A. Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan kewarganegaraan (civic education) merupakan salah satu bidang
kajian yang mengembang misi nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia
melalui koridor valur-based education. Konfigurasi atau kerangka sistemik PKN
dibangun atas dasar paradigm sebagai berikut.
1. PKn secara kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran yang bertujuan
mengembangkan potensi individu agar menjadi warga Negara Indonesia yang
berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab.
2. PKn secara teoretis dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-
dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang berdifat konfluens atau saling
berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral
Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela Negara.
3. PKn secara pragramatik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang menekankan
pada isi yang mengusung nilai-nilai (content embedding valuesi) dan pengalaman
belajar (learning experiences) dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan
dalam kehidupan sehari-hari, serta merupakan tuntunan hidup bagi warga Negara
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini tidak lain sebagai
penjabaran lebih lanjut dari ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan
yang demokratis, dan bela Negara.
1. Proses pembelajaran dan penilaian dalam PKn lebih ditekankan pada dampak
instruksional (instructional effects) yang terbatas pada penguasaan materi (content
matery) atau dengan kata lain hanya ditekankan pada domensi kognitif.
Pengembangan dimensi-dimensi lain (afektif dan psikomotorik) dan pemerolehan
dampak pengiring (nutrutant effects) sebagai hidden curriculum belum mendapat
perhatian sebagaimana mestinya.
2. Pengolahan kelas belum mampu menciptakan suasana kondusif dan produktif untuk
memberikan pengalaman belajar kepada siswa/mahasiswa melalui pelibatannya
secara proaktif dan interaktif, baik dalam proses pembelajaran di kelas maupun di
luar kelas (intra dan ekstrakurikuler). Dengan demikian, dapat berakibat pada
miskinnya pengalaman belajar yang bermakna (meaningful learning) untuk
mengembangkan kehidupan dan perilaku siswa/mahasiswa.
3. Pelaksanaan kegiata ekstrakurikuler sebagai wahana sosiopedagogis untuk
mendapatkan hends on experience juga belum memberikan kontribusi yang signifikan
untuk menyeimbangkan anatara penguasaan teori dan praktik pembiasaan perilaku,
serta keterampilan dalam kehidupan yang demokratis dan sadar hokum.
Di lain pihak, terdapat pula beberapa permasalahan kurikuler yang mendasar dan
menjadi penghambat dalam peningkatan kualitas PKn. Beberapa permasalahan tersebut
diuraikan sebagai berikut.
Mata pelajaran ini muncul pertama kali pada tahun 1957 dengan nama
Kewarganegaraan, yang isinya sebatas hak dan kewajiban warga negara, serta cara-cara
memperoleh dan kehilangan status kewarganegaraan. Sebagai tindak lanjut dari Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Menteri PP dan K mengeluarkan Surat Keputusan No. 122274/S
tanggal 10 Desember 1959 tentang pembentukan panitia penyusunan buku pedoman
mengenai kewajiban-kewajiban dan hak-hak warga Negara Indonesia dan hal-hal yang
mengisyaratkan warga negara tentang sebab-sebab sejarah dan tujuan revolusi Indonesia.
Panitia tersebut berhasil menyusun buku Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia pada
tahun 1962 yang menjadi acuan mata pelajaran civic yang telah muncul pada tahun 1961.
Buku tersebut berisi Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Pancasila, UUD 1945,
Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin, Konferensi Asia Afrika, Hak dan Kewajiban Warga
Negara , Manifesto Politik, Laksana Malaikat dan Lampiran-lampiran Dekrit Presiden,
Pidato Lahirnya Pancasila, Panca Wardana, dan Declaration Human Rights, serta pidato-
pidato presiden lainnya yang dipaketkan dalam tujuh bahan pokok indoktrinasi (Tubapi).
Sejak munculnya Orde Baru pada tahun 1966, isi mata pelajaran civic versi Orde
Lama hampir seluruhnya dibuang karena dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan yang
sedang berkembang. Pada kurikulum 1968, mata pelajaran ini muncul dengan nama
KewargaNegara. Selain membahas tentang Pancasila dan UUD 1945, mata pelajaran
tersebut juga membahas tentang Ketetapan-Ketetapa MPRS 1966, 1967, dan 1968,
termasuk GBHN, Hak Asasi Manusia, serta beberapa materi yang beraspek sejarah,
geografi, dan ekonomi.
Sesuai dengan Ketetapan MPR No. IV/MP/1973, mata pelajaran ini berubah nama
menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) pada Kurikulum 1075. Dengan
ditetapkannya Ketetapan MPR /1978 tentang P-4, terjadilah perkembangan yang cukup
substantive mengenai materi mata pelajaran ini, yakni sangat dominannya materi P-4
dalam PMP. Dalam penjelasan ringkas tentang PMP oleh Depdikbuf tahun 1982
dinyatakan bahwa hakikat PMP tidak lain adalah pelaksanaan P-4 melalui jalur
pendidikan formal. Hal ini tetap berlangsung hingga berlakunya Kurikulum 1984 maupun
Kurikulum 1994, dengan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) telah berubah nama menjadi
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Dalam perkembangan terakhir,
materi P-4 secara resmi tidak lagi dipakai dalam kurikulum Suplemen 1999 karena
Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tersebut telah dicabut dengan Ketetapan MPR NO.
XVII/MPR/1998.
Pada era reformasi ini pendidikan kewarganegaraan juga sedang dalam proses
reformasi ke arah pendidikan kewarganegaraan dengan paradigma baru (New Indonesian
Civic Education). Reformasi tersebut dimulai dari aspek yang mendasar, yaitu reorientasi
visi dan misi, dan materi pembelajaran. Seiring dengan hal tersebut, dalam sistem
pendidikan nasional juga sedang disosialisasikan pembaruan kurikulum dengan konsep
yang disebut kurikulum berbasis kompetensi.
Sejalan dengan visi pendidikan kewarganegaraan era reformasi, misi mata kuliah
ini adalah menigkatkan kompetensi mahasiswa agar mampu menjadi warga negara yang
berperan serta secara aktif dalam sistem pemerintahan negara yang demokratis.
Sehubungan dengan itu, Ace Suryadi dan Somardi (2000: 5) mengemukakan bahwa
pendidikan kewarganegaraan difokuskan pada tiga komponen pengembangan, yaitu (1)
civic knowledge, (2) civic skill, dan (3) civic disposition. Inilah pengertian warga negara
yang baik yang diharapkan oleh pendidikan kewarganegaraan di era reformasi.
Pendidikan kewarganegaraan di era reformasi dituntut merevitalisasi diri agar mampu
melaksanakan misi sesuai dengan visinya itu. Hingga saat ini, mata pelajaran tersebut
seakan tidak memiliki vitalitas, tidak berdaya, dan tidak dapat berfungsi secara baik
dalam meningkatkan kompetensi kewarganegaraan.
Selain itu, Abdul Azis Wahab (2000:5) mengemukakan sepuluh pilar demokrasi
Indonesia yang harus menjadi prinsip utama pengembangan pendidikan kewarganegaraan,
yaitu (1) konstitusionalisme, (2) keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa, (3) kewarganegaraan cerdas, (4) kedaulatan rakyat, (5) kekuasaan hokum, (6) hak
asasi manusia, (7) pembagian kekuasaan, (8) sistem peradilan yan bebas, (9)
pemerintahan daerah, serta (10) kesejahteraan sosial dan keadilan sosial.
MPK adalah suatu program pendidikan nilai yang dilaksanakan melalui proses
pembelajara di perguruan tinggi dan berfungsi sebagai model pengembangan jati diri dan
kepribadian para mahasiswa, bertujuan membangun manusia Indonesia yang beriman dan
bertaqwa terhadap Tuhan YME, berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap, dan mandiri,
serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Widisuseno, 2006).
Agar bangsa Indonesia tidak tertinggal dari bangsa-bangsa lain maka pendidikan
nasional Indonesia perlu dikembangkan searah dengan perubahan pendidikan ke masa depan.
Pendidikan nasional memiliki fungsi sangat strategis yakni mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa. Tujuan dari pendidikan nasional yakni berkembangnya potensi peserta
anak didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta
bertanggung jawab. Pendidikan kewarganegaraan (citizenship education) di perguruan tinggi
sebagai kelompok MPK diharapkan dapat mengemban misi fungsi dan tujuan pendidikan
nasional tersebut. Melalui pengasuhan Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi
yang substansi kajian dan materi instruksionalnya menunjang da relevan dengan
pembangunan masyarakat demokratik berkeadaban, diharapkan mahasiswa akan tumbuh
menjadi ilmuwan atau profesional, berdaya saing secara internasional, warga Negara
Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.
Dalam kurun dasawarsa terakhir ini, Indonesia mengalami percepatan perubahan yang
luar biasa. Misalnya, loncatan demokratisasi, transparansi yang hampir membuat taka da lagi
batas kerahasiaan di negara kiita, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya dirahasiakan
Liberalisme bersamaan dengan demokratisasi di bidangg politik, melahirkan sistem
multipartai yang cenderung tidak efektif, pemilihan presiden-wakil presiden secara langsung
yang belum diimbangi kesiapan infrastruktur social berupa kesiapan mental elite politik dan
masyarakat yang kondusif bagi terciptanya demokrasi yang bermartabat Kekuasaan DPR-
DPRD yang sangat kuat sering kali yang disalahgunakan sebagai ajang maneuver kekuatan
politik yang berdampak timbulnya ketegangan-ketengangan suasana politik nasional, serta
hubungan eksekutif dan legislative. Pengembangan otonomi daerah berekses pada yang
kadang tidak dilandasi asas-asas kepentingan nasional sehingga sistem ketatanegaraan dan
sistem pemerintahan terkesan menjadi chaos (Husodo, Siswono Yudo, 2004: 5) .
Situasi lain yang saat ini muncul yaitu melemahnya komitmen masyarakat terhadap nilai-
nilai dasar yang telah lama menjadi prinsip dan bahkan menjadi rapih. Aada dua faktor
penyebabnya, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal, berupa pengaruh
globalisasi yang disemangati liberalisme mendorong lahirnya sistem kapitalisme di bidang
ekonomi dan demokrasi liberal di bidang politik. Dalam praktiknya sistem kapitalisme dan
demokrasi liberal yang disponsori oleh negara-negara maju seperti Amerika, mampu
menggeser tatanan dunia lama yang lokal regional menjadi tatanan dunia yang bersifat
global mondial. Bahkan mampu menyusup dan memengaruhi tatanan nilai kehidupan
internal setiap bangsa di dunia. Tarik ulur yang memicu ketegangan saat ini sedang terjadi
dalam internal bangsa, antara keinginan untuk mempertahankan sistem nilai sendiri yang
menjadi identitas bangsa, dengan adanya kekuatan nilai-nilai asing yang telah dikemas
melalui teknologinya (Widisuseno, 2004: 4).
Sejauh mana kekuatan setiap bangsa termasuk bangsa Indonesia untuk mengadaptasi
nilai-nilai asing tersebut. Bagi negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia
sangat rentan terkooptasi nilai-nilai asing yang cenderung berorientasi praktis dan pragmatis
dapat menggeser nilai-nilai dasar kehidupan. Kecenderungan munculnya situasi semacam ini
sudah mulai menggejala di kalangan masyarakat dan bangsa Indonesia saat ini. Seperti
nampak pada sebagian masyarakat dan bahkan para elit yang sudah semakin melupakan
peran nilai-nilai dasar yang wujud kristalisasinya berupa Pancasila dalam perbincangan
lingkup ketatanegaraan atau bahkan kehidupan sehari-hari. Pancasila sudah semakin tergeser
dari perannya dalam praktik ketatanegaraan dan pembangunan sudah menjauh dan terlepas
dari konsep filosofis yang seutuhnya. Eksistensi Pancasila tampak hanya dalam status
formalnya yaitu sebagai dasar negara, tetapi sebagai sistem filosofi bangsa sudah tidak
memiliki daya spirit bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sistem filosofi
Pancasila sudah rapuh. Masyarakat dan bangsa Indonesia kehilangan dasar, pengangan dan
arah pembangunan.
Faktor internal, yaitu bersumber dari internal bangsa Indonesia sediri. Kenyataannya
seperti ini muncul dari kesalahan sebagian masyarakat dalam memahami pancasila. Banyak
kalangan masyarakat memandang pancasila tidak dapat mengatasi masalah krisis. Sebagian
lagi masyarakat menganggap bahwa pancasila merupakan alat legitimasi kekuasaan Orde
baru. Segala titik kelemahan pada Orde baru linear engan pancasila. Akibat yang timbul dari
keselahan pemahaman tentang pancasila ini sebagian masyarakat menyalahkan pancasila,
bahkan anti pancasila. Kenyataan semacam ini sekarang sedang menggejala pada sebaagian
masyarakat Indonesia. Kesalahan pemahaman (epistemologis) ini menjadikan masyarakat
telah kehilngan sumber dan sarana orientasi nilai.
Disorientasi nilai dan distorsi nasionalismee di kalangan masyarakat Indonesia dewasa ini.
Disorientasi nilai terjadi saat masyarakat menghadapi masa transisi dan transformasi. Dalam
masa transisi terdapat peralihan dari masyarakat pedesaan menjadi masyarakat perkotaan,
masyarakat agraris ke masyarakat industri dan jasa, dari tipologi masyarakat tradisional ke
masyarakat modern , dari masyarakat paternalistic kea rah masyarakat demokratis, dari
masyarakat feudal ke masyarakat agaliter, dari makhluk social ke makhluk ekonomi. Dalam
proses transisi ini menyebabkan sebagian masyarakat Indonesia mengalami kegoyahan
konseptual tentang prinsip-prinsip kehidupanyang telah lama menjadi pengangan hidup,
sehingga timbul kekaburan dan ketidakpastian landasan pijak untuk mengenali dan
menyikapi berbagai persoalan kehidupan yang dihadapi.
Dalam masa transformasi, terjadi pergeseran tata nilai kehidupan sebagian masyarakat
indonesia sebagai dampak dari proses transisi, misalnya beralihnya dari kebiasaan cara
pandang masyarakat yang mengapresiasi nilai-nilai tradisional kearah nilai-nilai modern
yang cenderung rasional dan pragmaatis, dari kebiasaan hidup dalam tata pergaulan
masyarakat yang dilandasi cara pandang individualistic. Distorsi nasionalisme , suatu
fenomena social pada sebagian masyarakat Indonesia yang menggambarkan semakin pudar
rasa kesediaan mereka untuk hidup eksis bersama,menipisnya rasa dan kesadaran akan
adanya jiwa dan prinsip spiritual yang berakar padaa kepahlawanan masa silam yang tumbuh
karena kesamaan penderitaan dan kemuliaan di masa lalu. Hilangnya rasa saling percaya
(trust) antarsesama baik horisontaal maaupun vertical. Fenomena yang kini berkembang
adalah rasa saling curiga, dan menjaatuhkan sesame. Inilah tanda-tanda melemahnya
kohesivitas social kemasyarakatan diantara kita sekarang ini.
Searah dengan perubahan pendidikan kemasa depan dan dinamika internal bangsa
Indonesia, program pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi harus
mampu mencapai tujuan berikut.
Kelima dasar nilai tersebut sebagai pedoman dan sumber orientasi dalam penyusunan
dan pengembangan substansi kajian Pendidikan Kewarganegaraa di Perguruan Tinggi.
Pendidikan Kewarganegaran sebagai MPK mencerminkan pendidikan demokrasi, HAM
dan persoalan kewarganegaraa lainnya berperspektif Pancasila. Jadi, meskipun setiap
bangsa sama-sama menyebut Pendidikan Kewarganegaraan sebagai “civic education,
democrary education, civil education,” dan sebagainya, tetapi arah pengembangan
kompetensi keilmuan PKn di perguruan tinggi Indonesia memiliki karakter sendiri.
MAKALAH PKN
KELOMPOK 6 :
AQILLA (40100119125)
DAN KEWARGANEGARAAN
KELOMPOK 6 :
AQILLA (40100119125)