Anda di halaman 1dari 21

TUGAS KEOLMPOK 4

MATA KULIAH KEPERAWATAN GAWAT DARURAT I

MANAJEMEN PADA KASUS KEGAWATDARURATAN BERBAGAI SISTEM

Disusun Oleh :

Ami Yuseffa NIM : 001.01.31.17


Herni Nuraeni NIM : 006.01.31.17

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN TARUMANAGARA

TANGERANG

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Manajemen
pada kasus kegawatdaruratan berbagai sistem”. Dan juga kami berterima kasih pada dosen mata
kuliah Keperawatan Gawat Darurat I yang telah memberikan tugas ini kepada kami.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan,
serta pengetahuan kita mengenai “Manajemen pada kasus kegawatdaruratan berbagai sistem”.
Kami juga menyadari, sepenuhnya bahwa dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari
kata sempurna. Oleh sebab itu kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan
makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang. Mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri, maupun orang yang
membacanya terima kasih.

Tangerang, November 2019

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... 1

DAFTAR ISI.......................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Unit Gawat Darurat ......................................................................... 5

2.2 Karakteristik Pelayanan Gawat Darurat............................................................ 6

2.3 Hubungan Dokter Pasien Dalam Keadaan gawat darurat ................................. 6

2.4 Pengaturan Staf Dalam Instalasi Gawat Darurat .............................................. 7

2.5 Peraturan Perundang-undangan ........................................................................ 7

2.6 Masalah Lingkup Kewenangan Personil Dalam Pelayanan Gawat Darurat ..... 8

2.7 Masalah Medikolegal Pada Penanganan Pasien Gawat Darurat....................... 9

2.8 Hubungan Hukum Dalam Pelayanan Gawat Darurat ....................................... 10

2.9 Kematian pada Instalasi Gawat Darurat ........................................................... 10

2.10 Pembiayaan Dalam Pelayanan Gawat Darurat ............................................... 11

2.11 Standar Pelayanan gawat Darurat ................................................................... 12

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 19

3.2 Saran ................................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pelayanan kesehatan masyarakat di Republik Indonesia dari tahun ke tahun


mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Peningkatan layanan ini disebabkan adanya
keberpihakan dan perhatian pemerintah terhadap peningkatan kualitas kesehatan masyarakat
sebagai salah satu komitmen pembangunan kualitas masyarakat di Indonesia. Sejalan dengan
peningkatan kualitas kesehatan, pemerintah telah mencanangkan program “Indonesia Sehat
2010” Program ini disertai dengan berbagai upaya yang sinergis oleh Departemen Kesehatan
RI, misalnya peningkatan kompetensi dokter, penyediaan obat murah, pencanangan apotik
rakyat, dan lain sebagainya. Penanganan kondisi seperti ini memerlukan kecepatan dan
keakuratan data agar agar solusi yang diberikan benar-benar tepat dan efektif. Solusi yang
tepat dan efektif hanya dapat dihasilkan oleh sistem informasi.
Disisi lain, kehadiran dan kecepatan perkembangan teknologiinformasi (Technology
Information) telah menyebabkan terjadinya proses perubahan didalam segala aspek
kehidupan. Kehadiran teknologi informasi turut berperan dalam layanan kesehatan dari
Rumah sakit, klinik, apotik dan lain sebagainya dengan kecepatan dan keakuratan terhadap
pengolahan data sehingga memudahkan dalam mengambil keputusan penting. Menurut surat
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 159b/Menkes/Per/II/1988 tentang Rumah sakit,
pelayanan kesehatan di rumah sakit berupa pelayanan rawat jalan, pelayanan rawat inap dan
pelayanan gawat darurat yang mencakup pelayan medik dan pelayanan penunjang medik.
Instalasi Gawat Darurat yang merupakan suatu bentuk penanganan kegawatdaruratan
memiliki berbagai macam kegiatan. Menurut Flynn (1962) dalam Azrul (1997) kegiatan IGD
secara umum dapat dibedakan sebagai berikut: Menyelenggarakan pelayanan gawat darurat;
Pelayanan gawat darurat yang sebenarnya bertujuan untuk menyelamatkan kehidupan
penderita (live saving) untuk memperoleh pelayanan pertolongan pertama (first aid) dan
bahkan pelayanan rawat jalan (ambulatory care), Menyelenggarakan pelayanan penyaringan
untuk kasus-kasus yang membutuhkan pelayanan rawat inap intensif; Kegiatan kedua yang
menjadi tanggung jawab IGD adalah Menyelenggarakan pelayanan penyaringan untuk kasus-
kasus yang membutuhkan pelayanan intensif. Pada dasarnya pelayanan ini merupakan

3
lanjutan dari pelayanan gawat darurat, yakni dengan merujuk kasus-kasus gawat darurat yang
dinilai berat untuk memperoleh pelayanan rawat inap intensif dan Menyelenggarakan
pelayanan informasi medis darurat; Kegiatan ketiga yang menjadi tanggung jawab UGD
adalah menyelenggarakan informasi medis darurat dalam bentuk menampung serta
menjawab semua pertanyaan anggota masyarakat yang ada hubungannya dengan keadaan
medis darurat (emergency medical questions).
Sebagai suatu institusi yang membutuhkan pengelolaan informasi rawat jalan yang
baik, Rumah sakit Prof. DR. Tabrani memiliki dua unit kerja yang saling berkaitan
diantaranya; Instalasi gawat darurat (IGD) dalam hal ini sangat konsisten dalam memberikan
pelayanan kesehatan rawat jalan kepada masyarakat dan Unit informasi sebagai penunjang
pengolahan data. Pemberian pelayanan utama dilakukan oleh Instalasi gawat darurat (IGD)
untuk memperoleh informasi diagnosa Dengan meningkatkan mutu pelayanan terhadap
pasien sehingga mampu memberikan kemudahan terhadap pengambilan keputusan untuk
pihak manajemen dalam memperoleh informasi-informasi dan mendapatkan laporan yang
diperlukan kepada pasien.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi Unit Gawat Darurat

Unit Gawat Darurat (UGD) adalah bagian terdepan dan sangat berperan di Rumah
Sakit, baik buruknya pelayanan bagian ini akan memberi kesan secara menyeluruh
terhadap pelayanan rumah sakit. Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus
karena mempertaruhkan kelangsungan hidup seseorang. Oleh karena itu dan segi yuridis
khususnya hukum kesehatan terdapat beberapa pengecualian yang berbeda dengan
keadaan biasa. Menurut segi pendanaan, nampaknya hal itu menjadi masalah, karena
dispensasi di bidang ini sulit dilakukan.

Untuk menuju pelayanan yang memuaskan dibutuhkan sarana dan prasarana yang
memadai, meliputi ruangan, alat kesehatan utama, alat diagnostik dan alat penunjang
diagnostik serta alat kesehatan untuk suatu tindakan medik. Disamping itu juga tidak
kalah pentingnya sumber daya manusia yang memenuhi syarat, baik kuantitas maupun
kualitas. Petugas yang mempunyai pengetahuan yang tinggi, keterampilan yang andal dan
tingkah laku yang baik.

Unit Gawat Darurat berperan sebagai gerbang utama jalan masuknya penderita
gawat darurat. Kemampuan suatu fasilitas kesehatan secara keseluruhan dalam hal
kualitas dan kesiapan dalam perannya sebagai pusat rujukan penderita dari pra rumah
tercermin dari kemampuan unit ini. Standarisasi Unit Gawat Darurat saat ini menjadi
salah satu komponen penilaian penting dalam perijinan dan akreditasi suatu rumah sakit.
Penderita dari ruang UGD dapat dirujuk ke unit perawatan intensif, ruang bedah sentral,
ataupun bangsal perawatan. Jika dibutuhkan, penderita dapat dirujuk ke rumah sakit lain.

Upaya pertolongan terhadap penderita gawat darurat harus dipandang sebagai satu
system yang terpadu dan tidak terpecah-pecah. Sistem mengandung pengertian adanya
komponen-komponen yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi, mempunyai

5
sasaran (output) serta dampak yang diinginkan (outcome). Sistem yang bagus juga harus
dapat diukur dengan melalui proses evaluasi atau umpan balik yang berkelanjutan.

2.2 Karakteristik Pelayanan Gawat Darurat

Dipandang dan segi hukum dan medikolegal, pelayanan gawat darurat berbeda
dengan pelayanan non-gawat darurat karena memiliki karakteristik khusus. Beberapa isu
khusus dalam pelayanan gawat darurat membutuhkan pengaturan hukum yang khusus
dan akan menimbulkan hubungan hukum yang berbeda dengan keadaan bukan gawat
darurat.

Beberapa Isu Seputar Pelayanan Gawat Darurat yaitu, pada keadaan gawat darurat
medik didapati beberapa masalah utama yaitu :

 Periode waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat


 Perubahan klinis yang mendadak
 Mobilitas petugas yang tinggi

Hal-hal di atas menyebabkan tindakan dalam keadaan gawat darurat memiliki


risiko tinggi bagi pasien berupa kecacatan bahkan kematian. Dokter yang bertugas di
gawat darurat menempati urutan kedua setelah dokter ahli onkologi dalam menghadapi
kematian. Situasi emosional dari pihak pasien karena tertimpa risiko dan pekerjaan
tenaga kesehatan yang di bawah tekanan mudah menyulut konflik antara pihak pasien
dengan pihak pemberi pelayanan kesehatan.

2.3 Hubungan Dokter Pasien dalam Keadaan Gawat Darurat

Hubungan dokter pasien dalam keadaan gawat darurat sering merupakan


hubungan yang spesifik. Dalam keadaan biasa (bukan keadan gawat darurat)
maka hubungan dokter pasien didasarkan atas kesepakatan kedua belah pihak,
yaitu pasien dengan bebas dapat menentukan dokter yang akan dimintai
bantuannya (didapati azas voluntarisme). Demikian pula dalam kunjungan
berikutnya, kewajiban yang timbul pada dokter berdasarkan pada hubungan
yang telah terjadi sebelumnya (pre-existing relationship). Dalam keadaan darurat

6
hal di atas dapat tidak ada dan azas voluntarisme dan keduabelah pihak juga
tidak terpenuhi. Untuk itu perlu diperhatikan azas yang khusus berlaku dalam
pelayanan gawat darurat yang tidak didasari atas azas voluntarisme.

Apabila seseorang bersedia menolong orang lain dalam keadaan darurat,


maka ia harus melakukannya hingga tuntas dalam arti ada pihak lain yang
melanjutkan pertolongan itu atau korban tidak memerlukan pertolongan lagi.
Dalam hal pertolongan tidak dilakukan dengan tuntas maka pihak penolong
dapat digugat karena dianggap mencampuri/ menghalangi kesempatan korban
untuk memperoleh pertolongan lain (loss of chance).

2.4 Pengaturan Staf dalam Instalasi Gawat Darurat


Ketersediaan tenaga kesehatan dalam jumlah memadai adalah syarat yang
harus dipenuhi oleh UGD. Selain dokter jaga yang siap di UGD, rumah sakit juga
harus menyiapkan spesialis lain (bedah, penyakit dalam, anak, dll) untuk
memberikan dukungan tindakan medis spesialistis bagi pasien yang
memerlukannya. Dokter spesialis yang bertugas harus siap dan bersedia
menerima rujukan dan UGD. Jika dokter spesialis gagal memenuhi kewajibannya.

maka tanggung jawab terletak pada dokter itu dan juga rumah sakit karena tidak
mampu mendisiplinkan dokternya.
2.5 Peraturan Perundang-undangan
Perundang-Undangan yang Berkaitan dengan Pelayanan Gawat Darurat :

 Pengaturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan gawat darurat


adalah UU No 23/1992 tentang Kesehatan
 Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis

 Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit, di mana dalam


pasal 23 telah disebutkan kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan
gawat darurat selama 24 jam per hari

7
 Pengaturan Penyelenggaraan Pelayanan Gawat Darurat Ketentuan tentang pemberian
pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur dalam pasal 5l UU No.29/2004
tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokter wajib melakukan pertolongan
darurat atas dasar perikemanusiaan. Selanjutnya, walaupun dalam UU No.23/1992
tentang kesehatan tidak disebutkan istilah pelayanan gawat darurat namun secara
tersirat upaya penyelenggaraan pelayanan tersebut sebenamya merupakan hak setiap
orang untuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal (pasal 4). Selanjutnya pasal
7 mengatur bahwa pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya kesehatan yang
merata dan terjangkau oleh masyarakat termasuk fakir miskin, orang terlantar dan
kurang mampu. Tentunya upaya ini menyangkut pula pelayanan gawat darurat,
baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat (swasta).
 Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan
gawat darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit. Dalam
pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai
persyaratan pemberian pelayanan. Dalam penanggulangan pasien gawat darurat
dikenal pelayanan fase pra-rumah sakit dan fase rumah sakit.

2.6 Masalah Lingkup Kewenangan Personil dalam Pelayanan Gawat Darurat


Hal yang perlu dikemukakan adalah pengertian tenaga kesehatan yang berkaitan
dengan lingkup kewenangan dalam penanganan keadaan gawat darurat. Pengertian
tenaga kesehatan diatur dalam pasal 1 butir 3 UU No.23/1992 tentang Kesehatan sebagai
berikut: tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang
kesehatan serta memiliki pengetahuan dan atau keterampilan melalui pendidikan di
bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan
upaya kesehatan. Melihat ketentuan tersebut nampak bahwa profesi
kesehatan memerlukan kompetensi tertentu dan kewenangan khusus karena tindakan
yang dilakukan mengandung risiko yang tidak kecil.
Pengaturan tindakan medis secara umum dalam UU No.23/1992
tentang Kesehatan dapat dilihat dalam pasal 32 ayat (4) yang menyatakan
bahwa pelaksanaan pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran
dan ilmu keperawatan hanya dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai

8
keahlian dan kewenangan untuk itu. Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi
masyarakat dari tindakan seseorang yang tidak mempunyai keahlian dan kewenangan
untuk melakukan pengobatan/perawatan, sehingga akibat yang dapat merugikan atau
membahayakan terhadap kesehatan pasien dapat dihindari, khususnya tindakan medis
yang mengandung risiko.
Pengaturan kewenangan tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medik
diatur dalam pasal 50 UUNo.23/1992 tentang Kesehatan yang merumuskan bahwa tenaga
kesehatan bertugas menyelenggarakan atau melakukan kegiatan kesehatan sesuai dengan
bidang keahlian dan atau kewenangan tenaga kesehatan yang bersangkuta. Pengaturan di
atas menyangkut pelayanan gawat darurat pada fase di rumah sakit, di mana
pada dasarnya setiap dokter memiliki kewenangan untuk melakukan berbagai tindakan
medik termasuk tindakan spesifik dalam keadaan gawat darurat.
Dalam hal pertolongan tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan maka
yang bersangkutan harus menemelakukanrapkan standar profesi sesuai dengan situasi
(gawat darurat) saat itu.
2.7 Masalah Medikolegal pada Penanganan Pasien Gawat Darurat
Hal-hal yang disoroti hukum dalam pelayanan gawat darurat dapat meliputi hubungan
hukum dalam pelayanan gawat darurat dan pembiayaan pelayanan gawat darurat karena
secara yuridis keadaan gawat darurat cenderung menimbulkan privilege tertentu bagi
tenaga kesehatan maka perlu ditegaskan pengertian gawa darurat. Menurut The American
Hospital Association (AHA) pengertian gawat darurat adalah “An emergency is any
condition that in the opinion of the patient, his family, or whoever assumes the
responsibility of bringing the patient to the hospital-remelakukanquires immediate medical
attention. This condition continues until a determination has been made by a health care
professional that the patient’s life or well-being is not threatened”.
Adakalanya pasien untuk menempatkan dirinya dalam keadaan gawat darurat
walaupun sebenarnya tidak demikian. Sehubungan dengan hal itu perlu dibedakan antara
false emergency dengan true emergency yang pengertiannya adaiah: A true emergency is
any condition clinically determelakukanmined to require immediate medical care. Such
conditions range from those requiring extensive immediate care and admission to the

9
hospital to those that are diagnostic probmelakukanlems and may or may not require
admission after work-up and observation.
Untuk menilai dan menentukan tingkat urgensi masalah kesehatan yang dihadapi
pasien diselengganakanlah triage. Tenaga yang menangani hal tersebut yang paling ideal
adalah dokter, namun jika tenaga terbatas, di beberapa tempat dikerjakan oleh perawat
melalui standing order yang disusun rumah sakit.
2.8 Hubungan Hukum dalam Pelayanan Gawat Darurat
Dalam hal pertanggungjawaban hukum, bila pihak pasien menggugat tenaga kesehatan
karena diduga terdapat kekeliruan dalam penegakan diagnosis atau pemberian terapi maka
pihak pasien harus membuktikan bahwa hanya kekeliruan itulah yang menjadi penyebab
kerugiannya/cacat (proximate cause). Bila tuduhan kelalaian tersebut dilakukan dalam
situasi gawat darurat maka perlu dipertimbangkan faktor kondisi dan situasi saat peristiwa
tersebut terjadi.
Jadi, tepat atau tidaknya tindakan tenaga kesehatan perlu dibandingkan dengan tenaga
kesehatan yang berkuamelakukanlifikasi sama, pada pada situasi dan kondisi yang sama
pula. Setiap tindakan medis harus mendapatkan persetujuan dari pasien (informed
consent). Hal itu telah diatur sebagai hak pasien dalam UU No.23/1992 tentang Kesehatan
pasal 53 ayat 2 dan Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medis. Dalam keadaan gawat darurat di mana harus segera dilakukan tindakan
medis pada pasien yang tidak sadar dan tidak didampingi pasien, tidak perLu persetujuan
dari siapapun (pasal 11 Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989). Dalam hal persetujuan
tersbut dapat diperoleh dalam bentuk tertulis, maka lembar persetujuan tersebut
harus disimpan dalam berkas rekam medis.
2.9 Kematian pada Instalasi Gawat Darurat

Pada prinsipnya setiap pasien yang meninggal pada saat dibawa ke UGD (Death on
Arrival) harus dilaporkan kepada pihak berwajib. Di negara Anglo-Saxon digunakan sistem
koroner, yaitu setiap kematian mendadak yang tidak terduga (sudden unexpected death)
apapun penyebabnya harus dilaporkan dan ditangani oleh Coroner atau Medical Exaniner.
Pejabat tersebut menentukan tindakan iebih lanjut apakah jenazah harus diautopsi untuk
pemeriksaan lebih lanjut atau tidak. Dalam keadaan tersebut surat keterangan kematian

10
(death certificate) diterbitkan oleh Coroner atau Medical Examiner. Pihak rumah sakit harus
menjaga keutuhan jenazah dan benda-benda yang berasal dari tubuh jenazah (pakaian dan
benda lainnya) untuk pemeriksaan lebih lanjut.

Indonesia tidak menganut sistem tersebut, sehingga fungsi semacam coroner


diserahkan pada pejabat kepolisian di wilayah tersebut. Dengan demikian pihak POLRI
yang akan menentukan apakah jenazah akan diautopsi atau tidak. Dokter yang bertugas di
UGD tidak boLeh menerbitkan surat keterangan kematian dan menyerahkan
permasalahannya path POLRI. Untuk Daerah Khusus Ibukota Jakarta, sesuai dengan
Keputusan KepalaDinas Kesehatan DKI Nomor 3349/1989 tentang berlakunya Petunjuk
Pelaksanaan Pencatatan dan Pelaporan kematian di Puskesmas, Rumah Sakit, RSB/RB di
wilayah DKI Jakarta yang telah disempurnakan tanggal 9 Agustus 1989 telah ditetapkan
bahwa semua peristiwa kematian rudapaksa dan yang dicurigai rudapaksa
dianjurkan kepada keluarga untuk dilaporkan kepada pihak kepolisian dan
selanjutnya jenazah harus dikirim ke RS Cipto Mangunkusumo untuk dilakukan
visum etrepertum.

Kasus yang tidak boleh diberikan surat keterangan kematian adalah:

 meninggal pada saat dibawa ke UGD


 meninggal akibat berbagai kekerasan
 meninggal akibat keracunan
 meninggal dengan kaitan berbagai peristiwa kecelakaan Kematian yang boleh
dibuatkan surat keterangan Kematiannya adalah yang cara kematiannya alamiah
karena. penyakit dan tidak ada tanda-tanda kekerasan.

2.10 Pembiayaan dalam Pelayanan Gawat Darurat

Dalam pelayanan kesehatan prestasi yang diberikan tenaga kesehatan sewajarnya


diberikan kontra-prestasi, paling tidak segala biaya yang diperlukan untuk menolong
seseorang. Hal itu diatur dalam hukum perdata. Kondisi tersebut umumnya berlaku pada
fase pelayanan gawat darurat di rumah sakit.

11
Pembiayaan pada fase ini diatasi pasien tetapi dapat juga diatasi
perusahaan asuransi kerugian, baik pemerintah maupun swasta. Di sini nampak bahwa
jasa pelayanan kesehatan tersebut merupakan private goods sehingga masyarakat (pihak
swasta) dapat diharapkan ikut membiayainya.

Realisasi pembiayaan melalui pengaturan secara hukum yang


mewajibkan anggaran untuk pelayanan yang bersifat public goods tersebut. Bentuk
& peraturan perundang-undangan tersebut dapat berupa peraturan pemerintah yang
merupakan jabaran dari UU No.23/ 1992 dan atau peraturan daerah tingkat I (Perda Tk.I).

2.11 Standar Pelayanan Gawat Darurat

STANDAR 1 : FALSAFAH DAN TUJUAN

Instalasi / Unit Gawat Darurat dapat memberikan pelayanan gawat darurat kepada
masyarakat yang menderita penyakit akut dan mengalami kecelakaan, sesuai dengan
standar.

Kriteria :

 Rumah Sakit menyelenggarakan pelayanan gawat darurat secara terus menerus


selama 24 jam, 7 hari dalam seminggu.
 Ada instalasi / unit Gawat Darurat yang tidak terpisah secara fungsional dari unit-
unit pelayanan lainnya di rumah sakit.
 Ada kebijakan / peraturan / prosedur tertulis tentang pasien yang tidak tergolong
akut gawat akan tetapi datang untuk berobat di Instalasi / Unit Gawat Darurat.
 Adanya evaluasi tentang fungsi instalasi / Unit Gawat Darurat disesuaikan dengan
kebutuhan masyarakat.
 Penelitian dan pendidikan akan berhubungan dengan fungsi instalasi / Unit Gawat
Darurat dan kesehatan masyrakat harus diselenggarakan.

STANDAR 2 : ADMINISTRASI DAN PENGELOLAAN

12
Instalasi / Unit Gawat Darurat harus dikelola dan diintegrasikan dengan Instalasi / Unit
Lainnya di Rumah Sakit.

Kriteria :

Ada dokter terlatih sebagai kepala Instalasi / Unit Gawat Darurat yang bertanggungjawab
atas pelayanan di Instalasi / Unit Gawat Darurat.Ada Perawat sebagai penganggungjawab
pelayanan keperawatan gawat darurat.Semua tenaga dokter dan keperawatan mampu
melakukan teknik pertolongan hidup dasar (Basic Life Support).Ada program
penanggulangan korban massal, bencana (disaster plan) terhadap kejadian di dalam
rumah sakit ataupun di luar rumah sakit.Semua staf / pegawai harus menyadari dan
mengetahui kebijakan dan tujuan dari unit.

Pengertian :

Meliputi kesadaran sopan santun, keleluasaan pribadi (privacy), waktu tunggu, bahasa,
perbedaan rasial / suku, kepentingan konsultasi dan bantuan sosial serta bantuan
keagamaan.Ada ketentuan tertulis tentang manajemen informasi medis (prosedur) rekam
medik.Semua pasien yang masuk harus melalui Triase. Pengertian : Bila perlu triase
dilakukan sebelum indentifikasi.Triase harus dilakukan oleh dokter atau perawat senior
yang berijazah / berpengalaman.Triase sangat penting untuk penilaian kegawat daruratan
pasien dan pemberian pertolongan / terapi sesuai dengan derajat kegawatdaruratan yang
dihadapi.Petugas triase juga bertanggungjawab dalam organisasi dan pengawasan
penerimaan pasien dan daerah ruang tunggu.Rumah Sakit yang hanya dapat memberi
pelayanan terbatas pada pasien gawat darurat harus dapat mengatur untuk rujukan ke
rumah sakit lainnya.

Kriteria :

Ada ketentuan tertulis indikasi tentang pasien yang dirujuk ke rumah sakit lainnya.Ada
ketentuan tertulis tentang pendamping pasien yang di transportasi.Pasien dengan
kegawatan yang mengancam nyawa harus selalu diobservasi dan dipantau oleh tenaga
terampil dan mampu.

13
Pengertian :

Pemantauan terus dilakukan sewaktu transportasi ke bagian lain dari rumah sakit atau
rumah sakit yang satu ke rumah sakit yang lainnya dan pasien harus didampingi oleh
tenaga yang terampil dan mampu memberikan pertolongan bila timbul kesulitan.
Umumnya pendamping seorang dokter. Tenaga cadangan untuk unit harus diatur dan
disesuaikan dengan kebutuhan.

Kriteria :

Ada jadwal jaga harian bagi konsulen, dokter dan perawat serta petugas non medis yang
bertugas di UGD.Pelayanan radiologi, hematologi, kimia, mikrobiologi dan patologi
harus diorganisir / diatur sesuai kemampuan pelayanan rumah sakit.Ada pelayanan
transfusi darah selama 2 jam.Ada ketentuan tentang pengadaan peralatan obat-obatan life
saving, cairan infus sesuai dengan stándar dalam Buku Pedoman Pelayanan Gawat
Darurat Depkes yang berlaku.Pasien yang dipulangkan harus mendapat petunjuk dan
penerangan yang jelas mengenai penyakit dan pengobatan selanjutnya.Rekam Medik
harus disediakan untuk setiap kunjungan.

Pengertian :

Sistem yang optimum adalah bila rekam medik unit gawat darurat menyatu dengan rekam
medik rumah sakit. Rekam medik harus dapat melayani selama 24 jam.Bila hal ini tidak
dapat diselenggarakan setiap pasien harus dibuatkan rekam medik sendiri. Rekam medik
untuk pasien minimal harus mencantumkan :

 Tanggal dan waktu dating.


 Catatan penemuan klinik, laboratorium, dan radiologik.
 Pengobatan dan tindakan yang jelas dan tepat serta waktu keluar dari unit gawat
darurat.
 Identitas dan tanda tangan dari dokter yang menangani.
 Ada bagan / struktur organisasi tertulis disertai uraian tugas semua petugas
lengkap dan sudah dilaksanakan dengan baik.

14
STANDAR 3 : STAF DAN PIMPINAN

Instalasi / Unit Gawat Darurat harus dipimpin oleh dokter, dibantu oleh tenaga medis
keperawatan dan tenaga lainnya yang telah mendapat pelatihan penanggulangan gawat
darurat (PPGD).

Kriteria :

Jumlah, jenis dan kualifikasi tenaga yang tersedia di Instalasi / Unit Gawat Darurat harus
sesuai dengan kebutuhan pelayanan.Unit harus mempunyai bagan oranisasi (organ –
organ) yang dapat menunjukkan hubungan antara staf medis, keperawatan, dan
penunjang medis serta garis otoritas, dan tanggung jawab.Instalasi / Unit Gawat Darurat
harus ada bukti tertulis tentang pertemuan staf yang dilakukan secara tetap dan teratur
membahas masalah pelayanan gawat dan langkah pemecahannya.Rincian tugas tertulis
sejak penugasan harus selalu ada bagi tiap petugas.Pada saat mulai diterima sebagai
tenaga kerja harus selalu ada bagi tiap petugas.Harus ada program penilaian untuk kerja
sebagai umpan balik untuk seluruh staf No. Telp. petugas.Harus ada daftar petugas,
alamat dan nomor telephone.

STANDAR 4 : FASILITAS DAN PERALATAN

Fasilitas yang disediakan di instalaasi / unit gawat darurat harus menjamin efektivitas dan
efisiensi bagi pelayanan gawat darurat dalam waktu 24 jam, 7 hari seminggu secara terus
menerus.

Kriteria :

 Di Instalasi gawat darurat harus ada petunjuk dan informasi yang jelas bagi
masyarakat sehingga menjamin adanya kemudahan, kelancaran dan ketertiban
dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
 Letak unit / instalasi harus diberi petunjuk jelas sehingga dapat dilihat dari jalan
di dalam maupun di luar rumah sakit.

15
 Ada kemudahan bagi kendaraan roda empat dari luar untuk mencapai lokasi
instalasi / UGD di rumah sakit, dan kemudahan transportasi pasien dari dan ke
UGD dari arah dalam rumah sakit.
 Ada pemisahan tempat pemeriksaan dan tindakan sesuai dengan kondisi
penyakitnya.
 Daerah yang tenang agar disediakan untuk keluarga yang berduka atau gelisah.
 Besarnya rumah sakit menentukan perlu tidaknya : Ruang penyimpanan alat
steril, obat cairan infus, alat kedokteran serta ruang penyimpanan lain.Ruang
kantor untuk kepala staf, perawat, dan lain-lain. Ruang pembersihan dan ruang
pembuangan.Ruang rapat dan ruang istirahat.Kamar mandi.
 Ada sistem komunikasi untuk menjamin kelancaran hubungan antara unit gawat
darurat dengan : unit lain di dalam dan di luar rumah sakit terkait.RS dan sarana
kesehatan lainnya.
 Pelayanan ambulan.
 Unit pemadam kebakaran.
 Konsulen SMF di UGD.
 Harus ada pelayanan radiologi yang di organisasi dengan baik serta lokasinya
berdekatan dengan unit gawat darurat.

Pengertian :

Pelayanan radiologi haarus dapat dilakukan di luar jam kerja. Pelayanan radiologi sangat
penting dan dalam unit yang besar harus terletak di dalam unit. Harus tersedia untuk
membaca foto untuk akomodasi staf radiologi.

 Tersedianya alat dan obat untuk Life Saving sesuai dengan standar pada Buku
Pedoman Pelayanan Gawat Darurat yang berlaku.

STANDAR 5 : KEBIJAKAN DAN PROSEDUR

Harus ada kebijakan dan prosedur pelaksanaan tertulis di unit yang selalu ditinjau dan
disempurnakan (bila perlu) dan mudah dilihat oleh seluruh petugas.

16
Kriteria :

 Ada petunjuk tertulis / SOP untuk menangani :


 Kasus perkosaan
 Kasus keracunan
 Asuransi kecelakaan
 Kasus dengan korban
 Kasus lima besar gawat darurat murni (true emergency) sesuai dengan data
morbiditas instalasi / unit gawat darurat
 Kasus kegawatan di ruang rawat
 Ada prosedur media tertulis yang antara lain berisi :
 Tanggungjawab dokter
 Batasan tindakan medis
 Protokol medis untuk kasus-kasus tertentu yang mengancam jiwa
 Ada prosedur tetap mengenai penggunaan obat dan alat untuk life saving sesuai
dengan standar.
 Ada kebijakan dan prosedur tertulis tentang ibu dalam proses persalinan normal
maupun tidak normal.

STANDAR 6 : PENGEMBANGAN STAF DAN PROGRAM PENDIDIKAN

Instalasi / Unit Gawat Darurat dapat dimanfaatkan untuk pendidikan dan pelatihan (in
service training) dan pendidikan berkelanjutan bagi petugas.

Kriteria :

Ada program orientasi / pelatihan bagi petugas baru yang bekerja di unit gawat
darurat.Ada program tertulis tiap tahun tentang peningkatan ketrampilan bagi tenaga di
Instalasi / Unit Gawat Darurat.Ada latihan secara teratur bagi petugas Instalasi / Unit
Gawat Darurat dalam keadaan menghadapi berbagai bencana (disaster)Ada program
tertulis setiap tahun bagi peningkatan ketrampilan dalam bidang gawat darurat untuk
pegawai rumah sakit dan masyarakat.

17
STANDAR 7 : EVALUASI DAN PENGENDALIAN MUTU

Ada upaya secara terus menerus menilai kemampuan dan hasil pelayanan instalasi / unit
gawat darurat.

Kriteria :

 Ada data dan informasi mengenai :Jumlah kunjungan, Kecepatan pelayanan


(respon time), Pola penyakit / kecelakaan (10 terbanyak), Angka kematian
 Instalasi / Unit Gawat Darurat harus menyelenggarakan evaluasi terhadap
pelayanan kasus gawat darurat sedikitnya satun kali dalam setahun.
 Instalasi / Unit Gawat Darurat harus menyelenggarakan evaluasi terhadap kasus-
kasus tertentu sedikitnya satu kali dalam setahun.

18
BAB III

PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Unit Gawat Darurat (UGD) adalah bagian terdepan dan sangat berperan di Rumah
Sakit, baik buruknya pelayanan bagian ini akan memberi kesan secara menyeluruh
terhadap pelayanan rumah sakit. Pelayanan gawat darurat mempunyai aspek khusus
karena mempertaruhkan kelangsungan hidup seseorang. Oleh karena itu dan segi yuridis
khususnya hukum kesehatan terdapat beberapa pengecualian yang berbeda dengan
keadaan biasa. Menurut segi pendanaan, nampaknya hal itu menjadi masalah, karena
dispensasi di bidang ini sulit dilakukan.

3.2 Saran

Kami menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan jauh dari
kesempurnaan. Kami akan memperbaiki makalah tersebut dengan pedoman pada banyak
banyak sumber yang dapat dipertanggung jawabkan. Maka dari itu kami mengharapakan
kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam kesimpulan diatas.

19
DAFTAR PUSTAKA

Pusponegoro AD. Perbedaan pengelolaan kasus gawat darurat prarumah sakit dan di rumah sakit.
Bandung: PKGDI; 1992.

Kepmenkes RI Nomor 856/Menkes/SK/IX/2009 tentang Standar Instalasi Gawat Darurat (IGD)


Rumah Sakit

Kepmenkes RI Nomor 145/Menkes/SK/IX/2007 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan


Gawat Darurat dan Bencana

20

Anda mungkin juga menyukai