Anda di halaman 1dari 15

PENDAHULUAN

Ummah merupakan sekumpulan individu yang hidup dalam sebuah organisasi


atau masyarakat. Konsep ummah pertama kali tercantum jelas dalam piagam madinah. Dalam
piagam Madinah, rumusan pengertian ummat merupakan langkah Nabi untuk mempersatukan
umat islam sesuai dengan muatan pasal 1 piagam madinah yang isinya : “Sesungguhnya mereka
adalah umat yang satum tidak termasuk golongan lain”. Ini merupakan pernyataan yang sungguh
mempersatukan orang-orang muslim yang berasal dari dua golongan besar, yaitu Muhajirin dan
Anshar, dan berbagai suku dan golongan sebagai umat yang satu. Dasar yang mengikat ini adalah
akidah islam, yang membedakan mereka dari umat lain.

Dilihat dari konsep ini, jelas bahwa kedudukan Piagam Madinah adalah untuk menyatukan
suku-suku dalam umat Islam untuk menegakan hukum Allah Ini berarti bahwa bentuk negara yang
dibentuk pada masa Nabi melalui konstitusi Madinah adalah negara teokrasi islam. Pengembangan
masyarakat Islam secara konseptual dapat diartikan sebagai sistem tindakan nyata yang ditawarkan
alternatif model pemecahan masalah ummah dalam bidang sosial ekonomi dan lingkungan dalam
perspektif Islam. Tujuan dengan adanya konsep ummah ini adalah adanya masyarakat yang
disebut dengan madani. Masyarakat madani merupakan model masyarakat yang dibangun oleh
Nabi Muhammad selepas hijrah ke Madinah. Masyarakat madani ini suatu tatanan masyarakat
yang menekankan pada nilai-nilai demokrasi, transparansi, toleransi, potensi, aspirasi, motivasi,
partisipasi, konsistensi, komparasi, koordinasi, dan lain-lain. Pada dasarnya, prinsip-prinsip dasar
masyarakat madani (islami) diungkapkan dalam Al-qur’an dan sunnah adalah
meliputi persaudaraan, persamaan, toleransi, amar ma’ruf nahi munkar, musyawarah, keadilan,
dan keseimbangan.
Ummah disebutkan dalam al-Qur'an 62 kali dalam dua puluh empat surah. 52 bagian itu
berbentuk dengan kata tunggal (al-mufrad). Al-Qur'an menggunakan istilah ini untuk berbagai
makna. Ummah memiliki lebih dari satu makna. Makna umat tidak hanya terbatas bagi umat
manusia. Lebih dari itu terma ummah juga digunakan untuk menyebut suatu kelomopok tertentu
seperti agama, waktu atau tempat. Bahkan istilah tersebut juga digunakan untuk menyebut
sekawanan burung, seperti dalam surah al-An'am > (6): 38. Pernyataan ini menunjukan bahwa
terma ummah tidak hanya memiliki satu makna, tetapi lebih luas dari itu.
Peradaban
Dalam pembentukan suatu peradaban itu tentu harus adanya seorang pemimpin yang mana
pemimpin itupun tidak terlahir sendiri, tapi pemimpin itu lahir bersama satu generasinya untuk
mewujudkan visi misi yang ada. Mungkin bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika sesama
ummat muslim saja masih saling membenci, saling bermusuhan, dan saling merebutkan kader
padahal masih banyak prioritas-prioritas yang harus segera diselesaikan. Sungguh, jika sesama
muslim hanya mencari perbedaan maka sampai kapanpun umat muslim tidak akan pernah bersatu,
tetapi harusnya ummat mencari satu persamaan yang mana satu itu bisa mempersatukan dalam
menciptakan peradaban islami. Menghancurkan kebathilan yang merajarela dimuka bumi ini.

Jalan Damai
Agama adalah sumber kebahagiaan, kasih sayang, dan kedamaian. Agama bukanlah
sumber bencana, bukan perusak harmoni antar sesama. Kalau ada pihak yang bertindak atas nama
agama terbukti merusak harmoni antar sesama, besar kemungkinan ada salah paham dan gagal
paham dalam memahami ajaran agama. Termasuk dalam berbangsa dan bernegara. Jangan sampai
agama justru menjadi pemecah belah bangsa ini dalam menguatkan etos kebangsaan dan
kenegaraan. Jejak kesejarahan umat Islam Indonesia telah membuktikan bahwa 7 kata yang
dihapus dalam Piagam Jakarta tidak dimasalahkan demi tegaknya NKRI. Persatan dan kesatuan
menjadi yang utama. Sikap dewasa yang sungguh luar biasa dan kita nikmati indahnya berbangsa
hari ini.

Sikap ini sebenarnya sudah pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW. Atas tuntutan
sejumlah musyrikin Mekkah, Rasulullah rela mencoret tujuh kata yang tertuang dalam Perjanjian
Hudaibiyah. Menurut KH Masdar F Mas’udi (2014), sebelum dicoret Perjanjian Hudaibiyah
memuat kata-kata “bismillahir rahmanirrahim” dan “rasulillah”. Sejumlah orang Mekah yang tidak
terima menuntut penghapusan tujuh kata itu (bi, ism, Allah, ar-rahman, ar-rahim, rasul, Allah)
untuk digantikan dengan redaksi yang lebih netral. Penggalan sejarah ini, menurutnya,
membuktikan bahwa sikap umat Islam terhadap ideologi kebangsaan NKRI sudah ada di jalur
yang tepat. KH Hasyim Asy’ari sendiri yang memberikan keberanian moral kepada putranya KH
Wahid Hasyim untuk mencoret tujuh kata Pancasila yang berbunyi “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknyanya”.
Bagi Kiai Masdar, Pancasila adalah ijtihad ulama’ Indonesia untuk membangun negara bangsa
yang membawa berkah dan maslahah buat semuanya.

Negara dalam Islam

Struktur Sebuah Negara

Imam Mawardi membagi lembaga-lembaga kekuasaan dibawah khalifah atas :

1. Kekuasaan (wilayat) umum dalam lapangan umum.


2. Kekuasaan (wilayat) umum dalam lapangan khusus.
3. Kekuasaan (wilayat) khusus dalam lapangan umum.
4. Kekuasaan (wilayat) khusus dalam lapangan khusus.

Pembagian Mawardi diatas harus dipahami dalam kerangka bahwa khalifah merupakan
institusi tertinggi dalam negara, meskipun tidak secara serta merta bisa bertindak otoriter, karena
kedaulatan tetap di tangan rakyat didalam bingkai nilai-nilai syariat.

1. Yang dimaksud oleh Mawardi dengan kekuasaan umum dengan lapangan umum adalah
kementerian (al-wizarat). Kekuasaannya dikatakan umum karena meliputi suatu masalah
secara umum. Lapangannya dikatakan umum karena meliputi seluruh negeri.
2. Yang dimaksud dengan kekuasaan umum dengan lapangan khusus adalah kegubernuran
(kekuasaan daerah otonomi). Kekuasaannya dikatakan umum karena menyangkut segenap
masalah dalam daerah otonomimya, namun lapangannya khusus karena kekuasaan tersebut
hanya meliputi daerah otonominya saja.
3. Yang dimaksud dengan kekuasaan khusus dengan lapangan umum adalah lembaga-
lembaga semacam Mahkamah Agung, Panglima Besar Angkatan Perang, dan Lembaga
Pengendali Keuangan Negara. Kekuasaan mereka dikatakan khusus karena hanya
menangani masalah-masalah khusus. Lapangannya dikatakan umum karena meliputi
segenap negeri.
4. Sedangkan yang dimaksud dengan kekuasaan khusus dengan lapangan khusus adalah
lembaga-lembaga semacam Pengadilan Daerah, Lembaga Keuangan Daerah, Lembaga
Militer Daerah, dan berbagai lembaga serupa yang ada di tingkat daerah / negara bagian.
Pembagian Mawardi diatas cukup sistematis. Namun lagi-lagi perlu ditegaskan, konteks
yang dipakai adalah khalifah sebagai institusi tertinggi. Poin ini perlu ditegaskan karena di era
modern telah muncul model kekuasaan dimana kepala negara bukanlah institusi tertinggi. Sebut
saja sistem negara parlemen. Dalam sistem ini, parlemen merupakan institusi tertinggi dan bukan
kepala negara.

Bagaimanakah keberadaan parlemen menurut Islam ? Dalam sistem Islam terdapat suatu
lembaga yang mirip dengan parlemen, yang sering disebut sebagai ahlul hall wal ‘aqd. Namun
lembaga ini tidaklah sama persis dengan parlemen. Ahlul hall wal ‘aqd hanya bertugas untuk
menetapkan atau menurunkan khalifah (termasuk juga mengontrol khalifah), tidak lebih dari itu.
Artinya, tatkala khalifah sudah terpilih dan dia sanggup berlaku adil maka ahlul hall wal
‘aqd seolah-olah tidak diperlukan lagi. Ahlul hall wal ‘aqd akan diperlukan lagi ketika khalifah
tidak berlaku adil atau ketika khalifah perlu diturunkan. Jadi, institusi tertinggi adalah khalifah,
namun pada suatu saat institusi tertinggi bisa diambil alih oleh ahlul hall wal ‘aqd, yang pada
dasarnya berarti diambil alih oleh rakyat.

Adapun mengenai kekuasaan yudikatif, agaknya hampir setiap sistem negara (termasuk
sistem Islam) menempatkannya dalam posisi independen. Hal ini adalah niscaya karena hukum
harus ditempatkan dalam posisi tertinggi, untuk menjamin keadilan bagi semuanya.

Syarat-syarat Berdirinya Sebuah Negara

Sebuah negara bisa berdiri apabila ia memiliki wilayah, rakyat, dan pemimpin bagi rakyat
tersebut. Hubungan antara rakyat dan pemimpin terwujud dalam aturan-aturan yang sering disebut
sebagai undang-undang. Negara Islam merupakan negara yang didirikan atas dasar keyakinan
(aqidah), bukan atas dasar letak geografis, etnis, ataupun aspek-aspek alam lainnya. Karena itu,
Negara Islam bersifat universal (dan karenanya multietnis).

Khilafah Islam (Negara Islam), meskipun bersifat universal (‘alamiyyat), tidaklah harus
berwilayahkan seluruh penjuru bumi, untuk bisa disebut sebagai sebuah negara (Islam). Negara
Madinah pun hanya memiliki wilayah yang tidak terlalu luas, namun toh sudah bisa disebut
sebagai sebuah negara Islam, bahkan sebuah negara ideal. Yang terpenting adalah bahwa wilayah
tersebut dikuasai oleh satu payung kekuasaan. Satu wilayah tidak boleh dikuasai oleh lebih dari
satu payung kekuasaan yang sama tinggi.
Karena berdirinya sebuah negara merupakan kontrak sosial, maka kontrak antara rakyat
dan seorang pemimpin tertinggi merupakan faktor yang mesti ada. Tanpa kontrak tersebut, seluruh
warga di wilayah tersebut tidak lebih hanyalah segerombolan manusia saja. Gerombolan-
gerombolan manusia seperti itu bisa kita amati pada pola hidup masyarakat nomaden, yang
senantiasa berpindah-pindah dari satu wilayah ke wilayah lainnya. Untuk itulah, Islam telah
mengarahkan manusia untuk hidup secara menetap dengan menyepakati suatu aturan hidup
bersama dalam suatu wilayah tertentu. Pola hidup menetap merupakan salah satu ciri manusia
beradab. Dengan pola hidup menetap, manusia akan dapat menunaikan berbagai nilai
kemanusiaan, yang sulit untuk dapat ditunaikan dengan pola hidup nomaden.

Aturan atau undang-undang merupakan unsur yang mesti ada dalam suatu negara. Undang-
undang akan mengatur hubungan antar individu untuk mencapai keadilan dan kemaslahatan
bersama. Tanpa undang-undang, pola hidup manusia tidak akan berbeda dengan pola hidup hewan.
Padahal, manusia diciptakan dengan berbagai kelebihannya adalah untuk menjadi manusia, dan
bukan untuk menjadi hewan.

Negara Madinah : Model Negara Ideal

Umat Islam berkeyakinan bahwa pendirian Negara Madinah merupakan wahyu dari Allah
dan bukan semata-mata pemikiran sosio-politik Nabi. Lebih jauh lagi, umat Islam berkeyakinan
bahwa Nabi merupakan teladan terbaik dalam segenap aspek kehidupan, tidak terkecuali dalam
masalah sosial politik. Oleh karena itu, Negara Madinah merupakan model negara ideal yang harus
ditiru oleh umat Islam sepanjang masa.

Karakter Negara Madinah (Masa Nabi dan Khulafa’ Rasyidun)

Segera setelah Nabi menginjak tanah Madinah, beliau melakukan lobi-lobi dengan
berbagai elemen masyarakat Madinah untuk membuat suatu kesepakatan bersama. Akhirnya,
kesepakatan bersama itu bisa dicapai dan mengikat seluruh elemen masyarakat Madinah.
Kesepakatan bersama itu sering disebut sebagai Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah (Mitsaq
al-Madinat). Konstitusi Madinah memuat aturan-aturan tentang interaksi antara warga Madinah,
yang terdiri dari komunitas muslim, Ahlul Kitab, dan kaum paganis. Berangkat dari konstitusi
inilah Negara Madinah dibangun. Negara Madinah, sebagai sebuah negara yang beribukotakan
Madinah (Madinat al-Nabiy), berturut-turut diperintah oleh Rasulullah dan Khalifah Yang Empat.
Negara Madinah dibangun diatas nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan yang elegan.
Pembinaan keimanan, keadilan bagi semua, kesamaan derajat (egaliterisme), dan keterbukaan
merupakan beberapa diantaranya. Secara esensial, Negara Madinah merupakan suatu negara yang
paling sophisticated yang pernah ada sepanjang jaman.

Untuk membentuk negara ideal semacam Madinah, dibutuhkan instrumen-instrumen yang


tidak mudah untuk dicapai. Instrumen-instrumen yang dimaksud adalah pemimpin yang baik,
rakyat yang baik, dan aturan (undang-undang) yang baik. Apabila salah satu saja diantara
instrumen-instrumen tersebut tidak terpenuhi, maka negara ideal tidak akan bisa terwujud.
Misalnya, kalaupun pemimpin dan undang-undangnya baik tetapi rakyatnya tidak baik, maka yang
ada hanyalah pembangkangan-pembangkangan. Kalaupun rakyat dan undang-undangnya baik
tetapi pemimpinnya tidak baik, maka yang ada hanyalah kelaliman-kelaliman penguasa. Kalaupun
rakyat dan pemimpinnya baik tetapi aturannya masih buruk, maka masing-masing pihak akan
melangkah dalam arah yang salah. Untuk bisa meluruskan langkah, mereka harus membuat aturan
baru.

Diantara kepemimpinan khulafa’ rasyidun, kepemimpinan Abu Bakr dan ‘Umar


merupakan kepemimpinan yang lebih utama, dari sisi tidak adanya (minimnya) gejolak-gejolak
yang timbul. Namun dari sisi pribadi, tidaklah bisa dikatakan bahwa Abu Bakr dan ‘Umar lebih
mulia daripada yang lainnya, karena masing-masing dari keempat khalifah memiliki tantangan
zaman yang berbeda. Tolok ukur terhadap pribadi-pribadi harus didasarkan pada bagaimana
tindakan mereka dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada, dan tidak didasarkan pada
hasilnya.

Watak rakyat di masa Abu Bakr dan ‘Umar barangkali lebih baik daripada watak rakyat di
masa Utsman dan Ali. Disamping itu, iklim dan tantangan politik di masa Utsman dan Ali jauh
lebih berat dan kompleks daripada apa yang ada pada masa Abu Bakr dan ‘Umar. Timbulnya
konflik tidaklah secara serta merta menyebabkan suatu negara menjadi buruk, tetapi bagaimana
negara menangani konflik itulah yang akan menentukan baik buruknya suatu negara.

Hubungan Antar Negara (Darul Islam, Darul ‘Ahd, dan Darul Harb)

Dalam sistem politik Islam, status negara-negara dibedakan atas Darul Islam (Negara
Islam), Darul ‘Ahd (Negara Dalam Perjanjian), dan Darul Harb(Negara Yang Diperangi).
Sebetulnya klasifikasi ini merupakan hasil ijtihad para ulama, jadi bukan sesuatu yang dinashkan
oleh Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Kebanyakan para ulama mendefinisikan Darul Islam sebagai
negara yang menerapkan hukum-hukum Islam dan diperintah oleh penguasa muslim. Darul
‘Ahd ialah negara non muslim yang mengikat perjanjian dengan Darul Islam bahwa mereka tidak
akan memerangi Darul Islam dan akan membayar jizyah selama keamanan mereka dijamin
oleh Darul Islam. Sementara Darul Harb ialah negara kafir yang menyerang Islam atau
menghalang-halangi dakwah Islam.

Serupa dengan klasifikasi negara diatas ialah klasifikasi warganegara : muslim, kafir
dzimmiy, kafir mu’ahhad, dan kafir harbiy. Klasifikasi-klasifikasi diatas pada dasarnya didasarkan
atas sabda Nabi bahwa sebelum pasukan Islam berangkat ke medan jihad, Nabi
berpesan,”Sampaikanlah dakwah Islam. Jika mereka menerima (masuk Islam) maka darah
mereka haram (untuk dibunuh). Namun jika mereka menolak, tawarkanlah dua pilihan :
membayar jizyah atau diperangi”.

Perlu dicamkan bahwa pemahaman terhadap hadits diatas tidak bisa dilepaskan dari
pemahaman terhadap konsep dakwah Islam. Karena Islam bersifat universal, maka Islam harus
disebarluaskan ke seluruh penjuru dunia. Penyebaran opini Islam secara benar dan utuh tidak boleh
dihalang-halangi atau dibiaskan. Dengan demikian umat manusia akan sanggup melihat wajah
Islam yang sebenarnya. Selanjutnya manusia diberi kebebasan untuk memilih: ber-Islam atau
tidak, tanpa ada paksaan sedikit pun juga. Kebebasan memilih inilah yang akan membawa manusia
kepada pahala dan siksa. Jadi, yang dikehendaki oleh Islam adalah penyebaran opini (seruan) Islam
tanpa penghalang. Negara Islam, dalam hal ini, bertugas untuk menyingkirkan segala bentuk
penghalang bagi tersebarnya seruan Islam.

Harmoni dalam Ummah


Nabi Muhammad memang seorang negarawan kelas wahid. Dalam membangun negara
Madinah, agama dijadikan sebagai perekat dan harmoni antar sesama. Semua umat bergama duduk
setara untuk membangun dan bertanggungjawab terhadap Madinah. Dalam Piagam Madinah pasal
1 ditegaskan: “Ini adalah naskah perjanjian dari Muhammad Nabi dan Rasul Allah, mewakili pihak
kaum yang Beriman dan memeluk Islam, yang terdiri dari warga Quraisy dan warga Yastrib, dan
orang-orang yang mengikuti mereka serta yang berjuang bersama mereka.”
Dalam pasal 2, ditegaskan bahwa semua adalah satu kesatuan untuk membangun bersama. Dengan
tegas dinyatakan: “Mereka adalah yang satu dihadapan kelompok manusia lain.”

Sementara konsep ummah ditegaskan dalam pasal 25 yang menyatakan: “Kaum Yahudi
Bani ‘Auf bersama dengan warga yang beriman adalah satu ummah. Kedua belah pihak, kaum
Yahudi dan kaum Muslimin, bebas memeluk agama masing-masing. Demikian pula halnya dengan
sekutu dan diri mereka sendiri. Bila diantara mereka ada yang melakukan aniaya dan dosa dalam
hal ini, maka akibatnya akan ditanggung oleh diri dan warganya.”

Menurut Husein Muhammad (2007), konsep ummah dalam negara Madinah


mengembangkan nilai-nilai kemasyarakatan modern yang sejalan dengan nilai-nilai dasar civil
society, misalnya, penegakan supremasi hukum, keadilan, keterbukaan partisipasi, egalitarianisme,
penghargaan berdasarkan prestasi, dan masyarakat berketuhanan. Dalam pasal (37) dan (44)
Piagam Madinah disebutkan bahwa ummah yang heterogen secara teologis dan etnik itu
hendaknya bersatu menegakkan kebajikan, mencegah kejahatan, memelihara persatuan,
perdamaian dan keamanan. Di sinilah ummah dipahami sebagai sebuah komunitas religius, social
dan politis.
Adanya pemahaman yang mendalam tentang konsep ummah dalam al-Qur’an dan praksis
negara Madinah tersebut akan dapat menggambarkan perspektif Islam tentang tatanan hidup
bermasyarakat. Perspektif ini cukup penting untuk memperkaya konsep civil society dalam Islam,
juga penting untuk memberikan pijakan keagamaan bagi komunitas muslim di era sekarang guna
ambil bagian dalam pembentukan civil society.
Negara-Bangsa
Indonesia adalah negara-bangsa (nation-state) yang terdiri dari beragam suku, etnis, suku,
bahasa, dan agama. Semua sepakat membangun persatuan dan kesatuan dalam bingkai NKRI.
Pancasila menjadidasar negara yang disepakati bersama pada 18 Agustus 1945, persis sehari
setelah kemerdekaan. KH Wahid Hasyim (NU) dan Ki Bagus Hadikusumo (Muhammadiyah)
dengan penuh ketulusan rela menghapus 7 kata dalam Piagam Jakarta, semata untuk persatuan dan
kesatuan NKRI.
KH Yahya Cholil Tsaquf (2017) menekankan bahwa ulama’ adalah perumus utama
lahirnya NKRI. Mereka berjuang lahir dan batin. Pancasila merupakan ijtihad luar biasa yang
sudah dilahirkan ulama Nusantara. Jadi, kalau ada yang melihat Pancasila tidak sesuai dengan
Islam, maka itu jelas menghina ulama Nusantara yang dikenal cerdas, luas ilmunya, dan tulus
perjuangannya untuk NKRI tercinta.

Negara Indonesia (ISLAM?)

Kita tidak bisa memutlakkan begitu saja sebutan “bukan negara islam” terhadap negara
Indonesia. Karena hukum Indonesia menurut penilaian saya seperti negara-negara Islam lainnya
selain Saudi Arabia. Mereka berhukum dengan hukum yang hampir sama, undang-undang
buatan manusia. Akantepapi kami hendak mengajak saudara sekalian untuk teliti dalam
menggunakan istilah dan memahami suatu negara.

Diantara kekeliruan yang tersebar saat ini adalah menggenalisir begitu saja bahwa aturan-
anturan yang berlaku di mayoritas negara Islam saat ini adalah hukum liberal atau bukan hukum
Islam. Bila anda katakan hukum yang berlaku di Indonesia, Mesir, Aljazair adalah bukan hukum
Islam, ini keliru. Kecuali bila anda katakan mayoritas hukum negara adalah bukan syariat islam,
maka ini baru tepat. Adapun menggenalisir begitu saja hukum negara bukan hukum Islam ini
keliru. Karena pernyataan seperti ini akan memunculkan presepsi bahwa pemimpin negeri
tersebut adalah kafir dan negara tersebut adalah negara kafir harbi yang boleh diperangi. Padahal
pemimpinnya masih muslim, dia masih sholat, syahadat, puasa, memerintahkan tauhid di
sekolah-sekolah melalui buku-buku kurikulum walau masih global, beriman pada 6 rukun iman;
Iman kepada Allah, malaikat, kitab-kitab dst, memerintahkan kepada akhlak-akhlak islam,
membangun masjid, berpuasa ramadhan, mengatur proses haji dengan sistem yang profesional.

Oleh karenanya kami menghibau untuk teliti dalam menggunakan istilah. Jangan
terpengaruh dengan eforia perasaan kelompok-kelompok pergerakan yang mensifati begitu saja
negara Islam dengan negara bukan Islam disebabkan negara tersebut tidak berhukum dengan
hukum Islam.Lebih tepat kita katakan “tidak berhukum dengan hukum islam pada mayoritas
keadaan yang sedang terjadi didalamnya untuk dipastikan (atau minoritas keadaan)”.
Adapun menggenalisir begitu saja istilah “bukan negara islam” ini tidak tepat. Ini maknanya
negara tersebut adalah negara kafir harbi. Tentu saja keliru. Negara tersebut adalah negara Islam,
namun ada kekurangan yang dalam penerapan hukum Islam.
Pemahaman ini hendaknya kita pahami dengan baik, jangan mengambil referensi dari
internet asal ambil, karena kebenarannya belum tentu untuk dijadikan sebagai bahan..
Karena kita dapati syiar-syiar islam tersebar di negara-negara tersebut dan negara ikut
menyemarakkan. Adapun terkait ada sesuatu yang tersembunyi maka ini pembahasan lain. Yang
menjadi rujukan penilaian adalah keadaan dzohir dari suatu negara. Lebih tepatnya, seperti
Indonesia, Maroko, Aljazair dll adalah negeri Islam, namun masih kurang dalam menerapkan
syariat Islam.

Dimensi Sosial-Politik dalam Konsep Umat

Secara normatif-historis sebagaimana paparan di atas, ayatayat al-Qur’an yang berhubungan


dengan terma ummah telah mengalami dalam kehidupan umat Islam periode Madinah. Dengan
kata lain, Prinsip-prinsip yang terkandung dalam Piagam Madinah itu, tampaknya merupakan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam al-Qur’an yang berkaitan dengan pembinaan masyarakat
politik. Kenyataannya, posisi kaum Muslim dalam menghadapi modernitas tidak sepenuhnya dapat
menerima konsep nasionalisme sebagai hal yang sejalan dengan prinsip ummah tersebut. Konsep
masyarakat Islam yang didambakan

lebih menyerupai kosmopolitanisme daripada konsep negarabangsa yang terbatas sebagai


cika-bakal nasionalisme. Lebih lanjut, Islam menganggap nasionalisme dan etnosentrisme sebagai
musuh besar, karena sikap pilih kasih merupakan serangan terhadap transendensi Allah sendiri.
Tak dapat diragukan lagi pertentangan antara nasionalisme (qawmiyyah) dengan dunia ummah
merupakan pertempuran abad ini. Negara kebangsaan sepenuhnya merupakan fenomena sejarah
Eropa. Ia muncul sebagai ungkapan nasionalisme atau etnosentrisme.

Cara baca kaum Muslim terhadap Barat memang diwarnai stigma negatif tentang Barat.
Menurut Nurcholish Madjid, dalam sejarahnya hubungan antara kaum Muslim dengan non-muslim
Barat (Kristen Eropa) adalah hubungan penuh ketegangan. Dimulai dengan ekspansi militer-politik
Islam klasik yang sebagian besar diderita oleh Kristen (hampir seluruh Timur Tengah adalah
dahulunya kawasan Kristen) dengan titik kulminasinya berupa pembebasan Konstantinopel
(ibukota Eropa dan dunia Kristen saat itu. Kemudian perang Salib yang kalahmenang silih berganti
yang dimenangkan oleh Islam, lalu berkembang dalam tatanan dunia yang dikuasai oleh Barat
imperialis-kolonialis dengan dunia Islam sebagai yang paling dirugikan. Disebabkan oleh
hubungan antara dunia Islam dan Barat yang traumatik tersebut, lebih-lebih karena dalam fasenya
yang terakhir Dunia Islam dalam posisi kalah, maka pembicaraan tentang Islam berlangsung dalam
kepahitan menghadapi Barat sebagai musuh. Untuk memetakan sekaligus menurunkan ketegangan
penggunaan terma ummah sebagai basis kekuatan sosial-politik umat Islam perlu dilakukan hal-
hal sebagai berikut.

Pertama, ummah memuat beberapa pentahapan historis. AlQur’an justru telah memberi
panduan konteks turunnya wahyu mengenai terma ummah ini. Sementara terma ummah yang turun
dalam konteks Makkiyah menunjuk kepada kesatuan umat manusia dalam arti agamawi yang
secara ideal mempunyai kepercayaan yang satu. Namun kepercayaan yang satu ini diperiode
Makkah akhir justru digambarkan telah terjadi perpecahan di antara elemen-elemen sosial, meski
ini juga dihendaki oleh Allah. Dalam barisan ini terma yang digunakan alQur’an adalah ummah
wa>hidah. Terma ini lebih menjelaskan keadaan umat manusia digambarkan sebagai umat yang
satu atas dasar memiliki keyakinan kepada Tuhan Yang Satu. Namun demikian upaya ini tidak
saja bertentangan kepada sunnatullah bahwa manusia mempunyai sifat keterpecahan. Karenanya
memaksa ragam umat menjadi satu bertentangan dengan keinginan Tuhan. Periode Makkah
terakhir dapat dinyatakan sebagai masa kritis penyatuan umat manusia ke dalam satu wadah
keumatan.

Gagasan idealistik dalam periode Makkah ini justru kontraproduktif dengan watak manusia
yang menginginkan perbedaan. Pesan Makkah lebih bersifat teologis daripada sosiologis.
Sementara dalam periode Madinah, ummah dimaknai lebih bersifat sosio-politik. Sehingga pada
periode Madinah, keterpecahan tidak dimaknai sebagai hal yang merugikan orang Islam, namun
lebih dari itu memberi semangat baru bahwa keragaman sosio-politik sebagai sesuatu yang
memberi nilai positif dalam kehidupan. Pada saat ini, terma ummah telah memenuhi harapan
terbentuknya masyarakat plural.

Secara historis, keberadaan terma ummah dalam masyarakat Madinah telah disadari
sebagai bagian dari cara hidup penuh tanggungjawab dalam diversivitas elemen kemasyarakatan.
Dan ini sah menurut konsep ummah dalam al-Qur’an. Sehingga nasionalisme dan teritorialisme
dapat dipahami sebagai sesuatu yang alamiah diterima mewakili kepentingan pembangunan sosio-
politik tanpa pernah mengubah aspek teologis.
Kedua, periode Madinah digambarkan sebagai periode tamaddun (pembentukan
peradaban). Kenyataannya diversifitas telah diakui sebagai bentuk keinginan dan rahasia Tuhan.
Piranti peradaban baru telah tersedia dengan mengukuhkan sendi peradaban yang baru yakni
terbentuknya masyarakat yang plural. Al-Qur’an memberikan kesadaran perlunya perbedaan dan
keragamaan sebagai hal yang produktif. Ummah wasat digambarkan sebagai masyarakat yang siap
menerima perbedaan, berkesadaran tinggi hidup dalam masyarakat, menjunjung nilai kebebasan
sebagaimana tergambar dalam Piagam Madinah. Dengan demikian, munculnya fenomena negara-
bangsa (nationstate) tidak dimaknai sebagai invasi teologis. Lebih dari itu, juga dalam rangka tidak
mengunci telinga dan menutup mata bahwa Barat dan Islam berlangsung tidak dalam suasana
permusuhan. Dan ini adalah katasthropi.

Konsepsi Umat dalam Sejarah

Dokumen politik yang menggunakan terma ummah dalam rentang sejarah Islam adalah
Piagam Madinah. Eksistensi Piagam Madinah sebagaimana diakui William Montgomery Watt
sebagai otentik. Ia juga menegaskan bahwa dokumen itu merupakan sumber ide yang mendasari
negara Islam pada masa awal pembentukannya. Negara Madinah pimpinan Nabi itu seperti
dikatakan Robert N. Bellah adalah model bagi hubungan antara agama dan Islam. Eksperimen
Madinah itu telah menyajikan kepada umat manusia contoh tatanan sosial-politik yang mengenal
pendelegasian wewenang. Artinya wewenang atau kekuasaan tidak memusat pada satu tangan
seperti pada sistem diktatorial, melainkan kepada orang banyak melalui musyawarah dan
kehidupan berkonstitusi (artinya sumber wewenang dan kekuasaan tidak pada keinginan dan
keputusan lisan pribadi, tetapi pada suatu dokumen tertulis yang prinsip-prinsipnya disepakati
bersama. Dalam rangka mewujudkan masyarakat Madinah yang utuh dan bersatu, diperlukan
kerukunan, saling pengertian dan kerjasama di antara tiga kelompok masyarakat tersebut. Untuk
merealisasikan tujuan ini, nabi Muhammad SAW membuat perjanjian tertulis disebut dengan
shahi>fah yang dapat diterima oleh semua kelompok sosial yang bercorak majemuk itu.

Dalam Piagam Madinah, pengertian ummah beserta cakupan maknanya dipergunakan


dalam dua model dengan pasal yang berbeda. Pertama, dipakai untuk menyebut komunitas
seagama semisal umat Islam, umat Yahudi dan sejenisnya. Kedua, dipakai untuk menyebut
komunitas yang pluralistik dan terdiri atas berbagai agama, ras, dan suku namun bergabung dalam
satukesatuan politik. Sebagaimana diketahui bahwa warga negara Madinah terdiri dari tiga
kelompok. Pertama, kaum Muslimun > terdiri atas kaum Muha>jiri>n dan kaum Ans}a>r sebagai
penduduk mayoritas. Kedua Kaum Mushrik Arab, termasuk di dalamnya kaum Munafik yang
secara formal mengaku Muslim, tetapi secara akidah adalah kafir dengan tokohnya Abdullah > bin
Ubay bin Salul. > Ketiga, Kaum Yahudi yang terdiri atas klan kecil yakni Banu Qainuqa’, Bani
Nazi} r > dan banu Qurayz|ah sebagai penduduk minoritas.

Pengertian pada kategori pertama dapat dilihat pada pasal pertama. Dalam pasal tersebut
dinyatakan bahwa kaum Muslim dan Mukmin dari kalangan Quraish dan Yathrib dan serta orang
yang mengikuti bergabung dan bekerja sama, mereka adalah satu ummah. Dalam pasal ini, terma
ummah mengandung pengertian organisasi yang diikat oleh akidah Islam. Kata ummah di sini
digunakan untuk menyebutkan populasi orang-orang yang telah masuk Islam, tanpa melihat suku,
asal-usul ras, kedudukan sosial. Dengan demikian, cakupan ummah cenderung homogen dan
ekslusif yakni terbatas di kalangan orang yang seagama, agama Islam.

Sedangkan pengertian ummah pada kategori kedua dapat dilihat dalam pasal 25 Piagam
Madinah dengan cakupan makna yang lebih luas dan inklusif. Bunyi pasal 25 tersebut dalam versi
terjemahan sebagai berikut, “Kaum Yahudi dari bani Uwf adalah satu umat dengan orang-orang
mukmin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, bagi kaum Muslimin agama mereka. Juga bagi sekutu-
sekutu mereka dan diri mereka sendiri. Kecuali bagi orang yang zalim dan jahat. Hal demikian
akan merusak diri mereka sendiri”.

Sebagai satu ummah, seluruh warga Madinah dengan keragaman kelompok agama dan
kelompok sosial memikul tugas bersama dalam mewujudkan tatanan kemasyarakatan yang
berpijak di atas prinsip utama seperti keadilan, ketaatan pada hukum, kebebasan, bela negara,
musyawarah, politik damai, persatuan dan persaudaraan, amar ma’ru>f dan nahy munkar.

EVALUASI

Berdasarkan hasil penelitian Mart Syariah, menurut kami, perusahaan tersebut sudah cukup
menerapkan prinsip ekonomi Islam. Hal ini terlihat dari penentuan jenis dan kuantitas barang yang
dijual menggunakan prinsip syariat Islam yaitu barang yang halal dan thayib karena diyakini akan
berpengaruh terhadap keberkahan usaha. Dalam penyerapan tenaga kerja juga memperhatikan
pemahaman agama bagi setiap individunya, terlihat dari syarat-syarat nuansa religius yang
dimilikinya. Ada pula fasilitas yang diberikan oleh perusahaan untuk konsumennya yang
mendukung konsep ekonomi Islam, salah satunya adalah buka puasa gratis saat bulan puasa. Tidak
sampai di situ, penegakkan praktek syariah yang telah dilakukan oleh toko Santri Syariah, antara
lain menerapkan 2,5% laba untuk zakat serta toko ditutup sementara ketika waktu solat.

Secara keseluruhan, praktik kebijakan yang diterapkan oleh Mart Syariah sangat
memperhatikan konsep ekonomi Islam secara kultur pun sistemnya. Mengingat ekonomi sosial
yang memiliki akar keadilan di dalamnya sudah tercapai. Keadilan sosial ekonomi dalam Islam,
selain didasarkan pada komitmen spritual, juga didasarkan atas konsep persaudaraan universal
sesama manusia. Al-Quran secara eksplisit menekankan pentingnya keadilan dan persaudaraan
tersebut. Menurut M. Umer Chapra, sebuah masyarakat Islam yang ideal mesti mengaktualisasikan
keduanya secara bersamaan, karena keduanya merupakan dua sisi yang sama yang tak bisa
dipisahkan. Dengan demikian, kedua tujuan ini terintegrasi sangat kuat ke dalam ajaran Islam
sehingga realisasinya menjadi komitmen spritual (ibadah) bagi masyarakat Islam. Komitmen
Islam yang besar pada persaudaraan dan keadilan, menuntut agar semua sumber daya yang
menjadi amanat suci Tuhan, digunakan untuk mewujudkan maqashid syari’ah, yakni pemenuhan
kebutuhan hidup manusia, terutama kebutuhan dasar (primer), seperti sandang, pangan, papan,
pendidikan dan kesehatan. Persaudaraan dan keadilan juga menuntut agar sumberdaya
didistribusikan secara adil kepada seluruh rakyat melalui kebijakan yang adil dan instrumen zakat,
infaq, sedekah, pajak, kharaj, jizyah, cukai ekspor-impor dan sebagainya. Hal ini terlihat dari
adanya pemberian zakat, sodaqah kepada masyarakat sekitar yang menunjukkan bahwa Mart
Syariah tidak hanya fokus kepada usaha untuk mencari laba saja, tetapi juga memperhatikan unsur
kepedulian sosial terhadap sesama.

Dibandingkan dengan Toko Marwa, Pasar Besar, penerapan ekonomi Islam Mart Syariah
masih tergolong lebih baik. Hal ini karena Toko Marwa hanya menekankan persentase
pengambilan laba yang jelas, akan tetapi tidak memberi pemaparan secara jelas akan dialokasikan
kepada siapa dan untuk siapa masing-masing persentasenya. Apabila ditabrakkan dengan konsep
ekonomi Islam yang sesungguhnya, konsep keadilan belum dapat tercapai secara sepenuhnya. Di
sisi lain, dari hasil survey penerapan ekonomi Islam di Pasar Besar secara keseluruhan juga
menunjukkan bahwa pelaku usaha yang mengisi kios-kios banyak yang belum memakai praktik
ekonomi islam pada sistem dan sebagainya. Mayoritas para penjual melakukan persaingan harga
dengan menjual harga rendah akan tetapi kualitas barang yang dijanjikan tidak sesuai. Adanya
persaingan antar pedagang juga terjadi di dalam suasana pasar. Hal ini memiliki resiko pula timbul
kondisi yang tidak harmonis dalam transaksi yang sangat kontradiksi dengan konsep ekonomi
Islam secara kultural pun struktural.

Anda mungkin juga menyukai