Anda di halaman 1dari 37

“FARMAKOLOGI DIURETIK DAN ANTIDIURETIK”

OLEH
KELOMPOK IV :

1. SITI NURHALIMAH
2. DESWITA MAHARANI
3. IRMAWATI
4. ISMAYATI
5. WULAN AYU LESTARI
6. ASWAR ZAINAL
7. NURLIFANA
8. SULASTRI
9. INDRI RISKIYANA
10. HIKMAWATI

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MANDALA WALUYA
KENDARI
2019
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang dalam kami sampaikan kehadirat TuhanYang Maha
Pemurah, karena berkat kemurahan-Nya makalah ini dapat kami selesaikan.
Dalam makalah ini kami membahas “Farmakologi Diuretik dan Antidiuretik”.
Makalah ini dibuat dalam rangka memperoleh pengetahuan dan
pemahaman tentang farmakologi diuretik dan antidiuretik yang merupakan suatu
pengetahuan umum yang perlu diketahui baik sebagai mahasiswa jurusan Farmasi
pada umumnya dan sebagai masyarakat Indonesia khususnya.
Dalam proses pendalaman materi ini, tentunya kami mendapatkan
bimbingan dan saran dari berbagai pihak untuk itu rasa terima kasih yang kami
sampaikan kepada Ibu Loly Subhiaty selaku dosen mata kuliah “Farmakologi”
serta rekan-rekan mahasiwa yang telah banyak memberikan masukan untuk
makalah ini.
Demikian makalah ini kami buat semoga bermanfaat.

Kendari, 21 Juni 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
I.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1

I.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 2

1.3 Tujuan .......................................................................................................... 2

BAB II .................................................................................................................... 3
PEMBAHASAN .................................................................................................... 3
A. Definisi Diuretik dan Antidiuretik ............................................................... 3

B. Mekanisme Kerja Diuretik ........................................................................... 4

C. Klasifikasi Penyakit Diuretik ....................................................................... 6

D. Permasalahan Yang Timbul Pada Pemberian Diuretik .............................. 26

1. Hipokalemia ............................................................................................... 26

Terjadinya hipokalemia pada pemberian diuretik disebabkan oleh: ................. 26

E. Penggunaan Klinik Diuretik....................................................................... 28

F. Mekanisme Antidiuretik............................................................................. 30

BAB III ................................................................................................................. 33


PENUTUP ............................................................................................................ 33
A. Kesimpulan ................................................................................................ 33

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 34

iii
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Obat-obat yang menyebabkan suatu keadaan meningkatnya aliran urine
disebut diuretic. Obat-obat ini merupakan penghambat transport ion yang
menurunkan reabsorpsi Na+ pada bagian-bagian nefron yang berbeda. Akibatnya,
Na+ dan ion lain Cl- memasuki urine dalam jumlah banyak dibandingkan dengan
keadaan normal bersama-sama air, yang mengangkut secara pasif untuk
mempertahankan keseimbangan osmotic. Jadi, diuretik meningkatkan volume
urine dan sering mengubah pH-nya serta komposisi ion dan didala urine dan
darah.
Antidiuretik adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada suatu
kondisi, sifat atau penyebab turunnya laju urinasi. Antidiuretik berasal dari kata
diuretik yaitu zat yang dapat memperbanyak pengeluaran kemih (diuresis) melalui
kerja langsung terhadap ginjal. Antidiuretik merupakan suatu hormon hipofisis
yang terletak di bagian umbai belakang yang bekerja melalui pengaktifan second
messenger cAMP. Hormon peptida yang mengatur penyerapan kembali molekul
yang berada pada ginjal dengan mempengaruhi permeabilitas jaringan
dinding tubules, sehingga berfungsi untuk mengatur pengeluaran urin.
Pemakaian diuretik sebagai terapi edema telah dimulai sejak abad ke-16
HgCl2 diperkenalkan oleh Paracelcus sebagai diuretic. 1930 Swartz menemukan
bahwa sulfanilamide sebagai antimicrobial dapat juga digunakan untuk mengobati
edema pada pasien payah jantung, yaitu dengan meningkatkan ekskresi dari Na+.
Diuretik modern semakin berkembangsejak ditemukannya efek samping dari
obat-obat anti mikroba yang mengakibatkan perubahan komposisi dan output
urine. Terkecuali spironolakton, diuretic kebanyakan berkembang secara empiris
tanpa mengetahui mekanisme system transport spesifik di nephron. Diuretic
adalah obat yang terbanyak diresepkan di USA, cukup efektif, namun memiliki
efek samping yang banyak pula.

1
Obat diuretik dapat pula digunakan untuk mengatasi hipertensi dan edema.
Edema dapat terjadi pada penyakit gagal jantung kongesif, sindrom nefrotik dan
edema premenstruasi.
Menjaga kelancaran pengeluaran air seni atau air kencing adalah tindakan
yang benar dan dianjurkan dalam dunia kesehatan. Sebagian besar air seni
merupakan zat yang tidak berguna atau sampah sehingga secara otomatis dibuang
oleh tubuh. Apabila pengeluaran air seni terhambat maka akan menimbulkan
banyak masalah di dalam tubuh. Sebagai contoh akibat pengeluaran air seni yang
tidak lancar adalah penyakit darah tinggi. Kelancaran pengeluaran air seni akan
mempengaruhi tekanan darah. Sebaliknya tekanan darah tinggi bisa dipengaruhi
atau diobati dengan peningkatan pengeluaran air pada darah atau urin
(diuretik).Salah satu cara menurunkan tekanan darah adalah menurunkan jumlah
air yang ada dalam plasma darah.

I.2 Rumusan Masalah


1. Apa definisi dari diuretik dan antidiuretik
2. Bagaimana mekanisme kerja diuretik
3. Bagaimana klasifikasi dari penyakit diuretik
4. Apa saja permasalahan yang timbul pada pemberian diuretik
5. Bagaimana penggunaan klinik diuretik
6. Bagaimana mekanisme antidiuretik
7. Apa saja penggolongan obat antiduretik

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari diuretik dan antidiuretik
2. Untuk mengetahui mekanisme kerja diuretik
3. Untuk mengetahui klasifikasi dari penyakit diuretik
4. Untuk mengetahui apa saja permasalahan yang timbul pada pemberian
diuretik
5. Untuk mengetahui penggunaan klinik diuretik
6. Untuk mengetahui mekanisme antidiuretik
7. Untuk mengetahui pengolongan obat antidiuretik

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Diuretik dan Antidiuretik


Diuretik ialah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin.
Istilah diuresis mempunyai dua pengertian, pertama menunjukkan adanya
penambahan volume urin yang diproduksi dan yang kedua menunjukkan jumlah
pengeluaran (kehilangan) zat-zat terlarut dan air. Fungsi utama diuretic adalah
untuk memobilisasi cairan udem, yang berarti mengubah keseimbangan cairan
sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel kembali menjadi normal.
Walaupun kerjanya pada ginjal, diuretika bukan obat ginjal, artinya senyawa
ini tidak dapat memperbaiki atau menyembuhkan penyakit ginjal, demikian juga
pada pasien insufisiensi ginjal jika diperlukan dialisis, tidak akan dapat
ditangguhkan dengan penggunaan senyawa ini. Beberapa diuretika pada awal
pengobatan justru memperkecil ekskresi zat-zat penting urin dengan mengurangi
laju filtrasi glomerulus sehingga akan memperburuk insufisiensi ginjal. Fungsi
utama diuretic adalah untuk memobilisasi cairan edema, yang berarti mengubah
keseimbangan cairan sedemikian rupa sehingga volume cairan ekstrasel kembali
menjadi normal.
Antidiuretik adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada suatu
kondisi, sifat atau penyebab turunnya laju urinasi. Antidiuretik berasal dari kata
diuretik yaitu zat yang dapat memperbanyak pengeluaran kemih (diuresis) melalui
kerja langsung terhadap ginjal. Antidiuretik merupakan suatu hormon hipofisis
yang terletak di bagian umbai belakang yang bekerja melalui pengaktifan second
messenger cAMP. Hormon peptida yang mengatur penyerapan kembali molekul
yang berada pada ginjal dengan mempengaruhi permeabilitas jaringan
dinding tubules, sehingga berfungsi untuk mengatur pengeluaran urin.
Antidiuretik memiliki khasiat yaitu mencegah ekskresi air berlebihan oleh
ginjal dengan jalan meningkatkan resorpsi kembalinya oleh tubuli ginjal.
Penggunaannya untuk menguji fungsi hipofisis berdasarkan daya kerjanya

3
menstimulir ekskresi ACTH. Terutama digunakan pada diabetes insipidus, yang
bergejala poliuria (berkemih banyak) akibat kekurangan ADH.
Ketika produksi ADH menurun secara berlebihan, tubulus ginjal tidak
mereabsorbsi air, sehingga air banyak diekskresikan menjadi urine, urinenya
menjadi sangat encer dan banyak (poliuria) sehingga menyebabkan dehidrasi dan
peningkatan osmalalitas serum. Peningkatan osmolalitas serum akan merangsang
chemoreseptor dan sensasi haus kortek cerebral. Sehingga akan meningkatkan
intake cairan peroral (polidipsi). Akan tetapi bila mekanisme ini tidak ada,
dehidrasi akan semakin memburuk. Pada diabetes militus urine banyak
mengandung glukosa sedangkan pada diabitus insipidus urinenya sangat tidak
mengandung glukosa dan sangat encer. Fungsi lainnya juga pada perdarahan
varices di esofagus (vena mekar), yang berdasarkan daya konstriksi arteriole dan
biasanya bersamaan dengan nitrogliserin guna mengurangi efek samping.

B. Mekanisme Kerja Diuretik

Ada tiga faktor utama yang mempengaruhi respon diuretikini. Pertama,


tempat kerja diuretik di ginjal. Diuretik yang bekerja pada daerah yang reabsorbsi
natrium sedikit, akan memberi efek yang lebih kecil bila dibandingkan dengan
diure- tik yang bekerja pada daerah yang reabsorbsi natrium banyak. Kedua,
status fisiologi dari organ. Misalnya dekompensasi jantung, sirosis hati, gagal
ginjal. Dalam keadaan ini akan memberikan respon yang berbeda terhadap
diuretik. Ketiga, interaksi antara obat dengan reseptor (Siregar, P., W.P., R.
Oesman, R.P. Sidabutar , 2008).

4
Kebanyakan bekerja dengan mengurangi reabsorpsi natrium, sehingga
pengeluarannya lewat kemih dan juga air diperbanyak. Obat-obat ini bekerja
khusus terhadap tubuli, tetapi juga ditempat lain, yakni:
1. Tubuli proksimal
Ultrafiltrat mengandung sejumlah besar garam yang di sini direabsorpsi
secera aktif untuk 70%, antara lain ion Na+ dan air, begitu pula glukosa
dan ureum. Karena reabsopsi belangsung secara proporsional, maka
susunan filtrat tidak berubah dan tetap isotonis terhap plama. Diuretik
osmosis bekerja di tubulus proksimal dengan merintangi rabsorpsi air dan
natrium (Sunardi, 2009).
2. Lengkungan Henle
Di bagian menaiknya ca 25% dari semua ion Cl– yang telah difiltrasi
direabsorpsi secara aktif, disusul dengan raborpsi pasif dari Na+ dan K+,
tetapi tanpa air, hingga filtrat menjadi hipotonis. Diuretika lengkungan
bekerja terutama di sini dengan merintangi transpor Cl– begitupula
reabsorpsi Na+, pengeluaran air dan K+diperbanyak (Sunardi, 2009).
3. Tubuli distal
Dibagian pertmanya, Na+ dirabsorpsi secara aktif tanpa air hingga filtrat
menjadi lebi cair dan lebih hipotonis. Senyawa tiazida dan klortalidon
bekerja di tempat ini dengan memperbanyak eksresi Na+ dan Cl– sebesar
5-10%. Pada bagian keduanya, ion Na+ ditukarkan dengan ion K+ atau
NH4+ proses ini dikendalikan oleh hormon anak ginjal aldosteron.
Antagonis aldosteron dan zat-zat penghemat kalium bekerja di sini dengan
mengekskresi Na+ dan retensi K+ (Sunardi, 2009).
4. Saluran Pengumpul
Hormon antidiuretik (ADH) dan hipofise bekerja di sini dengan
mempengaruhi permeabilitas bagi air dari sel-sel saluran ini (Sunardi,
2009).

5
C. Klasifikasi Penyakit Diuretik
Diuretik dapat dibagi menjadi 5 golongan yaitu :

DIURETIK PENGHAMBAT
OSMOTIK KARBONIK

ANHIDRASE
DIURETIK

DIURETIK
DIURETIK
HEMAT
KUAT
KALIUM TIAZID

1. Diuretik Osmotik
Tubulus proksimal dan cabang menurun angsa Henle dengan bebas
permeable air. Suatu agen osmotik yang tidak d transport menyebabkan air
tertahan pada segmen tersebut dan meningkatkan dieresis air. Suatu jens
agen, manitol, terutama digunakan untuk menurunkan peningkatan tekanan
intracranial, tetapi kadang kala juga digunakan untuk meningkatan
pembuangan toksin dari ginjal, yang dibutuhkan pada kasus hemolisis akut
atau setelah penggunaan agen radiokontras.
Farmakologi
a. Farmakokinetika
Mannitol tidak dimetabolisme dan dikelola terutama dengan
filtrasi glomeruler, tanpa reabsorpsi atau sekresi tubuler yang
penting. Menurut definisi, diuretic osmotik sangat sedikit
diabsorpsi, yang berarti harus diberikan secara parenteral. Mannitol
eksresi oleh penyaringan glomeruler dalam 30-60 menit. Bila
diberikan secara oral, mannitol menyebabkan diare osmotik. Efek
tersebut dapat digunakan untuk menimbulkan potensiasi efek-efek

6
resin-resin ikatan kalium ataumenghilangkan substansi toksik dari
saluran cerna dalam penggambunan dengan arang aktif.
b. Farmakodinamika
Diuretik osmotik membatasi reabsorpsi air terutama pada
segmen dari nefron tersebut yang secara bebas permeable air :
tubulus proksimal dan cabang menurun ansa Henle. Kehadiran
larutan yang tak dapat direabsorpsi tersebut seperti halnya mannitol
dapat mencegahabsorpsi normal air dengan menempatkan kekuatan
osmotik yang berlawanan. Sebagai hasilnya volume urine
meningkat pada penggambungan dengan eksresi mannitol.
Peningkatan yang cukup besar pada laju aliran urine menurunkan
waktu kontak antara cairan dan epitel tubulus, sehingga
menurunkan reabsorpsi Na+. bagaimanapun, natriuresis yang
dihasilkan lebih kecil daripada diuresis air, yang akhirnya
membawa pada hipernatremia.
Indikasi Klinik Dan Dosis
a. Untuk meningkatkan volume urine : diuretika osmotik lebih
diinginkan untuk digunakan meningkatkan eksresi airdaripada
eksresi natrium. Efek tersebut dapat bermanfaat apabila
hemodinamika ginjal dapat bekerja sama atau retensi Na+ yang
tinggi dapat membatasi respon terhadap agen konvensional
tersebut. Hal tersebut dapat digunakan untuk mempertahankan
volume urine dan untuk mencegah anuria yang mungkin pada sisi
lain dihasilkan dari sejumlah besar beban pigmen yang memenuhi
ginjal (hemolisis atau rabdomiolisis). Beberapa pasien dengan
oligouri tidak member respon pada diuretic osmotik. Untuk itulah,
tes dosis mannitol (12,5g secara intravena) harus diberikan sebelum
memulai pemberian infuse yang berkelanjutan. Mannitol
seyogyanya tidak dilanjutkan pemberiannya kecuali bila ada
peningktan pada aliran urine lebih dari 50 ml/jam selama 3 jam
setelah tes dosis. Kalau terdapat rspons, pemberian mannitol (12,5-

7
25 g) dapat diulangi setiap 1-2 jam untuk mempertahankan
kecepatan pengaliran urine lebih besar dari 100 ml/jam. Pemberian
mannitol dalam jangka waktu panjang tidak dianjurkan.
b. Pengurangan tekanan intrakranial dan Intraokuler : Diuretika
osmotik menurunkan total air dalam tubuh lebih dari total
kandungan kation tubuh dan hal itu menurunkan volume
intraseluler. Efek tersebut digunakan untuk menurunkan tekanan
intrakranial pada kondisi neurologis dan untuk mengurangi tekanan
intraokuler sebelum prosedur optalmologis. Dosis 1-2 g/kg
mannitol diberikan secara intravena. Tekanan intrakraniak harus
dipantau, harus menurun dalam waktu 60-90 menit.
Toksisitas
a. Perluasan volume ekstraseluler : Manitol secara cepat
didistribusikan ke kompartemen ekstraseluler dan mengekstrasi air
dari kompartemen intraseluler. Sebelum diuresis, hal tersebut dapat
mengantar pada perluasan volume cairan ekstraseluler dan
hiponatremia. Efek tersebut dapat menjadi penyulit gagal jantung
kongestif dan dapat menimbulkan edema paru yang mencolok.
Sakit kepala, mual, dan muntah lazim terjadi pada pasien yang
dirawat dengan diuretik osmotik.
b. Dehidrasi dan Hipernatremia : Penggunaan mannitol yang
berlebihan tanpa penggantian air yang memadai dapat
mengakibatkan dehidrasi parah, kehilangan air yang terjadi begitu
saja, dan hipernatremia. Komplikasi tersebut dapat dihindarkan
dengan perhatian yang seksama pada komposisi serum ion dan
keseimbangan cairan.

8
Contoh obat
PEMAKAIAN DAN
OBAT DOSIS
PERTIMBANGAN
1. D: IV: (TIK, TIO): 1,5- Untuk menurunkan TIK
Diuretik 2,0 g/kg dari larutan15- dan pada oliguria untuk
Osmotik 25%, diinfus dalam 30- mencegah gagal ginjal
Mannitol 60 menit akut. Dipakai pada
(Osmitrol) IV: Pencegahan Oliguria: glaukoma sudut sempit
50-100 g dari larutan 5-
25%
Pengobatan oliguria: IV:
300-400 mg/kg dari
larutan 20% atau 25%
D: IV: 1,0-1,5 g/kg dari Sama pemakaiannya
Diuretik larutan 30% seperti manitol. Bukan
Osmotik A (>2 th): IV: 0,5-1,5 merupakan obat pilihan.
Urea g/kg dari larutan 30% Dipakai pada operasi yang
(Ureaphil) berlangsung lama untuk
mencegah gagal ginjal akut

2. Diuretik Penghambat Karbonik Anhidrase


Karbonik anhidrase terdapat dalam banyak temat di nefron,
termasuk membrane luminal dan basolateral dan sitoplasma sel epitel dan
sel darah merah dalam sirkulasi ginjal. Lokasi enzim yang menonjol
tersebut adalah membrane luminal dari sel tubulus poriksimal, tempat enzim
tersebut mengkatalisasi dehidrasi H2CO3, suatu tahapan kritis dari
reabsorpsi bikarbonat dalam tubulus proksimal. Penghambatan karbonik
anhidrase menyekat reabsorpsi natrium bikarbonat, menyebabkan diuresi
natrium bikarbonat dan penurunan simpanan bikarbonat tubuh total.
Penghambatan bikarbonik anhidrase tersebut adalah derifat
sulfonamide dapat menyebabkan dieresis alkalis dan asidosis metabolic
hiperkloremik. Dengan perkembangan obat yang lebih baru, penghambat
carbonic hidrase sekarang jarang digunakan. Prototype penghambat
karbonik anhydrase adalah acetazolamide.

9
Farmakologi
a. Farmakokinetika
Penghambat karbonik anhidrase diabsorbsi dengan baik setelah
pemberian oral. Peningkatan PH urine karena dieresis bikarbonat
terjadi dlam 30 menit, maksimal pada 2 jam, dan menetap selama
12 jam setelah pemberian dosis tunggal. Eksresi obat tersebut
melalui sekresi tubuler dalam segmen S2 tubulus proksimal, dan
untuk alas an itulah dosis pemberian harus diturunkan pada
insifisiensi ginjal.
b. Farmakodinamika
Penghambat aktivitas karbonik anhydrase menekan reabsorbsi
bikarbonat secara kuat dalam tubulus proksimal. Pada dosis
pemberian maksimal yang aman, 85% dari kapasitas reabsorpsi
bikarbonat dari tubulus proksimal superfisial di hambat oleh
acetazlamide dengan IC50 yang terjadi (konsentrasi yang
dibutuhkan untuk penghambatan sebesar 50%) pada 4 mmol/L.
bagaimana juga, beberapa bikarbonat masih dapat diabsorpsi dari
situs-situs nefron lain oleh mekanisme yang tidak berkaitan dengan
karbonik anhydrase. Efek menyeluruh dari pemberian
acetaolamide maksimal meliputi sekitar 45% penghambatan dari
reabsorpsi bikarbonat dari keseluruhan ginjal.namun,
penghambatan karbonik anhydrase menghilangkan bikarbonat
yang bermakna, yang menyebabkan asidosis metabolic
hiperkloremik. Karena efek toksisistas dari asidosis dan fakta baha
deplesi HCO3- meningkatkan reabsorpsi NaCL melalui segmen
tubulus yang tersisa dalam nefron, efektifitas diuretic
acetazolamide menurun bermakna pada penggunaan yang melebihi
beberapa hari.
Aplikasi klinik utama dari acetazolamide melibatkan transfor
bikarbonat yang bergantung pada bikarbonik anhydrase pada
tempat lain dilar ginjal. Badan silier (ciliar) mata menyekresi

10
bikarbonat kedalam cairan bola mata.(aqueous humor) dengan
proses yang sama dengan reabsorbsi bikarbnat dari cairan tubulus
proksimal. Satu-satunya perbedaan adalah bahwa proses terbalik,
bikarbonat di pindahkan dari darah oleh badan siler dan
dikembalikan ke darah pada tubulus proksimal. Serupa dengan itu,
pembentukan cairan serebrospnal oleh pleksus khoroit melibatkan
sekresi bikarbonat kedalam cairan serebrospnal. Walaupun proses
tersebut terjadi dalam arah yang berlawanan dari proses terjadi
pada tubulus proksimal, mereka di hambat secara bermakna oleh
penghambat karbonik anhidrase, yang pada kedua kasus secara
dramatis mengubah Ph dan kuantitas cairan yang di produksi.
Indikasi Klinis dan Dosis
a. Glaukoma : Penghambatan karbonik anhidrase menurunkan laju
pembentukan cairan bola mata (aqueous humor), yang dapat
menyebabkan penurunan tekanan intraokuler. Efek tersebut
bermanfaat pada penatalaksanaan beberapa bentuk glaukoma,
menyebabkannya menjadi indikasi paling lazim penggunaan
penghambat karbonik anhidrase.
b. Alkalisasi urine : Asam urat (uric acid) dan cystine relatif tidak
dapat larut dalam urine yang asam, dan peningkatan ekskresi ginjal
senyawa tersebut dapat dicapai dengan peningkatan pH urin dengan
penghambatan karbonik anhidrase. Dengan cara yang sama,
ekskresi ginjal dari asam lemah (misalnya aspirin) ditingkatkan
oleh acetazolamide. Pada pemberian bikarbonat yang tidak
berkesinambungan efek acetazolamide tersebut relatif berdurasi
pendek dan hanya bermanfaat dalam mengawali suatu respons.
Terapi dalam jangka waktu panjang membutuhkan pemberian
bersama bikarbonat.
c. Alkalosis metabolik : Pada sebagian kasus, alkalosis metabolik
yang menetap merupakan suatu konsekuensi dari penurunan total
K+ tubuh dan volume intravaskuler atau kadar tinggi

11
mineralocorticoid. Oleh karenanya pada lazimnya kasus tersebut
dirawat dengan melakukan koreksi pada kondisi yang
mendasarinya, tidak dengan pemberian acetazolamide. Apabila
alkalosis disebabkan oleh penggunaan yang berlebihan dari
diuretika terhadap pasien dengan gagal jantung parah, pemberian
saline (larutan garam fisiologis) dapat merupakan kontraindikasi
karena peningkatan tekanan pengisian jantung. Pada kasus tersebut,
acetazolamide dapat sangat berguna untuk memperbaiki alkaloid
seperti halnya dengan menyebabkan sedikitnya diuresis tambahan
untuk memperbaiki gagal jantung. Acetazolamide telah pula
digunakan untuk memperbaiki secara cepat alkalosis metabolik
yang mungkin berkembang pada tatanan asidosis respiratorik.
d. Acute Mountain Sickness : Kelemahan, pusing, insomnia, nyeri
kepala, dan mual dapat terjadi pada para pendaki gunung yang
mendaki secara cepat mencapai 3000 m. Gejalanya bersifat ringan
dan berlangsung untuk beberapa hari. Pada kasus yang lebih serius,
edema pulmoner dan serebral yang berlanjut dengan cepat dapat
mengancam jiwa. Dengan penurunan pembentukan cairan
serebrospinal dan pH cairan serebrospinal dan otak, acetazolamide
dapat meningkatkan status performa dan mengurangi gejala
mountain sickness. Penggunaan sebagai profilaksis dapat dicapai
dengan pemberian acetazolamide secara oral 24 jam sebelum
pendakian.
e. Penggunaan lain : Penghambat karbonik anhidrase telah digunakan
sebagai pengobatan tambahan dalam perawatan epilepsi, dalam
beberapa bentuk paralisis periodik hipokalemik, dan untuk
meningkatkan ekskresi phosphate urine selama hiperfosfatemia
yang parah.

12
f. Penghambat / inhibitor carbonic anhydrase oral dalam
pengobatan glaukoma

Dosis Oral yang Lazim

(1 – 4 kali sehari)

Acetazolamide 250 mg

Dichlorpenamide 50 mg

Toksisitas
a. Asidosis Metabolik Hiperkloremik :Asidosis diperkirakan akibat
dari penurunan kronis cadangan-cadangan bikarbonat oleh
penghambat karbonik anhidrase. Pembuangan bikarbonat
membatasi efikasi diuretik dari obat-obat ini selama 2-3 hari.
b. Batu ginjal : Fosfaturia dan hiperkalsiura terjadi selama respons
bikarbonaturik terhadap penghambatan karbonik anhidrase.
Ekskresi ginjal dari faktor pelarut (seperti citrat) dapat juga
menurun pada penggunaan kronis. Garam kalsium relatif tidak
larut pada pH alkali, yang berarti bahwa potensi pembentukan batu
ginjal dari garam tersebut meningkat.
c. Pembuangan Kalium ginjal : Pembuangan kalium dapat terjadi
karena NaHCO3 yang terdapat pada tubulus pengumpul
menyebabkan suatu peningkatan pada potensial negatif elektris-
lumen pada segmen tersebut dan meningkatkan sekresi K+. Efek
tersebut dapat dilawan dengan pemberian KCl.
d. Toksisitas lain : Rasa kantuk dan parestesi adalah gejala yang
lazim pada pemberian dosis besar. Terjadi akumulasi obat tersebut
pada pasien dengan gagal ginjalm dan terjadi toksisitas sistem
saraf pusat yang jelas pada tatanan tersebut. Reaksi

13
hipersensitivitas (demam, ruam, supresi sumsum tulang, nefritis
interstisial) dapat pula terjadi.
Kontraindikasi
Penghambat karbonik anhidrase sebisanya dihindari pada pasien
dengan sirosis hari. Alkalinisasi urine akan menurunkan terjebaknya
(trapping) juga ekskresinya NH4+ urine yang diduga berperan dalam
perkembangan ensefalopati hepatis.
Contoh obat
PEMAKAIAN DAN
OBAT DOSIS
PERTIMBANGAN
D: PO: 250 mg, b.i.d., Untuk glaucoma sudut
Penghambat atau q.i.d terbuka. Dapat
Anhidrase IV: 250-500 mg/hari: meningkatkan kadar
Karbonik dosis bervariasi gula darah, asam urat,
Asetazolamid dan kalsium. Dapat
(Diamox) timbula sidosis
metabolik
D: PO: 100 mg/setiap 12 Untuk glaucoma sudut
Penghambat jam terbuka
Anhidrase R: 25-50 mg, b.i.d.,t.i.d
Karbonik
Diklorfenamid
(Daranid)
D: PO: 50-100 mg, b.i.d Untuk glaucoma
Penghambat atau t.i.d
Anhidrase
Karbonik
Metazolamid
(Neptazane)

3. Diuretik Kuat
Diuretik kuat secara selektif menghambat reabsorpsi NaCl pada
cabang meningkat yang tebal dari ansa Henle. Mengacu pada besarnya
kapasitas absorpsi segmen tersebut dan kenyataan bahwa diuresis tidak
terbatas oleh perkembangan asidosis, seperti halnya dengan penghambat
anhidrase, obat tersebut adalah agen diuretik yang paling efektif yang
tersedia.

14
Farmakologi
a. Farmakokinetika
Agen-agen ansa tersebut diabsorpsi dengan cepat. Mereka
dieliminasi oleh sekresi ginjal begitu juga oleh filtrasi glomeruler.
Absorpsi torsemide oral lebih cepat (1 jam) daripada furosemide
(2-3 jam) dan hampir sebanding dengan pemberian intravena.
Respons diuretik sangat cepat pada pemberian injeksi intravena.
Masa kerja furosemide biasanya 2-3 jam dan untuk tursemide 4-6
jam. Waktu paruhnya bergantung pada fungsi ginjal. Karena agen
ansa bekerja pada sisi luminal tubulus, respons diuretik berkaitan
secara positif dengan ekskresi urine.
b. Farmakodinamika
Obat tersebut menghambat sistem transpor gabungan
Na+/K+/2Cl- pada membran luminal cabang meningkat yang tebal
pada ansa henle. Dengan menghambat transporter tersebut,
diuretika ansa menurunkan reabsorpsi NaCl dan juga menurunkan
potensial positif-lumen normal yang berasal dari daur ulang K+.
Potensial elektris tersebut pada keadaan normal menggerakkan
reabsorpsi kation divalen pada ansa. Diuretika ansa, dengan
menurunkan potensial positif menyebabkan suatu peningkatan
ekskresi Mg2+ dan Ca2+. Penggunaan dalam jangka panjang dapat
menyebabkan hipomagnesemia pada beberapa pasien. Karena Ca2+
secara aktif direabsorpsi pada tubulus berbelit distal, diuretika
umumnya tidak menyebabkan hipokalsemia. Namun, pada
kelainan yang menyebabkan hiperkalsemia, ekskresi Ca2+ dapat
ditingkatkan dalam jumlah besar dengan memadukan agen ansa
dengan infus garam fisiologis. Efek tersebut sangat berharga untuk
penatalaksanaan akut dari hiperkalsemia.

15
Indikasi Klinis dan Dosis
a. Hiperkalemia : Pada hiperkalemia ringan atau setelah
penatalaksanaan akut hiperkalemia yang parah dengan cara lain,
diuretika ansa dapat secara bermakna meningkatkan ekskresi urine
dari K+ sebagai sarana menurunkan simpanan K+ tubuh total.
Respons tersebut ditingkatkan dengan pemberian bersama NaCl
dan air.
b. Gagal ginjal akut : Agar ansa dapat meningkatkan kecepatan aliran
urine dan meningkatkan ekskresi K+ pada gagal ginjal akut. Agen
tersebut dapat mengatasi gagal ginjal oligurik menjadi gagal
nonoligurik, yang dapat mempermudah penatalaksanaan pada
pasien. Namun penatalaksanaan tersebut tidak memperpendek
masa berlangsungnya gagal ginjal.
c. Overdosis anion : Bromide, fluoride dan iodide semuanya
diabsorpsi kembali pada cabang meningkat yang tebal; sehingga
diuretika ansa berguna dalam penatalaksamaam keracunan
makanan yang disebabkan ion-ion tersebut. Larutan garam
fisiologis harus diberikan untuk menggantikan kehilangan Na+ dari
urine dan untuk menyediakan Cl-, begitu juga untuk menghindari
deplesi volume cairan ekstraseluler.
Diuretika ansa : dosis

Obat Dosis Oral Harian

Bumetanide 0,5 – 2 mg

Ethacrynic acid 50 – 200 mg

Furosemide 20 – 80 mg

Torsemide 2,5 – 20 mg

16
Toksisitas
a. Alkalosis Metabolik Hipokalemik : Diuretik ansa meningkatkan
penghantaran garam dan air ke duktus pengumpul dan karenanya
meningkatkan sekresi K+ dan H+ ginjal, yang mengakibatkan
alkalosis metabolik hipokalemik. Toksisitas tersebut merupakan
suatu fungsi dari pembesaran efek diuretik dan dapat dihentikan
dengan penggantian K+ dan koreksi hipovolemia.
b. Ototoksisitas : Diuretika ansa dapat mengakibatkan hilangnya
pendengaran yang berkaitan dengan dosis dan lazimnya bersifat
reversibel. Hilangnya pendengaran tersebut terjadi pada pasien
dengan penurunan fungsi ginjal atau pada pasien yang juga
mendapat agen ototoksik lain seperti antibiotik aminoglicoside
c. Hiperurikemia : Diuretika ansa dapat menyebabkan hiperurikemia
dan memicu serangan pirai. Keadaan tersebut disebabkan oleh
peningkatan reabsorpsi uric acid pada tubulus proksimal yang
dihubungakan dengan hipovolemia. Keadaan tersebut dapat
dihindari dengan pemberian diuretika dosis rendah.
d. Hipomagnesemia : Deplesi magnesium merupakan konsekuensi
yang dapat diperkirakan dari penggunaan kronis agen ansa dan
terjadi pada pasien dengan defisiensi diet magnesium. Keadaan
tersebut dapat diperbaiki secara cepat dengan pemberiaan sediaan
magnesium oral.
e. Reaksi alergi : Ruam pada kulit, eosinofilis, dan yang lebih jarang,
nefritis interstisial merupakan efek samping yang kadang terjadi
pada terapi furosemide. Keadaan tersebut dapat membaik secara
cepat setelah penghentian obat. Pengalaman penggunaan
torsemide terbatas, tetapi reaksi alergi yang mirip diduga terjadi
berkaitan dengan struktur kimianya. Reaksi alergi tersebut diduga
terkait dengan gugus sulfonamide kurang lazim terjadi pada
ethacrynic acid.

17
Kontraindikasi
Furosemide, bumetanide, dan torsemide dapat dibuktikan
mempunyai reaktivitas silang pada pasien yang sensitif pada
sulfonamide yang lain. Penggunaan berlebihan diuretika tersebut
berbahaya bagi sirosis hati, gagal ginjal pada garis batas (borderline),
atau gagal ginjal kongestif.
Contoh Obat
PEMAKAIAN DAN
OBAT DOSIS
PERTIMBAGAN
D: PO: 50-200 mg/hari Untuk ederma paru-
Asam D: IV: 0,5-1 mg/kg/dosis paru dan perifer
etakrinat A: PO: 25 mg/hari akibat PJK. Dosis
(Endocrin) ulangan tidak
dianjurkan
D: PO: 20-80 mg/hari Untuk edema paru-
Furosemid IV: 20-40 mg, disuntikkan paru dan perifer
(Lasix) perlahan-lahan selama 1-2 akibat PJK,
menit. hipertensi, payah
Maks : 600 mg/hari ginjal tanpa anuria,
dan hiperkalsemia,
furosemid
meningkatkan
ekskresi kalsium.
D: PO: 0,5-2 mg/hari Sama seperti
Bumetanid Maks: 10 mg/hari furosemid,obat lebih
(Bumex) D: IV: 0,5-1,0mmg/dosis, kuat daripada
dapat diulangi 2-4 jam furosemid
kemudian,
A: PO: 0,015 mg/kg/hari

4. Diuretik Tiazid
Diuretik thiazide muncul dalam usaha untuk mensintesis lebih
banyak penghambat carbonic anhydrase yang kuat. Secara
berkesinambungan menjadi jelas bahwa thiazide menhambat transfor NaCL
yang terjadi diluar efeknya terhadap aktivitas anhydrase dan bahwa obat
tersebut bekerja pada transfor garam pada tubulus berbelit distalis. Beberapa
anggota dari kelompok tersebut mempertahankan aktivitas penghambatan

18
carbonik anhydrase secara bermakna, tetapi efek tersebut tidak berkaitan
dengan cara kerja utamanya. Contoh thiazide adalah hydrochlorothiazide.
Farmakologi
a. Farmakokinetika
Semua thiazide diabsorbsi pada pemerian oral, tetapi terdapat
perbedaan dalam metabolismenya. Chlorothiazide , induk dari
kelompok tersebut, kurang dapat larut dalam lipid, dan harus
diberikan pada dosis yang relatif besar. Chlortalidone diabsorbsi
lambat dan mempunyai masa kerja yang lebih panjang. Walaupun
indapamide terutama diekskresi oleh sistem bilier, klirens oleh
ginjal dari bentuk aktifnya terjadi dalam jumlah cukup untuk
mendapakan efek diuretiknya pada tubulus berbelit distals.
Semua thiazide disekresi oleh sistem sekretorik asam organik
dan bersaing pada beberapa hal dengan sekresi uric acid oleh
sistem tersebut. Sebagai hasilnya, kecepatan sekresi uric acid dapat
menurun, dengan diikuti peningkatan kadar uric acid serum. Pada
steady state, prduksi uric acid tidak dipengaruhi oleh thiazide
b. Farmakodinamika
Thiazide menghambat rearsorpsi NaCl dari sisi luminal sel
epitel dalam tubulus berbelit distalis, diduga terdapat suatu efek
ringan pada reabsorbpsi NaCl pada bagian akhir tubulus proksimal,
tetapi hal tersebut tidak diamati pada tatanan klnik yang umum.
Relatif hanya sedikit sistem transfor NaCl yang diketahui
dapat dihambat oleh thiazide. Seperti telah diuraikan di
depan(dalam tubulus berbelit distalis), cara transfor merupakan
suatu konstransporter NaCl netral secara elektris yang berbeda dari
transporter pada angsa Henle. Terdapat pula proses reasorbpsi aktif
untuk Ca2+ pada tubulus berbelit distalis, yang dimodulasi oleh
hormon paratiroid.

19
Indikasi Klinis dan Dosis
Indikasi utama diuretika thiazide adalah (1) hipertensi , (2) gagal
jantung kongestif, (3) nefrolitiasis yang disebabkan hiperkalsiuria
idiopatik, dan (4) diabetes insipidus nefrogenik.
Berbagai thiazide dan diuretika terkait dosis
Dosis Oral Harian Frekuensi dosis
2,5 – 10 mg Dosis tunggal
Bendroflumethazide
25 – 100 mg Dosis terbagi dua
Benzthiazide
0,5 – 1 g Dosis tunggal
Cholorothiazide
25 – 100 mg Dosis tunggal
HCT
2,5 – 10 mg Dosis tunggal
Indapamide
2,5 – 100 mg Dosis terbagi dua
Hydroflumethiazide
2,5 – 10 mg Dosis tunggal
Metolazone

Toksisitas
a. Alkalosis Metabolik Hipokalemik dan Hiperurikemia : Toksisitas
tersebut menyerupai yang teramati pada diuretika ansa
b. Gangguan Toleransi Karbohidrat : Dapat terjadi hiperglikemia
pada pasien diabetes atau bahkan pada yang dengan uji toleransi
glukosa tidak normal yang ringan. Efek tersebut berkaitan dengan
hambatan rilis insulin pankreatik dan penurunan penggunaan
glukosa oleh jaringan. Hiperglikemia disembuhkan sebagian
dengan perbaikan hipokalemia.
c. Hiperlipidemia : Thiazide menyebabkan peningkatan 5-15 %
kolesterol serum dan menurunkan lipoprotein dengan keadaan
rendah (LDL). Tingkat tersebut dapat kembali pada garis dasar
pada pemakaian jangka waktu panjang.

20
d. Hiponatremia : Hiponatremia merupakan efek tidak diinginkan
yang penting dari diuretika thiazide dan dapat mengancam jiwa
walaupun jarang terjadi. Keadaan tersebut disebabkan oleh
kombinasi induksi hipovolemia pada peningkatan ADH,
penurunan kapasitas pengenceran oleh ginjal, dan peningkatan
rasa haus. Keadaan tersebut dapat dicegah dengan menurunkan
dosis obat atau membatasi minum air.
e. Reaksi alergi : Thiazide adalah sulfonamide dan mempunyai
reaktivitas silang dengan anggota lain dari kelompoknya.
Sensitifitas terhadap cahaya atau dermatitis menyeluruh jarang
terjadi. Reaksi serius alergi sangat jarang tetapi termasuk anemia
hemolitik, trombositopenia dan pankreatitis nekrotik akut.
Kontraindikasi
Penggunaan diuretika berlebihan berbahaya pada sirosis hati, gagal
ginjal borderline atau gagal jantung kongestif.
Contoh Obat
PEMAKAIAN DAN
OBAT DOSIS
PERTIMBANGAN
D: PO: 500 mg-2 g,
Tiazid q.d atau b.i.d Untuk hipertensi dan
Tiazid Masa Kerja edema perifer. Orang
Singkat (Masa A >1 th: PO: 30 mg/kg dewasa dapat diberikan
Kerja<12 jam) 24 jam klorotiazid IV, tetapi tidak
Klorotiazid direkomendasikan untuk
(Diuril) A<6 th: PO: 30 bayi dan anak-anak.
mg/kg24 jam, dalam
dosis terbagi
Hidroklorotiazid Untuk hipertensi dan
D: PO: 12,5-100
(HydroDiuril, adea. Paling sering
mg/hari
Esidrix) digunakan Tiazid
A: PO: 1-2mg/kg/hari
A: <6 bl: PO: 2-3
mg/kg/hari dalam
dosis terbagi

D: O: 2,5-10 mg/hari Untuk hipertensi dan


Tiazid Masa Kerja A: O: 0,05-0,1 adema

21
Sedang (Masa mg/kg/hari atau 1,5-3
Kerja 12-24 jam) mg/m2
Bendroflumetiazid
(Naturetin)
D: PO: 50-200 mg/hari
Benztiazid A: PO: 1-4 mg/kg/hari Untuk hipertensi dan
(Aquatang, dalam dosis terbagi 3 edema
Hydrex) D: PO: 1-2 mg/hari

Siklotiazid Untuk hipertensi dan


(Anhydron) D: PO: 50-200 mg/hari edema
A: PO: 1 mg/kg/hari
Hidroflurnetiazid
(Saluron) Untuk hipertensi dan
edema
D: PO: 2,5-10 mg/hari Untuk hipertensi dan
Tiazid Masa Kerja A: PO: 0,05-0,2 edema
Panjang (Masa mg/kg/hari atau 1,5-6
Kerja>24jam) m2/hari
Metilotiazid
(Aquaterisen
Enduron) D: PO: 2-4 mg/hari
Untuk hipertensi dan
Politiazid edema
(Renese-R) D: PO: 1-4 mg/hari
A: PO: 0,07
Triklormetiazid mg/kg/hari atau 2 Untuk hipertensi dan
(Metahydrn, mg/m2 edema
Naqua)

D: PO: 25-100 mg/hari Untuk hipertensi dan


Diuretik Seperti- A: PO: 2 mg/kg, setiap edema. Suatu diuretik
Tiazid 3 minggu masa kerja panjang.
Klortalidon Kategori kehamilan B
(Hygroton) D: PO: 2,5 mg/hari,
dapat dinaikkan Untuk hipertensi dan
Indapamid sampai 5 mg//hari. edema. Suatu diuretik
(Lozol) masa kerja panjang. Dapat
diklasifikasikan sebagai
diuretik kuat. Kategori
kehamilan B.
D: PO: 2,5-5 mg/hari
Untuk hipertensi dan
Metolazon edema. Suatu diuretk
(Zaroxolyn) masa kerja sedang. Lebih

22
efektif daripada tiazid
pada klien dengan
gangguan fungsi ginjal.
D: PO: 50-100 mg/hari Kategori kehamilan B
Quinetazon
(Hydromox) Untuk edema. Diuretik
masa kerja sedang

5. Diuretik Hemat Kalium


Anggota dari kelompok ini mengantagonis efek aldosterone pada
korteks tubuli pengumpul dan pada bagian akhir tubulus distal.
Penghambatan dapat terjadi dengan antagonisme farmakologis langsung
dari reseptor mineralocorticoid (spironolactone) atau dengan hambatan
aliran Na+ melalui kanal ion pada membran luminal. Efek hemat kalium
yang lebih kecil kadang terjadi pada obat yang menekan renin atau
angiotensin II.
Farmakologi
a. Farmakokinetika
Spironolakton adalah suatu sterois sintetis yang bekerja sebagai
antagonis kompetitif aldosterone. Mula dan lama kerjanya
ditentukan oleh kinetik dari respons aldosterone pada jaringan
target. Inaktivasi substansial spironolakton terjadi dalam hati.
Hasil keseluruhan merupakan mula kerja yang agak lambat,
membutuhkan beberapa hari sebelum efek terapeutik lengkap
terjadi
b. Farmakodinamika
Diuretik hemat kalium menurunkan absorpsi Na+ pada tubulus
dan duktus pengumpul. Absorpsi Na+ (dan sekresi K+) pada
tempat regulasi oleh aldosterone. Pada tiap laju penghantaran Na+,
laju sekresi K+ di distal secara positif berkaitan dengan kadar
aldosterone. Aldosterone meningkatkan sekresi K+ dengan
meningkatkan aktivitas Na+/K+ ATPase dan aktivitas kanal Na+

23
dan K+. Absorpsi Na+ pada tubulus pengumpul menyebabkan
potensial elektris negatif-lumen, yang menyebabkan peningkatan
sekresi K+.
Indikasi Klinis dan Dosis
Agen tersebut paling bermanfaat pada kondisi mineralocorticoid
yang berlebihan, baik yang disebabkam hipersekresi primer atau
aldosteronisme sekunder. Aldosteronisme sekunder disebabkan oleh
gagal jantung kongestif, sirosis hati, sindroma nefrotik, dan kondisi
lain yang dihubungkan dengan retensi garam ginjal dan penurunan
volume intravaskuler efektif.
Diuretika hemat kalium dan preparat kombinasi
Nama dagang Agen Hemat-Kalium HCT Frekuensi Dosis
Aldactazide Spironolakton 25 mg 25 mg 1 - 4 kali sehari
Dyazide Triamterene 50 mg 25 mg 1 - 4 kali sehari
Maxzide Triamterene 75 mg 50 mg Sekali sehari
Mildamor Amiloride 5 mg Sekali sehari
Moduretic Amiloride 5 mg 50 mg Dua kali sehari

Toksisitas
a. Hiperkalemia : Tidak seperti diuretika lain, agen ini dapat
menyebabkan hiperkalemia ringan sedang, atau bahkan yang
mengancam keselamatan jiwa. Risiko dari komplikasi ini sangat
meningkat pada penyakit ginjal atau dengan kehadiran obat lain
yang dapat menurunkan renin (penyakit beta, AINS) atau aktivitas
angiotensin II (penghambat ACE). Karena sebagian besar
diuretika lain menimbulkan terjadinya kehilangan K, hiperkalemia
lebih lazim terjadi pada penggunaan antagonis aldosterone sebagai
agen diuretik tunggal, khususnya pada pasien dengan infusiensi
ginjal.

24
b. Asidosis Metabolik Hiperkloremik : Dengan menghambat sekresi
H+ yang paralel dengan sekresi K+,, diuretika hemat kalium dapat
menyebabkan asidosis yang sama dengan yang terjadi pada
asidosis tubuler ginjal tipe IV.
c. Ginekomasti : Steroid sintetis dapat menyebabkan abnormalitas
endokrin yang disebabkan oleh efek reseptor steroid lain.
Ginekomasti dan efek tidak diinginkan yang lain (impotensi) telah
dilaporkan sehubungan dengan penggunaan spironolakton.
d. Gagal ginjal akut : Kombinasi triamterene dan indometacine telah
dilaporkan menjadi penyebab gagal ginjal akut. Kejadian tersebut
belum pernah dilaporkan terjadi berkaitan dengan penggunaan
hemat kalium lain.
e. Batu ginjal : Triamteren bersifat kurang larut sehingga dapat
mengendap di urine, sehingga dapat menyebabkan batu ginjal.
Kontraindikasi
Agen tersebut dapat menyebabkan hiperkalemia parah bahkan fatal
pada pasien tertentu. Pemberian oral K+ seyogyanya dihentikan pada
penggunaan antagonis aldosterone. Pasien dengan infusiensi ginjal
kronis yang khusus berbahaya dan seyogyanya jarang dirawat dengan
antagonis aldosterone. Penggunaan secara bersama agen lain yang
menumpulkan sistem angiotensin renin meningkatkan kecenderungan
terjadinya hiperkalemia. Pasien dengan penyakit hati diduga
mempunyai hambatan metabolisme triamterene dan spironolakton,
dan karena dosisnya harus disesuaikan secara hati-hati.
Contoh Obat
PEMAKAIAN DAN
OBAT DOSIS
PERTIMBANGAN
D: PO: 5-10 mg/hari Untuk edema dan
Diuretik Agen- hipertensi
Tunggal
Amilorid
(Midamor)
D: Po: 25-200 mg/hari Untuk edema dan
Diuretik Agen- dalam dosis terbagi hipertensi. Dosis

25
Tunggal A: PO: 3,3 mg/kg/hari untuk hipertensi
Spironolakton dalam dosis terbagi biasanya sedikit
(Aldactone) lebih rendah dari
yang digunakan
untuk edema.
Mempunyai masa
kerja yang panjang
D: Po: 100 mg, b.i.d., Untuk edema akibat
Diuretik Agen- tidak melebihi 300 PJK, sirosis,
Tunggal mg/hari nefrosis, dan edema
Triamteren akibat steroid. Obat
(Dyrenium) diminum bersama
makanan. Diuretik
masa kerja sedang
D: PO: Sesuai dengan setiap tablet
Kombinasi resep mengandung
Diuretik amilorid HCL 5 mg
Amilorid dan dan hidroklorotiazid
hidroklorotiazid 25 mg atau 50 mg
(Moduretik)
D: PO: 100 mg/hari Tersedia dalam dua
Kombinasi kekuatan :
Diuretik spironolakton 25 mg
Spironolakton atau 50 mg dan
dan hidroklorotiazid 25
hidroklorotiazid mg atau 50 mg
(Aldactazide)
D: PO: Dyazide 1-2 kap, Dyazide: setiap
Kombinasi b.i.d.,p.c tablet mengandung
Diuretik triamteren 50 mg
Triamteren dan dan hidroklorotiazid
hidroklorotiazid 25 mg. Maxzide
(Dyazide, tersedia dalam dua
Maxzide) kekuatan: triamteren
37,5 mg atau 75 mg
dan hidroklorotiazid
50 mg atau 75 mg
D. Permasalahan Yang Timbul Pada Pemberian Diuretik
1. Hipokalemia
Terjadinya hipokalemia pada pemberian diuretik disebabkan oleh:
 Peningkatan aliran urin dan natrium di tubulus distal,
meningkatkansekresi kalium di tubulus distal.
 Peningkatan kadar bikarbonat (muatan negatip meningkat) dalamtub
ulus distal akibat hambatan reabsorbsi di tubulus proksimal

26
oleh penghambat karbonik anhidrase akan meningkatkan sekresi
kalium ditubulus distal.
 Diuretik osmotik akan menghambat reabsorbsi kalium di tubulus pro
ksimal.
 Diuretik loop juga menghambat reabsorbsi kalium di thick
ascending limb.
Hipokalemia akibat pemberian diuretik dapat menyebabkan:
1. Gangguan toleransi glukosa. Hipokalemia menghambat pengelu
araninsulin endogen.
2. Hepatik ensefalopati. Pemberian diuretik harus hati-hati pada
keadaanhati yang dekompensasi.
3. Artimia. Bilapenderita sedang mendapat digitalis,
hipokalemia dapatmerangsang terjadinya aritmia.
2. Hiperkalemia
Pemberian diuretik jenis potassium-sparing akan meningkatkan-
kadar kalum darah. Ada 3 jenis diuretik ini yaitu Spironolakton,. Amil
oride,Triamterene. Kerja Spironolakton bergantung pada
tinggi rendahnya kadar Aldosteron. Amiloride dan Triamterene tidak
tergantung pada Aldosteron. Seluruhnya
menghambat sekresi kalium di tubulus distal. Kita harus berhati-
hati atau sebaiknya diuretik jenis ini tidak diberikan pada keadaan gag
al ginjal, diabetes mellitus, dehidrasi berat atau diberikan bersama
preparat yang mengandung kalium tinggi.
3. Hiponatremia
Tanda-tanda hiponatremia akibat diuretika ialah kadar natrium
/L, kenaikan ringan ureum dan kreatinin, hipokalemia dan terdapatalka
losis metabolik. Hiponatremia dapat memberikan gejala-gejala bahkan
kematian. Cepatnya penurunan kadar natrium (kurang dari 12 jam),
kadar natrium < 110 meq/L, terdapat gejala susunan saraf pusat,
merupakan pertanda buruk akibat hponatremia. Keadaan ini harus
ditanggulangi secepatnya.

27
4. DeplesiCairan
Pengurangan cairan ekstraseluler merupakan tujuan utama dalam pema
kaian diuretik. Keadaan ini sangat menguntungkan pada
edema paruakibat payah jantung. Pada keadaan sindrom nefrotik,
terutama dengan hipoal buminemi yang berat, pemberian diuretic dapat
menimbulkan syok atau gangguan fungsi ginjal. Tidak dianjurkan
penurunan berat badab 1kg perhari.
5. Gangguan Keseimbangan Asam Basa
Alkalosis metabolik terjadi akibat:
 Pengurangan cairan ekstraseluler akan meningkatkan kadar HCO3
dalam darah.
 Peningkatan ekskresi ion-H meningkatkan pembentukan HCO3.
 Deplesi asam hidroklorida.
6. Gangguan Metabolik
Hiperglikemi, hiperlipidemia, hiperurikemia, hiperkalsemia,
hipokalsemia
7. Toksisitas
 Diuretik dapat menyebabkan nefritis intersiil akut melalui reaksihi
persensitifitas.
 Dapat menginduksi terjadinya artritis goutdan pengeluaran
batu asamurat pada penderita dengan riwayat gout.
 Hipokalemi kronik akibat penggunaan diuretik dapat menimbulkan
nefropati hipokalemi.
 Diuretik loop terutama furosemid dapat menyebabkan ototoksisiti.
 Lebih nyata lagi bila ada gagal ginjal. Gabungan dengan
aminoglikosida dapat menyebabkan gangguan pendengaran.
E. Penggunaan Klinik Diuretik
1. Hipertensi
Diuretik golongan Tiazid, merupakan pilihan utama step 1, pada
sebagian besar penderita. Diuretik kuat (biasanya furosemid), digunakan
bila terdapat gangguan fungsi ginjal atau bila diperlukan efek diuretik

28
yang segera. Diuretik hemat kalium, digunakan bersama tiazid atau
diuretik kuat, bila ada bahaya hipokalemia.
2. Payah jantung kronik kongestif
Diuretik golongan tiazid, digunakann bila fungsi ginjal normal. Diuretik
kuat biasanya furosemid, terutama bermanfaat pada penderita dengan
gangguan fungsi ginjal. Diuretik hemat kalium, digunakan bersama
tiazid atau diuretik kuat bila ada bahaya hipokalemia.
3. Udem paru akut
Biasanya menggunakan diuretik kuat (furosemid)
4. Sindrom nefrotik
5. Biasanya digunakan tiazid atau diuretik kuat bersama dengan
spironolakton.
6. Payah ginjal akut
7. Manitol dan/atau furosemid, bila diuresis berhasil, volume cairan tubuh
yang hilang harus diganti dengan hati-hati.
8. Penyakit hati kronik
9. Spironolakton (sendiri atau bersama tiazid atau diuretik kuat).
10. Udem otak
11. Hiperklasemia
12. Diuretik furosemid, diberikan bersama infus NaCl hipertonis.
13. Batu ginjal
14. Diabetes insipidus
15. Openangle glaucoma
16. Acuteangle closure glaucoma
Diuretik osmotik atau asetazolamid digunakan prabedah. Untuk
pemilihan obat Diuretika yang tepat ada baiknya anda harus periksakan
diri dan konsultasi ke dokter.

29
F. Mekanisme Antidiuretik
1. Disintesis dalam sel neurosecretory hipotalamus
2. Migrasi oleh transportasi aksonal ke ujung saraf pada hipofisis
posterior (neurohypophysis) melalui saluran-hypophyseal
hypothalamus
3. Disimpan dalam posterior hipofisis
4. Dilepaskan ke dalam kapiler hipofisis posterior ketika pembuangan
sel-sel neurosecretory (potensial aksi)

Transportasi dan Aksi


1. ke seluruh bagian tubuh oleh, sirkulasi tetapi tindakan diangkut utama
adalah di ginjal
2. Mengumpulkan tindakan saluran: mengikat reseptor V2 pada sel
Pokok dari duktus pengumpulan, menyebabkan peningkatan
permeabilitas air dengan menginduksi saluran air (aquaporins) yang
disimpan dalam vesikel intraselular untuk memadukan dengan
membran luminal (efek utama)
Catatan: efek pada kelulusan air dinilai - semakin tinggi konsentrasi
ADH, situs reseptor lebih diduduki, dan semakin besar permeabilitas
air (sampai dengan efek maksimum)
3. ADH memiliki tindakan yang cepat dan omset cepat (10-20 menit)

30
Pengendalian Pelepasan ADH
Pelepasan ADH dikendalikan oleh pengaruh yang membangkitkan (menyebabkan
pelepasan) atau menghambat eksitasi dari sel neurosecretory ADH.
G. Penggolongan Obat Antidiuretik
1. Vasopresin (pitressin)
Indikasi : diabetes insipidus kranial ; perdarahan varises esofagus
Kontraindikasi : penyakit vaskular
Peringatan : gagal jantung, asma bronkial, epilepsi, migren, kehamilan
Efek samping : Pucat, mual, cegukan, kejat perut, serangan angina,
reaksi alergi
Dosis : injeksi subkutan atau intramuskular 5-20 unit tiap jam. Injeksi
intravena, untuk perdarahan esofagus : 20 unit dalam 15 menit
Farmakologi :
Suntikan vasopresin yang terdapat di pasaran mengandung hormon
antidiuretik (ADH) dan presor utama hipofise posterior sapi dan babi
yang larut dalam air. Potensi vasopresin distandardisasi menurut
aktivitas presor dan dinyatakan dalam unit (presor) USP Hipofise
Posterior. Aksi antidiuretik disebabkan oleh peningkatan reabsorpsi air
oleh tubulus ginjal. Vasopresin meningkatkan kontraksi otot polos GI
dan bidang vaskuler. Peningkatan motilitas GI dapat bermanifestasi
sebagai nyeri abdomen, mual, muntah. Efek langsung terhadap otot
polos vaskular tidak diantagonis oleh denervasi atau obat-obatan
penyekat adrenergik. Vasokonstriksi umum dan peningkatan tekanan

31
darah hanya terjadi pada dosis yang jauh lebih besar daripada dosis yang
diberikan untuk pengobatan diabetes insipidus.
2. Desmopresin (Minrin) .
Khasiat antidiuretiknya lebih kuat dan lebih lama kerjanya. Dapat
digunakan intranasal sebagai spray atau tetes hidung, antara lain pada
ngompol malam (enuresis nocturna).
3. Terlipresin (Glypressin).
Daya antidiuretik lebih ringan, tetapi digunakan berdasarkan efek
vasokonstriksinya terutama di saluran cerna dan rahim.

32
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan dari makala ini yaitu sebagai berikut :
1. Diuretik adalah obat yang dapat menambah kecepatan pembentukan urin
(diuresis). Fungsi utama diuretik adalah untuk memobilisasi cairan
udem, yang berarti mengubah keseimbangan cairan sedemikian rupa
sehingga volume cairan ekstra sel kembali menjadi normal.
2. Penggolongan Obat Diuretik dibagi menjadi :
a. Diuretik osmotik
b. Diuretik thiazid
c. Diuretik kuat
d. Diuretik hemat kalium
e. Diuretik penghambat enzim karbonik anhidrase
3. Antidiuretik adalah istilah yang digunakan untuk merujuk pada suatu
kondisi, sifat atau penyebab turunnya laju urinasi. Antidiuretik memiliki
khasiat yaitu mencegah ekskresi air berlebihan oleh ginjal dengan jalan
meningkatkan resorpsi kembalinya oleh tubuli ginjal. Penggunaannya
untuk menguji fungsi hipofisis berdasarkan daya kerjanya menstimulir
ekskresi ACTH. Terutama digunakan pada diabetes insipidus, yang
bergejala poliuria (berkemih banyak) akibat kekurangan ADH.
4. Penggolongan Obat Antidiuretik dibagi menjadi :
a. Alamiah , contoh nya Vasopresin
b. Sintetis, contohnya Desmopresin dan terlipresin

33
DAFTAR PUSTAKA

Ditjen POM, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Departemen Kesehatan


Republik Indonesia, Jakarta, 2000. Halaman 287

Katzung, Bertram G, Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi Pertama, Salemba


Medika, Jakarta, 2001. Halaman 437 – 454

Tan Hoan Tjay, Kirana Rahardja., Obat-Obat Penting, Edisi Keenam, PT. Elex
Media Komputindo Gramedia, Jakarta, 2007. Halaman 677

Omoigui, Sota., Obat-Obatan Anestesia, Edisi II, Penerbit Buku Kedokteran


EGC, Jakarta, 2007. Halaman 367

Price, Lorriane.M., Patofisiologi, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1995.

Sukandar, Elin Yulinah, dkk., ISO Farmakoterapi, Edisi I, PT.ISFI Penerbitan,


Jakarta, 2008. Halaman 425

34

Anda mungkin juga menyukai