Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KASUS

Hematemesis Melena ec Susp Ulkus Peptikum

Anemia Hipokromik Mikrositer

I Gede Irwan Prayoga M.P.

Bagian/ SMF Ilmu Penyakit Dalam

FKIK Universitas Warmadewa / RSUD Sanjiwani Gianyar

PENDAHULUAN

Perdarahan saluran cerna bagian atas didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi di sebelah
proksimal ligamentum Treitz pada duodenum distal. Sebagian besar perdarahan saluran cerna
bagian atas terjadi sebagai akibat dari ulkus peptikum yang disebabkan oleh H. pylori atau
penggunaan obat – obat anti inflamasi nonsteroid (OAINS) dan alkohol.1 Hematemesis adalah
muntah darah segar (merah segar) atau hematin (hitam seperti kopi) yang merupakan indikasi
adanya perdarahan salura cerna bagian atas (SCBA). SCBA variseal disebabkan karena pecahnya
varises esophagus. Sedangkan, SCBA non variseal antara lain ulkus peptikum, gastritis erosifa,
duodenitis, “ Mallory Weiss” syndrome dan keganasan. Perdarahan saluran cerna bagian atas
(SCBA) merupakan keadaan gawat darurat yang sering dijumpai di tiap rumah sakit di seluruh
dunia termasuk di Indonesia. Perdarahan dapat terjadi antara lain karena pecahnya varises
esofagus, gastritis erosif, atau ulkus peptikum. 2

Di Indonesia sebagian besar (70-85%) hematemesis disebabkan oleh pecahnya varises


esofagus yang terjadi pada pasien sirosis hati sehingga prognosisnya tergantung dari penyakit
yang mendasarinya. Untuk memeriksa perdarahan saluran cerna atas dilakukan pemeriksaan
endoskopi untuk menegakkan diagnosa tentang penyebab yang dapat menimbulkan perdarahan
saluran cerna bagian atas. Dalam kasus perdarahan saluran cerna, modalitas endoskopi
digunakan untuk menentukan etiologi sehingga dapat dipilih terapi definitifnya. Umumnya
dilakukan Esofagogastroduodenoskopi yang dilanjutkan dengan kolonoskopi jika diperlukan. 2

1
Walaupun sebagian besar perdarahan akan berhenti sendiri, tetapi sebaiknya setiap
perdarahan saluran cerna dianggap sebagai suatu keadaan serius yang setiap saat dapat
membahayakan pasien. Setiap pasien dengan perdarahan merupakan kasus gawat darurat yang
harus dirawat di rumah sakit tanpa kecuali, walau pun perdarahan dapat berhenti secara spontan.
Hal ini harus ditanggulangi dengan seksama dan secara optimal untuk mencegah perdarahan
lebih banyak, syok hemoragik, akibat lain yang berhubungan dengan perdarahan serta mencari
penyebab perdarahan tersebut. 2

2
TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Perdarahan saluran cerna bagian atas didefinisikan sebagai perdarahan yang terjadi di sebelah
proksimal ligamentum Treitz pada duodenum distal. Sebagian besar perdarahan saluran cerna
bagian atas terjadi sebagai akibat dari ulkus peptikum yang disebabkan oleh H. pylori atau
penggunaan obat – obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID) dan alkohol.1 Hematemesis adalah
dimuntahkannya darah dari mulut, darah bisa dalam bentuk segar (bekuan/ gumpalan/ cairan
warna merah cerah) atau berubah karena enzim dan asam lambung menjadi kecoklatan dan
berbentuk seperti butiran kopi.2 Melena yaitu keluarnya tinja yang lengket dan hitam seperti
aspal (ter) dengan bau khas, yang menunjukkan perdarahan saluran cerna atas serta dicernanya
darah pada usus halus.1,2

Etiologi

Secara teoritis, terjadinya penyakit atau kelainan saluran cerna bagian atas disebabkan oleh
ketidakseimbangan faktor agresif dan faktor defensif, dimana faktor agresif meningkat atau
faktor defensifnya menurun. Beberapa penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas adalah
kelainan di esophagus, kelainan di lambung ataupun di duodenum. Salah satu kelainan di
esophagus contohnya varises esofagus yang merupakan penyebab terbanyak di Indonesia,
disebabkan oleh penyakit sirosis hati. Sedangkan salah satu kelainan di lambung contohnya
gastritis erosive ataupun ulkus peptikum. Keduanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan
dari faktor agresif dan faktor defensive. Faktor agresif dibagi menjadi 2 yaitu faktor endogen dan
faktor eksogen. Pada lambung normal, terdapat dua mekanisme yang bekerja dan mempengaruhi
kondisi lambung yaitu faktor pertahanan lambung dan faktor perusak lambung. Faktor perusak
lambung meliputi faktor perusak eksogen.1 Beberapa faktor eksogennya yaitu obat – obatan
NSAIDs, alkohol dan infeksi Helicobacter Pylori.1,3 Faktor pertahanan lambung berfungsi untuk
melawan atau mengimbangi kerja dari faktor tersebut diatas. Faktor pertahanan pada lambung
meliputi lapisan pre – epitel, epitel dan post epitel. Apabila terjadi ketidakseimbangan kedua

3
faktor diatas, baik faktor pertahanan yang melemah ataupun faktor perusak yang semakin kuat,
dapat mengakibatkan kerusakan pada sel – sel lambung.3

Dalam masyarakat yang paling sering terjadi adalah gangguan pada pertahanan mukosa
lambung pada penggunaan NSAIDs, alkohol, garam empedu, dan zat – zat lain dapat
menimbulkan kerusakan pada mukosa lambung akibat difusi balik asam klorida menyebabkan
kerusakan jaringan, khususnya pada pembuluh darah. Penggunaan NSAIDs, menghambat kerja
dari enzim siklooksigenase (COX) pada asam arakidonat sehingga menekan produksi
prostaglandin. Kerusakan mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin pada penggunaan
NSAIDs melalui 4 tahap yaitu : pertama, menurunkan sekresi mucus dan bikarbonat yang
dihasilkan oleh sel epitel pada lambung dan duodenum menyebabkan pertahanan lambung dan
duodenum menurun. Kedua, penggunaan NSAIDs menyebabkan gangguan sekresi asam dan
poliferasi sel sel mukosa. Ketiga, terjadi penurunan aliran darah mukosa, hal ini terjadi akibat
hambatan COX-1 akan menimbulkan vasokonstriksi sehingga aliran darah menurun dan terjadi
nekrosis sel epitel. Tahap keempat, berlakunya kerusakan mikrovaskuler yang diperberat oleh
platelet dan mekanisme koagulasi. Hambatan pada COX-2 menyebabkan peningkatan perlekatan
leukosit PMN pada endotel vaskuler gastroduodenal dan mesentrik, dimana dimulai dengan
pelepasan mikrovaskular sehingga terjadi iskemia dan akhirnya terjadi ulcers. Penggunaan obat –
obatan golongan NSAID secara kronik dan regular dapat menyebabkan terjadinya resiko
perdarahan gastrointestinal 3 kali lipat dibandingkan yang bukan pemakai.3,4

Diagnosis

Diagnosis pada gejala hematemesis dan melena bertujuan untuk mencari tahu tentang
kemungkinan penyebab utama dari perdarahan SCBA tersebut, lokasi yang tepat dari sumber
perdarahannya, sifat perdarahannya (sedang atau telah berlangsung, banyak atau sedikit), dan
derajat gangguan yang ditimbulkan perdarahan SCBA pada organ lain seperti syok, koma,
kegagalan fungsi hati/jantung/ginjal. Untuk menegakkan diagnosis dapat digali berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis didapatkan pasien
mengeluh muntah darah disertai berak kehitaman. Selain itu, pasien juga mengeluh nyeri uluhati
yang dirasakan sejak lama dan hilang timbul. Pasien juga biasanya mengeluh dyspepsia.4
Dyspepsia adalah suatu sindrom klinik beberapa penyakit saluran cerna seperti mual, muntah,
perut kembung, nyeri uluhati, sendawa/ terapan, rasa terbakar, rasa penuh uluhati, dan cepat

4
merasa kenyang. Untuk menentukan lokasi ulkus berdasarkan anamnesis salah satunya adalah
kuantitas nyeri. Pada ulkus gaster, nyeri dirasakan sebelum makan dan setelah makan nyeri tidak
berkurang atau semakin memberat (Pain Food Pain) sedangkan pada ulkus duodenum nyeri
dirasakan menghilang atau berkurang (Pain Food Relief).4 Pemeriksaan fisik penderita
perdarahan saluran cerna bagian atas yang perlu diperhatikan adalah keadaan umum, kesadaran,
nadi, tekanan darah, tanda-tanda anemia dan gejala-gejala hipovolemik agar dengan segera
diketahui keadaan yang lebih serius seperti adanya renjatan atau kegagalan fungsi hati.
Disamping itu dicari tanda-tanda hipertensi portal dan sirosis hepatis, seperti spider naevi,
ginekomastia, eritema palmaris, caput medusae, adanya kolateral, asites, hepatosplenomegali dan
edema tungkai. 4

Pemeriksaan Penunjang

- Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorik dianjurkan dilakukan sedini mungkin, tergantung dari lengkap tidaknya
sarana yang tersedia. Disarankan pemeriksaan-pemeriksaan seperti darah lengkap, waktu
perdarahan, waktu pembekuan, pemeriksaan tes faal hati bilirubin, SGOT, SGPT, fosfatase
alkali, protein total, albumin, globulin, dan HBSAg. Pemeriksaan yang diperlukan pada
komplikasi kegagalan fungsi ginjal, koma atau syok adalah kreatinin, ureum, elektrolit, analisa
gas darah, dan gula darah sewaktu. 3,4

- Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi dilakukan sedini mungkin bila perdarahan telah berhenti. Mula-mula
dilakukan pemeriksaan esofagus barium, diikuti dengan pemeriksaan lambung dan doudenum,
sebaiknya dengan kontras ganda. Pemeriksaan dilakukan dalam berbagai posisi dan diteliti ada
tidaknya varises di daerah 1/3 distal esofagus, atau apakah terdapat ulkus, polip atau tumor di
esofagus, lambung, doudenum. 4

5
- Pemeriksaan endoskopik

Pemeriksaan endoskopik terbukti sangat penting untuk menentukan dengan tepat sumber
perdarahan SCBA. Tergantung keterampilan dokternya, endoskopi dapat dilakukan sebagai
pemeriksaan darurat sewaktu perdarahan atau segera setelah hematemesis berhenti. Pada
endoskopik darurat dapat ditentukan sifat dari perdarahan yang sedang berlangsung. Beberapa
ahli langsung melakukan terapi sklerosis pada varises esofagus yang pecah, sedangkan ahli-ahli
lain melakukan terapi dengan laser endoskopik pada perdarahan lambung dan esofagus.
Keuntungan lain dari pemeriksaan endoskopik adalah dapat dilakukan pengambilan foto slide,
film atau video untuk dokumentasi, juga dapat dilakukan aspirasi serta biopsi untuk pemeriksaan
sitologi. 3,5

- Pemeriksaan ultrasonografi dan scanning hati

Pemeriksaan ultrasonografi dapat menunjang diagnosa hematemesis/melena bila diduga


penyebabnya adalah pecahnya varises esofagus, karena secara tidak langsung memberi informasi
tentang ada tidaknya hepatitis kronik, sirosis hati dengan hipertensi portal, keganasan hati
dengan cara yang non invasif dan tak memerlukan persiapan sesudah perdarahan akut berhenti.
Dengan alat endoskop ultrasonografi, suatu alat endoskop mutakhir dengan transducer
ultrasonografi yang berputar di ujung endoskop, maka keganasan pada lambung dan pankreas
juga dapat dideteksi. Pemeriksaan scanning hati hanya dapat dilakukan di rumah sakit besar yang
mempunyai bagian kedokteran nuklir. Dengan pemeriksaan ini diagnosa sirosis hati dengan
hipertensi portal atau suatu keganasan di hati dapat ditegakkan.3

Penanganan

Pengelolaan dasar pasien perdarahan saluran cerna sama seperti perdarahan pada umumnya,
yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi, diagnosis, dan terapi. Tujuan pokoknya adalah
mempertahankan stabilitas hemodinamik, menghentikan perdarahan, dan mencegah perdarahan
ulang. 4,5

Tindakan pertama yang dilakukan adalah resusitasi, untuk memulihkan keadaan penderita
akibat kehilangan cairan atau syok. Cairan infus dekstrose 5% atau Ringer laktat atau NACL
O,9% dan transfusi Whole Blood atau Packed Red Cell. Kemudian pasang NGT lakukan aspirasi

6
cooling spooling dgn NaCl 0,9% dingin ± 100 cc, biarkan ½ jam, kemudian aspirasi dan cooling
spooling lagi tiap 1-2 jam. NGT di cabut bila dalam 24 jam aspirasi telah jernih. Bila air kurasan
lambung tetap merah, penderita terus dipuasakan. Setelah perdarahan berhenti dapat mulai diberi
diet cair, dan secara bertahap ditingkatkan dengan diet makanan lunak/bubur saring dalam porsi
kecil setiap 1-2 jam. 5

Penggunaan antagonis reseptor H2 atau PPI untuk mengurangi sekresi asam lambung
contoh : injeksi Ranitidine atau omeprazole. Kemudian sitoprotektor mempunyai efek
perlindungan terhadap mukosa termasuk stimulasi prostaglandin mukosa, contoh : sucralfat,
misoprostol. Pemberian antasida untuk menetralkan asam lambung, contohnya Mg(OH)2,
CaC03. Injeksi Traneksamic acid, jika ada peningkatan aktifitas fibrinolisin.

Tindakan khusus yang dapat diberikan dalam hal ini pada pasien dengan perdarahan oleh
karena penyebab variseal. Vasopresin terutama diberikan pada penderita perdarahan varises
esofagus yang perdarahannya tetap berlangsung setelah lavage lambung dengan air es.
Vasopresin mempunyai efek kontraksi pada otot polos seluruh sistem vaskuler sehingga terjadi
penurunan aliran darah di daerah splanknik, yang selanjutnya menyebabkan penurunan tekanan
portal. Karena pembuluh darah arteri gastrika dan mesenterika ikut mengalami kontraksi, maka
selain di esofagus, perdarahan dalam lambung dan doudenum juga ikut berhenti. Kemudian
terapi mekanik dengan balon Sengstaken Blackmore atau Minesota. Terapi endoskopi berupa
ligasi dan skleroterapi.3

7
LAPORAN KASUS

Pasien laki – laki usia 87 tahun, Suku Bali, pekerjaan sebagai petani, datang ke IGD RSUD
Sanjiwani Gianyar diantar oleh keluarganya dengan keluhan muntah darah satu hari yang lalu
sebelum masuk Rumah Sakit. Muntah darah dikatakan sebanyak 2 kali berwarna merah
kehitaman berisikan makanan yang dimakan. Darah yang dimuntahkan saat itu berwarna merah
kehitaman dan berbentuk gumpalan – gumpalan kecil. Pasien muntah darah dengan volume
kurang lebih setengah gelas aqua tiap muntah. Awalnya pasien sering merasakan nyeri pada
uluhatinya, kemudian barulah 1 hari yang lalu keluhan muntah darah tersebut muncul. Pasien
belum berobat untuk mengurangi keluhannya. Pasien juga mengeluhkan BAB warna hitam
seperti yang muncul bersamaan dengan munculnya keluhan muntah darah. Pasien mengeluh
BAB kehitaman sebanyak dua kali dengan konsistensi lembek berwarna kehitaman ada ampas
namun tidak berlendir dan darah.

Mengenai keluhan nyeri ulu hati, pasien merasakan muncul sejak 5 hari yang lalu. Nyeri
perut dirasakan seperti terbakar dan adanya rasa perih dan enek di uluhati. Nyeri uluhati tidak
mereda walaupun pasien sudah makan. Biasanya pasien hanya beristirahat untuk mengurangi
keluhannya. Semenjak keluhan BAB kehitaman dan muntah muncul, pasien juga merasa nafsu
makan berkurang dan hanya makan bubur, pasien mengatakan setiap pasien ingin makan seperti
merasa kenyang sehingga badannya lemas sulit untuk berjalan. BAK dikatakan normal dengan
warna kekuningan, tidak seret dan tidak ada nyeri saat kencing. Karena pasien merasa semakin
lemas dan keluhan berak kehitaman yang dirasakan semakin memberat maka pihak keluarga
langsung memutuskan membawa pasien ke IGD RSUD Sanjiwani Gianyar. Keluhan lain yang
dirasakan pasien adalah nyeri lutut kiri sejak 7 tahun yang lalu, nyeri dikatakan memberat ketika
pasien berjalan. Pasien sudah sempat datang ke dokter sejak lama untuk mengobati keluhannya
namun belum membaik.

Pasien sebelumnya belum pernah mengalami berak kehitaman sebelumnya. Pasien


mengaku bahwa dirinya menderita rematik sudah sejak 7 tahun dan sering meminum obat –
obatan rematik yang didapat di apotek . Pasien rutin meminum obat rematik sendiri, namun
pasien tidak tahu nama obat yang diminumnya. Penyakit kuning, diabetes mellitus, penyakit
jantung, penyakit ginjal, dan penyakit sistemik lainnya disangkal oleh pasien.

8
Di keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan serupa seperti pasien. Untuk
riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, penyakit ginjal, dan penyakit sistemik
lainnya dalam keluarga disangkal oleh keluarga pasien.

Pasien adalah seorang petani tetapi semenjak penyakit rematiknya dirasakan semakin
memberat pasien memutuskan saat ini tidak bekerja hanya melakukan aktivitas ringan di rumah.
Keadaan rumah pasien dikatakan cukup bersih dan pasien tinggal bersama anak, menantu dan
cucunya. Hubungan sosial pasien dengan keluarga dan lingkungannya baik. Pasien tidak
memiliki riwayat merokok ataupun minum alkohol.

Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan pada tanggal 29 Juli 2015, ditemukan kesan
umum pasien tampak sakit sedang dengan kesadaran compos mentis, GCS ditemukan E4V5M6,
dengan tekanan darah 120/80 mmHg, nadi 84 x/menit, respiratory rate 18x/menit dan
temperature axilla 36,60 celcius. Pada status general pada kepala dalam keadaan normocephali
dengan wajah pucat, mata didapatkan reflek pupil positif isokor, dan ditemukannya anemis
namun tidak tampak ikterik, telinga hidung dan tenggorokkan masih dalam batas normal, pada
leher ditemukan JVP +2 cmH2O, pada thoraks simetris tanpa ada jejas, pada jantung suara S1S2
tunggal regular tanpa murmur, di paru – paru suara vesikuler positif simetris tanpa ada rhonki
dan wheezing. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan bising usus positif normal tanpa ada
distensi, shifting dullness (-), spider navi (-), vena kolateral (-), hepar dan lien tidak teraba.
Sedangkan pada ekstremitas didapatkan akral hangat di keempat region ekstremitas tanpa adanya
oedem. Pada pemeriksaan rectal toucher didapatkan tonus sfingter ani positif, mukosa licin, tidak
didapatkan adanya massa, pada handscoen ditemukan adanya feses kehitaman.

Pada pemeriksaan penunjang yang dilakukan di IGD dari darah lengkap ditemukan WBC
10, RBC 2.96, HCT 15.4, HGB 6.1, MCV 66.8, MCH 20.5 dan PLT 221. Pada pemeriksaan
elektrolit ditemukan Na 129, K 3.8, Cl 95. Pemeriksaan gula darah didapatkan 100. Untuk
pemeriksaan fungsi hati dari SGPT ditemukan 25 dan SGOT ditemukan 17. Hasil dari
pemeriksaan BUN 38 dan Serum Creatinin 0,9. Saat di IGD dilakukan pemasangan NGT dengan
gastric cooling didapatkan stolsel berwarna merah kehitaman dan gastric cooling dilakukan
sesuai prosedur sehingga jernih atau hingga tidak ditemukan lagi stolsel. Dan hasil EKG
didapatkan dalam batas normal.

9
Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis
kerja dengan Hematemesis melena e.c ulcus peptikum dan Anemia berat hipokromik-mikrositer.
Pasien kemudian diterapi secara non farmakologis seperti diet cair, serta terapi secara
farmakologis dengan IVFD NaCl 0,9% 20 tpm, asam tranexamat 3x1, pantoprazole 2 x 1 amp,
antasida syr 3 x CI dan sukralfat syr 3 x CI. Dan diberikan tranfusi PRC 4 kolf atau sampai hb
>10. Setelah diruangan pasien dilakukan endoskopi untuk mengetahui penyebabnya. Dari hasil
endoskopi didapatkan kesan ulkus peptikum.

10
PEMBAHASAN

Dari uraian kasus di atas ada beberapa hal menarik yang bisa ditinjau. Dimulai dari perdarahan
yang terjadi apakah merupakan perdarahan saluran cerna atas atau bawah. Pada perdarahan
saluran cerna atas didapatkan manifestasi klinik umumnya hematemesis dan atau melena serta
aspirasi nasogastrik didapat adanya darah, sedangkan pada perdarahan saluran cerna bawah
didapatkan manifestasi klinik umumnya hematokezia dan pada aspirasi nasogastrik didapatkan
1,2
jernih. Pada kasus ini didapatkan adanya hematemesis dan melena serta aspirasi nasogastrik
didapatkan adanya darah.

Beberapa penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas adalah kelainan di esophagus,
kelainan di lambung ataupun di duodenum. Kuman Helicobacter Pylori dianggap merupakan
penyebab utama, disamping NSAIDs dan penyakit hati kronis. Pada kasus ini tidak didapatkan
adanya peningkatan WBC. Hal ini menunjukkan berarti hematemesis melena bukan karena
adanya infeksi Helicobacter Pylori. Pada pasien juga tidak ditemukan adanya tanda-tanda
kegagalan faal hati ataupun hipertensi portal. Kemungkinan penyebab terjadinya hematemesis
melena pada pasien adalah ulcus peptikum oleh karena penggunaan obat rematik (NSAIDs)
jangka panjang.3

Untuk mendiagnosis suatu hematemesis melena dapat digambarkan dan digali


berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis
didapatkan pasien mengeluh muntah darah diserai berak kehitaman. Selain itu, pasien juga
mengeluh nyeri ulu hati yang dirasakan sejak lama dan hilang timbul. Pasien juga memiliki
riwayat konsumsi obat rematik sejak lama. Hal ini sesuai dengan teori dimana secara umum
seorang yang menderita hematemesis melena biasanya mengeluh dyspepsia atau memiliki
riwayat keluhan dyspepsia berulang dan salah satunya dengan riwayat penggunaan obat NSAIDs
jangka panjang.4

Dalam masyarakat yang paling sering terjadi adalah gangguan pada pertahanan mukosa
lambung dengan penggunaan NSAIDs, alkohol, garam empedu, dan zat – zat lain dapat
menimbulkan kerusakan pada mukosa lambung akibat difusi balik asam klorida menyebabkan
kerusakan jaringan, khususnya pada pembuluh darah. Penggunaan NSAIDs, menhambat kerja
dari enzim siklooksigenase (COX) pada asam arakidonat sehingga menekan produksi

11
prostaglandin. Kerusakan mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin pada penggunaan
NSAIDs melalui 4 tahap yaitu : pertama, menurunkan sekresi mucus dan bikarbonat yang
dihasilkan oleh sel epitel pada lambung dan duodenum menyebabkan pertahanan lambung dan
duodenum menurun. Kedua, penggunaan NSAIDs menyebabkan gangguan sekresi asam dan
poliferasi sel sel mukosa. Ketiga, terjadi penurunan aliran darah mukosa. Hal ini terjadi akibat
hambatan COX-1 akan menimbulkan vasokonstriksi sehingga aliran darah menurun dan terjadi
nekrosis sel epitel. Tahap keempat, berlakunya kerusakan mikrovaskuler yang diperberat oleh
platelet dan mekanisme koagulasi. Hambatan pada COX-2 menyebabkan peningkatan perlekatan
leukosit PMN pada endotel vaskuler gastroduodenal dan mesentrik, dimana dimulai dengan
pelepasan mikrovaskular sehingga terjadi iskemia dan akhirnya terjadi ulcers. Penggunaan obat –
obatan golongan NSAID secara kronik dan regular dapat menyebabkan terjadinya resiko
perdarahan gastrointestinal 3 kali lipat dibandingkan yang bukan pemakai.4,5 Pada kasus yang
terjadi pada pasien, penggunaan obat – obatan NSAIDs sudah dilakukan selama bertahun – tahun
dan gejala yang timbul sesuai dengan teori yang ada, yaitu menimbulkan berak kehitaman dan
muntah darah.

Pemeriksaan fisik penderita perdarahan saluran makan bagian atas yang perlu
diperhatikan adalah keadaan umum, kesadaran, nadi, tekanan darah, tanda-tanda anemia dan
gejala-gejala hipovolemik agar dengan segera diketahui keadaan yang lebih serius seperti adanya
rejatan atau kegagalan fungsi hati. Disamping itu dicari tanda-tanda hipertensi portal dan sirosis
hepatis, seperti spider naevi, ginekomastia, eritema palmaris, caput medusae, adanya kolateral,
asites, hepatosplenomegali dan edema tungkai. Pada pemeriksaan fisik pasien ini didapatkan
adanya tanda-tanda anemia yakni konjungtiva palpebra pucat dengan akral dingin yang
menandakan kurang darah.3 Kekurangan darah ini dicurigai akibat perdarahan akut. Untuk
mengetahui derajat dan penyebab dari kekurangan darah dapat dilihat dari hemoglobulin, MCV
dan MCH dari pemeriksaan darah lengkap.4 Pada pasien ini,dilihat dari hemoglobulin, MCV dan
MCH maka pasien ini mengalami anemia berat hipokromik-mikrositer.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya pemeriksaan laboratorium


meliputi darah lengkap, waktu perdarahan dan waktu pembekuan darah, elektrolit, tes faal hati,
gula darah sewaktu. Kemudian radiologi, endoskopi, USG, dan scanning hati. Pada pasien ini
telah dilakukan pemeriksaan darah lengkap dengan hasil Pada pemeriksaan penunjang yang

12
dilakukan di IGD dari darah lengkap ditemukan WBC 10, RBC 2.96, HCT 15.4, HGB 6.1, MCV
66.8, MCH 20.5 dan PLT 221. Pada pemeriksaan elektrolit ditemukan Na 129, K 3.8, Cl 95.
Pemeriksaan gula darah didapatkan 100. Untuk pemeriksaan fungsi hati dari SGPT ditemukan 25
dan SGOT ditemukan 17. Hasil dari pemeriksaan BUN 38 dan Serum Creatinin 0,9. Pasien
direncakan untuk dilakukan endoskopi diruangan. Dimana endoskopi gastrointestinal atas
digunakan untuk mengidentifikasi perubahan inflamasi, ulkus, dan lesi. Melalui endoskopi
mukosa dapat secara langsung dilihat. Endoskopi telah diketahui dapat mendeteksi beberapa lesi
yang tidak terlihat melalui pemeriksaan radiologis karena ukuran atau lokasinya. Pada pasien ini,
sudah dilakukan pemeriksaan endoskopi untuk mengetahui penyebab dari hematemesis dan
melena serta dapat menyingkirkan diagnosis lainnya. Dari hasil endoskopi didapatkan kesan
ulkus peptikum.

Pengelolaan dasar pasien perdarahan saluran cerna sama seperti perdarahan pada
umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal, resusitasi, diagnosis, dan terapi. Tujuan pokoknya
adalah mempertahankan stabilitas hemodinamik, menghentikan perdarahan, dan mencegah
4,5
perdarahan ulang. Tindakan pertama yang dilakukan adalah resusitasi, untuk memulihkan
keadaan penderita akibat kehilangan cairan atau syok. Cairan infus dekstrose 5% atau Ringer
laktat atau NACL O,9% dan transfusi Whole Blood atau Packed Red Cell. Kemudian pasang
NGT lakukan aspirasi cooling spooling dgn NaCl 0,9% dingin ± 100 cc, biarkan ½ jam,
kemudian aspirasi dan cooling spooling lagi tiap 1-2 jam. NGT di cabut bila dalam 24 jam
aspirasi telah jernih. Bila air kurasan lambung tetap merah, penderita terus dipuasakan. Setelah
perdarahan berhenti dapat mulai diberi diet cair, dan secara bertahap ditingkatkan dengan diet
makanan lunak/bubur saring dalam porsi kecil setiap 1-2 jam. Dilanjutkan dengan penggunaan
antagonis reseptor H2 atau PPI untuk mengurangi sekresi asam lambung contoh : injeksi
Ranitidine atau omeprazole. Kemudian sitoprotektor mempunyai efek perlindungan terhadap
mukosa termasuk stimulasi prostaglandin mukosa, contoh : sucralfat, misoprostol. Pemberian
antasida untuk menetralkan asam lambung, contohnya Mg(OH)2, CaC03. Injeksi Traneksamic
acid, jika ada peningkatan aktifitas fibrinolisin. Pada kasus ini penanganan dari pasien dengan
hematemesis melena ec susp gastritis erosive sudah sesuai dengan teori yaitu pasien dilakukan
resusitasi awal dengan pemberian RL, kemudian dilakukan lavage dan gastric cooling dengan
stolsel (+), lalu diberikan diet bubur saring, asam traneksamat, antasida, sukralfat, paracetamol
dan tranfusi PRC untuk keluhan anemia berat.

13
KESIMPULAN

Perdarahan saluran cerna atas (SCBA) merupakan perdarahan dari lumen saluran cerna di
atas ligamentum Treitz yang dapat mengakibatkan terjadinya hematemesis dan melena.
Hematemesis adalah dimuntahkannya darah dalam bentuk segar (bekuan/ gumpalan/ cairan
warna merah cerah) atau berubah karena enzim dan asam lambung menjadi kecoklatan dan
berbentuk seperti butiran kopi sedangkan melena yaitu keluarnya feses yang lengket dan hitam
seperti aspal. Etiologi dari perdarahan SCBA dibedakan menjadi variseal dan non variseal.
Untuk mendiagnosis suatu hematemesis melena dapat digambarkan dan digali berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pengelolaan dasar pasien perdarahan
saluran cerna sama seperti perdarahan pada umumnya, yakni meliputi pemeriksaan awal,
resusitasi, diagnosis, dan terapi. Tujuan pokoknya adalah mempertahankan stabilitas
hemodinamik, mnghentikan perdarahan, dan mencegah perdarahan ulang.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Wenas NT. Pathophysiology and Prevention of NSAID Gastropathy. The 4th international
endoscopy workshop & international symposium on digestive disease. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen IPD FK UI; 2009. p. 83-4.
2. Fandy Gosal, Bram Paringkoan, Nelly Tendean Wenas. Pathophysiology and Treatment
of Nonsteroidal Anti-inflammatory Drug Gastropathy. 2009. Available at
Pendahuluan.pdf. FK Universitas Indonesia. Access on 30th May 2015.
3. Gralnek. IM, Barkun. A.N, Bardou ,M. The new england journal of medicine :
Management of Acute Bleeding from a Peptic Ulcer. England : N Engl J Med 2008 ;359:
p.928-37.
4. Djuwantoro Dwi; Zubir Nazrul dan Julius. Diagnosis dan Pengobatan Tukak Peptikum;
Gambaran Endoskopi Saluran Cerna Bagian Atas. Padang. Dalam : Cermin Kedokteran
No. 79, 2009.
5. Tarigan, Pangarapen; Akil, HAM. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Perhimpunan Dokter
Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Edisi V, jilid: I, Gastritis erosiva. 2010. Jakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai