Anda di halaman 1dari 26

JUDUL :Pengaruh Model Pembelajaran Kooperatif tipe CORE

(Connecting, Organizing, Reflecting, Extending) terhadap


Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa

Peneliti/NPM :Naomi Aprilia Rumapea / 166411164

Dosen Pembimbing :Dr. Sri Rezeki, S.Pd., M.Si

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan Negara yang sedang berkembang dalam


berbagai aspek roda kehidupan. Didalam proses ini pendidikan
mempunyai peranan yang sangat penting dalam upaya untuk
meningkatkan sumber daya manusianya. Berbagai macam cara ditempuh
guna mengembangkan ilmu pengetahuan bagi kehidupan. Semua
komponen masyarakat memiliki peranan terutama pemerintah agar tujuan
utama pendidikan tercapai.

Namun kenyataannya mutu pendidikan di Indonesia sampai saat


sekarang ini masih sangat rendah dibandingkan dengan negara yang lain.
Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas
pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia.
Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The
World Economic Forum Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing
yang rendah, yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang
disurvei di dunia.

Rendahnya mutu pendidikan ini mungkin karena pengajaran


disajikan masih dalam bentuk yang kurang menarik, terkesan sulit, dan

1
menakutkan sehingga siswa sering tidak menguasai konsep dasar yang
terkandung dalam materi pelajaran matematika yang dapat mengakibatkan
kesalahan fatal terhadap keberhasilan belajar siswa sehingga hasil belajar
siswa menjadi rendah.

Salah satu masalah penting dalam pembelajaran matematika saat


ini adalah pentingnya pengembangan kemampuan pemecahan masalah
matematis siswa. Pengembangan pemecahan masalah juga menjadi salah
satu tujuan pembelajaran matematika dan menjadi salah satu standar
kompetensi lulusan dalam bidang matematika.

Menurut survei dari Trends International Mathematics and


Science Study (TIMSS) pada tahun 2003 menempatkan Indonesia pada
peringkat ke 34 dari 45 negara. Sedangkan prestasi pada TIMSS 2007
lebih memprihatinkan lagi, karena rata-rata skor siswa kelas 8 menurun
menjadi 405, dibanding tahun 2003 yaitu 411. Rangking Indonesia pada
TIMSS tahun 2007 menjadi rangking 36 dari 49 negara.

Hasil survei dari TIMSS ini tidak jauh berbeda dengan hasil survei
dari Programe for International Student Assessment (PISA). Pada tahun
2003 menempatkan Indonesia pada peringkat 2 terendah dari 40 negara
sampel, yaitu hanya satu peringkat lebih tinggi dari Tunisia. Pada PISA
tahun 2009 Indonesia hanya menduduki rangking 61 dari 65 peserta
dengan rata-rata skor 371, sementara rata-rata skor internasional adalah
496.

Dari hasil penelitian yang dilakukan TIMSS dan PISA dapat


disimpulkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis siswa
masih rendah. Selain kemampuan pemecahan masalah matematis, prestasi
belajar siswa juga dapat dipengaruhi oleh model pembelajaran yang
diterapkan oleh guru. Saat ini masih banyak guru yang menggunakan

2
model pembelajaran konvensional , pembelajaran ini menggunakan
metode ekspositori, yaitu guru menjelaskan materi pelajaran secara
klasikal, kemudian guru memberikan contoh soal dan siswa
mengerjakannya. Model pembelajaran yang berkembang saat ini sangatlah
banyak, salah satunya model CORE (Connecting, Organizing, Reflecting,
Extending).

Tahapan belajar dengan model CORE yaitu sebuah proses


pembelajaran yang berbeda dan memberi ruang bagi siswa untuk
berpendapat, mencari solusi dan membangun pengetahuannya sendiri. Hal
ini memberikan pengalaman yang berbeda sehingga diharapkan bisa
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis pada siswa.

Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji


peningkatan kemampuan pemecahan masalah matematis siswa dalam
pembelajaran matematika dengan menggunakan model CORE yang
dituangkan dalam judul “Penerapan Model CORE (Connecting,
Organizing, Reflecting, Extending) terhadap Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematis Siswa SMA ”.

2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat diidentifikasi


masalah sebagai berikut :

a. Kurangnya penggunaan model pembelajaran yang mampu


mengaktifkan serta mendorong siswa untuk memiliki kemampuan
pemecahan masalah matematis.
b. Kemampuan pemecahan masalah matematis siswa masih tergolong
rendah.

3
3. Perumusan Masalah
Berdasakan latar belakang masalah yang telah diuraikan maka
dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini, yaitu apakah
terdapat pengaruh model pembelajaran CORE (Connecting, Organizing,
Reflecting, Extending) terhadap kemampuan pemecahan masalah
matematis pada siswa SMA Negeri 6 Pekanbaru tahun ajaran 2019/2020.

4. Pembatasan Masalah
Mengingat keterbatasan kemampuan peneliti jika dibandingkan
dengan ruang lingkup yang ada pada penelitian ini, dan berdasarkan
identifikasi masalah tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini
dibatasi pada :
a. Model Pembelajaran yang akan diteliti adalah model pembelajaran
kooperatif tipe CORE (Connecting, Organizing, Reflecting,
Extending) pada kelas eksperimen dan model pembelajaran
konvensional pada kelas control di SMA Negeri 6 Pekanbaru.
b. Kemampuan pemecahan masalah matematis.

5. Tujuan dan Manfaat Penelitian


5.1.Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
pengaruh model pembelajaran CORE (Connecting, Organizing,
Reflecting, Extending) terhadap kemampuan pemecahan masalah
matematis.

5.2.Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat:
1) Bagi siswa

4
Dengan diterapkan model pembalajaran CORE (Connecting,
Organizing, Reflecting, Extending) diharapkan dapat
meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis
siswa.
2) Bagi guru
Model pembeajaran CORE (Connecting, Organizing,
Reflecting, Extending) yang dilakukan pada penelitian ini
diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu bahan masukan
bagi guru dan sebagai salah satu alternatif strategi
pembelajaran matematika untuk melakukan inovasi dalam
pembelajaran matematika sehingga dapat mempengaruhi
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa.
3) Bagi sekolah
Tindakan yang dilakukan pada penelitian ini diharapkan dapat
dijadikan sebagai salah satu bahan masukan bagi sekolah
dalam rangka melakukan perubahan pembelajaran oleh guru.
4) Bagi peneliti
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi pengalaman dan
landasan berpijak dalam rangka menindaklanjuti penelitian ini
dengan ruang lingkup yang lebih luas.

B. Tinjauan Teori dan Hipotesis Penelitian


1. Tinjauan Teori
1.1.Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis

Woolfolk (dalam Yamin, 2013: 63) menyatakan bahwa


“problem solving suatu masalah memformulasikan jawaban baru, yang
lebih dari penerapan sederhana dari aturan-aturan yang sudah
dipelajari sebelumnya untuk mencapai tujuan”. Jadi, pemecahan

5
masalah adalah suatu kemempuan untuk menciptakan jawaban baru
dan dapat mengubahnya menjadi peluang atau kesempatan.

Wardhani (2010: 7) menyatakan bahwa, “kemampuan


memecahkan masalah menjadi tujuan utama diantara beberapa tujuan
belajar matematika”. Hal itu karena setiap siswa akan menemukan soal
yang berbentuk pemecahan masalah untuk menyelesaikannya.
Menurut Holmes (dalam Wardhani, 2010: 7), “seseorang perlu belajar
memecahkan masalah matematika adalah karena adanya fakta bahwa
orang yang mampu memecahkan masalah akan hidup dengan
produktif dalam abad dua puluh satu ini”.

Sumarmo (2013: 5) menyatakan bahwa:

Kemampuan pemecahan masalah terdiri dari beberapa indikator,


antara lain sebagai berikut:

a. Mengidentifikasi unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan


kecukupan unsur yang diperlukan.
b. Merumuskan masalah matematik atau menyusun model
matematik.
c. Menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah.
d. Menjelaskan/menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan
asal.
e. Menggunakan matematika secara bermakna.

Berdasarkan paparan di atas, maka ada empat indikator


kemampuan pemecahan masalah yang akan peneliti gunakan menurut
Sumarno, yaitu:

a. Mengidentifikasi unsur yang diketahui, yang ditanyakan, dan


kecukupan unsur yang diperlukan.

6
b. Merumuskan masalah matematik atau menyusun model
matematik.
c. Menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai masalah.
d. Menjelaskan/menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan
asal.

Alasan peneliti memilih empat indikator pemecahan masalah


matematis tersebut, adalah:

a. Adanya keterbatasan materi, yaitu tidak semua materi pelajaran


yang mencakup semua indikator kemampuan pemecahan
masalah matematis tersebut.
b. Keterbatasan peneliti dalam membuat soal yang sesuai
indicator.

1.2.Model Pembelajaran CORE (Connecting, Organizing, Reflecting,


dan Extending)

Model pembelajaran Core singkatan dari Connecting,


Organizing, Reflecting, dan Extending. Calfee et al. (Jannatul dkk,
2014: 138) mengusulkan suatu model pembelajaran yang dapat
mempengaruhi perkembangan pengetahuan dengan melibatkan siswa
yang disebut model CORE (Connecting, Organizing, Reflecting, dan
Extending). Menurut Jacob (dalam Yuwana, 2013: 6) “CORE adalah
salah satu model pembelajaran yang berlandaskan pada
kontruktivisme”.

Penjelasan mengenai model CORE selengkapnya disajikan


pada uraian berikut:

a. Connecting

7
Connect secara bahasa artinya come or bring together,
sehingga connecting dapat diartikan dengan menghubungkan (Santi,
2013: 5). Menghubungkan suatu konsep yang akan dipelajari dengan
yang sudah diketahui oleh peserta didik. Dengan koneksi yang baik,
diharapkan peserta didik akan mengingat informasi dan menggunakan
pengetahuan untuk menghubungkan dan menyusun ide-idenya.
Diskusi menentukan koneksi untuk belajar. Agar dapat berperan dalam
suatu diskusi, siswa harus mengingat informasi dan menggunakan
pengetahuan yang dimilikinya untuk menghubungkan dan menyusun
ide-idenya. Katz dan Nirula (Siti, 2014: 14) menyatakan bahwa
dengan Connecting, sebuah konsep dapat dihubungkan dengan konsep
lain dalam sebuah diskusi kelas, dimana konsep yang akan diajarkan
dihubungkan dengan apa yang telah diketahui siswa. Agar dapat
berperan dalam diskusi, siswa harus mengingat dan menggunakan
konsep yang dimilikinya untuk menghubungkan dan menyusun ide-
idenya.

b. Organizing

Organize secara bahasa berarti arrange in a system that works


well, artinya siswa mengorganisasikan informasi-informasi yang
diperolehnya (Santi, 2013: 5). Diskusi membantu siswa dalam
mengorganisasikan pengetahuannya. Siswa mengorganisasikan
informasi –informasi yang telah diperoleh untuk menyusun suatu ide
atau rencana. Kegiatan ini dalam proses pembelajaran meliputi
penyusunan ide-ide setelah peserta didik menemukan keterkaitan
dalam masalah yang diberikan, sehingga terciptanya strategi dalam
menyelesaikan masalah. Calfee et al. (Santi, 2013: 5) berpendapat
bahwa berbagai partisipan berusaha untuk mengerti dan berkontribusi

8
terhadap diskusi, mereka dikuatkan dengan menghubungkan dan
mengorganisasikan apa yang mereka ketahui.

c. Reflecting

Reflect secara bahasa berarti think deeply about something and


express, artinya siswa memikirkan secara mendalam terhadap konsep
yang dipelajarinya. Sagala (Santi, 2013: 3) mengungkapkan refleksi
adalah cara berfikir kebelakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan
dalam hal belajar di masa lalu. Siswa mengendapkan apa yang baru
dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru, yang
merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan sebelumnya.
Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas atau
pengetahuan yang baru diterima. Dalam pembelajaran, kegiatan ini
dilakukan ketika berada dalam satu kelompok dengan memaparkan
idenya dalam diskusi. Kegiatan merefleksikan pada proses
pembelajaran ini juga dilaksanakan dengan perwakilan dari kelompok
diskusi untuk bisa memaparkan hasil diskusinya di depan kelas, dan
yang lain memperhatikan dengan menyimpulkan materi baru tersebut,
sehingga peserta didik bisa saling menghargai dan mengoreksi
pekerjaan orang lain.

d. Extending

Extend secara bahasa berarti make longer and larger, artinya


diskusi dapat membantu memperluas pengetahuan siswa (Santi, 2013:
5). Perluasan pengetahuan tersebut harus disesuaikan dengan kondisi
dan kemampuan yang dimiliki siswa. Menurut Gusti dkk (2015: 5)
dalam tahap ini siswa diberikan motivasi untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan yang lebih luas secara mandiri berdasarkan
pemikiran pada proses sebelumnya. Mereka mengaplikasikan

9
pengetahuan yang telah terbangun untuk menyelesaikan persoalan
secara individual. Dalam tahap ini, guru bisa menilai siswa mengikuti
proses pembelajaran dengan benar dan siswa yang hanya mengikuti
pembelajaran tanpa memahami alur yang telah diterapkan. Proses
Extending, memberikan penguatan kepada siswa atas memori yang
telah terbangun pada tahapan sebelumnya dan membuat siswa terbiasa
untuk menghadapi persoalan secara individual.

Langkah-langkah pembelajaran model CORE menurut


Shoimin (2014: 39-40) yaitu:

a) Mengawali pembelajaran dengan kegiatan yang menarik


(Pen: perhatian) siswa. Cara yang dilakukan bisa
menyanyikan lagu berkaitan dengan materi yang akan
diajarkan.
b) Penyampaian konsep lama yang akan dihubungkan dengan
konsep baru oleh guru kepada siswa (Connecting).
c) Pengorganisasian ide-ide untuk memahami materi yang
dilakukan oleh siswa denga bimbingan guru (Organizing).
d) Pembagian kelompok secara heterogen (campuran antara
yang pandai, sedang, dan kurang) yang terdiri dari 4-5
orang.
e) Memikirkan kembali, mendalami, dan menggali informasi
yang sudah didapati dan dilaksanakan dalam kegiatan
belajar kelompok siswa (Reflecting).
f) Pengembangan, memperluas, menggunakan, dan
menemukan, melalui tugas individu dengan mengerjakan
tugas (Extending).

10
Adapun langkah-langkah yang peneliti gunakan dalam
penelitian ini adalah langkah-langkah menurut Shoimin. Penerapan
model pembelajaran CORE yang dilaksanakan dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:

a) Tahap persiapan
Kegiatan pembelajaran yang dilakukan adalah guru
menyiapkan materi yang akan diajarkan yang telah termuat
di RPP, LKPD, kisi-kisi soal pretest dan posttest, soal
pretest dan posttest. Mengelompokkan peserta didik yang
diperoleh dari ulangan harian sebelumnya dengan anggota
kelompok belajar yang bersifat heterogen.
b) Tahap pelaksanaan
Kegiatan Awal
1. Guru menyuruh ketua kelas menyiapkan kelas dan
berdoa, mengucapkan salam, dan mengecek
kehadiran siswa.
2. Guru menyebutkan judul materi.
3. Guru menyampaikan tujuan pembelajaran dan
mempersiapkan peserta didik dan memberikan
motivasi berupa cerita tentang manfaat segitiga agar
menarik perhatian peserta didik.
4. Guru menyampaikan materi prasyarat yang
berhubungan dengan materi yang akan dipelajari
dan menghubungkannya dengan materi yang akan
dipelajari (Connecting).
5. Guru menjelaskan langkah-langkah kegiatan
pembelajaran yang akan dilakukan yaitu
pembelajaran CORE.

11
6. Guru mengelompokkan peserta didik menjadi 7
kelompok yang terdiri dari 4-5 orang.
7. Guru membagikan LKPD kepada masing-masing
siswa disetiap kelompok.

Kegiatan Inti

1. Peserta didik berdiskusi menggunakan pengetahuan


mereka untuk memahami materi dan berpartisipasi
dalam memahami materi (Organizing).
2. Guru meminta siswa untuk mengerjakan LKPD
dalam kelompok untuk memahami materi.
3. Sambil mengelilingi kelas, guru memantau siswa
yang sedang mengerjakan LKPD dan membimbing
siswa jika terdapat kesulitan.
4. Guru meminta siswa untuk mengerjakan soal-soal
latihan di LKPD untuk menggali informasi yang
sudah didapati.
5. Peserta didik melakukan refleksi terhadap hasil
diskusinya, dan mempresentasikan hasil diskusinya
kedepan kelas (Reflecting).
6. Guru menegaskan kembali atau mengoreksi hasil
yang dikerjakan perwakilan kelompok di depan
kelas.
7. Guru memberikan penghargaan kepada perwakilan
kelompok yang percaya diri mempresentasikan
hasil diskusinya.

Kegiatan Akhir

12
1. Peserta didik mengerjakan soal latihan untuk
memperluas pengetahuan mereka (Extending)
secara individu (mandiri).
2. Serangkaian pertanyaan guru menanyakan tentang
materi yang telah dipelajari dan peserta didik
menjawab pertanyaan.
3. Guru memberikan PR.
4. Guru memberikan materi yang akan dipelajari pada
pertemuan berikutnya.
5. Guru menutup pembelajaran dengan meminta salah
satu peserta didik memimpin berdoa untuk
menumbuhkan sikap religius dan meninggalkan
kelas.
c) Evaluasi
Guru memberikan evaluasi dalam bentuk soal latihan dan
ulangan harian (soal posttest). Soal latihan dan ulangan
dikerjakan secara individu oleh siswa.

Adapun Kelebihan dan Kekurangan dari model pembelajaran core


menurut Shoimin (2014: 40) adalah sebagai berikut:

1) Kelebihan
a. Mengembangkan keaktifan siswa dalam pemmbelajaran.
b. Mengembangkan dan melatih daya ingat siswa tentang
suatu konsep dalam materi pembelajaran.
c. Mengembangkan daya berpikir kritis sekaligus
mengembangkan keterampilan pemecahan suatu masalah.
d. Memberikan pengalaman belajar kepada siswa karena
mereka banyak berperan aktif sehingga pembelajaran
menjadi bermakna.

13
2) Kekurangan
a. Membutuhkan persiapan matang dari guru untuk
menggunakan model ini.
b. Jika siswa tidak kritis, proses pembelajaran tidak bias
berjalan dengan lancar.
c. Memerlukan banyak waktu.
d. Tidak semua materi pelajaran dapat menggunakan model
CORE.

2. Penelitian yang Relevan

Hasil penelitian yang berkaitan dengan pembelajaran melalui


model CORE dilakukan oleh Bukhari Ahmad, Ria Deswita, Febria
Ningsih dan Syafriadi (Mahasiswa S1 Pendidikan Matematika IAIN
Kerinci) meneliti tentang pengaruh model pembelajaran CORE dengan
pendekatan scientific terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis
dan mathematical habits of mind mahasiswa matematika. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematis
mahasiswa yang memperoleh pembelajaran model CORE dengan
pendekatan scientific lebih baik daripada mahasiswa yang memperoleh
pembelajaran biasa.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Agata Intan P, Caswita, dan


Pentatito Gunowobowo meneliti tentang bagaimana pengaruh
pembelajaran kooperatif tipe core terhadap kemampuan komunikasi
matematis siswa. Pada penelitian ini Agata dkk memperoleh hasil bahwa
pembelajaran kooperatif tipe CORE berpengaruh terhadap peningkatan
kemampuan komunikasi matematis siswa kelas VII di SMP Negeri 9
Bandarlampung.

14
3. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan permasalahan dan tinjauan teoritis, maka dapat


dirumuskan hipotesis pada penelitian ini yaitu terdapat Pengaruh Model
Pembelajaran CORE (Connecting, Organizing, Reflecting, dan Extending)
terhadap Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Siswa SMA Negeri
6 Pekanbaru.

15
C. Metodologi Penelitian
1. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di SMA Negeri 6 Pekanbaru yang
berlokasi di jalan Bambu Kuning No. 28 Rejosari, Kec. Tenayan Raya.
Dan penelitian ini juga akan dilakukan pada semester genap tahun ajaran
2019/2020.

2. Populasi dan Sampel Penelitian


Dalam suatu penelitian, yang dimaksud dengan populasi adalah
wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek yang mempunyai
kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya dalam Siswono (2011: 44).
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X yang tersebar pada 10
kelas dengan guru bidang studi matematika yang berbeda.
Menurut Sugiyono (2015: 62) sampel adalah bagian dari jumlah
dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Adapun sampel yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah dengan kebijakan yang akan
diberikan oleh guru matematika yang terdapat di sekolah tersebut
dikarenakan guru tersebut lah yang mengetahui bagaimana kondisi
kemampuan siswa disana.

3. Metode dan Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Penelitian


eksperimen merupakan kegiatan penelitian yang bertujuan untuk menilai
pengaruh suatu perlakuan/tindakan/treatment pendidikan terhadap tingkah
laku siswa, atau menguji tentang ada tidaknya pengaruh tindakan itu bila
dibandingkan dengan tindakan lain.

16
Penelitian yang dilakukan peneliti ialah quasi experiment atau
eksperimen semu yang telah banyak dilakukan dalam dunia pendidikan.
Sugiyono (2013: 114) menyatakan bahwa “bentuk penelitian eksperimen
semu ini mempunyai mempunyai kelompok kontrol, tetapi tidak dapat
berfungsi sepenuhnya untuk mengontrol variabel-variabel luar yang
mempengaruhi pelaksanaan eksperimen”.

Dalam Quasi Experiment Design, peneliti memilih Nonequivalent


Control Group Design yaitu sebuah rancangan eksperimen yang subjek
penelitiannya tidak dipilih secara acak untuk melibatkan dalam kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Desain ini menggunakan pretest yang
berfungsi untuk mengetahui keadaan awal adakah perbedaan rata-rata
kemampuan pemecahan masalah matematis siswa antara kelompok
eksperimen dan kelompok kontrol. Sedangkan posttest digunakan untuk
pengolahan data baik terhadap kelompok kontrol maupun kelompok
eksperimen.

4. Teknik Pengumpulan Data

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes dan non-
tes. Instrumen tes yang digunakan adalah tes kemampuan pemecahan
masalah matematis tipe uraian, karena dengan tipe uraian proses berpikir
siswa dapat dievaluasi, mempermudah mengidentifikasi kesalahan siswa
ditinjau dari bagaimana langkah-langkah siswa dalam menyelesaikan
persoalan dan untuk menghindari siswa menjawab secara menebak.
Instrumen non-tes yang digunakan adalah skala sikap untuk mengukur
sikap siswa terhadap pelajaran matematika, pembelajaran matematika
dengan model pembelajaran CORE (Connecting, Organizing, Reflecting,
Extending) terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis.

17
Pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan
mengunakan test setelah berakhirnya serangkaian proses pembelajaran
(post-test). Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk mendapatkan
data penelitian adalah sebagai berikut:

1. Tahap Persiapan

Pada tahapan ini, penulis mempersiapkan semua yang


berhubungan dengan pelaksanaan penelitian meliputi:

1) Mengambil data jumlah siswa dan nilai ulangan matematika


yang telah dipelajari siswa kelas X IPA SMA Negeri 6
Pekanbaru untuk menentukan kelas sampel.
2) Menentukan kelompok kelas eksperimen dan kelas kontrol.
3) Menyusun jadwal penelitian.
4) Membuat instrumen penelitian berupa RPP, Lembar
Keterlaksanaan, soal- soal latihan, kisi-kisi soal post-test, dan
rubrik penskoran kemampuan pemecahan masalah matematika.
5) Memvalidasi instrumen.
6) Uji coba instrumen yang divalidasi.
7) Memberikan uji coba post-test diluar kelas sampel.
2. Tahap Pelaksanaan

Peneliti mengajar dan mengamati di kelas eksperimen dan kelas


kontrol dengan materi yang sama tetapi pada kelas eksperimen dengan
pembelajaran model pembelajaran CORE, sedangkan kelas kontrol
menggunakan model pembelajaran direct instruction.

3. Tahapan Akhir.
1) Memberikan post-test dengan waktu yang ditentukan oleh
peneliti.

18
2) Menganalisis nilai tes akhir matematika siswa dari hasil post-
test dan mengambil kesimpulan.

5. Instrumen Pengumpulan Data

Bentuk tes yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes uraian.
Alasan yang digunakan bentuk uraian dalam penelitian ini, karena melalui tes
uraian menuntut siswa untuk dapat mengingat, mengenal kembali serta
mempunyai daya kreativitas yang tinggi dan tes ini bertujuan untuk mengukur
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa berdasarkan indikator-
indikator kemampuan pemecahan masalah. Hal ini sejalan dengan pendapat
Arikunto, S (2013:177), “Soal-soal bentuk uraian ini menuntut kemampuan
siswa untuk dapat mengorganisir, menghubungkan pengertian-pengertian
yang telah dimiliki”.

Adapun kriteria soal uraian yang digunakan dalam penelitian ini


adalah sebagai berikut:

1. Masalah yang terkait dengan situasi masalah yang nyata yang


dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
2. Pemecahan masalah membutuhkan prngetahun awal dengan
beberapa alternatif.
3. Permasalahannya terkait dengan cara memformulasikan masalah
secara simbolik kemudian manipulasi simbol-simbol.
4. Pemecahan masalah membutuhkan langkah-langkah pemecahan
yang logis.

6. Teknik Analisis Data


6.1.Teknik Analisis Data Skor Tes

19
Dalam penelitian ini data yang akan dianalisis ialah rata-rata skor
posttest pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Metode statistik yang
digunakan adalah uji hipotesis dengan uji statistik uji-t. Sebelum dianalisis
dilakukan terlebih dahulu uji normalitas dan uji homogenitas. Peneliti
menggunakan alat bantu SPSS yaitu alat bantu yang berupa software yang
dirancang untuk membantu pengolahan data statistik. Sebelum pengujian
hipotesis dilakukan uji prasyarat pembuktian hipotesis, yaitu sebagai berikut:

1. Uji Homogenitas Data

Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah kedua


kelompok yang dibandingkan mempunyai kemampuan yang homogen
atau tidak.

Adapun untuk menguji homogenitas dilakukan dengan uji Fhitung:

𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖
Rumus Fhitung : 𝑣𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛𝑠𝑖 𝑡𝑒𝑟𝑒𝑛𝑑𝑎ℎ
(∑ 𝑥)2
∑ 𝑥2
2 𝑁
Varian (𝑆𝐷 ) = (𝑁−1)

Untuk memeriksa tabel nilai-nilai F harus ditemukan dulu


derajat kebebasan (db). Dalam menguji signifikannya terdapat db
pembilang (n1-1) dan db penyebut (n2-1).

Kriteria pengujiannya dengan taraf 0,05 adalah:

Terima H0 jika Fhitung ≤ Ftabel

Tolak H1 jika Fhitung > Ftabel

Untuk memperkuat hasil pengujian dengan rumus diatas,


peneliti menggunakan program SPSS dengan ketentuan Sig. > 0,05
maka data tersebut homogeny. Apabila homogeny terpenuhi maka
peneliti dapat melakukan tahap analisis selanjutnya.

20
2. Uji Normalitas Data

Uji normalitas data dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa


data sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Ada
beberapa teknik yang dapat digunakan untuk menguji normalitas data,
antara lain uji chi-kuadrat, uji liliefors, dan uji Kolmogorov-smirnov.
Adapun langkah-langkah pengujian normalitas menggunakan uji
Kolmogorov-smirnov adalah sebagai berikut:

a. Menentukan hipotesis
H0 : Data berasal dari distribusi normal
H1 : Data tidak berasal dari distribusi normal
b. Menentukan rata-rata data
c. Menghitung Standar Deviasi:
∑(𝑋𝑖−𝑋)2
SD = √ 𝑛−1

d. Mengitung Z score untuk i=1


𝑋𝑖−𝑋
Z= 𝑆𝐷

e. Mencari Ft, dengan cara melihat tabel distribusi normal


𝐹𝑘𝑢𝑚
f. Menentukan Fs, dengan cara: 𝑛

g. Menentukan |𝐹𝑡 − 𝐹𝑠|


h. Kesimpulan Pengujian:

Dmaks = nilai maksimal (terbesar) dari |𝐹𝑡 − 𝐹𝑠|

Kriteria uji : Tolak Ho jika D maks ≥ D tabel (data tidak berasal dari
distribusi normal) Terima Ho jika D maks < D tabel (data berasal dari
distribusi normal).

6.2.Uji Hipotesis

21
Jika kedua kelas sampel normal dan homogen maka untuk
pengujian hipotesis digunakan uji statistik uji-t. Langkah-langkah
pengujian hipotesis menggunakan uji statistik uji t adalah sebagai berikut:

a. Membuat H0 dan H1 dalam uraian kalimat.

H0: Tidak terdapat perbedaan rata-rata skor posttest kemampuan


pemecahan masalah matematika siswa antara kelas eksperimen dengan
kelas kontrol.

H1: Terdapat perbedaan rata-rata skor posttest kemampuan pemecahan


masalah matematika siswa antara kelas eksperimen dengan kelas
kontrol.

Hipotesis statistik

H0 : 𝜇1 = 𝜇2

H1 : 𝜇1 ≠ 𝜇2

Dimana:
𝜇1: rata-rata skor posttest kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa pada kelas eksperimen (model pembelajaran
CORE)
𝜇2: rata-rata skor posttest kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa pada kelas kontrol (model pembelajaran
langsung)
Uji hipotesis yang digunakan adalah uji kesamaan rata-rata dua
pihak.
b. Menghitung nilai rata-rata, standar deviasi dan variansi
c. Mencari thitung dengan rumus (Sudjana, 2005:239)

22
𝑥1 −𝑥2 (𝑛1 −1)𝑠12 +(𝑛2 −2)𝑠22
thitung = 𝑠 dengan s² =
1 1 𝑛1 + 𝑛2 −2
√𝑛 +𝑛
1 2

Keterangan:
s² = Variansi gabungan
s = Standar deviasi gabungan
𝑥1 = Skor rata-rata kelas eksperimen
𝑥2 = Skor rata-rata kelas kontrol
s1= Standar deviasi kelas eksperimen
s2= Standar deviasi kelas kontrol
n1= Jumlah siswa kelas eksperimen
n2= Jumlah siswa kelas kontrol
d. Menentukan terlebih dahulu taraf signifikan yaitu α = 0,05 untuk
mencari nilai ttabel.
e. Tentukan kriteriannya

Kriteria pengujian dua pihak:

Kriteria pengujian adalah terima H0, jika −𝑡1−1∝ < 𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 <
2

𝑡1−1∝ untuk taraf nyata ∝= 0,05 dan tolak H0 jika thitung mempunyai
2

harga-harga lain. Derajat kebebasan untuk daftar distribusi t ialah


dk = n1 + n2 – 2 dengan peluang untuk penggunaan daftar
1
distribusi t ialah 1 − 2 ∝ (Sudjana, 2005:243).

f. Kesimpulan
Kesimpulan didapat setelah peneliti mengetahui hasil dari
perbedaan nilai thitung dan ttabel dari kriteria pengujian diatas. Sesuai
dengan pendapat Sugiyono (2014:112), jika terdapat perbedaan
yang signifikan antara kelompok eksperimen dan kelompok

23
kontrol, maka perlakuan yang diberikan telah memberikan
pengaruh secara signifikan.

24
D. Daftar Pustaka

Arikunto, S. 2013. Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka


Cipta.
Shoimin, Aris. 2014. 68 Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum 2013.
Yogyakarta: Ar-ruzzmedia.
Gusti Ayu Nyoman Dewi Satriani, Nyoman Dantes, I Nyoman Jampel. 2015.
Pengaruh Penerapan Model CORE Terhadap Kemampuan Pemecahan
Masalah Matematika Dengan Kovariabel Penalaran Sistematis Pada Siswa
Kelas III Gugus Raden Ajeng Kartini Kecamatan Denpasar Barat. E-Journal
Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi
Penelitian Dan Evaluasi Pendidikan (Volume 5, No 1 Tahun 2015)
Jannatul Khoiriyah, Suharto, Dinawati Trapsilasiwi. 2014. Pengembangan Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran Dan Lembar Kerja Siswa Model Pembelajaran
Core Dengan Teknik Mind Mapping Pokok Bahasan Bangun Ruang Sisi
Lengkung Kelas IX SMP. Vol 5, No.3, hal 137-146, Tahun 2014. Kadikma
Santi Yuniarti. 2013. Pengaruh Model CORE Berbasis Kontekstual Terhadap
Kemampuan Pemahaman Matematik Siswa. (Jurnal PRODI PMT STKIP
Siliwangi Bandung: dipublikasikan , 2013)
Siswono, T. Y. E. 2011. Level of student’s creative thinking in classroom
mathematics. Journal Educational Research and Review.
Siti Khafidhoh. 2014. Penerapan Model Connecting, Organizing, Reflecting,
Extending (CORE) Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah
Matematika Siswa Pada Materi Bangung Ruang Sisi Lengkung Kelas IX MTS
Negeri Mojokerto. Skripsi (dipublikasikan). Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya.
Sudjana.2005. Metode Statistika Edisi ke-6. Bandung : Tarsito
Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Pendidikan (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif,
Dan R & D). Bandung: AlfaBeta.
Sugiyono (2015). Metode Penelitian Kombinasi (Mix Methods). Bandung: Alfabeta.
Sumarmo, U. (2013). Kemandirian Belajar: Apa, Mengapa, dan Bagaiman
Dikembangkan pada Peserta Didik. Makalah Disajikan pada Seminar

25
Pendidikan Matematika di Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UNY
tahun 2006: tidak diterbitkan
Yuwana Siwi Wiwaha Putra. 2013. Keefektifan Pembelajaran CORE Berbantuan
CABRI Terhadap Motivasi dan Hasil Belajar Peserta Didik Materi Dimensi
Tiga. Skripsi tidak diterbitkan. UNS
Yamin, M. (2013). Strategi dan Metode dalam Model Pembelajaran. Jakarta:
Referensi (GP Press Group

Wardhani, Sri dkk. 2010. Pembelajaran Kemampuan Pemecahan Masalah


Matematika di SD. Yogyakarta: PPPPTK.

26

Anda mungkin juga menyukai