Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PRAKTIKUM DISOLUSI

TABLET AMPISILIN 500 MG


PRAKTIKUM TEKNOLOGI SEDIAAN PADAT

Disusun Oleh:
Kelompok 6 – Praktikum Teknologi Sediaan Padat E
Devi Ramadhanti Nurhaliza 1706034716
Hanna Christina Ginting 1706034350
Rizal Maulana 1606887983
Sarah Aminah Kherid 1706026020
Shabrina Assafrina 1706027811

Responser: Dr. Iskandarsyah, M.Si., Apt.

LABORATORIUM FAKULTAS FARMASI


UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2019
I. TUJUAN
1. Mengetahui cara melakukan uji disolusi pada sediaan tablet ampisilin.
2. Mengetahui ketersediaan farmasetik (pharmaceutical availability),
ketersediaan terapeutik (therapeutical availability) dan bioavailabilitas tablet
ampisilin dengan menghitung jumlah obat yang terdisolusi.
3. Mengetahui profil pelepasan obat dari tablet ampisilin.

II. TEORI DASAR


Uji disolusi adalah uji yang dilakukan untuk menetapkan kadar zat aktif yang
terlarut dalam media disolusi pada kondisi yang sesuai dengan suasana tubuh pada
waktu obat dimasukkan hingga waktu tertentu. Uji ini menggambarkan kadar zat
aktif yang dapat diabsorbsi tubuh setelah selang waktu tertentu obat tersebut
dikonsumsi.
Uji disolusi merupakan uji biofarmasetik yang penting dilakukan untuk
menjamin efektivitas suatu obat khususnya dalam bentuk sediaan tablet. Obat
dalam bentuk sediaan tablet harus mampu melewati fase farmasetika (salah satunya
disolusi). Obat harus menjadi bentuk terlarut melalui proses disolusi agar dapat
diabsorbsi oleh tubuh. Hal penting yang harus diperhatikan dalam penetapan kadar
obat dalam darah adalah laju kelarutan obat, dimana sangat berhubungan dengan
efikasi dari suatu formulasi sediaan tablet, yang turut menentukan
bioavailabilitasnya.
Menurut Farmakope Indonesia edisi V, uji disolusi digunakan untuk
menentukan kesesuaian dengan persyaratan disolusi yang tertera dalam masing-
masing monografi untuk sediaan yang digunakan secara oral.

Alat-alat Uji Disolusi


Alat-alat uji disolusi yang dijelaskan dalam Farmakope Indonesia edisi V ada tujuh
macam, yaitu:
1. Alat disolusi tipe I (Tipe keranjang)
Alat ini terdiri dari sebuah wadah bertutup yang terbuat dari kaca atau
bahan transparan lain yang inert, suatu motor, suatu batang logam yang
digerakkan oleh motor dan keranjang berbentuk silinder. Wadah tercelup
sebagian di dalam suatu tangas air yang sesuai berukuran sedemikian sehingga
dapat mempertahankan suhu dalam wadah pada sekitar 37˚C selama pengujian

1
berlangsung dan menjaga agar gerakan air dalam tangas air halus dan tetap.
Bagian dari alat, termasuk lingkungan tempat alat diletakkan tidak dapat
memberikan gerakan, goncangan atau getaran signifikan yang melebihi gerakan
akibat putaran alat pengaduk. Penggunaan alat yang memungkinkan
pengamatan contoh dan pengadukan selama pengujian berlangsung. Lebih
dianjurkan wadah disolusi berbentuk silinder dengan dasarsetengah bola, tinggi
160 mm hingga 175 mm, diameter dalam 98 mm hingga 106 mm dan kapasitas
nominal 1000 ml. Pada bagian atas wadah ujungnya melebar, untuk mencegah
penguapan dapat digunakan suatu penutup yang pas. Batang logam berada pada
posisi sedemikian hingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada tiap titik dari
sumbu vertikal wadah, berputar dengan halus dan tanpa goyangan yang berarti.
Suatu alat pengatur kecepatan digunakan sehingga memungkinkan untuk
memilih kecepatan getaran yang dikehendaki dan mempertahankan kecepatan
seperti yang tertera dalam masing-masing monografi dalam batas sekitar 4%.
Komponen batang logam dan keranjang yang merupakan bagian dari
pengaduk terbuat dari baja tahan karat tipe 316 atau yang sejenis. Kecuali
dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, gunakan kasa 40 mesh. Dapat
juga digunakan keranjang berlapis emas setebal 0,0001 inci (2,5 µm). Sediaan
dimasukkan ke dalam keranjang yang kering pada tiap awal pengujian. Jarak
antara dasar bagian dalam wadah dan keranjang adalah 25 mm ± 2 mm selama
pengujian berlangsung.
Uji disolusi ini digunakan untuk menentukan kesesuaian dengan
persyaratan disolusi yang tertera dalam setiap monografi untuk sediaan tablet.
Dalam praktikum kali ini, hasil uji disolusi yang diperoleh dibandingkan dengan
persyaratan uji disolusi yang terdapat di Farmakope Indonesia IV sehingga
dapat diketahui apakah tablet tersebut memenuhi persyaratan atau tidak.

2. Alat disolusi tipe II (Tipe dayung)


Alat ini diuraikan dalam Farmakope Indonesia edisi IV halaman 1085.
Alat tipe 2 sama seperti alat tipe 1. Bedanya alat tipe 2 digunakan dayung yang
terdiri dari daun dan batang sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi
sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada tiap titik dari sumbu
vertikal wadah, berputar dengan halus tanpa goyangan berarti. Daun melewati
diameter batang sehingga dasar daun dan batang rata. Jarak antara bagian dalam

2
dasar wadah dan daun adalah 25 mm ± 2 mm selama penetapan. Daun dan
batang logam dapat disalut dengan bahan yang inert. Sediaan dibiarkan
tenggelam ke dasar wadah sebelum dayung mulai berputar.
Alat tipe 1 dan 2 digunakan untuk uji disolusi tablet dan kapsul, seperti
yang tertera pada masing-masing monografi. Uji disolusi tidak berlaku jika pada
etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah, serta pengujian disolusi kapsul
gelatin lunak kecuali dinyatakan dalam monografi. Untuk sediaan salut enterik
yang pada monografinya tidak secara khusus dinyatakan uji disolusi sediaan
bersalut enterik, digunakan uji pelepasan obat untuk sediaan lepas lambat.
Sistem pengadukan yang digunakan adalah pengaduk putaran.

3. Alat disolusi tipe III (reciprocating cylinder)


Alat ini diuraikan dalam Farmakope Indonesia edisi IV halaman 1022.
Alat terdiri dari satu rangkaian labu kaca beralas rata berbentuk silinder,
rangkaian silinder kaca yang bergerak bolak-balik, penahan dari baja tahan
karat (tipe 316 atau yang setara) dan kasa polipropilen yang dirancang untuk
menyambungkan bagian atas dan alas silinder yang bergerak bilak-balik,
sebuah motor, sebuah kemudi untuk menggerakkan silinder secara vertikal
dalam labu. Alat ini sesuai untuk pengujian sediaan padat, mikrokapsul/pelet
dan serbuk. Sistem pengadukan yang digunakan adalah pengadukan bolak-
balik.

4. Alat disolusi tipe IV (flow-through cell)


Alat ini diuraikan dalam Farmakope Indonesia edisi IV halaman 1023-
1024. Alat terdiri dari sebuah wadah dan sebuah pompa untuk media disolusi,
sebuah sel yang dapat dialiri, sebuah tangas air yang dapat mempertahankan
suhu media disolusi pada 37˚±0,5˚C. Ukuran sel dinyatakan dalam masing-
masing monografi.
Alat tipe 3 dan 4 digunakan untuk pengujian standar pelepasan obat
secara umum pada sediaan lepas lambat. Cara ini sesuai untuk pengujian
sediaan padat, mikrokapsul/pelet dan serbuk. Sistem pengadukan yang
digunakan adalah aliran cairan.

5. Alat disolusi tipe V (Paddle over disc)

3
Alat ini diuraikan dalam Farmakope Indonesia edisi IV halaman 1026-
1027. Gunakan alat dayung dan labu seperti pada alat tipe 2 (alat tipe dayung),
dengan penambahan suatu cakram baja tahan karat dirancang untuk menahan
sediaan transdermal pada dasar labu. Suhu dipertahankan pada 32˚±0,5˚C. Jarak
25 mm ± 2 mm antara bilah dayung dan permukaan cakram dipertahankan
selama penetapan berlangsung. Labu dapat ditutup selama penetapan untuk
mengurangi penguapan. Cakram untuk menahan sediaan dirancang agar volume
tak terukur antara dasar labu dengan cakram minimal. Cakram menahan sediaan
secara datar dan ditempatkan sedemikan rupa sehingga permukaan pelepasan
sejajar dengan bilah dayung. Cara ini sesuai untuk pengujian transdermal
patches. Sistem pengadukan yang digunakan adalah pengaduk putaran.

6. Alat disolusi tipe VI (cylinder)


Alat ini diuraikan dalam Farmakope Indonesia edisi IV halaman 1027-
1028. Digunakan labu seperti pada alat tipe 1 (alat tipe keranjang), kecuali
keranjang dan tangkai pemutar diganti dengan elemen pemutar silinder yang
terbuat dari baja tahan karat, dan suhu dipertahankan pada 32˚±0,5˚C selama
penetapan berlangsung. Sediaan uji ditempatkan pada silinder pada permulaan
tiap penetapan. Jarak antara bagian dalam dasar labu dan silinder dipertahankan
25 mm ± 2 mm selama penetapan.
Alat tipe 5 dan 6 digunakan pada pengujian standar umum pelepasan
obat untuk sediaan. Sistem pengaduk yang digunakan adalah pengaduk putaran.

7. Alat disolusi tipe VII


Alat ini diuraikan dalam Farmakope Indonesia edisi IV halaman 1028-
1029. Alat terdiri dari satu rangkaian wadah volumetrik untuk larutan yang
sudah dikalibrasi atau ditara, terbuat dari kaca atau bahan inert lain yang sesuai,
sebuah rangkaian motor, dan pendorong untuk menggerakkan sistem turun-naik
secara vertikal dan mengarahkan sistem secara horizontal secara otomatis ke
deret labu yang berbeda jika diinginkan, dan suatu rangkaian penyangga
cuplikan berbentuk cakram.
Wadah larutan sebagian terendam dalam sebuah tangas air yang sesuai
denagn ukuran yang sesuai yang memungkinkan untuk mempertahankan suhu
bagian dalam wadah larutan 32˚±0,5˚C selama pengujian berlangsung. Tidak

4
ada bagian alat, termasuk tempat diletakkannya alat, yang memberikan gerakan,
goncangan, atau getaran yang berarti, kecuali yang disebabkan oleh getaran
halus dari gerakan turun naik secara vertikal dari penyangga cuplikan.
Penggunaan alat yang menungkinkan pengamatan sistem dan penyangga
selama pengujian akan lebih baik. Ukuran wadah dan penyangga cuplikan yang
digunakan adalah seperti yang tertera pada masing-masing monografi.
Alat tipe 7 digunakan pada pengujian standar umum pelepasan obat
untuk sediaan transdermal dan dapat pula sediaan oral padat. Sistem
pengadukan yang digunakan adalah pengadukan turun-naik.

Media Disolusi
Uji disolusi membutuhkan media disolusi. Media disolusi adalah pelarut yang
digunakan untuk uji disolusi yang tertera pada masing-masing monografi zat aktif.
Bila media disolusi adalah suatu larutan dapar, pH larutan harus diatur sedemikian
rupa hingga berada dalam batas 0,05 satuan pH yang tertera pada masing-masing
monografi. Yang harus diperhatikan untuk media disolusi ini adalah media disolusi
harus diatur sedemikian rupa hingga menyerupai kondisi tubuh manusia normal
(media disolusi harus mempunyai temperatur sesuai temperatur tubuh manusia
normal, 37˚±0,5˚C. Jika dalam media disolusi terdapat gas terlarut yang dapat
membentuk gelembung yang dapat mengubah hasil pengujian, maka gas terlarut
tersebut harus dihilangkan terlebih dahulu sebelum pengujian. Medium disolusi
dapat berupa air, larutan dapar atau larutan yang disesuaikan dengan kondisi
lambung dengan pH sekitar 1-2 dengan tambahan enzim.

Ketentuan Uji Disolusi


Terdapat ketentuan-ketentuan dalam uji disolusi. Menurut Farmakope, ketentuan
uji disolusi mencakup:
a. Tipe alat dan kecepatan pengadukan
b. Jenis dan volume medium
c. Lama / waktu uji disolusi
d. Toleransi (Q), jumlah obat yang terdisolusi
e. Metode analisis
Ketentuan umum uji disolusi mencakup:

5
a. Kecepatan pengadukan (rpm) harus dikalibrasi secara berkala menggunakan
tachometer. Simpangan rpm ± 4% dari nilai yang tercantum dalam monografi.
b. Sumbu batang pengaduk posisi vertikal terhadap labu media disolusi dan secara
berkala diverifikasi menggunakan alat centering check.
c. Batang pengaduk harus berada tepat di tengah-tengah labu disolusi sehingga
sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada tiap titik dari sumbu vertikal labu.

Kriteria Penerimaan Uji Disolusi


Kriteria penerimaan uji disolusi didasarkan pada nilai Q (jumlah obat yang
dinyatakan dalam monografi secara spesifik terdisolusi dalam waktu tertentu).
Setiap zat aktif memiliki nilai Q yang berbeda-beda sesuai literatur. Hasil uji
disolusi diperoleh dari persamaan kurva kalibrasi yang didapatkan dari analisis
menggunakan spektrofotometer larutan baku yang sudah diketahui kadarnya. Dari
persamaan tersebut, akan didapatkan konsentrasi sampel yang diambil dari uji
disolusi.
Uji disolusi dilakukan dalam tiga tahap, namun bila tahap pertama sudah
memenuhi syarat, tidak perlu dilakukan tahap kedua maupun ketiga, bila belum,
pengujian dilakukan pada tahap kedua. Jika tahap pertama dan kedua belum
memenuhi persyaratan, maka pengujian dilanjutkan pada tahap ketiga.
Kecuali dinyatakan lain, dalam masing-masing monografi, persyaratan
dipenuhi jika jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang diuji sesuai dengan
tabel penerimaan. Kriteria penerimaan didasarkan pada nilai Q sebagai berikut:
1. Q adalah jumlah obat yang dinyatakan dalam monografi secara spesifik
terdisolusi dalam waktu tertentu.
2. Untuk menetapkan kesimpulan, pengujian dapat dilakukan sampai 3 tahap.
Tahap pertama (S1) bila sudah memenuhi syarat dapat diambil kesimpulan, bila
belum pengujian dilanjutkan pada tahap kedua (S2). Bila tahap pertama (S1)
dan kedua (S2) belum memenuhi syarat, pengujian dilanjutkan pada tahap
ketiga (S3). Bila ketiga tahap tidak memenuhi syarat, maka kelompok uji
dinyatakan tidak memenuhi persyaratan uji disolusi.
3. Jumlah sampel pada tahap pertama 6 unit, tahap kedua 6 unit, dan tahap ketiga
12 unit.

6
Jumlah yang
Tahap Batas Penerimaan
diuji
S1 6 Tiap unit tidak kurang dari Q + 5%
Rata-rata dari 12 unit (S1+S2) adalah ≥ Q dan tidak
S2 6
ada 1 unit sediaan yang < Q-15%
Rata-rata dari 24 unit (S1+S2+S3) adalah ≥ Q, tidak
S3 12 lebih dari 2 unit sediaan yang <Q-15% dan tidak ada
satu unit pun yang < Q - 25%
Tabel 1. Persyaratan Uji Disolusi

Tablet Ampisillin
Tablet Ampisillin mengandung Ampisillin, dengan rumus molekul
C16H19N3O4S dan massa mol 349,41 g/mol. Berdasarkan rumus bangun Ampisillin
dalam Farmakope Indonesia edisi V, ampisillin memiliki gugus kromofor dan
auksokrom. Dengan gugus tersebut, ampisillin dapat dianalisis dengan
spektrofotometer UV-Vis.

Gambar 1. Rumus Bangun Ampisillin

Monografi Uji Disolusi Ampisillin (Farmakope Indonesia edisi V)


Media disolusi : 900 mL larutan aquades
Alat : Tipe 1 dengan kecepatan 100 rpm
Waktu : 45 menit
Suhu : 37 derajat celcius
Prosedur : Lakukan penetapan jumlah C16H19N3O4S, yang terlarut dengan
cara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi
Toleransi : Dalam waktu 45 menit harus larut tidak kurang dari 75% (Q)

7
C16H19N3O4S dari jumlah yang tertera pada etiket.
Kelarutan : Sukar larut dalam air dan dalam metanol; tidak larut dalam
benzen, dalam karbon tetraklorida dan dalam kloroform.

III. METODE
A. Alat
1. Apparatus disolusi tipe 1 (tipe basket)
2. Spektrofotometer UV-Vis dan kuvet
3. Timbangan analitik
4. Kertas perkamen
5. Syringe
6. Canula
7. Filter holder
8. Labu takar
9. Gelas beaker
10. Pipet ukur 5 ml dan balon karet
11. Botol coklat
12. Kertas saring
B. Bahan
1. Sampel tablet ampisilin 500 mg
2. Standar ampisilin
3. Aquadest

IV. CARA KERJA


A. Pembuatan Kurva Absorbsi dan Kurva Kalibrasi
1. Sebanyak 100 mg zat aktif ampisilin dilarutkan dalam aquadest 100 ml,
sehingga diperoleh larutan induk dengan konsentrasi 1000 ppm.
2. Faktor ekstingsi, nilai serapan maksimum, dan nilai serapan minimum
ampisilin ditentukan dengan perhitungan sehingga diperoleh konsentrasi
minimum (Cmin) dan konsentrasi maksimum (Cmax). Faktor ekstingsi
adalah 9,2; nilai serapan maksimum = 0,8 dan nilai serapam minimum = 0,2

8
(Moffat et 
al., 2011).
Dari data tersebut, diperoleh nilai Cmin = 217,3913
ppm; dan Cmax = 869,5652 ppm.
3. Larutan baku 1000 ppm diencerkan sehingga diperoleh 6 konsentrasi yang
berbeda (berdasarkan rentang nilai serapan minimum (0,2) dan nilai serapan
maksimum (0,8).
a. Sebanyak 3,0 ml larutan baku 1000 ppm dipipet, kemudian dimasukkan
ke dalam labu ukur 10 ml dan ditambahkan aquadest hingga batas
sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 300 ppm.
b. Sebanyak 3,5 ml larutan baku 1000 ppm dipipet, kemudian dimasukkan
ke dalam labu ukur 10 ml dan ditambahkan aquadest hingga batas
sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 350 ppm.
c. Sebanyak 4,0 ml larutan baku 1000 ppm dipipet, kemudian dimasukkan
ke dalam labu ukur 10 ml dan ditambahkan aquadest hingga batas
sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 400 ppm.
d. Sebanyak 5,0 ml larutan baku 1000 ppm dipipet, kemudian dimasukkan
ke dalam labu ukur 10 ml dan ditambahkan aquadest hingga batas
sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 500 ppm.
e. Sebanyak 6,0 ml larutan baku 1000 ppm dipipet, kemudian dimasukkan
ke dalam labu ukur 10 ml dan ditambahkan aquadest hingga batas
sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 600 ppm.
f. Sebanyak 7,5 ml larutan baku 1000 ppm dipipet, kemudian dimasukkan
ke dalam labu ukur 10 ml dan ditambahkan aquadest hingga batas
sehingga diperoleh larutan dengan konsentrasi 750 ppm.
4. Larutan hasil pengenceran dengan konsentrasi paling besar diukur
serapannya dan dilihat absorbsinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis
dengan menggunakan aquadest sebagai blanko. Nilai panjang gelombang
yang menghasilkan absorbansi tertinggi dijadikan sebagai panjang
gelombang maksimum yang akan digunakan pada pengukuran absorbansi
untuk larutan lainnya. Dalam percobaan ini, nilai absorbansi tertinggi
ditunjukkan pada panjang gelombang 257 nm.
5. Larutan hasil pengenceran masing masing diukur absorbansinya
menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 257 nm
dengan menggunakan aquadest sebagai blanko.

9
6. Hasil serapan yang diperoleh digunakan untuk membuat kurva kalibrasi.
Kurva kalibrasi dibuat dengan cara memplot konsentrasi larutan baku
pembanding pada sumbu X terhadap serapan yang dihasilkan pada sumbu y
menggunakan grafik X-Y scatter.
7. Persamaan kurva kalibrasi (y=a+bx) dibuat, dimana nilai r (derajat
linearitas) harus mendekati 1.

B. Uji Profil Disolusi Tablet Ampisilin 500 mg


1. Alat disolusi yang akan digunakan disiapkan sesuai dengan monografi
sampel tablet ampisilin yang tertera pada Farmakope Indonesia Edisi V,
yaitu alat disolusi tipe 1 (tipe basket) 

2. Kecepatan pengadukan diatur menjadi 100 rpm. 

3. Suhu medium disolusi diatur menjadi 37±0,5˚C. 

4. Empat buah labu disolusi disiapkan. Masing-masing labu diisi dengan
aquadest suhu 37±0,5˚C sebanyak 900 ml. 

5. Alat disolusi dijalankan. Kemudian kedalam labu 1-3 dimasukkan satu
tablet ampisilin 500 mg. Waktu saat tablet dimasukkan dicatat. 

6. Pada menit ke-45 setelah pemasukan sampel, dilakukan pengambilan
sampel 
pada sampling point. Pengambilan sampel dilakukan
menggunakan syringe yang dihubungkan dengan canula. 

7. Syringe dilepaskan dari canula dan dihubungkan dengan filter holder yang

telah dilapisi kertas saring. 

8. Sampel dimasukkan kedalam vial atau botol coklat melalui filter holder. 

9. Sampel diukur absorbansinya pada panjang gelombang 257 nm dengan
menggunakan aquadest sebagai blanko. Jika absorbansi yang dihasilkan
melebihi 0,8 dan kurang dari 0,2; maka perlu dilakukan pengenceran.

10
V. HASIL PENGAMATAN
A. Data Kurva Kalibrasi
Konsentrasi (ppm): x Serapan (A): y
300 0,250
350 0,284
400 0,334
450 0,367
500 0,422
600 0,481
Tabel 2. Data Kurva Kalibrasi

Kurva Kalibrasi Standar Ampisilin dalam Aquadest


pada λ 257 nm
0,6

0,5

0,4
Serapan (A)

0,3

0,2

0,1

0
0 100 200 300 400 500 600 700
Konsentrasi (ppm)

Kurva Kalibrasi Linear (Kurva Kalibrasi) y = 0,0008x + 0,0125


R² = 0,99236

Gambar 2. Kurva Kalibrasi Standar Ampisilin dalam Aquadest pada λ 257 nm

Diperoleh nilai:
r = 0,9961
a = 0,0125
b = 0,0008
pada persamaan y = a +bx, maka diperoleh persamaan y = 0,0008x + 0,0125

B. Uji Profil Disolusi


1. Hasil Disolusi Tablet Sampel Ampisilin

11
Serapan
Waktu (menit)
Tablet 1 Tablet 2 Tablet 3
10 0,489 0,278 0,354
30 0,356 0,310 0,319
45 0,490 0,395 0,385
Tabel 3. Tabel Hasil Disolusi Tablet Sampel Ampisilin

120

110

100
Tablet 1
90 Tablet 2

Tablet 3
80

70

60

50
0 15 30 45 60

Gambar 3. Kurva Profil Uji Disolusi Dari Tablet Ampisilin

2. Perhitungan Disolusi Tablet Sampel


Rumus:
- Jumlah obat yang terdisolusi pada sampling waktu ke-n (mg):
(𝑦-𝑎)×𝐹+ ×𝑀
𝑋" =
𝑏×1000
- Persentase obat yang terdisolusi:
𝑋"
𝑋 % = ×100%
𝑤
Keterangan:
y = a+bx; y=0,0008x + 0,0125
y : serapan
yn : serapan pada menit ke-n
xn : jumlah obat terdisolusi (mg) pada sampling ke-n

12
Fp : faktor pengenceran
M : volume medium disolusi (900 mL)
S : volume sampling (10 mL)
a : intersep atau titik potong pada sumbu Y
b : gradient atau slop
w : kadar obat dalam etiket (mg); w ampisilin : 500 mg
X : jumlah obat terdisolusi (%)

a. Perhitungan Disolusi Tablet 1:


1) Menit ke-10
y = 0,0008x + 0,0125
0,489 = 0,0008x + 0,0125
x = 595,625
(0,489 − 0,0125 )×1×900
𝑋34 = = 536,0625 𝑚𝑔
0,0008×1000
536,0625
𝑋 % = ×100% = 107,2125%
500
2) Menit ke-30
y = 0,0008x + 0,0125
0,356 = 0,0008x + 0,0125
x = 429,375
(0,356 − 0,0125 )×1×900
𝑋A4 = = 386,4375 𝑚𝑔
0,0008×1000
536,0625
𝑋 % = ×100% = 77,2875%
500
3) Menit ke-45
y = 0,0008x + 0,0125
0,490 = 0,0008x + 0,0125
x = 596,875
(0,490 − 0,0125 )×1×900
𝑋BC = = 537,1875 𝑚𝑔
0,0008×1000
536,0625
𝑋 % = ×100% = 107,4375%
500

13
Waktu Serapan (A) Jumlah Terdisolusi Jumlah Obat Terdisolusi (%)
(mg)
10 0,489 536,0625 107,2125
30 0,356 386,4375 77,2875
45 0,490 537,1875 107,4375
Rata-rata 486,5625 97,3125
Tabel 4. Hasil Sampling Tablet 1

b. Perhitungan Disolusi Tablet 2:


1) Menit ke-10
y = 0,0008x + 0,0125
0,278 = 0,0008x + 0,0125
x = 331,875
(0,278 − 0,0125 )×1×900
𝑋34 = = 298,6875 𝑚𝑔
0,0008×1000
536,0625
𝑋 % = ×100% = 59,7375%
500
2) Menit ke-30
y = 0,0008x + 0,0125
0,310 = 0,0008x + 0,0125
x = 371,875
(0,310 − 0,0125 )×1×900
𝑋A4 = = 334,6875 𝑚𝑔
0,0008×1000
536,0625
𝑋 % = ×100% = 66,9375%
500
3) Menit ke-45
y = 0,0008x + 0,0125
0,395 = 0,0008x + 0,0125
x = 478,125
(0,395 − 0,0125 )×1×900
𝑋BC = = 430,3125 𝑚𝑔
0,0008×1000
536,0625
𝑋 % = ×100% = 86,0625%
500

14
Waktu Serapan (A) Jumlah Terdisolusi Jumlah Obat Terdisolusi (%)
(mg)
10 0,278 298,6875 59,7375
30 0,310 344,6875 66,9375
45 0,395 430,3125 86,0625
Rata-rata 357,89583 70,9125
Tabel 5. Hasil Sampling Tablet 2

c. Perhitungan Disolusi Tablet 3:


1) Menit ke-10
y = 0,0008x + 0,0125
0,354 = 0,0008x + 0,0125
x = 426,875
0,354 − 0,0125 ×1×900
𝑋34 = = 382,1875 𝑚𝑔
0,0008×1000
536,0625
𝑋 % = ×100% = 76,8375%
500
2) Menit ke-30
y = 0,0008x + 0,0125
0,319 = 0,0008x + 0,0125
x = 383,125
(0,319 − 0,0125 )×1×900
𝑋A4 = = 344,8125 𝑚𝑔
0,0008×1000
536,0625
𝑋 % = ×100% = 68,9625%
500
3) Menit ke-45
y = 0,0008x + 0,0125
0,385 = 0,0008x + 0,0125
x = 465,625
(0,385 − 0,0125 )×1×900
𝑋BC = = 419,0625 𝑚𝑔
0,0008×1000
536,0625
𝑋 % = ×100% = 83,8125%
500

15
Waktu Serapan (A) Jumlah Terdisolusi (mg) Jumlah Obat Terdisolusi (%)
10 0,354 382,1875 76,8375
30 0,319 344,8125 68,9625
45 0,385 419,0625 83,8125
Rata-rata 382,02083 76,5375
Tabel 6. Hasil Sampling Tablet 3

VI. PEMBAHASAN
Uji disolusi penting untuk menjamin bioavailabilitas dan efektivitas obat. Uji
disolusi didasarkan pada kenyataan bahwa tablet mempunyai kemampuan untuk
pecah menjadi partikel-partikel kecil sehingga daerah permukaan media pelarut
menjadi lebih luas dan akan berhubungan dengan tersedianya obat di dalam cairan
tubuh (Lachman, 1970). Profil pelepasan obat merupakan hal yang perlu diketahui
pada setiap sediaan. Dengan diketahuinya profil pelepasan obat, kita dapat
memperkirakan banyaknya zat aktif yang dilepaskan oleh suatu sediaan dalam
rentang waktu tertentu.
Pada praktikum kali ini, praktikan melakukan uji disolusi dari tablet
Ampisilin 500 mg. Uji disolusi dilakukan sesuai monografi pada Farmakope
Indonesia edisi V. Menurut Farmakope Indonesia edisi V, harga Q (jumlah zat aktif
yang terdisolusi) pada waktu disolusi selama 45 menit yaitu tidak kurang dari 75%.
Pada uji disolusi ini, praktikan menggunakan 3 tablet Ampisilin 500 mg. Uji
disolusi menggunakan alat tipe 1, yaitu pengaduk bentuk keranjang (basket) dengan
kecepatan 100 rpm pada media disolusi 900 ml air dengan suhu 37 der C.
Pengambilan sampel dilakukan sebanyak tiga titik, yaitu saat 10, 20, dan 30 menit.
Panjang gelombang maksimum (λmaks) yang didapatkan dari Ampisilin standar
tersebut adalah 257 nm.
Menurut Clarke’s Analysis, persen ekstingsi untuk memeroleh serapan pada
rentang 0,2-0,8 pada tablet Ampisilin adalah 9,2a dengan nilai a 0,92. Perhitungan
dilakukan berdasarkan data tersebut dan diperoleh rentang Cmin dan Cmaks yaitu
217,4 ppm dan 869,5 ppm. Konsentrasi untuk membuat kurva kalibrasi yang
digunakan adalah 300 ppm, 350 ppm, 400 ppm, 450 ppm, 500 ppm, dan 600 ppm.
Berdasarkan data kurva kalibrasi, didapatkan persamaan y = 0,0008x + 0,0125
dengan r = 0,9961

16
Berdasarkan data pengamatan, pada menit ke-45 diperoleh data sebagai
berikut,
Konsentrasi (x) Jumlah Obat Jumlah Obat
Tablet Serapan (A)
(ppm) Terdisolusi (mg) Terdisolusi (Q) (%)
1 0,490 596,87 537,18 107,43
2 0,395 478,12 430,31 86,06
3 0,385 465,62 419,06 83,81
Tabel 7. Jumlah Ampisilin yang terdisolusi pada menit ke-45 dalam ppm dan persentase

Data menunjukkan bahwa persentase zat yang terdisolusi (Q) dari masing-
masing obat sudah memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia yaitu tidak kurang
dari Q+5 % (80%) yang dilakukan pada tiga tablet untuk mewakili enam tablet,
sehingga tidak diperlukannya pengujian tahap kedua.
Pada grafik profil uji disolusi, kadar zat dari ketiga tablet sudah meningkat
pada menit ke sepuluh. Namun, pada tablet 1 dan 3 mengalami penurunan pada
menit ke tiga puluh dan kenaikan kembali pada menit ke-45 hal tersebut dapat
terjadi karena ketidaktelitian praktikan dalam mengambil sampel dalam hal titik
sampling yang berbeda atau interval waktu yang kurang tepat.
Pada hasil kurva spektrofotometer, didapatkan hasil absorbansi yang tidak
beraturan pada rentang panjang gelombang 325–400 nm yang diduga dapat terjadi
karena adanya serapan cemaran dari pelarut yang tidak murni pada saat preparasi
sampel, atau kurangnya kebersihan kuvet. Menurut Raini (2010), Beberapa factor
lain yang dapat memengaruhi uji disolusi adalah 1) sifat fisika kimia obat. Zat
khasiat dalam bentuk kristal lebih sukar larut daripada zat aktif dalam bentuk amotf,
selain itu juga kelarutan obat dalam air memengaruhi laju disolusi; 2) factor
formulasi. Berbagai macam eksipien yang digunakan pada sediaan obat dapat
memengaruhi tegangan permukaan antara medium tempat obat melarut dengan zat
khasiat obat.
Penetapan kadar zat aktif merupakan persyarakat farmakope yang bertujuan
untuk menjamin efikasi, keamanan, dan mutu obat yang beredar. Hasil uji disolusi
menunjukkan ketiga tablet yang mewakili enam tablet dalam uji disolusi telah
memenuhi persyaratan Farmakope Indonesia.

17
VII. KESIMPULAN
Hasil uji disolusi tiga tablet Ampisilin sesuai dengan persyaratan tahap I Farmakope
Indonesia, pada waktu 45 menit, jumlah zat aktif yang terdisolusi tidak kurang dari
Q+5 (80%).

VIII. DAFTAR PUSTAKA


Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia Edisi IV.
Jakarta: Depkes RI.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Farmakope Indonesia Edisi V.
Jakarta: Depkes RI.
Moffat, A., Osselton, M., Widdop, B., & Watts, J. (2004). Clarke's analysis of drugs
and poisons (3rd ed.). London: Pharmaceutical Press.
Sinko, Patrick J. 2014. MARTIN Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika (5th ed.).
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tim Pengajar Praktikum Farmasi Fisika. (2019). Buku Petunjuk Praktikum Farmasi
Fisika. Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia.

18
LAMPIRAN

A. Larutan Standar
1. Larutan Standar Ampisilin 300 ppm – Serapan: 0,250 A

19
2. Larutan Standar Ampisilin 350 ppm – Serapan: 0,284 A

20
3. Larutan Standar Ampisilin 400 ppm – Serapan: 0,334 A

21
4. Larutan Standar Ampisilin 450 ppm – Serapan: 0,367 A

22
5. Larutan Standar Ampisilin 500 ppm – Serapan: 0,442 A

23
6. Larutan Standar Ampisilin 600 ppm – Serapan: 0,481 A

24
7. Overlay Standar Ampisilin

25
B. Larutan Sampel
1. Sampel 1 – Menit ke-10, Serapan: 0,459 A

26
2. Sampel 2 – Menit ke-10, Serapan: 0,278 A

27
3. Sampel 3 – Menit ke-10, Serapan: 0,354 A

28
4. Overlay Sampel Menit ke-10

29
5. Sampel 1 – Menit ke-30, Serapan: 0,356 A

30
6. Sampel 2 – Menit ke-30, Serapan: 0,310 A

31
7. Sampel 3 – Menit ke-30, Serapan: 0,319 A

32
8. Overlay Sampel Menit ke-30

33
9. Sampel 1 – Menit ke-45, Serapan: 0,490 A

34
10. Sampel 2 – Menit ke-45, Serapan: 0,395 A

35
11. Sampel 3 – Menit ke-45, Serapan: 0,385 A

36
12. Overlay Sampel Menit ke-45

37

Anda mungkin juga menyukai