Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

TEKNOLOGI PENGOLAHAN PRODUK DERIVAT

PEMANFAATAN SERABUT KELAPA MENJADI SURFAKTAN


NATRIUM LIGNOSULFONAT

disusun oleh:
Kelompok 1
Maisaroh (141710101055)
Avinda Nur Rahmawati (141710101004)
Vania Dyta Pramita (141710101007)
Bagas Bayu Widyantoro (141710101079)
Pungky Wildan Zain (141710101106)

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JEMBER
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
2016
BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Surface active agent (surfaktan) adalah suatu zat yang ketika dilarutkan
dalam pelarut muka maka molekul-molekulnya akan tertarik ke permukaan dan
kehadirannya dapat menurunkan tegangan permukaan. Surfaktan merupakan salah
satu zat yang sangat penting dalam polimer emulsi. Surfaktan terdiri dari gugus
hidrofilik (suka air) yaitu gugus yang sangat kuat tertarik ke pelarut polar dan
gugus hidrofobik (tidak suka air) yaitu gugus yang menjauh dari pelarut polar
(Yulizar dkk, 2005). Menurut Hui (1996) dan Matheson (1996) surfaktan dapat
diklasifikasikan menjadi empat kelompok besar, yaitu anionik, kationik,
nonionik, dan amfoterik. Masing-masing kelompok surfaktan tersebut memiliki
struktur kimia dan perilaku yang berbeda.
Kebutuhan pasar dunia terhadap surfaktan diperkirakan mencapai
10.000.000 ton per tahun. Aplikasi surfaktan pada dunia industri sangat luas,
diantaranya yaitu sebagai bahan utama pada industri deterjen dan pembersih
lainnya, bahan pembusaan dan emulsifier pada industri kosmetik dan farmasi,
bahan emulsifier pada industri cat, serta bahan emulsifier dan sanitasi pada
industri pangan (Hui, 1996). Selain itu, menurut Fidler (2001), menyebutkan
bahwa jutaan ton surfaktan digunakan setiap tahunnya pada beragam aplikasi
yang berbeda. Kelompok terbesar dalam jumlah pemakaian adalah surfaktan
anionik. Surfaktan jenis ini banyak diaplikasikan dalam hal pencucian dan
pembersihan.
Menurut LIPI (2004), di Indonesia kebutuhan surfaktan sekitar 95 ribu ton
per tahun, sedangkan kapasitas produksi dalam negeri hanya 55 ribu ton per
tahun, sehingga ada kekurangan sebesar 45 ribu ton yang harus di impor.
Berdasarkan hal tersebut diketahui bahwa kegunaan surfaktan di dunia industri
sangat luas. Kurangnya kebutuhan surfaktan tersebut mendorong berkembangnya
industri surfaktan di Indonesia. Dimana keberadaan bahan baku dalam pembuatan
surfaktan menjadi faktor utama mendorong berkembangnya industri surfaktan di
Indonesia.
Secara umum pembuatan surfaktan menggunakan bahan baku yang
renewable maupun non-renewable. Bahan baku renewable berasal dari sumber
daya alam, seperti minyak sawit, sedangkan bahan baku non-renewable berasal
dari produk industri kimia. Namun, selain minyak sawit sebagai bahan baku
renewable, buah kelapa juga memiliki potensi untuk dapat digunakan sebagai
bahan baku pembuatan surfaktan. Dimana buah kelapa tua terdiri dari empat
komponen utama yaitu 35% sabut, 12% tempurung, 28% daging buah dan 25%
air kelapa (Astawan, 2007). Dimana kandungan utama sabut kelapa terdiri dari
22% selulose, 10% hemiselulose, 47% lignin, 12% air,1,5% abu, dan 7,5%
ekstrak (Bilba, 2007). Berdasarkan hal tersebut, dapat diketahui bahwa lignin
merupakan salah satu komponen penyusun sabut kelapa cukup banyak. Besarnya
kandungan lignin dalam sabut kelapa dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan
potensi sabut kelapa agar memiliki nilai ekonomis. Pemanfaatan lignin dalam
sabut kelapa memiliki prospek yang lebih komersial yakni sebagai bahan baku
untuk pembuatan surfaktan.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalah tentang pamanfaatan sabut kelapa
sebagai bahan baku pembuatan surfaktan pada mata kuliah Teknologi Pengolahan
Produk Derivat adalah untuk mengetahui proses pembuatan surfaktan dan potensi
lignin sebagai salah komponen penyusun sabut kelapa sebagai bahan baku
pembuatan surfaktan.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 kelapa
Kelapa (Cocos nucifera L.) termasuk tumbuhan berkeping satu
(monocotyledonae) dan berakar serabut dari golongan palem (palmae) (Warisno,
2000). Batang kelapa mengarah lusur ke atas dan tidak bercabang. Tinggi batang
bisa mencapai 30 m dengan garis tengah 20-30 cm, tergantung iklim, tanah dan
lingkungan lahan. Daun kelapa bertulang sejajar memiliki pelepah daun dengan
anak daun pada sisi kiri dan kanannya. Tajuk daun terdiri dari 20-30 buah, pada
pohon yang sudah dewasa panjang tajuk daun mencapai kurang lebih 5-8 m. daun
yang mudah tumbuhnya tegak, makin besar dan makin tua semakin condong
akhirnya terkulai dan berguguran. Tanaman kelapa disebut juga tanaman berumah
saru karena mempunyai bunga jantan dan bunga betina dalam satu pohon
(Suhardiman dalam Sarpenni, 2007).
Bunga betina tanaman kelapa akan dibuahi 18-25 hari setelah bunga
berkembang dan buah akan menjadi masak setelah 12 bulan. Buah kelapa
berbentuk bulat panjang dengan ukuran kurang lebih sebesar kepala manusia.
Komposisi buah kelapa terdiri dari sabut (eksokarp dan mesokarp) dengan jumlah
35%, tempurung (endokarp) 12%, daging buah (endosperm) 28%, dan air buah
25%. Tebal sabut kelapa kurang lebih 5 cm dan tebal daging buah 1 cm atau lebih
(Ketaren, 1986).
Pada mulanya hanya ada dua varietas kelapa yang diketahui, yaitu kelapa
varietas dalam dan varietas genjah. Kelapa varietas dalam berbatang tinggi dan
besar, tingginya mencapai 30 m atau lebih dan berbuah agak lambat yaitu antara
6-8 setahun setelah tanam, dan umumnya dapat mencapai 100 tahun lebih.
Sedangkan tanaman kelapa varietas genjah berbatang ramping, tinggi batang
mencapai 5 m atau lebih, masa berbuah 3-4 tahun setelah tanam, dan dapat
mencapai umur 50 tahun. Dengan berkembangnya ilmu pemuliaan tanaman, maka
muncul lagi varietas baru, yaitu kelapa hibrida yang merupakan hasil persilangan
antara varietas genjah dengan varietas dalam (Palungkun, 2004).
Dalam sistematika, tumbuhan kelapa diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisio : Spermatophyta
Kelas : Monocotyledonae
Ordo : Palmales
Famili : Palmae
Genus : Cocos
Spesies : Cocos nucifera L.
(Tjitrosopomo, 2000).
Daging buah kelapa berwarna putih, lunak dan tebalnya 8-10 mm. Daging
buah kelapa yang sudah matang dapat dijadikan kopra, minyak kelapa, dan bahan
makanan lainnya. Daging buah ini merupakan sumber protein penting dan mudah
dicerna terutama pada kelapa yang setengah tua. Sedangkan kandungan kalorinya
mencapai maksimal ketika buah sudah tua.

2.2 Sabut kelapa


Sabut kelapa adalah salah satu biomassa yang mudah didapatkan dan
merupakan hasil samping pertanian. Komposisi sabut dalam buah kelapa sekitar
35% dari berat keseluruhan buah kelapa. Sabut kelapa terdiri dari serat (fiber) dan
gabus (pitch) yang menghubungkan satu serat dengan serat yang lainnya. Sabut
kelapa terdiri dari 75% serat dan 25% gabus. Potensi penggunaan serat sabut
kelapa sebagai biosorben untuk menghilangkan logam berat dari perairan cukup
tinggi karena serat sabut kelapa mengandung lignin (35% 45%) dan selulosa
(23%43%) (Carrijo,dkk.2002). Serat sabut kelapa sangat berpotensi sebagai
biosorben karena mengandung selulosa yang di dalam struktur molekulnya
mengandung gugus karboksil serta lignin yang mengandung asam phenolat yang
ikut ambil bagian dalam pengikatan logam. Selulosa dan lignin adalah biopolimer
yang berhubungan dengan proses pemisahan logam-logam berat (Pino,dkk.2005).

2.3 Lignin
Lignin berasal dari bahasa Latin, yaitu lignum yang artinya adalah kayu.
Lignin merupakan senyawa polimer fenol yang terdapat dalam dinding sel
tumbuhan (Setiadi, 1993). Lignin ditemukan pada jaringan tanaman, terikat pada
selulosa dan komponen-komponen tanaman lainnya. Lignin mempunyai beberapa
fungsi pada batang tanaman. Fungsi lignin adalah sebagai bahan pengikat
komponen penyusun lainnya, sebagai pengikat antara sel batang sehingga
membentuk semacam material komposit yang, dan berperan dalam menyalurkan
air, nutrisi, serta hasil metabolisme di dalam batang. Kandungan lignin berbagai
biomassa disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan lignin dalam berbagai biomassa

Biomassa Lignin (%b/b)


Tandan kosong sawit (oil palm empty fruit bunches) 15-22
Pelepah sawit (oil palm petiole) 18-20
Batang sawit (oil palm trunk) 22.6
Sabut sawit (oil palm tusk) 31.9
Sabut kelapa (coconut husk) 38.9
Jerami padi (paddy straws) 12-16
Jerami gandum (wheat) 16-21
Ampas tebu (bagasse) 19-24
Bambu (bamboo) 21-31
Kayu karet(rubber) 22
Kayu akasia(acacia) 30
Keterangan : % b/b dihitung atas dasar berta kering kayu setelah dioven
Struktur lignin berbeda-beda tergantung dari jenis tumbuhan sumbernya.
14
Penelitian dengan C radioaktif menegaskan bahwa p-hidroksi sinamil alkohol,
koniferil alkohol, dan sinapil alkohol merupakan unit monomer pembentuk lignin
(Fengel dan Wegener, 1995). Unit monomer pembentuk lignin dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Unit monomer pembentuk lignin

2.4 Surfaktan
Surfaktan merupakan suatu molekul yang sekaligus memiliki gugus
hidrofilik dan gugus lipofilik sehingga dapat mempersatukan campuran yang
terdiri dari air dan minyak. Surfaktan adalah bahan aktif permukaan. Aktifitas
surfaktan diperoleh karena sifat ganda dari molekulnya. Molekul surfaktan
memiliki bagian polar yang suka akan air (hidrofilik) dan bagian non polar yang
suka akan minyak/lemak (lipofilik). Bagian polar molekul surfaktan dapat
bermuatan positif, negatif atau netral. Sifat rangkap ini yang menyebabkan
surfaktan dapat diadsorbsi pada antar muka udara-air, minyak-air dan zat padat-
air, membentuk lapisan tunggal dimana gugus hidrofilik berada pada fase air dan
rantai hidrokarbon ke udara, dalam kontak dengan zat padat ataupun terendam
dalam fase minyak. Umumnya bagian non polar (lipofilik) adalah merupakan
rantai alkil yang panjang, sementara bagian yang polar (hidrofilik) mengandung
gugus hidroksil. (Jatmika, 1998)
Dalam bidang komersial, surfaktan diklasifikasikan berdasarkan
kegunaannya. Secara ilmiah surfaktan terdiri dari beberapa jenis yang dibagi
berdasarkan jenis dari headnya, yaitu surfaktan anionik, surfaktan kationik,
surfaktan nonionik, dan surfaktan amfoterik. Surfaktan anionik, adalah surfaktan
yang bagian headnya bermuatan negatif. Mengikuti namanya masing-masing,
surfaktan kationik adalah surfaktan dengan head bermuatan positif, surfaktan
nonionik mempunyai head yang tidak bermuatan, dan surfaktan amfoterik bagian
headnya bermuatan positif dan negatif.
Surfaktan banyak digunakan dalam industri minyak, industri mineral,
industri kimia, farmasi, penyamakan kulit, pengeboran, penggalian, dan
pengecoran. Selain itu, surfaktan manjadi salah satu bahan utama pada deterjen,
sabun, sampo, cat, lem, tinta, dan kosmetik. Di industri perminyakan, surfaktan
berperan pada proses penyulingan dan produksi. Surfaktan digunakan seabagai
flotation agent dan reagen untuk mengatur parameter-paremeter dasar dalam
drilling mud (Gultom dkk, 2009).
2.5 Surfaktan Natrium Lignosulfonat
Lignosulfonat disebut juga lignin sulfonat atau sulphite lignin.
Lignosulfonat merupakan suatu surfaktan yang dihasilkan dari proses sulfite
pulping pada kayu. Pada proses sulphite pulping, lignin dibuat larut dalam dalam
solven polar (air) melalui proses sulfonasi dan hidrolisis (Kirk Othmer 1981).
Pada sulphite pulping, lignin bereaksi dengan bisulfit membentuk
lignosulfonat. Reaksi yang terjadi adalah: HSO3- + lignin-OH lignin-SO3- +
H2O. (Lawoko Martin 2005). Lignin dapat mengalami reaksi seperti oksidasi,
reduksi, discolorasi, hidrolisis, dan reaksi kimia lain serta reaksi enzymatik. Hal
ini dikarenakan terbentuknya gugus intermediet pada lignin yang bersifat reaktif
yaitu phenoxy radical, quinonemethide, dan phenoxy anion.
Beberapa manfaat dari Natrium Lignosulfonat diberikan sebagai berikut.
1. Sebagai superplasticizer pada hidrasi semen portland untuk memperbaiki
stabilitas semen.
2. Sebagai penghambat korosi dan pengerakan serta berpotensi digunakan dalam
sistem resirkulasi air pendingin.
3. Sebagai agen fungsionalisasi multiwalled carbon nanotubes (MWCNTs).
4. Sebagai reinforcing agent dalam pembuatan tembikar, porselen dan bahan-
bahan yang tidak mudah terbakar.
5. Dalam bidang pertanian, NaLS digunakan sebagai agent pendispersi dari
pestisida dan sebagai pelletizing agent dalam pembuatan pupuk dan pakan
ternak.

2.6 Proses Pembuatan Natrium Lignosulfonat


Ada beberapa proses pembuatan natrium lignosulfonat yang sudah diteliti.
Secara umum terdapat kemiripan dalam proses-proses tersebut. Perbedaan
biasanya terletak pada kondisi proses sulfonasi (temperatur dan pH) dan jenis
garam sulfit yang digunakan (Gultom dkk, 2009). Salah satu proses pembuatan
natrium lignosulfonat terdapat dalam US Paten No.4,892,588 yang diajukan Juni
(2010). Pada umumnya terdapat enam tahap dalam pembuatan natrium
lignosulfonat, yaitu isolasi lignin, pengaktivan lignin, metilolasi, pengasaman, dan
sulfonasi
2.6.1 Isolasi Lignin
Metode isolasi lignin dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar yaitu metode
presipitasi lignin dengan asam dan metode melarutkan lignin dengan pelarut
tertentu atau dengan pembentukan turunan lingnin yang larut (Fengel dan
Wegener, 1995). Metode isolasi dengan presipitasi menghasilkan lignin asam.
Umumnya presipitasi dilakukan dengan asam sulfat, asam klorida, campuran
asam-asam tersebut, atau menggunakan asam mineral lain. Hal lain disebabkan
karena suasana asam dapt mengubah ion tertionisasi (ion fenolat) menjadi bentuk
tak terionasi (fenol). Pelarut lain yang lebih cocok untuk melarutkan lignin adalah
dioksan. Lignin larut baik dalam dioksan. Dengan pelarut dioksan, lignin yang
dihasilkan lebih murni dan tidak mengalami perubahan struktur.
2.6.2 Pengaktifan Lignin
Pada proses aktivasi, padatan lignin dicampur dengan larutan NaOH 50%.
Pada proses pencampuran ini, lignin padatan dengan pH sekitar 6 akan dicampur
dengan larutan NaOH yang sangat basa, sehingga pada akhir reaksi akan
dihasilkan fase lumpur dengan pH sebesar 11. Pada proses in, Na+ dari larutan
NaOH mensubstitusi H+ yang terdapat pada lignin, sehingga akan dihasilkan
kompleks Na-Lignin, sedangkan OH- dari NaOH bergabung dengan H+
membentuk H2O. Aktivasi lignin pada umunya dilangsungkan pada temperatur
65-70 oC. Skema reaksi pengaktivan lignin dapat dilihat pada gambar 2.

Gambar 2. Skema reaksi pengaktivan lignin


2.6.3 Metilolasi
Metilolasi merupakan proses reaksi antara lignin yang telah diaktifkan dengan
larutan formaldehid yang bertujuan untuk menambah gugus CH2OH pada lignin.
Pada US Paten No.4,892,588 disebutkan bahwa jumlah formaldehid yang
digunakan dalam reaksi ini adalah 3 mol formaldehid per 1000 gram lignin.
Proses ini dilangsungkan selama 2 jam pada rentang temperatur 65 70 oC dan
pH 9,5 11. Hasil dari reaksi ini adalah metilolated lignin yang akan disalurkan
untuk proses pengasaman. Skema reaksi metilolasi lignin ini dapat dilihat pada
Gambar 3.

Gambar 3. Skema reaksi metilolasi lignin


2.6.4 Pengasaman
Pengasaman dilakukan dengan mereaksikan metilolated lignin dengan
larutan H2SO4. Ada dua tujuan dalam proses pengasaman, yaitu untuk
menghindari reaksi yang tidak diinginkan dan mengurangi kandungan elektrolit
yang dihasilkan dari reaksi metilolasi. Skema pengasaman metilolasi lignin ini
dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Skema reaksi pengasaman lignin


2.6.5 Sulfonasi
Tahap ini merupakan tahapan inti untuk menghasilkan garam lignosulfonat.
Reaksi terjadi antara lignin yang telah diasamkan dengan garam sulfit. Ada
beberapa jenis garam sulfit yang dapat digunakan dalam sulfonasi. Pada US Paten
No.4,892,588 garam sulfit yang digunakan adalah natrium bisulfit.
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Alat dan bahan


3.1.1 Alat
1. Mesin penggiling (rotary cutter)
2. Alat pnyaring 0,71-0,5 mm
3. Alat pemasak/digester
4. Blow tank
5. Washing tank
6. Filter press
7. Alat penyaring 20m
8. Tangki pengasaman
9. Tanki isolasi
10. Alat decanter
11. Sentrifuge
12. Reaktor sulfonasi
13. Tangki pencampuran
14. Spray dryer
3.1.2 bahan
1. Sabut kelapa
2. Metanol
3. NaOH
4. H2SO4
5. NaHSO4
6. Air
3.2 Skema Kerja
3.2.1 Proses pembuatan DSK (Debu Sabut Kelapa)

Sabut kelapa

Penguraian menjadi serat

Pengeringan dengan sinar matahari selama 1 minggu

Pemotongan (ukuran 30 mm)

Penggilingan

Pemisahan Ampas

Debu Sabut kelapa


(DSK)

Gambar 5. Diagram alir pembuatan DSK (Debu Sabut Kelapa)


Tahap pertama yang harus dilakukan dalam pembuatan surfaktan Natrium
Lignosulfonat adalah membuat DSK (Debu Sabut Kelapa). Proses pembuatan
DSK (Debu Sabut Kelapa) adalah diawali dengan penguraian sabut kelapa
menjadi serat untuk mempermudah pengeringan dengan sinar matahari. Perlakuan
selanjutnya adalah pengeringan dengan sinar matahari selama 1 minggu yang
fungsinya untuk mengurangi kadar air bahan. Setelah dikeringkan kemudian
dilakukan pemotongan dengan ukuran 30 mm yang fungsinya untuk
mempermudah proses penggilingan. Alat untuk penggilingan adalah mesin
penggiling (rotary cutter). Setelah diperoleh sabut kelapa dengan ukuran yang
lebih kecil dan halus maka tahap selanjutnya adalah pemisahan antara debu sabut
kelapa dan ampasnya menggunakan alat penyaring. Debu sabut kelapa inilah yang
digunakan sebagai bahan pembuatan NLS (Natrium Lignosulfonat).
3.2.2 Proses delignifikasi

Debu Sabut kelapa (DSK)

NaOH Pencampuran

Pemanasan 170oC selama 1,5 jam

Pulp dan lindi hitam

Pemasukan kedalam blow tank

Air Pemasukan kedalam washing tank

Pemasukan kedalam filter press 20m Residu

Filtrat (Lindi hitam)

Gambar 6. Diagram alir proses delignifikasi


Delignifikasi dilakukan dengan menggunakan larutan NaOH karena
larutan ini dapat merusak struktur lignin pada bagian kristalin dan amorf serta
memisahkan sebagian hemiselulosa. Julfana Rika (2012) mengatakan bahwa
Ekstraksi hemiselulosa dapat menggunakan pelarut seperti NaOH, NH4OH dan
KOH. Di antara ketiga pelarut tersebut yang paling baik digunakan adalah NaOH.
Hemiselulosa memiliki struktur amorf sehingga penggunaan NaOH dapat
menghilangkan lignin sekaligus mengekstraksi hemiselulosa. Dalam penelitian
Safaria (2013) larutan NaOH dapat menyerang dan merusak struktur lignin pada
bagian kristalin dan amorf serta memisahkan sebagian hemiselulosa.
Gambar 7. Reaksi delignifikasi
Mekanisme pemutusan ikatan antara lignin dan selulosa mengunakan
NaOH. Ion OH dari NaOH akan memutuskan ikatan-ikatan dari struktur dasar
lignin sedangkan ion Na+ akan berikatan dengan lignin membentuk natrium
fenolat. Garam fenolat ini bersifat mudah larut. Lignin yang terlarut ditandai
dengan warna hitam pada larutan yang disebut lindi hitam (black liquor). Setelah
proses perendaman, sampel disaring untuk membuang lignin yang terlarut dalam
larutan tersebut kemudian sampel ini dicuci menggunakan air untuk
membersihkan larutan yang masih menempel pada sampel. Sampel yang sudah
dicuci ini dikeringkan untuk mengurangi kadar air yang terdapat dalam sampel.
Hasil yang diperoleh yaitu berkuranganya berat sampel dan terjadinya perubahan
fisik serta berubahnya warna serabut kelapa. Hal ini dapat diduga bahwa
kandungan lignin yang terdapat pada serabut kelapa telah 25% hilang dan lepas.
3.2.3 Proses isolasi lignin

Lindi hitam

Pengendapan
H2SO4 20%
sampai pH2 Penambahan bahan

Larutan NaOH Penambahan bahan

Pemasukan kedalam alat Decanter

Larutan Na lignat

Sentrifugasi 400 rpm selama 20 menit Air

Na-lignat

Gambar 8. diagram alir proses isolasi lignin


Isolasi lignin merupakan tahap pemisahan lignin. Berbagai teknik isolasi
lignin telah dipelajari, tetapi pada prinsipnya sama yaitu diawali dengan proses
pengendapan padatan. Menurut Damat (1989), pengendapan lignin dalam larutan
sisa pemasak terjadi sebagai akibat terjadinya reaksi kondensasi pada unit-unit
penyusun lignin (para-koumaril alkohol, koniferil alkohol dan sinapil alkohol)
yang semula larut akan terpolimerisasi dan membentuk molekul yang lebih besar.
Gambar 9. Struktur dari unit penyusun lignin (1) kumiril alkohol (2)
koniferil alkohol (3) sinapil alkohol (Dawin dan Lewis, 2005)
Isolasi Lignin Lindi hitam dilakukan pengujian statistik berdasarkan
pengaruh jenis lindi hitam yaitu lindi hitam dari proses delignifikasi dan
konsentrasi asam (H2SO4) untuk memproduksi lignin dengan kondisi isolasi
terbaik. Proses isolasi ini mengacu pada metode isolasi yang dikembangkan oleh
Kim et al. (1987). Lindi hitam terlebih dahulu disaring menggunakan kertas saring
kemudian sebanyak 300 ml dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ligninnya
diendapkan melalui cara titrasi oleh asam sulfat (H2SO4 20%). Titrasi dilakukan
secara perlahan-lahan (1 ml per menit) sampai pH 2. Endapan lignin dipisahkan
dari lindi hitam yang telah diasamkan dengan menggunakan alat sentrifuse. Untuk
meningkatkan kemurnian lignin, endapan lignin dilarutkan dalam larutan alkali
yaitu NaOH 1N, kemudian disaring dengan kertas saring sehingga dihasilkan
larutan lignin dengan kemurnian yang lebih tinggi. Endapan lignin dipisahkan dari
larutan dengan menggunakan alat sentrifuse. Endapan lignin dicuci menggunakan
aquades dan disaring menggunakan penyaring vakum. Endapan yang telah dicuci
dikeringkan dalam oven (50-60oC).
Menurut pendapat Kim et al. (1987) yang menyatakan bahwa penggunaan
H2SO4 dalam isolasi lignin lebih baik dibandingkan menggunakan HCl karena
lignin yang dihasilkan mengandung kation logam seperti Na yang lebih rendah
dibandingkan isolasi dengan menggunakan HCl. Hasil penelitian Nurhayati
(1993) juga menyatakan bahwa penggunaan beberapa jenis asam tidak
memberikan pengaruh nyata terhadap rendemen dan sifat ligninnya. Menurut
Damat (1989), untuk mengisolasi lignin dari larutan sisa pemasak pulp sebaiknya
digunakan asam sulfat (H2SO4) karena secara ekonomis lebih murah.
3.2.4 Reaksi sulfonasi

Na-lignat

NaHSO3 Penambahan bahan

Larutan natrium lignosulfat


(SLS), air, sisa NaHSO3

Metanol Penambahan bahan

Pemisahan dengan Decanter dan Sentrifus NaHSO3

Pengeringan dengan Spray dryer 110oC

Bubuk NLS

Gambar 10. Diagram alir rekasi sulfonasi


Mekanisme terbentuknya surfaktan natrium lignosulfonat (NLS) diawali
dengan mekanisme terbentuknya lignosulfonate. Sulfonasi merupakan reaksi
antara ion bisulfite dengan molekul lignin. Reaksi yang terjadi pada proses
sulfonasi lignin ini termasuk reaksi irreversible dan bersifat endotermis. Suhu dan
pH merupakan faktor yang paling berpengaruh pada reaksi pembentukan
lignosulfonate. Semakin tinggi tingkat keasamannya maka laju hidrolisis akan
semakin meningkat dan semakin tinggi temperature laju reaksi akan semakin
besar.
Gambar 11. Reaksi sulfonasi
Sulfonasi adalah reaksi kimia yang melibatkan penggabungan gugus asam
sulfonat, HSO3, ke dalam suatu molekul ataupun ion, termasuk reaksi-reaksi yang
melibatkan gugus sulfonil halida ataupun garam-garam yang berasal dari gugus
asam sulfonat, misalnya penggabungan SO3 ke dalam senyawa organik.
Natrium lignosulfonat adalah surfaktan anionik yang terbentuk dari hasil
reaksi antara lignin dengan natrium bisulfit (NaHCO3), dimana rantai
hidrokarbonnya sebagai gugus hidrofobik dan ion SO3 - sebagai gugus
hidrofiliknya. NLS bisa juga disebut lignin sulfonat atau sulphite lignin
merupakan suatu surfaktan yang dihasilkan dari proses sulfite pulping. Pada
proses sulfite pulping, lignin dibuat larut dalam solven polar (air) melalui proses
sulfonasi dan hidrolisis. Natrium lignosulfonat (NLS) termasuk jenis surfaktan
anionik karena memiliki gugus sulfonat dan garamnya (-NaSO3) yang merupakan
gugus hidrofilik (suka air) serta gugus hidrokarbon yang merupakan gugus
hidrofobik.
Proses sulfonasi lignin menjadi natrium lignosulfonat (NLS)
menggunakan agen penyulfonasi yaitu natrium bisulfit (NaHSO3). Fengel dan
Wegener (1995) menyatakan bahwa reaksi sulfonasi lignin menjadi NLS,
berlangsung serupa dengan sulfonasi terhadap 1,2, diguaiasil propana-1,3-diol.
Langkah pertama berlangsung melalui pembentukan kuinon metida dengan
pemecahan gugus -hidroksil. Reaksi adisi elektrofilik terhadap kuinon metida
oleh bisulfit menghasilkan natriun 1,2-diguasil propana-- sulfonat (eliminasi air)
dan diikuti adisi elektrofilik yang menghasilkan natrium 1,2-diguasilpropana-,-
disulfonat seperti terlihat pada Gambar 12. Keberhasilan proses sulfonasi
tergantung pada nilai kemurnian lignin, temperatur, dan pH (Fengel dan Wegener
1995; Gargulak dan Lebo 2000).

Gambar 12. Reaksi sulfonasi terhadap 1,2-diguasilpropana-1,3-diol


BAB 4. KARAKTERISTIK DAN MUTU

4.1 Analisa Surfaktan berdasarkan SNI 06-6989.51-2005 (Rachim dkk, 2012)


Pembuatan larutan kerja surfaktan anionic:
1) Larutkan 1 gr ABS dengan aquadest 100 ml dalam labu ukur 1000 ml
kemudian tambahan aquadest sampai tanda tera dan dihomogenkan.
2) Pipet 10 ml larutan induk surfaktan anionik 1000 mg/L dan masukkan dalam
labu ukur 100 ml, kemudian tambahkan aquadest sampai tanda tera dan
dihomogenkan
3) Pipet 1,0 ml; 2,0 ml, 3,0 ml dan 5,0 ml larutan ABS 100 mg/L dan masukkan
masing-masing ke dalam labu ukur 250 ml.
4) Tambahkan aquadest sampai tanda tera sehingga diperoleh kadar surfaktan
anionik 0,4; 0,8; 1,2 dan 2,0 mg/L.

Pembuatan Kurva Kalibrasi:


1) Optimalkan alat spektrofotometer sesuai dengan petunjuk alat untuk
pengujian kadar surfaktan anionik.
2) Ambil masing-masing 100 ml aquadest dan larutan kerja dengan kadar
surfaktan anionik 0,4; 0,8; 1,2 dan 2,0 mg/L kemudian masukkan ke dalam
corong pemisah 250 ml.
3) Tambahkan larutan biru metilen sebanyak 25 ml.
4) Tambahkan 10 ml CHCl3, dikocok dengan kuat selama 30 detik dan tutup
corong dibuka sesekali.
5) Biarkan hingga terjadi pemisahan fase, goyangkan corong perlahan-lahan,
jika terbentuk emulsi tambahkan sedikit isopropil alkohol sampai emulsinya
hilang.
6) Pisahkan lapisan bawah (fasa kloroform) dan ditampung dalam corong
pemisah yang lain.
7) Ekstraksi kembali fasa air dalam corong pemisah dengan mengulangi langkah
4 sampai 6 sebanyak 2 kali dan satukan semua fasa kloroform.
8) Tambahkan 50 ml larutan pencuci ke dalam fasa kloroform dan kocok kuat-
kuat selama 30 detik.
9) Biarkan terjadi pemisahan fasa, goyangkan perlahan-lahan kemudian
masukan ke dalam labu ukur.
10) Tepatkan isi labu ukur pada langkah i hingga tanda tera dengan kloroform.
11) Ukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 652 nm dan catat
serapannya.

Prosedur Uji:
1) Ukur sample sebanyak 100 ml dan masukkan dalam corong pemisah 250 ml.
2) Tambahkan 3 sampai 5 tetes indikator fenolftalin dan NaOH 1N tetes demi
tetes hingga timbul warna merah muda, kemudian hilangkan dengan
menambahkan H2SO4 1N tetes demi tetes.

4.2 Analisis Karakteristik Larutan Surfaktan (Lignosulfonat) (Furi dan


Pamilia, 2012)
a) Pencirian Warna dan Bau
Pencirian warna dan bau dari larutan Lignosulfonat dilakukan secara visual.
b) Uji Kelarutan dalam Air
1) Memipet 5 ml larutan Lignosulfonat dengan menggunakan pipet ukur dan
dimasukan ke dalam gelas ukur 100 mL.
2) Menambahkan aquadest mulai dari 10 mL sampai 50 mL.
3) Mengamati apakah larutan Lignosulfonat dapat larut dalam aquadest.
c) Uji pH Larutan Lignosulfonat
1) Mengambil 5 mL larutan Lignosulfonat dengan menggunakan pipet ukur
2) Melarutkannya ke dalam 10 mL di dalam gelas kimia 100 mL, kemudian
menentukan pH nya menggunakan kertas pH universal.
4.3 Analisis Kinerja Surfaktan (Murni dkk, 2013)
Uji kinerja surfaktan pada penelitian ini terbatas pada phase behavior. Uji
phase behavior di laboratorium dilakukan terhadap fluida campuran surfaktan, air
dan minyak dengan cara uji tabung, yaitu dengan mencampurkan fluida dengan
volume dan konsentrasi tertentu. Campuran kemudian dikocok dan dipanaskan
dalam oven hingga suhu 60oC (mendekati suhu reservoir). Penentuan phase
behavior sangat penting dalam memperkirakan kinerja peningkatan perolehan
minyak dengan metode injeksi surfaktan. (Berger, 2009).

4.4 Penelitan optimum proses sulfonasi lignin isolat menjadi NLS


Penelitian yang telah dilakukan yaitu mendapatkan kondisi optimum
proses sulfonasi lignin isolat menjadi NLS menggunakan metode permukaan
respon/response surface method (RSM), diperoleh kondisi proses optimum terjadi
pada nisbah pereaksi (NaHSO3 terhadap lignin) yaitu 60,32%, pH 6,03 dan suhu
90,280 C, menghasilkan konversi optimum 72,2% (Ismiyati, 2008).

4.5 Aplikasi surfaktan


Penggunaan surfaktan sangat bervariasi, seperti bahan deterjen, kosmetik,
farmasi, makanan, tekstil, plastik dan lainlain. Beberapa produk pangan seperti
margarin, es krim, dan lain-lain menggunakan surfaktan sebagai satu bahannya.
Syarat agar surfaktan dapat digunakan untuk produk pangan yaitu bahwa
surfaktan tersebut mempunyai nilai Hydrophyle Lypophyle Balance (HLB) antara
2-16, tidak beracun, serta tidak menimbulkan iritasi. Penggunaan surfaktan terbagi
atas tiga golongan, yaitu sebagai bahan pembasah (wetting agent), bahan
pengemulsi (emulsifying agent) dan bahan pelarut (solubilizing agent).
Penggunaan surfaktan ini bertujuan untuk meningkatkan kestabilan emulsi dengan
cara menurunkan tegangan antarmuka, antara fasa minyak dan fasa air. Surfaktan
dipergunakan baik berbentuk emulsi minyak dalam air maupun berbentuk emulsi
air dalam minyak (Fiona, 2012)

Menurut Rivai (2012), Aplikasi surfaktan dapat digunakan dalam proses


produksi minyak bumi. Proses produksi minyak bumi menggunakan tenaga
pendorong alami primary recovery dan secondary recovery dalam reservoir sudah
tidak dapat mendorong minyak untuk naik ke permukaan sehingga minyak bumi
tersebut tidak dapat diproduksi berkisar antara 60-70% dari volume minyak awal.
Sehingga perlu diterapkan metode peningkatan perolehan minyak tahap lanjut
yang dikenal dengan istilah Enhanced Oil Recovery (EOR). Salah satu metode
EOR yang digunakan yaitu injeksi kimia dengan menggunakan surfaktan. Injeksi
surfaktan merupakan salah satu cara untuk mengurangi sisa minyak yang masih
tertinggal di dalam reservoir dengan cara menginjeksikan suatu zat aktif
permukaan ke dalam reservoir sehingga tegangan antarmuka minyak-air dapat
diturunkan. Dengan turunnya tegangan antarmuka maka tekanan kapiler pada
daerah penyempitan pori-pori batuan reservoir dapat dikurangi sehingga minyak
yang terperangkap dalam pori-pori batuan dapat didesak dan diproduksi.

Proses pemompanaan sisa minyak bumi didalam reservoior dapat berjalan


dengan optimal, maka diperlukan jenis surfaktan yang sesuai dengan kondisi air
formasi dan reservoir tersebut. Salah satu jenis surfaktan yang potensial untuk
dikembangkan yaitu surfaktan metil ester sulfonat (MES). Surfaktan MES
merupakan surfaktan anionik dengan struktur umum RCH(CO2Me)SO3Na,
dihasilkan melalui proses sulfonasi metil ester asam lemak (RCH2CO2Me) dengan
alternatif pereaksi yang dapat digunakan asam sulfat (H2SO4), oleum (larutan SO3
di dalam H2SO4), sulfur trioksida (SO3), NH2SO3H, dan ClSO3H. Surfaktan MES
memungkinkan untuk diaplikasikan pada industri perminyakan mengingat
surfaktan MES memiliki kelebihan dibandingkan surfaktan berbasis petrokimia
(linier alkilbenzen sulfonat, LAS) diantaranya: bersifat terbarukan, mudah
didegradasi (good biodegradability), biaya produksi lebih rendah (sekitar 57%
dari biaya produksi surfaktan LAS), karakteristik dispersi yang baik, sifat
detergensi yang baik terutama pada air dengan tingkat kesadahan yang tinggi
(hard water), pada konsentrasi MES yang lebih rendah daya deterjensinya sama
dengan petroleum sulfonat.
BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah memanfaatkan bagian kelapa yaitu
serabut kelapa yang mengandung lignin yang cukup tinggi sehingga berpotensi
untuk bahan baku pembutan surfaktan yang melalui proses pembuatan debu sabut
kelapa, delignifikasi, isolasi lignin dan sulfonasi.

5.2 Saran
Saran dari makalah ini adalah memanfaatkan produk samping atau limbah
kelapa yang selain sabur kelapa untuk pembuatan produk yang lebih berpotensi.
DAFTAR PUSTAKA

Bilba, K., Arsene, M.A., Ouensanga, A. 2007. Study of Banana and Coconut
Fibers Botanical Composition, Thermal Degradation and Textural
Observations. Bioresource Technology, 98: 5868.
Carrijo, O.A., Liz, R.S., Makishima, N., 2002. Fiber of Green Coconut shell as
Agriculture substratum. Brazilian Horticulture, 20, 533-535
Damat. 1989. Isolasi Lignin dari Larutan sisa pemasak pabrik pulp dengan
menggunakan H2SO4 dan HCl. Bogor: Skripsi. Jurusan Teknologi Industri
Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Davin LB, Lewis NG. 2005. Lignin primary structures and dirigent sites. Current
Opinion in Biotechnology 16:407415.
Fengel, D. dan Wegener, G. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi.
Terjemahan Hardjono Sastrohamidjojo. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Fildler, R. 2001. Mediamorfosis. Yogjakarta: Bentang Budaya.
Furi, T. A., and P. Coniwanti. 2012. Pengaruh Perbedaan Ukuran Partikel dari
Ampas Tebu dan Konsentrasi Natrium Bisulfit (NaHSO3) pada Proses
Pembuatan Surfaktan. Jurnal Teknik Kimia. Jurusan Teknik Kimia
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya. No.4 18: 49-58.
Gurgulak J.D. dan S.E. Lebo. 2000. Commercial use of lignin-based materials. Di
dalam Glasser W.G., R.A. Northey, T.P. Schultz (eds.), Lignin: Historical,
biological, and materials perspectives. Oxford University Press,
Washington pp. 304-320.
Hui, Y. H., 1996. Baileys Industrial Oil and Fat Products Vol 4. Edible Oil and
Fat Products: Processing Technology. John Wiley & Sons, New York.
Jatmika, A., 1998, Aplikasi Enzim Lipase dalam Pengolahan Minyak Sawit dan
Minyak Inti Sawit Untuk Produk Pangan. Warta Pusat Penelitian Kelapa
Sawit, 6 (1) : 31 - 37.
Ketaren, S., 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI-
Press.
Kim, H., M.K. Hill dan A.L. Fricke. 1987. Preparation of Kraft Lignin From
Black Liquor. Tappi Journal 12 : 112-115.
Kirk RE, Othmer DP. 1981. Encyclopedia of Chemical Technology Fourth
Edition, Volume 12, John Willey and Sons Inc.
LIPI. 2004. Prociding Widyakarya Naional Pangan dan Gizi VIII. Ketahanan
Pangan dan Gizi di Era Otonomi Daerah dan GlobalisasiI.Jakarta.
Matheson K L. 1996. Surfactant Raw Materials :Classification, Synthesis, and
Uses.In : Soap and Detergents : A Theoretical and Practical Review.
Spitz, L. (Ed). Champaign, Illinois : AOCS Press.
Murni, S. W., S. W. Santi R, IGS Budiaman, Ika P. dan Abdul Aji K. T. A. 2013.
Pembuatan Surfaktan Berbahan Dasar Jerami Padi. Yogyakarta: PS Teknik
Kimia, FTI, UPN Veteran.
Nurhayati, T. dan R.A. Pasaribu. 1993. Isolasi dan Sifat Lignin dari Larutan Sisa
Pemasak Pabrik Pulp. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 11 (3) : 110-116.
Palungkun, Rony. 2004. Aneka Produk Olahan Kelapa. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Pino, G.H., Mesquita, L.M.S., Torem, M.L., and Pinto, G.A.S., 2005, Biosorption
of Cadmium by Green Coconut Shell Powder, Metallurgy and Material,
225- Gavea, 22453-900 Rio de Janeiro-RJ, Brazil
Putri F. R, Eva L. M., Yusuf T. 2012. Pembuatan Surfaktan Natrium
Lignosulfonat Dari Tandan Kosong Kelapa Sawit Dengan Sulfonasi
Langsung. Jurnal Teknik Kimia No. 1, Vol. 18.

Rachim, P. Fiona, Eva L. M., M. Yusuf T. 2012. Pembuatan Surfaktan Natrium


Lignosulfonat dari Tandan Kosong Kelapa Sawit dengan Sulfonasi
Langsung. Jurnal Teknik Kimia. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik
Universitas Sriwijaya. No. 1 18: 41-46.
Rivai Mira, Tun T. I., Ani S., Setyaningsih D. 2012. Perbaikan Proses Produksi
Surfaktan Metil Ester Sulfonat Dan Formulasinya Untuk Aplikasi
Enhanced Oil Recovery (Eor). Jurnal Teknik Industri Pert. Vol. 21 (1), 41-
49.
Sarpenni, M. 2007. Kemampuan Minyak Kelapa Murni Dalam Menghambat
Pertumbuhan Jamur Patogen. Skripsi. Padang: Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Padang.
Setiadi, Y. 1993. Mychorhizae for reforestation. Paper presented on biodiversity
biotechnology inovation symposium. British Council, Jakarta..
Tjitrosoepomo, G. 2000. Taksonomi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press:
Yogyakarta
Yulizar, yoki dkk.2005. Diktat Kuliah Kimia Permukaan. Depok: Departemen
Kimia FMIPA Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai