Anda di halaman 1dari 19

BAB 3

URGENSI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

A. Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan kewarganegaraan (civic education) merupakan salah satu bidang
kajian yang mengembang misi nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia
melalui koridor valur-based education. Konfigurasi atau kerangka sistemik PKN
dibangun atas dasar paradigm sebagai berikut.
1. PKn secara kurikuler dirancang sebagai subjek pembelajaran yang bertujuan
mengembangkan potensi individu agar menjadi warga Negara Indonesia yang
berakhlak mulia, cerdas, partisipatif, dan bertanggung jawab.
2. PKn secara teoretis dirancang sebagai subjek pembelajaran yang memuat dimensi-
dimensi kognitif, afektif, dan psikomotorik yang berdifat konfluens atau saling
berpenetrasi dan terintegrasi dalam konteks substansi ide, nilai, konsep, dan moral
Pancasila, kewarganegaraan yang demokratis, dan bela Negara.
3. PKn secara pragramatik dirancang sebagai subjek pembelajaran yang menekankan
pada isi yang mengusung nilai-nilai (content embedding valuesi) dan pengalaman
belajar (learning experiences) dalam bentuk berbagai perilaku yang perlu diwujudkan
dalam kehidupan sehari-hari, serta merupakan tuntunan hidup bagi warga Negara
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini tidak lain sebagai
penjabaran lebih lanjut dari ide, nilai, konsep, dan moral Pancasila, kewarganegaraan
yang demokratis, dan bela Negara.

Sejak diimplementasikan pada berbagai jenis jenjang pendidikan (sekolah


maupun perguruan tinggi) PKn menghadapi berbagai kendala dan keterbatasan. Kendala
dan keterbatasan tersebut antara lain (1) masukan instrumental (instrumental input)
terutama yang berkaitan dengan kualitas guru/dosen, serta keterbatasan fasilitas dan
sumber belajar; dan (2) masukan lingkungan (environmental input) terutama yang
berkaitan dengan kondisi dan situasi kehidupan politik Negara yang kurang demokratis.
Dengan demikian, pelaksanaan PKn tidak mengarah pada misi sebagaimana seharusnya.
Beberapa indekasi empiris yang menunjukkan salah arah dari hal tersebut diuraikan
sebagai berikut.

1. Proses pembelajaran dan penilaian dalam PKn lebih ditekankan pada dampak
instruksional (instructional effects) yang terbatas pada penguasaan materi (content
matery) atau dengan kata lain hanya ditekankan pada domensi kognitif.
Pengembangan dimensi-dimensi lain (afektif dan psikomotorik) dan pemerolehan
dampak pengiring (nutrutant effects) sebagai hidden curriculum belum mendapat
perhatian sebagaimana mestinya.
2. Pengolahan kelas belum mampu menciptakan suasana kondusif dan produktif untuk
memberikan pengalaman belajar kepada siswa/mahasiswa melalui pelibatannya
secara proaktif dan interaktif, baik dalam proses pembelajaran di kelas maupun di
luar kelas (intra dan ekstrakurikuler). Dengan demikian, dapat berakibat pada
miskinnya pengalaman belajar yang bermakna (meaningful learning) untuk
mengembangkan kehidupan dan perilaku siswa/mahasiswa.
3. Pelaksanaan kegiata ekstrakurikuler sebagai wahana sosiopedagogis untuk
mendapatkan hends on experience juga belum memberikan kontribusi yang signifikan
untuk menyeimbangkan anatara penguasaan teori dan praktik pembiasaan perilaku,
serta keterampilan dalam kehidupan yang demokratis dan sadar hokum.

Indikasi-indikasi tersebut melukiskan begitu banyaknya kendala kurikuler dan


social-kultural bagi PKn untuk menghasilkan suatu totalitas hasil belajar yang
mencerminkan pencapaian secara komprehensif (menyeluruh) dimensi kognitif, efektif,
dan psikomotorik yang koheren dan konfluens. Hasil belajar PKn yang belum mencapai
keseluruhan dimensi secara optimal. Dalam hal ini, penggagasan yang dilakukan berarti
menunjukkan bahwa tujuan kurikuler PKn belum dapat dicapai sepenuhnya. Menyadari
hal tersebut, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, khususnya Kementerian
Ristek Teknologi dan Pendidikan tinggi yang diuraikan sebagai berikut.

1. Penyelenggaraan pelatihan dan Bimbingan Teknis (Bimtek) Penguatan Dosen Mata


Kuliah Pancasila dan pendidikan Kewarganegaraan secara berkala untuk
meningkatkan kualitas kemampuan mengajar dosen pengampu mata kuliah PKn.
Sampai saat ini, pelatihan dan Bimtek tersebut masih perlu terus ditingkatkan
kualitasnya agar mampu menunjukkan hasil yang optimal.
2. Penataan kembali materi PKn sebagai mata kuliah kepribadian agar lebih sesuai
dengan tuntutan kebutuhan bagi kehidupan masyarakat yang demokratis. Sampai saat
ini, upaya penataan tersebut dirasakan belum menghasilkan perubahan yang
signifikan dalam pembelajaran PKn seperti yang diharapkan.
3. Perubahan system belajar di sekolah, dari caturwulan ke semester, dan di perguruan
tinggi menjadi Sistem Kredit Semester (SKS). Hal ini diyakini akan lebih
memungkinkan bagi guru/dosen untuk dapat merancan alokasi waktu dan strategi
pembelajaran secara fleksibel dalam rangka upaya peningkatan kualitas
pembelajarannya. Namun, belum memperlihatkan hasil yang memadai.

Selain menghadapi kendala internal sebagaimana uraian tersebut, PKn juga


menghadapi kendala eksternal,yaitu kritikan dan tuntutan dari berbagai lapisan
masyarakat yang berkaitan dengan semangat demokratisasi yang semakin meningkatkan
dengan segala eksesnya. PKn yang secara paradigmatik sarat dengan muatan afektif
dilaksanakan secara kognitif dan telah disikapi secara keliru sebagai satu-satunya obat
mujarab (panacea) untuk mengatasi persoalan kehidupan para siswa dan mahasiswa,
khususnya yang menyangkut perilaku dan moral. Kritikan dan tuntutan tersebut sudah
seharusnya direspons dan diakomodasikan secara proporsional karena pendidikan secara
umum dan PKn secara khusus. Hal ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi
juga tanggung jawab seluruh komponen masyarakat, bangsa, dan Negara Indonesia.
Tanggung jawab bersama untuk menyelenggarkan pendidikan yang berkualitas pada
hakikatnya merupakan perwujudan dari amanat nasional.

Selain kendala internal, pendidikan Indonesia juga dihadapkan pada kendala


eksternal lainnya. Pendidikan di Indonesia dihadapkan pada berbagai persoalan dan
situasi global yang berkembang cepat setiap waktu, baik yang bermuatan positif maupun
yang bermuatan negatif, atau yang bertentangan dengan kepribadian bangsa Indonesia.
Ketidakmampuan bangsa Indonesia dalam merancang program pendidikan yang dapat
mengakomodasikan kecenderungan dan mengejar ketertinggalan untuk secara bertahap
dapat menyajajarkan dirinya dengan bangsa-bangsa yang sudah maju dalam bidang
pendidikan.

Di lain pihak, terdapat pula beberapa permasalahan kurikuler yang mendasar dan
menjadi penghambat dalam peningkatan kualitas PKn. Beberapa permasalahan tersebut
diuraikan sebagai berikut.

1. Penggunaan alokasi waktu yang tercantum dalam Struktur Kurikulum Pendidikan


dijabarkan secara kaku dan konvensionalnya sebagai jam pelajaran tatap muka
terjadwal. Hal inilah yang membuat kegiatan pembelajaran PKn dengan cara tatap
muka di kelas menjadi sangat dominan. Hal ini pula yang mengakibatkan guru ataau
dosen tidak dapat berimprovisasi secara kreatif untuk melakukan aktivitas lainnya,
selain dari pembejaran rutin tatap muka yang terjadwal dengan ketat.
2. Pelaksanaan pembelajaran PKn yang lebih didominasi oleh kegiatan peningkatan
dimensi kognitif mengakibatkan porsi peningkatan dimensi lainnya menjadi
terbengkelai. Di samping itu, pelaksanaan pembelajaran diperparah dengan
keterbatasan fasilitas media pembelajaran.
3. Pembelajaran yang terlalu menekankan pada dimensi kognitif itu berimplikasi pada
penilaian yang juga menekankan pada penguasaan kemampuan kognitif saja. Hal ini
mengakibatkan guru/dosen harus selalu mengejar target pencapaian materi.

Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan pengkajian secara menyeluruh masalah-


masalah mendasar. Hal ini dilakukan agar PKn dapat diberdayakan menjadi sujek
pembelajaran yang kuat (powerful learning area), yang secara kurikuler ditandai oleh
pengalaman belajar secara kontekstual dengan ciri-ciri, yaitu bermakna (meaningful),
terintegrasi (integrated), berbasis nilai (value-based), menantang (challenging), dan
mengaktifkan (activating). Melalui pengalaman belajar semacam itu, para siswa
difasilitasi untuk dapat membangun pengetahuan, sikapp, dan keterampilan
kewarganegaraan yang demokratis dalam koridor psiko-pedagogis-konstruktif.
B. Alasan Perlunya Pendidikan Kewarganegaraan
Dalam sejarah panjang dunia ini, civics atau pendidikan kewarganegaraan di
sekolah dan di perguruan tinggi merupakan fenomena yang relative baru. Ada dua faktor
yang mengarahkan hal ini, yaitu faktor pertumbuhan negara-bangsa dan faktor
diperkenalkannya pendidikan untuk massa. Negara-bangsa muncul di seluruh dunia
dalam jumlah yang besar setelah akhir Perang Dunia II, pada pertengahan abad ke-20.
Kekuasaan kolonial telah ditentang dan pergerakan kemerdekaan dilakukan atau
mencapai kemerdekan. Di afrika, amerika Latin, dan Asia, terdapat peningkatan sejumlah
negara merdeka. Sebagaian terbesar negara tersebut menjalankan bentuk pemerintah
demokratis. Mereka melaksanakan pemilu dan memiliki badan perwakilan. Semuannya
memperkenalkan beberapa bentuk persekolahan bagi kebanyakan penduduk (Leigh,
2004).
Pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mempersiapkan peserta didik menjadi
warga negara yang memiliki komitmen kuat dan konsisten untuk mempertahankan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia
adalah negara yang pembentukannya didasarkan pada semangat kebangsaan atau
nasionalisme, yaitu pada tekad suatu masyarakat untuk membangun masa depan bersama
di bawah satu negara yang sama walaupun negara masyarakat tersebut berbeda-beda
agama, ras, etnik, atau golongannya (Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI, Jakarta : Sek.
Neg. RI, 1998).
Komitmen yang kuat dan konsisten terhadap prinsip dan semangat kebangsaan
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang berdasarkan pada
Pancasila dan Konstitusi Negara Indonesia perlu ditularkan secara terus-menerus untuk
memberikan pemahaman yang mendalam tentang Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara historis, Negara Indonesia telah diciptakan sebagai negara kesatua dengan bentuk
republic. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat
dengan berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan
beradap, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/perwakilan, serta denga mewujudkan suatu keadilan social bagi
seluruh rakyat Indonesia (Pembukaaan UUD 1945)
Dalam perkembangannya, sejak proklamasi 17 Agustus 1945 sampai dengan
penghujung abad ke-20, rakyat Indonesia telah mengalami berbagai peristiwa yang
mengancam persatuannya. Untuk itulah pemahaman yang mendalam dan komitmen yang
kuat serta konsisten terhadap prinsip dan semangat kebangsaan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berdasarkan Pancasila dan Konstitusi
Negara Indonesia perlu ditanamkan kepada seluruh komponen bangsa Indonesia,
khususnya generasi muda sebagai penerus bangsa.
Indonesia di masa depan diharapkan tidak akan mengulang lagi sistem
pemerintahahan otoriter yang membungkam hak-hak warga negara untuk menjalankan
prinsip demokrasi dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Kehidupan yang
demokratis di dalam kehidupan sehari-hari di linngkungan keluarga, sekolah,
masyrarakat, pemerintahan, dan organisasi-organisasi non-pemerintahan perlu di kenal,
dimulai, diinternalisasi, dan diterapkan demi kejayaan bangsa dan Negara Indonesia.
Demokrasi dalam suatu negara hanya akan tumbuh subur apabila dijaga oleh
warga negara yang demokratis. Warga negara yang demokratis bukan hanya dapat
menikmati hak kebebasan individu, tetapi juga harus memikul tanggung jawab secara
bersama-sama dengan orang lain untuk membentuk masa depan yang cerah.
Sesungguhnya, kehidupan yang demokratis adalah cita-cita yang dicerminkan dan
diamanatkan oleh para pendiri bangsa dan negara ketika mereka pertama kali membahas
dan merumuskan Pancasila dan UUD 1945.
Berkenaan dengan hal tersebut, pendidikan memiliki peranan dan tanggung jawab
yang sangat penting dalam mempersiapkan warga negara yang memiliki komitmen kuat
dan konsisten mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Upaya yang dapat
dilakukan adalah menyelenggarakan program pendidikan yang memberikan berbagai
kemampuan sebagai seorang warga negara melalui mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan (citizenship). Keluarga, tokoh-tokoh keagamaan dan kemasyarakatan,
media masa, dan lembaga-lembaga lainnya dapat bekerja sama dan memberikan
kontribusi yang kondusif terhadap tanggung jawab pendidikan tersebut. Pendidikan
Kewarganegaraan (citizenship) merupakan mata kuliah yang memfokuskan pada
pembentukan diri yang beragam dari segi agama, sosio-kultural, bahasa, usia, dan suku
bangsa untuk menjadi warga Negara Indonesia yang cerdas, terampil, dan berkarakter
yang dilandasi oleh Pancasila dan UUD 1945.

C. Perkembangan Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia


Paradigma pendidikan yang dianut pada masa Orde Baru adalah pendidikan untuk
pembangunan, sehingga pendidikan telah diposisikan sedemikian rupa sebagai instrument
pembangunan (Muchson, 2004). “Pembangunan Manusia Indonesia Seutuhnya” yang
menjadi jargon Orde Baru dalam kebijakan dan operasionalnya ternyata lebih banyak
berpihak dan berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Ironisnya pembangunan yang
telah berlangsung selama lebih 30 tahun dan telah dibayar dengan mahal, lebih-lebih
menyangkut social cost yang sifatnya uncalculated, ternyata justru menghasilkan
keterputukan dalam berbagai bidang. Pengalaman pada mas Orde Baru itu telah
memberikan pelajaran berharga tentang betapa rapuhnya suatu pembangunan yang hanya
menekankan pada aspek fisik-material dan kepentingan-kepentingan ekonomi belaka.
Pendidikan Kewarganegaraan mempunyai misi yang lebih khas. Mata pelajaran
ini menonjol dengan misinya untuk mewujudkan sikap toleransi, tenggang rasa,
memelihara persatuan dan kesatuan, tidak memaksakan pendapat yang dirasionalkan
demi terciptanya stabilitas nasional sebagai prasyarat bagi kelangsungan pembangunan.
Di balik semua itu, Pendidikan Kewarganegaraan sesungguhnya telah berfungsi sebagai
alat penguasa unhtuk melanggengkan kekuasaan. Sosok Pendidikan Kewarganegaraan
(Civic atau Citizenship) yang demikian memang sering muncul di sejumlah negara,
khusunya negara-negara berkembang. Hal itu sesuai dengan laporan penelitian Cogan
(1998) yang dikutip oleh Suryadi dan Somardi (2001) yang mengatakan bahwa :

“Citizenship education has often reflected the interest of those in power in


particular society and thud has been a matter of indoctrionation and the
establishment of ideological hegemony rather than of education”

Berdasarkan kenyataan tersebut tidak aneh jika kemudian muncul penilaian


bahwa mata palajaran ini lebih bersifat politis daripada akademis, lemah landasan
keilmuannya, tidak tampak sosok keilmiahannya, dan lain-lain. Akibat lebih lanjut, mata
pelajaran ini kurang menantang dan kurang diminati oleh siswa. Kepentingan politik
penguasa terhadap Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia dapat dirunut dalam
sejarah perkembangan mata pelajaran ini, sejak munculnya dalam sistem pendidikan
nasional.

Mata pelajaran ini muncul pertama kali pada tahun 1957 dengan nama
Kewarganegaraan, yang isinya sebatas hak dan kewajiban warga negara, serta cara-cara
memperoleh dan kehilangan status kewarganegaraan. Sebagai tindak lanjut dari Dekrit
Presiden 5 Juli 1959. Menteri PP dan K mengeluarkan Surat Keputusan No. 122274/S
tanggal 10 Desember 1959 tentang pembentukan panitia penyusunan buku pedoman
mengenai kewajiban-kewajiban dan hak-hak warga Negara Indonesia dan hal-hal yang
mengisyaratkan warga negara tentang sebab-sebab sejarah dan tujuan revolusi Indonesia.
Panitia tersebut berhasil menyusun buku Manusia dan Masyarakat Baru Indonesia pada
tahun 1962 yang menjadi acuan mata pelajaran civic yang telah muncul pada tahun 1961.
Buku tersebut berisi Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, Pancasila, UUD 1945,
Demokrasi dan Ekonomi Terpimpin, Konferensi Asia Afrika, Hak dan Kewajiban Warga
Negara , Manifesto Politik, Laksana Malaikat dan Lampiran-lampiran Dekrit Presiden,
Pidato Lahirnya Pancasila, Panca Wardana, dan Declaration Human Rights, serta pidato-
pidato presiden lainnya yang dipaketkan dalam tujuh bahan pokok indoktrinasi (Tubapi).

Sejak munculnya Orde Baru pada tahun 1966, isi mata pelajaran civic versi Orde
Lama hampir seluruhnya dibuang karena dianggap tidak sesuai lagi dengan tuntutan yang
sedang berkembang. Pada kurikulum 1968, mata pelajaran ini muncul dengan nama
KewargaNegara. Selain membahas tentang Pancasila dan UUD 1945, mata pelajaran
tersebut juga membahas tentang Ketetapan-Ketetapa MPRS 1966, 1967, dan 1968,
termasuk GBHN, Hak Asasi Manusia, serta beberapa materi yang beraspek sejarah,
geografi, dan ekonomi.
Sesuai dengan Ketetapan MPR No. IV/MP/1973, mata pelajaran ini berubah nama
menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) pada Kurikulum 1075. Dengan
ditetapkannya Ketetapan MPR /1978 tentang P-4, terjadilah perkembangan yang cukup
substantive mengenai materi mata pelajaran ini, yakni sangat dominannya materi P-4
dalam PMP. Dalam penjelasan ringkas tentang PMP oleh Depdikbuf tahun 1982
dinyatakan bahwa hakikat PMP tidak lain adalah pelaksanaan P-4 melalui jalur
pendidikan formal. Hal ini tetap berlangsung hingga berlakunya Kurikulum 1984 maupun
Kurikulum 1994, dengan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) telah berubah nama menjadi
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Dalam perkembangan terakhir,
materi P-4 secara resmi tidak lagi dipakai dalam kurikulum Suplemen 1999 karena
Ketetapan MPR No.II/MPR/1978 tersebut telah dicabut dengan Ketetapan MPR NO.
XVII/MPR/1998.

Pada era reformasi ini pendidikan kewarganegaraan juga sedang dalam proses
reformasi ke arah pendidikan kewarganegaraan dengan paradigma baru (New Indonesian
Civic Education). Reformasi tersebut dimulai dari aspek yang mendasar, yaitu reorientasi
visi dan misi, dan materi pembelajaran. Seiring dengan hal tersebut, dalam sistem
pendidikan nasional juga sedang disosialisasikan pembaruan kurikulum dengan konsep
yang disebut kurikulum berbasis kompetensi.

D. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan


Secara klasik sering dikemukakan bahwa tujuan pendidikan kewarganegaraan di
Indonesia adalah untuk membentuk warga negara yang baik (a good citizen). Akan tetapi,
pengertian warga negara yang baik itu pada masa-masa yang lalu lebih diartikan sesuai
dengan tafsir penguasa. Pada masa Orde Lama, warga negara yang baik adalah warga
negara yang berjiwa revolusioner, anti imperialism, kolonialisme, dan neo-kolonialisme.
Pada masa Orde Baru, warga negara yang baik adalah warga negara yang Pancasilais,
manusia pembangunan, dan sebagainya.

Sejalan dengan visi pendidikan kewarganegaraan era reformasi, misi mata kuliah
ini adalah menigkatkan kompetensi mahasiswa agar mampu menjadi warga negara yang
berperan serta secara aktif dalam sistem pemerintahan negara yang demokratis.
Sehubungan dengan itu, Ace Suryadi dan Somardi (2000: 5) mengemukakan bahwa
pendidikan kewarganegaraan difokuskan pada tiga komponen pengembangan, yaitu (1)
civic knowledge, (2) civic skill, dan (3) civic disposition. Inilah pengertian warga negara
yang baik yang diharapkan oleh pendidikan kewarganegaraan di era reformasi.
Pendidikan kewarganegaraan di era reformasi dituntut merevitalisasi diri agar mampu
melaksanakan misi sesuai dengan visinya itu. Hingga saat ini, mata pelajaran tersebut
seakan tidak memiliki vitalitas, tidak berdaya, dan tidak dapat berfungsi secara baik
dalam meningkatkan kompetensi kewarganegaraan.

Dalam penataanya di dalam struktur kurikulum, Belinda Charles dalam print


(1999:133-135), merekomendasikan isi pendidikan kewarganegaraan dapat ditata dalam
tiga model, yaitu formal curriculum, informal curriculum, dan hidden curriculum.
Dengan model formal curriculum, implementasi pembelajarannya dapat menembus
berbagai mata pelajaran (cross-curriculum). Dengan model informal curriculum dapat
diimplementasikan dalam kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler, seperti kepanduan, klub-
klub remaja, PMR, kegiatan rekreasi, dan olahraga. Model ini justru efektif dalam
pembentukan karakter remaja. Dengan model hidden curriculum, seperti etika, dapat
dikembangkan dalam tingkah laku sehari-hari.

Pendidikan kewarganegaraan bertujuan memberikan kompetensi sebagai berikut :


1. Berpikir secara kritis, rasional dan kreatif dalam menanggapi isu kewarganegaraan.
2. Berpartisipasi sacara bermutu dan bertanggung jawab, dan bertindak secara cerdas
dalam kegiatan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
3. Berkembang secara positif dan demokratis untuk membentuk diri berdasarkan
karakter masyarakat Indonesia agar dapat hidup bersama dengan bangsa-bangsa lain.
4. Berinteraksi dengan bangsa lain dalam percaturan dunia secara langsung atau tidak
langsung dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (Pusat
Kurikulum, 2003: 3).

E. Substansi Materi Pendidikan Kewarganegaraan


Berdasar hasil studi berbagai negara, Print (1999: 12) berpendapat bahwa isi
pendidikan kewarganegaraan yang prinsip adalah (1) hak dan tanggung jawab warga
negara, (2) pemerintahan dan lembaga-lembaga, (3) sejarah dan konstitusi, (4) identitas
nasional, (5) sistem hokum dan rule of law, (6) hak asasi manusia, hak-hak politik,
ekonomi dan social, (7) proses dan prinsip-prinsip demokrasi, (8) partisipasi aktif warga
negara dalam wacana kewarganegaraan, (9) wawasan internasional, serta (10) nilai-nilai
kewarganegaraan yang demokratis. Lebih dari itu. Woterwoth (1998: 3) mengemukakan
butir-butir concept of citizenship dan warga negara yang baik antara lain (1) menghargai
warisan budaya masyarakatnya, (2) menggunakan hak pilih, (3) menghormati hokum dan
norma-norma masyarakat, (4) memahami berbagai proses politik dan ekonomi, (5)
menggunakan hak berbicara, (6) memberikan sumbangan bagi kebaikan keluarga dan
masyarakat, serta (7) peduli terhadap lingkungan lokalnya.

Selain itu, Abdul Azis Wahab (2000:5) mengemukakan sepuluh pilar demokrasi
Indonesia yang harus menjadi prinsip utama pengembangan pendidikan kewarganegaraan,
yaitu (1) konstitusionalisme, (2) keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha
Kuasa, (3) kewarganegaraan cerdas, (4) kedaulatan rakyat, (5) kekuasaan hokum, (6) hak
asasi manusia, (7) pembagian kekuasaan, (8) sistem peradilan yan bebas, (9)
pemerintahan daerah, serta (10) kesejahteraan sosial dan keadilan sosial.

Berdasarkan uraian tersebut, diperoleh gambaran keragaman luasnya cakupan


materi dan penataan pendidikan kewarganegaraan dalam kurikulum. Hal ini bukan
sesuatu yang harus dianggap aneh karena kurikulum pada dasarnya merupakan suatu
pilihan. Dilihat dari sudut keilmuan, standar materi mata pelajaran ini tidak sedemikian
ketat, cukup fleksibel, dan mudah berubah. Indonesia mempunyai pengalaman mengenai
sering diubahnya isi materi mata kuliah ini seiring dengan bergantian rezim sebagaimana
yang telah dikemukakan sebelumya. Dari sekian banyak mata kuliah/mata pelajaran.,
tidak ada yang berubah materinya sedinamis mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
Meskipun demikian, pendidikan kewarganegaraan paradigm harus didasarkan pada
standar kelayakan materi dengan tetap mengacu kepada Pancasila sebagai dasar negara
(Muchson, 2003).

Di pusat kurikulum Diknas lewat konsep KBK kewarganegaraan di SD dan MI,


SMP dan MTs., serta di SMA dan MA tahun 2003, mengajukan civic knowledge berupa
aspek berbangsa dan bernegara yang terdiri dari sub-aspek (1) persatuan bangsa (2)
norma, hukum, peraturan, (3) hak asasi manusia, (4) kebutuhan hidup warga negara, (5)
kekuasaan dan politik, (6) masyarakat demokratis, (7) Pancasila dan konstitusi negara,
serta (8) globalisasi (Cholisin, 2004:18). Aspek-aspek pengetahuan kewarganegaraan itu
pada dasarnya merupakan kebutuhan yang berkaitan dengan peran warga negara dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara secara demokratis. Di pihak lain, substansi kajian
pendidikan kewarganegaraan, yaitu dikenal juga dengan istilah Civic Education,
Citizenship Education, Democracy Education yang dirancang oleh Direktorat Jendral
Pendidikan Tinggi antara lain (1) filsafat Pancasila, (2) identitas nasional, (3) hak dan
kewajiban warga negara (4) demokrasi dan hak asasi manusia, (5) rule of law, (6)
geopolitik Indonesia (wawasan nusantara), dan (7) geostrategi Indonesia (ketahanan
nasioan) (Petunjuk Pelatihan Dosen MPK,PKn, Dikti.2005).

Dalam praktiknya, terdapat metodologi pembelajaran PKnyang biasa digunakan


sebagai berikut.
1. Pendekatan : menempatkan mahasiswa sebagai subjek dan mitra dalam PBM.
2. Proses Pembelajaran : pembahasan secara kritis analisis, induktif, dedukatif, serta
reflektif melalui dialog kreatif.
3. Bentuk Aktivitas Proses Pembelajaran : kuliah tatap muka secara bervariasi, ceramah,
dialog, inquiry, studi kasus, penugasan mandiri, seminar kecil, dan berbagai kegiatan
akademik lainnya yang lebih ditekankan pada pemupukan pengalaman belajar peserta
didik.
4. Motivasi : menumbuhkan kesadaran bahwa pembelajaran pengembangan kepribadian
merupakan kebutuhan hidup.

F. Kompetensi yang Diharapkan dari Pendidikan Kewarganegaraan


Kompetensi adalah seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab, yang
harus dimiliki oleh seseorang sebagai syarat untuk dapat dianggap mampu melakukan
tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu. Kompetensi yang diharapkan setelah
menempuh pendidikan kewarganegaraan adalah dimilikinya seperangkat tindakan cerdas
dan penuh tanggung jawab dari seorang warga negara dalam berhubungan dengan negara,
serta mampu ikut dalam memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakat,
bangsa, dan negara sesuai dengan profesi dan kapasitas masing-masing. Sifat cerdas yang
dimaksud tampak dalam kemahiran, ketepatan, dan keberhasilan dalam bertindak,
sadangkan sifat tanggung jawab diperlihatkan sebagai kebenaran tindakan ditinjaun dari
niali agama, moral, etika dan budaya.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan


Nasional Pasal 37 ayat (2) ditetapkan bahwa kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat
(1) pendidikan agama, (2) pendidikan kewarganegaran,dan (3) bahasa. Disamping itu,
pada pasal 2 dinyatakan bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD
Negara Republik Indonesia. Pada pasal 3 dikemukakan bahwa pendidikan nasional
berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak, serta peradaban bangsa
yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratatis, serta bertanggung jawab.

Pendidikan kewarganegaraan yang berhasil akan menumbuhkan sikap mental


yang bersifat cerdas dan penuh tanggung jawab oada peserta didik dengan perilaku yang
(1) beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha esa dan menghayati nilai-nilai
filsafah bangsa; (2) berbudi pekerti luhur; (3) bersikap rasional, dinamis, dan sadar akan
hak dan kewajiban sebagai warga negara; (4) bersikap professional yang dijiwai oleh
kesadaran bela negara; serta (5) aktif memanfaatkan ilmu, teknologi, dan seni unyuk
kepentingan kemanusiaan, bangsa, dan negara. Melalui pendidikan kewarganegaraan
diharapkan warga negara mampu memahami, menganalisis, serta menjawab berbagai
masalah yang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara secara tepat, rasional, konsisten,
berkelanjutan, dan bertanggung jawab dalam rangka mencapai tujuan nasional; menjadi
warga negara yang tahu hak dan kewajiban, menguasai ilmu, teknologi, dan seni namun
tidak kehilangan jati diri.
G. Tiga Aspek Pendidikan Kewarganegaraan
Pendidikan Kewarganegaraan harus memenuhi tiga aspek, yaitu pengentahuan,
keterampilan (skill), dan pembentukan karakter. Menurut Center for Civic Education
pada tahun 1994 dalam National Standards for Civic and Gevornment, ketiga komponen
pokok tersebut ialah civic knowledge, civiv skill, dan civiv dispositions (Margaret S.
Bronson, dkk 1999: 8-25).

Pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge) merupakan materi substansi


yang harus diketahui oleh warga negara. Pada prinsipnya pengetahuan yang harus
diketahui oleh warga negara berkaitan dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara,
pengetahuan tentang struktur dan sistem politik dan pemerintahan, nilai-nilai universal
dalam masyarakat demokratis, cara-cara kerja sama untuk mewujudkan kemajuan
bersama, serta hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat internasional.
Keterampilan kewarganegaraan (civic skill) merupakan keterampilan yang dikembangkan
dari pengetahuan kewarganegaraan agar pengetahuan yang diperoleh menajdi sesuatu
yang bermakna karena dapat dimanfaatkan dalam menghadapi masalah-masalah
kehidupan berbangsa dan bernegara. Civic skill mencakup intellectual skill (keterampilan
intelektual) dan participation skill (keterampilan partisipasi). Karakter kewarganegaraan
(civic dispositions) merupakan sifat-sifat yang harus dimiliki setiap warga negara untuk
mendukung efektivitas partisipasi politik, berfungsinya sistem politik yang sehat,
berkembangnay martabat dan harga diri serta kepentingan umum.
BAB 5

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN SEBGAI

MATA KULIAH PENGEMBANGAN KEPRIBADIAN

A. Pentingmya Pembelajaran Kewarganegaraan

Keberadaan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Mata Kuliah


PengembanganKepribadian (MPK) ditetapkan melalui (1) Kepmendiknas No. 232/U/2000
tentang Pedoman Penyusunan Kurikulum Pendidikan Tinggi dan Penilain Hasil Belajar
Mahasiswa, menetapkan bahwa Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan
Kewarganegaraan merupakan kelompok mata kuliah Pengembangan Kepribadian yang wajib
diberikan dala kurikulum setiap program studi/kelompoknprogram studi; (2) Kepmendiknas
No. 045/U/2002 tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi menetapkan bahwa Pendidikan
Agama, Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan merupakan kelompok mata
kuliah Pengembangan Kepribadian yang wajib diberikan dalam kurikulum setiap program
studi/kelompok program studi; (3) Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas No. 43/Dikti/Kep2006
tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Pembelajaran Kelompok mata kuliah pengembangan
kepribadian di perguruan tinggi, menetapkan status dan bebas studi kelompok mata kuliah
Pendidikan Agama, Kewarganegaraan, dan Bahasa masing-masing sebanyak 3 SKS.
Berdasarkan uraian di atas dapat diperoleh gambaran bahwa Pendidikan Kewarganegaraan
sebagai MPK karena PKn merupakan bagian kelompok MPK. Pertanyaan yang muncul di
sini yaitu mengapa Pendidikan Kewarganegaraan diposisikan sebagai MPK? Apa urgensi
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai MPK?

MPK adalah suatu program pendidikan nilai yang dilaksanakan melalui proses
pembelajara di perguruan tinggi dan berfungsi sebagai model pengembangan jati diri dan
kepribadian para mahasiswa, bertujuan membangun manusia Indonesia yang beriman dan
bertaqwa terhadap Tuhan YME, berbudi pekerti luhur, berkepribadian mantap, dan mandiri,
serta mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Widisuseno, 2006).

Kelimpok mata kuliah Pengembangan Kepribadian termasuk Pendidikan


Kewarganegaraan yang termuat dalam Kurikulum Kurikulum Pendidikan Tinggi tahuun
akademik 2002-2003 dirancang berbasis kompetensi. Secara umum Kurikulum Berbasis
Kompetensi selalu menekankan kejelasan hasil didik sebagai seorang yang memiliki
kemampuan dalam hal (1) menguasai ilmu dan keterampilan tertentu, (2) menguasai
penerapan ilmu dan keterampilan dalam bentuk kekaryaan, (3) menguasai sikap berkarya
secara professional, dan (4) menguasai hakikat dan kemampuan dalam berkehidupan
bermasyarakat.

Keempat kompetensi program pembelajaran tersebut di atas dikembangkan dengan


menetapkan MPK sebagai dasar nilai pengembangan ilmu, yaitu sebagai pedoman dan dasar
kekaryaaan Seorang lulusan pendidikan tinggi diharapkan mampu menerapkan bekal
pendidikannya sebagai cara-cara penemuan, pisau analisis (a method of inquiry) dalam
memerankan dirinya sebagai pencerah masyarakat, kehidupan berbangsa dan bernegara
(Hamdan Mansoet, 2004:5).

1. Latar Belakang Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Beberapa hal yang melatarbelakangi adanya pembelajaran pendidikan kewarganegaraan


diuraikan sebagai berikut.

a. Perubahan Pendidikan ke Masa Depan

Dalam Konferensi Menteri Pendidikan negara-negara berpenduduk besar di New Delhi


tahun 1996, menyepakati bahwa pendidikan abad ke-21 haruus berperan aktif dalam hal: (1)
mempersiapakn pribadi sebagai warga negara dan anggota masyarakat yang bertanggung
jawab; (2) menanamlan dasar pembangunan berkelanjutan (sustainable development) bagi
kesejateraan manusia dan kelestarian lingkungan hidup; (3) menyelenggarakan pendidikan
yang berorientasi pada tiga penguasaan, pengembangan, dan penyebaran ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni demi kepentingan kemanusiaan.

Kemudian dalam konferensi internasional tentang pendidikan tinggi yang


diselenggarakan UNESCO di paris tahun 1998 menyepakati bahwa perubahan pendidikan
tinggi masa depan bertolak dari pandangan bahwa tanggung jawab pendidikan antara lain (1)
tidak hanya meneruskan nilai-nilai, mentransfer ilmu pengetahuan, teknologi, dan senni,
tetappi juga melahirkan warga negara yang berkesadaran tinggi tentang bangsa dan
kemanusian; (2) mempersiapkan tenaga kerja masa depan yang produktif dalam konteks
yang dinamis; (3) mengubah cara berpikir, sikap hidup, dan perilaku berkarya individu
maupun dalam kelompok masyarakat dalam rangka memprakarsai perubahan social yang
diperlukan, serta mendorong perubahan kea rah kemajuan yang adil dan bebas.

Agar bangsa Indonesia tidak tertinggal dari bangsa-bangsa lain maka pendidikan
nasional Indonesia perlu dikembangkan searah dengan perubahan pendidikan ke masa depan.
Pendidikan nasional memiliki fungsi sangat strategis yakni mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa. Tujuan dari pendidikan nasional yakni berkembangnya potensi peserta
anak didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan menjadi warga negara yang demokratis, serta
bertanggung jawab. Pendidikan kewarganegaraan (citizenship education) di perguruan tinggi
sebagai kelompok MPK diharapkan dapat mengemban misi fungsi dan tujuan pendidikan
nasional tersebut. Melalui pengasuhan Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi
yang substansi kajian dan materi instruksionalnya menunjang da relevan dengan
pembangunan masyarakat demokratik berkeadaban, diharapkan mahasiswa akan tumbuh
menjadi ilmuwan atau profesional, berdaya saing secara internasional, warga Negara
Indonesia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air.

b. Dinamika Internal Bangsa Indonesia

Dalam kurun dasawarsa terakhir ini, Indonesia mengalami percepatan perubahan yang
luar biasa. Misalnya, loncatan demokratisasi, transparansi yang hampir membuat taka da lagi
batas kerahasiaan di negara kiita, bahkan untuk hal-hal yang seharusnya dirahasiakan
Liberalisme bersamaan dengan demokratisasi di bidangg politik, melahirkan sistem
multipartai yang cenderung tidak efektif, pemilihan presiden-wakil presiden secara langsung
yang belum diimbangi kesiapan infrastruktur social berupa kesiapan mental elite politik dan
masyarakat yang kondusif bagi terciptanya demokrasi yang bermartabat Kekuasaan DPR-
DPRD yang sangat kuat sering kali yang disalahgunakan sebagai ajang maneuver kekuatan
politik yang berdampak timbulnya ketegangan-ketengangan suasana politik nasional, serta
hubungan eksekutif dan legislative. Pengembangan otonomi daerah berekses pada yang
kadang tidak dilandasi asas-asas kepentingan nasional sehingga sistem ketatanegaraan dan
sistem pemerintahan terkesan menjadi chaos (Husodo, Siswono Yudo, 2004: 5) .

Situasi lain yang saat ini muncul yaitu melemahnya komitmen masyarakat terhadap nilai-
nilai dasar yang telah lama menjadi prinsip dan bahkan menjadi rapih. Aada dua faktor
penyebabnya, yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal, berupa pengaruh
globalisasi yang disemangati liberalisme mendorong lahirnya sistem kapitalisme di bidang
ekonomi dan demokrasi liberal di bidang politik. Dalam praktiknya sistem kapitalisme dan
demokrasi liberal yang disponsori oleh negara-negara maju seperti Amerika, mampu
menggeser tatanan dunia lama yang lokal regional menjadi tatanan dunia yang bersifat
global mondial. Bahkan mampu menyusup dan memengaruhi tatanan nilai kehidupan
internal setiap bangsa di dunia. Tarik ulur yang memicu ketegangan saat ini sedang terjadi
dalam internal bangsa, antara keinginan untuk mempertahankan sistem nilai sendiri yang
menjadi identitas bangsa, dengan adanya kekuatan nilai-nilai asing yang telah dikemas
melalui teknologinya (Widisuseno, 2004: 4).

Sejauh mana kekuatan setiap bangsa termasuk bangsa Indonesia untuk mengadaptasi
nilai-nilai asing tersebut. Bagi negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia
sangat rentan terkooptasi nilai-nilai asing yang cenderung berorientasi praktis dan pragmatis
dapat menggeser nilai-nilai dasar kehidupan. Kecenderungan munculnya situasi semacam ini
sudah mulai menggejala di kalangan masyarakat dan bangsa Indonesia saat ini. Seperti
nampak pada sebagian masyarakat dan bahkan para elit yang sudah semakin melupakan
peran nilai-nilai dasar yang wujud kristalisasinya berupa Pancasila dalam perbincangan
lingkup ketatanegaraan atau bahkan kehidupan sehari-hari. Pancasila sudah semakin tergeser
dari perannya dalam praktik ketatanegaraan dan pembangunan sudah menjauh dan terlepas
dari konsep filosofis yang seutuhnya. Eksistensi Pancasila tampak hanya dalam status
formalnya yaitu sebagai dasar negara, tetapi sebagai sistem filosofi bangsa sudah tidak
memiliki daya spirit bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sistem filosofi
Pancasila sudah rapuh. Masyarakat dan bangsa Indonesia kehilangan dasar, pengangan dan
arah pembangunan.

Faktor internal, yaitu bersumber dari internal bangsa Indonesia sediri. Kenyataannya
seperti ini muncul dari kesalahan sebagian masyarakat dalam memahami pancasila. Banyak
kalangan masyarakat memandang pancasila tidak dapat mengatasi masalah krisis. Sebagian
lagi masyarakat menganggap bahwa pancasila merupakan alat legitimasi kekuasaan Orde
baru. Segala titik kelemahan pada Orde baru linear engan pancasila. Akibat yang timbul dari
keselahan pemahaman tentang pancasila ini sebagian masyarakat menyalahkan pancasila,
bahkan anti pancasila. Kenyataan semacam ini sekarang sedang menggejala pada sebaagian
masyarakat Indonesia. Kesalahan pemahaman (epistemologis) ini menjadikan masyarakat
telah kehilngan sumber dan sarana orientasi nilai.

Disorientasi nilai dan distorsi nasionalismee di kalangan masyarakat Indonesia dewasa ini.
Disorientasi nilai terjadi saat masyarakat menghadapi masa transisi dan transformasi. Dalam
masa transisi terdapat peralihan dari masyarakat pedesaan menjadi masyarakat perkotaan,
masyarakat agraris ke masyarakat industri dan jasa, dari tipologi masyarakat tradisional ke
masyarakat modern , dari masyarakat paternalistic kea rah masyarakat demokratis, dari
masyarakat feudal ke masyarakat agaliter, dari makhluk social ke makhluk ekonomi. Dalam
proses transisi ini menyebabkan sebagian masyarakat Indonesia mengalami kegoyahan
konseptual tentang prinsip-prinsip kehidupanyang telah lama menjadi pengangan hidup,
sehingga timbul kekaburan dan ketidakpastian landasan pijak untuk mengenali dan
menyikapi berbagai persoalan kehidupan yang dihadapi.

Dalam masa transformasi, terjadi pergeseran tata nilai kehidupan sebagian masyarakat
indonesia sebagai dampak dari proses transisi, misalnya beralihnya dari kebiasaan cara
pandang masyarakat yang mengapresiasi nilai-nilai tradisional kearah nilai-nilai modern
yang cenderung rasional dan pragmaatis, dari kebiasaan hidup dalam tata pergaulan
masyarakat yang dilandasi cara pandang individualistic. Distorsi nasionalisme , suatu
fenomena social pada sebagian masyarakat Indonesia yang menggambarkan semakin pudar
rasa kesediaan mereka untuk hidup eksis bersama,menipisnya rasa dan kesadaran akan
adanya jiwa dan prinsip spiritual yang berakar padaa kepahlawanan masa silam yang tumbuh
karena kesamaan penderitaan dan kemuliaan di masa lalu. Hilangnya rasa saling percaya
(trust) antarsesama baik horisontaal maaupun vertical. Fenomena yang kini berkembang
adalah rasa saling curiga, dan menjaatuhkan sesame. Inilah tanda-tanda melemahnya
kohesivitas social kemasyarakatan diantara kita sekarang ini.

2. Tujuan pembelajaran pendidikan kewarganegaraan

Pendidikan kewarganegaraan dilakukan oleh hampir seluruh bangsa di dunia, dengan


menggunakn nama seperti: civic education, citizenship education , democracy education.
PKn memiliki peran strategis dalam mempersiapkan warga negara yang cerdas, bertanggung
jawab dan berkeadaban. Menurut rumusan civic international (1995) bahwa “pendidikan
demokrasi penting bagi pertumbuhan “civic culture” untuk keberhasilan penunjangan dan
pemeliharaan pemeritah, inilah satu tujuan pentiiing pendidikan “civic” Maupun citizenship”
untuk mengatasi political apatism demokrasi (Azyumadi Azra, 2002:12). Semua negara yang
formal menganut demokrasi menerapkan pendidikan kewarganegaraan dengan muatan,
demokrasi, rule of law, HAM, dan perdamaian, dan selalu mengaitkan dengan kondisi
situasional negara dan bangsa masing-masing Pendidikan Kewarganegaraan Indonesia
semestinya menjadi tanggung jawab semua pihak atau komponen bangsa, pemerintah,
lembaga masyarakat, lembaga keagamaan dan masyarakat industri (Hamdan Mansoer,
2004:4).

Searah dengan perubahan pendidikan kemasa depan dan dinamika internal bangsa
Indonesia, program pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi harus
mampu mencapai tujuan berikut.

a. Mengembangkan sikap dan perilaku kewarganegaraan yang mengapresiasi nilai-nilai


moral-etika dan religius.
b. Menjadi warga negara yang cerdas berkarakter, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
c. Menumbuhkembangkan jiwa semangat nasionalisme, dan rasa cinta pada tanah air.
d. Mengembangkan sikap demokratik berkeadaban dan bertanggung jawab, serta
mengembangkan kemampuan kompettif bangsa di era globalisasi.
e. Menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan.

B. Pancasila Sebagai Nilai Dasar PKn untuk Berkarya

Program pembelajaran mata kuliah Pengembangan Kepribadian sebagai pendidikan nilai


di perguruaan tinggi memiliki fungsi meletakkan dasar nilai sebagai pedoman berkarya bagai
lulusan perguruan tinggi. Pendidikan Kewarganegaraan sebagai MPK diarahkan mampu
mengembang misi tersebut. Konsekuensi PKn sebagai MPK, keseluruhan materi program
pembelajaran PKn disirati nilai-nilai Pancasila harus dijadikan sebagai pedoman dan sumber
orientasi pengembangan kekaryaan setiap tulisan perguruan tinggi. Peran nilai-nilai dalam
setiap sila Pancasila adalah sebagai berikut.

1. Nilai ketuhanan dalam sila ketuhanan YME: melengkapi ilmu pengetahuan


menciptkan perimbangan antara yang rasional dan irasional, antara rasa dan akal. Sila
ini menempatkan manusia dalam alam sebagai bagiannya dan bukan pusatnya. Paham
nilai ketuhanan dalam Sila Ketuhanan YME, tidak memberikan ruang bagai paham
atheisme, fundamentalisme dan ekstrimisme keagamaan, sekularisme keilmuaan,
antroposentrisme dan kosmosentrisme.
2. Nila kemanusian dalam sila kemanusian yang adil dan beradab: memberi arah dan
mengendalikan ilmu pengetahuan. Pengembangan ilmu harus didasarkan pada tujuan
aawal ditemukan ilmu atau fungsinya semula, yaitu untuk mencerdaskan,
mensejahterakan, dan memertabatkan manusia, ilmu tidak hanya untuk kelompok,
lapisan tertentu.
3. Nila persatuan dalam sila persatuan Indonesia: mengimplementasikan universalisme
dalam sila-sila yang lain, sehingga supra sistem tidak mengabaikan sistem dan
subsistem. Solidaritas dalam subsistem sangat penting untuk kelangsungan
keseluruhan individulitas, tetapi tidak menggangu integritasi. Nilai persatuan dalam
sila persatuan Indonesia esensinya adalah pengakuan kebhinekaan dalam kesatuan:
koeksistensi, kohesivitas, kesetaraan, kekeluargaan, dan supremasi hukum.
4. Nilai kerakyatan dalam sila kerakyatan yang di pimpin oleh hikmah kebijaksanaan
dalam permusyaratan/perwakilan: menimbangi otodinamika ilmu pengetahuan dan
teknologi berevolusi sendiri dengan leluasa. Eksperimentasi penerapan dan
pemyebaran ilmu pengetahuan harus demokratis dapat di musyawarakan secara
perwakilan, sejak dari kebijakan, penilitian sampai penerapan masal. Nilai kerakyatan
dalam sila ini esensinya adalah menjunjung tinggi nilai-nilai demorasi yang berkeada
ban. Tidak memberi ruang bagi paham egoisme keilmuan (puritanisme, otonomi
keilmuan), liberalism dan individdualisme dalam konteks kehidupan.
5. Nilai keadilan dalm sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia: menekankan
ketiga keadilan Aris Stoteles : kedalian distibutif, keadilan kontributif, dan keadilan
komutatif. Keadilan social juga menjaga keseimbangan antara kepentingan individu
dan masyarakat, karena kepentingan individu tidak boleh terinjak oleh kepentingan
semu. Individulitas merupakan lantasan yang memungkinkan timbul kretifitas dan
inovasi.

Kelima dasar nilai tersebut sebagai pedoman dan sumber orientasi dalam penyusunan
dan pengembangan substansi kajian Pendidikan Kewarganegaraa di Perguruan Tinggi.
Pendidikan Kewarganegaran sebagai MPK mencerminkan pendidikan demokrasi, HAM
dan persoalan kewarganegaraa lainnya berperspektif Pancasila. Jadi, meskipun setiap
bangsa sama-sama menyebut Pendidikan Kewarganegaraan sebagai “civic education,
democrary education, civil education,” dan sebagainya, tetapi arah pengembangan
kompetensi keilmuan PKn di perguruan tinggi Indonesia memiliki karakter sendiri.
MAKALAH PKN

KELOMPOK 6 :

MUHAMMAD IQBAL BORAHIMA (40100119112)

MUH MUJAHIDDIN SAHLAN (40100119119)

FAISAL S. SANGAJI (40100119141)

SISKA YUNITA (40100119138)

AQILLA (40100119125)

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ARAB

TAHUN AKADEMIK 2019/2020


TUGAS PENDIDIKAN PANCASILA

DAN KEWARGANEGARAAN

KELOMPOK 6 :

MUHAMMAD IQBAL BORAHIMA (40100119112)

MUH MUJAHIDDIN SAHLAN (40100119119)

FAISAL S. SANGAJI (40100119141)

SISKA YUNITA (40100119138)

AQILLA (40100119125)

Anda mungkin juga menyukai