LP Abortus
LP Abortus
TINJAUAN KASUS
1. Pengertian
Abortus (keguguran) merupakan pengeluaran hasil konsepei
sebelum janin dapat hidup diluar kandungan yang menurut para ahli
sebelum usia 16 minggu dan 28 minggu dan memiliki BB 400-1000 gram,
tetapi jika terdapat fetus hidup dibawah 400 gram itu diamggap keajaiban
karena semakin tinggi BB anak waktu lahir makin besar kemungkinan
untuk dapat hidup terus (Sofian dalam Nurarif dan Kusuma, 2015)
Definisi abortus menurut WHO adalah penghentian kehamilan
sebelum janin berusia 20 minggu karena secara medis janin tidak bisa
bertahan di luar kandungan. Sebaliknya bila penghentian kehamilan
dilakukan saat janin sudah berusia berusia di atas 20 minggu maka hal
tersebut adalah infanticide atau pembunuhan janin.
2. Klasifikasi
Menurut Mitayani, 2013
Berdasarkan kejaadiannya dapat dibagi atas dua kelompok:
1. Aborsi spontan
Terjadi dengan tidak didahului faktor-faktor meknis ataupun
medisnalis, semata-mata disebabkan oleh faktor-faktor alamiah.
Klasifikasi abortus spontan:
a. Abortus iminens
Pada abortus ini terlihat perdarahan per vaginam. Pada 50% kasus,
perdarahan tersebut hanya sedikit berhenti setelah berlangsung
beberapa hari, dan kehamilan berlangsung secara normal.
Meskipun demikian, wanita yang mengalaminya mungkin tetap
merasa khawatir akan akibat perdarahan pada bayi. Biasanya
kekhawatirannya akan dapat diatasi dengan menjelaskan kalau
janin mengalami gangguan, maka kehamilannya tidak akan
berlanjut: upaya perawatn untuk meminta dokter membantu
menenteramkan kekhawatiran pasien merupakan tindakan yang
bijaksana. Terapi yang dianjurkan pada abortus iminens adalah
tirah baring dan penggunaan sedatif selama paling sedikit 48
jamdengan observasi cermat terhadap warna dan jenis
drah/jaringan yang keluar dari dalam vagina. Preparat enema dan
laksatif idak boleh diberikan. Pemeriksaan USG terhadap isi uterus
dikerjakan pada stadium ini dan kemudian bisa diulangi lagi 2
minggu kemudian. Pasangan suami-istri dianjurkan untuk tidak
senggama selama periode ini.
b. Abortus insipiens
Abortus ini ditandai oleh kehilangan darah sedang hingga
berat,kontraksi uterus yang menyebabkan nyeri kram pada
abdomen bagian bawah dan dilatasi serviks.
Jika abortus tidak terjadi dalam waktu 24 jam, uterus harus
dikosongkan dengan menggunakan forseps ovum, alat kuret dan
kanula pengisap; semua bahan yang dikirim untuk pemeriksaan
histologi. Antibiotik sering diberikan pada stadium ini.
c. Abortus kompletus
Abortus ini terjadi kalau semua produk oembuahan seperti janin,
selaput ketuban dan plasenta sudah keluar. Perdarahan dan rasa
nyeri kemudian akan berhenti, serviks menutup dan uterus
mengalami involusi.
d. Abortus inkompletus
Abortus ini berkaitan dengan retensi sebagian produk pembuahan
(hampir selalu plasenta) yang tidak begitu mudah terlepas pada
kehamilan dini seperti halnya pada kehamilan aterm. Dalam
keadaan ini, perdarahan tidak segera berkurang sementara serviks
tetap terbuka.
Terapi asuhan keperawatan dan observasi pada abortus ini
dilakukan sama seperti pada abortus insipiens. Namun demikian,
evakuasi uterus harus segers dilakukan setelah diagnosis
ditegakkan untuk mencegah perdarahan lebih lanjut. Perhatian
khusus diberikan pada higiene vulva. Pada sebagian kasus, supresi
laktasi mungkin diperlukan. Preparat gamaglobulin anti-D
diberikan pada wanita dengan Rh-negatif.
e. Missed abortion
Abortus ini terjadi kalau sesudah mengalami abortus iminens,
perdarahan per vaginam berhenti namun produk pembuahan
meninggal dan tetap berada dalam rahim. Tanda-tanda kehamilan
berkurang, yaitu: payudara menjadi lebih kecil dan lebih lunak,
pertumbuhan uterus terhenti, dan wanita tersebut tidak lagi
‘merasa’ hamil. Sesudah beberapa minggu, sekret kecoklatan dapat
terlihat keluar dari dalam vagina dan tanda-tanda eksternal
kehamilan menghilang. Hipofibrinogenemia dapat terjadi. Bekuan
darah dari perdarahan plasennta kadang-kadang memenuhi uterus
untuk membentuk mola karneosa. Evakuasi spontan akhirnya
terjadi pada sekitar usia kehamilan 18 minggu dan sebagian dokter
beranggapan bahwa tindakan yang lebih aman adalah menunggu
evakuasi spontan. Namun demikian, wanita meminta dokter untuk
mengeluarkannya secepat mungkin setelah menyadari bahwa
bayinya sudah meninggal. Keadaan ini memberikan situasi yang
sangat sulit.
f. Abortus akibat inkompetensi serviks
Biasanya terjadi di sekitar usia kehamilan 20 minggu. Serviks
berdilatasi tanpa rasa nyeri dan kantong janin menonjol. Pada
kehamilan berikutnya, abortus dapat dicegah dengan membuat
jahitan seperti tali pada mulut kantong (purse-string suture) yang
dilakukan dengan pembiusan di sekeliling serviks pada titik temu
antara rugae vagina dan serviks yang licin (jahitan Shirodkar).
Jahitan tersebut dibiarkan sampai kehamilan berusia 38 minggu
dan pada saat ini, jahitan dipotong sehingga persalinan spontan
diharapkan akan mulai terjadi. Angka keberhasilan jahitan
Shirodkar mencapai 80% pada kasus-kasus inkompetensi serviks
murni.
g. Abortus habitualis
Abortus ini digunakan kalau seorang wanita mengalami tiga kali
atau lebih abortus spontan yang terjadi berturut-turut. Penyebab
abortus habitualis lebih dari satu (multipel). Dan sering terdapat
lebih dari satu faktor yang terlibat.
h. Abortus septik
Infeksi dapat mempersulit setiap jenis abortus karena resistensi
normal saluran genitalia pada hakikatnya tidak terdapat saat ini.
Abortus kriminalis (abortus ilegal yang dilakukan secara gelap)
masih menjadi penyebab infeksi yang paling serius karena tidak
dilakukan secara aseptik. Faktor lain yang terlibat adalah
keberadaan produk pembuahan, yaitu jaringan plasenta yang mati
di dalam rahim. Infeksi dapat menyerang endometrium dan
menyebar ke bagian lain secara langsung atau tidak langsung untuk
menyebabkan peritonitis, salpingitis, dan septikemia.
2. Abortus provokatus (induced abortion) terjadi karena sengaja
dilakukam dengan memakai obat-obatan maupun alat-alat.
Abortus ini terbagi menjadi dua kelompok:
a. Abortus Medisinalis (Abortus therapeutica)
Merupakan abortus yang diinduksi secara buatan, baik untuk
alasan terapeutik (bila kehamilan dilanjutkan dapat
membahayakan jiwa ibu) maupun alasan lain.
b. Abortus Kriminalis
Abortus yang terjadi oleh karena tindakan-tindakan yang tidak
legal atau tidak berdasarkan indikasi medis.
3. Etiologi (Mitayani, 2013)
a. Abnormalitas embrio atau janin merupakan penyebab paling
sering untuk abortus dini dan kejadian ini kerapkali disebabkan
oleh cacat kromosom.
b. Abnormalitas uterus yang mengakibatkan kelainan kavum uteri
atau halangan terhadap pertumbuhan dan pembesaran uterus,
misalnya fibroid, malformasi kongenital, prolapsus atau
retroversio uteri.
c. Kerusakan pada serviks skibat robekan yang dalam pada saat
melahirkan atau akobat tindakan pembedahan (dilatasi, amputasi)
d. Penyakit-penyakit maternal dan penggunaan obat: penyakit
mencakup infeksi virus akut, panas tinggi, dan inokulasi,
misalnya pada vaksinasi terhadap penyakit cacar. Nefritis kronis
dan gagal jantung dapat mengakibatkan anoksia janin. Kesalahan
pada metabolisme asam folat yang diperlukan untuk
perkembangan janin akan mengakibatkan kematian janin. Obat-
obat tertentu, khususnya preparat sitotoksik, akan mengganggu
proses normal pembelahan sel yang cepat. Prostaglandin akan
menyebabkan aortus dengan merangsang kontraksi uterus.
e. Trauma, tapi biasanya jika terjadi langsung pada kavum uteri.
Hubungan seksual, khususnya kalau terjadi orgasme, dapat
menyebabkan abortus pada wanita dengan menyebabkan abortus
pada wanita dengan riwayat keguguran berkali-kali.
f. Faktor-faktor hormonal, misalnya penurunan sekresi progedteron
diperkirakan sebagai penyebab terjadinya abortus pada usia
kehamilan 10-12 minggu, yaitu pada saat plasenta mengambil alih
fungsi korpus luteum dalam produksi hormon.
g. Sebab-sebab psikomatik: stres dan emosi yang kuat diketahhui
dapat mempengaruhi fungsii uterus lewat sistem hipotalamus-
hipofise. Banyak dokter obstetri yang melaporkan kasus-kasus
abortus spontan dengan riwayat stres, dan biasanya mereka juga
menyebutkan kehamilan yang berhasil baik (pada wanita dengan
riwayat stres berat) setelah kecemasan dihilangkan.
4. Manifestasi klinis
Seorang wanita diduga mengalami abortus apabila dalam masa
reproduksi mengeluh tentang perdarahan pervaginam setelah
mengalami haid yang terlambat, juga sering terdapat rasa mulas dan
keluhan nyeri pada perut bagian bawah (Mitayani,2013:23).
Setelah dilakukan pemeriksaan ginekologi di dapatkan tanda-tanda
sebagai berikut
a. Inspeksi vulva: perdarahan pervaginam, ada/tidak jaringan hasil
konsepsi, tercium/tidak bau busuk dari vulva.
b. Inspekulo : perdarahan dari kavum uteri, ostium uteri terbuka atau
sudah teertutup, ada/tidak jaringan yang keluar dari ostium,
ada/tidak jaringan yang berbau busuk dari ostium.
c. Colok vagina : posio masih terbuka/sudah tertutup, teraba/tidak
jaringan pada uteri, besar uterus sesuai atau lebih kecil dari usia
kehamilan, tidak nyeri saat porsio digoyangkan, tidak nyeri pada
perabaan adneksia, kavum douglasi tidak menonjol dan tidak
nyeri.
5. Pemeriksaan penunjang
Menurut Mansjoer (2010) pemeriksaan penunjang yang dilakukan
pada abortus yaitu :
a. Tes kehamilan positif jika janin masih hidup dan negatif bila janin
sudah mati
b. pemeriksaan Dopler atau USG untuk menentukan apakah janin
masih hidup
c. Pemeriksaan fibrinogen dalam darah pada missed abortion Data
laboratorium tes urine, hemoglobin dan hematokrit, menghitung
trombosit
d. kultur darah dan urine
e. Pemeriksaan Ginekologi:
1) Inspeksi vulva
a) Perdarahan pervaginam sedikit atau banyak
b) Adakah disertai bekuan darah
c) Adakah jaringan yang keluar utuh atau sebagian
d) Adakah tercium bau busuk dari vulva
2) Pemeriksaan dalam speculum
a) Apakah perdarahan berasal dari cavum uteri
b) Apakah ostium uteri masih tertutup / sudah terbuka
c) Apakah tampak jaringan keluar ostium
d) Adakah cairan/jaringan yang berbau busuk dari ostium.
3) Pemeriksaan dalam/ Colok vagina
a) Apakah portio masih terbuka atau sudah tertutup
b) Apakah teraba jaringan dalam cavum uteri
c) Apakah besar uterus sesuai, lebih besar atau lebih kecil dari
usia kehamilan
d) Adakah nyeri pada saat porsio digoyang
e) Adakah rasa nyeri pada perabaan adneksa
f) Adakah terasa tumor atau tidak
g) Apakah cavum douglasi menonjol, nyeri atau tidak
6. Penatalaksanaan Medis
Menurut Rukiyah (2010), penatalaksanaan pada abortus :
a. Abortus iminens
1) Istirahat baring agar aliran darah ke uterus bertambah dan
rangsang mekanik berkurang.
2) Periksa denyut nadi dan suhu badan 2 kali sehari bila pasien
tidak panas dan tiap 4 jam bila pasien panas.
3) Tes kehamilan dapat dilakukan, bila hasil negatif mungkin
jaringan sudah mati.
4) Tentang pemberian hormon progesteron pada abortus imminens
belum pada persesuaian faham. Sebagian besar ahli tidak
menyetujuinya, dan mereka yang menyetujui bahwa harus
ditentukan dahulu adanya kekurangan hormone progesteron.
Apabila difikirkan bahwa sebagian besar abortus didahului oleh
kematian hasil konsepsi dan kematian ini dapat disebabkan oleh
banyak factor, maka pemberian hormon progesteron memang
tidak banyak manfaatnya.
5) Pemeriksaan ultrasonografi penting di lakukan untuk
menentukan apakah masih janin hidup.
6) Berikan obat penenang, biasanya Fenobarbital 3 x 30 mg.
Berikan preprat hematinik misalnya, sulfas ferosus 600-1000
mg.
7) Diet tinggi protein dan tambahan vitamin C.
8) Membersihkan vulva minimal 2 kali sehari dengan cairan
antiseptik.
b. Abortus insipiens
1) Bila perdarahan tidak banyak, tunggu terjadinya abortus spontan
tanpa pertolongan selama 36 jam dengan diberikan morfin.
2) Pada kehamilan kurang dari 12 minggu, yang biasanya disertai
perdarahan, ditangani dengan penosongan uterus memakai kuret
vacum atau cunam abortus disusul kerokan memakai kuret
tajam. Suntikan ergometrin 0,5 mg IM.
3) Pada kehamilan lebih dari 12 minggu, berikan infus oksitosin 10
IU dalam dekstrose 5%, 500ml dimulai 8 per menit dan naikan
sesuai kontraksi uterus sampai terjadi abortus komplit.
4) Bila janin sudah keluar, tapi plasenta masih tertinggal, lakukan
pengeluaran plasenta secara manual.
c. Abortus inkomplit
1) Bila disertai syok karena perdarahan, berikan infus NaCl
fisiologis atau Ringer Laktat dan selekas mungkin ditransfusi
darah.
2) Setelah syok diatasi, dikerok dengan kuret tajam lalu suntikkan
ergometrin 0,2 mg IM.
3) Bila janin sudah keluar, tapi plasenta masih tertinggal, lakukan
pengeluaran plasenta secara manual.
4) Berikan antibiotic.
d. Abortus komplit
1) Bila pasien baik, berikan ergometri 3 x 1 tablet selama 3-5 hari.
2) Pasien anemi, berikan sufas ferosus atau transfusi darah.
3) Berikan antibiotik.
4) Diet tinggi protein, vitamin, dan mineral.
e. Abortus terapeutik
Menurut Sastrawinata (2005), abortus terapeutik dapat dilakukan
dengan cara:
1) Kimiawi : pemberian secara ekstrauterin atau intrauterin obat
abortus, seperti prostaglandin, antiprogesteron, atau oksitosin.
2) Mekanis :
- Pemasangan batang laminaria atau dilapan akan membuat
serviks terbuka secara perlahan dan tidak traumatis sebelum
kemudian dilakukan evakuasi dengan kuret tajam atau
vakum.
- Dilatasi serviks dilanjutkan dengan evakuasi, dipakai dilator
Hegar dilanjutkan dengan kuretase.
- Histerektomi/histerotomi.
7. Patofisiologi
Pada awal abortus terjadi dalam desidua basalis, diikuti nekrosis
jaringan yang menyebabkan hasil konsepsi terlepas dan dianggap
benda asing dalam uterus. Sehingga menyebabkan uterus
berkonsentrasi untuk mengeluarkan benda asing tersebut. Apabila pada
kehamilan kurang dari 8 minggu, nilai khorialis belum menembus
desidua serta mendalam sehingga hasil konsempsi dapat dikeluarkan
seluruhnya. Apabila kehamilan 8 sampai 4 minggu villi khorialis sudah
menembus terlalu dalam sehingga plasenta tidak dapat dilepaskan
sempurna dan menimbulkan banyak pendarahdan daripada plasenta.
Perdarahan tidak banyak jika plasenta tidak lengkap. Peristiwa ini
menyerupai persalinan dalam bentuk miniature.
Hasil konsepsi pada abortus dapat dikeluarkan dalam berbagai
bentuk, adakalanya kantung amnion kosong atau tampak didalamnya
benda kecil tanpa bentuk yang jelas (missed aborted). Apabila
mudigah yang mati tidak dikelurakan dalam waktu singkat, maka ia
dapat diliputi oleh lapisan bekuan darah. Ini uterus dinamakan mola
krenta. Bentuk ini menjadi mola karnosa apabila pigmen darah telah
diserap dalam sisinya terjadi organisasi, sehingga semuanya tampak
seperti daging. Bentuk lain adalah mola tuberose dalam hal ini amnion
tampak berbenjol-benjol karena terjadi hematoma antara amnion dan
khorion.
Pada janin yang telah meninggal dan tidak dikeluarkan dapat
terjadi proses modifikasi janin mengering dan karena cairan amnion
menjadi kurang oleh sebab diserap. Ia menjadi agak gepeng (fetus
kompresus). Dalam tingkat lebih lanjut ia menjadi tipis seperti kertas
pigmenperkamen.
Kemungkinan lain pada janin mati yang tidak lekas dikeluarkan
ialah terjadinya maserasi, kulterklapas, tengkorak menjadi lembek,
perut membesar karena terasa cairan dan seluruh janin berwarna
kemerah-merahan.
1. Pengkajian
Adapun hal-hal yang perlu dikaji adalah :
2) Palpasi
Merasakan suatu pembengkakan, mencatat suhu, derajat
kelembaban dan tekstur kulit atau menentukan kekuatan
kontraksi uterus, menentukan karakter nadi, mengevaluasi
edema, memperhatikan posisi janin atau mencubit kulit untuk
mengamati turgor, melakukan pemeriksaan dalam :
menentukan tegangan/tonus otot atau respon nyeri yang
abnormal.
3) Perkusi
Memeriksa refleks kulit perut apakah ada kontraksi dinding
perut atau tidak.
4) Auskultasi
Mendengarkan di ruang antekubiti untuk tekanan darah, dada
untuk bunyi jantung/paru abdomen untuk bising usus atau
denyut jantung janin.
a. Pemeriksaan laboratorium :
1) Darah dan urine serta pemeriksaan penunjang : rontgen, USG,
biopsi, pap smear.
2) Keluarga berencana : Kaji mengenai pengetahuan klien tentang
KB, apakah klien setuju, apakah klien menggunakan
kontrasepsi, dan menggunakan KB jenis apa.
b. Data lain-lain :
1) Kaji mengenai perawatan dan pengobatan yang telah diberikan
selama dirawat di RS.
2) Data psikososial : Kaji orang terdekat dengan klien, bagaimana
pola komunikasi dalam keluarga, hal yang menjadi beban
pikiran klien dan mekanisme koping yang digunakan.
3) Status sosio-ekonomi : Kaji masalah finansial klien
4) Data spiritual : Kaji tentang keyakinan klien terhadap Tuhan
YME, dan kegiatan keagamaan yang biasa dilakukan.
2. Diagnosa keperawatan
Menurut Herdman (2014), kemungkinan diagnosa yang muncul pada
pasien dengan abortus yaitu :
a. Ansietas berhubungan dengan kurang terpajannya
informasi mengenai abortus.
b. Nyeri akut berhubungan dengan kontraksi uterus.
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan
perdarahan pervaginam.
d. Risiko syok hipovolemik.
e. Risiko infeksi.
3. Intervensi Keperawatan
Setelah dilakukan tindakan suhu kulit, denyut jantung, HR, dan ritme,
keperawatan selama …. nadi, perifer, dan kapiler refill.
Syok tidak terjadi dengan Monitor tanda inadekuat oksigenasi
kriteria hasil:
jaringan.
Nadi dalam batas yang Monitor suhu dan pernafasan.
normal Monitor input dan output.
Irama jantung dalam batas Pantau nilai laboratorium: HB, HT, AGD,
yang normal dan elektrolit.
Frekuensi nafas dalam Monitor hemodinamik invasi yang sesuai.
batas yang normal Monitor tanda dan gejala asites.
Irama pernafasan dalam Monitor tanda awal syok
batas yang normal Tempatkan pasien pada posisi supine, kaki
Natrium serum dbn elevasi untuk peningkatan preload dengan
Kalium serum dbn tepat
Klorida serum dbn Lihat dan pelihara kepatenan jalan nafas
Kalsium serum dbn Berikan cairan iv atau oral yang tepat
Magnesium serum dbn Berikan vasodilator yang tepat
PH darah serum dbn Ajarkan keluarga dan pasien tentang tanda
Hidrasi, indikator: dan gejala adanya syok
1. Mata cekung tidak Ajarkan keluarga dan pasien tentang
ditemukan langkah untuk mengatasi gejala syok
2. Demam tidak ditemukan Syok Management
3. TD dbn 1. Monitor fungsi neurologis
2. Monitor fungsi renal (e.g. BUN dan Cr
level)
3. Monitor tekanan nadi
4. Monitor status cairan input output
5. Catat gas darah arteri dan oksigen di
jaringan
6. Monitor EKG
7. Memanfaatkan pemantauan jalur arteri
untuk meningkatkan akurasi pembacaan
tekanan darah
8. Menggambar gas darah arteri dan
memonitor jaringan oksigenasi
9. Memantau tren dalam parameter
hemodinamik
10. Memantau faktor penentu pengiriman jalur
oksigen
11. Memantau tingkat karbon dioksida
sublingual dan/atau tonometri lambung
12. Memonitor gejala gagal pernafasan
13. Monitor nilai laboratorium
14. Masukkan dan memelihara besarnya
kobosanan akses IV
Risiko infeksi NOC : NIC :
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan,
meskipun evaluasi diletakkan pada akhir proses keperawatan, evaluasi
merupakan bagian integral pada setiap tahap proses keperawatan.
Pengumpulan data perlu direvisi untuk menentukan apakah informasi
yang telah dikumpulkan sudah mencukupi dan apakah prilaku yang
diobservasi telah sesuai. Diagnosa juga perlu di evaluasi dalam hal
keakuratan dan kelengkapannya. Tujuan dan intervensi dievaluasi
adalah untuk menentukan apakah tujuan tersebut dicapai secara efektif
(Nursalam,2001).
DAFTAR PUSTAKA
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Indikator Diagnostik. Edisi 1. Jakarta : DPP PPNI