Anda di halaman 1dari 30

TUGAS KAPITA SELEKTA II

“ UJI ENDOTOKSIN PADA SEDIAAN STERIL ”


(Pentingnya Pengujian Endotoksin dalam Sediaan Larutan Steril)”

DISUSUN OLEH:
KELAS :C
HARI, TANGGAL : SELASA, 19 NOVEMBER 2019
ANGGOTA :
1. SITI NURHALIZAH 2019000083
2. SYIFA AULIA UTAMI 2019000084
3. SYIFA FAUZIAH 2019000085
4. THALIA BREBA OCTAVIA 2019000086
5. SUSIANTI SY. 2019000119

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PANCASILA
2019
ABSTRAK

(A) SITI NURHALIZAH (2019000083), SYIFA AULIA U (2019000084), SYIFA


FAUZIAH (2019000085), THALIA BREBA O (2019000086), SUSIANTI SY
(20190000119)

(B) PENTINGNYA PENGUJIAN ENDOTOKSIN DALAM SEDIAAN LARUTAN


STERIL

(C) Kata kunci: Endotoksin, Sediaan Steril , Sediaan Parenteral, Uji Limulus
Amebocyte Lysate (LAL)

(D) Endotoksin merupakan bagian kompleks lipopolisakarida membran bakteri gram


negatif yang dapat menyebabkan reaksi pirogenik. Deteksi keberadaan endotoksin
dalam sediaan parenteral kebanyakan dilakukan melalui Uji Limulus Amebocyte
Lysate (LAL) metode gel-clot, turbidimetri kinetik, kromogenik. Pengujian
adanya endotoksin pada sediaan farmasi terutama sediaan steril seperti sediaan
parenteral sangat penting dilakukan. Sediaan steril adalah sediaan yang bebas dari
pencemaran mikroba, baik patogen maupun non patogen, vegetatif, maupun non
vegetatif dari suatu objek atau material. Pengujian endotoksin bertujuan untuk
mengetahui keberadaan endotoksin dalam sediaan larutan steril. Dalam teknologi
sediaan steril, keberadaan endotoksin di dalam sediaan sangat dilarang karena
akan membahayakan kesehatan pasien. Berdasarkan hal tersebut, dapat
disimpulkan bahwa pemberian sediaan injeksi parenteral harus steril karena
sediaan ini disuntikkan melalui kulit atau membran mukosa ke dalam tubuh /
sirkulasi sistemik. Adanya endotoksin dalam sediaan steril akan menyebabkan
demam bagi penggunanya.

(E) Daftar rujukan : 15 buah (1990-2019)

(F) Dr. Yunahara Farida, M.Si., Apt.

(G) 2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sediaan steril adalah sediaan yang bebas dari pencemaran mikroba, baik patogen maupun
non patogen, vegetatif, maupun non vegetatif dari suatu objek atau material. Sterilisasi
adalah menghilangkan semua bentuk kehidupan, baik bentuk patogen, non patogen,
vegetatif, maupun non vegetatif dari suatu objek atau material. Hal tersebut dapat dicapai
melalui beberapa cara penghilangan secara fisika semua organisme hidup, misalnya
melalui penyaringan atau pembunuhan organisme dengan panas, bahan kimia, atau dengan
cara lainnya. Sterilisasi perlu dilakukan untuk mencegah transmisi penyakit, mencegah
pembusukan material oleh mikroorganisme, dan untuk mencegah kompetisi nutrient dalam
media pertumbuhan sehingga memungkinkan kultur organisme spesifik berbiak untuk
keperluan sendiri atau untuk metabolitnya. [1]
Berbeda dengan sediaan farmasi pada umumnya, produk steril haruslah dibuat dengan
persyaratan khusus, dengan tujuan meniadakan (memperkecil) risiko kontaminasi mikroba,
partikel partikulat, pirogen dan produk interaksi lainnya [2]. Salah satu bentuk sediaan
steril adalah sediaan injeksi. Sediaan injeksi yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
sediaan steril berupa larutan yang digunakan secara parenteral, suntikan dengan cara
menembus, atau merobek jaringan ke dalam atau melalui kulit atau selaput lendir. [1]
Pemberian obat dengan cara injeksi banyak dilakukan di rumah sakit, puskesmas
maupun klinik. Sediaan injeksi diberikan jika diperlukan tercapainya respon fisiologis
yang cepat, dipersyaratkan atau diperlukan untuk obat yang tidak efektif secara oral atau
akan dirusak oleh sekresi saluran cerna dan untuk pasien yang tidak kooperatif, atau tidak
sadar. [1]
Dalam teknologi sediaan steril, keberadaan endotoksin di dalam sediaan sangat dilarang
karena akan membahayakan kesehatan pasien. Adanya endotoksin dalam sediaan steril
akan menyebabkan demam bagi penggunanya. Demam merupakan regulasi panas pada
suatu tingkat suhu yang lebih tinggi dan berhubungan dengan peningkatan tolak ukur
hipotalamus. Demam berhubungan dengan banyak penyebab, baik patologis maupun non
patologis. Bahan-bahan bakteri dan virus dapat menyebabkan demam yang disebut demam
pirogen eksogen. [3]
Sejak zaman dahulu, demam telah dikenal sebagai tanda utama penyakit, tetapi
pengertian tentang patofisiologi demam tergolong relatif masih baru. Substansi yang dapat
menimbulkan demam disebut pirogen. Ada dua macam pirogen, yaitu pirogen endogen
yang dibentuk oleh sel-sel tubuh sebagai respons terhadap stimulus dari luar (toksin) dan
pirogen eksogen yang berasal dari luar tubuh. Pada 1948, dr. Paul Beeson menemukan
bahwa demam timbul karena adanya produk sel peradangan hospes yang merupakan
pirogen endogen. Belakangan ini, terbukti bahwa fagosit mononuklear merupakan sumber
utama pirogen endogen dan bahwa bermacam-macam produk sel mononuklear dapat
menjadi mediator timbulnya demam. [3]
Sediaan steril adalah sediaan yang bebas dari pencemaran mikroba, baik patogen
maupun non patogen, vegetatif, maupun non vegetatif dari suatu objek atau material.
Sterilisasi adalah menghilangkan semua bentuk kehidupan, baik bentuk patogen, non
patogen, vegetatif, maupun non vegetatif dari suatu objek atau material. Hal tersebut dapat
dicapai melalui beberapa cara penghilangan secara fisika semua organisme hidup, misalnya
melalui penyaringan atau pembunuhan organisme dengan panas, bahan kimia, atau dengan
cara lainnya. Sterilisasi perlu dilakukan untuk mencegah transmisi penyakit, mencegah
pembusukan material oleh mikroorganisme, dan untuk mencegah kompetisi nutrient dalam
media pertumbuhan sehingga memungkinkan kultur organisme spesifik berbiak untuk
keperluan sendiri atau untuk metabolitnya. [1]
Berbeda dengan sediaan farmasi pada umumnya, produk steril haruslah dibuat dengan
persyaratan khusus, dengan tujuan meniadakan (memperkecil) risiko kontaminasi mikroba,
partikel partikulat, pirogen dan produk interaksi lainnya [2]. Salah satu bentuk sediaan
steril adalah sediaan injeksi. Sediaan injeksi yang akan dibahas dalam makalah ini adalah
sediaan steril berupa larutan yang digunakan secara parenteral, suntikan dengan cara
menembus, atau merobek jaringan ke dalam atau melalui kulit atau selaput lender. [1]
Pemberian obat dengan cara injeksi banyak dilakukan di rumah sakit, puskesmas
maupun klinik. Sediaan injeksi diberikan jika diperlukan tercapainya respon fisiologis
yang cepat, dipersyaratkan atau diperlukan untuk obat yang tidak efektif secara oral atau
akan dirusak oleh sekresi saluran cerna dan untuk pasien yang tidak kooperatif, atau tidak
sadar. [1]
Dalam teknologi sediaan steril, keberadaan endotoksin di dalam sediaan sangat dilarang
karena akan membahayakan kesehatan pasien. Adanya endotoksin dalam sediaan steril
akan menyebabkan demam bagi penggunanya. Demam merupakan regulasi panas pada
suatu tingkat suhu yang lebih tinggi dan berhubungan dengan peningkatan tolak ukur
hipotalamus. Demam berhubungan dengan banyak penyebab, baik patologis maupun non
patologis. Bahan-bahan bakteri dan virus dapat menyebabkan demam yang disebut demam
pirogen eksogen. [3]
Sejak zaman dahulu, demam telah dikenal sebagai tanda utama penyakit, tetapi
pengertian tentang patofisiologi demam tergolong relatif masih baru. Substansi yang dapat
menimbulkan demam disebut pirogen. Ada dua macam pirogen, yaitu pirogen endogen
yang dibentuk oleh sel-sel tubuh sebagai respons terhadap stimulus dari luar (toksin) dan
pirogen eksogen yang berasal dari luar tubuh. Pada 1948, dr. Paul Beeson menemukan
bahwa demam timbul karena adanya produk sel peradangan hospes yang merupakan
pirogen endogen. Belakangan ini, terbukti bahwa fagosit mononuklear merupakan sumber
utama pirogen endogen dan bahwa bermacam-macam produk sel mononuklear dapat
menjadi mediator timbulnya demam. [3]

B. Tujuan
1. Menjelaskan mengenai endotoksin dan bahayanya pada produk steril;
2. Menjelaskan pentingnya pengujian endotoksin dalam sediaan larutan steril.

C. Manfaat penelitian
Makalah ini diharapkan dapat meningkatkan ilmu pengetahuan khususnya di bidang
teknologi sediaan steril farmasi yang terfokus pada pentingnya endotoksin dalam sediaan
larutan steril.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi pirogen dan endotoksin


Pirogen merupakan substansi yang menyebabkan demam dan berasal baik dari eksogen
maupun endogen. Pirogen eksogen berasal dari luar hospes, sementara pirogen endogen
diproduksi oleh hospes. Proses demam umumnya sebagai respon terhadap stimulan awal
yang biasanya timbul karena infeksi atau inflamasi. Pirogen yang dihasilkan baik secara
sistematis atau lokal berhasil memasuki sirkulasi dan menyebabkan demam pada tingkat
pusat termogulasi di hipotalamus. [4]
Endotoksin merupakan subset dari pirogen yang secara ketat berasal dari bakteri gram
negatif. Untuk lebih tepatnya, endotoksin adalah kompleks alami LPS yang terjadi di
lapisan luar sel bakteri gram-negatif. Endotoksin juga didefinisikan sebagai kompleks
lipopolysaccharide-protein yang terkandung dalam dinding sel bakteri gram-negatif. [4]
Endotoksin adalah toksin pada bakteri gram negatif berupa Lipopolisakarida (LPS)
pada membran luar dari dinding sel yang pada keadaan tertentu bersifat toksik pada inang
tertentu. Lipopolisakarida ini disebut endotoksin karena terikat pada bakteri dan
dilepaskan saat mikroorganisme mengalami lisis atau pecahnya sel. Beberapa juga
dilepaskan saat penggandaan bakteri. Komponen toksik pada LPS adalah bagian lipid
atau lemak, yang disebut lipid A. Komponen lipid A ini bukanlah struktur
makromolekuler tunggal melainkan terdiri dari susunan kompleks dari residu-residu lipid.
[5]

B. Sifat endotoksin
Endotoksin hanya ada pada bakteri gram negatif berbentuk basil atau batang dan kokus
dan tidak secara aktif dilepaskan dari sel serta dapat menimbulkan demam, syok, dan
gejala lainnya. Endotoksin adalah antigen yang lemah dan menginduksi antibodi dengan
lemah sehingga tidak cocok digunakan sebagai antigen dalam vaksin. Keberadaan
endotoksin tanpa bakteri penghasilnya sudah cukup untuk menimbulkan gejala keracunan
pada inang contohnya keracunan makanan karena endotoksin yang dihasilkan oleh
bakteri Salmonella. Berikut perbedaan sifat atau ciri-ciri eksotoksin dan endotoksin: [6]
C. Penggolongan endotoksin
Pengggolongan endotoksin secara umum dapat dilihat pada skema pirogen mikroba dan
non mikroba dan produk mikroba inang aktif sebagai berikut: [4]
D. Sumber endotoksin
Endotoksin dapat masuk ke dalam suatu sediaan injeksi melalui beberapa sumber,
diantaranya: [7]
1. Air
Air merupakan sumber endotoksin yang paling, utama. Proses pembuatan sediaan
steril harus dimulai dari penggunaan air bebas pirogen (air benar-benar tidak
mengandung pirogen) atau air non pirogen (air mengandung kurang atau sama
dengan 0,5 EU/ml. Kondisi penyimpanan air harus baik sehingga tidak terdapat
media pertumbuhan bakteri.
2. Wadah dan alat
Wadah maupun alat merupakan sumber endotoksin yang cukup penting. Endotoksin
dapat menempel dengan kuat pada gelas atau permukaan lainnya. Sisa cairan pada
alat dapat menjadi media pertumbuhan bakteri.
3. Zat-zat kimia terlarut
Zat kimia merupakan sumber endotoksin minor. Zat-zat kimia yang dihasilkan dari
fermentasi, misalnya glukosa, fruktosa, natrium sitrat, garam fosfat, asam amino,
hepari, dan beberapa antibiotika memiliki tingkat risiko kontaminasi endotoksin yang
tinggi. Zat kimia yang telah terlarut dapat mengalami kristalisasi atau memisah dari
larutan (terbentuk endapan) yang mungkin mengandung endotoksin. Endotoksin
dapat terperangkap di antara lapisan partikel zat tersebut. Pada kasus seperti ini, zat
kimia yang telah terkontaminasi dapat dimurnikan melalui proses rekristalisasi atau
pencucian endapan.

E. Efek endotoksin pada tubuh


Efek endotoksin pada tubuh secara umum sebagai berikut:
1. Demam karena pelepasan makrofag oleh interleukin-1 yang beraksi karena pusat
pengaturan temperature hipotalamus. Selain itu, demam juga dapat disebabkan oleh
karena endotoksin dapat memicu pelepasan protein pirogen endogen (protein di
dalam sel) yang memengaruhi pusat pengatur suhu tubuh di dalam otak.
Mekanisme terjadinya demam yang disebabkan oleh endotoksin [4]

2. Hipotensi karena meningkatnya permeabilitas pembuluh darah.


3. Aktivasi jalur alternatif dari jalur komplemen sehingga terjadi peradangan dan
kerusakan jaringan.
4. Aktivasi makrofag, peningkatan kemampuan fagosit, dan aktivasi dari banyak klon
limfosit B sehingga meningkatkan produksi antibodi.
5. Efek langsung maupun tak langsung lain dari endotoksin termasuk stimulasi
pembentukan sel granulosit, penggumpalan dan degenerasi dari sel trombosit. [6]

F. Deteksi endotoksin
Endotoksin dapat dideteksi dengan menggunakan LAL (Limulus Amoebocyte Lysate)
Test. Limulus Amebocyte Lysate (LAL) test adalah uji in vitro untuk deteksi dan analisis
kuantitatif endotoksin bakteri. Metode analisis LAL yang dilakukan mencakup teknik
gel-clot dan turbidimetri kinetik dan kromogenik (kolorimetri). Prosedur ini akurat dan
lebih praktis dibanding metode kuno sebelumnya, yaitu menggunakan hewan percobaan
kelinci. Lysate diperoleh dari amubosit ketam sepatu kuda (Limulus polyphemus).
Penggunaan LAL untuk deteksi endotoksin berawal dari pengamatan Bang (1956) bahwa
infeksi bakteri gram negatif pada Limulus polyphemus menyebabkan koagulasi
intravaskular yang parah. Tahun 1964, Levin and Bang kemudian menunjukkan bahwa
penggumpalan itu merupakan hasil reaksi antara endotoksin dan protein yang dapat
menggumpal dalam amubosit. Solum (1970, 1973) dan Young (1972), melakukan
pemurnian dan karakterisasi protein yang dapat bergumpal dari reaksi LAL dan
menunjukkan bahwa reaksi dengan endotoksin merupakan reaksi enzimatik.
Cara memperoleh lysate untuk memperoleh LAL adalah ketam sepatu kuda yang
berukuran besar ditangkap, cek kesehatannya, lalu darahnya diambil dengan
menggunakan jarum suntik. Darah ketam sepatu kuda ini lalu disentrifugasi untuk
memisahkan amoebocytes dari plasma cairnya. Amoebocyte lalu di freeze-dried dan
diproses untuk digunakan. Prinsip LAL test adalah memanfaatkan dasar respon imun dari
ketam sepatu kuda terhadap invasi bakteri gram negatif. Bahan-bahan yang terkandung
dalam amoebocyte ketam sepatu kuda terdiri dari berbagai protein, faktor, kofaktor dan
ion-ion yang berinteraksi menyebabkan koagulasi Endotoksin gram negatif mengkatalisis
aktivasi proenzim dalam lysate amoebocyte Limulus. Kecepatan awal aktivasi ditentukan
oleh konsentrasi endotoksin. Selanjutnya enzim yang diaktivasi (enzim koagulase
menghidrolisis ikatan spesifik dalam suatu protein penggumpal (koagulogen) yang juga
terdapat pada lysate amoebocyte Limulus menghasilkan koagulin. Sekali terhidrolisis,
koagulin yang dihasilkan bergabung dengan sendirinya dan membentuk suatu gumpalan
atau bekuan seperti gel. [5]

G. Pengujian endotoksin
Metode LAL yang direkomendasi oleh FDA USA ada 3, yaitu:
1. Metode Gel-Clot
Prinsip LAL, yaitu penggumpalan dengan adanya endotoksin. Pada metode ini, hasil
akhir dapat dideteksi berupa spot pada slide, atau microplate. Perlu pembanding,
berupa Control Standard Endotoxin (CSE). Peralatan gelas yang digunakan harus di
de-pirogenasi. Prinsip uji dan prosedur metode LAL, yaitu:
a) 100 ul CSE dimasukkan ke dalam tabung gelas depirogen (kontrol positif);
b) LAL reagent water (kontrol negatif);
c) Sampel jumlah sama;
d) +100 ul lysate;
e) Inkubasi 370C di atas penangas air selama 1 jam;
f) Tabung lalu dibalik perlahan (1800) untuk melihat solid clot yang terjadi.
Hal yang harus diperhatikan dalam metode Gel-Clot:
a) Pemakaian alat-alat harus di depirogen: pemanasan pada 1800C, selama 4 jam
atau 2500C selama 30 menit;
b) Teknik pengerjaan pada saat membalik tabung kira-kira selama 2 detik;
c) pH sampel 7,0–8,0. Jika diperlukan, pH diatur menggunakan asam atau basa
depirogen.
Sensitivitas lysate pada Gel-Clot:
a) Diperlukan untuk menentukan konsentrasi minimum endotoksin yang
menyebabkan terjadinya gel;
b) Satuan dinyatakan dalam EU atau IU;
c) Dibuat 1 seri pengenceran endotoksin (dalam EU/ml) dan percobaan dilakukan
rangkap 4 (quadruplicate);
d) Titik akhir pengenceran (end-point dilution) ditentukan pada pengenceran terakhir
yang masih memberikan reaksi positif.
2. Metode kinetik turbidimetri: menggunakan kecepatan pembentukan gel untuk
menentukan kandungan endotoksin.
3. Metode kromogenik: menggunakan substrat kromogenik sintetik, dengan adanya
LAL dan endotoksin, menghasilkan warna kuning dan secara linier ekuivalen dengan
konsentrasi endotoksin yang ada. Digunakan untuk uji sampel serum pada uji klinis.
Penetapan batas endotoksin 1983 menurut FDA menentukan batas endotoksin
berdasarkan dosis maksimum sediaan obat untuk manusia atau kelinci dan penyesuaian
batas endotoksin untuk semua obat (kecuali intratekal) dari 2,5 EU kg-1 sampai 5,0 EU
kg-1 ( EU = Endotoxin Unit).
Batas deteksi untuk beberapa produk diperoleh dari monografi USP atau EP. Kalau
tidak dinyatakan dalam farmakope, batas endotoksin harus dihitung dari dosis maksimum
manusia. Deteksi endotoksin dilakukan dengan menggunakan LAL reagen yang memiliki
sensitivitas 0,25 EU/ml. Metode ini bisa dilakukan dengan single test vial (STV) dan
multi test vial (MTV). Untuk MTV, sampel diambil 0,1 ml dan ditambahkan 0,1 ml LAL
reagent, kemudian diinkubasi pada suhu 370±10C selama 60±2 menit. Sampel dinyatakan
positif mengandung endotoksin (>0,25 EU/ml) bila terbentuk gel dan sampel dinyatakan
negatif endotoksin (<0,25 EU/ml) bila tidak terbentuk gel setelah tabung dibalik 1800
secara perlahan. [5]

H. Sediaan steril
Sediaan steril merupakan sediaan terapetis yang bebas mikroroganisme baik vegetatif
atau bentuk sporanya baik patogen atau nonpatogen. Produk steril adalah sediaan
terapetis dalam bentuk terbagi-bagi yang bebas dari mikroorganisme hidup. Sediaan
parenteral ini merupakan sediaan yang unik diantara bentuk obat terbagi-bagi, karena
sediaan ini disuntikkan melalui kulit atau membran mukosa kebagian dalam tubuh.
Karena sediaan mengelakkan garis pertahanan pertama dari tubuh yang paling efisien,
yakni membran kulit dan mukosa, sediaan tersebut harus bebas dari kontaminasi mikroba
dan dari komponen toksik dan harus mempunyai tingkat kemurniaan tinggi dan luar
biasa. Semua komponen dan proses yang terlibat dalam penyediaan produk ini harus
dipilih dan dirancang untuk menghilangkan semua jenis kontaminasi secara fisik, kimia
atau mikrobiologi. [8]
Produk steril termasuk sediaan parentral, mata, dan irigasi. Preparat parental bisa
diberikan dengan berbagai rute. Lima yang paling umum adalah intravena, intramuskular,
subkutan, intrakutan dan intraspinal. Pada umumnya pemberian secara parenteral
dilakukan bila diinginkan kerja obat yang lebih cepat, seperti pada keadaan gawat, bila
penderita tidak dapat diajak bekerjasama dengan baik, tidak sadar, tidak dapat atau tidak
tahan menerima pengobatan secara oral atau bila obat tersebut tidak efektif dengan cara
pemberian yang lain. Injeksi diracik dengan melarutkan, mengemulsikan, atau
mensuspensikan sejumlah obat ke dalam sejumlah pelarut, atau dengan mengisikan
sejumlah obat ke dalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis ganda. [8]

I. Persyaratan sediaan steril


Persyaratan sediaan steril secara umum adalah sebagai berikut:
1. Sediaan obat harus jernih, jernih maksudnya tidak ada partikel yang tidak larut dalam
sediaan tersebut. Jadi, meskipun sediaan berwarna, tetap terlihat jernih (tidak keruh);
2. Tidak berwarna, maksudnya sediaan larutan bisa saja berwarna, namun warna larutan
sama dengan warna zat aktifnya sehingga tidak ada campuran warna lain dalam
sediaan itu;
3. Bebas dari partikel asing yang bukan penyusun obat. Sumber partikel bisa berasal
dari: air, bahan kimia, personil yang bekerja, serat dari alat atau pakaian personil,
alat-alat, lingkungan, pengemas (gelas, plastik);
4. Keseragaman volume dan berat terutama untuk sediaan solid steril;
5. Memenuhi uji kebocoran terutama untuk injeksi yang dikemas dalam ampul. Uji
kebocoran dapat dilakukan dengan: uji dengan larutan warna (dye bath test), metode
penarikan vakum ganda (the double vacuum pull method);
6. Stabil, maksudnya sediaan tidak mengalami degradasi fisika. Misal jika bentuk
sediaan larutan maka sediaan tersebut tetap berada dalam bentuk larutan (bukan
suspensi). Sifat stabil ini berkaitan dengan formulasi. Ketidakstabilan dapat dilihat
dari:
a) Terjadi perubahan warna
Contoh: larutan adrenalin yang awalnya berwarna jernih karena teroksidasi akan
menjadi merah karena terbentuk adenokrom.
b) Terjadi pengendapan
Contoh: injeksi aminofilin dibuat dengan air bebas CO2, karena jika tidak bebas
CO2 maka akan terbentuk theofilin yang kelarutannya kecil dalam air sehingga
akan mengendap. Akibatnya dosis menjadi berkurang.
CO2 + H2O → H2CO3 (asam)
Aminopilin + Asam → Teofilin + Etilendiamin
Pengatasan: injeksi aminofilin dibuat dari teofilin dan etilendiamin berlebih. [9]

J. Bentuk sediaan steril


Bentuk sediaan steril secara umum adalah sebagai berikut:
1. Injeksi
Injeksi adalah sediaan steril berupa larutan, emulsi, atau suspensi atau serbuk yang
harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan, yang
disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau
selaput lendir. Injeksi volume kecil adalah injeksi yang dikemas dalam wadah 100 ml
atau kurang. [10]
2. Infus
Infus adalah cairan yang di berikan melalui intravena, berupa: nutrisi (dekstrosa),
menjaga keseimbangan elektrolit (larutan ringer), untuk cairan pengganti
(kombinasi dekstrosa dan NaCl), dan untuk tujuan khusus (hiperalimentasi
parenteral). Terapi infus intravena digunakan untuk mengobati berbagai kondisi
pasien. Infus intravenous adalah sediaan steril berupa larutan atau emulsi, bebas
pirogen dan sedapat mungkin dibuat isotonis terhadap darah, disuntikkan langsung ke
dalam vena dalam volume relatif banyak. Infus cairan intravena (intravenous fluids
infusion) merupakan pemberian sejumlah cairan ke dalam tubuh, melalui sebuah
jarum, ke dalam pembuluh vena (pembuluh balik) untuk menggantikan kehilangan
cairan atau zat-zat makanan dari tubuh. Pemberian cairan intravena (infus), yaitu
memasukan cairan atau obat langsung kedalam pembuluh darah vena dalam jumlah
dan waktu tertentu dengan menggunakan infus set.
3. Solid
Misalnya sediaan parenteral rekonstitusi. Pencampuran intravena (intravenous
admixtures) merupakan suatu proses pencampuran obat steril dengan larutan
intravena steril untuk menghasilkan suatu sediaan steril yang bertujuan untuk
penggunaan intravena. Ruang lingkup dari intravenous admixtures adalah pelarutan
atau rekonstitusi serbuk steril, penyiapan suntikan intravena sederhana, dan
penyiapan suntikan intravena kompleks (Kastango, 2004). Sesuai Standar
Kompetensi Apoteker Indonesia, apoteker bertanggung jawab untuk memastikan
bahwa pencampuran sediaan steril di rumah sakit sesuai dengan Praktek
Penyiapan Obat yang Baik (Good Preparation Practices, GPP) sehingga terjamin
sterilitas, kelarutan dan kestabilannya. Bila terjadi ketidaktepatan dalam
pencampuran intravena, baik dari segi prosedur aseptis, teknik pencampuran,
pelarutan, dan penyimpanannya dapat menyebabkan pengendapan obat yang
beresiko menimbulkan penyumbatan pada alat injeksi dan membahayakan pasien.
Tempat dan lama penyimpanan juga berpengaruh pada stabilitas obat. Obat yang
sudah direkonstitusi memiliki batas waktu kestabilannya sehingga perlu
diperhatikan lama penyimpanannya.
4. Obat mata (larutan, suspensi, salep)
Sediaan obat mata adalah sediaan steril berupa salep, larutan atau suspensi,
digunakan untuk mata dengan jalan meneteskan, mengoleskan pada selaput lendir
mata di sekitar kelopak mata dan bola mata. Khusus untuk salep mata, zat aktif baik
dalam bentuk terlarut atau serbuk tersuspensi halus di masukkan kedalam basis salep
yang non iritan. Salep disterilkan dengan cara panas atau radiasi dan sebagian di buat
secara asptik.Sediaan ini harus di kemas dalam wadah tertutup dan bebas partikel
logam.
5. Larutan untuk irigasi
Larutan yang di gunakan untuk mandi atau mencuci luka terbuka. Larutan di gunakan
secara topikal. Persyaratan seperti larutan parenteral, yaitu dikemas dalam wadah
volume besar dengan tutup dapat berputar. Digunakan untuk merendam luka atau
mencuci luka, sayatan bedah atau jaringan atau organ tubuh. Diberi label sama seperti
injeksi. Contoh: NaCl untuk irigasi ringers. Label atau etiket: “bukan untuk obat
suntik”.
6. Larutan dialisis
Larutan dialisis untuk menghilangkan senyawa-senyawa toksis yang secara normal
disekresikan oleh ginjal. Pada kasus keracunan atau gagal ginjal atau pada pasien
yang menunggu transplantasi ginjal, dialisis adalah prosedur darurat untuk
menyelamatkan hidup. Dialisis adalah proses, dimana senyawa-senyawa dapat
dipisahkan satu dengan lainnya dalam larutan berdasarkan perbedaan kemampuan
berdifusi lewat membran. Larutan yang tersedia mengandung dekstrosa sebagai
sumber utama kalori, vitamin, mineral, elektrolit, dan asam amino atau peptida
sebagai sumber nitrogen.
7. Pelet steril atau implantasi subkutan
Pelet atau implan steril merupakan tablet berbentuk silindris, kecil, padat dengan
diameter lebih kurang 3,2 mm dan panjang 8 mm, dibuat dengan mengempa dan
dimaksud untuk ditanam subkutan (paha atau perut) untuk tujuan menghasilkan
pelepasan obat terus menerus selama jangka waktu panjang 3-5 bulan. Obat antihamil
dalam bentuk inplan dapat bekerja sampai 3 tahun. (Implanon mengandung
etonogestrel 68 mg/susuk KB). Menggunakan penyuntikan khusus /dengan sayatan
digunakan untuk hormon yang kuat sampai 100x dari pemakaian biasa (oral atau
parenteral). Pelet tidak boleh mengandung bahan pengikat, pengencer atau pengisi
yang ditujukan untuk memungkinkan seluruhnya melarut dari absorbsi pelet di tempat
penanaman. Contoh: pelet estradiol, biasanya mengandung 10 dan 25 mg estrogen
estradiol (dosis lazim oral dan parenteral 250 mcg).
8. Sediaan vaksin
Merupakan produk biologi (pembantu diagnostik) untuk tujuan mencegah penyakit
dan pengobatan. [11, 12]

K. Proses pembuatan sediaan steril


Prinsip produk steril hendaklah dibuat dengan persyaratan khusus dengan tujuan
memperkecil risiko pencemaran mikroba, partikulat dan pirogen, yang sangat tergantung
dari ketrampilan, pelatihan dan sikap dari personalia yang terlibat. Pemastian Mutu
sangatlah penting dan pembuatan produk steril harus sepenuhnya mengikuti secara ketat
metode pembuatan dan prosedur yang ditetapkan dengan seksama dan tervalidasi.
Pelaksanaan proses akhir atau pengujian produk jadi tidak dapat dijadikan sebagai satu-
satunya andalan untuk menjamin sterilitas atau aspek mutu lain.
Prinsip umum pembuatan produk steril, yaitu:
1. Pembuatan produk steril hendaklah dilakukan di area bersih, memasuki area ini
hendaklah melalui ruang penyangga untuk personalia dan/atau peralatan dan bahan.
Area bersih hendaklah dijaga tingkat kebersihannya sesuai standar kebersihan yang
ditetapkan dan dipasok dengan udara yang telah melewati filter dengan efisiensi yang
sesuai;
2. Berbagai kegiatan persiapan komponen, pembuatan produk dan pengisian hendaklah
dilakukan di ruang terpisah di dalam area bersih. Kegiatan pembuatan produk steril
dapat digolongkan dalam dua kategori, yaitu; pertama produk yang disterilkan dalam
wadah akhir dan disebut juga sterilisasi akhir, kedua produk yang diproses secara
aseptis pada sebagian atau semua tahap;
3. Area bersih untuk pembuatan produk steril digolongkan berdasarkan karakteristik
lingkungan yang dipersyaratkan. Tiap kegiatan pembuatan membutuhkan tingkat
kebersihan ruangan yang sesuai dalam keadaan operasional untuk meminimalkan
risiko pencemaran oleh partikulat dan/atau mikroba pada produk dan/atau bahan yang
ditangani;
4. Kondisi “operasional” dan “nonoperasional hendaklah ditetapkan untuk tiap ruang
bersih. Keadaan “nonoperasional” adalah kondisi di mana fasilitas telah terpasang
dan beroperasi, lengkap dengan peralatan produksi tetapi tidak ada personalia.
Kondisi “operasional” adalah kondisi di mana fasilitas dalam keadaan jalan sesuai
modus pengoperasian yang ditetapkan dengan sejumlah tertentu personalia yang
sedang bekerja. Agar tercapai kondisi “operasional” maka area tersebut hendaklah
didesain untuk mencapai tingkat kebersihan udara tertentu pada kondisi
“nonoperasional”.
Pada pembuatan produk steril dibedakan 4 kelas kebersihan, yaitu:
1. Kelas A
Zona untuk kegiatan yang berisiko tinggi, misal zona pengisian, wadah tutup karet,
ampul dan vial terbuka, penyambungan secara aseptis. Umumnya kondisi ini dicapai
dengan memasang unit aliran udara laminar (laminar air flow) di tempat kerja. Sistem
udara laminar hendaklah mengalirkan udara dengan kecepatan merata berkisar 0,36-
0,54 m/detik (nilai acuan) pada posisi kerja dalam ruang bersih terbuka. Keadaan
laminar yang selalu terjaga hendaklah dibuktikan dan divalidasi. Aliran udara searah
berkecepatan lebih rendah dapat digunakan pada isolator tertutup dan kotak bersarung
tangan;
2. Kelas B
Untuk pembuatan dan pengisian secara aseptis, kelas ini adalah lingkungan latar
belakang untuk zona Kelas A;
3. Kelas C dan D
Area bersih untuk melakukan tahap pembuatan produk steril dengan tingkat risiko
lebih rendah. [12]
L. Metode sterilisasi
Metode umum sterilsasi produk steril, yaitu:
1. Metode sterilisasi akhir
Sterilisasi produk tahan panas dalam wadah akhir diutamakan dilakukan dengan cara
panas basah pada suhu 1210C selama 15 menit atau minimum angka F0 yang
menunjukkan proses sterilisasi overkill. Konsep F0 dapat juga diterapkan, yaitu
sterilisasi yang dilakukan pada suhu dan waktu tertentu selain suhu 1210C. F0 pada
suhu tertentu, selain suhu 1210C, adalah waktu (dalam menit) yang diperlukan untuk
mendapatkan kesetaraan letalitas seperti pada suhu 1210C selama 15 menit. Bila tidak
memungkinkan, karena bahan obat tidak tahan panas sterilisasi dapat dilakukan
dengan cara filtrasi yang diikuti dengan pengisian secara aseptis. Industri diharapkan
selalu berusaha mencari wadah yang dapat disterilisasi akhir. Metode sterilisasi akhir
merupakan proses sterilisasi yang dilakukan setelah sediaan selesai dikemas, untuk
selanjutnya dilakukan sterilisasi, jenis metode sterilisasi yang sering digunakan
adalah metode sterilisasi panas lembab menggunakan autoklaf, namun sterilisasi akhir
dapat dilakukan dengan berbagai metode (panas kering, filterisasi, EM, pengion, gas,
dsb), pertimbangan untuk memilih metode sterilisasi yang sesuai adalah dengan
mempertimbangkan kestabilan bahan dan zat yang terhadap panas atau kelembaban.
2. Cara aspetik
Cara aseptik hanya bisa dilakukan khusus untuk zat aktif yang tidak tahan atau rusak
terhadap suhu tinggi, antibiotik dan beberapa hormon merupakan contoh sediaan
dengan perlakuan metode aseptis. Cara aseptis pada prinsipnya adalah cara kerja
untuk memperoleh sediaan steril dengan cara mencegah kontaminasi jasad renik atau
partikel asing kedalam sediaan. Proses cara aseptisnya adalah melakukan sterilisasi
pada semua bahan sediaan (pada awal sebelum pembuatan sediaan) sesuai dengan
sifat dari bahan yang digunakan kemudian dilanjutkan pada proses pembuatan dan
pengemasan dalam ruang steril atau didalam laminar air flow untuk mencegah
kontaminasi. Pada proses aseptis masih terdapat celah terjadinya kontaminasi,
sehingga apabila metode sterilisasi akhir bisa dilakukan maka metode aseptis tidak
perlu dilakukan. [12]
M. Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) untuk sediaan steril
Prinsip dari CPOB adalah memperkecil pencemaran mikroba, partikulat, dan pirogen.
Hal-hal yang perlu diperhatikan:
1. Keberadaan ruang penyangga untuk personil dan/atau peralatan dan bahan;
2. Pembuatan produk dan proses pengisian dilakukan pada ruangan terpisah;
3. Kondisi “operasional dan non operasional” hendaklah ditetapkan untuk tiap ruang
bersih;
4. Empat kelas kebersihan pada pembuatan produk steril:
a. Kelas A
Untuk kegiatan yang berisiko tinggi, misalnya pengisian wadah tutup karet,
ampul, dan vial terbuka, penyambungan secara aseptik. Umumnya kondisi ini
dicapai dengan memasang unit aliran udara laminar (laminar air flow) dengan
kecpatan 0,36-0,54 m/detik. Contoh kegiatan: pembuatan dan pengisian aseptik;
b. Kelas B
Untuk pembuatan dan pengisian secara aseptik, kelas ini adalah lingkungan latar
belakang untuk zona kelas A;
c. Kelas C
Untuk melakukan tahap pembuatan produk steril dengan tingkat risiko lebih
rendah;
d. Kelas D
Untuk melakukan tahap pembuatan produk steril dengan tingkat risiko lebih
rendah. Contoh kegiatan: penanganan komponen setelah pencucian.
5. Pembuatan sediaan steril
Gambaran umum pembuatan sediaan steril ada 2 macam, yaitu:
a. Aseptic processing
Pada pembuatannya, setiap proses dari awal persiapan hingga sudah dikemas
selalu dilakukan secara aseptik, sehingga hasil yang diperoleh steril;
b. Terminal sterilization
Pada pembuatannya tidak terlalu aseptik seperti aseptic processing, tetapi di akhir
proses akan dilakukan sterilisasi secara menyeluruh. [13]
N. Teknik sterilisasi
Teknik sterilsasi pada pembuatan produk steril, yaitu:
1. Sterilisasi basah atau sterilisasi panas lembab
Sterilisasi basah biasanya dilakukan di dalam autoklaf atau sterilisator uap yang
mudah diangkat dengan menggunakan air jenuh basah dapat digunakan untuk
mensterilkan bahan apa saja yang dapat ditembus uap air (misalnya minyak) dan tidak
rusak bila dipanaskan dengan suhu yang berkisar antara 1100C dan 1210C. Bahan-
bahan yang biasanya disterilkan dengan cara ini antara lain medium biakan yang
umum, air suling, peralatan laboratorium, biakan yang dibuang, medium yang
tercemar, dan bahan-bahan dari karet.
Ada 4 hal utama yang harus diingat bila melakukan sterilisasi basah:
a. Sterilisasi bergantung pada uap, karena itu udara harus dikosongkan betul-betul
dari ruang sterilisator;
b. Semua bagian bahan yang disterilkan harus terkena uap, karena itu tabung dan
labu kosong harus diletakkan dalam posisi tidur agar udara tidak terperangkap di
dasarnya;
c. Bahan-bahan yang berpori atau yang berbentuk cair harus permeabel terhadap
uap;
d. Suhu sebagaimana yang terukur oleh termometer harus mencapai 1210C dan
dipertahankan setinggi itu selama 15 menit.
2. Sterilisasi kering
Sterilisasi kering atau sterilisasi panas kering dapat diterapkan dengan cara
pemanasan langung sampai merah, meayangkan di atas nyala api, pembakaran dan
sterilisasi dengan udara panas (oven). Pemanasan kering sering digunakan dalam
sterilisasi alat-alat gelas di laboratorium. Dalam sterilisasi panas kering, bahan yang
sering disterilkan adalah pipet, tabung reaksi, cawan petri dari kaca, dan barang-
barang pecah belah lainnya. Bahan-bahan yang disterilkan harus dilindungi dengan
cara membungkus, menyumbat atau menaruhnya dalam suatu wadah tertutup untuk
mencegah kontaminasi setelah dikeluarkan dari oven. Sebelum melakukan sterilisasi
udara panas kering ini terlebih dahulu membungkus alat-alat gelas dengan kertas
payung atau aluminium foil, setelah itu atur pengatur suhu oven menjadi 1600C dan
alat disterilkan selama 2 jam.
3. Sterilisasi uap
Uap panas pada suhu 1000C dapat digunakan dalam bentuk uap mengalir. Metode ini
mempunyai keterbatasan. Penggunaan uap mengalir dilakukan dengan proses
sterilisasi bertingkat untuk mensterilkan media kultur. Metode ini jarang memuaskan
untuk larutan yang mengandung bahan-bahan karena spora sering gagal tumbuh di
bawah kondisi ini, karena bentuk vegetatif dari kebanyakan bakteri tidak membentuk
spora. Temperatur suhu titik mati bervariasi, tetapi tidak ada bentuk non spora yang
bertahan. Dalam prakteknya, suatu perpanjangan pemaparan uap selama 20-60 menit
akan membunuh semua bentuk vegetatif bakteri tapi tidak akan menghancurkan
spora. Untuk meyakinkan penghancuran spora, dilakukan sterilisasi bertingkat. Proses
ini dilakukan dengan waktu yang bervariasi, dari 20-60 menit setiap hari selama 3
hari. Setiap hari setelah sterilisasi bahan disimpan pada inkubator pada 370C. Prinsip
dari metode ini adalah pada saat pemaparan pertama, uap membunuh bakteri vegetatif
tapi tidak sporanya. Tapi pada saat bahan disimpan pada inkubator atau pada suhu
ruangan selama 24 jam, spora akan tumbuh ke dalam bentuk vegetatif. Spora yang
telah tumbuh ini akan dimatikan pada pemanasan hari ke dua. Kesuksesan dari proses
ini tergantung pada spora yang berkembang ke bentuk vegetatif selama masa istirahat.
4. Penyaringan (filtrasi)
Penyaringan telah banyak digunakan untuk mensterilkan medium laboratorium dan
larutan yang dapat mengalami kerusakan jika dipanaskan. Penyaringan dengan
ukuran pori-pori 0,45 mikron atau kurang akan menghilangkan jasad renik yang
terdapat di dalam larutan tersebut. Penyaring yang banyak digunakan terbuat dari
gelas sinter, selulsa dan asbestos atau penyaring Seitz. Pori-pori dari penyaring
tersebut berkiras antara 0,22 sampai 10 mikron. Pori-pori yang lebih kasar biasanya
digunakan untuk penjernihan sebelum digunakan pori-pori yang lebih halus, sehingga
tidak terjadi penyumbatan. Penyaring yang biasa digunakan untuk bakteri tidak dapat
menahan atau menyaring virus atau mikoplasma.Beberapa contoh bahan yang biasa
disterilkan dengan cara ini adalah serum, larutan bikarbonat, enzim, toksin, bakteri,
medium sintetik tertentu, dan antibiotik. Pori-pori yang lebih kasar biasanya
digunakan untuk penjernihan sebelum digunakan pori-pori yang lebih halus, sehingga
tidak terjadi penyumbatan.
Ada beberapa macam filter, yaitu:
a. Filter Swinny
Sebuah adaptasi dari filter seitz, filter swinny mempunyai adaptor khusus, yaitu
terdiri dari lapisan asbes, bersama dengan layer dan pencuci. Keutamaan untuk
digunakan filter swinny dibungkus dengan kertas dan autoklaf. Bagian yang
dipotong dihubungkan pada spoit werlock dan cairan dimasukkan ke potongan
asbes dengan menggunakan tekanan pada sal spoit;
b. Filter Fritted-Glass
Permeabilitas dari filter berbanding lurus dengan ukurannya. Setelah potongan
dibentuk, potongan disegel dengan pemanasan di dalam gelas pirex seperti corong
buhcner;
c. Filter Berkefeld dan Mandler
Mandler terbuat dari tanah silika murni, asbestos dan kalium sulfat. Berkefeld
juga tersusun dari tanah silika murni. Masing-masing filter bermuatan negatif;
d. Filter Selas
Filter ini secara kimia bersifat resisten terhadap semua larutan yang tidak
menyerang silica;
e. Filter Candles-Pasteur-Chamberland
Terbuat dari bahan pori porselen tak berkaca dengan pori kecil yang
menghasilkan filtrasi lambat;
f. Sterilisasi dengan desinfektan
Desinfektan adalah zat yang dapat membunuh bakteri. Senyawa kimia yang
banyak digunakan sebagai esinfektan antara lain: larutan AgNO3, CuSO4, HgCl2,
ZnO, serta alkohol dan campurannya. Zat-zat yang dapat membunuh atau
menghambat pertumbuhan bakteri dapat dibagi atas garam-garam, logam, fenol,
dan senyawa-senyawa lain yang sejenis, formaldehida, yodium, alkohol, klor, zat
warna, detergen, sulfonamida, dan antibiotik. Umumnya bakteri yang muda
kurang daya tahannya terhadap desinfektan daripada bakteri yang tua. Kepekatan,
konsentrasi dan lamanya berada di bawah pengaruh desinfetan merupkan faktor-
faktor yang berperan dalam sterilisasi jenis ini.
g. Sterilisasi gas
Sterilisasi gas digunakan dalam pemaparan gas atau uap untuk membunuh
mikroorganisme dan sporanya. Beberapa bahan kimia yang dapat digunakan
untuk sterilisasi gas adalah etilena oksida, asam parasetat, formaldehida dan
glutaraldehida alkalin. Cara ini diterapkan pada suhu kamar selama 2-18 jam
tergantung pada bahan kimianya. Hal-hal yang perlu diperhatikan dapat sterilisasi
gas antara lain:
1) Lamanya waktu yang diperlukan sesudah perlakuan untuk menghilangkan
semua sisa bahan kimia yang digunakan;
2) Daya bahan bakar yang bersangkutan;
3) Persyaratan peralatan;
4) Biaya pelaksanaan.
h. Sterilisasi dengan radiasi
Sterilisasi dengan radiasi dapat dilakukan dengan sinar gamma (sinar UV kadang
juga digunakan tetapi tidak begitu baik karena daya tembusnya lemah) namun
penggunaannya terbatas karena menuntut persyaratan keamanan dan biaya tinggi.
[14]
BAB III
PEMBAHASAN

A. Pembahasan
Sediaan steril adalah sediaan yang bebas dari pencemaran mikroba, baik patogen maupun
non patogen, vegetatif, maupun non vegetatif dari suatu objek atau material. Sterilisasi
adalah menghilangkan semua bentuk kehidupan, baik bentuk patogen, non patogen,
vegetatif, maupun non vegetatif dari suatu objek atau material. Hal tersebut dapat dicapai
melalui beberapa cara penghilangan secara fisika semua organisme hidup, misalnya
melalui penyaringan atau pembunuhan organisme dengan panas, bahan kimia, atau
dengan cara lainnya. [1]
Berbeda dengan sediaan farmasi pada umumnya, produk steril haruslah dibuat dengan
persyaratan khusus, dengan tujuan meniadakan (memperkecil) risiko kontaminasi
mikroba, partikel partikulat, pirogen dan produk interaksi lainnya [2]. Salah satu bentuk
sediaan steril adalah sediaan injeksi. Sediaan injeksi yang akan dibahas dalam makalah
ini adalah sediaan steril berupa larutan yang digunakan secara parenteral, suntikan
dengan cara menembus, atau merobek jaringan ke dalam atau melalui kulit atau selaput
lender. [1]
Dalam teknologi sediaan steril, keberadaan endotoksin di dalam sediaan sangat
dilarang karena akan membahayakan kesehatan pasien. Adanya endotoksin dalam
sediaan steril akan menyebabkan demam bagi penggunanya. Demam merupakan regulasi
panas pada suatu tingkat suhu yang lebih tinggi dan berhubungan dengan peningkatan
tolak ukur hipotalamus. Demam berhubungan dengan banyak penyebab, baik patologis
maupun non patologis. Bahan-bahan bakteri dan virus dapat menyebabkan demam yang
disebut demam pirogen eksogen. [3]
Endotoksin merupakan subset dari pirogen yang secara ketat berasal dari bakteri gram
negatif. Untuk lebih tepatnya, endotoksin adalah kompleks alami LPS yang terjadi di
lapisan luar sel bakteri gram-negatif. Endotoksin juga didefinisikan sebagai kompleks
lipopolysaccharide-protein yang terkandung dalam dinding sel bakteri gram-negatif. [4]
Endotoksin adalah toksin pada bakteri gram negatif berupa Lipopolisakarida (LPS)
pada membran luar dari dinding sel yang pada keadaan tertentu bersifat toksik pada inang
tertentu. Lipopolisakarida ini disebut endotoksin karena terikat pada bakteri dan
dilepaskan saat mikroorganisme mengalami lisis atau pecahnya sel. Beberapa juga
dilepaskan saat penggandaan bakteri. [5]
Baru-baru ini telah ditemui bahwa ekstrak sel darah ketam sepatu kuda (Limulus
polyphemus) mengandung sistem enzim dan protein yang menggumpal bila ada
liposakarida dalam jumlah kecil. Penemuan ini, merangsang perkembangan uji Limulus
amebocyte lysate (LAL) untuk mengetahui adanya pirogen dalam kerja penelitian dan
pengawasan selama proses berlangsung. Usulan-usulan untuk uji produk akhir obat
dengan LAL sedang dipertimbangkan oleh FDA. [9]
Uji LAL adalah metode spesifik untuk bakteri endotoksin, hanya untuk pirogen yang
signifikan pada kebanyakan pabrik farmasetikal dan peralatan medis. Tes didasarkan
pada mekanisme primitif penggumpalan darah dari ketam seperti kuda amerika (Limulus
polyphemus). Berberapa enzim diletakkan pada sel darah amoeba ketam yang dipicu oleh
endotoksin perpanjangan koagulasi enzimatik yang di akhiri dengan produksi di gel
protenose. Test harus dihindarkan dari kontaminasi antimikroba sebelum dihindarkan,
test ini penting untuk memastikan bahwa tidak ada faktor campuran dalam sediaan,
peralatan tidak menyerap endotoksin (seperti pada beberapa plastik) dan sensitifitas dari
lysate diketahui. [15]
Reagen test LAL disediakan dengan lyopilisasi sel di mubasit limulus. Volume setara
reagen LAL dan larutan test (0,1 mikron per masing-masing) dicampurkan dalam gelas
tube test elipirogenasi. Tube diinkubasikan pada suhu 370C selama 1 jam, setelah tes
wadah dibaca. Tube diambil dari inkubator dan diubah. Bekuan oleh yang rusak
mengandung energi padatan merupakan faktor dari tes positif. Ketika digunakan pada
bagian ini bekuan gel uji awalnya, melewati tes kegagalan dibatasi dan reagen sensitif
LAL. Test LAL tambahan tes ini dapat digunakan dalam laboratorium farmaseutikal. Tes
ini spesifik untuk endotoksin gram negatif, dimana tes pirogen kelinci sensitif untuk
semua pirogen endotoksin dan sumber lain dibanding gram negatif. [15]
Pemberian sediaan injeksi infus melalui parenteral umumnya untuk menambah atau
mengganti cairan tubuh, untuk memberi nutrisi tambahan bagi tubuh, dan untuk
mempertahankan fungsi normal tubuh pasien yang membutuhkan asupan kalori yang
cukup selama masa penyembuhan. Selain itu, infus juga memiliki kegunaan sebagai
pembawa obat-obat lainnya. Penggunaan infus yang merupakan sediaan parenteral
bervolume besar dan dikemas dalam bentuk dosis tunggal pada wadah plastik atau gelas.
Sediaan infus tidak perlu diberi tambahan pengawet karena sediaan infus merupakan
sediaan bervolume besar, jika digunakan pengawet makan dibutuhkan jumlah pengawet
yang besar juga. Dikhawatirkan penggunaan sediaan pengawet dalam jumlah besar akan
menimbulkan efek toksik.
Sesuai dengan persyaratan CPOB, pembuatan produk steril dibuat dengan persyaratan
khusus dengan tujuan memperkecil resiko pencemaran mikroba, partikulat, dan pirogen.
Pembuatan produk steril sangat bergantung dari keterampilan, pelatihan, dan sikap dari
personalia yang terlibat dalam rangkaian kegiatan pembuatan. Pembuatan produk steril
harus sepenuhnya mengikuti metode pembuatan dan prosedur yang ditetapkan secara
ketat, hal ini mengingat resiko yang ditimbulkan besar apabila ada kesalahan.
Injeksi parenteral harus steril karena sediaan ini disuntikkan melalui kulit atau
membran mukosa ke dalam tubuh. Karena sediaan mengelakkan garis pertahanan
pertama dari tubuh yang paling efesien yakni membran kulit dan mukosa, maka sediaan
tersebut harus bebas dari kontaminasi mikroba dan dari komponen toksis dan harus
mempunyai kemurnian yang tinggi.
Berikut adalah syarat-syarat sediaan injeksi steril, yaitu:
1. Sterilitas
Semua bentuk sediaan yang diberikan secara parenteral, larutan optalmik dan
beberapa dosis medis yang digunakan dalam hubungannya dengan pemberian bahan
yang harus steril, bebas dari semua mikroorganisme hidup, kebebasan dari
mikoorganisme hidup dijamin pada awalnya dengan pembuatan produk dengan
proses sterilisasi yang sah, kemudian pengemasan produk dalam dalam suatu bentuk
yang meyakinkan penyimpanan dari sifat ini.
2. Bebas dari bahan partikulat
Bahan partikulat mengacu kepada bahan yang bergerak, tidak larut, yang tanpa
sengaja ada dalam sediaan parenteral. Kehadiran bahan partikulat dalam sediaan
larutan parenteral diperhatikan karena konsep rute pemberiannya.
a. Pengaruh secara biologis
Kejernihan, atau tidak adanya bahan partikel yang tampak selalu dipertimbangkan
sebagai persyaratan untuk produk parenteral. Bagaimanapun, awalnya ini adalah
alasan fisiologis misalnya pengaruh larutan terhadap bahan yang tampak terhadap
pasien yang menerimanya dalam injeksi akan merupakan gambaran kesimpulan
produk yang beredar di pasaran, dengan adanya bahan yang mengapung. Saat
gelas ampul mulai terkenal sebagai wadah pengemasan, hal ini dapat dicatat
bahwa kemungkinan partikel gelas akan masuk ke dalam larutan saat ampul
dibuka.
b. Pengaruh sumber partikel
Bahan partikel dapat masuk dalam larutan parenteral dengan berbagai cara dan
sumber diantaranya:
1) Larutan itu sendiri dan bahan kimia yang dikandungnya;
2) Proses pabrikasi dan berbagai variabel seperti lingkungan, peralatan, dan
personil;
3) Komponen kemasan dan kandungannya;
4) Alat dan peralatan yang digunakan saat pemberian produk;
5) Manipulasi yang melibatkan peralatan produk untuk pemberian sama baiknya
dengan lingkungan saat produk tersebut dibuat.
3. Bebas dari Pirogen
Sekarang dalam praktek pemberian obat secara parenteral, reaksi piretik sering
diamati. Reaksi-reaksi ini antara lain malaise, sakit kepala, dan peningkatan suhu
tubuh (demam).
4. Kestabilan
Dalam perkembangan sediaan steril, perkembangan atau perhatian utama ditujukan
pada kestabilan obat. Obat dalam sediaan cenderung menjadi kurang stabil daripada
obat dalam bentuk kering. Untuk penggunaan parenteral, suatu larutan atau suspensi
dibutuhkan atau berupa faktor kestabilan obat dipertimbangkan secara hati-hati.
Pemilihan bahan tambahan membantu dalam peranannya pada kestabilan secara
fisika dan kimia. Untuk larutan kestabilan secara fisika memperlihatkan pada
kenampakan secara fisika dari produk saat penyimpanan. Pembentukan endapan atau
warnanya biasanya mengindikasikan ketidakstabilan. Penguraian obat tidak begitu
nyata ditunjukkan oleh perubahan secara visual, sutau larutan subpoten dapat tetap
jernih dan tidak berwarna.
5. Injeksi sedapat mungkin isotonis dengan darah (SDF: 164)
Walaupun diinginkan bahwa cairan intravena isotonik untuk meminimalkan trauma
pada pembuluh darah, larutan hipertonik atau hipotonik dapat diberikan dengan
sukses. Larutan nutrient hipertonik konsentrasi tinggi digunakan pada hiperalimentasi
parenteral. Untuk meminimalkan iritasi pembuluh, larutan ini diberikan secara
perlahan dengan kateter pada vena besar seperti subclavian.
BAB IV
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelusuran yang telah dilakukan, diperoleh kesimpulan antara lain:
1. Endotoksin merupakan bagian dari pirogen yang secara ketat berasal dari bakteri
gram negatif. Endotoksin adalah toksin pada bakteri gram negatif berupa
Lipopolisakarida (LPS) pada membran luar dari dinding sel yang pada keadaan
tertentu bersifat toksik pada inang tertentu;
2. Uji LAL adalah metode spesifik untuk bakteri endotoksin, hanya untuk pirogen yang
signifikan pada kebanyakan pabrik farmasetikal dan peralatan medis. Tes didasarkan
pada mekanisme primitif penggumpalan darah dari ketam seperti kuda amerika
(Limulus polyphemus);
3. Pemberian sediaan injeksi parenteral harus steril karena sediaan ini disuntikkan
melalui kulit atau membran mukosa ke dalam tubuh. Adanya endotoksin dalam
sediaan steril akan menyebabkan demam bagi penggunanya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Lucas, S. 2006. Formulasi Steril. Jakarta: Penerbit Andi


2. Agoes, G. 2009. Teknologi Bahan Alam (Serial Farmasi Industri-2) ed. Revisi. Bandung:
Penerbit ITB
3. Suwandi. 1988. Uji Pirogenitas dengan Kelinci dan Limulus Amebocyt Lysate. Cermin
Dunia Kedokteran
4. Williams, KL. 2007. Endotoxins (Pyrogens, LAL testing an depyrogenation) Third
edition. New York: Informa Healthcare USA, Inc
5. Prescott LM, Harley JP, Klein DA. 2002. Microbiology 5th Edition. Boston: McGraw-
Hill
6. Levinson, W. 2008. Review of Medical Microbiology & Immunology, Tenth Edition.
New York: The McGraw-Hill Companies, Inc
7. Gennaro, AR. 1990. Remingtons Pharmaceutical Science 18th Edition. Pensylvania:
Marck Publishing Company
8. Lachman L, Lieberman HA, Kanig JL. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Indrustri. Edisi
Ketiga. Vol III. Diterjemahkan oleh Siti Suyatmi. Jakarta: UI Press
9. Ansel, HC. 2005. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, diterjemahkan oleh Ibrahim F,
Edisi IV. Jakarta: UI Press
10. BPOM RI. 2013. Petunjuk Operasional Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat Yang
Baik Aneks 1 Pembuatan Produk Steril Edisi 2013. BPOM
11. BPOM RI. 2006. Pedoman Cara Pembuatan Obat Yang Baik (Guidlines On Good
Manufacturing Practices). BPOM
12. [cited 2019 Nov]. Available from: https://dokumen.tips/documents/macam-macam-sediaan-
steril.html [Internet]
13. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2018. Cara Pembuatan Obat
yang Baik. Indonesia: Kementerian Kesehatan
14. Syahrurahman, A. Mikrobiologi Kedokteran. Tangerang: Binakarya Aksara
15. Aulton, M. 1990. Pharmaceutical Practice. London: Oritic Livingston

Anda mungkin juga menyukai