Anda di halaman 1dari 37

TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK DAN PSIKOFARMAKA

MAKALAH

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Gerontik


Dosen Pengajar : Ermawati Dalami, S.Kp,M.Kes

Disusun Oleh :

KELOMPOK 9

Iftakhu Rahmawati P27901117057


Mulkan Habil P27901117068
Shinta Rizki Wulandari P27901117077
Winda Aulia Rahma Safira P27901117086

TINGKAT 3B/ SEMESTER 5

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN BANTEN


JURUSAN KEPERAWATAN TANGERANG
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah,
Taufik dan Hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah Keperawatan
Jiwa dengan judul “TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK DAN PSIKOFARMAKA ” dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai
salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam menuntut ilmu. Kami
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibu Ermawati Dalami, S.Kp,M.Kes., selaku Dosen Mata Kuliah Keperawatan Jiwa.
2. Teman-teman yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Harapan kami semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, sehingga kami dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga ke
depannya dapat lebih baik. Makalah ini kami akui masih banyak kekurangan karena pengalaman
yang kami miliki sangat kurang.Oleh kerena itu, kami harapkan kepada para pembaca untuk
memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.

Tangerang, 20 Juli 2019

Kelompok 9

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan ............................................................................. 2
BAB II LANDASAN TEORI ..................................................................... 3
2.1 Definisi Terapi Aktivitas Kelompok ................................................. 3
2.2 Tujuan Terapi Aktifitas Kelompok (TAK) ....................................... 3
2.3 Indikasi dan Kontra Indikasi Terapi Aktifitas Kelompok (TAK) ..... 4
2.4 Komponen Kelompok ....................................................................... 4
2.5 Proses Terapi Aktifitas Kelompok .................................................... 5
2.6 Perkembangan Kelompok ................................................................. 6
2.7 Macam Terapi Aktifitas Kelompok .................................................. 8
2.8 Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok ................................................ 10
2.9 Kerangka Teoritis Terapi Aktivitas Kelompok ................................. 10
2.10 Faktor yang Mempengaruhi TAK ................................................... 12
2.11 Peran Perawat Dalam Terapi Aktivitas Kelompok ......................... 12
2.12 Pengertian Psikofarmaka................................................................. 14
2.13 Klasifikasi Psikofarmaka ................................................................ 15
2.14 Peran Perawat Dalam Pemberian Psikofarmaka ............................. 20
BAB III GAMBARAN KASUS ................................................................. 24
BAB IV PENUTUP ...................................................................................... 32
4.1 Kesimpulan ...................................................................................... 32
4.2 Saran ................................................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. iii

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia sebagai mahkluk sosial yang hidup berkelompok dimana satu dengan
yang lainnya saling behubungan untuk memenuhi kebutuhan sosial. Kebutuhan sosial
yang dimaksud antara lain : rasa menjadi milik orang lain atau keluarga, kebutuhan
pengakuan orang lain, kebutuhan penghargaan orang lain dan kebutuhan pernyataan
diri.
Secara alamiah individu selalu berada dalam kelompok, sebagai contoh
individu berada dalam satu keluarga. Dengan demikian pada dasarnya individu
memerlukan hubungan timbal balik, hal ini bisa melalui kelompok.
Penggunaan kelompok dalam praktek keperawatan jiwa memberikan dampak
positif dalam upaya pencegahan, pengobatan atau terapi serta pemulihan kesehatan
seseorang. Meningkatnya penggunaan kelompok terapeutik, modalitas merupakan
bagian dan memberikan hasil yang positif terhadap perubahan perilaku pasien atau
klien, dan meningkatkan perilaku adaptif dan mengurangi perilaku maladaptif.
Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh individu atau klien melalui terapi
aktifitas kelompok meliputi dukungan (support), pendidikan meningkatkan
pemecahan masalah, meningkatkan hubungan interpersonal dan juga meningkatkan
uji realitas (reality testing) pada klien dengan gangguan orientasi realitas (Birckhead,
1989).
Terapi aktifitas kelompok sering digunakan dalam praktek kesehatan jiwa,
bahkan dewasa ini terapi aktifitas kelompok merupakan hal yang penting dari
ketrampilan terapeutik dalam keperawatan. Terapi kelompok telah diterima profesi
kesehatan. Latar Belakang Skizofrenia dapat merupakan penyakit yang ditentukan
secara genetik, tetapi juga terdapat bukti yang menunjukkan kejadian intra uteri dan
komplikasi obstetrik. Obat neuroleptik banyak mengedalikan banyak gejala
skizofrenia. Obat tersebut mempunyai sebagian besar efek pada gejala positif seperti
halusinasi dan waham. Gejala negati f seperti menarik diri dari lingkungan sosial dan
apatis emosional kurang dipengaruhi oleh obat neuroleptik. (Profitasari, 2010) Obat
neuroleptik membtuhkan waktu beberapa minggu untuk mengendalikan gejala
skizofren dan sebagian pasien akan membutuhkan pengobatan rumatan selama
bertahun-tahun. Relaps sering terjadi bahkan pada pasien yang dipertahankan dengan
obat dan lebih dari dua pertiganya mengalami relaps dalam satu tahun bila
menghentikan terapi. Sayangnya, neuroleptik juga memblok reseptor dopamin pada

1
gnaglia basalis dan sering juga menyebabkan gangguan pergerakan (efek ekstra
piramidal) yang menyebabkan stres dan kecacatan. (Mansjoer, 2000) Berbagai agen
farmakologis yang digunakan untuk menerapi berbagai gangguan psikiatrik disebut
dengan tiga istilah umumyang dapat saling menggantikan: obat psikotropik, obat
psikoaktif, dan obat psikoterapuetik. Dahulu agen tersebut dibagi dalam empat
kategori : 1.Obat antipsikotik atau neuroleptik, digunakan untuk menerapi psikosis.
2.Obat anti depresan, digunakan untuk menerapi depresi.3.Obat anti manik dan
penstabil mood, digunakan untuk menerapi gangguan bipolar. 4.Obat anti ansietas
dan anti ansiolitik, digunakan untuk menerapi keadaan ansietas. Meskipun demikian,
sekarang ini pembagian tersebut kurang sah disebabkan berbagai alasan yang
mendasari. Sedangkan pendapat lain mengemukakan klasifikasi obat psikotropika
yang baru. Berikut tabel yang menunjukkan klasifikasi obat psikofarmaka dengan
istilah dan obat acuan yang dipakai : Golongan Sinonim Obat acuan Antipsikosis
Neuroleptika, Major Tranquillizer, Ataractics Chlorpromazine Antidepresan
Thymoleptics,Psychic energizersAmitriptyline Anti manik Mood modulator, mood
stabilizer, Antimanics Lithium Carbonate Anti ansietas Psycholeptics, Minor
Tranquillizer, Anxyolitic Diazepam/ Chlordiazepoxide Anti insomnia Hypnotics,
Somnifacient, Hipnotika Phenobarbital Anti obsesif konvulsif Drugs used in
Obsesivecompulsive Disorder Chlomipramin Anti panik Drugs used in Panic
Imipraminedisorder (Andri, 2009)

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dmaksud dengan Terapi Aktivitas Kelompok?
2. Apakah Tujuan Terapi Aktifitas Kelompok (TAK)?
3. Apakah Indikasi dan Kontra Indikasi Terapi Aktifitas Kelompok (TAK)?
4. Apa saja yang termasuk Komponen Kelompok?
5. Bagaimanakah Proses Terapi Aktifitas Kelompok?
6. Bagaimana fase Perkembangan Kelompok?
7. Apa saja Macam Terapi Aktifitas Kelompok?
8. Apakah Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok?
9. Bagaimana Kerangka Teoritis Terapi Aktivitas Kelompok?
10. Apa saja Faktor yang Mempengaruhi TAK?
11. Bagaimanakah Peran Perawat Dalam Terapi Aktivitas Kelompok?
12. Apa yang dimaksud dengan Psikofarmaka?
13. Apa saja Klasifikasi Psikofarmaka?
14. Bagaimanakah Peran Perawat Dalam Pemberian Psikofarmaka?
2
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui Definisi Terapi Aktivitas Kelompok
2. Untuk mengetahui Tujuan Terapi Aktifitas Kelompok (TAK)
3. Untuk mengetahui Indikasi dan Kontra Indikasi Terapi Aktifitas Kelompok
(TAK)
4. Untuk mengetahui Komponen Kelompok
5. Untuk mengetahui Proses Terapi Aktifitas Kelompok
6. Untuk mengetahui Perkembangan Kelompok
7. Untuk mengetahui Macam Terapi Aktifitas Kelompok
8. Untuk mengetahui Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok
9. Untuk mengetahui Kerangka Teoritis Terapi Aktivitas Kelompok
10. Untuk mengetahui Faktor yang Mempengaruhi TAK
11. Untuk mengetahui Peran Perawat Dalam Terapi Aktivitas Kelompok
12. Untuk mengetahui Pengertian Psikofarmaka
13. Untuk mengetahui Klasifikasi Psikofarmaka
14. Untuk mengetahui Peran Perawat Dalam Pemberian Psikofarmaka

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi Terapi Aktivitas Kelompok


Terapi aktivitas kelompok merupakan bagian dari terapi modalitas dalam asuhan
keperawatan khususnya dalam memberikan tindakan keperawatan jiwa, terapi aktivitas
kelompok merupakan salah satu terapi yang dilakukan oleh perawat kepada sekelompok
klien yang memiiliki masalah keperawatan jiwa yang sama. Aktivitas digunakan sebagai
terapi dan kelompok sebagai target asuhan. Kelompok adalah kumpulan yang memilki
hubungan satu dengan yang lain, saling bergantung, dan mempunyai norma yang sama
(Stuart dalam Kelitat, 2009).
Terapi Kelompok adalah psikoterapi yang dilakukan pada sekelompok klien bersama-
sama dengan jalan berdiskusi satu sama lain dipimpin oleh seorang terapis atau petugas
kesehatan jiwa yang terlatih. (Direktorat Kesehatan Jiwa)
Terapi aktivitas kelompok : Stimulasi sensori adalah upaya untuk menstimulasi
semua pancaindera (sensoori) agar memberi respon yang adekuat (Keliat, 2009)
Terapi aktivitas kelompok: stimulasi sensori merupakan aktivitas yang digunakan
untuk memberikan stimulasi pada sensori klien, kemuadian diobservasi reaksi sensori
klien berupa ekspresi emosi atau perasaan melalui gerakan tubuh, ekspresi muka,
ucapan.Terapi aktivitas kelompok untuk menstimulasi sensori pada penderita yang
mengalami kemunduran fungsi sensoris.Tekhnik yang digunakan meliputi fasilitas
penggunaan pancaindera dan kemampuan mengekpresikan stimulus baik dari internal
maupun eksternal (Purwaningsih, 2009).
Terapi aktivitas kelompok merupakan salah satu terapi modalitas yang dilakukan
perawat kepada sekelompok klien yang mempunyai masalah keperawatan yang sama.
Aktivitas digunakan sebagi terapi, dan kelompok digunakan sebagai target asuhan
(Kelliat,2005)

2.2 Tujuan Terapi Aktifitas Kelompok (TAK)


Depkes RI (1997) mengemukakan tujuan terapi aktivitas kelompok secara rinci sebagai
berikut:
2.2.1 Tujuan Umum
a. Meningkatkan kemampuan menguji kenyataan yaitu memperoleh pemahaman
dan cara membedakan sesuatu yang nyata dan khayalan.

4
b. Meningkatkan sosialisasi dengan memberikan kesempatan untuk berkumpul,
berkomunikasi dengan orang lain, saling memperhatikan memberikan
tanggapan terhadap pandapat maupun perasaan ortang lain.
c. Meningkatkan kesadaran hubungan antar reaksi emosional diri sendiri dengan
prilaku defensif yaitu suatu cara untuk menghindarkan diri dari rasa tidak
enak karena merasa diri tidak berharga atau ditolak.
d. Membangkitkan motivasi bagi kemajuan fungsi-fungsi psikologis seperti
fungsi kognitif dan afektif.
2.2.2 Tujuan Khusus
a. Meningkatkan identifikasi diri, dimana setiap orang mempunyai identifikasi
diri tentang mengenal dirinya di dalam lingkungannya.
b. Penyaluran emosi, merupakan suatu kesempatan yang sangat dibutuhkan oleh
seseorang untuk menjaga kesehatan mentalnya. Di dalam kelompok akan ada
waktu bagi anggotanya untuk menyalurkan emosinya untuk didengar dan
dimengerti oleh anggota kelompok lainnya.
c. Meningkatkan keterampilan hubungan sosial untuk kehidupan sehari-hari,
terdapat kesempatan bagi anggota kelompok untuk saling berkomunikasi yang
memungkinkan peningkatan hubungan sosial dalam kesehariannya.

2.3 Indikasi dan Kontra Indikasi Terapi Aktifitas Kelompok (TAK)


Adapun indikasi dan kontra indikasi terapi aktivitas kelompok (Depkes RI (1997) adalah:
1. Semua klien terutama klien rehabilitasi perlu memperoleh terapi aktifitas
kelompok kecuali mereka yang : psikopat dan sosiopat, selalu diam dan autistic,
delusi tak terkontrol, mudah bosan.
2. Ada berbagai persyaratan bagi klien untuk bisa mengikuti terapi aktifitas
kelompok antara lain : sudah ada observasi dan diagnosis yang jelas, sudah tidak
terlalu gelisah, agresif dan inkoheren dan wahamnya tidak terlalu berat, sehingga
bisa kooperatif dan tidak mengganggu terapi aktifitas kelompok.
3. Untuk pelaksanaan terapi aktifitas kelompok di rumah sakit jiwa di upayakan
pertimbangan tertentu seperti : tidak terlalu ketat dalam tehnik terapi, diagnosis
klien dapat bersifat heterogen, tingkat kemampuan berpikir dan pemahaman
relatif setara, sebisa mungkin pengelompokan berdasarkan problem yang sama.

2.4 Komponen Kelompok


Kelompok terdiri dari delapan aspek, sebagai berikut (Kelliat, 2005) :
1. Struktur kelompok.
5
Struktur kelompok menjelaskan batasan, komunikasi, proses pengambilan
keputusan dan hubungan otoritas dalam kelompok. Struktur kelompok menjaga
stabilitas dan membantu pengaturan pola perilaku dan interaksi. Struktur dalam
kelompok diatur dengan adanya pemimpin dan anggota, arah komunikasi dipandu
oleh pemimpin, sedangkan keputusan diambil secara bersama.
2. Besar kelompok.
Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya
berkisar antara 5-12 orang. Jika angota kelompok terlalu besar akibbatnya tidak
semua anggota mendapat kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat, dan
pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi
yang terjadi (Kelliat, 2005).
3. Lamanya sesi.
Waktu optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit bagi fungsi kelompok yang
rendah dan 60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi. Banyaknya sesi
bergantung pada tujuan kelompok, dapat satu kali/dua kali perminggu, atau dapat
direncanakan sesuai dengan kebutuhan (Kelliat, 2005).

2.5 Proses Terapi Aktifitas Kelompok


Proses terapi aktifitas kelompok pada dasarnya lebih kompleks dari pada terapi
individual, oleh karena itu untuk memimpinnya memerlukan pengalaman dalam
psikoterapi individual. Dalam kelompok terapis akan kehilangan sebagian otoritasnya
dan menyerahkan kepada kelompok.
Terapis sebaiknya mengawali dengan mengusahakan terciptanya suasana yang
tingkat kecemasannya sesuai, sehingga klien terdorong untuik membuka diri dan tidak
menimbulkan atau mengembalikan mekanisme pertahanan diri. Setiap permulaan dari
suatu terapi aktifitas kelompok yang baru merupakan saat yang kritis karena prosedurnya
merupakan sesuatu yang belum pernah dialami oleh anggota kelompok dan mereka
dihadapkan dengan orang lain.
Setelah klien berkumpul, mereka duduk melingkar, terapis memulai dengan
memperkenalkan diri terlebih dahulu dan juga memperkenalkan co-terapis dan kemudian
mempersilakan anggota untuk memperkenalkan diri secara bergilir, bila ada anggota
yang tidak mampu maka terapis memperkenalkannya. Terapis kemudian menjelaskan
maksud dan tujuan serta prosedur terapi kelompok dan juga masalah yang akan
dibicarakan dalam kelompok. Topik atau masalah dapat ditentukan oleh terapis atau usul
klien. Ditetapkan bahwa anggota bebas membicarakan apa saja, bebas mengkritik siapa

6
saja termasuk terapis. Terapis sebaiknya bersifat moderat dan menghindarkan kata-kata
yang dapat diartikan sebagai perintah.
Dalam prosesnya kalau terjadi bloking, terapis dapat membiarkan sementara. Bloking
yang terlalu lama dapat menimbulkan kecemasan yang meningkatoleh karenanya terapis
perlu mencarikan jalan keluar. Dari keadaan ini mungkin ada indikasi bahwa ada
beberapa klien masih perlu mengikuti terapi individual. Bisa juga terapis merangsang
anggota yang banyak bicara agar mengajak temannya yang kurang banyak bicara. Dapat
juga co-terapis membantu mengatasi kemacetan.
Kalau terjadi kekacauan, anggota yang menimbulkan terjadinya kekacauan
dikeluarkan dan terapi aktifitas kelompok berjalan terus dengan memberikan penjelasan
kepada semua anggota kelompok. Setiap komentar atau permintaan yang datang dari
anggota diperhatikan dengan sungguh-sungguh dan di tanggapi dengan sungguh-
sungguh. Terapis bukanlah guru, penasehat atau bukan pula wasit. Terapis lebih banyak
pasif atau katalisator. Terapis hendaknya menyadari bahwa tidak menghadapi individu
dalam suatu kelompok tetapi menghadapi kelompok yang terdiri dari individu-individu.
Diakhir terapi aktifitas kelompok, terapis menyimpulkan secara singkat pembicaraan
yang telah berlangsung / permasalahan dan solusi yang mungkin dilakukan. Dilanjutkan
kemudian dengan membuat perjanjian pada anggota untuk pertemuan berikutnya.
(Kelliat, 2005).

2.6 Perkembangan Kelompok


Kelompok sama dengan individu, mempunyai kapasitas untuk tumbuh dan kembang.
Pemimpin akan mengembangkan kelompok melalui empat fase (Kelliat, 2005) yaitu:
1. Fase prakelompok.
Hal penting yang harus diperhatikan ketika memulai kelompok adalah tujuan dari
kelompok. Ketercapaian tujuan sangat dipengaruhi oleh perilaku pemimpin dan
pelaksana kegiatan kelompok untuk mencapai tujuan tersebut. Untuk itu perlu
disusun panduan pelaksanaan kegiatan kelompok.
2. Fase awal kelompok.
Fase ini ditandai dengan ansietas karena masuknya kelompok baru. Dan peran
yang baru. Fase ini terbagi dalam tiga fase (Kelliat, 2005) yaitu:
1. Tahap orientasi.
Pada tahap ini pemimpin kelompok lebih aktif dalam memberi pengarahan.
Pemimpin kelompok mengorientasikan anggota pada tugas utama dan
melakukan kontrak yang terdiri dari tujuan, kerahasian, waktu pertemuan,
struktur, kejujuran dan aturan komunikasi, misalnya hanya satu orang yang
7
berbicara pada satu waktu, norma perilaku, rasa memiliki, atau kohesif antara
anggota kelompok diupayakan terbentuk pada fase orientasi.
2. Tahap konflik.
Peran dependen dan independent terjadi pada tahap ini, sebagian ingin
pemimpin yang memutuskan dan sebagian ingin pemimpin lebih
mengarahkan, atau sebaliknya anggota ingin berperan sebagai pemimpin.
Adapula anggota yang netral dan dapat membantu menyelesaikan konflik
peran yang terjadi. Perasaan bermusuhan yang ditampilkan, baik antara
kelompok maupun anggota dengan pemimpin dapat terjadi pada tahap ini.
Pemimpin perlu memfasilitasi ungkapan perasaan, baik positif maupun
negative dan membantu kelompok mengenali penyebab konflik. Serta
mencegah perilaku yang tidak produktif, seperti menuduh anggota tertentu
sebagai penyebab konflik.
3. Tahap kohesif.
Setalah tahap konflik, anggota kelompok merasakan ikatan yang kuat satu
sama lain. Perasaan positif akan semakin sering diungkapkan. Pada tahap ini,
anggota kelompok merasa bebas membuka diri tentang informasi dan lebih
intim satu sama lain. Pemimpin tetap berupaya memberdayakan kemampuan
anggota kelompok dalam melakukan penyelesaian masalah. Pada tahap akhir
fase ini, tiap anggota kelompok belajar bahwa perbedaan tidak perlu
ditakutkan, mereka belajar persamaan dan perbedaan, anggota kelompok akan
membantu pencapaian tujuan yang menjadi suatui realitas.
3. Fase kerja kelompok.
Pada fase ini, kelompok sudah menjadi tim, walaupun mereka bekerja keras,
tetapi menyenangkan bagi anggota dan pemimpin kelompok. Kelompok menjadi
stabil dan realistis.
Tugas utama pemimpin adalah membantu kelompok mencapai tujuan dan
tetap menjaga kelompok kearah pencapaian tujuan, serta mengurangi dampak dari
factor apa saja yang dapat mengurangi produktivitas kelompok. Selain itu
pemimpin juga bertindak sebagai konsultan.
Beberapa problem yang mungkin muncul adalah subgroup, conflict, self-
desclosure,dan resistance. Beberapa anggota kelompok menjadi sangat akrab,
berlomba mendapatkan perhatian pemimpin, tidak ada lagi kerahasian karena
keterbukaan sangat tinggi dan keengganan berubah perlu didefinisikan pemimpin
kelompok agar segera melakukan strukturisasi.

8
Pada akhir fase ini, anggota kelompok menyadari produktivitas dan
kemampuan yang bertambah disertai percaya diri dan kemandirian. Pada fase ini
kelompok segera masuk ke fase berikutnya yaitu perpisahan.
4. Fase terminasi
Terminasi dapat sementara atau akhir. Terminasi dapat pula terjadi karena
anggota kelompok atau pemimpin kelompok keluar dari kelompok. Evaluasi
umumnya difokuskan pada jumlah pencapaian, baik kelompok maupun individu.
Pada tiap sesi dapat pula dikembangkan instrument evaluasi kemampuan
individual dari anggota kelompok. Terminasi dapat dilakukan pada akhir tiap sesi
atau beberapa sesi yang merupakan paket dengan memperhatikan pencapaian
tertentu. Terminasi yang sukses ditandai oleh perasaan puas dan pengalaman
kelompok akan digunakan secara individual pada kehidupan sehari-hari.

2.7 Macam Terapi Aktifitas Kelompok


Terapi aktivitas kelompok (TAK) dibagi empat, yaitu :
1. Terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi
Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) stimulasi persepsi adalah terapi yang
menggunakan aktivitas sebagai stimulus terkait dengan pengalaman dan atau
kehidupan untuk didiskusikan dalam kelompok (Keliat, 2004). Fokus terapi aktivitas
kelompok stimulasi persepsi adalah membantu pasien yang mengalami kemunduran
orientasi dengan karakteristik: pasien dengan gangguan persepsi; halusinasi,
menarik diri dengan realitas, kurang inisiatif atau ide, kooperatif, sehat fisik, dan
dapat berkomunikasi verbal (Yosep, 2007).
Adapun tujuan dari TAK stimulasi persepsi adalah pasien mempunyai
kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang diakibatkan oleh paparan
stimulus kepadanya. Sementara, tujuan khususnya: pasien dapat mempersepsikan
stimulus yang dipaparkan kepadanya dengan tepat dan menyelesaikan masalah yang
timbul dari stimulus yang dialami (Darsana, 2007).
Aktivitas mempersepsikan stimulus tidak nyata dan respon yang dialami
dalam kehidupan, khususnya untuk pasien halusinasi. Aktivitas dibagi dalam empat
sesi yang tidak dapat dipisahkan, yaitu :
1) Sesi pertama : mengenal halusinasi
2) Sesi kedua : mengontrol halusinasi dan menghardik halusinasi
3) Sesi ketiga : menyusun jadwal kegiatan
4) Sesi keempat : cara minum obat yang benar

9
2. Terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori
TAK stimulasi sensori adalah TAK yang diadakan dengan memberikan
stimulus tertentu kepada klien sehingga terjadi perubhan perilaku.
Bentuk stimulus :
1) Stimulus suara: musik
2) Stimulus visual: gambar
3) Stimulus gabungan visual dan suara: melihat televisi, video
Tujuan dari TAK stimulasi sensori bertujuan agar klien mengalami :
1) Peningkatan kepekaan terhadap stimulus.
2) Peningkatan kemampuan merasakan keindahan
3) Peningkatan apresiasi terhadap lingkungan
Jenis TAK yaitu :
1) TAK Stimulasi Suara
2) TAK Stimulasi Gambar
3) TAK Stimulasi Suara dan Gambar

3. Terapi aktivitas orientasi realita


Terapi Aktivitas Kelompok Oientasi Realita (TAK): orientasi realita adalah
upaya untuk mengorientasikan keadaan nyata kepada klien, yaitu diri sendiri, orang
lain, lingkungan/ tempat, dan waktu. Klien dengan gangguan jiwa psikotik,
mengalami penurunan daya nilai realitas (reality testing ability). Klien tidak lagi
mengenali tempat,waktu, dan orang-orang di sekitarnya. Hal ini dapat mengakibatkan
klien merasa asing dan menjadi pencetus terjadinya ansietas pada klien. Untuk
menanggulangi kendala ini, maka perlu ada aktivitas yang memberi stimulus secara
konsisten kepada klien tentang realitas di sekitarnya. Stimulus tersebut meliputi
stimulus tentang realitas lingkungan, yaitu diri sendiri, orang lain, waktu, dan tempat.
Tujuan umum yaitu klien mampu mengenali orang, tempat, dan waktu sesuai
dengan kenyataan, sedangkan tujuan khususnya adalah:
1. Klien mampu mengenal tempat ia berada dan pernah berada
2. Klien mengenal waktu dengan tepat.
3. Klien dapat mengenal diri sendiri dan orangorang di sekitarnya dengan tepat.
Aktivitas yang dilakukan tiga sesi berupa aktivitas pengenalan orang, tempat, dan
waktu. Klien yang mempunyai indikasi disorientasi realitas adalah klien halusinasi,
dimensia, kebingungan, tidak kenal dirinya, salah mngenal orang lain, tempat, dan waktu.
Tahapan kegiatan :
1) Sesi I : Orientasi Orang
10
2) Sesi II : Orientasi Tempat
3) Sesi III : Orientasi Waktu
4. Terapi aktivitas Sosialisasi
Klien yang mempunyai indikasi aktivitas ini adalah klien dengan perilaku kekerasan
yang telah kooperatif. Aktivitas dibagi dalam beberapa sesi yang tidak dapat dipisahkan,
yaitu : aktivitas mengenal kekerasan yang biasa dilakukan, aktivitas mencegah kekerasan
melalui kegiatan fisik, aktivitas mencegah perilaku kekerasan melalui interaksi social
asertif, aktivitas mencegah perilaku kekerasan melalui kepatuhan minum obat, aktivitas
mencegah perilaku kekerasan melalui kegiatan ibadah.

2.8 Manfaat Terapi Aktivitas Kelompok


Secara umum manfaat terapi aktivitas kelompok adalah :
1. Meningkatkan kemampuan uji realitas (reality testing) melalui komunikasi dan
umpan balik dengan atau dari orang lain.
2. Melakukan sosialisasi.
3. Membangkitkan motivasi untuk kemajuan fungsi kognitif dan afektif.
Secara khusus manfaatnya adalah :
1. meningkatkan identitas diri
2. menyalurkan emosi secara konstruktif
3. meningkatkan ketrampilan hubungan interpersonal atau social.
Di samping itu manfaat rehabilitasinya adalah :
1. Meningkatkan keterampilan ekspresi diri.
2. Meningkatkan keterampilan sosial.
3. Meningkatkan kemampuan empati.
4. Meningkatkan kemampuan atau pengetahuan pemecahan masalah.

2.9 Kerangka Teoritis Terapi Aktivitas Kelompok


1. Model fokal konflik
Menurut Whiteaker dan Liebermen's, terapi kelompok berfokus pada
kelompok daripada individu. Prinsipnya:
Terapi kelompok dikembangkan berdasarkan konflik yang tidak
disadari.Pengalaman kelompok secara berkesinambungan muncul kemudian
konfrontir konflik untuk penyelesaian masalah, tugas terapis membantu anggota
kelompok memahami konflik dan mencapai penyelesaian konflik.
Menurut model ini pimpinan kelompok (Leader) harus memfasilitasi dan
memberikan kesempatan kepada anggota untukmengekpresikan perasaan d
11
an mendiskusikan perasaan dan mendiskusikannya untuk penyelesaian
masalah.
2. Model komunikasi
Model komunikasi menggunakan prinsip-prinsip teori komunikasi dan
komunikasi terapeutik. Diasumsikan bahwa disfungsi atau komunikasi tak efektif
dalam kelompok akan menyebabkan ketidakpuasan anggota kelompok, umpan balik
tidak sekuat dari kohesi atau keterpaduan kelompok menurun. Dengan menggunakan
model ini leader memfasilitasi komunikasi efektif, masalah individu atau kelompok
dapat diidentifikasi dan diselesaikan.
Leader mengajarkan pada kelompok bahwa:
a. Perlu berkomunikasi
b. Anggota harus bertanggung jawab pada semua
level, misalnyakomunikasi verbal, nonverbal, terbuka dan tertutup
c. Pesan yang disampaikan dapat dipahami orang lain
d. Anggota dapat menggunakan teori komunikasi dalam membantu satu dan
yang lain untuk melakukan komunikasi efektif
Model ini bertujuan membantu meningkatkan ketrampilan interpersonal dan sosial anggota
kelompok. Selain itu teori komunikasi membantu anggota merealisasi bagaimana mereka
berkomunikasi lebih efektif. Selanjutnya leader juga perlu menjelaskan secara singkat
prinsip-prinsip komunikasi dan bagaimana menggunakan didalam kelompok serta
menganalisa proses komunikasi tersebut.
3. Model interpersonal
Sullivan mengemukakan bahwa tingkah laku (pikiran, perasaan, tindakan)
digambarkan nielalui hubungan interpersonal. Contoh : Interaksi dalam kelompok
dipandang sebagai proses sebab akibat dari tingkah laku anggota lain.
Pada teori ini terapis bekerja dengan individu dan kelompok.Anggota
kelompok ini belajar dari interaksi antar anggota dan terapis.Melalui ini kesalahan
persepsi dapat dikoreksi dan perilaku sosial yang efektif dipelajari.
Perasaan cemas dan kesepian merupakan sasaran untuk mengidentifikasi dan
merubah tingkah laku/perilaku. Contoh : Tujuan salah satu aktifitas kelompok untuk
meningkatkan hubungan interpersonal. Pada saat konflik interpersonal muncul, leader
menggunakan situasi tersebut untuk mendorong anggota untuk
mendiskusikan perasaan mereka dan mempelajari konflik apa yang rnembuat anggota
merasa cemas dan menentukan perilaku apa yang digunakan untuk menghindari atau
menurunkan cemas pada saat terjadi konflik.

12
4. Model psikodrama
Dengan model ini memotivasi anggota kelompok untuk berakting sesuai dengan
peristiwa yang baru terjadi atau peristiwa yang pernah lalu.Anggota memainkan
peran sesuai dengan yang pernah dialami. Contoh : Klien memerankan ayahnya yang
dominan atau keras.

2.10 Faktor yang Mempengaruhi TAK


1. Perawat
Perawat berperan sebagai tim terapis dalam TAK selama proses TAK berlangsung,
perawat perlu untuk memberikan support pada klien agar mau aktif dalam kegiatan. Dan
memberikan pujian untuk setiap keberhasilan yang dilakukan klien.
2. Keluarga
Dukungan dari keluarga bagi anggota keluarganya yang sedang dirawat sangat
diperlukan agar pasien merasa dirinya dihargai dan dibutuhkan. Dan dukungan dari
keluarga ini juga dapat membantu klien untuk mau mengikuti TAK
3. Lingkungan
Dibutuhkan suasana yang kondusifdan nyaman, serta tidak dekat dengan keramaian,
agar saat TAK diberikan klien dapat fokus terhadap kegiatan yang dilakukan.
4. Anggota Kelompok
Hubungan antara anggota kelompok yang satu dengan anggota yang lain perlu dijalin
secara akrab. Perawat perlu memfasilitasi agar keakraban antar anggota kelompok dapat
terjalin dengan baik.
5. Obat
Setiap pasien gangguan jiwa membutuhkan pengobatan yang teratur agar pasien berada
dalam keadaan tenang dan dapat diarahkan dalam jadwal kegiatan harian.

2.11 Peran Perawat Dalam Terapi Aktivitas Kelompok


Peran perawat jiwa professional dalam pelaksanaan terapi aktivitas kelompok adalah :
1. Mempersiapkan program terapi aktivitas kelompok
Sebelum melaksanakan terapi aktivitas kelompok, perawat harus terlebih dahulu,
membuat proposal.
Proposal tersebut akan dijadikan panduan dalam pelaksanaan terapi aktivitas
kelompok, komponen yang dapat disusun meliputi : deskripsi, karakteristik klien,
masalah keperawatan, tujuan dan landasan teori, persiapan alat, jumlah perawat,
waktu pelaksanaan, kondisi ruangan serta uraian tugas terapis.

13
2. Tugas sebagai leader dan coleader
Meliputi tugas menganalisa dan mengobservasi pola-pola komunikasi yang terjadi
dalam kelompok, membantu anggota kelompok untuk menyadari dinamisnya
kelompok, menjadi motivator, membantu kelompok menetapkan tujuan dan
membuat peraturan serta mengarahkan dan memimpin jalannya terapi aktivitas
kelompok.
3. Tugas sebagai fasilitator
Sebagai fasilitator, perawat ikut serta dalam kegiatan kelompok sebagai anggota
kelompok dengan tujuan memberi stimulus pada anggota kelompok lain agar
dapat mengikuti jalannya kegiatan.
4. Tugas sebagai observer
Tugas seorang observer meliputi : mencatat serta mengamati respon penderita,
mengamati jalannya proses terapi aktivitas dan menangani peserta/anggota
kelompok yang drop out.
5. Tugas dalam mengatasi masalah yang timbul saat pelaksanaan terapi
Masalah yang mungkin timbul adalah kemungkinan timbulnya sub kelompok,
kurangnya keterbukaan, resistensi baik individu atau kelompok dan adanya
anggota kelompok yang drop out. Cara mengatasi masalah tersebut tergantung
pada jenis kelompok terapis, kontrak dan kerangka teori yang mendasari terapi
aktivitas tersebut.
6. Program antisipasi masalah
Merupakan intervensi keperawatan yang dilakukan untuk mengantisipasi keadaan
yang bersifat darurat (emergensi dalam terapi) yang dapat mempengaruhi proses
pelaksanaan terapi aktivitas kelompok.
Dari rangkaian tugas diatas, peranan ahli terapi utamanya adalah sebagai
fasilitator. Idealnya anggota kelompok sendiri adalah sumber primer
penyembuhan dan perubahan.
Iklim yang ditimbulkan oleh kepribadian ahli terapi adalah agen perubahan
yang kuat. Ahli terapi lebih dari sekedar ahli yang menerapkan tehnik; ahli terapi
memberikan pengaruh pribadi yang menarik variable tertentu seperti empati,
kehangatan dan rasa hormat (Kaplan & Sadock, 1997).
Sedangkan menurut Depkes RFI 1998, di dalam suatu kelompok, baik itu
kelompok terapeutik atau non terapeutik tokoh pemimpin merupakan pribadi yang
paling penting dalam kelompok. Pemimpin kelompok lebih mempengaruhi
tingkat kecemasan dan pola tingkah laku anggota kelompok jika dibandingkan

14
dengan anggota kelompok itu sendiri. Karena peranan penting terapis ini, maka
diperlukan latihan dan keahlian yang betul-betul professional
Stuart & Sundeen (1995) mengemukakan bahwa peran perawat psikiatri
dalam terapi aktivits kelompok adalah sebagai leader/co leader, sebagai observer
dan fasilitator serta mengevaluasi hasil yang dicapai dalam kelompok
Untuk memperoleh kemampuan sebagai leader/co leader, observer dan
fasilitator dalam kegiatan terapi aktivitas kelompok, perawat juga perlu mendapat
latihan dan keahlian yang professional.

2.12 Pengertian Psikofarmaka


Psikofarmaka adalah obat-obatan yang digunakan untuk klien dengan gangguan
mental. Psikofarmaka termasuk obat-obatan psikotropik yang bersifat Neuroleptik
(bekerja pada sistem saraf). Pengobatan pada gangguan mental bersifat komprehensif,
yang meliputi :
1. Teori biologis (somatik). Mencakup pemberian obat psikotik dan
Elektro Convulsi Therapi (ECT).
2. Psikoterapeutik
3. Terapi Modalitas
Psikofarmakologi adalah komponen kedua dari management psikoterapi. Perawat
perlu memahami konsep umum psikofarmaka. Beberapa hal yang termasuk
Neurotransmitter adalah Dopamin, Neuroepineprin, Serotonin, dan GABA (Gama
Amino Buteric Acid), dll. Meningkatnya dan menurunnya kadar/konsentrasi
neurotransmitter akan menimbulkan kekacauan atau gangguan mental. Obat-obatan
psikofarmaka efektif untuk mengatur keseimbangan Neurotransmitter.
Psikofarmaka adalah berbagai jenis obat yang bekerja pada susunan saraf pusat.
Efek utamanya pada aktivitas mental dan perilaku, yang biasanya digunakan untuk
pengobatan gangguan kejiwaan. Terdapat banyak jenis obat psikofarmaka dengan
farmakokinetik khusus untuk mengontrol dan mengendalikan perilaku pasien gangguan
jiwa. Golongan dan jenis psikofarmaka ini perlu diketahui perawat agar dapat
mengembangkan upaya kolaborasi pemberian psikofarmaka, mengidentifikasi dan
mengantisipasi terjadinya efek samping, serta memadukan dengan berbagai alternatif
terapi lainnya.
Berdasarkan efek klinik, obat psikotropika dibagi menjadi golongan antipsikotik,
antidepresan, antiansietas, dan antimanik (mood stabilizer).

15
2.13 Klasifikasi Psikofarmaka
2.13.1 Antipsikotik
Obat ini dahulu disebut neuroleptika atau major tranqullizer. Indikasi utama obat
golongan ini adalah untuk penderita gangguan psikotik (skizofrenia atau psikotik
lainnya). Klasifikasinya antara lain sebagai berikut.
1. Derivat fenotiazin
a. Rantai samping alifatik
Contoh:
1) Chlorpromazine (Largatil, ethibernal)
2) Levomepromazine (Nozinan)
b. Rantai samping piperazin
Contoh:
1) Trifluoperazin (Stelazine)
2) Perfenazin (Trilafon)
3) Flufenazin (Anatensol)
c. Rantai samping piperidin
Contoh: Thioridazin (Melleril)
2. Derivat butirofenon
Contoh: Haloperidol (Haldol, Serenace)
3. Derivat thioxanten
Contoh: Klorprotixen (Taractan)
4. Deribat dibenzoxasepin
Contoh: Loksapin
5. Derivat difenilbutilpiperidin
Contoh Pimozide (Orap)
6. Derivat benzamide
Contoh: Sulpirid (dogmatil)
7. Derivat benzisoxazole
Contoh: Risperidon (Risperdal)
8. Derivat dibenzoxasepin (antipsikotik atipikal)
Contoh: Clozapin (Leponex)
Efek utama obat antipsikotik adalah menyupresi gejala psikotik seperti gangguan
proses pikir (waham), gangguan persepsi (halusinasi), aktivitas psikomotor yang
berlebihan (agresivitas), dan juga memiliki efek sedatif serta efek samping
ekstrapiramidal. Timbulnya efek samping sangat bervariasi dan bersifat individual.
Efek samping yang dapat terjadi antara lain sebagai berikut.
16
1. Gangguan neurologik
a. Gejala ekstrapiramidal
 Akatisia
Kegelisahan motorik, tidak dapat duduk diam, jalan salah duduk pun tak enak.
 Distonia akut
Kekakuan otot terutama otot lidah (protusio lidah), tortikolis (otot leher
tertarik kesatu sisi), opistotonus (otot punggung tertarik ke belakang), dan
okulogirikrisis (mata seperti tertarik ke atas).
 Sindroma Parkinson/Parkinsonisme
Terdapat rigiditas otot/fenomena roda bergerigi, tremor kasar, muka
topeng,hipersalivasi, disartria.
 Diskinesia tardif
Gerakan-gerakan involunter yang berulang, serta mengenai bagian
tubuh/kelompokotot tertentu yang biasanya timbul setelah pemakaian
antipsikotik jangka lama.
b. Sindroma neuroleptika maligna
Kondisi gawat darurat yang ditandai dengan timbulnya febris tinggi, kejang-kejang,
denyut nadi meningkat, keringat berlebihan, dan penurunan kesadaran. Sering terjadi
pada pemakaian kombinasi antipsikotik golongan Butirofenon dengan garam lithium.
c. Penurunan ambang kejang
Perlu diperhatikan pada penderita epilepsi yang mendapat antipsikotik.
2. Gangguan otonom
a. Hipotensi ortostatik/postural
Penurunan tekanan darah pada perubahan posisi, misalnya dari keadaan berbaring
kemudian tiba-tiba berdiri, sehingga dapat terjatuh atau syok/kesadaran menurun.
b. Gangguan sistem gastrointestinal
Mulut kering, obstipasi, hipersalivasi, dan diare.
c. Gangguan sistem urogenital
Inkontinensia urine.
d. Gangguan pada mata
Kesulitan akomodasi, penglihatan kabur, fotofobia karena terjadi mydriasis.
e. Gangguan pada hidung
Selaput lendir hidung edema sehingga pasien mengeluh hidungnya mampet.

3. Gangguan hormonal
a. Hiperprolaktinemia
17
b. Galactorrhoea
c. Amenorrhoea
d. Gynecomastia pada laki-laki

4. Gangguan hematologi
a. Agranulositosis
b. Thrombosis
c. Neutropenia

2.13.2 Antidepresan
Merupakan golongan obat-obatan yang mempunyai khasiat mengurangi atau
menghilangkan gejala depresif. Pada umumnya bekerja meningkatkan neurotransmitter
norepinefrin dan serotonin.
Klasifikasinya antara lain sebagai berikut.
1. Golongan trisiklik
Contoh:
a. Imipramin (Tofranil)
b. Amitriptilin (Laroxyl)
c. Clomipramin (Anafranil)
2. Golongan tetrasiklik
Contoh: Maprotilin (Ludiomil)
3. Golongan monoaminoksidase inhibitor (MAOI)
Contoh: Rima/Moclobemide (Auroric)
4. Golongan serotonin selective reuptake inhibitor (SSRI)
Contoh:
a. Setralin (Zoloft)
b. Paroxetine (Seroxal)
c. Fluoxetine (Prozax)

Untuk gangguan depresi berat dengan kecenderungan bunuh diri, perlu dipertimbangkan
penggunaan ECT sebagai pendamping pemberian antidepresan.
Efek samping yang sering terjadi pada pemberian antidepresan antara lain sebagai
berikut.
1. Gangguan pada sistem kardiovaskular.
a. Hipotensi, terutama pada pasien usia lanjut.
b. Hipertensi (sering terjadi pada antidepresan golongan MAOI yang klasik).
18
c. Perubahan pada gambaran EKG (kardiotoksik terutama pada antidepresan
golongan trisiklik).
2. Gangguan sistem atonom akibat efek antikolinergik.
Obstipasi, mulut dan tenggorokan kering, mual, sakit kepala, serta lain-lain.

2.13.3 Antiansietas (Anxiolytic Sedative)


Obat golongan ini dipakai untuk mengurangi ansietas/kecemasan yang patologis
tanpa banyak berpengaruh pada fungsi kognitif. Secara umum, obat-obat ini berefek
sedatif dan berpotensi menimbulkan toleransi/ketergantungan terutama pada
golongan Benzodiazepin.
Klasifikasinya adalah sebagai berikut.
1. Derivat benzodiazepin
Contoh:
a. Klordiazopoksid (Librium)
b. Diazepam (Valium)
c. Bromazepam (Lexotan)
d. Lorazepam (Aktivan)
e. Clobazam (Frisium)
f. Alprazolam (Xanax)
g. Buspiron (Buspar)

2. Derivat gliserol
Contoh: Meprobamat (Deparon)

3. Derivat barbitrat
Contoh: Fenobarbital (Luminal) Obat-obat golongan Benzodiazepam paling
banyak disalahgunakan karena efek hipnotiknya dan terjaminnya keamanan
dalam pemakaian dosis yang berlebih. Obat obat golongan ini tidak berefek fatal
pada overdosis kecuali bila dipakai dalam kombinasi dengan antisiolitik jenis lain
atau dicampur alkohol. Efek samping yang sering dikeluhkan adalah sebagai
berikut.
1. Rasa mengantuk yang berat.
2. Sakit kepala.
3. Disartria.
4. Nafsu makan bertambah.
5. Ketergantungan.
19
6. Gejala putus zat (gelisah, tremor, bila berat bisa sampai terjadi kejang-kejang).

2.13.4 Antimanik (Mood Stabilizer)


Merupakan kelompok obat yang berkhasiat untuk kasus gangguan afektif bipolar
terutama episodik mania dan sekaligus dipakai untuk mencegah kekambuhannya.
Obat yang termasuk kelompok ini adalah sebagai berikut.
1. Golongan garam lithium (Teralith, Priadel)
2. Karbamazepin (Tegretol, Temporol)
3. Asam Valproat
Hal yang penting untuk diperhatikan pada pemberian obat golongan ini adalah
kadarnya dalam plasma. Misalnya pada pemberian lithium karbonat, dosis efektif antara
0,8–1,2 meq/L. Hal ini perlu selalu dimonitor karena obat ini bersifat toksik terutama
terhadap ginjal. Efek samping yang perlu diperhatikan antara lain sebagai berikut.
1. Tremor halus
2. Vertigo dan rasa lelah
3. Diare dan muntah-muntah
4. Oliguria dan anuria
5. Konvulsi
6. Kesadaran menurun
7. Edema
8. Ataksia dan tremor kasar
Berbagai obat yang sering digunakan di rumah sakit jiwa dan tindakan keperawatan
yang dilakukan adalah sebagai berikut.
1. Golongan Butirofenon (Haloperidol, Serenace)
a. Efek
Antipsikotik, sedasi psikomotor, mengontrol keseimbangan psikis dan
otomatik, menghambat gerakan-gerakan yang tidak terkendali dan antiemetik.
b. Efek samping
Efek ekstrapiramidal, spasme otot, dan parkinson.
c. Tindakan keperawatan
Observasi ketat tingkah laku pasien, beri dukungan dan rasa aman kepada
pasien,berada dekat pasien. Selain itu, lakukan tindakan kolaboratif dengan
pemberianobat-obat antikolinergik untuk mengatasi spasme otot dan dopamin
agonis untukmengatasi parkinson.
d. Cara pemberian: per oral

20
2. Golongan Fenotiazin (Klorpromazin, Stelazine)
a. Efek
Penenang dengan daya kerja antipsikotik, antisiolitik, dan antiemetik yang
kuat.
b. Efek samping
1. Efek antikolinergik: hipotensi orthostatik, konstipasi, mulut kering,
penglihatankabur.
2. Efek ekstrapiramidal pada pemakaian dosis tinggi atau pada pasien
berusia diatas 40 tahun seperti gelisah dan sukar tidur.
c. Tindakan keperawatan
1. Untuk efek antikolinergik
a. Observasi bising usus, beri diet tinggi serat, tingkatkan input cairan,
dan beriaktivitas untuk mencegah konstipasi.
b. Monitor tekanan darah, tingkatkan volume cairan untuk
mengembangkan pembuluh darah dan beritahu pasien untuk berpindah
posisi perlahan-lahan untuk mengontrol hipotensi orthostatik.
c. Beri pelembap mulut secara berkala untuk mengurangi rasa kering,
misalnya gliserin.
d. Anjurkan pasien untuk tidak bekerja dengan alat berbahaya, benda
tajam, dan tidak bepergian untuk mengurangi kecelakaan akibat
adanya kekaburan pandangan.
e. Kolaborasi: pemberian kolinergik agonis dan laksatif.
2. Untuk efek ekstrapiramidal
a. Prinsip tindakan sama dengan pada pemberian haloperidol.
b. Untuk mengatasi sulit tidur dapat diberi susu hangat sebelum tidur
atau dengan cara lain.
c. Cara pemberian: per oral
3. Trihexifenidil yaitu obat yang digunakan untuk mengatasi efek
ekstrapiramidal.
Cara pemberian: per oral

2.14 Peran Perawat Dalam Pemberian Psikofarmaka


Peran perawat dalam penatalaksanaan obat di rumah sakit jiwa adalah sebagai berikut.
1. Mengumpulkan data sebelum pengobatan.
Dalam melaksanakan peran ini, perawat didukung oleh latar belakang
pengetahuan biologis dan perilaku. Data yang perlu dikumpulkan antara lain
21
riwayat penyakit, diagnosis medis, hasil pemeriksaan laboratorium yang
berkaitan, riwayat pengobatan, jenis obat yang digunakan (dosis, cara pemberian,
waktu pemberian), dan perawat perlu mengetahui program terapi lain bagi pasien.
Pengumpulan data ini agar asuhan yang diberikan bersifat menyeluruh dan
merupakan satu kesatuan.
2. Mengoordinasikan obat dengan terapi modalitas.
Hal ini penting dalam mendesain program terapi yang akan dilakukan. Pemilihan
terapi yang tepat dan sesuai dengan program pengobatan pasien akan memberikan
hasil yang lebih baik.
3. Pendidikan kesehatan.
Pasien di rumah sakit sangat membutuhkan pendidikan kesehatan tentang obat
yang diperolehnya, karena pasien sering tidak minum obat yang dianggap tidak
ada manfaatnya. Selain itu, pendidikan kesehatan juga diperlukan oleh keluarga
karena adanya anggapan bahwa jika pasien sudah pulang ke rumah tidak perlu
lagi minum obat padahal ini menyebabkan risiko kekambuhan dan dirawat
kembali di rumah sakit.
4. Memonitor efek samping obat.
Seorang perawat diharapkan mampu memonitor efek samping obat dan reaksi-
reaksi lain yang kurang baik setelah pasien minum obat. Hal ini penting dalam
mencapai pemberian obat yang optimal.
5. Melaksanakan prinsip-prinsip pengobatan psikofarmakologi.
Peran ini membuat perawat sebagai kunci dalam memaksimalkan efek terapeutik
obat dan meminimalkan efek samping obat karena tidak ada profesi lain dalam
tim kesehatan yang melakukan dan mempunyai kesempatan dalam memberikan
tiap dosis obat pasien, serta secara terus-menerus mewaspadai efek samping obat.
Dalam melaksanakan peran ini, perawat bekerja sama dengan pasien.
6. Melaksanakan program pengobatan berkelanjutan.
Dalam program pengobatan, perawat merupakan penghubung antara pasien
dengan fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat. Setelah pasien selesai dirawat
di rumah sakit maka perawat akan merujuk pasien pada fasilitas yang ada di
masyarakat misalnya puskesmas, klinik jiwa, dan sebagainya.
7. Menyesuaikan dengan terapi nonfarmakologi.
Sejalan dengan peningkatan pengetahuan dan kemampuan perawat, peran perawat
dapat diperluas menjadi seorang terapis. Perawat dapat memilih salah satu
program terapi bagi pasien dan menggabungkannya dengan terapi pengobatan
serta bersama pasien bekerja sebagai satu kesatuan.
22
8. Ikut serta dalam riset interdisipliner
Sebagai profesi yang paling banyak berhubungan dengan pasien, perawat dapat
berperan sebagai pengumpul data, sebagai asisten peneliti, atau sebagai peneliti
utama. Peran perawat dalam riset mengenai obat ini sampai saat ini masih terus
digali.
Metode pendekatan khusus dalam pemberian obat untuk pasien curiga, risiko bunuh diri,
dan ketergantungan obat adalah sebagai berikut.
a. Pendekatan khusus pada pasien curiga.
Pada pasien curiga tidak mudah percaya terhadap suatu tindakan atau pemberian yang
diberikan kepadanya. Perawat harus meyakinkan bahwa tindakan yang dilakukan
pada pasien ini tidak membahayakan, tetapi bermanfaat bagi pasien.
Secara verbal dan nonverbal perawat harus dapat mengontrol perilakunya agar tidak
menimbulkan keraguan pada diri pasien karena tindakan yang ragu-ragu pada diri
perawat akan menimbulkan kecurigaan pasien.
Selain itu perawat harus bersikap jujur. Cara komunikasi harus tegas dan ringkas,
misalnya, “Bapak J, ini adalah obat Bapak J”. Jika pasien masih ragu, maka katakan,
“Letakkan obat ini dalam mulut dan telan.” Berikan obat dalam bentuk dan kemasan
yang sama setiap kali memberi obat agar pasien tidak bingung, cemas, dan curiga.
Jika ada perubahan dosis atau cara meminumnya, diskusikan terlebih dahulu dengan
pasien sebelum meminta pasien untuk meminumnya. Yakinkan obat benar-benar
diminum dan ditelan dengan cara meminta pasien untuk membuka mulut dan
gunakan spatel untuk melihat apakah obat disembunyikan. Hal ini terutama pada
pasien yang mempunyai riwayat kecenderungan menyembunyikan obat di bawah
lidah dan membuangnya. Untuk pasien yang benar-benar menolak minum obat
meskipun sudah diberikan pendekatan yang adekuat, maka pemberian obat dapat
dilakukan melalui kolaborasi dengan dokter yaitu injeksi sesuai dengan instruksi
dengan memperhatikan aspek legal dan hak-hak pasien untuk menolak pengobatan
dalam keadaan darurat.

b. Pendekatan khusus pada pasien dengan risiko bunuh diri.


Pada pasien yang risiko bunuh diri, masalah yang sering timbul dalam pemberian
obat adalah penolakan pasien untuk minum obat dengan maksud pasien ingin
merusak dirinya. Perawat harus bersikap tegas dalam pengawasan pasien untuk
minum obat karena pasien pada tahap ini berada dalam fase ambivalen antara
keinginan hidup dan mati. Perawat menggunakan kesempatan memberikan
“perawatan” pada saat pasien mempunyai keinginan hidup, agar keraguan pasien
23
untuk mengakhiri hidupnya berkurang karena pasien merasa diperhatikan. Perhatian
perawat merupakan stimulus penting bagi pasien untuk meningkatkan motivasi hidup.
Dalam hal ini, peran perawat memberikan obat diintegrasikan dengan pendekatan
keperawatan, di antaranya untuk meningkatkan harga diri pasien.

c. Pendekatan khusus pada pasien yang mengalami ketergantungan obat.


Pada pasien yang mengalami ketergantungan obat biasanya menganggap obat adalah
hal yang dapat menyelesaikan masalah. Oleh karenanya, perawat perlu memberikan
penjelasan kepada pasien tentang manfaat obat dan obat bukanlah satu-satunya cara
untuk menyelesaikan masalah. Misalnya, obat tidak bisa menyelesaikan masalah-
masalah sosial seperti patah hati, broken home, dan kegagalan-kegagalan lainnya.
Terapi obat harus disesuaikan dengan terapi modalitas lainnya seperti penjelasan
cara-cara melewati proses kehilangan
Dalam uraian di atas dapat terlihat bahwa perawat harus dapat mengidentifikasi kasus yang
dihadapi dan menerapkan pendekatan secara adekuat untuk melaksanakan peran perawat
dalam pemberian obat.
Perawat harus mempunyai cukup pengetahuan tentang strategi psikofarmaka yang tersedia,
tetapi informasi ini harus digunakan sebagai salah satu bagian dari pendekatan holistik pada
asuhan pasien. Peran perawat meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Pengkajian pasien. Pengkajian pasien memberi landasan pandangan tentang masing-
masing pasien.
2. Koordinasi modalitas terapi. Koordinasi ini mengintegrasikan berbagai terapi
pengobatan dan sering kali membingungkan bagi pasien
3. Pemberian agen psikofarmakologis. Program pemberian obat dirancang secara
professional dan bersifat individual
4. Pemantauan efek obat. Termasuk efek yang diinginkan maupun efek samping yang
dapat dialami pasien.
5. Penyuluhan pasien. Memungkinkan pasien untuk meminum obat dengan aman dan
efektif
6. Program Rumatan obat. Dirancang untuk mendukung pasien di suatu tatanan perawatan
tindak lanjut dalam jangka panjang.
7. Partisipasi dalam penelitian klinis antar disiplin tentang uji coba obat.
8. Perawat merupakan anggota tim yang penting dalam penelitian obat yang digunakan
untuk mengobati pasien gangguan jiwa
9. Kewenangan untuk memberi resep

24
BAB III
GAMBARAN KASUS
A. Karakteristik Klien
a. Nama : Yogi
Jenis Kelamin : Laki – Laki
Umur : 24 tahun
Alamat : Kroya
Hobi : Memasak, Menyanyi
Riwayat Halusinasi : Satu minggu sebelum dibawa kerumah sakit, kakak pasien
meninggal dunia dan pasien sering mendengar suara kakak yang sudah meninggal
memangil – manggil namanya.
b. Nama : Rosi
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 32 tahun
Alamat : Cilacap
Hobi : Menyanyi, Membaca, Menari
Riwayat Halusinasi : Empat hari sebelum dibawa ke rumah sakit pasien bertingkah
aneh, pasien sering melihat wanita cantik yang mengikutinya.
c. Nama : Dewi
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 20 tahun
Alamat : Kesugihan
Hobi : Menyanyi, Menari
Riwayat Halusinasi : Dua hari sebelum dibawa kerumah sakit pasien bertingkah
aneh, pasien merasa seluruh badannya di gerumuti belatung.
d. Nama : Fatimah
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 35 tahun
Alamat : Kroya
Hobi : Membaca, Menari
Riwayat Halusinasi : Lima hari sebelum dibawa kerumah sakit anak pasien
meninggal dunia, dan pasien merasa melihat anaknya yang sudah meninggal.
e. Nama : Nonik Ratna Palupi
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 40 tahun
Alamat : Maos
25
Hobi : Nonton film, Menyanyi, Menari
Riwayat Halusinasi : Tiga hari sebelum dibawa ke rumah sakit pasien bertingkah
aneh, pasien mendengar suara – suara yang menyuruhnya membunuh.
B. Masalah Keperawatan
Masalah keperawatan menurut keliat dkk ( 2005 ) menerangkan bahwa empat
masalah keperawatan pada gangguan halusinasi, diantaranya adalah resiko mencederai
diri, gangguan sensori atau persepsi, isolasi sosial: menarik diri, gangguan pemeliharaan
kesehatan.
C. Kreteria Evaluasi
1. Evaluasi
Evaluasi dilakukan saat proses TAK berlangsung, khususnya pada tahap kerja.
Aspek yang dievaluasi adalah kemampuan klien sesuai dengan tujuan TAK. Untuk
TAK stimulasi persepsi halusinasi , kemampuan yang diharapkan adalah mengenal
halusinasi, waktu terjadinya, situasi terjadinya halusinasi, dan perasaan saat terjadi
halusinasi dan masukkan ke dalam formulir evaluasi pada tabel.
2. Dokumentasi
Dokumentasikan kemampuan yang dimiliki klien saat TAK pada catatan
proses keperawatan tiap klien. Contoh: klien mengikuti TAK stimulasi persepsi:
halusinasi s. Klien mampu menyebutkan isi (menyuruh memukul), waktu (pukul 9
malam), situasi (jika sedang sendiri), perasaan (kesal dan geram). Anjurkan klien
mengidentifikasi halusinasi yang timbul dan menyampaikan kepada perawat.

FORMULIR EVALUASI
TAK STIMULASI PERSEPSI: HALUSINASI
No Nama Klien Menyebut Menyebut Menyebut Menyebut
Isi waktu situasi perasaan
halusinasi terjadi terjadi saat
halusinasi halusinasi halusinasi
1. Yogi Hernawan ( Yogi )

2. Rosiana Saputri ( Rosi )

3. Dewi Fatull Mutoharoh ( Dewi )

4. Fatimah ( Fatimah )

5. Nonik Ratna Palupi ( Nonik )

26
Sumber: Keliat dan Akemat (2004). Keperawatan Jiwa: Terapi aktivitas
kelompok.Jakarta:EGC.
Petunjuk pengisian:
1. Tulis nama panggilan klien yang ikut TAK pada kolom nama klien.
2. Untuk tiap klien, beri penilaian kemampuan mengenal halusinasi: isi, waktu, situasi,
dan perasaan.
3. Jika klien mampu beri tanda √
4. Jika klien tidak mampu beri tanda X
D. Pengorganisasian Terapi Aktivitas Kelompok
1. Terapis
a. Leader : Rizka Nurmala Sari
b. Co Leader : Noti Mardiana Majid
c. Fasilitator :
1.) Nurul Laela Istiqomah
2.) Ani Safitri
3.) Halima Tusadiah
2. Peran Fungsi
a. Tugas Leader :
1. Memimpin jalannya terapi aktivitas kelompok
2. Merencanakan, mengatur, mengontrol, dan mengembangkan jalannya terapi
aktivitas kelompok
3. Membuka acara terapi aktivitas kelompok
4. Memimpin diskusi kelompok
5. Memberikan informasi
6. Menutup acara
b. Tugas Co Leader :
1. Mendampingi leader
2. Mengambil posisi leader jika pasif
3. Mengarahkan kembali posisi peminpin kepada leader
4. Menjadi motivator
c. Tugas Fasilitator :
1. Membantu dan menjelaskan tugas yang harus dilakukan klien sebagai
anggota kelompok
2. Membantu mempersiapkan klien dan sarana yang menunjang ketika
kegiatan kelompok berlangsung

27
3. Memberikan motivasi kepada klien untuk tetap aktif dalam melaksanakan
terapi aktivitas kelompok
3. Seleksi Klien
Kegiatan terapi kelompok ini akan diikuti oleh :
1. Klien yang tenang dan kooperatif
2. Klien yang tidak mengalami proses fikir
3. Klien yang mempunyai emosi yang terkontrol
4. Klien yang tidak mengalami gangguan kesehatan fisik.
4. Nama Klien yang Ikut
1. Yogi Hermawan ( Yogi )
2. Rosiana Saputri ( Rosi )
3. Dewi Fatull Mutoharoh ( Dewi )
4. Fatimah ( Fatimah )
5. Ani Safitri ( Ani )
5. Waktu
Terapi Aktivitas Kelompok akan dilaksanakan pada:
Hari/ Tanggal : Senin, 6 Juni 2016
Waktu : 09.00 – 09.45 WIB
Tempat : Ruang Nakula Rumah Sakit Jiwa Serulingmas
6. Tempat
Setting tempat pada Terapi Aktivitas Kelompok

L CL
K
K

F
F

K K

K
F
Keterangan Gambar :
L : Leader

CL : Co Leader

K : Klien/ Pasien

F 28
: Fasilitator

7. Alat – alat :
a. Spidol
b. Papan tulis/whiteboard/flipchart
c. Papan nama
d. Balon
e. Peniti
f. Musik Box / Speaker
g. Kabel Pc
E. Proses Terapi Aktivitas Kelompok
1. Fase Orientasi
a. Salam terapeutik
1.) Leader memberikan salam kepada semua klien
2.) Leader memperkenalkan diri dan anggota kelompoknya seperti co leader,
fasilitator dan observer serta menyebutkan nama panggilan leader dan
anggotanya (pakai papan nama)
3.) Menanyakan nama dan nama panggilan semua klien (beri papan nama).
b. Evaluasi/validasi
1.) Menanyakan perasaan klien saat ini
c. Kontrak
1.) Leader menjelaskan tujuan kegiatan yang akan dilaksanakan, yaitu
mengenal pengalaman halusinasi.
2.) Leader menjelaskan aturan main, sebagai berikut:
a. Lamanya kegiatan 45 menit
b. Leader membacakan tata tertib
c. Setiap klien mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai
2. Fase Kerja
a. Leader menjelaskan kegiatan yang akan dilakukan, yaitu mengenal halusinasi
tentang isinya, waktu terjadinya, situasi terjadinya, perasaan klien pada saat
terjadi halusinasi dan jenis halusinasi.
b. Leader meminta klien untuk menceritakan isi halusinasi, kapan terjadinya,
situasi yang membuat terjadi, perasaan klien saat terjadi halusinasi. Klien di
tunjuk dengan permainan musik balon, yaitu pasien berdiri dibelakang garis
yang di tentukan, setelah itu co leader akan memainkan lagu dan pasien akan
berjoged, saat musiknya berhenti pasien berlari ke depan dan meletuskan balon
29
yang ada di depannya, pasien yang bisa memecahkan balon akan menceritakan
pengalaman halusinasinya, permainan musik balon akan dimainkan secara
berurutan sampai semua klien mendapat giliran, hasilnya akan ditulis di
whiteboard .
c. Beri pujian pada klien yang melakukan dengan baik.
d. Simpulkan isi, waktu terjadi, situasi terjadi, dan perasaan klien dari pengalaman
halusinasinya.
3. Fase Terminasi
a. Evaluasi
1.) Leader menanyakan perasaan klien setelah mengikuti TAK.
2.) Leader memberi pujian atas keberhasilan kelompok.
b. Tindak Lanjut
1.) Leader meminta klien untuk melaporkan isi, waktu, situasi dan perasaannya
jika terjadi halusinasi.
c. Kontrak yang akan datang
1.) Menyepakati TAK yang akan datang, yaitu cara mengontrol halusinasi.
2.) Menyepakati waktu dan tempat.
F. Antisipasi Masalah
a. Tata Tertib
1.) Peserta bersedia mengikuti terapi aktivitas kelompok
2.) Peserta berpakaian rapi dan bersih
3.) Peserta tidak diperbolehkan makan, minum, merokok selama mengikuti terapi
aktivitas kelompok
4.) Peserta harus hadir 5 menit sebelum acara berlangsung
5.) Peserta tidak boleh meninggalkan ruangan selama terapi aktivitas kelompok
berlangsung
6.) Jika ada pertanyaan peserta mengangkat tangan terlebih dahulu dan berbicara
setelah dipersilahkan oleh leader
7.) Anggota harus berperan aktif dalam terapi aktivitas kelompok
8.) Anggota harus bersikap terbuka
9.) Waktu sesuai dengan yang sudah disepakati

G. Strategi Pelaksanaan
1. Fase Orientasi
a. Salam Teraupetik

30
“ Selamat pagi semuanya ?”
“ Perkenalkan kami mahasiswa akper serulingmas cilacap, nama saya Rizka
Nurmala Sari saya paling suka di panggil Rizka, dari ujung kanan ada Ani
Safitri dia paling suka di panggil Ani, di sebelahnya ada Nurul Laela Itiqomah
paling suka di panggil Nurul, di sebelah Nurul ada Halima Tusadiah dia paling
suka di panggil Halimah, terakhir disebelah saya ada Noti Mardiana Majid, dia
paling suka di panggil Noti ( Memakai Papan Nama )“
“Saya ingin tahu siapa nama kalian semua, dari ujung kanan siapa namanya?
Dan paling suka di panggil siapa ? ( diberi nama )”
b. Evaluasi atau Validasi
“ Bagus semuanya, ngomong – ngomong bagaimana perasaan kalian semuanya
pagi ini ?”
“Apakah kalian masih ingat dengan kami dan janji kita kemarin, yaitu tentang
kegiatan terapi kelompok ?”
c. Kontrak
“Bagus kalian masih mengingatnya, baiklah pada Terapi Aktivitas Kelompok
kali ini kita akan mengenal pengalaman halusinasi”
“Baiklah semuanya saya akan membacakan peratutan aktivitas hari ini
1. Peserta bersedia mengikuti terapi aktifitas kelompok
2. Peserta berpakaian rapi dan bersih
3. Peserta tidak diperbolehkan makan, minum, merokok selama mengikuti
terapi aktivitas kelompok
4. Peserta harus hadir 5 menit sebelum acara berlangsung
5. Peserta tidak boleh meninggalkan ruangan selama terapi aktivitas kelompok
berlangsung
6. Jika ada pertanyaan peserta mengangkat tangan terlebih dahulu dan
berbicara setelah dipersilahkan leader
7. Anggota harus berperan aktif dalam terapi aktivitas kelompok
8. Anggota harus bersikap terbuka
9. Waktu sesuai dengan yang sudah di sepakati yaitu 45 menit
2. Fase Kerja
“ Baiklah Semuanya kegiatan ini kita mulai”
“Kami akan Membagikan kertas dan spidol kepada kalian, kemudian kalian tuliskan
pengalaman halusinasi seperti menyebutkan isi halusinasi, waktu halusinasi, situasi
saat halusinasi, perasaan saat halusinasi”

31
“ Bagus sekali semuanya sudah mengisi kertas yang kami bagikan, sekarang kita
mulai untuk membacakan pengalaman halusinasi yang sudah kalian tulis, nanti
kalian maju satu – satu dengan permainan musik balon, nanti kalian berdiri di
belakang garis yang sudah kami buat, kemudian kami akan bagi peniti untuk
memecahkan balon yang terpasang di dinding, ingat peniti itu untuk memecahkan
balon, setelah itu teman saya noti akan menyalakan musik setelah musik menyala
kalian harus berjoged, setelah musiknya berhenti kalian maju ke depan dan
memecahkan balon dengan peniti, peserta yang berhasil memecahkan balon akan
membacakan pengalaman halusinasinya di depan, permainan musik balon ini akan
dimainkan secara berurutan sampai semua peserta mendapat giliran membacakan
hasil pengalaman halusinasi di depan, bagaimana kalian setuju?”
“Baiklah kalau kalian setuju kita mulai permainannya”
“Terima kasih semuanya karena sudah membacakan pengalaman halusinasi, dan
semua yang kalian bacakan itu sangat baik”
“ Baiklah kalau pengalaman halusinasi muncul lagi kalian bisa melakukan
merhardik dengan cara jika kalian melihat atau mendengar sesuatu kalian harus
berbicara dengan keras husss... pergi dari saya,,, jangan dekat – dekat saya kalian
palsu atau ketika sedang makan kemudian pengalaman halusinasi kalian datang
kalian harus bilang makanan ini enak, sangat... sangat enak, begitu di ulang – ulang
sampai suara dan bayangan itu tidak terdengar atau tidak nampak lagi, apakah kalian
paham.“
“Bagus kalau kalian paham, coba kalian peragakan! Nah begitu,....bagus!Coba lagi,
Bagus kalian semua sudah bisa menghardik, ingat kalau pengalaman halusinasi
kalian muncul lagi lakukan menghardik seperti yang kami ajarkan.”
3. Fase Terminasi
“Bagaimana perasaan kalian setelah mengikuti kegiatan ini”
“Tepuk tangan untuk kalian semua, kalian semua sangat bagus”
“Mungkin dari kalian yang masih memiliki pengalaman halusinasi yang belum di
tulis, untuk itu sekarang kalian boleh menulisnya”
“Mas. Mas... Mba..mba besok kita ada akan ada terapi aktivitas kelompok sseperti
ini lagi dengan kegiatan mempraktekan cara menghardik dan cara mengontrol
halusinasi kalian semua dan dapat diterapkan dirumah sakit dan sampai kalian
pulang ke rumah.

32
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Terapi aktivitas kelompok merupakan bagian dari terapi modalitas dalam asuhan
keperawatan khususnya dalam memberikan tindakan keperawatan jiwa, terapi aktivitas
kelompok merupakan salah satu terapi yang dilakukan oleh perawat kepada sekelompok
klien yang memiiliki masalah keperawatan jiwa yang sama. Aktivitas digunakan sebagai
terapi dan kelompok sebagai target asuhan. Kelompok adalah kumpulan yang memilki
hubungan satu dengan yang lain, saling bergantung, dan mempunyai norma yang sama
(Stuart dalam Kelitat, 2009).
Salah satu somatik terapi (terapi fisik) pada klien gangguan jiwa adalah pemberian
obat psikofarmaka. Psikofarmaka adalah sejumlah besar obat farmakologis yang
digunakan untuk mengobati gangguan mental. Obat-obatan yang paling sering
digunakan di Rumah Sakit Jiwa adalah Chlorpromazine, Halloperidol, dan
Trihexypenidil. Obat-obatan yang diberikan selain dapat membantu dalam proses
penyembuhan pada klien gangguan jiwa, juga mempunyai efek samping yang dapat
merugikan klien tersebut, seperti pusing, sedasi, pingsan, hipotensi, pandangan kabur
dan konstipasi. Untuk menghindari hal tersebut perawat sebagai tenaga kesehatan yang
langsung berhubungan dengan pasien selama 24 jam, harus mampu mengimbangi
terhadap perkembangan mengenai kondisi klien terutama efek dari pemberian obat
psikofarmaka.

4.2 Saran
Diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi dan masukkan bagi mahasiswa
untuk mengetahui tentang terapi aktivitas kelompok serta dapat mengaplikasikannya dalam
praktik keperawatan.
.

33
DAFTAR PUSTAKA

Purwaningsih, Wahyu & Karlina Ina.2010.Asuhan Keperawatan Jiwa.Jogjakarta:Nuha


Medika.
Kelaiat BA dan Akemat. (2005). Keperawatan Jiwa Terapi Aktivitas Kelompok. Jakarta:EGC

Depkes RI. 2000. Keperawatan Jiwa Teori dan Tindakan Keperawatan. Jakarta : Dirjen
Yanmed
Hartono,Yudi. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa.Jakarta : Salemba Medika
Purwaningsih, wahyu dan Ina Karlina. 2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jogjakarta :NUHA
MEDIKA
Riyadi, Sujono.2009. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Graha Ilmu

iii

Anda mungkin juga menyukai