Oleh :
Dosen Pembimbing :
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang tak henti-hentinya saya haturkan atas kehadirat Allah SWT,
karena hanya dengan rahmat dan karunia-Nya, kami masih memiliki kesempatan
untuk menyelesaikan tugas makalah ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah
kepada Baginda Nabi kita Rasulullah Muhammad Shallallahu’alaihiwasallam, atas
perjuangan Beliau sehingga kita bisa merasakan nikmatnya berislam. Alhamdulillah.
Juga tidak lupa pula saya ucapkan terima kasih kepada Pak Dr. H. Muhsin, M.Ag
yang dengan sangat sabar membimbing kami khususnya pada mata kuliah Ilmu Al
Lughah Al Falsafy, sehingga kami dapat mengerti sebagaimana mestinya.
Semoga makalah ini dapat menjadi manfaat bagi para pembaca, mahasiswa,
pelajar dan masyarakat umum khususnya pada diri kami. Dan dengan kerendahan hati
kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan tambahan ilmu yang lebih luas
kepada pembacanya. Akhir kata lembaran ini kami mohon maaf jika makalah ini
nantinya terdapat kekurangan pada tulisan atau pendapat yang kurang berkenan bagi
anda semua.
Penyusun
Kelompok 6
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB 1 PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Penulisan 1
BAB 2 PEMBAHASAN 2
BAB 3 PENUTUP 7
A. Kesimpulan 7
DAFTAR PUSTAKA 8
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
1. Siapakah Gilbert Ryle?
2. Bagaimana Filsafat Bahasa Biasa menurut Gilbert Ryle?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui siapa Gilbert Ryle.
2. Untuk mengetahui Filsafat Bahasa Biasa menurut Gilbert Ryle.
1
Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan Tanda, hlm. 78-79
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
Kaelan, Filsafat Bahasa Masalah dan Perkembangannya, (Yogyakarta: Paradigma, 2002), hlm. 155-
156).
2
Kekeliruan kategori dapat dibatasi sebagai suatu pertentangan kategori atau
bentuk logis satu sama lain sebagai akibat dari kesalahan berpikir kita.3
Melalui category mistake, Ryle menunjukkan suatu kekeliruan pandangan
mengenai Descartes (1596-1650) tentang manusia yang dualistik. Dalam
pandangan Descartes, manusia itu terdiri dari dua substansi yaitu roh dan materi.
Kedua berlainan antara satu sama lain. Inilah “category mistake” kata Ryle.
Sebab sangatlah aneh dua substansi berlawanan, yang memliki perbedaan
kategori bisa harmonis bersatu dalam satu wadah.
Kemudian Ryle pun menunjukkan sering ditemukan banyak filsuf yang
mencampuradukkan kategori-kategori yang berlainan. Sebab akibatnya,
pandangan kefilsafatan mereka terjebak pada category mistake. Upaya itu
ditunjukkan Ryle dengan cara melakukan pembedaan berbagai jenis kata melalui
penyebutan “pernyataan-pernyataan disposisi” (dispositional statements).
Pernyataan disposisi adalah pernyataa yang menunjukkan sifat atau kebiasaan
tertentu. Menurut Ryle, agar terhindar dari pemakaian kategori yang bercampur
baur dalam sebuah kalimat, maka kita harus membedakan kata-kata yang
menunjukkan suatu disposisi (sifat, kebiasaan) dengan kata-kata yang menunjuk
kepada suatu pengertian peristiwa. Contoh “dia mengerti Al-Qur’an”
mengandung pengertian “dia biasa membaca Al-Qur’an” dan “dia membaca Al-
Qur’an”. Dengan cara ini maka kita bisa menentukan makna dari suatu kalimat
yang diungkapkan.4
3
Asep Ahmad Hidayat, filsafat bahasa...,hlm. 81.
4
Ibid., hlm. 82-83.
3
Namun seiring berkembangnya konsep filsafat bahasa biasa hingga periode
Ryle tidak ada filsuf yang berupaya mendeskripsikan mengenai penggunaan
bahasa biasa beserta pembeda-pembedanya, dan dalam kesempatan ini Ryle
berupaya untuk mnegungkapkan pengguanaan bahasa biasa. 5
Bagi Ryle, “kesalahan filsafat yang paling menggelikan adalah saat”
penggunaan bahasa biasa/yang baku” (ordinary use) dianggap tumbuh dengan
“penggunaan bahasa yang biasa/menurut kebiasaan sehari-hari” (ordinary usage).
Alasannya jelas bahwa bahasa yang kita pergunakan dalam sehari-hari belum
tentu mencerminkan penggunaan bahasa yang baku.
Contoh yang paling mudah untuk membedakan kedua hal tersebut adalah,
saat kita menggunakan bahasa Indonesia baku yang sesuai kaidah yang telah
ditentukan –memenuhi tuntunan tata bahasa yang baik dan benar, serta
pemakaian istilah yang baku, inilah yang dimaksud dengan “penggunaan bahasa
biasa/yang baku”. Adapun “penyusunan bahasa yang biasa/menurut kebiasaan
sehari-hari” lebih banyak kita jumpai dalam pergaulan, seperti pemakaian bahasa
daerah ataupun pemakaian bahasa Indonesia yang tidak didasarkan pada tuntunan
bahasa yang baik dan benar, penggunaan istilah asing yang belum dibakukan,
dan semacamnya.6
Filsafat bahasa biasa menurut Ryle pada hakikatnya memperhatikan
penggunaan yang biasa dari bahasa, atau penggunaan bahasa yang baku, yang
standar dan bukannya penggunaan bahasa yang dipakai dalam komunikasi
sehari-hari (colloquial language). Oleh karena itu tugas filsafat adalah berkaitan
dengan analisis penggunaan yang biasa dari ungkapan-ungkapan tertentu dan
bukannya menganalisis bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari 7 .
Pandangan ini jelas bertentangan dengan pendapat Wittgenstein II yang lebih
banyak atau memang secara khusus mengarahkan perhatiaannya pada pengunaan
5
Kaelan, Filsafat Bahasa..., hlm. 159-160.
6
Muhammad Khoyin, Filsafat Bahasa Philosophy of Language, hlm. 232
7
Kaelan, Filsafat Bahasa..., hlm. 160.
4
bahasa menurut kebiasaan sehari-hari, dalam keragaman tata permainan bahasa.
Menurut Ryle, tujuan mengarahkan teknik analisis bahasa itu pada penggunaan
bahasa yang baku, yaitu agar kita memberikan penjelasan yang memadai bagi
penggunaan bahasa yang biasa/standar dari ungkapan.
Proses analisis ungkapan dalam filsafat bahasa biasa harus
memperhatikan aturan-aturan yang ada dalam penggunaan ungkapan. Satu hal
yang harus diperhatikan dalam penggunaan ungkapan adalah aturan logika (rules
of logic). Penggunaan (use) itu adalah suatu metode atau cara, yaitu sebuah
teknik untuk melakukan sesuatu. Penggunaan ungkapan itu dapat sah atau tidak
sah secara logis (yaitu harus sesuai dengan hukum logika), mungkin atau tidak
mungkin, penuh arti atau nirarti. Misalnya suatu ungkapan “Amin lebih tua dari
bapaknya”, “ia berada di luar rumah tetapi duduk di kamar tengah” dan banyak
istilah lain yang tidak sesuai dengan hukum-hukum logika. 8
8
Kaelan, Filsafat Bahasa..., hlm. 160.
5
menghasilkan kemenangan. Begitu juga kalau ia (atlet) bertinju dan menang, ia
tidak melakukan dua pekerjaan, tapi satu pekerjaan9.
9
Asep Ahmad Hidayat, filsafat bahasa...,hlm. 83.
6
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
7
DAFTAR PUSTAKA
Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan
Tanda, hlm. 78-79
Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa Mengungkap Hakikat Bahasa, Makna dan
Tanda, hlm. 78-79