Oleh :
Fathunnisa 180130100011012
Lady Konfidenia Chintari 180130100011017
Garnis Retno S 180130100011043
Yehezkiel Gianka Tampubolon 180130100011053
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................................................. i
DAFTAR ISI............................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................................ 2
1.3 Tujuan .......................................................................................................................... 2
1.4 Manfaat ........................................................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................................. 3
2.1 Fungi ............................................................................................................................ 3
2.2 Kapang (Mold) ............................................................................................................. 4
2.3 Khamir (Yeast) .............................................................................................................. 4
2.4 Media Sabaraud Dextrose Agar (SDA) ........................................................................ 5
BAB III METODOLOGI .......................................................................................................... 6
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Kegiatan ................................................................... 6
3.2 Alat dan Bahan ........................................................................................................... 10
3.3 Metode Kegiatan ......................................................................................................... 10
3.4 Prosedur Kegiatan
3.4.1 Isolasi Jamur (Metode streak) ............................................................................ 10
3.4.2 Isolasi Jamur (Metode tanam) ............................................................................ 11
3.4.3 Identifikasi Jamur ............................................................................................... 11
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAAN .............................................................................. 16
4.1 Hasil ............................................................................................................................ 17
4.2 Pembahasan ............................................................................................................... 17
4.2.1 Saccaromyces sp ................................................................................................ 17
4.2.2 Rhizopus sp ........................................................................................................ 21
4.2.3 Aspergillus niger ................................................................................................ 22
4.2.4 Aspergillus fumigatus ......................................................................................... 22
BAB V PENUTUP ................................................................................................................... 39
5.1 Kesimpulan ................................................................................................................ 39
5.2 Saran .......................................................................................................................... 39
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 40
BAB I PENDAHULUAN
Di negara tropis, kontaminasi mikotoksin sangat sulit untuk dihindari karena kondisi
iklim dengan tingkat kelembaban, curah hujan dan suhu yang tinggi sanagt mendukung
pertumbuhan jamur penghasil mikotoksin. Indonesia beresiko tinggi terhadap ancaman
mikotoksin karena metabolit sekunder jamur ini diproduksi pada kondisi lingkungan yang
lembab (kelembaban optimal di atas 70%) dan suhu optimal 25-32°C dengan kadar air 18%
(Reddy dan Waliyar, 2008). Selain itu, bahan baku dengan kadar air yang terlalu tinggi
sangat potensial untuk ditumbuhi jamur. Mikotoksin akan semakin banyak diproduksi oleh
jamur jika terjadi perubahan suhu, pH dan kelembaban secara mendadak.
Penyakit dapat disebabkan oleh kapang (mikosis) atau oleh metabolit toksin yang
dihasilkan (mikotoksikosis). Kejadian infeksi dimulai dengan adanya cemaran kapang
patogen pada pakan, dilanjutkan dengan infestasi dan invasi kapang pada individu yang
kondisi kesehatan tubuhnya sedang lemah. Penyakit yang dihasilkan oleh kapang akan lebih
mudah dikendalikan dibandingkan dengan penyakit yang disebabkan oleh toksin yang
terinfestasi di dalam tubuh. Pakan yang terinfeksi oleh jamur kontaminan dapat
mempengaruhi kesehatan hewan ternak yang mengkonsumsinya. Bila produk hewan
tersebut dikonsumsi manusia, maka kesehatan manusia tersebut juga akan terganggu akibat
jamur mikotoksin yang terakumulasi (Puspitasari, 2015).
Berdasarkan hal diatas makan perlunya dilakukan pemeriksaan pada pakan ternal
secara mikrobiologi. Sampel yang diambil berupa sisa pakan ternak dari beberapa tempat,
kemduain dilakukan isolagi dan identifikasi. Dengan dilakukannya pengujian mikrobiologi
yang terdapat pada pakan ternak diharapkan dapat diketahui jamur yang dapat menyebabkan
penyakit pada ternak.
1.3. Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah :
1. Untuk mengetahui proses isolasi jamur pada sampel pakan ayam berjamur.
2. Untuk mengetahui proses identifikasi serta ciri morfologi jamur pada sampel pakan ayam
berjamur.
1.4. Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari kegiatan ini adalah :
1. Mahasiswa PPDH mampu mengetahui cara isolasi jamur pada sampel pakan ayam
berjamur.
2. Mahasiswa PPDH mampu mengetahui cara identifikasi serta ciri morfologi jamur pada
sampel pakan ayam berjamur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Fungi
Secara umum, jamur adalah organisme eukariotik yang mempunyai inti dan organel dan
terbagi atas dua, yaitu khamir (yeast) dan kapang (mold). Kapang merupakan jenis jamur
multiseluler yang bersifat aktif karena merupakan organisme saprofit dan mampu memecah
bahan-bahan organik kompleks menjadi bahan yang lebih sederhana sementara khamir
merupakan jenis jamur uniseluler (monoseluler). Beberapa jenis jamur tersusun dari hifa yang
merupakan benang-benang sel panjang, sedangkan kumpulan hifa disebut dengan miselium.
Miselium merupakan massa benang yang cukup besar dibentuk dari hifa yang saling membelit
pada saat jamur tumbuh. Jamur mudah dikenal dengan melihat warna miseliumnya. Jamur
merupakan salah satu penyebab infeksi pada penyakit terutama di negara-negara tropis. Penyakit
kulit akibat jamur merupakan penyakit kulit yang sering muncul di tengah masyarakat Indonesia.
Iklim tropis dengan kelembaban udara yang tinggi di Indonesia sangat mendukung pertumbuhan
jamur. Banyaknya infeksi jamur juga didukung oleh masih banyaknya masyarakat Indonesia
yang berada di bawah garis kemiskinan sehingga masalah kebersihan lingkungan, sanitasi dan
pola hidup sehat kurang menjadi perhatian dalam kehidupan seharihari masyarakat Indonesia
(Hare, 1993)
Bagian penting tubuh jamur adalah suatu struktur berbentuk tabung menyerupai seuntai
benang panjang, ada yang tidak bersekat dan ada yang bersekat yang disebut dengan hifa. Hifa
dapat tumbuh bercabang-cabang sehingga membentuk jaring-jaring, bentuk ini dinamakan
miselium. Pada satu koloni jamur ada hifa yang menjalar dan ada hifa yang menegak. Biasanya
hifa yang menegak ini menghasilkan alat-alat pembiak yang disebut spora, sedangkan hifa yang
menjalar berfungsi untuk menyerap nutrien dari substrat dan menyangga alat-alat reproduksi.
Hifa yang menjalar disebut hifa vegetatif dan hifa yang tegak disebut hifa fertil. Pertumbuhan
hifa berlangsung terus-menerus di bagian apikal, sehingga panjangnya tidak dapat ditentukan
secara pasti. Diameter hifa umumnya berkisar 3-30 μm. Jenis jamur yang berbeda memiliki
diameter hifa yang berbeda pula dan ukuran diameter itu dapat dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan (Carlile and Watkinson, 1994).
Jamur pada dasarnya bersifat heterotrof yaitu organisme yang dapat menyerap zat
organik dari lingkungan melalui hifa dan miselium untuk memperoleh makanannya, dan
kemudian menyimpannya dalam bentuk glikogen. Semua zat seperti karbohidrat, protein,
vitamin, dan senyawa kimia lainnya diperoleh dari lingkungannya. Jamur dapat bersifat parasit
obligat, parasit fakultatif, dan saprofit (Deacon, 1997).
METODOLOGI
4.1 Hasil
Sampel pakan yang sudah dikoleksi ditanam pada media Sabaraud Dextrose Agar (SDA)
untuk melihat ada tidaknya pertumbuhan jamur. Setelah dilakukan inokulasi dan isolasi selama 3
hari, didapatkan hasil pada sampel pakan yang diamati secara makroskopis dan mikroskopis
dengan pembesaran 400x.
A B C
Gambar 4.1 Hasil biakan jamur dari sampel pakan (A) Gambaran makroskopis kapang
(Saccharomyces sp) dengan perbesaran 400x (B) Koloni Saccharomyces sp 100x.
(C) Gambaran mikroskopis Saccharomyces sp pada media Sabouraud Dextrose
Agar (Dokumentasi pribadi, 2019).
A B C
Gambar 4.2 Hasil biakan jamur dari sampel pakan (A) Mikroskopis kapang (Rhizopus sp)
beserta rhizoid pada media SDA dengan pewarnaan LPCB pada perbesaran 400x
(B) Sporangium, sporangiophore beserta spora dari Rhizopus sp pada perbesaran
mikroskop 400x (C) Penampakan makroskopis Rhizopus sp pada media
Sabouraud Dextrose Agar (Dokumentasi pribadi, 2019).
A B
Gambar 4.3 (A) Sporangium dari Rhizopus sp yang telah melepaskan spora aseksual menurut
literatur. (B) Sporangiophore, sporangium beserta rhizoid dari Rhizopus sp (Paul
Bachi, 2008).
A B C
Gambar 4.4 Hasil biakan jamur dari sampel pakan (A) Makroskopis pertumbuhan jamur pada
media Sabaraud Dextrous Agar (B) Mikroskopis kapang (Aspergilus niger) pada
media SDA dengan pewarnaan LPCB perbesaran 400x (C) Mikroskopis kapang
(Aspergilus niger) pada media SDA dengan pewarnaan LPCB perbesaran 100x
(Dokumentasi pribadi, 2019).
A B
Gambar 4.5 Hasil biakan jamur dari sampel pakan (A) Makroskopis pertumbuhan jamur pada
media Sabaraud Dextrous Agar (B) Mikroskopis kapang (Aspergillus fumigatus)
pada media SDA dengan pewarnaan LPCB perbesaran 400x (Dokumentasi
pribadi, 2019).
Gambar 4.6 Kepala konidia dari Aspergillus fumigatus (Geiser, et al., 2007).
4.2 Pembahasan
4.2.1 Saccharomyces sp
Saccharomyces berasal dari bahasa Latin Yunani yang berarti “gula jamur” sedangkan
cerevisiae berasal dari bahasa Latin yang berarti bir. Saccharomyces cerevisiae merupakan jenis
khamir yang mempunyai sel tunggal. Sel khamir terdiri dari dari kapsul, dinding sel, membrane
sitoplasma, nucleus, vakuola, globula lipid dan mitokondria (Fardiaz, 1992). Susunan dinding sel
Saccharomyces cerevisiae (S. cerevisiae) terdiri dari protein yang terikat dengan gula sebagai
glikoprotein dan manoprotein, serta mengandung manan, kitin dan polisakarida jenis β-1,3-
glukan dan β-1,6-glukan yang berfungsi memperkuat struktur sel dan sebagai cadangan makanan
(Kusmiati, 2007). Bentuk dari khamir ini oval (bulat telur) dengan ukuran sekitar 1-5μm atau 20-
25μm dengan lebar sekitar 1-10μm. Koloninya berbentuk rata, lembab, mengkilap dan halus
(Fardiaz, 1992)
Saccharomyces spp. tumbuh secara menggerombol, tidak berflagel dan dapat melepaskan
CO2 dengan cepat, menyebabkan sel terapung pada permukaan. Koloni yeast ini berwarna putih
kekuningan, mempunyai bentuk tepi yang circular dan permukaannya mengkilat (surface
glistening). Sel Saccharomyces berbentuk bundar (sperical), adakalanya berbentuj ellipsoidal
(lonjong, memanjang) sampai cylindrical, dan menghasilkan pseudomiselium. Berkembangbiak
secara vegetatif dengan cara pertunasan multilateral (budding). Konjugasi isogam atau
heterogam dapat mendahului atau dapat terjadi setelah pembentukan askus. Dapat berbentuk
tonjolan. Setiap askus mengandung 1-4 spora dengan berbagai bentuk (Pelczar, 1988).
Gambar 4.2.8 Sel Saccharomyces spp. (1) Sel Saccharomyces (2) Pembentukan tunas (budding).
Siklus hidup S. cerevisiae dengan mitotically (pembelahan sel) dan menyebar (propagasi)
dalam bentuk haploid dari dua jenis perkawinan yang berbeda, dan bentuk diploid yang dapat
tumbuh baik secara vegetatif atau diinduksi menjadi jalur perkembangan meiosis melalui
manipulasi kondisi nutrisi medium pertumbuhan. Jalur selular seperti proses mitosis proliferasi,
sel yang mengatur pengenalan (recognition) dan perkawinan (mating), meiosis dan sporulasi
telah dipelajari secara ekstensif pada tingkat molekuler, dan dipahami secara umum baik.
Pertumbuhan mitosis sel S. cerevisiae melibatkan pembelahan (budding) (lihat Gambar 4.2).
Selama proses pertumbuhan ini sel diarahkan ke lokasi tertentu di permukaan sel induk, dan sel
baru terbentuk agak seperti meledakkan balon melalui lubang di sel induk. Hal ini melibatkan
pertumbuhan yang sangat terpolarisasi dari mengembangkan sel anak, yang melibatkan baik
aktin dan mikrotubulus berbasis jaringan cytoskeletal, dan erat dikoordinasikan dengan siklus
sel. koordinasi ini memastikan bahwa sel anak menerima salinan lengkap dari bahan genetik.
Kedua sel haploid dan diploid membagi pada proses awal, meskipun ada perbedaan halus dalam
pilihan situs pembelahan munculnya antara haploid dan diploid. Selain itu, beberapa sel diploid
juga dapat memodifikasi koordinasi dari siklus sel dan pertumbuhan terpolarisasi untuk beralih
ke pseudo hyphal (menyerupai hifa) sebuah modus pertumbuhan. Dalam pola pertumbuhan ini
sel-sel individual yang lebih memanjang, dan pola pembelahan mengarah pada pembentukan
rantai sel lebih kompak dari pada karakteristik koloni awal. Analisis genetik sangat berkembang
pada S. cerevisiae. Ketika secara vegetatif tumbuh sel haploid dari jenis kawin berlawanan
dibawa lebih dekat, mereka berkomunikasi satu sama lain dengan feromon diffusible,
sinkronisasi siklus sel mereka, konjugat dan kemudian inti mereka melebur yang
memperlihatkan tidak adanya proses perkawinan. Diploid ini dapat dikenali secara visual dalam
bentuk zigot awal mereka, dan dipisahkan dari haploid oleh mikromanipulasi, atau diidentifikasi
secara selektif karena mengandung pola sifat genetik yang tidak dimiliki oleh salah satu haploid
induk (Kavanagh, 2005).
4.2.2 Rhizopus sp
Jamur Rhizopus sp adalah salah satu jenis fungi yang termasuk dalam filum Zygomiycota,
dan ordo Mucorales. Ciri khas jamur ini yaitu ia mempunyai hifa yang membentuk rhizoid yang
menempel ke substrat. Adapun ciri lain dari jamur ini yaitu mempunyai hifa yang ceonositik,
oleh karena itu jamur ini termasuk jamur yang tidak bersekat (hifa nonsepta). Miselium dari
jamur Rhizopus sp ini menyebar diatas substratnya karena hifa dari jamur ini bersifat vegetative.
Jamur Rhizopus sp bereproduksi dengan cara aseksual dan memproduksi sporangiophore
bertangkai. Sporangiophorenya dipisah dari satu hifa dengan hifa yang lainya oleh sebuah
dinding seperti septa. Salah satu spesies dari fungi ini yalah jamur Rhizopus stolonifer yang
ditemukan pada roti yang sudah basi (Firmansyah, 2007)
Menurut Alexopoulos dan Mims (1979), taksonomi dari Rhizopus sp adalah sebagai
berikut:
Kingdom : Mycetae
Division : Amastigomycota
Subdivision : Zygomycotina
Class : Zygomycetes
Order : Mucorales
Famili : Mucoraceae
Genus : Rhizopus
Genus Rhizopus memiliki beberapa spesies yang sering ditemukan dan berperan penting
dalam fermentasi makanan dan pembusukan makanan, diantaranya (Koneman, et al, 1992;
Firmansyah, 2007):
1. Rhizopus stolonifer, jamur ini juga biasanya disebut sebagai jamur kapang hitam roti, karena
spora yang dibentuknya berwarna hitam dan sering tumbuh pada roti
2. Rhizopus oryzae, jamur ini banyak di temukan didaerah yang beriklim tropis dan subtropis.
Jamur ini juga dapat diisolasi dari tanahdan erdapat juga pada kacang tanah, biji-bijian, serta
pada air yang terpolusi dan pada buah dan sayur yang sudah membusuk.
3. Rhizopus oligosporus, spesies fungi ini seringkali ditemukan pada tempe dan juga dapa
digunakan untuk memfermentasi kedelai.
4. Rhizopus nigrican, spesies ini dapat menyebabkan kerusakan pada pangan, roti, sayur-
sayuran, dan buah-buahan.
Rhizopus sp memiliki koloni yang berwarna keputihan yang lama-kelamaan akan terlihat
menjadi abu- abu kecoklatan hingga coklat kekuningan atau hitam pada pemeriksaan
makroskopis. Rhizoid dari jamur ini berwarna coklat, bercabang dan berlawanan arah dengan
sporangiophore. Sporangiophore dapat berbentuk satu ataupun berkelompok dan kadang-kadang
berbentuk menyerupai garpu, dindingnya berduri, berwarna coklat gelap hingga berwarna coklat
kehitaman dengan diameter 50-200µm. Kolumela dapat mencapai tinggi kurang lebih 10 mm.
Stolonnya berdinding halus atau agak kasar dan hampir tidak berwarna, sporangiospora dari
jamur ini dapat berbentuk bulat atau tidak, biasanya berbentuk poligonal, terdapat garis pada
permukannya dan mempunyai panjang sekitar 4-10 µm. Khlamidiospora dari jamur ini
berbentuk bulat, dengan diameter 10-35 µm atau berbentuk elips dan berukuran (8-130)x(16-24)
µm. Spesies ini dapat tumbuh pada suhu optimum yaitu 350C dengan suhu minimum 5-70C dan
suhu maksimum pertumbuhannya yaitu 35-440C (Ganjar, et al, 2006).
Aspergillus niger merupakan salah satu spesies yang paling umum dan mudah
diidentifikasi dari marga Aspergillus. Aspergillus niger dapat tumbuh pada suhu 35ºC - 37ºC
(optimum), 6ºC - 8ºC (minimum), 45ºC- 47ºC (maksimum) dan memerlukan oksigen yang cukup
(aerobik) Aspergillus niger dalam pertumbuhannya berhubungan langsung dengan zat makanan
yang terdapat dalam substrat, molekul sederhana yang terdapat di sekeliling hifa dapat langsung
diserap sedangkan molekul yang lebih kompleks harus dipecah dahulu sebelum diserap ke dalam
sel, dengan menghasilkan beberapa enzim ekstraseluler. Bahan organik dari substrat digunakan
oleh Aspergillus niger untuk aktivitas transport molekul, pemeliharaan struktur sel dan mobilitas
sel. Carlile dan Watkinson (2012) menyebutkan bahwa Aspergillus niger bersifat toleran
terhadap aktivitas air rendah, mampu tumbuh pada substrat dengan potensial osmotik cukup
tinggi dan sporulasipada kelembaban relatif rendah (Hidayat,2007).
Aspergillus merupakan jamur jenis kapang atau mold, jamur ini sering ditemukan pada
bahan pakan dan juga bahan-bahan lainnya yang disimpan di dalam gudang dengan tingkat
kelembaban yang tinggi, selain itu suhu yang optimal dan kondisi aerob juga dapat mendukung
pertumbuhan jamur. Aspergillus mudah tumbuh pada bahan-bahan organik atau produk hasil
pertanian dan memiliki spora yang berukuran sangat kecil dan ringan sehingga spora jamur
mudah menyebar di udara hingga ke area peternakan. Lebih spesifik lagi, Aspergillus mampu
hidup pada media dengan derajat keasaman dan kandungan gula yang tinggi. Salah satu spesies
dari Aspergillus, yaitu Aspergillus fumigatus mrupakan penyebab utama timbulnya penyakit
saluran pernapasan, radang granulomatosis pada selaput lender, mata, telinga, kulit, meningen,
bronchus dan paru-paru pada unggas. Penyakit yang paling sering ditimbulkan akibat infeksi dari
jamur Aspergillus, yaitu dikenal dengan sebutan aspergillosis (Praja et al,. 2017).
Menurut Praja et al (2017), berdasarkan sifatnya Aspergillus dibagi menjadi dua
diantaranya: yang bersifat parasit dan saprofit. Aspergillus yang bersifat parasit akan
menimbulkan penyakit aspergilosis pada unggas, karena jamur ini dapat menghasilkan zat racun
yakni aflatoksin. Aspergillus yang bersifat saprofit akan hidup dengan cara menumpang pada
makhluk hidup lainnya. Secara makroskopis, koloni Aspergillus fumigatus yang sedang
bersporulasi berwarna biru kehijau-hijauan dan sering mengkontaminasi pakan ternal, litter,
tempat pakan dan minum (Tabbu, 2002).
Jamur yang berhasil tumbuh dari hasil inokulasi dengan menggunakan sampel pakan
ayam yang ditanam pada media Sabaraud Dextrous Agar (SDA), selanjutnya identifikasi secara
makroskopis dan mikroskopis dengan perbesaran 400x untuk mengetahui ada tidaknya
pertumbuhan jamur. Secara makroskopis ditemukan adanya pertumbuhan koloni jamur berwarna
hijau kekuningan, sedangkan secara mikroskopis dapat diamati adanya jamur berjenis kapang
yang dilengkapi dengan spora terbuka, berbentuk rantai, memiliki hifa bersepta dan tidak
memiliki rhizoid. Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan melalui pengamatan secara
makroskopis dan mikroskopis dapat diketahui bahwa karakteristik koloni jamur yang tumbuh
mengarah ke Aspergillus fumigatus.
Secara mikroskopis Aspergillus fumigatus dilengkapi dengan conidiophores yang
panjang dan kepala (vesicle) yang besar. Ampergillus fumigatus dapat tumbuh pada suhu 37℃,
sedangkan pada rumput kering dapat tumbuh pada suhu di atas 50℃. Menurut McClenny (2012),
Aspergillus fumigatus memiliki hifa selebar 2,5-8µm yang bentuknya sedikit menyerupai hifa
kelompok zygomycetes, bersepta, hyaline, dan bercabang seperti kipas. Aspergillus fimigatus
mempunyai suatu haploid genom yang stabil pada siklus hidupnya dengan tanpa mengalami
siklus seksual sehingga jamur ini bereproduksi dengan cara membentuk conidiospores yang akan
dilepaskan dan disebar melalui udara ke lingkungan sekitar. Conidiospores yang ada
dilingkungan dapat mencemari pakan ternak, telur, atau masuk ke dalam tubuh unggas melalui
inhalasi spora dan menimbulkan Aspergillosis. Unggas yang terinfeksi Aspergillus menunjukkan
gelaja seperti kesulitan bernapas, peningkatan laju pernapasan, mencret, napsu makan menurun,
pucat, kurus, dan memperlambat pertumbuhan unggas (Praja et al,. 2017).
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil yang didapatkan dari inokulasi sampel pakan ayam yang ditanamkan
pada media Sabaraud Dextrose Agar (SDA), dapat diketahui bahwa jamur yang dapat
diidentifikasi dan mencemari sampel pakan ayam diantaranya: Saccaromyces sp yang tumbuh
pada inkubator, Rhizopus sp, Aspergillus niger, dan Aspergillus fumigatus pada suhu ruang.
Pertumbuhan jamur dapat diamati setelah 3 hari pasca inokulasi, selanjutnya pengamatan secara
mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Lacto Phenol Cotton Blue (LPCB).
5.2 Saran
Sebaiknya mahasiswa mampu mengidentifikasi spesies jamur agar pengobatan yang akan
diberikan sesuai dan bekerja secara maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Adeniran, L.A., Makun, H.A and Muhammad, H.L. 2013. Survey of Mycotoxigenic Fungi in
Concentrated Poultry Feed in Niger State, Nigeria. Journal of Food Research; Vol. 2
(2) 128-135.
Alexopoulos, C.J.; Mims, C.W. 1979. Introductory Mycology 3rd Edition. John Wiley & Sons.
Ali, A. 2005. Mikrobiologi Dasar Jilid 1. State University of Makassar Press. Makassar
Carlile, M. J., S. C. Watkinson, dan Gooday, G. W. 1994. The Fungi. Academic Press, London
Firmansyah, Riza. 2007. Isolasi, Identifikasi dan Produksi Miselia Rhizopus sp. Berkadar Asam
Nukleat Rendah. Depertemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor.
Ganjar, Indrawati, Wellyzar, Sjamsuridzal dan Arianti Oetari. 2006. Mikologi Dasar dan
Terapan. Yayasan Obor Indonesia Jakarta.
Geiser, D. M., M.A. Klich., J.C. Frisvad., S.W. Peterson., J. Varga, and R.A. Samson. 2007. The
current status of species recognition and identification in Aspergillus. Studies in
Mycology, 59 : 1-10.
Hidayat, 2007, Peran Media untuk Identifikasi Mikroba Patogen.Penelitian dan Pengembangan.
Jakarta : PT Kalbe Farma.
Kurtzman, C.P. 2006. New Species and New Combinations In The Yeast Genera Kregervanrija
Gen. Nov., Saturnispora And Candida. FEMS Yeast Research.
Kusmiati.2007. Produksi Dan Penetapan Kadar ß-Glukan Dari Tiga Galur Saccharomyces
Cerevisiae Dalam Media Mengandung Molase. Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia :
Hal. 7-16 .
McClenny, N. 2012. Laboratory detection and identification of Aspergillus species by
microscopic observation and culture: the traditional approach dalam Medical
Mycology Supplement 1. 2005, 43, S125_/S128
Novita, Ratih P. dan Yudhana, Aditya. 2017. Isolasi dan Identifikasi aspergillus spp. Pada
Paru-Paru Ayam Kampung yang Dijual di Pasar Banyuwangi. Jurnal Medik
Veteriner Vol. 1 No.1 : 6-11.
Paul Bachi. 2008. Laboratory Images of Rhizopus spp. University of Kentucky Research and
Education Center, Bugwood.org.
Praja, R.N. et al. 2017. Isolasi dan Identifikasi Aspergillus Spp pada Paru-paru Ayam Kampung
yang dijual di Pasar Banyuwangi. Jurnal Medik Veteriner, 1(1) : 6-11.
Puspitasari, D. P. I. 2015. Intensitas Cemaran Jamur pada Biji Jagung Pakan Ternak selaam
Periode Penyimpanan. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia, 19(1) : 27-32.
Ratnaningsih. 2000. Identifikasi Kapang Dan Khamir Penyebab Penyakit Manusia Pada Sumber
Air Minum Penduduk Pada Sungai Ciliwung Dan Sumber Air Sekitarnya. Vis Vitalis,
Vol. 02 No. 2, September 2009
Reddy, S. V. And Waliyar. 2008. Properties of Aflatoxin and Its Producing Fungi. Journal
Course on Prevention and Control of Mycotoxin in Food and Feedstuff, Seameo Biotrop.
Salfinger Y., and Tortorello M.L. 2015. Compendium of Methods for the Microbiological
Examination of Foods, 5th Ed., American Public Health Association, Washington, D.C.
Sandven P; Lassen J. 1999. Importance of Selective Media For Recovery Of Yeasts From
Clinical Specimens. Journal of Clinical Microbiology.
Schneiter, R. 2004. Genetics, Molecular and Cell Biology. University of Fribourg: Fribourg.
Tabbu, C.R. 2002. Penyakit Ayam dan Penanggulangannya, Vol 1. Yogyakarta : Kanisius.
Volk, W. A dan Wheeler. 1988. Mikorbiologi Dasar Jilid 1 Edisi 5. Jakarta: Erlangga
Waluyo, L., 2004. Mikrobiologi Umum. UMM Press. Malang.