Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN KEGIATAN PPDH

ROTASI DIAGNOSA LABORATORIK


BAKTERIOLOGI DAN MIKOLOGI
Yang dilaksanakan di
LABORATORIUM MIKROBIOLOGI DAN VIROLOGI
FKH UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

Oleh :
Fathunnisa 180130100011012
Lady Konfidenia Chintari 180130100011017
Garnis Retno S 180130100011043
Yehezkiel Gianka Tampubolon 180130100011053

PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN (PPDH)


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2018
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................ 2
1.3 Tujuan .......................................................................................................................... 2
1.4 Manfaat ........................................................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 3
2.1 Fungi ............................................................................................................................ 3
2.2 Kapang (Mold) ............................................................................................................. 4
2.3 Khamir (Yeast) .............................................................................................................. 4
2.4 Media Sabaraud Dextrose Agar (SDA) ........................................................................ 5
BAB III METODOLOGI .......................................................................................................... 6
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Kegiatan ................................................................... 6
3.2 Alat dan Bahan ........................................................................................................... 10
3.3 Metode Kegiatan ......................................................................................................... 10
3.4 Prosedur Kegiatan
3.4.1 Isolasi Jamur (Metode streak) ............................................................................ 10
3.4.2 Isolasi Jamur (Metode tanam) ............................................................................ 11
3.4.3 Identifikasi Jamur ............................................................................................... 11
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAAN .............................................................................. 16
4.1 Hasil ............................................................................................................................ 17
4.2 Pembahasan ............................................................................................................... 17
4.2.1 Saccaromyces sp ................................................................................................ 17
4.2.2 Rhizopus sp ........................................................................................................ 21
4.2.3 Aspergillus niger ................................................................................................ 22
4.2.4 Aspergillus fumigatus ......................................................................................... 22
BAB V PENUTUP ................................................................................................................... 39
5.1 Kesimpulan ................................................................................................................ 39
5.2 Saran .......................................................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 40
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pakan merupakan sumber nutrisi utama bagi ternak. Komponen utama penyusun
pakan adalah biji-bijian seperti jagung. Biji-bijian umumnya mengandung air, karbohidrat,
protein termasuk enzim, lemak, mineral dan vitamin sehingga bahan pakan tersebut mudah
dicemari jamur. Bahan pakan lainnya yang biasa digunakan sebagai penyusun ransum
adalah bungkil kedelai, tepung tulang, dedak, polar putih, bungkil kelapa, garam vitamin,
mineral, antelmentik, pemacu pertumbuhan, dan tepung ikan. Pakan yang baik mempunyai
kandungan nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan ternak, palatabilitas tinggi, pakan
tambahan tepat, dan bebas dari cemaran mikroba patogen (Zainuddin, 2009).

Indonesia sebagai negara tropis kondisinya sangat memadai untuk pertumbuhan


berbagai macam jamur termasuk Aspergillus. Aspergillus merupakan spesies jamur yang
tersebar secara kosmopolitan, karena spora jamur yang mudah disebarkan oleh angin, mudah
tumbuh pada bahan-bahan organik atau produk hasil pertanian. Litter dan pakan yang
digunakan dalam memelihara unggas bahannya merupakan produk pertanian sehingga
berperan sebagai sumber infeksi Aspergillus atau disebut dengan penyakit aspergillosis.
Prevalensi kejadian pada peternakan unggas komersial juga pernah dilaporkan cukup tinggi
(Novita dan Yudhana, 2017).

Di negara tropis, kontaminasi mikotoksin sangat sulit untuk dihindari karena kondisi
iklim dengan tingkat kelembaban, curah hujan dan suhu yang tinggi sanagt mendukung
pertumbuhan jamur penghasil mikotoksin. Indonesia beresiko tinggi terhadap ancaman
mikotoksin karena metabolit sekunder jamur ini diproduksi pada kondisi lingkungan yang
lembab (kelembaban optimal di atas 70%) dan suhu optimal 25-32°C dengan kadar air 18%
(Reddy dan Waliyar, 2008). Selain itu, bahan baku dengan kadar air yang terlalu tinggi
sangat potensial untuk ditumbuhi jamur. Mikotoksin akan semakin banyak diproduksi oleh
jamur jika terjadi perubahan suhu, pH dan kelembaban secara mendadak.

Penyakit dapat disebabkan oleh kapang (mikosis) atau oleh metabolit toksin yang
dihasilkan (mikotoksikosis). Kejadian infeksi dimulai dengan adanya cemaran kapang
patogen pada pakan, dilanjutkan dengan infestasi dan invasi kapang pada individu yang
kondisi kesehatan tubuhnya sedang lemah. Penyakit yang dihasilkan oleh kapang akan lebih
mudah dikendalikan dibandingkan dengan penyakit yang disebabkan oleh toksin yang
terinfestasi di dalam tubuh. Pakan yang terinfeksi oleh jamur kontaminan dapat
mempengaruhi kesehatan hewan ternak yang mengkonsumsinya. Bila produk hewan
tersebut dikonsumsi manusia, maka kesehatan manusia tersebut juga akan terganggu akibat
jamur mikotoksin yang terakumulasi (Puspitasari, 2015).

Berdasarkan hal diatas makan perlunya dilakukan pemeriksaan pada pakan ternal
secara mikrobiologi. Sampel yang diambil berupa sisa pakan ternak dari beberapa tempat,
kemduain dilakukan isolagi dan identifikasi. Dengan dilakukannya pengujian mikrobiologi
yang terdapat pada pakan ternak diharapkan dapat diketahui jamur yang dapat menyebabkan
penyakit pada ternak.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat diambil beberapa rumusan masalah, yaitu :
1. Bagaimana prosedur isolasi jamur pada sampel pakan ayam berjamur ?
2. Bagaimana proses identifikasi serta ciri morfologi jamur pada sampel pakan ayam
berjamur ?

1.3. Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah :
1. Untuk mengetahui proses isolasi jamur pada sampel pakan ayam berjamur.
2. Untuk mengetahui proses identifikasi serta ciri morfologi jamur pada sampel pakan ayam
berjamur.

1.4. Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari kegiatan ini adalah :
1. Mahasiswa PPDH mampu mengetahui cara isolasi jamur pada sampel pakan ayam
berjamur.
2. Mahasiswa PPDH mampu mengetahui cara identifikasi serta ciri morfologi jamur pada
sampel pakan ayam berjamur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fungi
Secara umum, jamur adalah organisme eukariotik yang mempunyai inti dan organel dan
terbagi atas dua, yaitu khamir (yeast) dan kapang (mold). Kapang merupakan jenis jamur
multiseluler yang bersifat aktif karena merupakan organisme saprofit dan mampu memecah
bahan-bahan organik kompleks menjadi bahan yang lebih sederhana sementara khamir
merupakan jenis jamur uniseluler (monoseluler). Beberapa jenis jamur tersusun dari hifa yang
merupakan benang-benang sel panjang, sedangkan kumpulan hifa disebut dengan miselium.
Miselium merupakan massa benang yang cukup besar dibentuk dari hifa yang saling membelit
pada saat jamur tumbuh. Jamur mudah dikenal dengan melihat warna miseliumnya. Jamur
merupakan salah satu penyebab infeksi pada penyakit terutama di negara-negara tropis. Penyakit
kulit akibat jamur merupakan penyakit kulit yang sering muncul di tengah masyarakat Indonesia.
Iklim tropis dengan kelembaban udara yang tinggi di Indonesia sangat mendukung pertumbuhan
jamur. Banyaknya infeksi jamur juga didukung oleh masih banyaknya masyarakat Indonesia
yang berada di bawah garis kemiskinan sehingga masalah kebersihan lingkungan, sanitasi dan
pola hidup sehat kurang menjadi perhatian dalam kehidupan seharihari masyarakat Indonesia
(Hare, 1993)

Bagian penting tubuh jamur adalah suatu struktur berbentuk tabung menyerupai seuntai
benang panjang, ada yang tidak bersekat dan ada yang bersekat yang disebut dengan hifa. Hifa
dapat tumbuh bercabang-cabang sehingga membentuk jaring-jaring, bentuk ini dinamakan
miselium. Pada satu koloni jamur ada hifa yang menjalar dan ada hifa yang menegak. Biasanya
hifa yang menegak ini menghasilkan alat-alat pembiak yang disebut spora, sedangkan hifa yang
menjalar berfungsi untuk menyerap nutrien dari substrat dan menyangga alat-alat reproduksi.
Hifa yang menjalar disebut hifa vegetatif dan hifa yang tegak disebut hifa fertil. Pertumbuhan
hifa berlangsung terus-menerus di bagian apikal, sehingga panjangnya tidak dapat ditentukan
secara pasti. Diameter hifa umumnya berkisar 3-30 μm. Jenis jamur yang berbeda memiliki
diameter hifa yang berbeda pula dan ukuran diameter itu dapat dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan (Carlile and Watkinson, 1994).
Jamur pada dasarnya bersifat heterotrof yaitu organisme yang dapat menyerap zat
organik dari lingkungan melalui hifa dan miselium untuk memperoleh makanannya, dan
kemudian menyimpannya dalam bentuk glikogen. Semua zat seperti karbohidrat, protein,
vitamin, dan senyawa kimia lainnya diperoleh dari lingkungannya. Jamur dapat bersifat parasit
obligat, parasit fakultatif, dan saprofit (Deacon, 1997).

2.2 Kapang (Mold)


Kapang (mold) merupakan fungi multiseluler yang mempunyai filamen, dan
penampakannya seperti kapas. Pertumbuhannya mula-mula berwarna putih, tetapi jika spora
telah timbul akan terbentuk berbagai warna tergantung dari spesies kapang tersebut (Ali, 2005).
Kapang dapat dibedakan menjadi 2 kelompok berdasarkan struktur hifa, yaitu hifa
nonsepta dan septa. Septat akan membagi hifa menjadi bagian-bagian, dimana setiap bagian
tersebut memiliki inti (nukleus) satu atau lebih. Kapang yang tidak memiliki septa mempunyai
inti sel yang tersebar di sepanjang hifa. Dinding penyekat pada kapang disebut dengan septum
yang tidak tertutup rapat sehingga sitoplasma masih dapat bergerak bebas dari satu ruang ke
ruang lainnya. Kapang yang bersekat yaitu kapang dari kelas Ascomycetes, Basidiomycetes dan
Deuteromycetes. Sedangkan kapang yang tidak bersekat yaitu kapang dari kelas Phycomycetes
(Zygomycetes dan Oomycetes) (Waluyo, 2004).
Secara alamiah, kapang berkembang biak dengan berbagai cara, baik aseksual dengan
pembelahan, penguncupan, atau pembentukan spora, maupun secara seksual dengan peleburan
nukleus dari kedua induknya. Pada pembelahan, suatu sel membelah diri untuk membentuk dua
sel anak yang serupa. Pada cara penguncupan, sel anak tumbuh dari penonjolan kecil pada sel
inangnya (Waluyo, 2004).
Secara aseksual spora kapang diproduksi dalam jumlah banyak, berukuran kecil dan
ringan, serta tahan terhadap keadaan kering. Spora ini mudah beterbangan di udara, dan bila
berada pada substrat yang cocok, maka spora tersebut tumbuh menjadi miselium baru (Fardiaz,
1992).

2.3 Khamir (Yeast)


Khamir merupakan salah satu jenis jamur yang bersifat mikroskopis, eukariotik dan
uniseluler. Ukuran sel khamir pada umumnya lebih besar dibandingkan dengan sel bakteri.
Khamir memiliki dua mekanisme reproduksi yaitu reproduksi seksual dan aseksual. Semua
khamir dapat berkembang biak secara aseksual, tetapi tidak semua khamir dapat melakukan
reproduksi seksual. Khamir yang hanya dapat bereproduksi secara aseksual masuk dalam kelas
Deuteromycetes atau jamur imperfecti (Volk et al., 1988).
Khamir dapat melakukan reproduksi secara aseksual dengan cara bertunas (budding),
pembelahan langsung atau dengan hifa. Sebagian besar khamir melakukan reproduksi seksual
dengan membentuk asci, yang mengandung askospora haploid dengan jumlah bervariasi antara 1
– 8 askospora. Askospora dapat menyatu dengan nukleus dan membelah bersamaan dengan
pembelahan vegetatif, tetapi beberapa khamir memiliki askospora yang menyatu dengan
askospora lain. Khamir dapat ditemukan pada berbagai tempat di lingkungan terutama substrat
yang kaya gula. Khamir dapat diisolasi dari daun, bunga, buah-buahan, biji-bijian, serangga,
kotoran hewan dan tanah. Khamir dari kelompok Saccharomycetales terdapat pada kulit kayu
pohon tertentu dan juga pada buah-buahan serta lingkungan dengan kadar gula yang tinggi
seperti nektar (Schneiter, 2004).
Khamir memiliki manfaat yang penting dalam perkembangan bioteknologi. Isolasi dan
identifikasi dari total perkiraan keanekaragaman khamir di dunia baru dilakukan sekitar 1%.
Diantara 89 genera khamir yang pernah terdaftar dalam monograf khamir, sebanyak 37 genera
atau 42% ditemukan di Indonesia. Hal ini mengindikasikan eksplorasi khamir masih sangat
jarang dilakukan, sedangkan Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat kaya
keanekaragaman khamirnya (Kurtzman et al., 2006).

2.4 Media Sabouraud Dextrose Agar (SDA)


Media Sabouraud Dextrose Agar dikembangkan oleh dokter kulit Perancis, Raymond J.A
Sabouraud pada akhir tahu 1892 untuk mengamati pertumbuhan jamur yang menyebabkan
infeksi kulit, rambut, atau kuku, yang disebut sebagai dermatofit. Media SDA ini adalah tipe agar
yang mengandung pepton yang digunakan untuk menanam dermatofit dan jenis jamur lain. pH
dari Sabouraud agar ini dibuat asam (5.6) agar menghambat pertumbuhan bakteri sehingga
pertumbuhan dapat difokuskan pada jamur. Namun, pada akhirnya formula ini dimodifikasi
kembali oleh Chester W. Emmons dimana level pH dinaikkan agar mendekati nilai netral dan
konsentrasi dari dextrose tersebut dikurangi sehingga mendukung untuk pertumbuhan
mikroorganisme lain dan dapat digunakan untuk penelitian dan perawatan klinis lainnya selain
jamur (Sandven and Lassen, 1999).
Supaya media mempunyai kualitas seperti yang diharapkan, perlu dilakukan uji kualitas,
contohnya yaitu uji sterilitas dan uji spesifitas. Uji sterilitas dilakukan untuk mengetahui apakah
bahan atau sediaan yang harus steril, sudah memenuhi syarat atau belum. Uji sterilitas dapat
dilakukan dengan menginkubasi media selama sehari dalam inkubator. Pada media, idealnya
tidak boleh ditemukan adanya pertumbuhan bakteri. Akan tetapi koloni yang tumbuh kurang dari
2 masih dapat ditoleransi. Sedangkan uji spesifitas dilakukan dengan menggunakan bakteri
kontrol yang sesuai dengan jenis dan fungsi media yang dibuat. Hal ini bertujuan untuk
membantu mengetahui kelompok, jenis dan fungsi media yang dibutuhkan. (Salfinger and
Tortorello, 2015).
Media Sabouraud Dextrose Agar mengandung mycological peptone, glukosa dan agar itu
sendiri. Fungsi dari masing-masing kandungan berbeda yaitu untuk mycological peptone
berfungsi sebagai penyedia nitrogen dan sumber vitamin yang diperlukan untuk pertumbuhan
organisme dalam Sabouraud Dextrose Agar, sementara glukosa dalam konsentrasi yang tinggi
dimasukkan sebagai sumber energy, serta terakhir yaitu agar berperan sebagai bahan pemadat
(Salfinger and Tortorello, 2015).
BAB 3

METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaa Kegiatan


Koasistensi Pendidikan Profesi Dokter Hewan (PPDH) rotasi Diagnosa Laboratorik
dilaksanakan pada tanggal 15 – 19 juli 2019, bertempat di Laboratorium Mikrobiologi,
Bakteriologi dan Mikologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga, Surabaya.

3.2 Alat dan Bahan


Alat yang digunakan pada identifikasi fungi antara lain cawan petri, bunsen, korek api,
ose lurus dan bulat,kertas, solasi, tabung reaksi, mikroskop, object glass, cover glass, rak tabung
reaksi, autoclave, alat penimbang, kertas alumunium foil, pipet mortar dan pestle.
Bahan yang digunakan antara lain berbagai jenis pakan ayam halus (konsentrat), pakan
ayam jagung, aquades, minyak emersi, SDA (Sabouraud Dextrose Agar), NB (Nutrient broth),
Pewarnaan gram (kristal violet, lugol, alkohol, dan safranin), methylen blue, Alkohol 70%, dan
Lacto Phenol Cotton Blue (LPCB).

3.3 Metode Kegiatan


Metode kegiatan yang dilakukan yaitu, jamur yang telah didapatkan dari pakan dibiakkan
menggunakan metode streak dan metode penempelan langsung ke media SDA, kemudian
diamati secara makroskopis setelah itu koloni jamur yang berbeda diinokulasikan lagi di media
SDA yang baru untuk dilakukan pemurnian agar memudahkan identifikasi. Sampel pakan
diambil dari 6 jenis pakan ayam berupa konsentrat yang disatukan dan 1 jenis pakan ayam
berupa jagung. Kemudian kedua jenis pakan tersebut masing-masing dihaluskan dan dimasukkan
ke dalam NB untuk memberikan jamur nutrisi lalu bibir tabung ditutup dengan kapas untuk
mencegah kontaminasi, dikocok angka 8 dan kemudian dilakukan inokulasi.

3.4 Prosedur Kegiatan


3.4.1 Isolasi Jamur (Metode Streak)
a) Disiapkan media Sabaround Dextrose Agar (SDA) dan nyalakan bunsen
b) Dilakukan pengambilan sampel pakan konsentrat + NB menggunakan ose, sebelumnya
ose dipanaskan terlebih dahulu, kemudian setelah digunakan ose dipanaskan lagi
(dilakukan di sebelah bunsen).
c) Diinokulasikan sampel yang telah diambil menggunakan ose dengan 4 bagian kuadran
(dilakukan di sebelah bunsen).
d) Dilakukan inkubasi pada suhu 37oC dan sebagian di suhu ruang.
e) Apabila jamur telah tumbuh maka dilakukan pemurnian untuk memudahkan identifikasi
dengan cara diinokulasikan tiap jenis koloni jamur yang berbeda ke media SDA.
f) Dilakukan pengamatan setiap hari dari pertumbuhan jamur.
g) Dilakukan identifikasi koloni jamur pada masing-masing perbedaan suhu dan pakan di
media SDA (dilakukan di sebelah bunsen).
3.4.2 Isolasi Jamur (Metode Tanam)
a) Disiapkan media Sabaround Dextrose Agar (SDA) dan nyalakan bunsen
b) Dilakukan pengambilan sampel pakan jagung + NB menggunakan ose, sebelumnya ose
dipanaskan terlebih dahulu, kemudian setelah digunakan ose dipanaskan lagi (dilakukan
di sebelah bunsen).
c) Diisolasi sampel dengan metode totol (tempel) atau meletakkan sampel pada media SDA
(dilakukan di sebelah bunsen).
d) Dilakukan inkubasi pada suhu 37oC dan sebagian di suhu ruang.
e) Apabila jamur telah tumbuh maka dilakukan pemurnian untuk memudahkan identifikasi
dengan cara diinokulasikan tiap jenis koloni jamur yang berbeda ke media SDA.
f) Dilakukan pengamatan setiap hari dari pertumbuhan jamur.
g) Dilakukan identifikasi koloni jamur pada masing-masing perbedaan suhu dan pakan di
media SDA (dilakukan di sebelah bunsen).
3.4.3 Identifikasi Jamur
Identifikasi dilakukan dengan pengamatan secara mikroskopis dengan melihat morfologi
dari jamur mencakup struktur hifa, produksi spora, jenis spora, dan struktur spesifik lainnya.
Untuk melakukan identifikasi secara mikroskopis tersebut dilakukan metode pewarnaan terlebih
dahulu. Metode pewarnaan terdiri dari pewarnaan LPCB untuk jamur mold, pewarnaan gram
atau pewarnaan sederhana untuk jamur yeast. Adapun prosedur pewarnaan adalah sebagai
berikut :
1. Pewarnaan LPCB (Jamur Mold/Filamentous)
a) Digunakan selotip, rekatkan pada bagian atas media yang telah ditumbuhi jamur.
b) Disiapkan objek glass dan ditetesi pewarna LPCB
c) Ditempelkan selotip diatas objek glass yang telah ditetesi LPCB
d) Diamati dengan mikroskop perbesaran 400x.
2. Pewarnaan Gram (Jamur Yeast)
a) Buatlah suspensi aquadest dan sampel jamur menggunakan ose kemudian difiksasi diatas
bunsen.
b) Tuangi preparat yang telah difiksasi dengan pewarna kristal violet selama 1 menit. Buang
pewarna dan bilas dengan air.
c) Tuangi preparat dengan lugol selama 1 menit. Buang pewarna dan bilas dengan air
d) Tuangi preparat dengan aceton alkohol selama 1 menit, sampai pewarna luntur. Buang
dan bilas dengan air.
e) Tuangi preparat dengan pewarna safranin selama 1 menit. Buang pewarna dan bilas
dengan air.
f) Keringkan preparat dengan tisu.
g) Preparat siap diamati dengan mikroskop.
3. Pewarnaan Sederhana
a) Buatlah suspensi aquadest dan sampel jamur menggunakan ose kemudian difiksasi diatas
bunsen.
b) Tuangi preparat yang telah difiksasi dengan pewarna safranin atau methylen blue selama
1 menit.
c) Buanglah pewarna dan bilas dengan air sampai tidak luntur.
d) Keringkan preparat dengan tisu.
e) Preparat siap diamati dengan mikroskop.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHAN

4.1 Hasil
Sampel pakan yang sudah dikoleksi ditanam pada media Sabaraud Dextrose Agar (SDA)
untuk melihat ada tidaknya pertumbuhan jamur. Setelah dilakukan inokulasi dan isolasi selama 3
hari, didapatkan hasil pada sampel pakan yang diamati secara makroskopis dan mikroskopis
dengan pembesaran 400x.

A B C

Gambar 4.1 Hasil biakan jamur dari sampel pakan (A) Gambaran makroskopis kapang
(Saccharomyces sp) dengan perbesaran 400x (B) Koloni Saccharomyces sp 100x.
(C) Gambaran mikroskopis Saccharomyces sp pada media Sabouraud Dextrose
Agar (Dokumentasi pribadi, 2019).

A B C
Gambar 4.2 Hasil biakan jamur dari sampel pakan (A) Mikroskopis kapang (Rhizopus sp)
beserta rhizoid pada media SDA dengan pewarnaan LPCB pada perbesaran 400x
(B) Sporangium, sporangiophore beserta spora dari Rhizopus sp pada perbesaran
mikroskop 400x (C) Penampakan makroskopis Rhizopus sp pada media
Sabouraud Dextrose Agar (Dokumentasi pribadi, 2019).

A B

Gambar 4.3 (A) Sporangium dari Rhizopus sp yang telah melepaskan spora aseksual menurut
literatur. (B) Sporangiophore, sporangium beserta rhizoid dari Rhizopus sp (Paul
Bachi, 2008).

A B C

Gambar 4.4 Hasil biakan jamur dari sampel pakan (A) Makroskopis pertumbuhan jamur pada
media Sabaraud Dextrous Agar (B) Mikroskopis kapang (Aspergilus niger) pada
media SDA dengan pewarnaan LPCB perbesaran 400x (C) Mikroskopis kapang
(Aspergilus niger) pada media SDA dengan pewarnaan LPCB perbesaran 100x
(Dokumentasi pribadi, 2019).

A B
Gambar 4.5 Hasil biakan jamur dari sampel pakan (A) Makroskopis pertumbuhan jamur pada
media Sabaraud Dextrous Agar (B) Mikroskopis kapang (Aspergillus fumigatus)
pada media SDA dengan pewarnaan LPCB perbesaran 400x (Dokumentasi
pribadi, 2019).

Gambar 4.6 Kepala konidia dari Aspergillus fumigatus (Geiser, et al., 2007).

4.2 Pembahasan
4.2.1 Saccharomyces sp
Saccharomyces berasal dari bahasa Latin Yunani yang berarti “gula jamur” sedangkan
cerevisiae berasal dari bahasa Latin yang berarti bir. Saccharomyces cerevisiae merupakan jenis
khamir yang mempunyai sel tunggal. Sel khamir terdiri dari dari kapsul, dinding sel, membrane
sitoplasma, nucleus, vakuola, globula lipid dan mitokondria (Fardiaz, 1992). Susunan dinding sel
Saccharomyces cerevisiae (S. cerevisiae) terdiri dari protein yang terikat dengan gula sebagai
glikoprotein dan manoprotein, serta mengandung manan, kitin dan polisakarida jenis β-1,3-
glukan dan β-1,6-glukan yang berfungsi memperkuat struktur sel dan sebagai cadangan makanan
(Kusmiati, 2007). Bentuk dari khamir ini oval (bulat telur) dengan ukuran sekitar 1-5μm atau 20-
25μm dengan lebar sekitar 1-10μm. Koloninya berbentuk rata, lembab, mengkilap dan halus
(Fardiaz, 1992)

Klasifikasi Saccharomyces cerevisiae menurut Kavanagh (2005) :


Filum : Ascomycota
Subfilum : Saccharomycotina
Kelas : Saccharomycetes
Ordo : Saccharomycetales
Famili : Saccharomycetaceae
Genus : Saccharomyces
Spesies : Saccharomyces cerevisia

Saccharomyces spp. tumbuh secara menggerombol, tidak berflagel dan dapat melepaskan
CO2 dengan cepat, menyebabkan sel terapung pada permukaan. Koloni yeast ini berwarna putih
kekuningan, mempunyai bentuk tepi yang circular dan permukaannya mengkilat (surface
glistening). Sel Saccharomyces berbentuk bundar (sperical), adakalanya berbentuj ellipsoidal
(lonjong, memanjang) sampai cylindrical, dan menghasilkan pseudomiselium. Berkembangbiak
secara vegetatif dengan cara pertunasan multilateral (budding). Konjugasi isogam atau
heterogam dapat mendahului atau dapat terjadi setelah pembentukan askus. Dapat berbentuk
tonjolan. Setiap askus mengandung 1-4 spora dengan berbagai bentuk (Pelczar, 1988).
Gambar 4.2.8 Sel Saccharomyces spp. (1) Sel Saccharomyces (2) Pembentukan tunas (budding).

Siklus hidup S. cerevisiae dengan mitotically (pembelahan sel) dan menyebar (propagasi)
dalam bentuk haploid dari dua jenis perkawinan yang berbeda, dan bentuk diploid yang dapat
tumbuh baik secara vegetatif atau diinduksi menjadi jalur perkembangan meiosis melalui
manipulasi kondisi nutrisi medium pertumbuhan. Jalur selular seperti proses mitosis proliferasi,
sel yang mengatur pengenalan (recognition) dan perkawinan (mating), meiosis dan sporulasi
telah dipelajari secara ekstensif pada tingkat molekuler, dan dipahami secara umum baik.
Pertumbuhan mitosis sel S. cerevisiae melibatkan pembelahan (budding) (lihat Gambar 4.2).
Selama proses pertumbuhan ini sel diarahkan ke lokasi tertentu di permukaan sel induk, dan sel
baru terbentuk agak seperti meledakkan balon melalui lubang di sel induk. Hal ini melibatkan
pertumbuhan yang sangat terpolarisasi dari mengembangkan sel anak, yang melibatkan baik
aktin dan mikrotubulus berbasis jaringan cytoskeletal, dan erat dikoordinasikan dengan siklus
sel. koordinasi ini memastikan bahwa sel anak menerima salinan lengkap dari bahan genetik.
Kedua sel haploid dan diploid membagi pada proses awal, meskipun ada perbedaan halus dalam
pilihan situs pembelahan munculnya antara haploid dan diploid. Selain itu, beberapa sel diploid
juga dapat memodifikasi koordinasi dari siklus sel dan pertumbuhan terpolarisasi untuk beralih
ke pseudo hyphal (menyerupai hifa) sebuah modus pertumbuhan. Dalam pola pertumbuhan ini
sel-sel individual yang lebih memanjang, dan pola pembelahan mengarah pada pembentukan
rantai sel lebih kompak dari pada karakteristik koloni awal. Analisis genetik sangat berkembang
pada S. cerevisiae. Ketika secara vegetatif tumbuh sel haploid dari jenis kawin berlawanan
dibawa lebih dekat, mereka berkomunikasi satu sama lain dengan feromon diffusible,
sinkronisasi siklus sel mereka, konjugat dan kemudian inti mereka melebur yang
memperlihatkan tidak adanya proses perkawinan. Diploid ini dapat dikenali secara visual dalam
bentuk zigot awal mereka, dan dipisahkan dari haploid oleh mikromanipulasi, atau diidentifikasi
secara selektif karena mengandung pola sifat genetik yang tidak dimiliki oleh salah satu haploid
induk (Kavanagh, 2005).

Gambar 4.2.9 Siklus Hidup Saccharomyces cericiae (Kavanagh, 2005)

Saccharomyces cerevisiae yang mempunyai kemampuan fermentasi telah lama


dimanfaatkan untuk pembuatan berbagai produk makanan dan sudah banyak digunakan sebagai
probiotik). β-D-glucans pada dinding sel S. cerevisiae dapat mengikat aflatoksin yang
diproduksi oleh A. flavus. Ternak domba yang diberikan ransum dengan pencampuran S.
cerevisiae dengan Bioplus dapat meningkatkan bobot badan serta menurunkan konversi pakan
(Ratnaningsih, 2000) dan hasil yang diperoleh menunjukkan korelasi yang positif yaitu dengan
dosis 4 g/hari (1 g S. cerevisiae ekuivalen mengandung 14 x 1010 koloni) menghasilkan konversi
pakan sebesar 6 kg/kg pertambahan bobot badan, namun tidak semua isolat S. cerevisiae dapat
digunakan sebagai probiotik, karena harus melalui beberapa macam seleksi dan dari sejumlah
khamir tersebut hanya sedikit yang dapat digunakan.

4.2.2 Rhizopus sp
Jamur Rhizopus sp adalah salah satu jenis fungi yang termasuk dalam filum Zygomiycota,
dan ordo Mucorales. Ciri khas jamur ini yaitu ia mempunyai hifa yang membentuk rhizoid yang
menempel ke substrat. Adapun ciri lain dari jamur ini yaitu mempunyai hifa yang ceonositik,
oleh karena itu jamur ini termasuk jamur yang tidak bersekat (hifa nonsepta). Miselium dari
jamur Rhizopus sp ini menyebar diatas substratnya karena hifa dari jamur ini bersifat vegetative.
Jamur Rhizopus sp bereproduksi dengan cara aseksual dan memproduksi sporangiophore
bertangkai. Sporangiophorenya dipisah dari satu hifa dengan hifa yang lainya oleh sebuah
dinding seperti septa. Salah satu spesies dari fungi ini yalah jamur Rhizopus stolonifer yang
ditemukan pada roti yang sudah basi (Firmansyah, 2007)
Menurut Alexopoulos dan Mims (1979), taksonomi dari Rhizopus sp adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Mycetae
Division : Amastigomycota
Subdivision : Zygomycotina
Class : Zygomycetes
Order : Mucorales
Famili : Mucoraceae
Genus : Rhizopus

Genus Rhizopus memiliki beberapa spesies yang sering ditemukan dan berperan penting
dalam fermentasi makanan dan pembusukan makanan, diantaranya (Koneman, et al, 1992;
Firmansyah, 2007):
1. Rhizopus stolonifer, jamur ini juga biasanya disebut sebagai jamur kapang hitam roti, karena
spora yang dibentuknya berwarna hitam dan sering tumbuh pada roti
2. Rhizopus oryzae, jamur ini banyak di temukan didaerah yang beriklim tropis dan subtropis.
Jamur ini juga dapat diisolasi dari tanahdan erdapat juga pada kacang tanah, biji-bijian, serta
pada air yang terpolusi dan pada buah dan sayur yang sudah membusuk.
3. Rhizopus oligosporus, spesies fungi ini seringkali ditemukan pada tempe dan juga dapa
digunakan untuk memfermentasi kedelai.
4. Rhizopus nigrican, spesies ini dapat menyebabkan kerusakan pada pangan, roti, sayur-
sayuran, dan buah-buahan.
Rhizopus sp memiliki koloni yang berwarna keputihan yang lama-kelamaan akan terlihat
menjadi abu- abu kecoklatan hingga coklat kekuningan atau hitam pada pemeriksaan
makroskopis. Rhizoid dari jamur ini berwarna coklat, bercabang dan berlawanan arah dengan
sporangiophore. Sporangiophore dapat berbentuk satu ataupun berkelompok dan kadang-kadang
berbentuk menyerupai garpu, dindingnya berduri, berwarna coklat gelap hingga berwarna coklat
kehitaman dengan diameter 50-200µm. Kolumela dapat mencapai tinggi kurang lebih 10 mm.
Stolonnya berdinding halus atau agak kasar dan hampir tidak berwarna, sporangiospora dari
jamur ini dapat berbentuk bulat atau tidak, biasanya berbentuk poligonal, terdapat garis pada
permukannya dan mempunyai panjang sekitar 4-10 µm. Khlamidiospora dari jamur ini
berbentuk bulat, dengan diameter 10-35 µm atau berbentuk elips dan berukuran (8-130)x(16-24)
µm. Spesies ini dapat tumbuh pada suhu optimum yaitu 350C dengan suhu minimum 5-70C dan
suhu maksimum pertumbuhannya yaitu 35-440C (Ganjar, et al, 2006).

4.2.3 Aspergillus niger


A. Pengertian Jamur Aspergillus
Merupakan kapang saprofit yang sering di jumpai ditanah, air, dan tumbuhan yang
membusuk.lebih dari 200 Spesies Aspergillus yang telah di identifikasi Aspergillus niger
termasuk kedalam jamur jenis kapang.
B. Ciri-ciri Aspergillus niger
A. niger mempunyai ciri-ciri yang khas yaitu tubuh terdiri dari benang yang bercabang-
cabang disebut hifa, kumpulan hifa disebut miselium, tidak mempunyai klorofil dan hidup
heterotrof. Aspergillus niger memiliki bulu dasar bewarna putih atau kuning dengan lapisan
konidiospora tebal bewarna coklat gelap sampai hitam. Kepala konidia bewarna hitam, bulat,
cenderung memisah menjadi bagianbagian yang lebih longgar dengan bertambahnya umur.
Konidiospora memiliki dinding yang halus, hialin juga bewarna coklat. Aspergillus niger
berkembang biak secara vegetatif dan generatif melalui pembelahan sel dan spora-spora yang
dibentuk didalam askus atau kotak spora (Raper dan Fennel, 2011). Aspergillus niger
mempunyai bagian yang khas yaitu hifanya yang berseptat, spora yang bersifat aseksual dan
tumbuh memanjang diatas stigma, mempunyai sifat aerobik, sehingga dalam pertumbuhannya
memerlukan oksigen dalam jumlah yang cukup. Aspergillus niger dapat tumbuh pada suhu 35ºC
- 37ºC (optimum), 6ºC - 8 ºC (minimum), 45ºC - 47ºC (maksimum). Kisaran pH yang
dibutuhkan 2,8 - 8,8 dengan kelembaban 80 -90%. Habitat Aspergillus niger kosmopolit di
daerah tropis dan subtropis, mudah didapatkan dan di isolasi dari udara, tanah dan air (Fardiaz,
2014).
C. Klasifikasi
Klasifikasi jamur Aspergillus niger Aspergillus merupakan jamur, yaitu tumbuhan dari
divisi Thallophyta yang memiliki ciri utama tubuh yang berbentuk talus, yaitu belum dapat
dibedakan dalam tiga bagian tubuh utama tumbuhan yang disebut akar, batang dan daun, dan
termasuk subdivisi fungi karena tidak mempunyai klorofil. Jamur termasuk fungi sejati yang
merupakan organisme heterotropik dimana mereka memerlukan senyawa organik untuk
nutrisinya (Mahmoudi,2015) Klasifikasi jamur Aspergillus niger
adalah sebagai berikut :
Domain : Eukaryota
Kingdom : fungi
Phylum : Ascomycota
Subphylum : Pezizomycotina
Class : Eurotiomycetes
Order : Eurotiales
Family : Trichocomaceae
Genus : Aspergillus
Species : Aspergillus niger
D. Morfologi
Aspergillus niger Merupakan jamur multiselluler (mempunyai inti lebih dari satu) yang
membentuk benang - benang hifa / filament. Kumpulan dari hifa disebut misellium yang
membentuk suatu anyaman. Hifa yang dibentuk ada yang bersekat ataupun tidak bersekat. Hifa
yang berada di atas permukaan media disebut hifa aerial yang berfungsi sebagai alat
perkembangbiakan. Hifa yang berada di dalam media disebut hifa vegetatif berfungsi sebagai
alat untuk menyerap makanan. Secara makroskopik (pada media SGA+Antibiotik) jamur yang
berbentuk mold membentuk koloni yang berserabut / granuler koloninya tampak kasar (rought)
Bagian-bagian jamur yang menjadi ciri Aspergillus niger adalah footcell, konidiofor, vesikel,
stigma tambahan dan spora yang tumbuh memanjang di atas stigma yang disebut konidia
(Lud.W, 2005)
E. Sifat Aspergillus niger

Aspergillus niger merupakan salah satu spesies yang paling umum dan mudah
diidentifikasi dari marga Aspergillus. Aspergillus niger dapat tumbuh pada suhu 35ºC - 37ºC
(optimum), 6ºC - 8ºC (minimum), 45ºC- 47ºC (maksimum) dan memerlukan oksigen yang cukup
(aerobik) Aspergillus niger dalam pertumbuhannya berhubungan langsung dengan zat makanan
yang terdapat dalam substrat, molekul sederhana yang terdapat di sekeliling hifa dapat langsung
diserap sedangkan molekul yang lebih kompleks harus dipecah dahulu sebelum diserap ke dalam
sel, dengan menghasilkan beberapa enzim ekstraseluler. Bahan organik dari substrat digunakan
oleh Aspergillus niger untuk aktivitas transport molekul, pemeliharaan struktur sel dan mobilitas
sel. Carlile dan Watkinson (2012) menyebutkan bahwa Aspergillus niger bersifat toleran
terhadap aktivitas air rendah, mampu tumbuh pada substrat dengan potensial osmotik cukup
tinggi dan sporulasipada kelembaban relatif rendah (Hidayat,2007).

4.2.4 Aspergillus fumigatus


Menurut Sudiro (1993), Aspergillus fumigatus diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Myceteae
Filum : Ascomycota
Kelas : Eurotiomycetes
Ordo : Eurotiales
Familia : Trichomaceae
Genus : Aspergillus
Spesies : Aspergillus fumigatus

Aspergillus merupakan jamur jenis kapang atau mold, jamur ini sering ditemukan pada
bahan pakan dan juga bahan-bahan lainnya yang disimpan di dalam gudang dengan tingkat
kelembaban yang tinggi, selain itu suhu yang optimal dan kondisi aerob juga dapat mendukung
pertumbuhan jamur. Aspergillus mudah tumbuh pada bahan-bahan organik atau produk hasil
pertanian dan memiliki spora yang berukuran sangat kecil dan ringan sehingga spora jamur
mudah menyebar di udara hingga ke area peternakan. Lebih spesifik lagi, Aspergillus mampu
hidup pada media dengan derajat keasaman dan kandungan gula yang tinggi. Salah satu spesies
dari Aspergillus, yaitu Aspergillus fumigatus mrupakan penyebab utama timbulnya penyakit
saluran pernapasan, radang granulomatosis pada selaput lender, mata, telinga, kulit, meningen,
bronchus dan paru-paru pada unggas. Penyakit yang paling sering ditimbulkan akibat infeksi dari
jamur Aspergillus, yaitu dikenal dengan sebutan aspergillosis (Praja et al,. 2017).
Menurut Praja et al (2017), berdasarkan sifatnya Aspergillus dibagi menjadi dua
diantaranya: yang bersifat parasit dan saprofit. Aspergillus yang bersifat parasit akan
menimbulkan penyakit aspergilosis pada unggas, karena jamur ini dapat menghasilkan zat racun
yakni aflatoksin. Aspergillus yang bersifat saprofit akan hidup dengan cara menumpang pada
makhluk hidup lainnya. Secara makroskopis, koloni Aspergillus fumigatus yang sedang
bersporulasi berwarna biru kehijau-hijauan dan sering mengkontaminasi pakan ternal, litter,
tempat pakan dan minum (Tabbu, 2002).
Jamur yang berhasil tumbuh dari hasil inokulasi dengan menggunakan sampel pakan
ayam yang ditanam pada media Sabaraud Dextrous Agar (SDA), selanjutnya identifikasi secara
makroskopis dan mikroskopis dengan perbesaran 400x untuk mengetahui ada tidaknya
pertumbuhan jamur. Secara makroskopis ditemukan adanya pertumbuhan koloni jamur berwarna
hijau kekuningan, sedangkan secara mikroskopis dapat diamati adanya jamur berjenis kapang
yang dilengkapi dengan spora terbuka, berbentuk rantai, memiliki hifa bersepta dan tidak
memiliki rhizoid. Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan melalui pengamatan secara
makroskopis dan mikroskopis dapat diketahui bahwa karakteristik koloni jamur yang tumbuh
mengarah ke Aspergillus fumigatus.
Secara mikroskopis Aspergillus fumigatus dilengkapi dengan conidiophores yang
panjang dan kepala (vesicle) yang besar. Ampergillus fumigatus dapat tumbuh pada suhu 37℃,
sedangkan pada rumput kering dapat tumbuh pada suhu di atas 50℃. Menurut McClenny (2012),
Aspergillus fumigatus memiliki hifa selebar 2,5-8µm yang bentuknya sedikit menyerupai hifa
kelompok zygomycetes, bersepta, hyaline, dan bercabang seperti kipas. Aspergillus fimigatus
mempunyai suatu haploid genom yang stabil pada siklus hidupnya dengan tanpa mengalami
siklus seksual sehingga jamur ini bereproduksi dengan cara membentuk conidiospores yang akan
dilepaskan dan disebar melalui udara ke lingkungan sekitar. Conidiospores yang ada
dilingkungan dapat mencemari pakan ternak, telur, atau masuk ke dalam tubuh unggas melalui
inhalasi spora dan menimbulkan Aspergillosis. Unggas yang terinfeksi Aspergillus menunjukkan
gelaja seperti kesulitan bernapas, peningkatan laju pernapasan, mencret, napsu makan menurun,
pucat, kurus, dan memperlambat pertumbuhan unggas (Praja et al,. 2017).
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil yang didapatkan dari inokulasi sampel pakan ayam yang ditanamkan
pada media Sabaraud Dextrose Agar (SDA), dapat diketahui bahwa jamur yang dapat
diidentifikasi dan mencemari sampel pakan ayam diantaranya: Saccaromyces sp yang tumbuh
pada inkubator, Rhizopus sp, Aspergillus niger, dan Aspergillus fumigatus pada suhu ruang.
Pertumbuhan jamur dapat diamati setelah 3 hari pasca inokulasi, selanjutnya pengamatan secara
mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Lacto Phenol Cotton Blue (LPCB).

5.2 Saran

Sebaiknya mahasiswa mampu mengidentifikasi spesies jamur agar pengobatan yang akan
diberikan sesuai dan bekerja secara maksimal.
DAFTAR PUSTAKA

Adeniran, L.A., Makun, H.A and Muhammad, H.L. 2013. Survey of Mycotoxigenic Fungi in
Concentrated Poultry Feed in Niger State, Nigeria. Journal of Food Research; Vol. 2
(2) 128-135.
Alexopoulos, C.J.; Mims, C.W. 1979. Introductory Mycology 3rd Edition. John Wiley & Sons.

Ali, A. 2005. Mikrobiologi Dasar Jilid 1. State University of Makassar Press. Makassar

Carlile, M. J., S. C. Watkinson, dan Gooday, G. W. 1994. The Fungi. Academic Press, London

Deacon, J.W. 1997. Modern Micology. Blackwell Science. New York

Fardiaz, S., 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Firmansyah, Riza. 2007. Isolasi, Identifikasi dan Produksi Miselia Rhizopus sp. Berkadar Asam
Nukleat Rendah. Depertemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor.

Ganjar, Indrawati, Wellyzar, Sjamsuridzal dan Arianti Oetari. 2006. Mikologi Dasar dan
Terapan. Yayasan Obor Indonesia Jakarta.

Geiser, D. M., M.A. Klich., J.C. Frisvad., S.W. Peterson., J. Varga, and R.A. Samson. 2007. The
current status of species recognition and identification in Aspergillus. Studies in
Mycology, 59 : 1-10.

Hare, R. 1993. Mikrobiologi dan Imunologi. Yogyakarta: Medica Essentia.

Hidayat, 2007, Peran Media untuk Identifikasi Mikroba Patogen.Penelitian dan Pengembangan.
Jakarta : PT Kalbe Farma.

Koneman, E. M., S. D. Allen., W. M. Janda., P. C. Schreckenberger., and W. C. Winn. 1992.


Color Atlas and Text of Diagnostic Microbiology 4th Edition. United States of America.
J.B. Lippincott Company

Kurtzman, C.P. 2006. New Species and New Combinations In The Yeast Genera Kregervanrija
Gen. Nov., Saturnispora And Candida. FEMS Yeast Research.
Kusmiati.2007. Produksi Dan Penetapan Kadar ß-Glukan Dari Tiga Galur Saccharomyces
Cerevisiae Dalam Media Mengandung Molase. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia :
Hal. 7-16 .
McClenny, N. 2012. Laboratory detection and identification of Aspergillus species by
microscopic observation and culture: the traditional approach dalam Medical
Mycology Supplement 1. 2005, 43, S125_/S128
Novita, Ratih P. dan Yudhana, Aditya. 2017. Isolasi dan Identifikasi aspergillus spp. Pada
Paru-Paru Ayam Kampung yang Dijual di Pasar Banyuwangi. Jurnal Medik
Veteriner Vol. 1 No.1 : 6-11.
Paul Bachi. 2008. Laboratory Images of Rhizopus spp. University of Kentucky Research and
Education Center, Bugwood.org.

Praja, R.N. et al. 2017. Isolasi dan Identifikasi Aspergillus Spp pada Paru-paru Ayam Kampung
yang dijual di Pasar Banyuwangi. Jurnal Medik Veteriner, 1(1) : 6-11.

Puspitasari, D. P. I. 2015. Intensitas Cemaran Jamur pada Biji Jagung Pakan Ternak selaam
Periode Penyimpanan. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, 19(1) : 27-32.

Ratnaningsih. 2000. Identifikasi Kapang Dan Khamir Penyebab Penyakit Manusia Pada Sumber
Air Minum Penduduk Pada Sungai Ciliwung Dan Sumber Air Sekitarnya. Vis Vitalis,
Vol. 02 No. 2, September 2009

Reddy, S. V. And Waliyar. 2008. Properties of Aflatoxin and Its Producing Fungi. Journal
Course on Prevention and Control of Mycotoxin in Food and Feedstuff, Seameo Biotrop.

Salfinger Y., and Tortorello M.L. 2015. Compendium of Methods for the Microbiological
Examination of Foods, 5th Ed., American Public Health Association, Washington, D.C.

Sandven P; Lassen J. 1999. Importance of Selective Media For Recovery Of Yeasts From
Clinical Specimens. Journal of Clinical Microbiology.

Schneiter, R. 2004. Genetics, Molecular and Cell Biology. University of Fribourg: Fribourg.

Tabbu, C.R. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya, Vol 1. Yogyakarta : Kanisius.

Volk, W. A dan Wheeler. 1988. Mikorbiologi Dasar Jilid 1 Edisi 5. Jakarta: Erlangga
Waluyo, L., 2004. Mikrobiologi Umum. UMM Press. Malang.

Anda mungkin juga menyukai