung jawab, berpedoman kepada dasar-
dasar seperti tertera di bawah ini:
Perawat dan Klien
Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan menghargai harkat dan
martabat manusia, keunikan klien, dan tidak terpengaruh oleh pertimbangan
kebangsaan, kesukuan, warna kulit, umur, jenis kelamin, aliran politik, dan agama
yang dianut serta kedudukan social.
Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan senantiasa memelihara
suasana lingkungan yang menghormati nilai-nilai budaya, adat istiadat dan
kelangsungan hidup beragama dari klien.
Tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka yang membutuhkan
asuhan keperawatan.
Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui sehubungan dengan
tugas yang dipercayakan kepadanya kecuali jika diperlukan oleh berwenang
sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Perawat dan Praktik

18
Perawat memelihara dan meningkatkan kompetisi dibidang keperawatan melalui
belajar terus menerus
Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai
kejujuran professional yang menerapkan pengetahuan serta keterampilan
keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien.
Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi yang akurat dan
mempertimbangkan kemampuan serta kualifikasi seseorang bila melakukan
konsultasi, menerima delegasi dan memberikan delegasi kepada orang lain
Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan dengan
selalu menunjukkan perilaku professional
Perawat dan Masyarakat
Perawat mengemban tanggung jawab bersama masyarakat untuk memprakarsai
dan mendukung berbagai kegiatan dalam memenuhi kebutuhan dan kesehatan
masyarakat.
Perawat dan Teman Sejawat
Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama perawat maupun
dengan tenaga kesehatan lainnya, dan dalam memelihara keserasian suasana
lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan pelayanan kesehatan secara
menyeluruh
Perawat bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan illegal.
Perawat dan Profesi
Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar pendidikan dan
pelayanan keperawatan serta menerapkannya dalam kegiatan pelayanan dan
pendidikan keperawatan
Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan profesi
keperawatan
Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun dan
memelihara kondisi kerja yang kondusif demi terwujudnya asuhan keperawatan
(Dalami, 2015)

19
2.1.15 Profesionalisme keperawatan
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian
integral dari pelayanan kesehatan. Pelayanan keperawatan yang professional
merupakan praktek keperawatan yang dilandasi oleh nilai-nilai profesional, yaitu
mempunyai otonomi dalam pekerjaannya, bertanggung jawab dan bertanggung
gugat, pengambilan keputusan yang mandiri, kolaborasi dengan disiplin lain,
pemberian pembelaan dan memfasilitasi kepentingan klien. Tuntutan terhadap
kualitas pelayanan keperawatan mendorong perubahan dalam memberikan asuhan
keperawatan yang efektif dan bermutu. Dalam memberikan asuhan keperawatan
yang profesional diperlukan sebuah pendekatan manajemen yang memungkinkan
diterapkannya metode penugasan yang dapat mendukung penerapan perawatan
yang profesional di rumah sakit (Bimo, 2008). Model praktek keperawatan
profesianal (MPKP) adalah salah satu metode pelayanan keperawatan yang
merupakan suatu system, struktur, proses dan nilai-nilai yang memungkinkan
perawat profesional mengatur pemberian asuhan keperawatan termasuk
lingkungan untuk menopang pemberian asuhan tersebut. MPKP telah
dilaksanakan dibeberapa negara , termasuk rumah sakit di Indonesia sebagai suatu
upaya manajemen rumah sakit untuk meningkatkan asuhan keperawatan melalui
beberapa kegiatan yang menunjang kegiatan keperawatan profesional yang
sistematik. Penerapan MPKP menjadi salah satu daya ungkit pelayanan yang
berkualitas. Metode ini sangat menekankan kualitas kinerja tenaga keperawatan
yang berfokus pada profesionalisme keperawatan antara lain melalui penerapan
standar asuhan keperawatan. Standar Asuhan Keperawatan merupakan pernyataan
kualitas yang diinginkan dan dapat dinilai pemberian asuhan keperawatan
terhadap klien. Untuk menjamin efektifitas asuhan keperawatan pada klien, harus
tersedia kreteria dalam area praktek yang mengarahkan keperawatan mengambil
keputusan dan melakukan intervensi keperawatan secara aman. adanya standar
asuhan keperawatan dimungkinkan dapat memberikan kejelasan dan pedoman

20
untuk mengidenfikasi ukuran dan penilaian akhir. Standar asuhan keperawatan
dapat meningkatkan dan memfasilitasi perbaikan dan pencapaian kualitas asuhan
keperawatan.

21
BAB III
TINJAUAN KASUS

3.1 Kasus Konflik P-P


Di suatu rumah sakit, perawatnya terdiri dari lulusan S1 keperawatan dan
lulusan D3 keperawatan. Teman-teman perawat lulusan D3 merasa lebih
pandai dalam hal praktek pelayanan keperawatan kepada pasien dibandingkan
lulusan S1. Perawat lulusan D3 berkata "Ah, S1 paling cuma bisa teori saja,
praktek di lapangannya NOL BESAR!". Begitu pula sebaliknya, beberapa
perawat lulusan S1 merasa lebih senior dan lebih pintar dibanding teman-
teman D3. Mahasiswa S1 mengatakan "Ah, anak-anak D3, paling nanti cuma
jadi perawat aja sok gitu, mendingan kita dong S1, lapangan kerja kita lebih
luas, bisa jadi dosen, perawat atau tenaga kesehatan lain". Sering sekali
terjadi konflik antara perawat di rumah sakit ini karena perbedaan jenjang
pendidikan.

3.2 Pembagian Peran


Anissa S11
Gayuh s1 2
Rostiana d3 1
Qory d3 2
Karu faris

22
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Peninjauan kasus dari sudut dari prinsip etika


Dari prinsip etika yang diambil dari kasus konflik anatara perawat dengan
teman sejawat ini yaitu:
a. Keadilan (Justice)
Pada sumber literature keadilan (Justice) yaitu prinsip keadilan
dibutuhkan untuk tercapainnya sesuatu yang sama dan adil terhadap orang
lain yang menjunjung prinsip-prinsip moral, legal dan kemanusiaan. Nilai
ini direfleksikan dalam praktik professional ketika pearawat bekerja
untuk terapi yang bentar sesuai hukum, standar praktik dan keyakinan
yang benar untuk memperoleh kualitas pelayanan kesehatan. Kelompok
kami mengambil prinsip ini dikarenakan dalam kasus ini dan sumber
literature yang ada bahwa antara perawat diploma III (D3) dan Sarjana
Strata (S1) sama-sama memiliki hak dan kewajiban untuk merawat
seorang pasien dan memberikan asuhan keperawatan kepada klien, akan
tetapi hanya jenjang pendidikan mereka yang berbeda. Antara Diploma III
(D3) dan Sarjana Strata (S1) memiliki tanggung jawab secara
profesionalisme kepada pasien. Dalam profesi keperawatan antara
Diploma III (D3) dan Sarjana Strata 1 harus diperlakukan seadil-adilnya.
b. Kejujuran (Veracity)
Pada sumber literatur adanya prinsip etika kejujuran. Prinsip
kejujuran (veracity) berarti penuh dengan kebenaran. Kelompok kami
mengambil prinsip ini sesuai dengan kasus dan literature karena pada
kasus saat dialog perawat Sarjana Strata mengadu kepada Kepala
Ruangan dan perawat Diploma III (D3) jujur kepada Kepala Ruangan
bahwa mereka membicarakan perawat Sarjana Strata dibelakang dan

23
menjelek-jelekanya. Sehingga perawat Diploma III (D3) mengatakan
yang sejujurnya kepada Kepala Ruangan bahwa mereka melakukan hal
yang salah.
c. Akuntabilitas (Accountability)
Pada sumber literature adanya prinsip etika akuntabilitas
merupakan standar yang pasti bahwa tindakan seorang professional dapat
dinilai dalam situasi yang tidak jelas atau tanpa terkecuali. Sedangkan
pada kasus perawat Diploma III (D3) dan perawat Sarjana Strata harus
bekerja sesuai dengan strandar dan secara profesionalisme tanpa
mengandalkan satu sama lain karena tanggung jawab dan kewajiban
mereka sama untuk memberikan pelayanan secara professional kepada
pasien.

4.2 Kode etik


Dalam kasus konflik antara perawat dan teman sejawat, perawat
a. Pada sumber literature adanya kode etik tentang perawat dan praktik
 Perawat memelihara dan meningkatkan kompetisi dibidang
keperawatan melalui belajar terus menerus.
 Perawat senantiasa menjunjung tinggi nama baik profesi keperawatan
dengan selalu menunjukkan perilaku professional.
 Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang
tinggi disertai kejujuran professional yang menerapkan pengetahuan
serta keterampilan keperawatan sesuai dengan kebutuhan klien.
Pada kasus antara perawat Diploma III (D3) dan Sarjana Strata (S1)
harus meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap bidang kesehatan dan
perawat Diploma III (D3) dan Sarjana Strata (S1) dengan menjaga nama baik
profesi keperawatan dengan tidak bertengkar tentang derajat pendidikan
mereka masing masing.
b. Pada sumber literature adanya kode etik tentang Perawat dan Teman
Sejawat
 Perawat senantiasa memelihara hubungan baik dengan sesama perawat
maupun dengan tenaga kesehatan lainnya, dan dalam memelihara

24
keserasian suasana lingkungan kerja maupun dalam mencapai tujuan
pelayanan kesehatan secara menyeluruh.
 Perawat bertindak melindungi klien dari tenaga kesehatan yang
memberikan pelayanan kesehatan secara tidak kompeten, tidak etis dan
illegal.
Pada kasus antara perawat Diploma III (D3) dan Sarjana Strata (S1) saling
berselisih pendapat tentang keprofesional pekerjaan mereka sehingga
membuat hubungan baik mereka menjadi buruk karena terlalu
membanggakan derajat pendidikan mereka masing-masing. Padahal tanggung
jawab dan kewajiban mereka sama-sama memberikan pelayanan yang
professional kepada pasien..
c. Pada sumber literature adanya kode etik tentang Perawat dan Profesi
 Perawat mempunyai peran utama dalam menentukan standar
pendidikan dan pelayanan keperawatan serta menerapkannya dalam
kegiatan pelayanan dan pendidikan keperawatan.
 Perawat berperan aktif dalam berbagai kegiatan pengembangan profesi
keperawatan.
 Perawat berpartisipasi aktif dalam upaya profesi untuk membangun dan
memelihara kondisi kerja yang kondusif demi terwujudnya asuhan
keperawatan.
Pada kasus antara perawat Diploma III (D3) dan Sarjana Strata (S1) sama-
sama memiliki kekurangan meraka masing masing apabila Diploma III (D3)
mungkin lebih banyak praktik dibandingkan dengan teori, berbeda terbalik
dengan Sarjana Strata (S1) yang lebih banyak teori dibandingkan dengan
praktik. Jenjang pendidikan antara Diploma III (D3) dan Sarjana Strata (S1)
memiliki kelebihan masing-masing dalam bindang pendidikan mereka. Pada
teori Perawat vokasional dengan lulusan Diploma III (D3) memiliki
kewenangan untuk melakukan praktik keperawatan dalam batasan tertentu.
Praktik perawat vokasional berada di bawah supervisi perawat professional
baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Dan pada perawat
Sarjana Strata (S1) atau Perawat Profesional bekerja secara mandiri, otonom
namun tetap berkolaborasi dengan yang lain.

25
4.3 Hukum/kebijakan praktek keperawatan
Pada sumber literature undang-undang yang digunakan merupakan penjabaran
dari Undang-Undang No.9 tahun 1960. Undang-undang ini membedakan tenaga
kesehatan sarjana dan bukan sarjana. Tenaga sarjana meliputi dokter, dokter gigi
dan apoteker. Tenaga perawat termasuk dalam tenaga bukan sarjana atau tenga
kesehatan dengan pendidikan rendah, termasuk bidan dan asisten farmasi dimana
dalam menjalankan tugas dibawah pengawasan dokter, dokter gigig dan apoteker.
Pada keadaan tertentu kepada tenaga pendidikan rendah dapat diberikan
kewenangan terbatas untuk menjalankan pekerjaannya tanpa pengawasan
langsung. Undang-undang ini juga tidak mengatur landan hokum bagi tenaga
kesehatan dalam menjalankan pekerjaannya. Dalam undang-undang ini juga
belum tercantum berbagai jenis tenaga sarjana keperawatan seperti sekarang ini
dan perawat ditempatkan pada posisi yang secara hokum tidak mempunyai
tanggung jawab mandiri karena harus tergantung pada tenga kesehtannya lainnya.
UU Kesehtan No.14 tahun 1964, tentang Wajib Kerja Paramedis.
Karena pada kasus adanya tenaga kesehatan Diploma III (D3) keperawatan dan
Sarjana Strata (S1) keperawatan yang berhubungan dengan undang-undang yang
ada pada teori yang menjelaskan tentang tanggung jawab dan kejawiban kepada
perawat sesuai dengan derajat pendidikannya.

4.4 Profesionalisme keperawatan


Pada sumber literature teori profesionalisme keperawatan adalah bentuk
pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan
kesehatan. Pelayanan keperawatan yang professional merupakan praktek
keperawatan yang dilandasi oleh nilai-nilai profesional, yaitu mempunyai
otonomi dalam pekerjaannya, bertanggung jawab dan bertanggung gugat,
pengambilan keputusan yang mandiri, kolaborasi dengan disiplin lain,
pemberian pembelaan dan memfasilitasi kepentingan klien. Tuntutan
terhadap kualitas pelayanan keperawatan mendorong perubahan dalam
memberikan asuhan keperawatan yang efektif dan bermutu.

26
Sedangkan dalam kasus yang merasa pekerjaannya lebih professional ialah
perawat Diploma III (D3) karena mereka menganggap bahwa perawat Sarjana
Strata hanya mengetahui teori tidak dengan praktiknya. Sehingga perawat
Diploma III (D3) merasa paling professional. Sama halnya dengan Sarjana
Strata (S1) yang membanggakan derajat pendidikan mereka masing-masing.
Sehingga mereka berdua saling menyombongkan tentang keahlian mereka.
Dalam jenjang pendidikannya yang lebih professional ialah Sarjana Strata
(S1) karena Perawat professional harus lulus uji kompetensi sesuai dengan
standar yang ditetapkan oleh Konsil Keperawatan. Sedangkan Diploma III
(D3) atau perawat vokasional berada di bawah supervisi perawat professional
baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Memang berbeda
jenjang pendidikan mereka. Akan tetapi, mereka berdua sama-sama memiliki
kewajiban dan tanggung jawab yang harus mereka laksanakan dalam
pelayanan kesehatan.

27
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
5.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

Dalami, Ermawati, dkk. 2015. Etika Keperawatan. Jakarta: CV. Trans Infomedia
Lestari, Tri Rini Puji. 2014. PENDIDIKAN KEPERAWATAN: UPAYA
MENGHASILKAN TENAGA PERAWAT BERKUALITAS. Diakses di
http://jurnal.dpr.go.id/index.aspirasi/article/viel/525/349 pada tanggal 23
November 2016

28

Anda mungkin juga menyukai