Oleh
Gorgeous Lord Emanuel
071001700054
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2019
KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat dan
anugerahNya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolonganNya tentu penulis tidak mampu menyelesaikan makalah ini dengan
baik.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam makalah ini. Maka dari
itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran agar penulis dapat menyusun
karya ilmiah di kemudian hari dengan lebih baik. Akhir kata, semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat sebagaimana mestinya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR……………………………………………………….……ii
DAFTAR ISI……………………………………………….…….……………….iii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………..iv
DAFTAR TABEL………………………………………………………………....v
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………1
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................................14
BAB V KESIMPULAN.........................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………17
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
v
BAB I PENDAHULUAN
Sebuah lapangan minyak dan gas bumi memiliki tiga tahapan produksi yang
cukup kompleks yaitu : Primary, Secondary dan Tertiary. Seiring berjalannya
waktu dan produksi rate yang beragam, maka sebuah lapangan akan memasuki
tahap tertiary, dalam tahap tersebut proses EOR mulai dilakukan.
Enhanced oil recovery atau EOR merupakan metode yang digunakan untuk
meningkatkan perolehan hidrokarbon pada suatu sumur dengan menginjeksikan
fluida ataupun energi dari luar ke dalam reservoir (Kasmungin et al., 2019). Tujuan
dilakukannya EOR yaitu untuk mengambil sisa minyak yang masih ekonomis akan
tetapi sudah tidak lagi dapat diambil dengan cara primary recovery ataupun dengan
cara secondary recovery. Primary recovery merupakan suatu metode yang
dilakukan untuk memproduksi hidrokarbon dengan memanfaatkan energi alami
yang terkandung dalam reservoir itu sendiri, pada tahap primary recovery hanya
sebagian kecil dari hidrokarbon yang diproduksi, biasanya sekitar 10% untuk
reservoir minyak. Sedangkan secondary recovery merupakan suatu metode yang
dilakukan dengan menginjeksikan air (water flood) atau gas (gas flood) kedalam
sumur yang tujuannya untuk menggantikan tekanan yang hilang apabila masih
banyak minyak di dalam reservoir yang belum terangkat ke permukaan maka
sebelum produksi secara alamiah yang ekonomis berakhir atau bisa pada awal
kehidupan suatu reservoar digunakan metode injeksi kimia (chemical flooding)
untuk meningkatkan perolehan minyaknya, sebab injeksi kimia dapat
meningkatkan efisiensi penyapuan dan efisiensi pendesakan sehingga perolehan
minyaknya dapat meningkat sekitar 60% dari jumlah cadangan mula-mula di
reservoir. Injeksi kimia adalah salah satu metode pengurasan minyak tahap lanjut
dengan menambahkan zat-zat kimia ke dalam reservoir dengan jalan injeksi
penambahan zat-zat kimia. Injeksi kimia ini bertujuan untuk merubah sifat fisik dari
fluida reservoirnya, yaitu menurunkan tegangan antar muka. apabila tegangan
antarmuka memiliki nilai yang besar maka mobilitas minyak di reservoir akan
1
berkurang sehingga perolehan minyak pada primary recovery maupun secondary
recovery akan berdampak pada laju produksi yang menurun.
2
menjadi acuan untuk adanya penelitian demi terciptanya metode paling
efektif dalam peningkatan perolehan minyak.
3
BAB II PENGARUH SALINITAS AIR FORMASI PADA CHEMICAL
FLOODING
Injeksi kimia adalah salah satu metode pengurasan minyak tahap lanjut
dengan cara menambahkan zat-zat kimia ke dalam reservoir dengan cara injeksi
(Kasmungin et al., 2018). Injeksi kimia bertujuan untuk merubah sifat fisik dari
fluida reservoir, antara lain menurunkan tegangan antar muka dan meningkatkan
viskositas. Pada umumnya injeksi kimia diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu
injeksi surfaktan, injeksi polimer dan injeksi alkali.
Polimer yang terlarut dalam air digunakan sebagai viscosifying agent yang
dapat mengontrol mobilitas fluida injeksi (water base) untuk meningkatkan
efisiensi penyapuan. Polimer mengurangi efek negatif karena adanya variasi
4
permeabilitas dan rekahan dalam reservoir heterogen. Injeksi polimer terdiri atas
beberapa tahap, yaitu preflush (pengondisian reservoir), additional oil recovery (oil
Bank), injeksi larutan polimer untuk mengontrol mobilitas fluida, injeksi air bebas
mineral (fresh water buffer) untuk melindungi polimer, dan injeksi fluida
pendorong (driving fluid) berupa air.
Limitnya adalah jika viskositas dari minyaknya terlalu besar maka polimer yang
diinjeksikan harus dengan viskositas yang lebih tinggi pula untuk mencapai
mobility control yang diinginkan (Arina & Kasmungin, 2015). Hasilnya biasanya
5
lebih baik jika polymer flood dimulai sebelum WOR menjadi terlalu tinggi. Adanya
clay meningkatkan penyerapan polimer. Jika ada fracture atau rekahan maka
polymer yang berbentuk gel atau crosslinked polymer techniques harus
diaplikasikan.
6
mempunyai kemampuan untuk menurunkan tegangan antarmuka atau interfacial
tension antar dua fasa yang berbeda derajat polaritasnya. Penambahan surfaktan
dalam larutan akan menyebabkan turunnya tegangan permukaan larutan. Setelah
mencapai konsentrasi tertentu tegangan permukaan akan konstan walaupun
konsentrasi surfaktan ditingkatkan. Bila surfaktan ditambahkan melebihi
konsentrasi maka surfaktan mengagregasi membentuk misel. Konsentrasi
terbentuknya misel ini disebut Critical Micelle Concentration atau CMC. Tegangan
antarmuka akan menurun hingga CMC tercapai setelah tegangan antarmuka akan
konstan (Kasmungin et al., 2019).
1. Surfaktan Anionik
Surfaktan anionik yaitu surfaktan yang bagian alkilnya terikat pada suatu anion.
2. Surfaktan Kationik
Surfaktan kationik yaitu surfaktan yang bagian alkil terikat pada suatu kation.
3. Surfaktan Nonionik
4. Surfaktan Amfoter
Surfaktan amfoter yaitu surfaktan yang bagian alkilnya mempunyai muatan positif
dan negatif.
7
Kombinasi injeksi surfaktan – polimer merupakan metode tertiary yang dapat
meningkatkan perolehan minyak dengan cara :
II.4 Salinitas
8
tertentu, seperti NaCl akan menyebabkan penurunan tegangan permukaan minyak-
air sehingga tidak efektif lagi. Hal ini disebabkan oleh ikatan kimia yang
membentuk NaCl adalah ikatan ion yang mudah terurai menjadi ion Na+ dan Cl-.
Begitu juga dengan molekul-molekul surfaktan di dalam air akan mudah terurai
menjadi ion RSO3- dan H+. Konsekuensinya bila pada operasi pendesakan
surfaktan terdapat garam NaCl tersebut, maka akan terbentuk HCl dan RSO3Na
dan menjadi zat bukan aktif permukaan serta tidak dapat menurunkan tegangan
antar muka minyak-air.
9
larutan, tetapi, larutan dengan kadar salinitas yang rendah, penurunan tegangan
permukaan dengan penambahan konsentrasi surfaktan turun lebih efisien
dibandingkan dengan larutan lain yang kadar salinitasnya lebih tinggi (Viriya &
Lestari, 2015).
Berikut data yang diperoleh dari penelitian (Arina & Kasmungin, 2015)
tentang pengaruh salinitas pada brine terhadap kinerja polimer.
Dengan hasil recovery factor yang didapat dari proses injeksi maka dapat
dilihat bahwa salinitas brine sangat mempengaruhi performa polimer dalam
pendesakan minyak sisa. Semakin besar salinitas yang digunakan maka recovery
factor-nya menurun (Arina & Kasmungin, 2015).
10
Gambar II.4 Grafik Hasil Percobaan Larutan X-1
11
Gambar II.6 Grafik Hasil Percobaan Larutan X-3
12
BAB III METODOLOGI
MULAI
PERUMUSAN MASALAH
PENGUMPULAN DATA
SEKUNDER BERDASARKAN
SUMBER
SESUAI TIDAK
DENGAN
RUMUSAN
MASALAH
YA
SELESAI
13
BAB IV DISKUSI DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini akan dipaparkan pembahasan mengenai pengaruh air formasi
terhadap kinerja chemical flooding. Seperti yang dijelaskan oleh (Dan & Surfaktan,
2017) bahwa injeksi kimia atau chemical flooding merupakan upaya untuk
meningkatkan perolehan minyak dengan menambahkan zat – zat kimia ke dalam
resservoir untuk merubah sifat fisik fluida dengan menurunkan tegangan
permukaan dan mengoptimalkan sweep efficiency. Efisiensi dari chemical flooding
sangat bergantung kepada konsentrasi kimia tersebut dan kondisi kimiawi reservoir.
Aspek yang diperhitungkan pada makalah ini adalah salinitas air formasi, karena
pada setiap reservoir minyak dan gas memiliki air formasi dengan kadar salinitas
yang berbeda-beda. Air formasi dengan salinitas tinggi tentu akan mempengaruhi
efisiensi dari penggunaan chemical flooding. Pada injeksi surfaktan, hal tersebut
terjadi karena NaCl mudah terurai sehingga terbentuk senyawa yang menyebabkan
sulitnya penurunan tegangan permukaan yaitu HCl dan R-SO3Na (Danisworo,
Radityo and Kasmungin, Sugiatmo and Astra, 2017). Pada injeksi polimer, salinitas
juga berpengaruh pada sweep efficiency dari fluida pendesak (Kasmungin et al.,
2019).
Pada percobaan yang dilakukan oleh (Viriya & Lestari, 2015), terlihat bahwa
salinitas sangat berpengaruh terhadap hasil pengukuran interfacial tension. Pada
larutan brine tanpa surfaktan dengan salinitas yang berbeda, terlihat bahwa larutan
yang memiliki salinitas tertinggi, memiliki nilai interacial tension yang tinggi.
Kemudian pada larutan brine dengan salinitas berbeda dengan penambahan
surfaktan, terlihat bahwa surfaktan dapat menurunkan tegangan permukaan.
Namun, pada larutan dengan surfaktan yang konsentrasinya sama dan salinitasnya
berbeda, terlihat bahwa larutan dengan salinitas yang lebih tinggi tidak dapat
menurunkan tegangan permukaan dengan optimal. (Viriya & Lestari, 2015) juga
melakukan percobaan dengan output lain yaitu viskositas dan densitas. Pada
viskositas, salinitas berpengaruh pada peningkatan viskositas namun berdasarkan
data tersebut terlihat kenaikan viskositas tidak signifikan. Pada percobaan densitas,
salinitas juga berpengaruh pada kenaikan densitas namun terlihat pada larutan
14
dengan konsentrasi surfaktan yang sama, densitas yang terbaca sedikit lebih besar
larutan yang salinitasnya lebih tinggi. Pada proses percobaan injeksi polimer, kadar
salinitas berpengaruh pada sweep efficiency. Terlihat pada data yang diperoleh oleh
(Arina & Kasmungin, 2015), pada konsentrasi polimer yang sama dengan kadar
salinitas yang berbeda, terlihat bahwa recovery factor yang terbesar ada pada
larutan dengan salinitas yang paling kecil, dan recovery factor yang terkecil terletak
pada larutan dengan salinitas yang terbesar. Pada injeksi polimer, jika pada
reservoir terdapat salinitas yang tinggi, jangan menambahkan konsentrasi polimer
pada larutan. Hal tersebut dikarenakan pada air formasi yang salinitasnya tinggi,
terdapat banyak ion divale yang merupakan makromolekul sehingga jika
ditambahkan konsentrasi polimer lagi akan terjadi pore clogging atau penyumbatan
pori batuan. Sebagai pembanding RF dari salinitas 1000 ppm +polimer 1000 ppm
adalah 70 % dan pada polimer 5000 ppm adalah 45.45%, mengalami penurunan
hingga 24. 55% pada salinitas yang sama (Arina & Kasmungin, 2015). Jika hal
tersebut banyak terjadi dengan skala besar, maka akan terjadi kerusakan pada
formasi yaitu penurunan permeabilitas (Rahmanto, Sudibjo, & Kasmungin, 2017).
Maka solusi jika pada reservoir terdapat air formasi dengan salinitas yang tinggi
adalah menggunakan polimer yang water soluble sehingga tahan dengan salinitas
yang tinggi (Widyaningsih, 2017). Dengan menggunakan polimer yang water
soluble dan tahan salinitas tinggi, maka dapat digunakan polimer dengan
konsentrasi yang lebih tinggi dibanding salinitas air formasinya (Fathaddin,
Sudibjo, Fajarwati H., & Riswati, 2019). Pada proses injeksi surfaktan-polimer,
kedua sifat molekul tersebut perlu diperhatikan jika terdapat air formasi yang
memiliki salinitas tinggi pada reservoir (Yulia, Prayang Sunny and Kasmungin,
Sugiatmo and Fathaddin, 2017). Berdasarkan data yang didapat, larutan X-1 yang
memiliki konsentrasi surfaktan sebesar 1%, polimer sebesar 1000 ppm, dan kadar
salinitas sebesar 5000 ppm dapat mencapai recovery factor sebesar 67%. Kemudian
larutan X-2 dengan konsentrasi surfaktan 1,5%, polimer 1500 ppm, dan salinitas
sebesar 15000 ppm dapat mencapai recovery factor sebesar 69%. Dan larutan X-3
dengan konsentrasi surfaktan sebesar 1%, polimer sebesar 1500 ppm, dan salinitas
sebesar 25000 ppm mencapai recovery factor sebesar 50% dari OOIP.
15
BAB V KESIMPULAN
Dari hasil analisa beberapa data yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa
salinitas air formasi dapat mempengaruhi kinerja dari chemical flooding. Pada
injeksi surfaktan, salinitas air formasi mempengaruhi kinerja surfaktan dalam
menurunkan tegangan antarmuka atau IFT. Salinitas air formasi pada surfaktan
flooding dapat menghambat penurunan tegangan permukaan sehingga upaya
peningkatan perolehan minyak menjadi tidak optimal. Pada injeksi polimer,
salinitas air formasi juga mempengaruhi kinerja dari polimer itu sendiri. Dengan
hasil recovery factor yang didapat dari proses injeksi maka dapat dilihat bahwa
salinitas brine sangat mempengaruhi performa polimer dalam pendesakan minyak
sisa. Semakin besar salinitas yang digunakan maka recovery factor-nya menurun.
Pada injeksi surfaktan-polimer, salinitas air formasi juga mempengaruhi sweep
efficiency dari injeksi tersebut. Jika terdapat salinitas yang tinggi maka disarankan
konsentrasi dari surfaktan ditambah dan polimer tetap agar menambah efisiensi dari
kinerja chemical tersebut.
16
DAFTAR PUSTAKA
Fathaddin, M. T., Sudibjo, R., Fajarwati H., K., & Riswati, S. S. (2019).
Simulation Model Application to Predict the Effect of Salinity on Surfactant
Adsorption and Retention in Alkali Surfactant Flooding. Journal of Earth
Energy Science, Engineering, and Technology, 2(2).
https://doi.org/10.25105/jeeset.v2i2.4672
Kasmungin, S., Pramadika, H., Suryati, E., Rinanto, T., Yulianti, Y., Teknik, J.,
… Energi, D. (2019). Pengaruh Salinitas Optimum Terhadap Surfaktan
Pada. 1–6.
Rahmanto, A. E., Sudibjo, R., & Kasmungin, S. (2017). Injeksi Polimer Dengan
Pengaruh Jenis Polimer , Konsentrasi Dan Salinitas Brine Pada Recovery
Factor Minyak ( Laboratorium Study). Seminar Nasional Cendekiawan Ke 3,
(1), 27–32.
17
DAFTAR PUSTAKA (Lanjutan)
Pada Injeksi Surfaktan Dengan Kadar Salinitas Air Formasi Yang Bervariasi.
Prosiding Seminar Nasional Cendekiawan 2015 Buku II, 550–554.
18