Sebagai salah satu hasil dari pergolakan, karya sastra Angkatan 45 menjadi
sebuah karya yang lahir dengan identitas baru yang penuh kontroversia.
Kehadirannya sebagai pendobrak nilai-nilai serta aturan-aturan sastra terdahulu
membuat karya sastra Angkatan 45 menjadi pusat perhatian para sastrawan. Para
sastrawan penggerak karya sastra angkatan 45 adalah mereka yang menaruh
perhatian besar pada karya sastra Indonesia. Mereka seolah ingin lepas dari
pengaruh asing yang saat itu masih kuat pengaruhnya terhadap karya sastra
Indonesia.Nama angkatan 45 sendiri dimunculkan oleh Rosihan Anwar pertama kali
pada lembar kebudayaan “Gelanggang”. Sejak itu, penamaan yang dibuat Rosihan
Anwar diakui dan disepakati banyak kalangan sebagai nama angkatan sastra
periode-40-an.Angkatan 1945 memperoleh saluran resmi melalui penerbitan majalah
kebudayaan Gema Suasana, Januari 1948. Majalah ini diasuh oleh dewan redaksi
yang terdiri dari Asrul Sani, Chairil Anwar, Mochtar Apin, Riva’I Apin dan Baharudin.
Majalah ini dicetak dan diterbitkan oleh percetakan Belanda Opbouw (Pembangun).
Dalam konfrotasi dengan Belanda, mereka kemudian pindah ke “Gelanggang”,
sebuah suplemen kebudayaan dari jurnal mingguan, siasat yang muncul pertama
kali pada Februari 1948 dengan redaktur Chairil Anwar dan Ida Nasution.
Disuplemen inilah mereka kemudian menerbitkan kredo Angkatan 45, yang dikenal
luas dengan nama “Surat Kepercayaan Gelanggang”.
Nama “Angkatan 45” baru diberikan pada tahun 1949 oleh Rosihan Anwar,
meski tidak disetujui banyak sastrawan. Keberatan itu karena nama itu kurang
pantas ditujukan pula kepada para pengarang, yang notabene berbeda dengan para
pejuang kemerdekaan (yang diberi predikat sebelumnya sebagai Angkatan 45).
Ada 4 tokoh utama yang sering dianggap sebagai pelopor Angkatan 45:
Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus. Chairil seorang individualis dan
anarkhis. Asrul aristokrat dan moralis. Idrus penuh dengan sinisme. Rivai lebih
dikenal sebagai nihilis.
Surat Kepercayaan Gelanggang adalah pernyataan sikap dari beberapa sastrawan
Indonesia yang kemudian hari dikenal sebagai Angkatan ’45. Di antara para
sastrawan ini yang paling menonjol adalah Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai Apin.
Surat ini diterbitkan oleh majalah Siasat pada tanggal 22 Oktober 1950.
Surat Kepercayaan Gelanggang berbunyi sebagai berikut:
Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami
teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan
pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia baru
yang sehat dapat dilahirkan.
Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang,
rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi
lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami.
Kami tidak akan memberi kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat
akan melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan,
tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat.
Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara
yang disebabkan oleh suara yang dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri.
Kami akan menentang segala usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak
betulnya pemeriksaan ukuran nilai.
Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang
harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat, bahwa revolusi di tanah air kami
sendiri belum selesai.
Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui adalah
manusia. Dalam cara kami mencari, membahas, dan menelaahlah kami membawa
sifat sendiri.Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah
penghargaan
orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan
seniman.
Angkatan 45 tidak hanya terdiri dari kaum sastrawan, tetapi juga seniman
lain, termasuk para pelukis seperti: S. Sudjojono, Affandi, Henk Ngantung, Mochtar
Apin, Baharuddin; juga para musikus seperti: Binsar Sitompul dan Amir Pasaribu.
Karya-karya sastra kala itu masih diterbitkan bersama dengan sketsa para
pelukis, partitur musik, esai musik-lukis-drama-tari. Hal ini menunjukkan bahwa para
sastrawan memiliki wawasan luas dalam bidang seni dan budaya pada umumnya.
Perkembangan Angkatan 45 Melalui majalah-majalah :
a. Panca Raya (1945—1947)
b. Pembangunan (1946—1947)
c. Pembaharuan (1946—1947)
d. Nusantara (1946—1947)
e. Gema Suasana (1948—1950)
f. Siasat (1947—1959) dgn lampiran kebudayaan: Gelanggang
g. Mimbar Indonesia (1947—1959) dgn lampiran: Zenith
h. Indonesia (1949—1960)
i. Pujangga Baru (diterbitkan lagi 1948; berganti Konfrontasi: 1954)
j. Arena (di Yogya, 1946—1948)
k. Seniman (di Solo 1947—1948)
2.5.3 Aliran Angkatan ’45.
Ekspresionisme merupakan aliran seni yang berkembang setelah
kemerdekaan diproklamasikan. Ekspresionisme yang mendasari Angkatan 45
sebenarnya sudah berkembang lama di Eropa (penghujung abad ke-19) seperti
Baudelaire, Rimbaud, Mallarme (Prancis), F.G. Lorca (Spanyol), G. Ungaretti (Italia),
T.S Eliot (Inggris), G.Benn (Jerman), dan H. Marsman (Belanda).
Aliran ekspresionismetimbul sebagai reaksi terhadap aliran impresionisme.
Dalam sastra Indonesia, Pujangga Baru bersifat impresionistik dan Angkatan 45
mereaksinya dengan aliran ekspresionistik.
Penyair ekspresionis tidak ditentukan oleh alam, justru penyairlah yang
menentukan gambaran alam. Kritikus pertama yang dapat memahami sajak-sajak
Chairil Anwar ialah HB Jassin. Kritikus ini pulalah yang membela dan menjelaskan
karya-karya Chairil yang bersifat ekspresionis itu.
Berbeda dengan Pujangga Baru yang beraliran romantik impresionistik
sehingga melahirkan sajak-sajak yang harmonis, Angkatan 45 melahirkan sajaksajak
yang penuh kegelisahan, pemberontakan, agresif dan penuh kejutan.
Vitalisme dan individualisme melahirkan sajak-sajak penuh pertentangan semacam
itu.
Karya-karya Penting Angkatan 1945 :
1. Deru Campur Debu, Kerikil Tajam (Chairil Anwar)
2. Atheis (Achdiat Kartamihardja)
3. Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis)
4. Keluarga Gerilya (Pramoedya Ananta Toer)
Pemisahan konsep sastra dan visi inilah yang kemudian dijadikan banyak
pengamat sastra sebagai ciri utama angkatan 45 dibanding angkatan sebelumnya.
H.B. Jassin dalam banyak tulisannya mengemukakan terhadap pemisahan yang
tegas antara konsepsi sastrawan Pujangga Baru dengan konsepsi sastrawan
generasi 45. Andaian ini pulalah yang dianut dan dipercayai banyak sastrawan
angkatan 45.
Karya sastra Angkatan 45 memiliki kedekatan yang intim dengan realitas
politik. Ini sangat berbeda dengan karya sastra Angkatan Pujangga Baru yang
cenderung romantik-idealistik. Karena lahir dalam lingkungan yang keras dan
memprihatikan karya sastra Angkatan 45 lebih terbuka, pengaruh unsur sastra asinglebih
luas dibandingkan angkatan sebelumnya, isinya bercorak realis dan naturalis,
meninggalkan corak romantis, sastrawan periode lebih individualisme, dinamis dan kritis,
adanya penghematan kata dalam karya, lebih ekspresif dan spontan, terlihat
sinisme dan sarkasme, didominasi puisi dan prosa berkurang.
Pada periode Angkatan 45 berkembang jenis-jenis sastra puisi, cerita pendek,
novel dan drama. Keadaan perang pada saat itu mempengaruhi penciptaan sastra
dalam permasalahan dan gayanya. Ada beberapa ciri stuktur estetik Angkatan 45
baik pada karya sastra puisi maupun prosa. Pada karya sastra puisi ciri struktur
estetiknya yaitu, pertama, puisinya bebas, tidak terikat pada pembagian bait, jumlah
baris dan persajakan. Kedua, gaya alirannya ekspresionisme dan realisme. Ketiga,
pilihan kata (diksi) untuk mencerminkan pengalaman batin yang dalam dan untuk
intensitas arti. Ketiga, bahasa kiasannya dominan metafora dan simbolik, kata, frasa
dan kalimatnya ambigu sehingga multitafsir. Keempat, gaya sajaknya prismatis
dengan kata-kata yang ambigu dan simbolik, hubungan baris-baris dan kalimatkalimat
implisit. Kelima, gaya pernyataan pikiranya berkembang yang nantinya
menjadi gaya sloganis. Keenam, gaya ironi dan sinisme menonjol.
Pada karya sastra prosa, ciri stuktur estetiknya adalah banyak alur sorot balik,
walaupun ada juga alur lurus, digresi dihindari sehingga alurnya padat, pada
penokohan analisis fisik tidak dipentingkan, yang ditonjolkan analisis kejiwaan, tetapi
tidak dengan analisis langsung melainkan dengan cara dramatik melalui arus
kesadaran dan percakapan antar tokoh, banyak menggunakan gaya ironi dan
sinisme, gaya realisme dan naturalisme, menggambarkan kehidupan sewajarnya
secara mimetik. Inilah ciri struktur estetik dari karya sastra puisi dan prosa Angkatan
45, yang membuat karya sastra Angkatan 45 menjadi karya sastra yang fenomenal
dalam sejarah sastra Indonesia.